Selasa, 14 Juli 2015

Straight - Episode 5 ( Bagian Satu )

Semua orang di taman belakang dapur istana memperhatikan Chen dengan rasa ingin tahu yang sama. Keingintahuan yang bergumpal menjadi bermacam tanya yang sama pula.
Bisakah anak bernama Chen itu memasak? Apakah yang akan dimasaknya? Apakah Pangeran Keempat akan menyukai masakan anak itu? hadiah apa yang akan diberikan oleh Pangeran Keempat pada pelayan kecil itu andai ia bisa membuat selera makan Pangeran Keempat kembali?
Setiap jantung yang berdetak di taman itu menanti dengan ketegangan yang sama. Berpuluh pasang mata yang menatap nyaris tak berkedip mengawasi setiap gerak tubuh Chen. Kecuali sepasang mata Changyi yang menatap sosok adiknya dengan airmata yang kini jelas menggantung di pelupuknya. Bahkan kemudian, dua butir airmata jatuh dengan cepat yang segera dihapus oleh gerak sekilas tangan kanan Changyi.
Tak ada hal apapun yang dicemaskan oleh Changyi jika hal itu tentang masakan Chen. Satu-satunya kecemasan yang terasa sangat berat menggayuti benaknya hanyalah tentang bagaimana kehidupan adiknya itu setelah sayembara ini selesai. Bagaimana mereka mesti menjalani hari-hari dalam status yang sama sekali berbeda bukan lagi sebagai kakak dan adik melainkan sebagai tuan dan pelayan?.
Sementara itu Chen dengan sigap mengeluarkan sesuatu dari dalam buntalan kecil yang diikatkan di pinggangnya. Ia telah selesai mencuci beras dan kini, beras yang putih itu ditempatkannya dalam sebuah mangkuk kayu. Satu tungku telah menyala dengan sebuah periuk berisi daging sapi yang telah disayatnya. Air dalam periuk telah mendidih menghantarkan aroma sedap air kaldu khas daging sapi. Terdapat aroma rempah dalam keharuman kaldu tersebut. Rempah yang tidak menyengat dan kekuatan aromanya justru semakin menegaskan keharuman daging sapi yang tengah mengamuk di sekitar area taman belakang dapur istana membuat rasa lapar bagaikan gejolak badai yang memenuhi perut setiap orang di taman tersebut.
Kaisar Ming Tai Zhu mengerutkan keningnya seraya memperhatikan pelayan kecil yang terlihat sibuk membuka buntalan kecil yang diambilnya dari ikatan di pinggangnya lalu mengeluarkan beberapa potong bambu berwarna hijau segar yang telah pula dipotong dan terlihat bersih. Kerut di alis Sang Kaisar semakin dalam saat ia melihat Chen mengambil beberapa kuntum bunga berwarna putih kekuningan yang sangat indah dari dalam buntalan kainnya dan kemudian menyatukan beberapa kuntum bunga tersebut menjadi satu dan menggunakannya sebagai penutup pada salah satu ujung bambu. Hal sama ia lakukan pada potongan bambu-bambu yang lain. Semua orang melihat Chen menutup ujung bambu dengan kuntum-kuntum bunga berwarna kuning lembut tersebut. Banyak dari mereka yang tidak mengerti mengapa pelayan kecil yang bernama Xiao Chen itu menyumpal salah satu ujung bambu dengan kuntum-kuntum bunga yang sangat cantik itu. Suara tawa sekilas terdengar meningkahi dengung bisik yang kembali mengalir memenuhi udara, untuk kesekian kalinya. Sesekali, kalimat-kalimat bernada ejekan ataupun justru seruan heran naik ke udara dan terbang dibawa oleh angin.
Kecuali sepasang mata yang terlihat menyipit saat melihat Chen mulai menyatukan kuntum-kuntum bunga kuning dan menggunakannya sebagai tutup salah satu ujung bambu.
“Anak cerdik” desis Juru Masak Jiu Zhong sambil menatap Chen lekat-lekat. Apa yang semula diduganya seketika gugur saat ia mulai bisa menebak masakan apa yang akan dibuat oleh pelayan kecil Xiao Chen.
“Cerdik? Apa maksudmu Saudara Jiu?” tanya Juru Masak Wang yang kebetulan berdiri di sisi Juru Masak Jiu Zhong. Kini, semua juru masak yang telah mengikuti sayembara kembali berdiri di tempat semula sebelum sayembara di mulai yaitu di sisi luar taman, tepat di bawah atap beranda.
“Anak itu menggunakan Bunga Ba Jiao sebagai penutup bambu. Itulah kecerdikannya” sahut Juru Masak jiu Zhong sambil berbisik.
“Daun…Ba Jiao?” tanya Juru Masak Wang dengan alis berkerut.
“Bunga Ba Jiao. Kau belum pernah mendengar tentang pohon Ba Jiao itu Saudara Wang?” Juru Masak Jiu Zhong berbalik bertanya sambil melirik ke arah juru masak di sisinya sekilas.
Juru Masak Wang menggeleng, nyaris tanpa sadar.
“Ya..tapi, aku tidak mengerti” sahutnya kemudian. “Aku tahu tentang Pohon Ba Jiao, tapi aku benar-benar tak mengerti bagaimana bunga dari tanaman itu bisa disatukan dengan bahan makanan yang akan di masak”.
Sudut bibir Juru Masak Jiu Zhong tertarik ke samping menunjukkan seulas senyum tipis.
“Akupun belum lama mengetahuinya Saudara Wang. Aku hanya pernah membaca dalam kitab pengobatan tentang jenis-jenis tanaman yang berkhasiat sebagai obat dan juga dapat digunakan sebagai bumbu. Salah satunya adalah tanaman Ba Jiao. Aku pernah mencoba menggunakan bagian-bagian dari tanaman tersebut, tapi belum menemukan takaran dan jenis masakan yang pas dengan Ba Jiao” sahut Juru Masak Jiu Zhong.
Juru Masak Wang memicingkan sepasang matanya. Terlihat sedikit semburat rasa iri dalam kilat yang keluar saat ia kembali menatap pelayan Chen. Anak itu kini tengah memasukkan beras yang telah di cuci bersih ke dalam bambu dengan menggunakan sebuah sendok kayu.
“Lalu, bagaimana anak itu bisa mengetahui tentang tanaman Ba Jiao?” tanya Juru Masak Wang nyaris ditujukan pada dirinya sendiri.
Juru Masak Jiu Zhong menoleh sekilas ke arah juru masak di sampingnya.
“Aku juga tidak tahu. Mungkin saja ia mengetahui tentang Ba Jiao dari kedua orangtuanya. Bukankah ia mengatakan bahwa orangtuanya adalah juga pelayan di keluarga Tuan Muda Xu sebelum menjadi putra angkat Jenderal Xu Da? Hanya itu penjelasan yang masuk akal buatku” jawab Juru Masak Jiu Zhong.
“Tetapi, hal itu sekaligus menunjukkan bahwa siapapun orangtua anak bernama Chen itu, mereka pastilah juru masak yang hebat” gumam Juru Masak Wang.
Juru Masak Jiu tak menjawab, namun sebuah anggukan jelas terlihat saat ia mendengar kalimat juru masak di sisinya.
Sementara itu, Chen yang telah selesai mengisi potongan bambu dengan beras segera menutup ujung bambu yang masih terbuka. Lagi-lagi dengan kuntum-kuntum bunga Ba Jiao. Kemudian, ketika ia telah selesai dengan bambu-bambunya, dengan gesit Chen segera mengambil sebuah periuk keramik yang cukup besar, menuangkan air kaldu dari daging sapi ke dalam periuk keramik dan menempatkan periuk tersebut ke atas tungku menyala. Kemudian, satu demi satu bambu berisi beras dimasukkan ke dalam periuk yang berisi air kaldu dan menutup periuk keramik tersebut dengan tutupnya.
Selanjutnya, seolah tanpa menunggu jeda waktu hingga beras dalam bambu menjadi matang, Chen kembali bergerak. Kali ini tangannya mengambil sebuah sumpit besar dari bambu yang terlihat licin. Nampaknya, sumpit itu telah biasa digunakan hingga mengubah warna aslinya menjadi hitam berkilat. Dengan sumpit besar yang ada di tangannya, Chen mulai mengambil beberapa potong daging sapi. Kemudian dengan gerak gesit, Chen mencacah daging tersebut menggunakan pisau besar di atas sebuah talenan kayu yang tebal. Suara ketukan yang ritmis dan berirama cepat terdengar nyaring saat mata pisau yang tajam dan besar menyentuh permukaan talenan kayu dengan tekanan yang kuat. Suara yang terdengar seperti sebuah mantra sihir dan melenyapkan dengung bisik dan tawa yang sesaat lalu terdengar membubung di udara. Kini, area taman itu menjadi sunyi. Sementara tangan Chen seperti tak henti bergerak. Daging sapi yang telah menjadi lembut dipindahkannya ke dalam sebuah mangkuk porselin dan kini, giliran tunas bambu yang tercacah dibawah kelebat pisau besar di tangannya. Tunas bambu yang muda dan berwarna putih itu segera pula menjadi potongan berbentuk tipis dan lembut. Berbeda dengan daging yang telah dicacah dan ditempatkan dalam mangkuk, Chen mengambil sebuah mangkuk yang berukuran cukup besar, mengisinya dengan air kemudian menaburkan sedikit garam ke dalam mangkuk dan memasukkan potongan tunas bambu ke dalamnya. Selanjutnya, mangkuk berisi potongan tunas bambu  muda tersebut diletakkan dalam sebuah periuk yang telah berada di atas tungku, bersebelahan dengan periuk yang digunakan untuk memasak beras dalam bambu.
Dan semua yang dikerjakan oleh Chen sedikitpun tak lepas dari pengamatan Juru Masak Jiu Zhong. Bahkan kemudian, sang juru masak yang sangat terkenal itu tak lagi mempedulikan sekitarnya maupun pertanyaan-pertanyaan dari Juru Masak Wang di sebelahnya. Alisnya berkerut dalam saat ia melihat Chen memasukkan potongan tunas bambu dalam periuk dan memasaknya.
“Kenapa ia memasak rebung itu? Jika ia memang hendak mencampurnya dengan daging yang telah dicincang, mestinya ia bisa langsung melakukannya. Dan itu akan membuat rasa rebung menjadi lebih lezat” gumam Juru Masak Jiu Zhong pelan.
Juru Masak Wang yang mendengar gumaman Juru Masak Jiu Zhong seketika menoleh ke arah lelaki berpakaian rapi di sebelahnya.
“Aku juga berpikir begitu Saudara Jiu. Kenapa rebung itu harus direbus lebih dulu? Setahuku, rebung itu akan lebih enak bila digunakan dalam keadaan segar” sahut Juru Masak Wang. Sebuah senyum mendadak terlukis di bibirnya yang sedikit tebal. “Atau mungkin anak itu belum tahu bagaimana cara memasak rebung? Mungkin itulah yang telah ia pelajari dari orangtuanya”.
“Tidak” sahut Juru Masak Jiu Zhong cepat. “Anak itu tahu apa yang dilakukannya”.
Juru Masak Wang mengerutkan alisnya mendengar sanggahan dari Juru Masak Jiu Zong. Pandangannya kembali ke depan, pada Chen yang terlihat mengambil mangkuk berisi potongan tunas bambu dari dalam periuk lalu memindahkan potongan-potongan tunas bambu yang kini terlihat berubah warna menjadi putih agak gelap ke dalam mangkuk lain yang lebih bersih. Hal yang kemudian dilakukan oleh Pelayan Chen adalah mengambil semangkuk tepung berwarna putih, mencampurnya dengan sedikit air dan mulai mengaduknya menggunakan sebuah sendok kayu hingga beberapa saat. Tampaknya, adonan tepung dan air itu cukup berat untuk terus diaduk dengan sendok kayu karena Chen kemudian melepaskan sendok kayunya dan mengambil adonan tepung dari dalam mangkuk, meletakkannya di atas nampan bersih dan melanjutkan mengadon tepung tersebut dengan tangannya sendiri hingga menjadi kalis.
“Kenapa anak itu menutup adonan tepung itu dengan kain?” tanya Juru Masak Wang sambil menunjuk ke arah Chen yang meninggalkan adonan tepung dalam wadah mangkuk dengan sehelai kain basah menutup rapat di atasnya.
“Agar lebih lembut saat di masak nantinya” jawab Juru Masak Jiu Zhong.
“Benarkah?” Juru Masak Wang menoleh ke arah Juru masak Jiu dengan wajah berkerut. “Kupikir kelembutan adonan tepung ditentukan oleh kehalusan tepung yang dibuat”.
Juru Masak Jiu Zhong menggelengkan kepalanya. “Kau harus mencobanya lain kali. Menutup adonan tepung sebelum memasaknya juga akan membuatnya lebih mengembang”.
“Anak itu…kenapa ia bisa mengetahui hal-hal semacam itu sementara usianya masih begitu muda?” desis Juru Masak Wang dengan kepala menggeleng-geleng heran.
“Karena itu aku katakan bahwa anak itu cerdik. Sepertinya, ia memang memiliki kemampuan yang cukup baik sebagai juru masak” jawab Juru Masak Jiu Zhong.
“Jadi Saudara Li Xiang benar. Anak itu memang tidak bisa diremehkan” gumam Juru Masak Wang kemudian.
Juru Masak Jiu Zhong mendengus pelan, namun kepalanya mengangguk mendengar kalimat Juru Masak Wang di sisinya.
Waktu terus berjalan. Matahari telah naik sepenuhnya di atas kepala dan bahkan sesaat lagi, mulai bergulir ke arah ufuk yang menyeret malam menggantikan terang benderangnya siang. Chen terus bergerak. Daging sapi cincang telah dicampur dengan potongan tunas bambu yang telah direbusnya sebentar. Kemudian, anak itu memasukkan beberapa bahan yang tampaknya merupakan bumbu-bumbu tambahan ke dalam campuran daging sapi dan rebung muda. Gerakan tangannya yang sangat cepat membuat Juru Masak Jiu Zhong tak dapat melihat dengan jelas, bumbu apa saja yang dimasukkan oleh anak itu ke dalam campuran rebung dan daging sapi yang telah dicacahnya. Hanya saja, ia dapat mencium samar bau pala, kecap, dan jahe di antara bumbu-bumbu yang diambil oleh Chen. Aroma tersebut terbawa oleh angin semilir yang bertiup ke arahnya.
Sementara, dengan cekatan tangan Chen mulai mengambil campuran daging sapi dan rebung muda ke dalam lembaran adonan tepung yang telah ditipiskannya menggunakan penggiling kayu dan mulai membentuknya menjadi kuncup-kuncup bunga lotus berukuran kecil. Semuanya dilakukan Chen menggunakan sepasang sumpit bambu yang bergerak dengan demikian cepat hingga hanya dalam beberapa saat, kuncup-kuncup bunga lotus telah tertata rapi di atas sebuah mangkuk datar yang terbuat dari anyaman bambu. Selanjutnya, anak itu memasukkan mangkuk bambu datar tersebut ke dalam sebuah periuk pengukus dan menutupnya dengan rapat.
Suara berdengung terus menguar di udara sekitar area taman belakang dapur istana. Suara yang berasal dari bisik-bisik semua orang di arena sayembara. Masing-masing terlihat mulai penasaran terhadap jenis makanan yang tengah dimasak oleh Chen dan tampaknya telah mendekati tahap akhir terlihat dari kesibukan pelayan kecil dari rumah panglima tertinggi kerajaan tersebut menata masakannya di atas beberapa mangkok giok yang indah. Terlebih, udara di atas taman belakang dapur istana itu kini dipenuhi oleh aroma sedap yang berbeda. Terasa alami, tidak menyengat namun menggoda rasa lapar di perut yang segera memberontak dengan keras.
Jenderal Xu Da menatap Chen dengan sorot tenang. Namun, jauh di dalam hati, sang panglima tertinggi itu mengerti bahwa sayembara yang diadakan hari ini sesungguhnya hanya memiliki satu orang pemenang saja. Dan itu sudah jelas siapa orangnya. Alis Sang Jenderal berkerut dalam. Ia bukan tak melihat masalah yang segera akan menanti jika anak bernama Chen itu telah dipilih oleh Pangeran Zhu Di. Raut wajah Changyi yang diselimuti mendung telah memberikan petunjuk yang sangat jelas baginya. Dan ia sangat memahaminya.
“Yang Mulia…pelayan Chen telah menyelesaikan masakannya!” seru Kasim Liu pada Kaisar Ming.
Sang Kaisar mengangguk.
“Bagus, suruh anak itu untuk menyajikannya pada Pangeran Zhu Di dan kita akan melihat hasilnya” jawab Kaisar Ming kemudian. 
Suara berbisik sedikit bergema saat mendengar perintah dari Kaisar Ming. Inilah saatnya. Babak yang akan menentukan apakah pelayan kecil bernama Chen itu bisa membuat Pangeran Zhu Di menyantap hidangan yang dimasaknya. Juru Masak Jiu Zhong menghela nafas. Pandangannya lurus menatap ke arah Chen sementara pelayan kecil itu telah mulai melangkah ke arah rumah panggung di mana Pangeran Zhu Di menunggu dengan sepasang mata berbinar-binar. Tak ada Kepala Dayang Song yang menyertai Chen saat anak itu melangkah ke rumah panggung sebagaimana yang terjadi pada juru masak-juru masak sebelumnya. Namun, entah kenapa, perbedaan kecil itu justru membuat hati Juru Masak Jiu membisikkan sesuatu. Terlihat jelas ketegangan di wajah Juru Masak Jiu. Sungguh, ia bukanlah seorang peramal. Namun, hatinya berbisik bahwa anak dengan penampilan yang sangat sederhana dan terlihat rapuh itu akan menjadi seseorang yang banyak terlibat dalam kehidupannya. Dalam arti yang tidak disukainya.
Sementara itu, semua mata mengikuti gerak Chen yang telah sampai di hadapan Pangeran Zhu Di dan meletakkan nampan yang dibawanya sebelum kemudian melakukan sujud pada sang pangeran. Tak terkecuali sepasang mata Changyi, yang menyadari bahwa perjalanan takdir telah dimulai. Takdir yang akan memisahkan antara dirinya dengan Chen, dalam jalur yang berbeda. Begitu dekat di hatinya, namun akan sangat jauh dalam pandangan matanya. Seperti bulan yang bulat sempurna di langit.
Beberapa menteri seolah tanpa sadar menggeser posisi duduk mereka hingga mencondong ke arah rumah panggung sambil masing-masing mempertajam pendengaran telinga. Menanti dengan tegang hal selanjutnya yang akan terjadi saat mereka melihat Chen telah mengangkat nampannya dan meletakkannya di atas meja di hadapan Pangeran Zhu Di.
“Silahkan Yang Mulia” terdengar suara Chen mempersilahkan Pangeran Zhu Di sambil mengangsurkan sepasang sumpit ke depan sang pangeran. Kasim Anta mengambil sebuah mangkuk kecil kosong lalu membuka tutup mangkuk besar dan mulai hendak mengisinya sementara Chen menjelaskan satu demi satu makanan yang dimasaknya. Aroma masakan membubung dari dalam mangkuk yang dibuka oleh Kasim Anta, memenuhi seluruh ruangan dalam rumah panggung membuat Kaisar Ming, Permaisuri Ma dan tiga pangeran lain dapat menghirupnya pada saat yang sama dengan Pangeran Zhu Di. Itu bukan aroma lezat seperti yang sebelumnya mereka hirup dari masakan Juru Masak Jiu Zhong. Aroma yang keluar dari masakan anak bernama Chen itu terasa lebih lembut, terkesan sedap bukan lezat membuat Kaisar Ming membayangkan masakan khas pedesaan yang merupakan sebuah tradisi. Menghirup aroma makanan yang menguap dari dalam mangkuk yang terbuka tutupnya itu membawa kenangan Sang Kaisar melayang pada kehidupan masa kecilnya. Bukan kehidupan masa kecil saat kelaparan dalam kemiskinan membuat keluarganya nyaris musnah namun kehidupan masa kecil saat ia belum tahu tentang arti kesulitan hidup. Saat ia hanya mengerti kegembiraan, bermain di tepi sungai kecil dengan airnya yang bergemericik, ikan-ikan kecil berenang menyapa ujung-ujung kakinya yang telanjang, sementara suara angin mendesah dalam bisik-bisik halus di antara helai daun-daun bambu. Kehangatan sinar matahari menyapa permukaan kulit wajahnya memberikan rasa damai yang membahagiakan.
Kaisar Ming Tai Zhu menoleh ke arah Chen dan menatap anak tersebut. Tak ada yang tahu, berubahnya kilau di mata Sang Kaisar yang melembut saat aroma masakan yang dibawa oleh pelayan bertubuh kurus itu telah menyentuh kenangan terindah di hati Penguasa Tertinggi Kerajaan Ming. Sinar mata yang lembut yang tak pernah lagi terlihat sebelumnya di mata Sang Kaisar Hongwu setelah tempaan peperangan dan berbagai kesulitan membuat secuil kebahagiaan masa kecilnya terkubur dalam-dalam jauh di dasar hati yang nyaris mustahil untuk digali. Namun kini, kenangan indah yang sangat jauh terpendam itu telah muncul kembali. Dan keajaiban itu dibawa oleh anak kecil yang kini tengah duduk bersimpuh di depan putra keempatnya.
Mendadak Kaisar Ming Tai Zhu mengerti. Meski tanpa penjelasan yang keluar dari mulut Pangeran Zhu Di, ia kini mengerti makna kegelisahan Sang Pangeran Keempat saat menanyakan kehadiran Jenderal Xu Da dalam sayembara. Bukan Xu Changyi yang sesungguhnya ditunggu oleh putra kecilnya melainkan pelayan dari keluarga Xu-lah yang sesungguhnya sedang dinanti. Dan melihat persahabatan di antara Pangeran Zhu Di dengan Xu Changyi, maka adalah sangat masuk akal jika Sang Pangeran Keempat dengan sendirinya mengenal pelayan kecil itu dan bahkan mencicipi masakannya. Dan mungkin saja, Sang Pangeran Keempat jatuh hati pada masakan pelayan kecil dari rumah Keluarga Xu namun terlalu takut untuk berterus terang padanya sehingga membuat putra keempatnya menolak seluruh masakan yang dihidangkan oleh juru masak istana. Seulas senyum lebar tersungging di bibir Kaisar Ming. Jika hanya seperti itu, seharusnya Pangeran Zhu Di tak perlu menyembunyikannya. Jika saja Pangeran Keempat berterus terang, maka ia akan mengambil pelayan kecil itu dan menempatkannya di istana Pangeran Zhu Di. Kaisar Ming yakin bahwa Jenderal Xu Da pasti akan mengijinkannya, bukan karena kedudukannya sebagai kaisar melainkan karena persahabatan mereka yang telah begitu dalam. Kemudian, masalah sakitnya Pangeran Zhu Di akan selesai dengan mudah dan sayembara ini tidak perlu diadakan. Karena sudah jelas siapa sesungguhnya yang dikehendaki oleh Pangeran Zhu Di.
Pandangan mata Kaisar Ming tertuju pada putra keempatnya yang terlihat berbinar-binar. Dan respon yang tampak dari wajah pangeran kecilnya itu dengan sendirinya semakin menguatkan apa yang baru saja disimpulkannya tentang keadaan yang sesungguhnya terjadi. Sambil menghela nafas, Kaisar Ming memalingkan wajahnya, menatap keseluruh penjuru taman di mana semua orang terlihat begitu tegang menanti apa yang akan segera terjadi. Pandangan mata Sang Kaisar menyapu satu demi satu wajah juru masak yang ikut sayembara hingga, ketika ia sampai pada wajah Juru Masak Jiu Zhong, terkejutlah Sang Kaisar. Seketika, pandangannya kembali teralih ke arah Pelayan Chen dan kemudian kembali pada Juru Masak Jiu yang terlihat berdiri dengan gelisah. Dan satu lagi hal yang dimengerti oleh Sang Kaisar Ming. Bahwa sebuah masalah akan segera terjadi. Meski jarak antara rumah panggung dengan tempat di mana Juru Masak Jiu Zhong yang telah diangkatnya sebagai Kepala Dapur Istana yang baru terpaut cukup jauh, namun, dengan jelas ia dapat melihat sinar mata yang memancarkan rasa persaingan di mata juru masak dari rumah Perdana Menteri Hu Weiyong tersebut. Dan Kaisar Ming tidak mengerti, mengapa seorang juru masak yang terkenal dengan kehebatannya dalam memasak itu justru terlihat seolah baru saja menemukan lawan yang sesungguhnya. Pada diri seorang pelayan anak-anak yang kurus dan sama sekali tak dikenal oleh siapapun selain dalam lingkungan keluarga Xu tempatnya bernaung. Hal yang tak pernah terlihat sebelumnya. 
“Yang Mulia Pangeran” terdengar suara Chen berkata sementara Kasim Anta mengambil sepotong makanan berbentuk kuncup Bunga Lotus dari dalam mangkuk besar. “Hamba  memasak dua jenis hidangan dan satu jenis minuman untuk Yang Mulia Pangeran. Hidangan pertama adalah…”
“Berikan padaku” potong Pangeran Zhu Di cepat sambil merebut mangkuk kecil dari tangan Kasim Anta diiringi sebuah lirikan tajam ke arah kasimnya tersebut. “Kau ini kenapa lambat sekali? Apa tidak bisa lebih cepat?!”.
Kasim Anta terkejut, demikian pula Chen, Permaisuri Ma, tiga pangeran yang duduk tak jauh dari Pangeran Zhu Di, Kaisar Ming dan semua orang yang hadir di seluruh taman. Juru Masak Jiu Zhong merasakan dadanya berdesir membuat sepasang tangannya terkepal kuat tanpa disadarinya. Jawaban yang sangat jelas telah diberikan oleh Pangeran Zhu Di. Bukan dengan kalimatnya sebagaimana yang diberikan oleh pangeran kecil itu pada masakan yang dihidangkannya sesaat lalu, namun dengan ekspresinya yang terlihat jelas, sangat jujur dan tak terbantahkan yang justru terdengar lebih lantang dari kalimat yang diucapkan dengan keras. Sepasang mata Juru Masak Jiu Zhong menyipit sambil menatap ke arah Xiao Chen. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Ia telah ditunjuk sebagai Kepala Dapur Istana yang baru setelah Pangeran Zhu Di menunjuknya sebagai pemenang. Dan baik Kaisar Ming maupun Pangeran Zhu Di telah berjanji tidak akan mengalihkan kemenangan yang telah diberikan untuknya pada Pelayan Chen jika anak tersebut berhasil mengembalikan selera makan Sang Pangeran Keempat, namun entah mengapa, melihat reaksi Pangeran Zhu Di yang demikian jelas itu, Juru Masak Jiu merasa sungguh tidak nyaman. Seolah-olah, pemenang sayembara yang sebenarnya bukanlah dirinya melainkan pelayan bernama Xiao Chen itu.
“Pangeran?” bisik Chen sambil menatap Pangeran Zhu Di yang tengah sibuk mengambil potongan-potongan kuncup Bunga Lotus dari dalam mangkuk lalu melahapnya dengan cepat. “Makanlah perlahan-lahan agar tidak tersedak”
“Adik Chen, apa kau tidak tahu betapa laparnya aku?” jawab Pangeran Zhu Di balas berbisik dengan mulut penuh. Sepasang matanya yang jernih terlihat sedikit membelalak.
“Yang Mulia Pangeran, jangan terlalu diperlihatkan, saat ini banyak menteri yang tengah menatap ke arah Yang Mulia Pangeran Zhu Di” bisik Kasim Anta sambil mencondongkan tubuhnya ke arah Pangeran Keempat.
“Ssst!...diam kau!” bentak Pangeran Zhu Di, masih dengan bisiknya membuat sang kasim yang setia itu tergagap dan segera kembali pada posisinya, duduk dengan kepala tertunduk. Kini, giliran Pangeran Zhu Di yang mencondongkan tubuhnya ke arah Kasim Anta. “Setelah acara ini selesai kau harus benar-benar memberikan kakimu padaku. Kau dengar?!”
“Ya Yang Mulia. Hamba akan memberikan kedua kaki hamba pada Yang Mulia Pangeran Zhu Di setelah acara ini selesai” jawab Kasim Anta mengangguk dengan ekspresi pasrah.
Xiao Chen menatap Pangeran Zhu Di. Ada rasa geli terselip di hatinya melihat percakapan di antara Pangeran Keempat dengan pelayannya. Meskipun seolah Pangeran Zhu Di tampak marah pada kasimnya, namun dalam pandangan Chen, apa yang terlihat justru sebaliknya, yaitu sebuah ikatan kasih sayang yang kuat antara tuan dengan pelayannya.
Sementara Pangeran Zhu Di masih terus melahap hidangan di depannya. Kini ia telah merambah pada nasi yang semula dimasak oleh Chen dalam bambu dan dihidangkan dalam potongan-potongan tipis berbentuk bulat. Nasi tersebut masih mengepulkan uap hangat dengan aroma khas daging sapi, bercampur keharuman rempah yang lembut.
“Nasi ini enak sekali. Aku merasa seperti sedang memakan potongan daging yang sangat lembut dan manis dalam mulutku” ujar Pangeran Zhu Di, kali ini tanpa berbisik membuat semua orang di taman belakang dapur istana itu dapat mendengar suaranya dengan jelas.
Dengung suara bisik kembali terdengar. Berbagai reaksi terlihat dari wajah-wajah yang menunggu dengan ketegangan yang nyata. Permaisuri Ma tersenyum bahagia, lebih terlihat bahagia saat ia melihat bagaimana pangeran kecil yang sangat disayanginya makan dengan begitu lahap. Kaisar Ming mengangguk-angguk dengan wajah puas. Perdana Menteri Hu Weiyong menghela nafas. Pandangannya beralih pada juru masaknya. Sepasang bibirnya mengurai senyum. Baginya, tidak masalah jika pelayan kecil bernama Chen tersebut bisa memenangkan sayembara dan berhasil mengembalikan selera makan Sang Pangeran karena yang terpenting baginya, hadiah yang dijanjikan oleh Kaisar telah berada di pundak juru masaknya dan itu berarti, dapur istana telah berada dalam genggaman tangannya. Karena itu, dengan wajah cerah, Perdana Menteri Hu Weiyong segera bertepuk tangan yang membuat para menteri dan pejabat lain menoleh ke arahnya.
“Terpujilah seluruh Dewa dan Dewi di langit dan di bumi” seru Perdana Menteri Hu Weiyong sambil menjatuhkan diri berlutut ke arah Kaisar Ming. “Sungguh sangat membahagiakan melihat Yang Mulia Pangeran Keempat telah sembuh dari sakit dan menyantap hidangan dengan lahap. Semoga Yang Mulia Kaisar, Yang Mulia Permaisuri, yang Mulia Pangeran Zhu Di, Yang Mulia Pangeran Zhu Biao, Yang Mulia Pangeran Zhu Gang, Yang Mulia Pangeran Zhu Shuang dan seluruh keluarga Kaisar diberkati dengan umur panjang dan kesehatan selamanya”
Kata-kata Perdana Menteri Hu Weiyong segera mendapat sambutan dari seluruh menteri dan pejabat yang hadir. Serempak, seluruh pejabat, termasuk Jenderal Xu Da bangkit dari duduk mereka dan berlutut ke arah panggung.
“Semoga Yang Mulia Kaisar dan seluruh keluarga diberkati selamanya” sahut seluruh pejabat kerajaan menyambut kata-kata Perdana Menteri Hu Weiyong.
Sahutan serupa juga terdengar di seluruh penjuru taman yang berasal dari para juru masak yang mengikuti sayembara dan turut berlutut ke arah Sang Kaisar.
Kaisar Ming mengangguk-angguk dengan ekspresi gembira. Senyum cerah tersungging di bibirnya. Satu tangannya terangkat ke arah para pejabat istana dan para juru masak yang berlutut memberi hormat.
“Terima kasih atas doa kalian padaku dan keluargaku. Dan seperti yang kalian semua lihat sendiri, bahwa Pelayan Chen telah berhasil menyembuhkan putraku Pangeran Zhu Di. Karena itu, sesuai dengan apa yang telah aku katakan sebelumnya, maka hadiah untuk Pelayan Chen akan diberikan secara langsung oleh putraku Pangeran Zhu Di. Nah…Zhu Di, hadiah apa yang akan kau berikan pada Pelayan Chen yang telah memberikan kesembuhan padamu?” tanya Kaisar Ming pada Pangeran Keempat setelah menerima penghormatan para pejabat istana dan seluruh juru masak.
Pangeran Zhu Di sedikit terkejut namun segera tersenyum. Mangkuknya telah kosong dan diletakkan kembali ke atas nampan oleh Kasim Anta. Sejenak pandangannya tertuju ke arah Chen yang duduk dengan kepala menunduk di depannya sebelum kemudian, sebuah lirikan terlempar ke arah Changyi yang duduk dengan gelisah. Ia dapat melihat kepala sahabatnya yang terus tertunduk selama Chen memasak hingga akhirnya ia selesai menyantap seluruh hidangan di depannya. Hanya sekali ia melihat Changyi mengangkat wajahnya dan menatap ke arah dirinya dan Chen. Namun meski hanya sekali dan sekejab, tapi sudah cukup baginya untuk dapat membaca kesedihan yang tersimpan di hati sahabatnya itu. Kesedihan yang memancar dari sorot mata Changyi. Sungguh, ia tak membutuhkan kalimat lebih untuk bisa mengerti karena apa yang terbaca dari sepasang mata sahabatnya itu telah mewakili seluruh kalimat yang tak terucapkan oleh bibirnya yang mengatup dengan rapat. Sesaat Pangeran Zhu Di menghela nafas, lalu, pandangannya teralih dari wajah Changyi pada Sang Kaisar yang tengah menunggu jawabannya.
“Ya Yang Mulia, hamba telah menentukan hadiah yang akan hamba berikan pada Pelayan Chen atas jasanya menyembuhkan hamba” jawab Pangeran Zhu Di sambil mengangguk. Senyumnya mengembang sementara kalimatnya yang terucapkan dalam bahasa formal terdengar menggema hingga ke sudut-sudut taman.
“Bagus, sekarang katakan apa hadiah yang akan kau berikan pada Pelayan Chen” kata Kaisar Ming begitu mendengar jawaban Pangeran Zhu Di.
“Hadiah yang akan hamba berikan adalah memberikan kesempatan pada Pelayan Chen untuk menjalani pelatihan prajurit bersama dengan hamba di sekolah prajurit khusus, tinggal dalam satu kamar dengan hamba dan Kakak Xu Changyi di barak calon prajurit dan belajar bersama-sama” jawab Pangeran Zhu Di dengan suara yang lantang membuat semua orang kembali terkejut tak terkecuali Chen dan Changyi.
Changyi mengangkat wajahnya dan menatap Pangeran Zhu Di. Alisnya berkerut setelah mendengar jawaban yang keluar dari mulut sang pangeran.
“Adik Zhu Di” desis Changyi berbisik. Hatinya bergetar saat ia menangkap maksud dari hadiah yang diberikan oleh Pangeran Zhu Di pada Chen. Dan hal itu justru terasa semakin menyudutkan hatinya pada tubir kesedihan. Pangeran Keempat menangkap kekalutan hatinya. Sang Pangeran juga mengerti apa akibat yang akan timbul jika Chen memenangkan sayembara pada kehidupannya dan Chen selanjutnya. Pangeran Zhu Di memahami semuanya meski ia tak mengatakannya. Hati Changyi terasa seperti diremas. 
Sementara Chen yang masih duduk di depan Pangeran Keempat bahkan mencondongkan tubuhnya ke depan. Sepasang matanya melebar dengan ekspresi tidak percaya.
“Yang Mulia? Kenapa Yang Mulia memberikan hadiah seperti itu?” bisik Chen pada Pangeran Zhu Di.
Pangeran Zhu Di menatap Chen sesaat dan tersenyum namun tak ada jawaban yang keluar dari mulutnya. Pandangannya kemudian justru teralih pada Kaisar Ming.
“Apakah Yang Mulia menyetujui hadiah yang telah hamba pilih ini?” tanya Pangeran Zhu Di pada ayahnya yang terlihat masih tertegun.
Kaisar Ming menghela nafas. Terlihat sedikit ragu sebelum kemudian membuka suara.
“Dengar Zhu Di, apa yang kau inginkan itu sungguh suatu hal yang baik. Namun, kau harus mengerti bahwa segala sesuatu di istana dan juga di kerajaan ini telah ditata dalam aturan-aturan yang harus dipatuhi oleh siapapun tanpa kecuali. Termasuk olehmu. Mengenai sekolah untuk calon prajurit khusus aku telah memberikan wewenang pada Kementerian Pertahanan karena itu sudah seharusnya jika kau meminta persetujuan dari Jenderal Lan Yu karena dialah yang bertanggungjawab terhadap seluruh kegiatan di sekolah calon prajurit khusus. Karena itu, setelah sayembara ini selesai, aku akan membicarakan mengenai hadiah yang ingin kau berikan pada Pelayan Chen itu. Dan kuharap, apapun keputusan yang akan diambil nanti, kau akan menghormatinya. Apakah kau mengerti Zhu Di?” sahut Kaisar Ming panjang lebar menjawab pertanyaan putranya.
Beberapa menteri dan pejabat kerajaan terlihat mengangguk-angguk setuju dengan jawaban yang diberikan oleh Kaisar Ming. Sementara Pangeran Zhu Di terdiam. Sesaat masih menatap Sang Kaisar sebelum kemudian menunduk. Ia sudah menduganya. Ayahnya adalah seorang yang sangat menghargai sebuah peraturan bahkan meskipun peraturan itu Sang Kaisar sendiri yang membuatnya. Tetapi, apalagi yang bisa dilakukannya untuk menghilangkan kesedihan di wajah sahabatnya di bawah sana? Sesungguhnya, hal yang membuat Pangeran Zhu Di memutuskan hadiahnya adalah saat ia mengerti makna kesedihan yang dengan jelas dapat ditangkapnya di wajah Changyi.
Sementara itu, Jenderal Xu Da terlihat melirik ke arah Jenderal Lan Yu dan menangkap kerut di wajah perwira tinggi yang tak pernah sejalan dengannya itu. Ia tidak tahu alasan di balik hadiah yang dipilih oleh Pangeran Zhu Di untuk Chen, namun apapun alasan itu, Jenderal Xu Da mengerti bahwa Sang Pangeran Keempat yang sangat cerdas itu sedang berusaha melakukan sesuatu yang dianggapnya baik bukan hanya bagi dirinya sendiri namun juga bagi satu-satunya sahabat terdekatnya. Dan menilik wajah Jenderal Lan Yu yang mengeruh saat mendengar Pangeran Zhu Di menyebutkan hadiahnya untuk Chen, nampaknya apa yang menjadi keinginan Sang Pangeran kesayangan seluruh penghuni istana itu tak akan bisa dengan mudah terwujud.
“Hamba mengerti Yang Mulia” jawab Pangeran Zhu Di kemudian. Kepalanya mengangguk. “Dan hamba akan mematuhi apapun keputusan yang diambil nantinya”.
Kaisar Ming Tai Zhu mengangguk-angguk senang. Pandangannya beralih ke arah seluruh pejabat istana dan juru masak yang memenuhi ruang taman sebelum kemudian berseru. “Bagus, jika begitu, maka sayembara ini kunyatakan selesai. Kalian semua, kembalilah pada tugas masing-masing dan aku ingin, semua orang menerima dan menghormati hasil dari sayembara ini”.
**********