Semua orang di taman
belakang dapur istana memperhatikan Chen dengan rasa ingin tahu yang sama.
Keingintahuan yang bergumpal menjadi bermacam tanya yang sama pula.
Bisakah anak bernama
Chen itu memasak? Apakah yang akan dimasaknya? Apakah Pangeran Keempat akan
menyukai masakan anak itu? hadiah apa yang akan diberikan oleh Pangeran Keempat
pada pelayan kecil itu andai ia bisa membuat selera makan Pangeran Keempat
kembali?
Setiap jantung yang
berdetak di taman itu menanti dengan ketegangan yang sama. Berpuluh pasang mata
yang menatap nyaris tak berkedip mengawasi setiap gerak tubuh Chen. Kecuali
sepasang mata Changyi yang menatap sosok adiknya dengan airmata yang kini jelas
menggantung di pelupuknya. Bahkan kemudian, dua butir airmata jatuh dengan
cepat yang segera dihapus oleh gerak sekilas tangan kanan Changyi.
Tak ada hal apapun
yang dicemaskan oleh Changyi jika hal itu tentang masakan Chen. Satu-satunya
kecemasan yang terasa sangat berat menggayuti benaknya hanyalah tentang
bagaimana kehidupan adiknya itu setelah sayembara ini selesai. Bagaimana mereka
mesti menjalani hari-hari dalam status yang sama sekali berbeda bukan lagi
sebagai kakak dan adik melainkan sebagai tuan dan pelayan?.
Sementara itu Chen
dengan sigap mengeluarkan sesuatu dari dalam buntalan kecil yang diikatkan di
pinggangnya. Ia telah selesai mencuci beras dan kini, beras yang putih itu
ditempatkannya dalam sebuah mangkuk kayu. Satu tungku telah menyala dengan sebuah
periuk berisi daging sapi yang telah disayatnya. Air dalam periuk telah
mendidih menghantarkan aroma sedap air kaldu khas daging sapi. Terdapat aroma
rempah dalam keharuman kaldu tersebut. Rempah yang tidak menyengat dan kekuatan
aromanya justru semakin menegaskan keharuman daging sapi yang tengah mengamuk
di sekitar area taman belakang dapur istana membuat rasa lapar bagaikan gejolak
badai yang memenuhi perut setiap orang di taman tersebut.
Kaisar Ming Tai Zhu
mengerutkan keningnya seraya memperhatikan pelayan kecil yang terlihat sibuk
membuka buntalan kecil yang diambilnya dari ikatan di pinggangnya lalu
mengeluarkan beberapa potong bambu berwarna hijau segar yang telah pula
dipotong dan terlihat bersih. Kerut di alis Sang Kaisar semakin dalam saat ia
melihat Chen mengambil beberapa kuntum bunga berwarna putih kekuningan yang
sangat indah dari dalam buntalan kainnya dan kemudian menyatukan beberapa
kuntum bunga tersebut menjadi satu dan menggunakannya sebagai penutup pada
salah satu ujung bambu. Hal sama ia lakukan pada potongan bambu-bambu yang lain.
Semua orang melihat Chen menutup ujung bambu dengan kuntum-kuntum bunga
berwarna kuning lembut tersebut. Banyak dari mereka yang tidak mengerti mengapa
pelayan kecil yang bernama Xiao Chen itu menyumpal salah satu ujung bambu
dengan kuntum-kuntum bunga yang sangat cantik itu. Suara tawa sekilas terdengar
meningkahi dengung bisik yang kembali mengalir memenuhi udara, untuk kesekian
kalinya. Sesekali, kalimat-kalimat bernada ejekan ataupun justru seruan heran
naik ke udara dan terbang dibawa oleh angin.
Kecuali sepasang mata
yang terlihat menyipit saat melihat Chen mulai menyatukan kuntum-kuntum bunga
kuning dan menggunakannya sebagai tutup salah satu ujung bambu.
“Anak cerdik” desis
Juru Masak Jiu Zhong sambil menatap Chen lekat-lekat. Apa yang semula diduganya
seketika gugur saat ia mulai bisa menebak masakan apa yang akan dibuat oleh
pelayan kecil Xiao Chen.
“Cerdik? Apa maksudmu
Saudara Jiu?” tanya Juru Masak Wang yang kebetulan berdiri di sisi Juru Masak
Jiu Zhong. Kini, semua juru masak yang telah mengikuti sayembara kembali
berdiri di tempat semula sebelum sayembara di mulai yaitu di sisi luar taman,
tepat di bawah atap beranda.
“Anak itu menggunakan
Bunga Ba Jiao sebagai penutup bambu. Itulah kecerdikannya” sahut Juru Masak jiu
Zhong sambil berbisik.
“Daun…Ba Jiao?” tanya
Juru Masak Wang dengan alis berkerut.
“Bunga Ba Jiao. Kau
belum pernah mendengar tentang pohon Ba Jiao itu Saudara Wang?” Juru Masak Jiu
Zhong berbalik bertanya sambil melirik ke arah juru masak di sisinya sekilas.
Juru Masak Wang
menggeleng, nyaris tanpa sadar.
“Ya..tapi, aku tidak
mengerti” sahutnya kemudian. “Aku tahu tentang Pohon Ba Jiao, tapi aku
benar-benar tak mengerti bagaimana bunga dari tanaman itu bisa disatukan dengan
bahan makanan yang akan di masak”.
Sudut bibir Juru
Masak Jiu Zhong tertarik ke samping menunjukkan seulas senyum tipis.
“Akupun belum lama
mengetahuinya Saudara Wang. Aku hanya pernah membaca dalam kitab pengobatan
tentang jenis-jenis tanaman yang berkhasiat sebagai obat dan juga dapat
digunakan sebagai bumbu. Salah satunya adalah tanaman Ba Jiao. Aku pernah
mencoba menggunakan bagian-bagian dari tanaman tersebut, tapi belum menemukan
takaran dan jenis masakan yang pas dengan Ba Jiao” sahut Juru Masak Jiu Zhong.
Juru Masak Wang
memicingkan sepasang matanya. Terlihat sedikit semburat rasa iri dalam kilat
yang keluar saat ia kembali menatap pelayan Chen. Anak itu kini tengah
memasukkan beras yang telah di cuci bersih ke dalam bambu dengan menggunakan
sebuah sendok kayu.
“Lalu, bagaimana anak
itu bisa mengetahui tentang tanaman Ba Jiao?” tanya Juru Masak Wang nyaris
ditujukan pada dirinya sendiri.
Juru Masak Jiu Zhong
menoleh sekilas ke arah juru masak di sampingnya.
“Aku juga tidak tahu.
Mungkin saja ia mengetahui tentang Ba Jiao dari kedua orangtuanya. Bukankah ia
mengatakan bahwa orangtuanya adalah juga pelayan di keluarga Tuan Muda Xu
sebelum menjadi putra angkat Jenderal Xu Da? Hanya itu penjelasan yang masuk
akal buatku” jawab Juru Masak Jiu Zhong.
“Tetapi, hal itu sekaligus
menunjukkan bahwa siapapun orangtua anak bernama Chen itu, mereka pastilah juru
masak yang hebat” gumam Juru Masak Wang.
Juru Masak Jiu tak
menjawab, namun sebuah anggukan jelas terlihat saat ia mendengar kalimat juru
masak di sisinya.
Sementara itu, Chen
yang telah selesai mengisi potongan bambu dengan beras segera menutup ujung
bambu yang masih terbuka. Lagi-lagi dengan kuntum-kuntum bunga Ba Jiao.
Kemudian, ketika ia telah selesai dengan bambu-bambunya, dengan gesit Chen
segera mengambil sebuah periuk keramik yang cukup besar, menuangkan air kaldu dari
daging sapi ke dalam periuk keramik dan menempatkan periuk tersebut ke atas
tungku menyala. Kemudian, satu demi satu bambu berisi beras dimasukkan ke dalam
periuk yang berisi air kaldu dan menutup periuk keramik tersebut dengan tutupnya.
Selanjutnya, seolah
tanpa menunggu jeda waktu hingga beras dalam bambu menjadi matang, Chen kembali
bergerak. Kali ini tangannya mengambil sebuah sumpit besar dari bambu yang
terlihat licin. Nampaknya, sumpit itu telah biasa digunakan hingga mengubah
warna aslinya menjadi hitam berkilat. Dengan sumpit besar yang ada di
tangannya, Chen mulai mengambil beberapa potong daging sapi. Kemudian dengan
gerak gesit, Chen mencacah daging tersebut menggunakan pisau besar di atas
sebuah talenan kayu yang tebal. Suara ketukan yang ritmis dan berirama cepat
terdengar nyaring saat mata pisau yang tajam dan besar menyentuh permukaan
talenan kayu dengan tekanan yang kuat. Suara yang terdengar seperti sebuah
mantra sihir dan melenyapkan dengung bisik dan tawa yang sesaat lalu terdengar
membubung di udara. Kini, area taman itu menjadi sunyi. Sementara tangan Chen
seperti tak henti bergerak. Daging sapi yang telah menjadi lembut
dipindahkannya ke dalam sebuah mangkuk porselin dan kini, giliran tunas bambu
yang tercacah dibawah kelebat pisau besar di tangannya. Tunas bambu yang muda
dan berwarna putih itu segera pula menjadi potongan berbentuk tipis dan lembut.
Berbeda dengan daging yang telah dicacah dan ditempatkan dalam mangkuk, Chen
mengambil sebuah mangkuk yang berukuran cukup besar, mengisinya dengan air
kemudian menaburkan sedikit garam ke dalam mangkuk dan memasukkan potongan
tunas bambu ke dalamnya. Selanjutnya, mangkuk berisi potongan tunas bambu muda tersebut diletakkan dalam sebuah periuk
yang telah berada di atas tungku, bersebelahan dengan periuk yang digunakan
untuk memasak beras dalam bambu.
Dan semua yang
dikerjakan oleh Chen sedikitpun tak lepas dari pengamatan Juru Masak Jiu Zhong.
Bahkan kemudian, sang juru masak yang sangat terkenal itu tak lagi mempedulikan
sekitarnya maupun pertanyaan-pertanyaan dari Juru Masak Wang di sebelahnya.
Alisnya berkerut dalam saat ia melihat Chen memasukkan potongan tunas bambu
dalam periuk dan memasaknya.
“Kenapa ia memasak
rebung itu? Jika ia memang hendak mencampurnya dengan daging yang telah
dicincang, mestinya ia bisa langsung melakukannya. Dan itu akan membuat rasa
rebung menjadi lebih lezat” gumam Juru Masak Jiu Zhong pelan.
Juru Masak Wang yang
mendengar gumaman Juru Masak Jiu Zhong seketika menoleh ke arah lelaki
berpakaian rapi di sebelahnya.
“Aku juga berpikir
begitu Saudara Jiu. Kenapa rebung itu harus direbus lebih dulu? Setahuku, rebung
itu akan lebih enak bila digunakan dalam keadaan segar” sahut Juru Masak Wang.
Sebuah senyum mendadak terlukis di bibirnya yang sedikit tebal. “Atau mungkin
anak itu belum tahu bagaimana cara memasak rebung? Mungkin itulah yang telah ia
pelajari dari orangtuanya”.
“Tidak” sahut Juru
Masak Jiu Zhong cepat. “Anak itu tahu apa yang dilakukannya”.
Juru Masak Wang
mengerutkan alisnya mendengar sanggahan dari Juru Masak Jiu Zong. Pandangannya
kembali ke depan, pada Chen yang terlihat mengambil mangkuk berisi potongan
tunas bambu dari dalam periuk lalu memindahkan potongan-potongan tunas bambu
yang kini terlihat berubah warna menjadi putih agak gelap ke dalam mangkuk lain
yang lebih bersih. Hal yang kemudian dilakukan oleh Pelayan Chen adalah
mengambil semangkuk tepung berwarna putih, mencampurnya dengan sedikit air dan
mulai mengaduknya menggunakan sebuah sendok kayu hingga beberapa saat.
Tampaknya, adonan tepung dan air itu cukup berat untuk terus diaduk dengan
sendok kayu karena Chen kemudian melepaskan sendok kayunya dan mengambil adonan
tepung dari dalam mangkuk, meletakkannya di atas nampan bersih dan melanjutkan
mengadon tepung tersebut dengan tangannya sendiri hingga menjadi kalis.
“Kenapa anak itu
menutup adonan tepung itu dengan kain?” tanya Juru Masak Wang sambil menunjuk
ke arah Chen yang meninggalkan adonan tepung dalam wadah mangkuk dengan sehelai
kain basah menutup rapat di atasnya.
“Agar lebih lembut
saat di masak nantinya” jawab Juru Masak Jiu Zhong.
“Benarkah?” Juru
Masak Wang menoleh ke arah Juru masak Jiu dengan wajah berkerut. “Kupikir
kelembutan adonan tepung ditentukan oleh kehalusan tepung yang dibuat”.
Juru Masak Jiu Zhong
menggelengkan kepalanya. “Kau harus mencobanya lain kali. Menutup adonan tepung
sebelum memasaknya juga akan membuatnya lebih mengembang”.
“Anak itu…kenapa ia
bisa mengetahui hal-hal semacam itu sementara usianya masih begitu muda?” desis
Juru Masak Wang dengan kepala menggeleng-geleng heran.
“Karena itu aku
katakan bahwa anak itu cerdik. Sepertinya, ia memang memiliki kemampuan yang
cukup baik sebagai juru masak” jawab Juru Masak Jiu Zhong.
“Jadi Saudara Li
Xiang benar. Anak itu memang tidak bisa diremehkan” gumam Juru Masak Wang
kemudian.
Juru Masak Jiu Zhong
mendengus pelan, namun kepalanya mengangguk mendengar kalimat Juru Masak Wang
di sisinya.
Waktu terus berjalan.
Matahari telah naik sepenuhnya di atas kepala dan bahkan sesaat lagi, mulai
bergulir ke arah ufuk yang menyeret malam menggantikan terang benderangnya
siang. Chen terus bergerak. Daging sapi cincang telah dicampur dengan potongan
tunas bambu yang telah direbusnya sebentar. Kemudian, anak itu memasukkan
beberapa bahan yang tampaknya merupakan bumbu-bumbu tambahan ke dalam campuran
daging sapi dan rebung muda. Gerakan tangannya yang sangat cepat membuat Juru
Masak Jiu Zhong tak dapat melihat dengan jelas, bumbu apa saja yang dimasukkan
oleh anak itu ke dalam campuran rebung dan daging sapi yang telah dicacahnya. Hanya
saja, ia dapat mencium samar bau pala, kecap, dan jahe di antara bumbu-bumbu
yang diambil oleh Chen. Aroma tersebut terbawa oleh angin semilir yang bertiup
ke arahnya.
Sementara, dengan
cekatan tangan Chen mulai mengambil campuran daging sapi dan rebung muda ke
dalam lembaran adonan tepung yang telah ditipiskannya menggunakan penggiling
kayu dan mulai membentuknya menjadi kuncup-kuncup bunga lotus berukuran kecil.
Semuanya dilakukan Chen menggunakan sepasang sumpit bambu yang bergerak dengan
demikian cepat hingga hanya dalam beberapa saat, kuncup-kuncup bunga lotus telah
tertata rapi di atas sebuah mangkuk datar yang terbuat dari anyaman bambu.
Selanjutnya, anak itu memasukkan mangkuk bambu datar tersebut ke dalam sebuah
periuk pengukus dan menutupnya dengan rapat.
Suara berdengung
terus menguar di udara sekitar area taman belakang dapur istana. Suara yang berasal
dari bisik-bisik semua orang di arena sayembara. Masing-masing terlihat mulai
penasaran terhadap jenis makanan yang tengah dimasak oleh Chen dan tampaknya
telah mendekati tahap akhir terlihat dari kesibukan pelayan kecil dari rumah
panglima tertinggi kerajaan tersebut menata masakannya di atas beberapa mangkok
giok yang indah. Terlebih, udara di atas taman belakang dapur istana itu kini
dipenuhi oleh aroma sedap yang berbeda. Terasa alami, tidak menyengat namun
menggoda rasa lapar di perut yang segera memberontak dengan keras.
Jenderal Xu Da
menatap Chen dengan sorot tenang. Namun, jauh di dalam hati, sang panglima
tertinggi itu mengerti bahwa sayembara yang diadakan hari ini sesungguhnya
hanya memiliki satu orang pemenang saja. Dan itu sudah jelas siapa orangnya.
Alis Sang Jenderal berkerut dalam. Ia bukan tak melihat masalah yang segera
akan menanti jika anak bernama Chen itu telah dipilih oleh Pangeran Zhu Di.
Raut wajah Changyi yang diselimuti mendung telah memberikan petunjuk yang
sangat jelas baginya. Dan ia sangat memahaminya.
“Yang Mulia…pelayan
Chen telah menyelesaikan masakannya!” seru Kasim Liu pada Kaisar Ming.
Sang Kaisar
mengangguk.
“Bagus, suruh anak
itu untuk menyajikannya pada Pangeran Zhu Di dan kita akan melihat hasilnya”
jawab Kaisar Ming kemudian.
Suara berbisik
sedikit bergema saat mendengar perintah dari Kaisar Ming. Inilah saatnya. Babak
yang akan menentukan apakah pelayan kecil bernama Chen itu bisa membuat
Pangeran Zhu Di menyantap hidangan yang dimasaknya. Juru Masak Jiu Zhong menghela
nafas. Pandangannya lurus menatap ke arah Chen sementara pelayan kecil itu
telah mulai melangkah ke arah rumah panggung di mana Pangeran Zhu Di menunggu
dengan sepasang mata berbinar-binar. Tak ada Kepala Dayang Song yang menyertai
Chen saat anak itu melangkah ke rumah panggung sebagaimana yang terjadi pada
juru masak-juru masak sebelumnya. Namun, entah kenapa, perbedaan kecil itu
justru membuat hati Juru Masak Jiu membisikkan sesuatu. Terlihat jelas
ketegangan di wajah Juru Masak Jiu. Sungguh, ia bukanlah seorang peramal.
Namun, hatinya berbisik bahwa anak dengan penampilan yang sangat sederhana dan
terlihat rapuh itu akan menjadi seseorang yang banyak terlibat dalam
kehidupannya. Dalam arti yang tidak disukainya.
Sementara itu, semua
mata mengikuti gerak Chen yang telah sampai di hadapan Pangeran Zhu Di dan
meletakkan nampan yang dibawanya sebelum kemudian melakukan sujud pada sang
pangeran. Tak terkecuali sepasang mata Changyi, yang menyadari bahwa perjalanan
takdir telah dimulai. Takdir yang akan memisahkan antara dirinya dengan Chen,
dalam jalur yang berbeda. Begitu dekat di hatinya, namun akan sangat jauh dalam
pandangan matanya. Seperti bulan yang bulat sempurna di langit.
Beberapa menteri
seolah tanpa sadar menggeser posisi duduk mereka hingga mencondong ke arah
rumah panggung sambil masing-masing mempertajam pendengaran telinga. Menanti
dengan tegang hal selanjutnya yang akan terjadi saat mereka melihat Chen telah
mengangkat nampannya dan meletakkannya di atas meja di hadapan Pangeran Zhu Di.
“Silahkan Yang Mulia”
terdengar suara Chen mempersilahkan Pangeran Zhu Di sambil mengangsurkan
sepasang sumpit ke depan sang pangeran. Kasim Anta mengambil sebuah mangkuk
kecil kosong lalu membuka tutup mangkuk besar dan mulai hendak mengisinya sementara
Chen menjelaskan satu demi satu makanan yang dimasaknya. Aroma masakan
membubung dari dalam mangkuk yang dibuka oleh Kasim Anta, memenuhi seluruh
ruangan dalam rumah panggung membuat Kaisar Ming, Permaisuri Ma dan tiga
pangeran lain dapat menghirupnya pada saat yang sama dengan Pangeran Zhu Di.
Itu bukan aroma lezat seperti yang sebelumnya mereka hirup dari masakan Juru
Masak Jiu Zhong. Aroma yang keluar dari masakan anak bernama Chen itu terasa
lebih lembut, terkesan sedap bukan lezat membuat Kaisar Ming membayangkan
masakan khas pedesaan yang merupakan sebuah tradisi. Menghirup aroma makanan
yang menguap dari dalam mangkuk yang terbuka tutupnya itu membawa kenangan Sang
Kaisar melayang pada kehidupan masa kecilnya. Bukan kehidupan masa kecil saat
kelaparan dalam kemiskinan membuat keluarganya nyaris musnah namun kehidupan
masa kecil saat ia belum tahu tentang arti kesulitan hidup. Saat ia hanya
mengerti kegembiraan, bermain di tepi sungai kecil dengan airnya yang
bergemericik, ikan-ikan kecil berenang menyapa ujung-ujung kakinya yang
telanjang, sementara suara angin mendesah dalam bisik-bisik halus di antara
helai daun-daun bambu. Kehangatan sinar matahari menyapa permukaan kulit
wajahnya memberikan rasa damai yang membahagiakan.
Kaisar Ming Tai Zhu
menoleh ke arah Chen dan menatap anak tersebut. Tak ada yang tahu, berubahnya
kilau di mata Sang Kaisar yang melembut saat aroma masakan yang dibawa oleh
pelayan bertubuh kurus itu telah menyentuh kenangan terindah di hati Penguasa
Tertinggi Kerajaan Ming. Sinar mata yang lembut yang tak pernah lagi terlihat
sebelumnya di mata Sang Kaisar Hongwu setelah tempaan peperangan dan berbagai
kesulitan membuat secuil kebahagiaan masa kecilnya terkubur dalam-dalam jauh di
dasar hati yang nyaris mustahil untuk digali. Namun kini, kenangan indah yang
sangat jauh terpendam itu telah muncul kembali. Dan keajaiban itu dibawa oleh
anak kecil yang kini tengah duduk bersimpuh di depan putra keempatnya.
Mendadak Kaisar Ming
Tai Zhu mengerti. Meski tanpa penjelasan yang keluar dari mulut Pangeran Zhu
Di, ia kini mengerti makna kegelisahan Sang Pangeran Keempat saat menanyakan
kehadiran Jenderal Xu Da dalam sayembara. Bukan Xu Changyi yang sesungguhnya
ditunggu oleh putra kecilnya melainkan pelayan dari keluarga Xu-lah yang sesungguhnya
sedang dinanti. Dan melihat persahabatan di antara Pangeran Zhu Di dengan Xu
Changyi, maka adalah sangat masuk akal jika Sang Pangeran Keempat dengan
sendirinya mengenal pelayan kecil itu dan bahkan mencicipi masakannya. Dan
mungkin saja, Sang Pangeran Keempat jatuh hati pada masakan pelayan kecil dari
rumah Keluarga Xu namun terlalu takut untuk berterus terang padanya sehingga
membuat putra keempatnya menolak seluruh masakan yang dihidangkan oleh juru
masak istana. Seulas senyum lebar tersungging di bibir Kaisar Ming. Jika hanya
seperti itu, seharusnya Pangeran Zhu Di tak perlu menyembunyikannya. Jika saja
Pangeran Keempat berterus terang, maka ia akan mengambil pelayan kecil itu dan
menempatkannya di istana Pangeran Zhu Di. Kaisar Ming yakin bahwa Jenderal Xu
Da pasti akan mengijinkannya, bukan karena kedudukannya sebagai kaisar
melainkan karena persahabatan mereka yang telah begitu dalam. Kemudian, masalah
sakitnya Pangeran Zhu Di akan selesai dengan mudah dan sayembara ini tidak
perlu diadakan. Karena sudah jelas siapa sesungguhnya yang dikehendaki oleh
Pangeran Zhu Di.
Pandangan mata Kaisar
Ming tertuju pada putra keempatnya yang terlihat berbinar-binar. Dan respon
yang tampak dari wajah pangeran kecilnya itu dengan sendirinya semakin
menguatkan apa yang baru saja disimpulkannya tentang keadaan yang sesungguhnya
terjadi. Sambil menghela nafas, Kaisar Ming memalingkan wajahnya, menatap
keseluruh penjuru taman di mana semua orang terlihat begitu tegang menanti apa
yang akan segera terjadi. Pandangan mata Sang Kaisar menyapu satu demi satu
wajah juru masak yang ikut sayembara hingga, ketika ia sampai pada wajah Juru
Masak Jiu Zhong, terkejutlah Sang Kaisar. Seketika, pandangannya kembali
teralih ke arah Pelayan Chen dan kemudian kembali pada Juru Masak Jiu yang
terlihat berdiri dengan gelisah. Dan satu lagi hal yang dimengerti oleh Sang
Kaisar Ming. Bahwa sebuah masalah akan segera terjadi. Meski jarak antara rumah
panggung dengan tempat di mana Juru Masak Jiu Zhong yang telah diangkatnya
sebagai Kepala Dapur Istana yang baru terpaut cukup jauh, namun, dengan jelas
ia dapat melihat sinar mata yang memancarkan rasa persaingan di mata juru masak
dari rumah Perdana Menteri Hu Weiyong tersebut. Dan Kaisar Ming tidak mengerti,
mengapa seorang juru masak yang terkenal dengan kehebatannya dalam memasak itu
justru terlihat seolah baru saja menemukan lawan yang sesungguhnya. Pada diri
seorang pelayan anak-anak yang kurus dan sama sekali tak dikenal oleh siapapun
selain dalam lingkungan keluarga Xu tempatnya bernaung. Hal yang tak pernah
terlihat sebelumnya.
“Yang Mulia Pangeran”
terdengar suara Chen berkata sementara Kasim Anta mengambil sepotong makanan
berbentuk kuncup Bunga Lotus dari dalam mangkuk besar. “Hamba memasak dua jenis hidangan dan satu jenis
minuman untuk Yang Mulia Pangeran. Hidangan pertama adalah…”
“Berikan padaku”
potong Pangeran Zhu Di cepat sambil merebut mangkuk kecil dari tangan Kasim
Anta diiringi sebuah lirikan tajam ke arah kasimnya tersebut. “Kau ini kenapa
lambat sekali? Apa tidak bisa lebih cepat?!”.
Kasim Anta terkejut,
demikian pula Chen, Permaisuri Ma, tiga pangeran yang duduk tak jauh dari
Pangeran Zhu Di, Kaisar Ming dan semua orang yang hadir di seluruh taman. Juru
Masak Jiu Zhong merasakan dadanya berdesir membuat sepasang tangannya terkepal
kuat tanpa disadarinya. Jawaban yang sangat jelas telah diberikan oleh Pangeran
Zhu Di. Bukan dengan kalimatnya sebagaimana yang diberikan oleh pangeran kecil
itu pada masakan yang dihidangkannya sesaat lalu, namun dengan ekspresinya yang
terlihat jelas, sangat jujur dan tak terbantahkan yang justru terdengar lebih
lantang dari kalimat yang diucapkan dengan keras. Sepasang mata Juru Masak Jiu
Zhong menyipit sambil menatap ke arah Xiao Chen. Apa yang akan terjadi
selanjutnya? Ia telah ditunjuk sebagai Kepala Dapur Istana yang baru setelah
Pangeran Zhu Di menunjuknya sebagai pemenang. Dan baik Kaisar Ming maupun
Pangeran Zhu Di telah berjanji tidak akan mengalihkan kemenangan yang telah
diberikan untuknya pada Pelayan Chen jika anak tersebut berhasil mengembalikan
selera makan Sang Pangeran Keempat, namun entah mengapa, melihat reaksi
Pangeran Zhu Di yang demikian jelas itu, Juru Masak Jiu merasa sungguh tidak
nyaman. Seolah-olah, pemenang sayembara yang sebenarnya bukanlah dirinya melainkan
pelayan bernama Xiao Chen itu.
“Pangeran?” bisik
Chen sambil menatap Pangeran Zhu Di yang tengah sibuk mengambil
potongan-potongan kuncup Bunga Lotus dari dalam mangkuk lalu melahapnya dengan
cepat. “Makanlah perlahan-lahan agar tidak tersedak”
“Adik Chen, apa kau
tidak tahu betapa laparnya aku?” jawab Pangeran Zhu Di balas berbisik dengan
mulut penuh. Sepasang matanya yang jernih terlihat sedikit membelalak.
“Yang Mulia Pangeran,
jangan terlalu diperlihatkan, saat ini banyak menteri yang tengah menatap ke
arah Yang Mulia Pangeran Zhu Di” bisik Kasim Anta sambil mencondongkan tubuhnya
ke arah Pangeran Keempat.
“Ssst!...diam kau!”
bentak Pangeran Zhu Di, masih dengan bisiknya membuat sang kasim yang setia itu
tergagap dan segera kembali pada posisinya, duduk dengan kepala tertunduk.
Kini, giliran Pangeran Zhu Di yang mencondongkan tubuhnya ke arah Kasim Anta. “Setelah
acara ini selesai kau harus benar-benar memberikan kakimu padaku. Kau dengar?!”
“Ya Yang Mulia. Hamba
akan memberikan kedua kaki hamba pada Yang Mulia Pangeran Zhu Di setelah acara
ini selesai” jawab Kasim Anta mengangguk dengan ekspresi pasrah.
Xiao Chen menatap
Pangeran Zhu Di. Ada rasa geli terselip di hatinya melihat percakapan di antara
Pangeran Keempat dengan pelayannya. Meskipun seolah Pangeran Zhu Di tampak
marah pada kasimnya, namun dalam pandangan Chen, apa yang terlihat justru
sebaliknya, yaitu sebuah ikatan kasih sayang yang kuat antara tuan dengan
pelayannya.
Sementara Pangeran
Zhu Di masih terus melahap hidangan di depannya. Kini ia telah merambah pada
nasi yang semula dimasak oleh Chen dalam bambu dan dihidangkan dalam
potongan-potongan tipis berbentuk bulat. Nasi tersebut masih mengepulkan uap
hangat dengan aroma khas daging sapi, bercampur keharuman rempah yang lembut.
“Nasi ini enak
sekali. Aku merasa seperti sedang memakan potongan daging yang sangat lembut
dan manis dalam mulutku” ujar Pangeran Zhu Di, kali ini tanpa berbisik membuat
semua orang di taman belakang dapur istana itu dapat mendengar suaranya dengan
jelas.
Dengung suara bisik
kembali terdengar. Berbagai reaksi terlihat dari wajah-wajah yang menunggu
dengan ketegangan yang nyata. Permaisuri Ma tersenyum bahagia, lebih terlihat
bahagia saat ia melihat bagaimana pangeran kecil yang sangat disayanginya makan
dengan begitu lahap. Kaisar Ming mengangguk-angguk dengan wajah puas. Perdana
Menteri Hu Weiyong menghela nafas. Pandangannya beralih pada juru masaknya.
Sepasang bibirnya mengurai senyum. Baginya, tidak masalah jika pelayan kecil
bernama Chen tersebut bisa memenangkan sayembara dan berhasil mengembalikan
selera makan Sang Pangeran karena yang terpenting baginya, hadiah yang
dijanjikan oleh Kaisar telah berada di pundak juru masaknya dan itu berarti,
dapur istana telah berada dalam genggaman tangannya. Karena itu, dengan wajah
cerah, Perdana Menteri Hu Weiyong segera bertepuk tangan yang membuat para
menteri dan pejabat lain menoleh ke arahnya.
“Terpujilah seluruh
Dewa dan Dewi di langit dan di bumi” seru Perdana Menteri Hu Weiyong sambil
menjatuhkan diri berlutut ke arah Kaisar Ming. “Sungguh sangat membahagiakan
melihat Yang Mulia Pangeran Keempat telah sembuh dari sakit dan menyantap
hidangan dengan lahap. Semoga Yang Mulia Kaisar, Yang Mulia Permaisuri, yang
Mulia Pangeran Zhu Di, Yang Mulia Pangeran Zhu Biao, Yang Mulia Pangeran Zhu
Gang, Yang Mulia Pangeran Zhu Shuang dan seluruh keluarga Kaisar diberkati
dengan umur panjang dan kesehatan selamanya”
Kata-kata Perdana
Menteri Hu Weiyong segera mendapat sambutan dari seluruh menteri dan pejabat
yang hadir. Serempak, seluruh pejabat, termasuk Jenderal Xu Da bangkit dari
duduk mereka dan berlutut ke arah panggung.
“Semoga Yang Mulia
Kaisar dan seluruh keluarga diberkati selamanya” sahut seluruh pejabat kerajaan
menyambut kata-kata Perdana Menteri Hu Weiyong.
Sahutan serupa juga
terdengar di seluruh penjuru taman yang berasal dari para juru masak yang
mengikuti sayembara dan turut berlutut ke arah Sang Kaisar.
Kaisar Ming
mengangguk-angguk dengan ekspresi gembira. Senyum cerah tersungging di
bibirnya. Satu tangannya terangkat ke arah para pejabat istana dan para juru
masak yang berlutut memberi hormat.
“Terima kasih atas
doa kalian padaku dan keluargaku. Dan seperti yang kalian semua lihat sendiri,
bahwa Pelayan Chen telah berhasil menyembuhkan putraku Pangeran Zhu Di. Karena
itu, sesuai dengan apa yang telah aku katakan sebelumnya, maka hadiah untuk
Pelayan Chen akan diberikan secara langsung oleh putraku Pangeran Zhu Di.
Nah…Zhu Di, hadiah apa yang akan kau berikan pada Pelayan Chen yang telah
memberikan kesembuhan padamu?” tanya Kaisar Ming pada Pangeran Keempat setelah
menerima penghormatan para pejabat istana dan seluruh juru masak.
Pangeran Zhu Di
sedikit terkejut namun segera tersenyum. Mangkuknya telah kosong dan diletakkan
kembali ke atas nampan oleh Kasim Anta. Sejenak pandangannya tertuju ke arah
Chen yang duduk dengan kepala menunduk di depannya sebelum kemudian, sebuah
lirikan terlempar ke arah Changyi yang duduk dengan gelisah. Ia dapat melihat
kepala sahabatnya yang terus tertunduk selama Chen memasak hingga akhirnya ia
selesai menyantap seluruh hidangan di depannya. Hanya sekali ia melihat Changyi
mengangkat wajahnya dan menatap ke arah dirinya dan Chen. Namun meski hanya
sekali dan sekejab, tapi sudah cukup baginya untuk dapat membaca kesedihan yang
tersimpan di hati sahabatnya itu. Kesedihan yang memancar dari sorot mata
Changyi. Sungguh, ia tak membutuhkan kalimat lebih untuk bisa mengerti karena
apa yang terbaca dari sepasang mata sahabatnya itu telah mewakili seluruh
kalimat yang tak terucapkan oleh bibirnya yang mengatup dengan rapat. Sesaat
Pangeran Zhu Di menghela nafas, lalu, pandangannya teralih dari wajah Changyi
pada Sang Kaisar yang tengah menunggu jawabannya.
“Ya Yang Mulia, hamba
telah menentukan hadiah yang akan hamba berikan pada Pelayan Chen atas jasanya
menyembuhkan hamba” jawab Pangeran Zhu Di sambil mengangguk. Senyumnya
mengembang sementara kalimatnya yang terucapkan dalam bahasa formal terdengar
menggema hingga ke sudut-sudut taman.
“Bagus, sekarang
katakan apa hadiah yang akan kau berikan pada Pelayan Chen” kata Kaisar Ming
begitu mendengar jawaban Pangeran Zhu Di.
“Hadiah yang akan
hamba berikan adalah memberikan kesempatan pada Pelayan Chen untuk menjalani
pelatihan prajurit bersama dengan hamba di sekolah prajurit khusus, tinggal dalam
satu kamar dengan hamba dan Kakak Xu Changyi di barak calon prajurit dan
belajar bersama-sama” jawab Pangeran Zhu Di dengan suara yang lantang membuat
semua orang kembali terkejut tak terkecuali Chen dan Changyi.
Changyi mengangkat
wajahnya dan menatap Pangeran Zhu Di. Alisnya berkerut setelah mendengar
jawaban yang keluar dari mulut sang pangeran.
“Adik Zhu Di” desis
Changyi berbisik. Hatinya bergetar saat ia menangkap maksud dari hadiah yang
diberikan oleh Pangeran Zhu Di pada Chen. Dan hal itu justru terasa semakin
menyudutkan hatinya pada tubir kesedihan. Pangeran Keempat menangkap kekalutan
hatinya. Sang Pangeran juga mengerti apa akibat yang akan timbul jika Chen
memenangkan sayembara pada kehidupannya dan Chen selanjutnya. Pangeran Zhu Di
memahami semuanya meski ia tak mengatakannya. Hati Changyi terasa seperti
diremas.
Sementara Chen yang
masih duduk di depan Pangeran Keempat bahkan mencondongkan tubuhnya ke depan.
Sepasang matanya melebar dengan ekspresi tidak percaya.
“Yang Mulia? Kenapa
Yang Mulia memberikan hadiah seperti itu?” bisik Chen pada Pangeran Zhu Di.
Pangeran Zhu Di
menatap Chen sesaat dan tersenyum namun tak ada jawaban yang keluar dari
mulutnya. Pandangannya kemudian justru teralih pada Kaisar Ming.
“Apakah Yang Mulia
menyetujui hadiah yang telah hamba pilih ini?” tanya Pangeran Zhu Di pada
ayahnya yang terlihat masih tertegun.
Kaisar Ming menghela
nafas. Terlihat sedikit ragu sebelum kemudian membuka suara.
“Dengar Zhu Di, apa
yang kau inginkan itu sungguh suatu hal yang baik. Namun, kau harus mengerti
bahwa segala sesuatu di istana dan juga di kerajaan ini telah ditata dalam
aturan-aturan yang harus dipatuhi oleh siapapun tanpa kecuali. Termasuk olehmu.
Mengenai sekolah untuk calon prajurit khusus aku telah memberikan wewenang pada
Kementerian Pertahanan karena itu sudah seharusnya jika kau meminta persetujuan
dari Jenderal Lan Yu karena dialah yang bertanggungjawab terhadap seluruh
kegiatan di sekolah calon prajurit khusus. Karena itu, setelah sayembara ini
selesai, aku akan membicarakan mengenai hadiah yang ingin kau berikan pada
Pelayan Chen itu. Dan kuharap, apapun keputusan yang akan diambil nanti, kau
akan menghormatinya. Apakah kau mengerti Zhu Di?” sahut Kaisar Ming panjang
lebar menjawab pertanyaan putranya.
Beberapa menteri dan
pejabat kerajaan terlihat mengangguk-angguk setuju dengan jawaban yang
diberikan oleh Kaisar Ming. Sementara Pangeran Zhu Di terdiam. Sesaat masih
menatap Sang Kaisar sebelum kemudian menunduk. Ia sudah menduganya. Ayahnya
adalah seorang yang sangat menghargai sebuah peraturan bahkan meskipun
peraturan itu Sang Kaisar sendiri yang membuatnya. Tetapi, apalagi yang bisa
dilakukannya untuk menghilangkan kesedihan di wajah sahabatnya di bawah sana? Sesungguhnya,
hal yang membuat Pangeran Zhu Di memutuskan hadiahnya adalah saat ia mengerti
makna kesedihan yang dengan jelas dapat ditangkapnya di wajah Changyi.
Sementara itu,
Jenderal Xu Da terlihat melirik ke arah Jenderal Lan Yu dan menangkap kerut di
wajah perwira tinggi yang tak pernah sejalan dengannya itu. Ia tidak tahu alasan
di balik hadiah yang dipilih oleh Pangeran Zhu Di untuk Chen, namun apapun
alasan itu, Jenderal Xu Da mengerti bahwa Sang Pangeran Keempat yang sangat
cerdas itu sedang berusaha melakukan sesuatu yang dianggapnya baik bukan hanya
bagi dirinya sendiri namun juga bagi satu-satunya sahabat terdekatnya. Dan menilik
wajah Jenderal Lan Yu yang mengeruh saat mendengar Pangeran Zhu Di menyebutkan
hadiahnya untuk Chen, nampaknya apa yang menjadi keinginan Sang Pangeran
kesayangan seluruh penghuni istana itu tak akan bisa dengan mudah terwujud.
“Hamba mengerti Yang
Mulia” jawab Pangeran Zhu Di kemudian. Kepalanya mengangguk. “Dan hamba akan
mematuhi apapun keputusan yang diambil nantinya”.
Kaisar Ming Tai Zhu
mengangguk-angguk senang. Pandangannya beralih ke arah seluruh pejabat istana
dan juru masak yang memenuhi ruang taman sebelum kemudian berseru. “Bagus, jika
begitu, maka sayembara ini kunyatakan selesai. Kalian semua, kembalilah pada
tugas masing-masing dan aku ingin, semua orang menerima dan menghormati hasil
dari sayembara ini”.
**********