Jumat, 27 Februari 2015

Straight - Episode 1 ( Bagian Tujuh )

 “Oppa…kenapa Oppa membawaku ke atap?” tanya Seon sambil memandang kakaknya. Tangannya membawa nampan berisi dua cangkir kopi yang mengepul panas sementara Yoon menenteng satu mangkuk kecil kue beras. Seon terlihat sangat cantik dengan sweater warna merah pemberian Ahjumma pemilik toko kerajinan di blok sebelah. Rambutnya yang ikal coklat muda di ikat sederhana di belakang leher yang justru semakin mengesankan kecantikan yang alami.
“Karena malam ini udara sangat nyaman. Sayang kalau dilewatkan” jawab Yoon sambil duduk di atas kursi kayu panjang yang biasa digunakannya untuk meletakkan ember-ember tempatnya mencuci pakaian. ‘Kau bisa merasakannya?”
Seon menarik nafas dalam-dalam lalu mengangguk sambil tersenyum. “Hm…memang nyaman. Hangat”.
“Duduklah di dekat Oppa” ujar Yoon sambil mengangkat cangkir kopinya dan menghirupnya perlahan.
Seon menurut dan melakukan hal yang sama. Sesaat bibirnya mencecap-cecap rasa kopi yang diminumnya.
“Oppa…kopi ini enak sekali. Juga sangat harum. Oppa membuatnya sendiri?” tanya Seon sambil berpaling menatap kakaknya.
“Tidak…Oppa membelinya di Twosome Place” jawab Yoon sambil tersenyum.
Seon terperanjat. “Twosome Place? Twosome Place yang terkenal itu? Yang diiklankan oleh Lee Min Ho Oppa?”.
Yoon memutar bola matanya mendengar pekikan adik kecilnya. Tangannya terulur dan mengacak-acak rambut Seon.
“Ya, apa kau juga mulai menjadi fans Lee Min Ho, hm? Kau masih kecil jangan berpikir tentang lelaki dewasa” kata Yoon yang disambut cebikan bibir merah segar Seon.
“Kenapa tidak boleh? Semua teman Seon punya idola. Hyun Ae mengidolakan Lee Yoon Sung Oppa, Min Shang mengidolakan Jun Pyo Oppa, Clara Lee mengidolakan Jeon Jin Ho Oppa, Jessica Kwon mengidolakan Choi Young Oppa, jadi…Seon memilih untuk mengidolakan Lee Min Ho Oppa” jawab Seon penuh semangat dengan nada sengit yang tak mau kalah.
Yoon menarik nafas dalam-dalam menahan rasa gelinya. Matanya menatap adiknya dengan campuran gemas sekaligus sayang.
“Jadi…apa tidak ada yang mengidolakan Kim Jong Dae?” tanya Yoon kemudian.
Seon terkejut dan terlihat berpikir.
“Ada!...ada yang mengidolakan Kim Jong Dae!” sahut Seon nyaris berteriak karena semangat.   
“Siapa” tanya Yoon sambil mengambil sepotong kue beras dan mulai mengunyahnya.
“Ahjumma yang punya toko kerajinan, yang memberi Seon sweater merah ini. Seon sering mendengar ia menyebut Kim Dae Ssi…Kim Dae Ssi..seperti itu. Pantas saja…Ahjumma sering membeli di toko kita” jawab Seon.
Yoon menoleh ke arah adiknya.
“Seon, apa kau tahu siapa Kim Jong Dae itu?” tanya Yoon.
“Tentu saja” jawab Seon mengangguk mantap. “Dia adalah Abeoji”.
Tawa Yoon meledak hingga nyaris tersedak karena sebagian kue beras yang masih tertinggal di mulutnya. Seon terkejut dan memukul lengan kakaknya.
“Oppa?...kenapa Oppa tertawa begitu keras?” protes Seon dengan bibir cemberut.
Yoon masih tertawa hingga membuat Seon beringsut menjauhi kakaknya, berjalan ke sisi atap yang membuatnya bisa melihat pemandangan malam yang indah dengan tebaran lampu yang berkilauan. Tangannya masih memegang cangkir kopi dan sesekali menghirup kopi hangat di dalamnya. Langit di atas kota Seoul malam ini terlihat cemerlang dengan jutaan bintang. Jika saja, seluruh lampu di kota Seoul dimatikan, maka Seon yakin, bintang-bintang di langit itu akan terlihat lebih banyak dan lebih cemerlang lagi. Tapi, jika semua lampu di matikan, pasti semua orang akan gempar. Mungkin saja, mereka akan mengira bahwa alien dari bintang lain benar-benar ada. Seon menengadahkan kepalanya menatap langit dan menghirup sekali lagi udara malam yang hangat hingga suara langkah kaki Yoon membuat gadis kecil itu menoleh dan melihat kakaknya yang datang mendekat lalu berdiri di sisinya.
“Ada yang ingin Oppa katakan padamu” kata Yoon kemudian.
“Tentang Kim Jong Dae? Atau larangan untuk mengidolakan Lee Min Ho Oppa?” tebak Seon sambil mencibir ke arah kakaknya.
“Bukan” jawab Yoon sambil tersenyum. “Seon, besok pagi, Oppa akan pergi ke Amerika”.
Mulut Seon ternganga.
“Apa? Ke…Amerika? Tapi kenapa? Kenapa Oppa mau ke Amerika? Bisakah Seon ikut?” tanya Seon beruntun. Wajahnya yang mungil kini terlihat cemas.
Yoon menggeleng.
“Tidak, kau harus sekolah. Lagipula, Oppa tak akan lama di sana” jawab Yoon sambil menatap adiknya.
“Tapi Oppa…kalau Oppa ke Amerika, lalu Seon akan sendirian?” rengek Seon. Satu kakinya di banting ke lantai atap.
“Karena itulah Oppa memberitahumu sekarang. Mulai besok, Oppa akan menitipkanmu pada keluarga Park. Park Ahjussi dan ahjumma sudah setuju kau tinggal di rumah mereka sementara Oppa pergi. Juga Bok….”
“Tidak mau!” pekik Seon memotong ucapan Yoon. “Seon tidak mau tinggal dengan si karung nasi itu. Seon tidak suka padanya! Lebih baik Seon tinggal di sini. Tidak masalah Seon tinggal sendiri. Seon tidak takut”.
Yoon memejamkan matanya sesaat. Sudah diduganya bahwa membujuk Seon untuk tinggal di keluarga Park bukanlah hal yang mudah. Seon kurang akrab dengan Bok, juga dengan Park Ahjussi dan Ahjumma, orangtua Bok. Yoon-pun sebenarnya juga merasa tidak enak karena, untuk sekali lagi, ia mesti merepotkan Bok dan keluarganya. Setelah semua kebaikan yang mereka lakukan selama ini. Tetapi, ingatan tentang Han yang bisa datang sewaktu-waktu bersama dengan orang-orang geng motor penuh tattoo membuat Yoon menyingkirkan jauh-jauh rasa harga diri dan malu dalam dirinya. Hanya keluarga Park yang bisa dipercayanya untuk menjaga Seon tetap aman. Di samping itu, sebagai seorang Chaebol besar di Korea Selatan, Park Ahjussi memiliki banyak penjaga dan pengawal di rumahnya sehingga Han dan anak buahnya tak akan bisa begitu saja memasuki rumah keluarga Park. Selain itu, Yoon tahu benar bahwa Bok tak akan berbuat tidak sopan pada Seon. Tidak dengan prinsipnya yang sangat kuat dalam memegang nilai kesucian dirinya sebagai seorang perjaka – (Yoon kembali tertawa saat mengingat point yang satu itu) – serta sifat Bok yang sangat menghargai kaum wanita.
“Seon…dengarkan Oppa. Oppa pergi ke Amerika untuk mengikuti lomba memasak yang di adakan di sana. Hadiahnya lumayan. Kalau Oppa bisa menang, uangnya bisa kita gunakan untuk memperbaiki toko kita yang rusak, menebus Abeoji dan sedikit menyicil hutang di bank” tutur Yoon sambil memandang lurus pada adiknya.
Seon mengangkat wajahnya.
“Lomba memasak?” tanyanya dengan alis berkerut halus.
Yoon mengangguk. “Ya, Oppa akan mengikuti lomba itu Seon. Dan untuk bisa memenangkan lomba itu, oppa membutuhkan konsentrasi yang penuh. Jika kau tinggal sendirian di tempat ini, maka Oppa akan selalu mengkhawatirkanmu. Bagaimana kalau hyung dan teman-temannya datang lagi sementara Oppa tidak ada?. Dan karena Oppa akan selalu mengkhawatirkanmu, maka Oppa tidak akan bisa berkonsentrasi untuk memenangkan lomba itu. Karena itu, Oppa ingin kau tinggal bersama dengan Park Ahjussi dan Ahjumma. Mereka akan menjagamu dengan baik selama Oppa tidak ada”.
“Jadi…karena itukah, selama satu bulan ini, Oppa terus menerus memasak makanan baru meskipun toko kita tidak bisa buka?” tanya Seon sambil menelan ludah.
Yoon tersenyum lalu mengangguk. “Ya Seon. Karena Oppa berharap bisa memenangkan lomba itu”.
“Di manakah lomba itu akan dilakukan, Oppa?” tanya Seon setelah terdiam sejenak.
“Hawai” jawab Yoon singkat.
“Tempat yang indah, dan Seon tidak bisa ikut dengan Oppa?” gumam gadis kecil itu dengan sedih.
Yoon memegang bahu adiknya.
“Seon…Oppa ke sana bukan untuk berlibur. Jika Oppa bisa menang, maka kita bisa membuka toko kita lagi. Lalu kita bisa menabung, dan suatu saat, kita akan kembali ke sana. Untuk berlibur bersama-sama” sahut Yoon membujuk adik kecilnya. “Oppa berharap kau mengijinkan Oppa untuk pergi, dan berdoa supaya Oppa bisa menang demi masa depan keluarga kita”.
Seon tertunduk. Cangkir kopinya telah diletakkan pada tembok pembatas atap dan kini, jari-jemari gadis kecil itu saling bertautan.
“Seon?” panggil Yoon saat adiknya tak juga menjawab.
“Oppa tidak akan lama kan?” tanya Seon setelah menarik nafas panjang. Yoon tersenyum lega dan mengangguk dengan pasti.
“Tidak akan. Oppa akan kembali secepatnya” jawab Yoon dengan nada tegas.
Seon mengangkat wajah dan memandang kakaknya.
“Baiklah…Seon akan tinggal dengan Ahjussi dan Ahjumma. Dan juga…..si karung nasi itu” Seon sedikit mengerenyit saat menyebut nama terakhir membuat Yoon menahan rasa geli di hati. “Supaya Oppa merasa tenang dan bisa memenangkan lomba itu dengan sukses”.
Senyum Yoon melebar. Dua tangannya terulur dan mencubit sepasang pipi Seon dengan gemas lalu memeluk adiknya erat-erat.
“Nah…itu baru adik Oppa yang paling baik dan manis” ujar Yoon di atas kepala Seon.
“Pukul berapa Oppa berangkat besok? Bolehkah Seon mengantar Oppa ke bandara?” tanya Seon di dada kakaknya.
Yoon berpikir selama sedetik sebelum menjawab.
“Tentu saja. Besok pesawat berangkat malam dari Incheon, sekitar pukul 05.40 PM” jawab Yoon pelan.
“Korean Air?” bisik Seon.
Yoon mengangguk di atas kepala Seon. “Ya”.
“Oppa?” panggil Seon pelan di dada kakaknya.
“Ya Seon?” jawab Yoon.
“Bisakah Oppa melepaskan Seon sebentar? Seon ingin berdoa untuk Oppa” tanya Seon membuat Yoon kembali tertawa dan melepaskan pelukannya.
“Baiklah…jangan lupa doakan Oppa agar menang besar” sahut Yoon sambil mundur selangkah ke belakang.
Seon tak menjawab. Gadis kecil yang mulai menunjukkan pesonanya itu menangkupkan dua tangannya di depan dada dan kedua matanya memejam. Suasana di atas atap menjadi hening. Yoon menunggu sambil menatap adiknya. Sepasang matanya sedikit memerah oleh rasa haru dan sayang. Siapa yang menyangka, bayi merah yang dulu dirawatnya siang dan malam kini telah tumbuh sebesar ini? Besok di bulan Juni, Seon akan genap berusia tiga belas tahun, begitu cantik, cerdas dan pengertian. Meskipun terkadang, sifat keras kepala di dalam dirinya membuat kepala Yoon berdenyut keras. Yoon sungguh merasa, jika saja tak ada Seon di sisinya, maka ia pasti sudah menyerah sejak awal bencana datang menggulung keluarganya.
“Sudah selesai?” tanya Yoon saat melihat Seon membuka matanya sambil mencium kedua tangannya yang menangkup di depan dada.
Seon mengangguk. Senyum manis mengembang di bibirnya yang mungil.
“Ya Oppa” jawab Seon. “Dan Seon yakin Tuhan pasti mengabulkan doa Seon”.
Yoon mengangkat dua tangannya dan bertepuk tangan pelan. “Benarkah? Kalau begitu Oppa senang. Apa yang kau minta dalam doamu?”.
“Seon minta tiga hal pada Tuhan” jawab Seon sambil tersenyum. “Pertama, Seon minta supaya Tuhan melindungi Oppa dalam perjalanan ke Hawai, selama di Hawai dan saat pulang kembali ke Seoul. Kedua, Seon minta supaya Oppa menang. Menang yang besar dengan hadiah yang besar dan membuat keluarga kita bahagia”.
Yoon tertawa. Kedua tangannya dimasukkan ke saku celana selututnya. “Lalu yang ketiga?”
“Yang ketiga, Seon minta pada Tuhan supaya memberi Oppa seseorang  yang sangat sayang pada Oppa dan Seon” jawab gadis kecil itu dengan nada ceria.
Tawa Yoon langsung lenyap. Sepasang mata pemuda itu menatap adiknya dengan heran.
“Kenapa kau minta seperti itu Seon?” tanya Yoon.
“Karena Seon ingin punya seorang ‘Unnie’ seperti teman-teman Seon. Unnie yang sayang pada Seon dan juga Oppa. Seon sering membayangkan bagaimana rasanya punya Omma. Semua teman Seon punya Omma. Hanya Seon yang tidak. Kalau Seon minta Abeoji untuk mencari Omma baru, maka Abeoji pasti tidak mau karena Abeoji tidak pernah bisa melupakan Omma. Seon sering melihat Abeoji duduk sambil menatap cangkir Omma. Jadi, Seon pikir, jika tidak punya Omma tidak masalah asal Seon punya Unnie. Lagipula, Seon ingin ada orang yang membantu Oppa disaat Seon sedang di sekolah karena saat itu, Oppa selalu sendirian membuat Seon tidak tenang berada di sekolah dan ingin cepat-cepat pulang. Kalau ada Unnie di dekat Oppa, maka Seon bisa tenang di sekolah karena ada orang yang akan membantu Oppa” jawab Seon dengan polos membuat Yoon tersentak.
Yoon tak menjawab. Namun satu tangannya terulur dan merangkul bahu adiknya. Senyum lembut mengembang oleh rasa haru. Dikecupnya sekilas puncak kepala Seon.
“Oppa….apakah Oppa senang dengan tiga doa Seon?” bisik Seon di sisi bahu kakaknya.
Tak ada suara jawaban selain pelukan di bahu Seon yang semakin erat sementara pandangan mata Yoon terlempar jauh ke angkasa yang dipenuhi bintang gemerlap.
************
 Hawai…..
Tiga hari sebelum pelaksanaan festival….
Leia Kaili berdiri gelisah di bawah pohon cemara. Sesekali pandangannya terlempar ke arah bangunan besar yang terlihat terang benderang oleh cahaya lampu. Belum terlalu malam dan suasana masih begitu ramai. Malina sudah hampir tiga puluh menit lebih masuk ke bangunan yang merupakan sanggar seni milik Papa Lolo. Pada akhirnya, ia memutuskan untuk bergabung dengan grup penari Papa Lolo untuk menyambut perayaan festival tahunan yang akan dimulai dua hari lagi. Demi untuk membuat Ommonie senang. Terlebih, semakin mendekati waktu festival sama artinya masa ikatan di antara dirinya dengan Kai juga semakin dekat dan hal itu membuat perasaannya tidak menentu. Masih ditambah hal-hal aneh yang dialaminya selama sebulan ini yang tak dapat dimengertinya. Seperti kesedihan amat sangat yang tak beralasan, kerinduan pada sesuatu…atau seseorang yang tak ketahuinya apa atau siapa, perasaan bersemangat yang muncul tiba-tiba serta kecemasan sekaligus harapan. Leia benar-benar merasa bahwa dirinya telah berubah menjadi sosok yang tak dikenalinya lagi. Dan itu semakin membuatnya gelisah.
Ommonie tidak lagi mengungkit-ungkit masalah ramalan nenek tetua adat namun kini, justru Leia yang terus berpikir tentang seseorang yang dikatakan akan datang dalam acara festival tahunan. Seseorang yang akan membawanya pergi jauh. Seseorang tak diketahui namanya dan bagaimana wajahnya namun membuat jantungnya berdegup semakin kencang dari hari ke hari mendekati pelaksanaan festival, seolah jantung yang telah menemaninya selama dua puluh satu tahun ini tak lagi berpihak padanya. Bisakah ia lepas dari Kai? Dari kekuatan sang Elder Agung? Hal yang terlihat sangat mustahil di matanya.
Tampaknya, Leo Kai merasakan perubahan dalam diri Leia, atau entah apa yang dirasakan oleh lelaki itu. Sesungguhnya, ia adalah kakak yang baik, namun, dalam kehidupan sehari-hari Leia sungguh tak menyukai sifatnya yang sombong dan keras. Seringkali, lelaki itu menjadi sangat liar terlebih bila harga dirinya tersinggung sedikit saja. Seperti saat kabar bahwa ia telah bergabung dengan grup Papa Lolo hanya dua minggu sebelum pelaksanaan festival tersebar ke seluruh penjuru Pulau Oahu dan sampai ke telinga Kai. Leia meraba pergelangan tangannya yang berhias lebam membiru. Itu bekas tangan Leo Kai yang melarangnya untuk menari dalam festival tahunan besok. Lelaki itu datang tadi pagi dengan kemarahan membara membakar wajahnya yang sebenarnya tampan. Hanya ketegasan Ommonie yang membuat Kai mundur. Dan untuk pertama kalinya, Leia melihat Ommonie yang benar-benar marah dan begitu garang seperti bunga Camelia yang berselimut api. Kesejukan dan ketenangan yang selalu terlihat di wajah Ommonie lenyap membuat Leia terpana menatapnya.
Dan hari ini adalah pengumuman tentang siapa penari yang akan dipilih untuk menyambut tamu-tamu peserta lomba yang akan mulai berdatangan besok pagi di Bandara Internasional Honolulu. Tidak semua penari mendapat kesempatan untuk menyambut tamu di bandara internasional pada situasi khusus seperti acara lomba memasak yang diadakan oleh Elder Agung. Dari semua penari yang ada di Hawai dan berjumlah ratusan dalam kelompok-kelompok atau grup yang berbeda hanya akan di ambil dua belas orang penari saja. Selebihnya akan mendapat tempat masing-masing sebagai penyambut turis, pendamping dan pengisi acara di hotel-hotel dan tempat menginap semua wisatawan dan sebagai penyeling acara lomba memasak yang akan diadakan setelah lomba menari yang diadakan secara rutin dari tahun ke tahun. Leia tak terlalu berharap ia akan terpilih sebagai penari penyambut di bandara besok pagi sebab ia sangat terlambat bergabung dan hanya menjalani latihan selama dua minggu.
Meskipun sesungguhnya, Leia sangat ingin melihat orang-orang yang akan datang sebagai peserta lomba memasak di bandara.
Kemarahan Kai dan kecemburuan yang jelas terlihat di mata lelaki itu tadi pagi membuat harapan Leia segera terpupus. Kai, pasti akan segera melakukan sesuatu. Lelaki itu, pantang untuk ditolak ataupun kehilangan sesuatu yang diinginkannya.
“Leia?” suara baritone seorang lelaki terdengar keras dan penuh semangat membuat Leia berpaling ke arah asal suara dan melihat Malina datang bersama seorang lelaki bertubuh kekar dan tinggi besar. Wajah yang ramah dengan senyum yang familier sama sekali bertolak belakang dengan penampilan yang terlihat sangar, berotot dengan hiasan tattoo bunga-bunga lei di sepanjang lengan dan kakinya. Itulah Papa Lolo. Pemilik sangar seni dan grup penari yang paling terkenal di Kepulauan Hawai.
 “Papa?” Leia memanggil lelaki yang datang bersama dengan Malina sambil melempar senyum manis. Tubuhnya sedikit membungkuk ke arah Papa Lolo.
“Kenapa kau berdiri di sini Leia? Masuklah ke dalam dan bergabung dengan yang lain” kata Papa Lolo pada gadis di depannya.
“Tidak Papa, terima kasih. Saya harus segera pulang karena sudah malam. Omma akan sangat marah jika saya pulang terlambat” sahut Leia, masih dengan kesopanan dan senyumnya.
“Ah…Nyonya Akela tidak akan pernah marah Leia. Ibumu adalah wanita yang sangat cantik dan lembut, siapapun yang melihatnya pasti akan jatuh cinta” ujar Papa Lolo membuat wajah Leia bersemu merah. Leia sudah lama tahu, bagaimana besar perhatian Papa Lolo pada Ommonie.
Leia tidak bisa menjawab pernyataan Papa Lolo yang membuatnya jengah. Hanya kepalanya yang mengangguk ke arah pimpinan sanggar seni yang sangat terkenal itu. Malina mendekat ke arah Leia dan memeluk bahunya.
“Leia, aku sudah mengatakan pada Papa Lolo tentang hasil seleksi untuk menyambut tamu peserta lomba di bandara internasional besok pagi” ujar Malina menyela saat melihat wajah sahabatnya bersemu merah. “Dan Papa Lolo ingin mengatakan sesuatu padamu”.
Papa Lolo mengangguk saat mendengar perkataan Malina.
“Tentang penyambutan besok,….Leia, Papa sungguh minta maaf padamu sayang. Jumlah penari yang dibutuhkan hanya dua belas orang. Papa sudah memasukkan empat penari termasuk Malina, dan sisanya yang delapan diambil dari grup-grup lain agar tidak terjadi kecemburuan. Itu perintah dari Elder Agung. Papa mencoba memasukkanmu, tapi ternyata ada satu penari lain dari pulau besar yang sudah lebih dulu dipilih. Papa tidak bisa menepisnya karena itu akan membuat persatuan kita menjadi pecah. Kau mau memaafkan Papa, Leia sayang?” tutur Papa Lolo dengan raut menunjukkan penyesalan.
Leia mengangguk. Sudah diduganya. Kai segera mengambil tindakan. Dan ini adalah salah satu buktinya. Pada festival-festival sebelumnya, ia selalu mendapat prioritas tempat dalam acara-acara penting. Juga, di festival-festival sebelumnya, Sang Elder Agung belum pernah ikut campur dalam hal pemilihan penari untuk menyambut tamu penting atau mengisi acara-acara khusus. Ini adalah pertama kalinya, seorang Elder Agung mengatur tentang siapa saja penari yang boleh menyambut tamu dan bagaimana proses seleksinya.
Dan itu bukan tanpa sebab. Ada pemicu yang membuat seorang Elder Agung memutuskan untuk ikut campur. Dan pemicu itu adalah hati sang pangeran hawai yang terbakar cemburu.
“Leia? Kau tidak apa-apa sayang? Dengar…Papa Lolo sungguh minta maaf padamu” tegur Papa Lolo saat melihat Leia diam tertunduk. Tangannya yang besar berotot terulur dan mengusap bahu Leia dengan perasaan sesal. Sementara Malina terlihat cemas.
Leia menggeleng dan tersenyum.
“Tidak apa-apa Papa…saya baik-baik saja. Memang seharusnya kita adil membagi kesempatan pada semua orang” sahut Leia sambil menatap Papa Lolo dan Malina bergantian.
Kening Papa Lolo terlihat berkerut meskipun bibirnya kini mengurai senyum. Sementara Malina masih memeluk bahu sahabatnya.
“Tapi, sebagai gantinya, Papa Lolo memiliki sebuah tugas untukmu Leia” kata Malina dengan nada riang. “Benarkan Papa?”.
Papa Lolo memandang Malina dan tertawa. “Itu benar Leia sayang. Papa memasukkanmu sebagai penari yang akan membuka acara lomba masak nanti. Dan kali ini, Elder Agung setuju. Bahkan, kau akan menjadi penari yang akan membawakan hadiah pada juara dan mengalungkan bunga Lei di lehernya. Itu adalah tugas yang sangat bagus dan penting Leia Sayang”.
“Benar Leia….” Sambung Malina dengan nada senang. “Kau mau kan?”.
Leia tercenung. Ia akan menari pada saat acara pembukaan lomba memasak dan membawakan hadiah serta bunga lei untuk sang juara? Tapi, bukankah itu berarti, pada saat acara pembukaan nanti, Elder Agung juga akan hadir? Dan hadirnya Sang Elder Agung berarti hadirnya Leo Kai. Leia menarik nafas dalam-dalam. Ia benar-benar telah diawasi sekarang. Namun, bisakah ia menolak? Jika ia menolak, maka mungkin masalah baru akan timbul. Entah apa, tapi Leia merasa bahwa kini ia telah kehilangan kebebasannya untuk memutuskan apa yang ingin dilakukannya.
“Baiklah Papa, terima kasih. Itu kesempatan yang sangat baik” jawab Leia kemudian sambil tersenyum manis. Tubuhnya membungkuk dengan rasa hormat pada pimpinan sanggar seni terbesar di Kepulauan Hawai itu.
Papa Lolo terlihat lega dan juga gembira. Tawanya lepas dan renyah. Tangannya bergerak menepuk-nepuk bahu Leia dengan perasaan puas.
“Itu bagus sekali sayang. Di acara nanti kau benar-benar akan menjadi sang puteri. Tampil maksimal…okay?” ucap Papa Lolo penuh semangat.
Leia mengangguk sekali lagi, menyembunyikan kegelisahan hatinya sendiri. Malina memandang sahabatnya dan meremas tangan Leia.
“Kau tidak senang dengan bagian yang diberikan Papa Lolo padamu Leia? Menurutku itu sangat bagus. Aku bahkan tidak berani bermimpi bahwa aku akan sampai pada posisi seperti yang kau dapat ini. Menjadi penari pembuka sama artinya kau menjadi seorang ratu. Apa kau tidak tahu hal itu?” tanya Malina saat keduanya telah berpamitan pada Papa Lolo dan dalam perjalanan pulang.
“Bukan begitu Malina….” desah Leia. “Aku hanya….”.
“Masalah Kai?” tebak Malina sambil menatap Leia.
Perlahan Leia mengangguk. “Tiba-tiba Kai menjadi sangat kasar padaku…dan benar-benar posesive”.
Malina tertunduk seolah menekuri jalan di depan mereka. Satu bagian dari dirinya merasa sangat pedih mendengar kalimat Leia karena sesungguhnya kekasaran Kai dan sikap posesif lelaki itu semakin menegaskan betapa besar cinta Leo Kai pada sang bunga Hawai di sisinya. Dan hal itu dengan sendirinya juga semakin menegaskan betapa tak berarti dirinya di depan Kai. Tak lebih dari seorang pengasuh saja. Namun, di sisi lain, Malina merasakan setitik harapan kembali muncul saat melihat kesedihan di wajah sahabatnya. Kesedihan yang menunjukkan bahwa sahabatnya tak memiliki kebahagiaan untuk memulai kehidupan bersama dengan Leo Kai.
“Mungkin saja, dia sedang punya masalah Leia” gumam Malina perlahan, seperti ditujukan pada dirinya sendiri.
Leia mengangkat bahunya. Kedua tangannya dimasukkan ke saku belakang celana jeans dua pertiganya, sementara kakinya yang berhias sepatu sport putih melangkah perlahan.
“Entahlah Malina. Tapi, dulu Kai tidak pernah seperti itu. Bahkan meskipun ia mempunyai masalah yang sangat pelik sekalipun, ia tak pernah kasar padaku” jawab Leia juga dengan suara pelan.
Malina menghela nafas panjang. Udara pantai malam hari ini terasa sedikit menyesakkan.
“Ayo Leia…aku akan mengantarmu pulang” ujar Malina kemudian.
“Tidak perlu Malina” jawab Leia sambil menatap sahabatnya. “Aku bisa pulang sendiri”.
“Jangan bandel!” sembur Malina melotot. “Aku masih pengasuhmu, ingat? Ayo jalan, Nyonya Akela pasti sudah menunggumu”.
Leia tersenyum, meski senyum itu terasa hambar di hati dan jantung yang tak lagi sudi berpihak padanya.
“Baiklah Nyonya” seloroh Leia dengan nada bercanda membuat Malina memutar bola matanya. Tapi kemudian gadis itu menggandeng tangan Leia dan setengah menyeretnya untuk melangkah lebih cepat.
Jarak antara rumah Papa Lolo dengan rumah istri ketiga Elder Kaili tidak terlalu jauh sementara rumah Malina masih berjarak dua blok dari rumah tempat tinggal Mrs. Akela dan Leia. Malina melepaskan pergelangan tangan Leia yang dipegangnya saat mereka telah sampai di depan pagar rumah Mrs. Akela yang bercat putih.
“Nah Leia sayang, sekarang kau sudah sampai di depan rumahmu dengan selamat. Cepat masuklah ke dalam, mandi lalu istirahat. Jangan terlalu memikirkan masalah Kai. Oke?” ujar Malina sambil mengecup dahi sahabatnya.
Leia tertawa dan memukul bahu Malina. “Malina, kau ini seperti ibuku saja”.
Malina tersenyum simpul dan mengangkat bahu. “Memang…sudah seharusnya begitu. Baiklah…aku pulang dulu…Bye Leia”.
Leia tak menjawab namun tangannya membalas lambaian Malina dengan penuh semangat sementara gadis cantik berkulit coklat khas Hawai itu melangkah cepat menyusuri jalan menuju arah blok dimana rumahnya berada.
Leia masih berdiri di depan pagar rumahnya hingga bayangan tubuh Malina hilang di ujung jalan. Kemudian, setelah menghela nafas dua kali untuk memenuhi ruang dadanya dengan udara malam yang sejuk, gadis itu mulai membuka pagar dan melangkah masuk ke halaman rumah yang dipenuhi oleh bunga-bunga mawar teh yang sangat disukai Ommonie. Ruang halaman agak sedikit gelap karena rumpun mawar teh yang rimbun menyerap cahaya lampu yang hanya satu buah dan diletakkan tepat di tengah-tengah taman. Sehingga, ketika Leia sampai di beranda rumah dan bersiap mengetuk pintu, ia sama sekali tak melihat satu sosok bayangan tubuh yang bergerak ke arahnya, sangat gesit dan cepat. Lalu dalam sekejab, sosok tubuh itu telah mendekap Leia, menghimpitnya ke dinding membuat sang bunga Hawai terperanjat tak kepalang. Leia menjerit di luar kesadarannya namun, sebuah tangan yang besar dan kuat segera menbekap mulut gadis itu membuat jeritan Leia hanya berupa jeritan teredam yang jauh dan sayup. Sepasang mata Leia membelalak ketakutan saat melihat sepasang mata lain yang bersinar tajam dan berkilat, penuh emosi dan keinginan menguasai. Sepasang mata yang bukan lagi milik orang yang dikenalnya selama ini. Sepasang mata milik Leo Kai.
“Apa yang kau lakukan?” bisik Leo Kai dengan nada tajam. “Kenapa kau baru pulang selarut ini? Apa kau sedang menunggu orang itu? Orang yang akan membawamu pergi dari pulau ini?”.
Leia terkejut. Kai? Bagaimana ia tahu tentang hal itu? Apakah Ommonie telah menceritakannya pada Kai? Tapi itu tidak mungkin!. Karena Ommonie pasti tahu bahwa hal itu bisa menjadi masalah yang sangat besar. Jadi? Mungkinkah nenek tetua adat? Si peramal? .
Leia menepiskan tangan Leo Kai yang membekap mulutnya. “Itu tidak benar. Aku sama sekali tidak tahu apa yang kau katakan! Aku dan Malina pergi ke rumah Papa Lolo untuk melihat hasil seleksi penari”.
“Kau bohong!” sembur Leo Kai nyaris berteriak di telinga Leia. “Kau menunggunya! Orang itu! Orang yang akan datang bersama festival! Nenek peramal memberitahuku semuanya Leia. Tapi kau jangan pernah bermimpi apapun! Kau milikku. Selamanya milikku. Orang itu, yang akan datang bersama festival, dia tak akan pernah bisa menyentuhmu! Karena aku akan membunuhnya sebelum ia sempat menyentuhmu! Aku pasti akan membunuhnya!”.
“Kau gila Kai!...kau sudah gila! Aku tidak mengerti apa yang kau katakan!” bisik Leia yang berteriak tepat di depan wajah Leo Kai. Ternyata memang nenek peramal yang telah membocorkan perihal mimpi Ommonie pada Leo Kai. Leia merasa jengkel setengah mati. Sejak dulu ia telah melihat betapa nenek tua peramal sangat mengagumi Leo Kai seperti seorang gadis remaja yang tengah jatuh cinta.
“Aku memang gila Leia! Tapi itu karena kau! Dan kau harus bertanggungjawab untuk kegilaanku! Kau hanya boleh menjadi milikku! Selamanya milikku!” teriak Kai dengan mata berkilat-kilat bagaikan luapan api yang mengamuk bersama badai. Lalu, mendadak lelaki itu mencengkeram rahang Leia dengan kuat dan menengadahkan wajah gadis itu secara paksa. Leia berusaha melepaskan jeratan jemari Leo kai yang terasa bagaikan cakar besi. Namun, lelaki yang berdiri di depannya bukan lagi Leo Kai yang dikenalnya dalam keseharian, melainkan seorang lelaki yang tengah diamuk api cemburu. Rasa posesive yang tak sudi di tolak dan kehilangan sesuatu yang disangat disukai membuat Leo Kai lupa diri.
Maka, ketika Leia berusaha untuk mengelak dan melepaskan diri dari himpitan, Leo Kai justru semakin membabi buta dan mencium gadis dalam himpitannya membuat Leia terperanjat karena sama sekali tak menduga bahwa Leo kai akan bertindak sejauh itu. Rasa marah bercampur kecewa dan terluka membuat Leia mengerahkan tenaganya. Satu tangannya yang terbebas dari kuncian Kai maju dan mencengkeram rambut Leo Kai di bagian depan dan berusaha menyentakkannya ke belakang sekuat tenaga membuat bibir Leo Kai terlepas meski hanya sejauh beberapa senti. Kemudian, selagi Leo Kai meringis kesakitan karena cengkeraman jemari Leia pada rambutnya membuat banyak rumpun rambut di kepalanya menjadi jebol, maka Leia segera menjejakkan satu kakinya ke bawah, menitik sasaran yaitu telapak kaki Leo Kai. Meskipun tak terlalu keras namun cukup untuk membuat tangan Kai yang menelikung tangan kanan Leia menjadi kendur dan kesempatan itu digunakan oleh Leia untuk memutar tangannya dalam arah berlawanan dengan siku Leo Kai hingga genggaman jemari Leo Kai yang kuat menjadi lepas!.
Leo Kai terlihat terkejut karena tak menduga bahwa gadis yang selama ini dikenalnya sebagai sosok penurut yang lemah gemulai saat menari ternyata mampu melepaskan himpitan dan ikatan tangannya. Sesaat lelaki itu diserbu oleh rasa terpesona pada hal yang baru saja di ketahuinya, namun kenudian, begitu kesadarannya muncul kembali hanya dalam beberapa detik, Kai berusaha memperbaiki posisinya untuk kembali menguasai Leia.
Tetapi, belum lagi niat Leo Kai terwujud, sebuah kepalan tangan mungil telah melayang dengan cepat dan bersarang di ulu hatinya membuat lelaki itu membungkuk dengan wajah terlihat mengerenyit. Untuk kali ini, Leia benar-benar terlepas dan gadis itu segera melompat  beberapa langkah ke belakang untuk membuat jarak dengan Leo Kai. Wajah Leia terlihat beringas di penuhi kemarahan dengan sepasang mata yang menatap lelaki di depannya seolah hendak melenyapkan Kai dalam satu kali pukulan yang menghancurkan.
Sang putra Elder Agung menjadi kalap saat mendapatkan perlawanan dari Leia.  Lelaki itu berusaha untuk mendapatkan Leia kembali, namun kali ini, sang bunga Hawai bergerak mengelak. Tangan Leo Kai terulur dan menyambar ke arah lengan Leia, namun sang bunga Hawai menggunakan tangan kanannya untuk menepis dengan gerakan menebas sambil bergerak menghindar ke belakang. Akibatnya, ayunan tangan Leo Kai tak mendapatkan hasil. Lebih dari itu, tangan yang kuat dan terayun sepenuh tenaga itu justru menghantam sebuah pot bunga yang di letakkan dalam rak membuat rak besi berisi beberapa pot bunga itu bergoyang keras dan seluruh pot bunga di dalam rak bergulir jatuh ke lantai beranda. Suara berderak pecah terdengar keras saat pot-pot yang terbuat dari tanah liat itu menghantam lantai keramik.
“Siapa di luar?!” suara Mrs. Akela terdengar dari dalam rumah membuat Leo Kai dan Leia sama-sama terkejut. Suara keras pot yang pecah membuat istri ketiga Elder Kaili itu terbangun dari tidurnya. “Leia?!...Leia?!...kaukah itu?!”.
Leia diam tak menjawab sementara sepasang matanya masih terus menatap ke arah Leo Kai dengan pancaran amarah. Namun, suara ibunya yang berteriak dari dalam memberi kelegaan luar biasa dalam diri Leia.
“Leia!...kaukah itu?!” seru Mrs Akela kembali saat tak mendengar suara yang menjawab dari luar.
Leo Kai terlihat bingung selama beberapa detik. Bagaimanapun, Mrs. Akela terhitung sebagai bibinya. Dan untuk suatu hal yang tak dapat dijelaskannya, Leo Kai merasa segan terhadap wanita yang selalu terlihat sejuk dan tenang dalam keseharian itu. Maka, setelah menatap Leia dengan sorot kecewa bercampur cemburu, lelaki putra sulung sang elder agung itu segera melompat ke sisi taman yang gelap, melewati rumpun-rumpun mawar teh, melompati pagar luar dan menghilang di ujung jalan.
Leia berdiri dengan menyandarkan punggungnya pada dinding beranda. Kelegaan datang menguasai namun juga memicu aliran emosi dalam diri Leia. Gadis itu menutupi mukanya dengan dua telapak tangan dan berusaha mengatur nafasnya yang memburu oleh gejolak emosi yang memenuhi dadanya.
“Leia?!....apa kau di luar?” suara Mrs. Akela kembali terdengar membuat Leia tersentak dan mengangkat wajahnya.
“Ya Omma….!” Seru Leia berusaha menata agar nada suaranya terdengar tenang sementara ia sendiri justru merasa kedua kaki dan tangannya menjadi gemetar oleh emosi yang bergejolak.
“Suara apa itu? Kenapa kau tidak masuk?!” tanya Mrs. Akela dari dalam yang terdengar lebih tenang.
“Aku menjatuhkan pot bunga Omma. Maaf Omma” jawab Leia sedikit keras. “Sebentar lagi aku masuk. Udara agak panas. Omma tidurlah lagi”.
“Jangan lama-lama Sayang. Nanti kau sakit” ujar Mrs. Akela.
“Ya Omma” jawab Leia lalu sejenak menunggu. Kedua tangan saling meremas di depan dada. Hingga beberapa menit berlalu, dan tak terdengar lagi suara Mrs. Akela dari dalam rumah membuat Leia merasa yakin bahwa ibunya telah tidur kembali. Kemudian, dengan berjingkat, gadis itu berjalan melewati pot-pot yang pecah berderak di lantai beranda, melintasi jalan setapak di tengah taman kecil depan rumah, melewati rumpun bunga mawar teh yang bergoyang-goyang oleh tiupan angin yang bergerak saat tubuh gadis yang diguncang emosi itu melangkah lebih cepat, membuka pintu pagar depan yang hanya setinggi pinggang, kemudian, saat telah benar-benar berada di luar rumah, sang bunga Hawai tersebut segera berlari, melesat menembus jalan yang terang oleh lampu-lampu merkuri yang tinggi menjulang. Semakin cepat dan semakin cepat hingga kakinya menyentuh hamparan pasir pantai Waikiki yang terlihat lebih tenang di malam hari. Ombak pantai terdengar lebih keras berdebur dengan buih-buih putih yang mengejar hamparan pasir pantai. Leia menghambur ke arah air laut yang datang dan meraup airnya dengan kedua tangannya. Sesaat kemudian, wajah gadis itu telah menjadi basah oleh air laut yang hangat. Namun, Leia masih terus membasuh wajahnya. Nafasnya tersendat karena sebagian kecil air laut masuk kehidung, menghasilkan rasa perih menyengat.
Hingga lima menit kemudian, gadis itu terduduk di hamparan pasir pantai yang basah. Memeluk lututnya dan tertunduk dengan bahu yang terguncang oleh tangis. Tersedu-sedu oleh campuran rasa marah, terluka dan tak berdaya. Leia semakin mengerti, bahwa kemungkinan ia bisa terlepas dari Leo Kai sangatlah kecil. Terlebih sekarang, setelah lelaki itu mengetahui perihal ramalan si nenek tetua adat yang sesungguhnya ia sendiri nyaris tak bisa mempercayainya. Tetapi, dimana lagi ia akan berlari? Satu-satunya harapan yang dapat dilihatnya sekarang hanya ada dua. Yang pertama, menunggu kedatangan siapapun orang yang akan datang bersama festival nanti, yang dikatakan akan membawanya pergi. Orang yang ia tak tahu siapa dan bagaimana wajahnya. Atau, jika tidak… jika orang itu sesungguhnya tak ada….jika ternyata ramalan nenek tetua adat hanyalah kebohongan belaka, maka pilihannya hanya satu….
Mati.
Leia menengadahkan wajahnya ke arah bermilyar bintang yang menyelimuti langit malam sementara linangan airmatanya mengadu pada gemerlap butiran permata alam semesta itu.
“Siapapun kau, siapapun namamu, bagaimanapun dirimu, jika kau memang ada…memang sungguh-sungguh ada, maka datanglah” bisik Leia tersedu.
“Atau aku akan mati” bisik Leia kembali. “Atau aku akan mati”.
Malam merambat semakin jauh. Beberapa turis bergerombol dalam kelompok-kelompok kecil tak jauh dari tempat sang bunga Hawai menumpahkan rasa gelisah dalam dirinya. Nyala api unggun dari tumpukan kayu yang ditata melingkar dalam onggokan kecil. Aroma barbeqiu membubung di udara, berasal dari kelompok turis-turis kaya yang tengah berpesta dan tertawa-tawa, diselingi tarian dan nyanyian yang bernada ceria, sangat bertentangan dengan suasana yang kelabu di aura Leia Kaili.
Sementara itu, di balik sebatang pohon cemara, sesosok tubuh lain berdiri merapat dan terus memperhatikan sang gadis dari balik jari-jari daun yang panjang serupa lidi. Sosok yang diam dalam raut cemas yang jelas terlihat. Yang mengawasi Leia sejak gadis itu pulang dari rumah Papa Lolo. Sosok yang nyaris melompat karena amarah saat melihat Leo Kai mendekap dan mencium paksa Leia dan masih terus berusaha untuk menangkap lengan sang bunga Hawai, namun kemudian ia mengurungkan niatnya saat mendengar suara nyonya rumah yang terbangun dari tidurnya dan membuat putra Elder Agung mundur lalu pergi dalam sekejab.
Sosok yang terus mengikuti Leia, melihat gadis itu menghambur masuk ke dalam air laut dan membasuh wajah serta mulutnya bersama tangis yang pecah…membuat wajah sosok itu semakin mengerut dalam duka….
************

 (Bersambung ke Episode 2)