Rabu, 25 Februari 2015

Straight - Episode 1 ( Bagian Enam )

Bandara Internasional Honolulu….
Satu bulan kemudian…..
Yoon melipat majalah yang dibacanya dan mengembalikan ke kantong kursi di depannya. Suara berisik yang lemah terdengar setelah pramugari mengatakan bahwa mereka telah sampai di Bandar Udara Internasional Honolulu dan meminta kepada seluruh penumpang agar bersiap-siap. Yoon memasukkan ponselnya ke dalam saku celana jeansnya sementara headset terpasang di kedua telinga. Posisinya yang duduk tepat di sisi jendela membuatnya dapat melihat pemandangan di luar. Bentangan bandara internasional yang sangat terkenal terlihat jelas di bawah sementara pesawat-pesawat yang terparkir terlihat berjejer dalam ukuran kecil dari jendela pesawat yang membawanya sekarang. Sesekali, gumpalan awan putih melayang ringan menutupi pandangan. Pilot pasti sedang menunggu perintah aba-aba dari operator bandara untuk mendarat.
Yoon menarik nafas panjang. Tak pernah terbersit dalam benaknya bahwa ia akan sampai di sebuah pulau yang paling terkenal di seluruh dunia. Pulau Hawai. Pulau dengan sejuta keindahan alam tropis yang selama ini hanya dilihatnya melalui gambar-gambar di internet maupun media lain.
Tapi, inilah kenyataannya. Sekarang ia berada di atas Kepulauan Hawai, sedang menanti saat untuk mendarat. Ini bukan mimpi, terlebih sebuah mimpi indah tentang wisata impian. Ia datang ke pulau ini demi untuk sebuah misi penyelamatan. Menyelamatkan keluarganya yang berada diambang kehancuran. Mengeluarkan Abeoji dari penjara, membayar cicilan hutang di bank dan mencari modal untuk memperbaiki toko yang hancur dan memulai usaha baru.
Dan keinginan datang ke Hawai muncul dalam sekejab waktu di pagi buta setelah ia menemukan surat Ommonie di dalam onggi. Kata demi kata dari Ommonie yang meruntuhkan ketegarannya namun sekaligus juga melecut semangatnya. Ingatan Yoon melayang pada pagi hari sebulan yang lalu, saat ia telah memuaskan seluruh tangisnya di atas onggi sang ibu dan airmata yang membanjir dari matanya menghapus lapisan debu di permukaan onggi membuat Yoon dapat melihat bahwa permukaan onggi yang mungil tersebut ternyata berbeda dengan onggi-onggi lain yang berukuran lebih besar. Onggi kecil Ommonie  dipenuhi guratan-guratan halus seperti sebuah lukisan dari garis dan lengkungan garis yang unik. Tetapi, pada satu sudut di bagian bawah, Yoon melihat satu bentuk mirip barisan huruf hangul yang berbunyi “Yoon-ah” yang membuatnya curiga bahwa lukisan dari garis, lengkungan garis dan bulatan serupa tanda titik itu sesungguhnya adalah barisan kalimat. Yoon membuka sekali lagi surat Ommonie dan membaca kalimat “jika kau menemukan surat Omma ini, kau pasti juga menemukan buku resep Omma….”. Apakah itu berarti, buku resep Ommonie adalah onggi kecil di tangannya ini?.
Yoon bangkit berdiri dari lantai dapur dan bergegas menuju ke kotak perkakas tempatnya menyimpan beberapa alat yang biasa digunakannya untuk mereparasi komputer maupun notebook dan segera mengambil lup kaca pembesar dari dalam kotak. Selanjutnya, ia segera tenggelam dalam rasa takjub saat menemukan barisan kalimat demi kalimat yang ditulis dengan sangat rapi dan kecil. Ia mengenal deretan huruf-huruf hangul itu sebagai goresan Ommonie. Mungkin saja, Ommonie membuat sendiri onggi kecil ini dan menulisinya selagi onggi yang dibuatnya belum terlalu kering terlihat dari bentuk-bentuk huruf yang bersemburat warna hitam kecoklatan karena gosong pada proses pembakaran. Atau, mungkin Ommonie menulisi onggi ini menggunakan pena baja yang panas yang biasa digunakan untuk menulisi permukaan keramik dan kayu.
Yoon membaca sekilas resep-resep yang tertulis di atas permukaan onggi. Secara keseluruhan, permukaan onggi tertutup oleh tulisan Ommonie tentang berbagai resep yang diketahuinya, mulai dari leher onggi hingga ke bagian bawah onggi. Bahkan bagian tutup-pun tak lepas dari tulisan Ommonie. Sayang, ada satu bagian resep yang tak terbaca di bagian tutup karena pecahnya bagian tersebut saat tutup onggi jatuh dan menggelinding jauh. Yoon memungut pecahan tutup onggi dan berusaha menyatukannya kembali, namun ternyata sangat sulit untuk dilakukan karena bagian tutup yang pecah itu hanya berupa serpihan-serpihan lembut tak beraturan.
Jadi, sekarang ia memiliki sebuah buku resep yang sangat bagus. Lalu, apalagi yang harus dilakukannya untuk menyelamatkan keluarga? Buku resep yang paling baguspun tak akan bisa melakukan apa-apa untuknya jika ia tak memiliki uang untuk mewujudkan apa yang tertulis di dalamnya. Yoon meletakkan lup kaca pembesar dan onggi yang dibacanya ke atas meja, menarik kursi dan duduk terpekur saat ia sampai pada satu masalah mendasar yang sangat pelik baginya saat ini.
Uang.
Darimana ia akan mendapatkan uang? Semua uang yang ada di laci meja kasir sudah diambil oleh Han, demikian juga simpanannya di dalam toples. Dan sekali lagi, ia tak bisa untuk meminta pada Bok, meski dengan sebuah kata “meminjam”. Semua benda eletronik dan apapun yang berharga cukup lumayan untuk dijual dan menghasilkan uang telah disita oleh bank. Satu-satunya benda yang tersisa di sisinya hanyalah ponselnya yang tak lagi pernah aktif, smartphone Seon yang semakin tak mungkin untuk dijualnya mengingat kecintaan gadis kecil itu pada App-nya dan hanya benda itulah kini yang menjadi media penghibur bagi Seon. Jadi apa?
Ia bukan orang yang menyukai untuk mengoleksi pakaian maupun sepatu berharga mahal. Pada masa-masa lalu, disaat toko masih berjalan dengan ramai dan kakaknya belum berubah serta membuat masalah, ia bisa membeli pakaian maupun sepatu tanpa kesulitan. Namun, selalu, apa yang dipilihnya adalah pakaian dan sepatu sederhana tanpa merk yang tak akan laku untuk dijual kembali. Jadi apa yang bisa dilakukannya sekarang? Menjual tenaga? Itu mungkin saja. Tapi, di mana ia bisa menjual tenaganya? Ia tak memiliki keahlian apapun yang bisa dibanggakannya selain kemampuannya di bidang IT, mereparasi komputer dan notebook serta….
Mendadak Yoon terperanjat. Notebook!
Bukankah ia masih memiliki notebook-nya? Dan benda itu tak masuk hitungan benda-benda yang disita oleh bank karena pada saat bank datang, notebook-nya ada bersamanya, di dalam ranselnya. Dan ia sedang berada di kampus saat itu, menjadi asisten untuk Profesor Bae dan bersiap untuk ujian pertama dari Profesor Ryu. Kenapa ia sampai melupakan benda itu? Notebook itu jika dijual tentu bisa menghasilkan uang. Meskipun tentu saja tak banyak karena bagaimanapun, notebook itu bukan benda baru. Tapi, mengingat reputasinya selama ini sebagai master IT di kampusnya, Yoon berharap ia dapat menjualnya pada salah satu adik kelas atau teman satu angkatannya. Mereka tentu akan memberi harga yang pantas. Mungkin saja bukan?.
Yoon segera bangkit dari kursi dan berjalan cepat ke sisi gudang yang beralih fungsi sebagai kamar Seon lalu mengambil tas ransel kuliah yang tak pernah lagi disentuhnya sejak hari ia meninggalkan kampus. Notebook hitam kesayangannya ada di dalam ransel itu dan belum pernah sekalipun disentuhnya. Bahkan nyaris saja, Yoon melupakan benda itu hingga beberapa menit lalu. Yoon meletakkan notebook hitamnya ke atas meja dan duduk di kursi. Tangannya mengelus permukaan notebook. Benda ini telah menemaninya selama dua tahun lebih. Ia mendapatkan notebook ini bukan dengan jalan membeli melainkan setelah ia mengalahkan Kevin Young, rival terberatnya dalam sebuah lomba sains program untuk aplikasi smartphone yang baru. Karena itulah notebook ini sangat berarti baginya. Lebih berharga lagi karena notebook ini tak dijual dimanapun diseluruh Korea Selatan, bahkan diseluruh dunia. Notebook ini sengaja dibuat secara khusus sebagai hadiah bagi pemenang lomba sains program. Notebook yang diserahkan langsung oleh perdana menteri Korea Selatan Jung Hong Won, lengkap dengan tanda tangan asli yang tak terdapat pada notebook manapun.
Yoon membuka notebooknya dan menekan tombol power. Menyentuh notebook yang lama dilupakannya membuat semua kata-kata Bok kembali terngiang dalam ingatan Yoon. Bahwa ia tak lagi bisa dihubungi, bahwa ia tak lagi mengupdate SNS-nya. Bahwa twitternya sangat sepi. Yoon tersenyum dan mulai mengaktifkan jaringan internetnya. Tak ada salahnya memberi pesan terakhir pada semua teman facebook dan twitter sebelum notebook ini dijual. Setidaknya, semua teman online-nya mendapat penjelasan tentang  alasannya menghilang dari peredaran.
Tak ada yang istimewa di dinding facebooknya. Hanya status-status dari semua teman dan adik kelas, foto-foto semua mahasiswi di kampus yang membuat dindingnya penuh warna, beberapa iklan dan yang terbanyak, pesan-pesan Bok yang beruntun memenuhi dinding hingga ke sudut-sudut. Yoon sempat membaca beberapa pesan dari Bok.
Yoon-ah…kenapa kau tak muncul juga? Ayolah kita keluar dan makan ddeubokki denganku”
Yoon memutar bola matanya. Buat apa keluar makan ddeubokki? Bukankah di tokonya ada sepanci besar ddeubokki hangat? Dan rasanya lebih enak dari yang ada di luar. Yoon beralih ke pesan Bok berikutnya.
“Yoon-ah…sudah minggu kedua kau tak terlihat. Tubuhku menyusut. Apa kau tega?”
Bibir Yoon mencebik. Justru ia akan sangat bersyukur jika tubuh Bok mengempis. Bukankah sudah sejuta kali ia menyuruh anak itu untuk diet tapi Bok tak pernah menggubrisnya?. Dasar tuan muda. Yoon menurunkan kursor untuk melihat pesan Bok selanjutnya.
“Yoon-ah…lingkaran kehidupan terputus. Min Jung takbisa lagi membawa makan siang untukmu, karena itu pedagang sayur dan ikan di pasar kehilangan satu pelanggannya dan aku tak lagi mendapat asupan gizi. Dalam sekali tepuk, tiga manusia menyusut karenamu. Min Jung, pedagang di pasar dan aku. Kau harus bertanggungjawab”.
Yoon tertawa. Bagaimana bisa ia bertanggungjawab pada semua orang? Enak saja. Tetapi, ingatan tentang Min Jung membuat Yoon menghela nafas. Meskipun terbersit rasa iba pada gadis itu karena tak bisa lagi membawa makan siang untuknya, namun dalam hati Yoon merasa lega. Lega sebab ia tak perlu lagi merasa jengah dengan perhatian Min Jung yang semakin hari semakin kuat. Satu-satunya yang mengganjal di hati sekarang adalah bahwa ia telah berjanji untuk makan siang bersama dengan Min Jung. Apakah ia akan bisa memenuhi janji itu? Meskipun ia belum pernah benar-benar menyukai seorang gadis, namun baginya janji tetaplah sebuah janji. Lepas dari masalah apakah ia menyukai Min Jung atau hanya sekedar kasihan pada gadis itu.
Yoon menarik nafas panjang dan mulai menuliskan pesan singkat untuk semua teman online-nya. Bukan pesan yang panjang. Hanya sebuah pesan singkat yang berisi salam hangat dan pemberitahuan bahwa ia akan menghilang untuk sejenak dari peredaran dunia maya. Selanjutnya Yoon mencari file foto untuk memasang gambar dirinya. Tetapi, foto yang bagaimana yang mesti ia pasang? Meskipun Yoon tak benar-benar memperhatikan, namun ia mendengar bisik-bisik banyak mahasiswi di kampus bahwa wajahnya sangat mirip dengan Lee Min Ho, aktor Korea yang sekarang sangat terkenal itu. Ia, sedikitpun tak pernah mempercayainya karena Yoon merasa dirinya adalah seperti apa yang dilihat dan dirasakannya setiap hari. Ia bukan orang lain. Ia adalah dirinya sendiri. Orang yang memiliki misi dan visi sendiri. Yoon meng-klik beberapa fotonya namun segera menghapusnya saat bayangan wajah aktor pemeran Kim Tan itu membayangi benaknya. Ah…tak usah memuat foto diri sajalah. Ia bukan Kim Tan. Ia adalah Kim Yoon Lu. Ia bukan anak chaebol seperti Kim Tan. Ia adalah putra dari Chef Kim Dae, seorang pemilik toko makanan tradisional Korea. Dan ia tak akan pernah jatuh cinta pada anak pembantu seperti Cha Eun Sang. Jika kelak ia memilih satu gadis, maka Yoon ingin gadis itu berasal dari keluarga dengan strata ekonomi yang kurang lebih seimbang dengan keluarganya, atau minimal, tingkat perbedaanya hanya sedikit saja, sehingga pada jalannya, ia dan gadis itu akan lebih mudah untuk saling menghargai dan menerima. Yoon-pun tak akan pernah menentang orangtuanya hanya karena gadis yang dicintainya tak bisa diterima. Ia akan berusaha dengan cara yang baik dan sopan untuk membuat gadisnya diterima oleh ayahnya. Karena bagi Yoon, cinta bukan hanya tentang dua orang, melainkan tentang dua keluarga. Cinta yang hanya berorientasi pada dua orang adalah cinta yang egois dan jahat karena demi satu orang yang baru saja bertemu dan dikenal, ia harus melupakan orang-orang yang selama puluhan tahun mengasihi, menyayangi dan melindunginya. Itu adalah hal yang sangat tidak adil bukan?. Dengan perasaan gemas, Yoon menghapus fotonya dari format pesan yang ia tulis untuk teman-teman facebooknya. Jadi…gambar apalagi yang mesti dipasangnya?
Gambar bunga?
Ah…nanti orang bisa mengira ia sedang jatuh cinta. Min Jung adalah salah satu teman di facebook. Jika ia memasang bunga warna merah, apa yang akan dipikirkan oleh Min Jung nantinya? Apa tidak tambah kasihan?. Jika ia memasang bunga warna kuning, nanti orang akan mengira bahwa ia adalah penggemar Ivy Lee, si fans aneh-nya Lee min Ho itu, dan hal tersebut malah lebih berbahaya karena orang-orang pasti akan mulai bertanya tentang masa depan yang dilihatnya melalui mimpi seperti “Berapa harga ikan-ikan di pasar besok pagi?”, “Apakah Barack Obama akan menikah lagi?”, “Berapa ekor kucing tetangga akan beranak”  atau “Apakah Sungai Han akan mengering bulan depan?”. Gawat. Yoon bergidik saat membayangkan dirinya menjadi seorang Shaman. Dan Yoon tak pernah mau menjadi seorang shaman seperti di era Dinasti Joseon.
Bagaimana kalau bunga warna hitam saja? Hitam adalah warna universal dan netral bukan?
Tapi itu juga tidak mungkin. Kalau ia memasang bunga warna hitam, bisa-bisa semua teman facebook akan segera datang memenuhi toko untuk mengucapkan bela sungkawa karena mengira ada yang meninggal. Yoon menutup folder gambar bunga dengan sebal. Jadi gambar apalagi?
Hewan?
Ia memang sangat menyukai puppy, tapi Lee Min Ho juga sangat mencintai Choco-nya. Jika ia memasang gambar puppy, maka sama saja ia menegaskan pada semua orang bahwa dirinya memang adalah duplikat dari aktor pemeran Gu Jun Pyo itu. Ah…tidak!. Kucing? Nanti dikira ia jatuh cinta pada Hale Berry si cat woman yang sangat seksi itu. Bear? Tapi Bear adalah identitas dari fans aneh si Ivy Lee. Jerapah? Bukankah itu sama saja ia berteriak pada semua orang bahwa ia memang setinggi tiang listrik?
Jadi apa?
Yoon menggaruk kepalanya dengan pusing. Hanya urusan gambar kenapa begitu sulit? Ternyata masih ada yang lebih sulit dibanding menghafal alat-alat masak milik Abeoji dan Ommonie. Benda-benda sederhana yang banyak gunanya dan…
Tiba-tiba Yoon terperanjat.
Itu dia! Kenapa tak terpikirkan olehnya? Gambar yang tak akan membuatnya mirip siapapun. Sambil tersenyum, jemari Yoon kembali menari, kemudian, hanya dalam beberapa detik, pesan singkat yang ditulisnya untuk semua teman online telah terkirim ke seluruh dinding kronologi teman, berhias satu gambar cemerlang yang mencerminkan dirinya.
Sebuah Teflon. Hitam, kuat, bulat dan berkilat. Sangat sempurna! Ha!
Dengan perasaan puas, Yoon menggerakkan jemarinya untuk menutup aplikasi facebook. Namun, sebuah status di bagian bawah membuat gerakan jari Yoon terhenti dan ia menatap status tersebut. Ternyata dari teman satu kelasnya yang telah keluar karena tak mampu lagi membayar uang kuliah dan biaya hidup di Seoul. Joong Mun, temannya yang kini bekerja di luar negeri. Terakhir ia mendapat kabar bahwa Joong Mun menetap di Hokaido dan bekerja di sebuah pabrik sebagai salah satu teknisi komputer.  Tapi itu sudah hampir lebih dari satu tahun yang lalu dan sesudahnya, Joong Mun menghilang. Dan tiba-tiba kini, anak itu muncul kembali. Yoon menatap foto profile Joong Mun yang terlihat berdiri di sebuah pantai dengan kemeja bermotif bunga-bunga. Seperti pakaian khas dari Hawai. Jari Yoon bergerak mengetuk profile Joong Mun dan terkejut saat membaca bahwa temannya itu kini memang menetap di Hawai. Hawai? Pulau Hawai? Sejak kapan? Jari Yoon menggerakkan kursornya ke bawah dan membaca status terbaru yang dikirimkan oleh Joong. Itu dua hari yang lalu. Isinya tentang festival tahunan yang akan diadakan di Hawai kurang lebih sebulan lagi.
Yoon tersenyum. Tampaknya, keadaan Joong Mun sekarang sudah baik. Terlihat dari wajahnya yang cerah dan gembira. Di tambah dengan tinggal di Pulau Hawai yang eksotik. Jari Yoon bergerak menuliskan kalimat di kolom komentar.
“Sudah jadi bos. Tentu enak”. Yoon menambahkan tanda jempol sebagai emotikom dan menekan tombol enter. Lalu bersiap untuk menutup aplikasi facebooknya. Namun, kembali gerakan jarinya terhenti saat tiba-tiba sebuah balasan dari Joon Mun datang.
“Yoon-ah!…yaaaa…lama sekali tak ketemu. Bagaimana kampung kita?” balas Joong Mun.
Yoon mengetik lagi.
“Kampung besar (Seoul) bagus, seperti biasanya. Selalu wonderful. Hawaian huh? Sejak kapan?”
Ha ha ha….Yoon-ah, di sini seperti surga. Kau harus datang ke Hawai guys. Sangat bagus untuk menunda proses penuaan. Sebentar lagi festival tahunan. Banyak bunga cantik dan segar. Yoon-ah…kau harus datang!” balas Joong Mun beberapa detik kemudian.
Yoon nyengir. Masih seperti Joong yang dulu. Selalu ‘live’ dalam hal apapun. Yoon bergerak mengetik balasan.
Festival? Kedengarannya seperti pesta. Mianhae…aku harus memasak untuk adikku. Sukses Joong. Bye”
Tapi, balasan dari Joong datang secepat kilat.
Ya..ya..ya!...Yoon-ah!...tunggu!. memasak? Kenapa aku bisa lupa? Ayahmu chef kan? Kenapa tidak kau minta ayahmu untuk mengikuti lomba memasak Yoon-ah? Hadiahnya lumayan, US $ 250.000. Yaaaa…..uang sebanyak itu bisa membuatku keliling dunia Yoon-ah”.
Alis Yoon berkerut. Lomba memasak?
“Lomba memasak? Kapan?” tanya Yoon dalam balasannya.
Dalam festival nanti. Untuk tahun ini ada lomba memasak yang bisa diikuti oleh semua orang. Banyak sekali hadiahnya. Tapi, yang berhasil menjadi juara akan memperoleh uang sebanyak US $250.000. Aku ingin ikut, tapi aku hanya bisa membuat lemon tea. Ayolah Yoon-ah….bujuk ayahmu untuk ikut. Aku yakin, ayahmu bisa memenangkan salah satu hadiahnya. Masakan ayahmu kan..enak sekali, huh?” balas Joong Mun panjang lebar.
Dan itulah titik baliknya. Dua ratus lima puluh ribu dolar Amerika adalah jumlah yang sangat lumayan. Jika saja, ia bisa memenangkannya, maka ia bukan hanya bisa memperbaiki toko yang hancur, tapi juga menebus Abeoji di penjara.
Mampukah ia memenangkan lomba itu dengan kemampuannya? Jika dibandingkan dengan Abeoji, Yoon merasa kemampuannya dalam hal memasak masih sangat jauh terlebih jika dibandingkan dengan Ommonie.
Yoon merenung sementara layar notebooknya masih menyala. Tetapi, jika ia tidak mencobanya, lalu jalan mana yang akan ia tempuh untuk mendapatkan uang?. Joong Mun mengatakan bahwa banyak sekali hadiah dalam lomba itu. Mungkin saja, ia bisa memenangkan salah satu hadiahnya meski tak sebanyak hadiah utama. Lagipula, lomba itu masih satu bulan lagi. Dan ia sekarang memiliki buku resep Ommonie. Ia bisa menggunakan waktu selama satu bulan itu untuk berlatih. Mengenai rasa? Bukankah ia memiliki seorang taster yang sangat handal bernama Park Shi Hoon alias Bok? Salah satu kelebihan Bok yang sangat suka makan adalah ia memiliki lidah yang sangat tajam terhadap rasa masakan.
Sebuah peluang ada dan datang untuk dijawab dan dicoba, bukan untuk dibiarkan berlalu. Yoon pernah mendengar kalimat itu dari Ommonie disaat kecilnya dulu. Dan kini, peluang itu datang padanya, menunggu jawabannya.
Bibir Yoon telah menyunggingkan seulas senyum ketika jemarinya kembali bergerak di kolom komentar menuliskan balasan untuk Joong Mun.
“Baiklah…aku akan mencobanya”.
“Sungguh? Yes!!.....tenang saja Yoon-ah. Aku akan mendaftarkan ayahmu. Yes!!...Yes!!...Yes!!...aku akan menjadi supporter kalian” balas Joong Mun setengah detik kemudian membuat Yoon tertawa.
Menit selanjutnya, mendadak Yoon merasa sangat bersemangat. Langkah demi langkah rencana segera tersusun di benaknya secepat kilat. Segera, begitu ia telah selesai memindahkan seluruh file penting dari notebook ke semua flash data yang dimilikinya, Yoon segera mematikan notebook dan memasukkannya kembali ke dalam tas ransel. Lalu, pemuda itu bergerak ke arah dapur. Rasa letih dan kantuk sama sekali tak terasa. Ia harus menemui seseorang. Maka Yoon segera meraih sayuran yang telah dikeluarkannya dari dalam lemari pendingin dan sekotak telur. Sesaat kemudian, jemari panjang Yoon telah menari, membuat telur gulung untuk Seon yang pulas di kamarnya.
**************
 “Chang Hyuk?” panggil Yoon sambil turun dari sepeda Seon. Tas ranselnya disandang di bahu sementara tangan kanannya menuntun sepeda. Hari masih pagi. Setelah membuatkan sarapan untuk Seon, ia segera memacu sepeda menuju distrik Songpa (Songpa-Gu) di mana salah satu teman satu kelas tinggal. Keluarga Chang Hyuk, mempunyai toko mainan digital dan elektronik yang dikelola bersama. Ia memilih Chang Hyuk sebagai orang pertama yang akan ditawarinya untuk membeli notebook yang ia bawa karena anak itu adalah salah satu teman baik yang sering berkumpul bersamanya dan Bok. Selain itu, Chang Hyuk sendiri pernah menanyakan jika ia mau menjual notebooknya, maka ia akan membelinya. Tetapi, saat itu, Yoon hanya tertawa karena tak pernah terbersit sedikitpun bahwa ia akan mengalami kehidupan yang terjungkir balik seperti sekarang.
“Yoon-ah!...pagi sekali? Ya…kau menghilang dari kampus begitu lama” seru seorang pemuda bertubuh tinggi dan agak kurus. Kacamata bulat bertengger di wajahnya. Ia tengah mengelap kaca etalase tokonya yang terlihat semarak.
“Apa kau sibuk? Mengganggu?” tanya Yoon sambil tersenyum. Sepeda Seon disandarkannya di sisi jendela toko. Pada tembok bermotif batuan alam.
“Tentu saja tidak!” jawab Chang Hyuk nyaris membentak. Sepasang mata di balik kacamatanya melotot ke arah Yoon membuat Yoon tertawa. “Pertanyaan macam apa itu? Ayo masuk! Kita duduk saja di dalam”.
Yoon mengangguk dan mengikuti Chang Hyuk masuk ke dalam toko.
“Apa?” Chang Hyuk memandang Yoon dan notebook di depannya berganti-ganti saat Yoon selesai mengutarakan maksudnya. “Yaaa….Yoon-ah…kenapa harus begini? Aku akan senang sekali memiliki notebook bersejarah ini. Tapi, bukankah ini benda kesayanganmu? Kau memenangkan notebook ini dari Kevin Young dalam persaingan yang sangat ketat dan menegangkan. Tidak..tidak…kau tak boleh menjualnya Yoon-ah. Kalau kau membutuhkan uang, katakan saja. Aku punya sedikit tabungan. Kau bisa memakainya”.
Yoon tersenyum. Ada rasa haru mendesak dalam ruang dadanya. Terlebih saat ia melihat kerut di kening Chang Hyuk.
“Tolonglah” kata Yoon membuat Chang Hyuk gelisah. “Aku sangat berterima kasih atas  tawaranmu. Tapi, aku berharap kau memberiku kesempatan untuk berusaha. Kau tahu aku pasti akan memintamu atau Bok jika memang aku sudah menyerah. Iya kan? Tapi, selama aku masih mampu untuk berusaha, maka berilah aku kesempatan”.
Chang Hyuk tertunduk dengan ekspresi berpikir yang membuat keningnya berkerut semakin dalam sementara Yoon diam menunggu. Hingga kemudian…
“Baiklah…tinggalkan notebook ini padaku. Aku mengenal seseorang yang memang ingin membeli notebook ini selain aku dengan harga tinggi. Aku akan menawarkan padanya lebih dulu. Aku yakin dia pasti mau karena ia sangat mengagumimu” ujar Chang Hyuk membuat Yoon menelngkan kepalanya.
“Siapa? Salah satu adik kelas?” tanya Yoon.
Chang Hyuk tertawa. “Kau tak perlu tahu. Yang pasti, harganya tak akan mengecewakan. Percayalah padaku”.
Yoon tersenyum dengan bibir mengerucut, lalu mengangkat  bahunya. “Baiklah…tidak masalah”.
“Tapi Yoon-ah….kalau aku boleh tahu, kenapa tiba-tiba kau ingin menjual benda yang sangat kau sayangi ini?” tanya Chang Hyuk sambil menatap sahabatnya.
Yoon menghela nafas.
“Kau sudah mendengar apa yang terjadi pada keluargaku?” Yoon ganti bertanya.
Chang Hyuk mengangguk dengan raut prihatin.
“Ya, si Gendut sudah menceritakannya padaku” jawabnya kemudian. ‘Si Gendut’ adalah nama olok-olok Bok yang diberikan oleh Chang Hyuk sementara Bok memanggil Chang Hyuk dengan nama olok-olok ‘Ranting’.
“Aku sungguh tak mengira Han Hyung akan berubah sejauh itu. Dulu…ia sangat berbeda” lanjut Chang Hyuk sedetik kemudian.
“Aku membutuhkan uang untuk biaya perjalanan ke Hawai” ujar Yoon. Sengaja mengalihkan topik pembicaraan dari masalah kakaknya. Mendengar nama ‘Han Hyung’ terasa seperti menyeret keluar kepedihan dalam hatinya. Juga rasa marah sekaligus tak mengerti.
Chang Hyuk jelas terlihat terperanjat. “Apa?! Hawai? Maksudmu Pulau Hawai? Hula-Hula?....yaaaa…..Yoon-ah…kau sungguh luar biasa. Di saat masa sulit kau masih mampu untuk berpikir tentang berlibur ke tempat yang sangat indah”.
“Aku bukan ingin berlibur Chang Hyuk” jawab Yoon sambil tertawa. “Aku ke sana untuk mengikuti lomba memasak. Mungkin saja, aku bisa memenangkan salah satu hadiah yang disediakan”.
Tetapi, penjelasan Yoon tersebut justru semakin membuat Chang Hyuk makin terkejut. Pemuda kurus berkacamata itu sampai menarik kursi yang diduduki mendekat ke arah Yoon.
“Ceritakan padaku, bagaimana kau bisa tahu kalau di sana akan di adakan lomba memasak?” tanyanya dengan nada antusias.
Yoon mengerdik namun segera mengangguk hormat saat seorang wanita yang diketahuinya sebagai ibu Chang Hyuk datang menghantarkan dua cangkir teh hijau dan sepiring kue labu buatan sendiri. Sesaat berbasa-basi dengan wanita yang masih terlihat lincah di usia senja itu, kemudian, Yoon dan Chang Hyuk kembali terlibat dalam pembicaraan yang hangat.
************

Tidak ada komentar:

Posting Komentar