Bandara
Internasional Honolulu….
Satu
bulan kemudian…..
Yoon
melipat majalah yang dibacanya dan mengembalikan ke kantong kursi di depannya.
Suara berisik yang lemah terdengar setelah pramugari mengatakan bahwa mereka
telah sampai di Bandar Udara Internasional Honolulu dan meminta kepada seluruh
penumpang agar bersiap-siap. Yoon memasukkan ponselnya ke dalam saku celana
jeansnya sementara headset terpasang di kedua telinga. Posisinya yang duduk
tepat di sisi jendela membuatnya dapat melihat pemandangan di luar. Bentangan
bandara internasional yang sangat terkenal terlihat jelas di bawah sementara
pesawat-pesawat yang terparkir terlihat berjejer dalam ukuran kecil dari
jendela pesawat yang membawanya sekarang. Sesekali, gumpalan awan putih melayang
ringan menutupi pandangan. Pilot pasti sedang menunggu perintah aba-aba dari
operator bandara untuk mendarat.
Yoon
menarik nafas panjang. Tak pernah terbersit dalam benaknya bahwa ia akan sampai
di sebuah pulau yang paling terkenal di seluruh dunia. Pulau Hawai. Pulau
dengan sejuta keindahan alam tropis yang selama ini hanya dilihatnya melalui
gambar-gambar di internet maupun media lain.
Tapi,
inilah kenyataannya. Sekarang ia berada di atas Kepulauan Hawai, sedang menanti
saat untuk mendarat. Ini bukan mimpi, terlebih sebuah mimpi indah tentang
wisata impian. Ia datang ke pulau ini demi untuk sebuah misi penyelamatan.
Menyelamatkan keluarganya yang berada diambang kehancuran. Mengeluarkan Abeoji
dari penjara, membayar cicilan hutang di bank dan mencari modal untuk memperbaiki
toko yang hancur dan memulai usaha baru.
Dan
keinginan datang ke Hawai muncul dalam sekejab waktu di pagi buta setelah ia
menemukan surat Ommonie di dalam onggi. Kata demi kata dari Ommonie yang
meruntuhkan ketegarannya namun sekaligus juga melecut semangatnya. Ingatan Yoon
melayang pada pagi hari sebulan yang lalu, saat ia telah memuaskan seluruh
tangisnya di atas onggi sang ibu dan airmata yang membanjir dari matanya
menghapus lapisan debu di permukaan onggi membuat Yoon dapat melihat bahwa
permukaan onggi yang mungil tersebut ternyata berbeda dengan onggi-onggi lain
yang berukuran lebih besar. Onggi kecil Ommonie dipenuhi guratan-guratan halus seperti sebuah
lukisan dari garis dan lengkungan garis yang unik. Tetapi, pada satu sudut di
bagian bawah, Yoon melihat satu bentuk mirip barisan huruf hangul yang berbunyi
“Yoon-ah” yang membuatnya curiga
bahwa lukisan dari garis, lengkungan garis dan bulatan serupa tanda titik itu
sesungguhnya adalah barisan kalimat. Yoon membuka sekali lagi surat Ommonie dan
membaca kalimat “jika kau
menemukan surat Omma ini, kau pasti juga menemukan buku resep Omma….”. Apakah itu berarti, buku resep
Ommonie adalah onggi kecil di tangannya ini?.
Yoon
bangkit berdiri dari lantai dapur dan bergegas menuju ke kotak perkakas
tempatnya menyimpan beberapa alat yang biasa digunakannya untuk mereparasi
komputer maupun notebook dan segera mengambil lup kaca pembesar dari dalam
kotak. Selanjutnya, ia segera tenggelam dalam rasa takjub saat menemukan
barisan kalimat demi kalimat yang ditulis dengan sangat rapi dan kecil. Ia
mengenal deretan huruf-huruf hangul itu sebagai goresan Ommonie. Mungkin saja,
Ommonie membuat sendiri onggi kecil ini dan menulisinya selagi onggi yang
dibuatnya belum terlalu kering terlihat dari bentuk-bentuk huruf yang
bersemburat warna hitam kecoklatan karena gosong pada proses pembakaran. Atau,
mungkin Ommonie menulisi onggi ini menggunakan pena baja yang panas yang biasa
digunakan untuk menulisi permukaan keramik dan kayu.
Yoon
membaca sekilas resep-resep yang tertulis di atas permukaan onggi. Secara
keseluruhan, permukaan onggi tertutup oleh tulisan Ommonie tentang berbagai
resep yang diketahuinya, mulai dari leher onggi hingga ke bagian bawah onggi.
Bahkan bagian tutup-pun tak lepas dari tulisan Ommonie. Sayang, ada satu bagian
resep yang tak terbaca di bagian tutup karena pecahnya bagian tersebut saat
tutup onggi jatuh dan menggelinding jauh. Yoon memungut pecahan tutup onggi dan
berusaha menyatukannya kembali, namun ternyata sangat sulit untuk dilakukan
karena bagian tutup yang pecah itu hanya berupa serpihan-serpihan lembut tak
beraturan.
Jadi,
sekarang ia memiliki sebuah buku resep yang sangat bagus. Lalu, apalagi yang
harus dilakukannya untuk menyelamatkan keluarga? Buku resep yang paling
baguspun tak akan bisa melakukan apa-apa untuknya jika ia tak memiliki uang
untuk mewujudkan apa yang tertulis di dalamnya. Yoon meletakkan lup kaca
pembesar dan onggi yang dibacanya ke atas meja, menarik kursi dan duduk
terpekur saat ia sampai pada satu masalah mendasar yang sangat pelik baginya
saat ini.
Uang.
Darimana
ia akan mendapatkan uang? Semua uang yang ada di laci meja kasir sudah diambil
oleh Han, demikian juga simpanannya di dalam toples. Dan sekali lagi, ia tak
bisa untuk meminta pada Bok, meski dengan sebuah kata “meminjam”. Semua benda
eletronik dan apapun yang berharga cukup lumayan untuk dijual dan menghasilkan
uang telah disita oleh bank. Satu-satunya benda yang tersisa di sisinya hanyalah
ponselnya yang tak lagi pernah aktif, smartphone Seon yang semakin tak mungkin
untuk dijualnya mengingat kecintaan gadis kecil itu pada App-nya dan hanya
benda itulah kini yang menjadi media penghibur bagi Seon. Jadi apa?
Ia
bukan orang yang menyukai untuk mengoleksi pakaian maupun sepatu berharga
mahal. Pada masa-masa lalu, disaat toko masih berjalan dengan ramai dan
kakaknya belum berubah serta membuat masalah, ia bisa membeli pakaian maupun
sepatu tanpa kesulitan. Namun, selalu, apa yang dipilihnya adalah pakaian dan
sepatu sederhana tanpa merk yang tak akan laku untuk dijual kembali. Jadi apa
yang bisa dilakukannya sekarang? Menjual tenaga? Itu mungkin saja. Tapi, di
mana ia bisa menjual tenaganya? Ia tak memiliki keahlian apapun yang bisa
dibanggakannya selain kemampuannya di bidang IT, mereparasi komputer dan
notebook serta….
Mendadak
Yoon terperanjat. Notebook!
Bukankah
ia masih memiliki notebook-nya? Dan benda itu tak masuk hitungan benda-benda
yang disita oleh bank karena pada saat bank datang, notebook-nya ada
bersamanya, di dalam ranselnya. Dan ia sedang berada di kampus saat itu,
menjadi asisten untuk Profesor Bae dan bersiap untuk ujian pertama dari
Profesor Ryu. Kenapa ia sampai melupakan benda itu? Notebook itu jika dijual
tentu bisa menghasilkan uang. Meskipun tentu saja tak banyak karena
bagaimanapun, notebook itu bukan benda baru. Tapi, mengingat reputasinya selama
ini sebagai master IT di kampusnya, Yoon berharap ia dapat menjualnya pada
salah satu adik kelas atau teman satu angkatannya. Mereka tentu akan memberi
harga yang pantas. Mungkin saja bukan?.
Yoon
segera bangkit dari kursi dan berjalan cepat ke sisi gudang yang beralih fungsi
sebagai kamar Seon lalu mengambil tas ransel kuliah yang tak pernah lagi
disentuhnya sejak hari ia meninggalkan kampus. Notebook hitam kesayangannya ada
di dalam ransel itu dan belum pernah sekalipun disentuhnya. Bahkan nyaris saja,
Yoon melupakan benda itu hingga beberapa menit lalu. Yoon meletakkan notebook
hitamnya ke atas meja dan duduk di kursi. Tangannya mengelus permukaan
notebook. Benda ini telah menemaninya selama dua tahun lebih. Ia mendapatkan
notebook ini bukan dengan jalan membeli melainkan setelah ia mengalahkan Kevin
Young, rival terberatnya dalam sebuah lomba sains program untuk aplikasi
smartphone yang baru. Karena itulah notebook ini sangat berarti baginya. Lebih
berharga lagi karena notebook ini tak dijual dimanapun diseluruh Korea Selatan,
bahkan diseluruh dunia. Notebook ini sengaja dibuat secara khusus sebagai
hadiah bagi pemenang lomba sains program. Notebook yang diserahkan langsung
oleh perdana menteri Korea Selatan Jung Hong Won, lengkap dengan tanda tangan
asli yang tak terdapat pada notebook manapun.
Yoon
membuka notebooknya dan menekan tombol power. Menyentuh notebook yang lama
dilupakannya membuat semua kata-kata Bok kembali terngiang dalam ingatan Yoon.
Bahwa ia tak lagi bisa dihubungi, bahwa ia tak lagi mengupdate SNS-nya. Bahwa
twitternya sangat sepi. Yoon tersenyum dan mulai mengaktifkan jaringan
internetnya. Tak ada salahnya memberi pesan terakhir pada semua teman facebook
dan twitter sebelum notebook ini dijual. Setidaknya, semua teman online-nya
mendapat penjelasan tentang alasannya
menghilang dari peredaran.
Tak
ada yang istimewa di dinding facebooknya. Hanya status-status dari semua teman
dan adik kelas, foto-foto semua mahasiswi di kampus yang membuat dindingnya
penuh warna, beberapa iklan dan yang terbanyak, pesan-pesan Bok yang beruntun
memenuhi dinding hingga ke sudut-sudut. Yoon sempat membaca beberapa pesan dari
Bok.
“Yoon-ah…kenapa kau tak muncul juga? Ayolah
kita keluar dan makan ddeubokki denganku”
Yoon
memutar bola matanya. Buat apa keluar makan ddeubokki? Bukankah di tokonya ada
sepanci besar ddeubokki hangat? Dan rasanya lebih enak dari yang ada di luar.
Yoon beralih ke pesan Bok berikutnya.
“Yoon-ah…sudah minggu kedua kau
tak terlihat. Tubuhku menyusut. Apa kau tega?”
Bibir
Yoon mencebik. Justru ia akan sangat bersyukur jika tubuh Bok mengempis.
Bukankah sudah sejuta kali ia menyuruh anak itu untuk diet tapi Bok tak pernah
menggubrisnya?. Dasar tuan muda. Yoon menurunkan kursor untuk melihat pesan Bok
selanjutnya.
“Yoon-ah…lingkaran kehidupan
terputus. Min Jung takbisa lagi membawa makan siang untukmu, karena itu
pedagang sayur dan ikan di pasar kehilangan satu pelanggannya dan aku tak lagi
mendapat asupan gizi. Dalam sekali tepuk, tiga manusia menyusut karenamu. Min
Jung, pedagang di pasar dan aku. Kau harus bertanggungjawab”.
Yoon
tertawa. Bagaimana bisa ia bertanggungjawab pada semua orang? Enak saja.
Tetapi, ingatan tentang Min Jung membuat Yoon menghela nafas. Meskipun
terbersit rasa iba pada gadis itu karena tak bisa lagi membawa makan siang
untuknya, namun dalam hati Yoon merasa lega. Lega sebab ia tak perlu lagi
merasa jengah dengan perhatian Min Jung yang semakin hari semakin kuat.
Satu-satunya yang mengganjal di hati sekarang adalah bahwa ia telah berjanji
untuk makan siang bersama dengan Min Jung. Apakah ia akan bisa memenuhi janji
itu? Meskipun ia belum pernah benar-benar menyukai seorang gadis, namun baginya
janji tetaplah sebuah janji. Lepas dari masalah apakah ia menyukai Min Jung
atau hanya sekedar kasihan pada gadis itu.
Yoon
menarik nafas panjang dan mulai menuliskan pesan singkat untuk semua teman
online-nya. Bukan pesan yang panjang. Hanya sebuah pesan singkat yang berisi
salam hangat dan pemberitahuan bahwa ia akan menghilang untuk sejenak dari
peredaran dunia maya. Selanjutnya Yoon mencari file foto untuk memasang gambar
dirinya. Tetapi, foto yang bagaimana yang mesti ia pasang? Meskipun Yoon tak
benar-benar memperhatikan, namun ia mendengar bisik-bisik banyak mahasiswi di
kampus bahwa wajahnya sangat mirip dengan Lee Min Ho, aktor Korea yang sekarang
sangat terkenal itu. Ia, sedikitpun tak pernah mempercayainya karena Yoon
merasa dirinya adalah seperti apa yang dilihat dan dirasakannya setiap hari. Ia
bukan orang lain. Ia adalah dirinya sendiri. Orang yang memiliki misi dan visi
sendiri. Yoon meng-klik beberapa fotonya namun segera menghapusnya saat
bayangan wajah aktor pemeran Kim Tan itu membayangi benaknya. Ah…tak usah
memuat foto diri sajalah. Ia bukan Kim Tan. Ia adalah Kim Yoon Lu. Ia bukan
anak chaebol seperti Kim Tan. Ia adalah putra dari Chef Kim Dae, seorang
pemilik toko makanan tradisional Korea. Dan ia tak akan pernah jatuh cinta pada
anak pembantu seperti Cha Eun Sang. Jika kelak ia memilih satu gadis, maka Yoon
ingin gadis itu berasal dari keluarga dengan strata ekonomi yang kurang lebih seimbang
dengan keluarganya, atau minimal, tingkat perbedaanya hanya sedikit saja,
sehingga pada jalannya, ia dan gadis itu akan lebih mudah untuk saling
menghargai dan menerima. Yoon-pun tak akan pernah menentang orangtuanya hanya
karena gadis yang dicintainya tak bisa diterima. Ia akan berusaha dengan cara
yang baik dan sopan untuk membuat gadisnya diterima oleh ayahnya. Karena bagi
Yoon, cinta bukan hanya tentang dua orang, melainkan tentang dua keluarga.
Cinta yang hanya berorientasi pada dua orang adalah cinta yang egois dan jahat
karena demi satu orang yang baru saja bertemu dan dikenal, ia harus melupakan
orang-orang yang selama puluhan tahun mengasihi, menyayangi dan melindunginya.
Itu adalah hal yang sangat tidak adil bukan?. Dengan perasaan gemas, Yoon
menghapus fotonya dari format pesan yang ia tulis untuk teman-teman
facebooknya. Jadi…gambar apalagi yang mesti dipasangnya?
Gambar
bunga?
Ah…nanti
orang bisa mengira ia sedang jatuh cinta. Min Jung adalah salah satu teman di
facebook. Jika ia memasang bunga warna merah, apa yang akan dipikirkan oleh Min
Jung nantinya? Apa tidak tambah kasihan?. Jika ia memasang bunga warna kuning,
nanti orang akan mengira bahwa ia adalah penggemar Ivy Lee, si fans aneh-nya
Lee min Ho itu, dan hal tersebut malah lebih berbahaya karena orang-orang pasti
akan mulai bertanya tentang masa depan yang dilihatnya melalui mimpi seperti
“Berapa harga ikan-ikan di pasar besok pagi?”, “Apakah Barack Obama akan
menikah lagi?”, “Berapa ekor kucing tetangga akan beranak” atau “Apakah Sungai Han akan mengering bulan
depan?”. Gawat. Yoon bergidik saat membayangkan dirinya menjadi seorang Shaman.
Dan Yoon tak pernah mau menjadi seorang shaman seperti di era Dinasti Joseon.
Bagaimana
kalau bunga warna hitam saja? Hitam adalah warna universal dan netral bukan?
Tapi
itu juga tidak mungkin. Kalau ia memasang bunga warna hitam, bisa-bisa semua
teman facebook akan segera datang memenuhi toko untuk mengucapkan bela sungkawa
karena mengira ada yang meninggal. Yoon menutup folder gambar bunga dengan
sebal. Jadi gambar apalagi?
Hewan?
Ia
memang sangat menyukai puppy, tapi Lee Min Ho juga sangat mencintai Choco-nya.
Jika ia memasang gambar puppy, maka sama saja ia menegaskan pada semua orang
bahwa dirinya memang adalah duplikat dari aktor pemeran Gu Jun Pyo itu.
Ah…tidak!. Kucing? Nanti dikira ia jatuh cinta pada Hale Berry si cat woman
yang sangat seksi itu. Bear? Tapi Bear adalah identitas dari fans aneh si Ivy
Lee. Jerapah? Bukankah itu sama saja ia berteriak pada semua orang bahwa ia
memang setinggi tiang listrik?
Jadi
apa?
Yoon
menggaruk kepalanya dengan pusing. Hanya urusan gambar kenapa begitu sulit?
Ternyata masih ada yang lebih sulit dibanding menghafal alat-alat masak milik
Abeoji dan Ommonie. Benda-benda sederhana yang banyak gunanya dan…
Tiba-tiba
Yoon terperanjat.
Itu
dia! Kenapa tak terpikirkan olehnya? Gambar yang tak akan membuatnya mirip
siapapun. Sambil tersenyum, jemari Yoon kembali menari, kemudian, hanya dalam
beberapa detik, pesan singkat yang ditulisnya untuk semua teman online telah
terkirim ke seluruh dinding kronologi teman, berhias satu gambar cemerlang yang
mencerminkan dirinya.
Sebuah
Teflon. Hitam, kuat, bulat dan berkilat. Sangat sempurna! Ha!
Dengan
perasaan puas, Yoon menggerakkan jemarinya untuk menutup aplikasi facebook.
Namun, sebuah status di bagian bawah membuat gerakan jari Yoon terhenti dan ia
menatap status tersebut. Ternyata dari teman satu kelasnya yang telah keluar
karena tak mampu lagi membayar uang kuliah dan biaya hidup di Seoul. Joong Mun,
temannya yang kini bekerja di luar negeri. Terakhir ia mendapat kabar bahwa
Joong Mun menetap di Hokaido dan bekerja di sebuah pabrik sebagai salah satu
teknisi komputer. Tapi itu sudah hampir
lebih dari satu tahun yang lalu dan sesudahnya, Joong Mun menghilang. Dan
tiba-tiba kini, anak itu muncul kembali. Yoon menatap foto profile Joong Mun
yang terlihat berdiri di sebuah pantai dengan kemeja bermotif bunga-bunga.
Seperti pakaian khas dari Hawai. Jari Yoon bergerak mengetuk profile Joong Mun
dan terkejut saat membaca bahwa temannya itu kini memang menetap di Hawai.
Hawai? Pulau Hawai? Sejak kapan? Jari Yoon menggerakkan kursornya ke bawah dan
membaca status terbaru yang dikirimkan oleh Joong. Itu dua hari yang lalu.
Isinya tentang festival tahunan yang akan diadakan di Hawai kurang lebih
sebulan lagi.
Yoon
tersenyum. Tampaknya, keadaan Joong Mun sekarang sudah baik. Terlihat dari
wajahnya yang cerah dan gembira. Di tambah dengan tinggal di Pulau Hawai yang
eksotik. Jari Yoon bergerak menuliskan kalimat di kolom komentar.
“Sudah jadi bos. Tentu enak”. Yoon menambahkan tanda jempol
sebagai emotikom dan menekan tombol enter. Lalu bersiap untuk menutup aplikasi
facebooknya. Namun, kembali gerakan jarinya terhenti saat tiba-tiba sebuah
balasan dari Joon Mun datang.
“Yoon-ah!…yaaaa…lama sekali tak
ketemu. Bagaimana kampung kita?” balas
Joong Mun.
Yoon
mengetik lagi.
“Kampung besar (Seoul) bagus,
seperti biasanya. Selalu wonderful. Hawaian huh? Sejak kapan?”
“Ha ha ha….Yoon-ah, di sini seperti surga. Kau
harus datang ke Hawai guys. Sangat bagus untuk menunda proses penuaan. Sebentar
lagi festival tahunan. Banyak bunga cantik dan segar. Yoon-ah…kau harus
datang!” balas Joong Mun beberapa detik kemudian.
Yoon
nyengir. Masih seperti Joong yang dulu. Selalu ‘live’ dalam hal apapun. Yoon
bergerak mengetik balasan.
“Festival? Kedengarannya seperti pesta.
Mianhae…aku harus memasak untuk adikku. Sukses Joong. Bye”
Tapi,
balasan dari Joong datang secepat kilat.
“Ya..ya..ya!...Yoon-ah!...tunggu!. memasak?
Kenapa aku bisa lupa? Ayahmu chef kan? Kenapa tidak kau minta ayahmu untuk
mengikuti lomba memasak Yoon-ah? Hadiahnya lumayan, US $ 250.000. Yaaaa…..uang
sebanyak itu bisa membuatku keliling dunia Yoon-ah”.
Alis
Yoon berkerut. Lomba memasak?
“Lomba memasak? Kapan?” tanya Yoon dalam balasannya.
“Dalam festival nanti. Untuk tahun ini ada
lomba memasak yang bisa diikuti oleh semua orang. Banyak sekali hadiahnya.
Tapi, yang berhasil menjadi juara akan memperoleh uang sebanyak US $250.000.
Aku ingin ikut, tapi aku hanya bisa membuat lemon tea. Ayolah Yoon-ah….bujuk
ayahmu untuk ikut. Aku yakin, ayahmu bisa memenangkan salah satu hadiahnya.
Masakan ayahmu kan..enak sekali, huh?” balas Joong Mun panjang lebar.
Dan
itulah titik baliknya. Dua ratus lima puluh ribu dolar Amerika adalah jumlah
yang sangat lumayan. Jika saja, ia bisa memenangkannya, maka ia bukan hanya
bisa memperbaiki toko yang hancur, tapi juga menebus Abeoji di penjara.
Mampukah
ia memenangkan lomba itu dengan kemampuannya? Jika dibandingkan dengan Abeoji,
Yoon merasa kemampuannya dalam hal memasak masih sangat jauh terlebih jika
dibandingkan dengan Ommonie.
Yoon
merenung sementara layar notebooknya masih menyala. Tetapi, jika ia tidak
mencobanya, lalu jalan mana yang akan ia tempuh untuk mendapatkan uang?. Joong
Mun mengatakan bahwa banyak sekali hadiah dalam lomba itu. Mungkin saja, ia
bisa memenangkan salah satu hadiahnya meski tak sebanyak hadiah utama.
Lagipula, lomba itu masih satu bulan lagi. Dan ia sekarang memiliki buku resep
Ommonie. Ia bisa menggunakan waktu selama satu bulan itu untuk berlatih.
Mengenai rasa? Bukankah ia memiliki seorang taster yang sangat handal bernama
Park Shi Hoon alias Bok? Salah satu kelebihan Bok yang sangat suka makan adalah
ia memiliki lidah yang sangat tajam terhadap rasa masakan.
Sebuah
peluang ada dan datang untuk dijawab dan dicoba, bukan untuk dibiarkan berlalu.
Yoon pernah mendengar kalimat itu dari Ommonie disaat kecilnya dulu. Dan kini,
peluang itu datang padanya, menunggu jawabannya.
Bibir
Yoon telah menyunggingkan seulas senyum ketika jemarinya kembali bergerak di
kolom komentar menuliskan balasan untuk Joong Mun.
“Baiklah…aku akan mencobanya”.
“Sungguh? Yes!!.....tenang saja
Yoon-ah. Aku akan mendaftarkan ayahmu. Yes!!...Yes!!...Yes!!...aku akan menjadi
supporter kalian”
balas Joong Mun setengah detik kemudian membuat Yoon tertawa.
Menit
selanjutnya, mendadak Yoon merasa sangat bersemangat. Langkah demi langkah
rencana segera tersusun di benaknya secepat kilat. Segera, begitu ia telah
selesai memindahkan seluruh file penting dari notebook ke semua flash data yang
dimilikinya, Yoon segera mematikan notebook dan memasukkannya kembali ke dalam
tas ransel. Lalu, pemuda itu bergerak ke arah dapur. Rasa letih dan kantuk sama
sekali tak terasa. Ia harus menemui seseorang. Maka Yoon segera meraih sayuran
yang telah dikeluarkannya dari dalam lemari pendingin dan sekotak telur. Sesaat
kemudian, jemari panjang Yoon telah menari, membuat telur gulung untuk Seon
yang pulas di kamarnya.
**************
“Chang
Hyuk?” panggil Yoon sambil turun dari sepeda Seon. Tas ranselnya disandang di
bahu sementara tangan kanannya menuntun sepeda. Hari masih pagi. Setelah
membuatkan sarapan untuk Seon, ia segera memacu sepeda menuju distrik Songpa
(Songpa-Gu) di mana salah satu teman satu kelas tinggal. Keluarga Chang Hyuk,
mempunyai toko mainan digital dan elektronik yang dikelola bersama. Ia memilih
Chang Hyuk sebagai orang pertama yang akan ditawarinya untuk membeli notebook
yang ia bawa karena anak itu adalah salah satu teman baik yang sering berkumpul
bersamanya dan Bok. Selain itu, Chang Hyuk sendiri pernah menanyakan jika ia
mau menjual notebooknya, maka ia akan membelinya. Tetapi, saat itu, Yoon hanya
tertawa karena tak pernah terbersit sedikitpun bahwa ia akan mengalami
kehidupan yang terjungkir balik seperti sekarang.
“Yoon-ah!...pagi
sekali? Ya…kau menghilang dari kampus begitu lama” seru seorang pemuda bertubuh
tinggi dan agak kurus. Kacamata bulat bertengger di wajahnya. Ia tengah
mengelap kaca etalase tokonya yang terlihat semarak.
“Apa
kau sibuk? Mengganggu?” tanya Yoon sambil tersenyum. Sepeda Seon disandarkannya
di sisi jendela toko. Pada tembok bermotif batuan alam.
“Tentu
saja tidak!” jawab Chang Hyuk nyaris membentak. Sepasang mata di balik
kacamatanya melotot ke arah Yoon membuat Yoon tertawa. “Pertanyaan macam apa
itu? Ayo masuk! Kita duduk saja di dalam”.
Yoon
mengangguk dan mengikuti Chang Hyuk masuk ke dalam toko.
“Apa?”
Chang Hyuk memandang Yoon dan notebook di depannya berganti-ganti saat Yoon selesai
mengutarakan maksudnya. “Yaaa….Yoon-ah…kenapa harus begini? Aku akan senang
sekali memiliki notebook bersejarah ini. Tapi, bukankah ini benda kesayanganmu?
Kau memenangkan notebook ini dari Kevin Young dalam persaingan yang sangat
ketat dan menegangkan. Tidak..tidak…kau tak boleh menjualnya Yoon-ah. Kalau kau
membutuhkan uang, katakan saja. Aku punya sedikit tabungan. Kau bisa
memakainya”.
Yoon
tersenyum. Ada rasa haru mendesak dalam ruang dadanya. Terlebih saat ia melihat
kerut di kening Chang Hyuk.
“Tolonglah”
kata Yoon membuat Chang Hyuk gelisah. “Aku sangat berterima kasih atas tawaranmu. Tapi, aku berharap kau memberiku
kesempatan untuk berusaha. Kau tahu aku pasti akan memintamu atau Bok jika
memang aku sudah menyerah. Iya kan? Tapi, selama aku masih mampu untuk
berusaha, maka berilah aku kesempatan”.
Chang
Hyuk tertunduk dengan ekspresi berpikir yang membuat keningnya berkerut semakin
dalam sementara Yoon diam menunggu. Hingga kemudian…
“Baiklah…tinggalkan
notebook ini padaku. Aku mengenal seseorang yang memang ingin membeli notebook
ini selain aku dengan harga tinggi. Aku akan menawarkan padanya lebih dulu. Aku
yakin dia pasti mau karena ia sangat mengagumimu” ujar Chang Hyuk membuat Yoon
menelngkan kepalanya.
“Siapa?
Salah satu adik kelas?” tanya Yoon.
Chang
Hyuk tertawa. “Kau tak perlu tahu. Yang pasti, harganya tak akan mengecewakan.
Percayalah padaku”.
Yoon
tersenyum dengan bibir mengerucut, lalu mengangkat bahunya. “Baiklah…tidak masalah”.
“Tapi
Yoon-ah….kalau aku boleh tahu, kenapa tiba-tiba kau ingin menjual benda yang
sangat kau sayangi ini?” tanya Chang Hyuk sambil menatap sahabatnya.
Yoon
menghela nafas.
“Kau
sudah mendengar apa yang terjadi pada keluargaku?” Yoon ganti bertanya.
Chang
Hyuk mengangguk dengan raut prihatin.
“Ya,
si Gendut sudah menceritakannya padaku” jawabnya kemudian. ‘Si Gendut’ adalah
nama olok-olok Bok yang diberikan oleh Chang Hyuk sementara Bok memanggil Chang
Hyuk dengan nama olok-olok ‘Ranting’.
“Aku
sungguh tak mengira Han Hyung akan berubah sejauh itu. Dulu…ia sangat berbeda”
lanjut Chang Hyuk sedetik kemudian.
“Aku
membutuhkan uang untuk biaya perjalanan ke Hawai” ujar Yoon. Sengaja
mengalihkan topik pembicaraan dari masalah kakaknya. Mendengar nama ‘Han Hyung’
terasa seperti menyeret keluar kepedihan dalam hatinya. Juga rasa marah
sekaligus tak mengerti.
Chang
Hyuk jelas terlihat terperanjat. “Apa?! Hawai? Maksudmu Pulau Hawai?
Hula-Hula?....yaaaa…..Yoon-ah…kau sungguh luar biasa. Di saat masa sulit kau
masih mampu untuk berpikir tentang berlibur ke tempat yang sangat indah”.
“Aku
bukan ingin berlibur Chang Hyuk” jawab Yoon sambil tertawa. “Aku ke sana untuk
mengikuti lomba memasak. Mungkin saja, aku bisa memenangkan salah satu hadiah
yang disediakan”.
Tetapi,
penjelasan Yoon tersebut justru semakin membuat Chang Hyuk makin terkejut.
Pemuda kurus berkacamata itu sampai menarik kursi yang diduduki mendekat ke
arah Yoon.
“Ceritakan
padaku, bagaimana kau bisa tahu kalau di sana akan di adakan lomba memasak?”
tanyanya dengan nada antusias.
Yoon
mengerdik namun segera mengangguk hormat saat seorang wanita yang diketahuinya
sebagai ibu Chang Hyuk datang menghantarkan dua cangkir teh hijau dan sepiring
kue labu buatan sendiri. Sesaat berbasa-basi dengan wanita yang masih terlihat
lincah di usia senja itu, kemudian, Yoon dan Chang Hyuk kembali terlibat dalam
pembicaraan yang hangat.
************
Tidak ada komentar:
Posting Komentar