Senin, 29 Agustus 2016

Straight - Episode 7 ( Bagian Sebelas )

Bulan purnama terlihat jauh di langit seolah sengaja menjauh dari permukaan tanah dan seraut wajah penuh mendung yang tak sudi pada kecemerlangan sinarnya. Angin berhembus sedikit kencang mengantarkan aroma bunga semak sisa sore yang telah berlalu beberapa saat lalu. Aroma lemah yang semakin menegaskan kemurungan hingga memekat menyenandungkan ketidakberdayaan.
Dan ketidakberdayaan itu demikian membelenggu hingga memunculkan kemarahan pada seraut wajah yang mestinya menjadi bentuk terindah di malam yang gelap sunyi tersebut.
Changyi memejamkan matanya kuat-kuat sementara kepalanya tertunduk ketika kenangan demi kenangan melintasi ruang di dalam kepalanya membuat pemuda itu seperti di benturkan ke atas batuan padas yang sangat tajam dan keras hingga tubuh jiwanya hancur tak berbentuk. Kenangan-kenangan masa lalu saat ia dan Xiao Chen menjalani  kehidupan masa kanak-kanak bersama, pada sosok dengan tubuh yang selalu lemah dan rapuh hingga ia tak pernah sesaatpun merasa tenang meninggalkan Xiao Chen, pada sosok saudara sejiwanya itu yang meski tubuhnya lemah dan rapuh namun memiliki pemikiran melebihi ukuran tubuhnya, pada sosok adik yang ia telah berjanji untuk melindunginya dan membawanya pada kehidupan yang bahagia. Sosok adik yang membuatnya mampu menempuh kehidupan keras penuh hinaan pada awal ia datang ke istana dan menjalani pendidikan di sekolah khusus prajurit.
Tetapi, apa yang baru saja ia dengar seolah pedang petir yang menebas seluruh kekuatan untuk menepati janjinya.
Xiao Chen akan tetap menjalani hukuman mati besok pagi. Dan tak ada sesuatu hal apapun yang bisa dilakukannya untuk membatalkan hal itu. Bahkan Jenderal Xu Da, ayah angkat yang sesungguhnya sangat diharapkannya dapat membantu Xiao Chen pun kini tidak bisa melakukan apa-apa untuk menyelamatkan Xiao Chen atau sekedar mengulur waktu hingga mereka menemukan bukti bahwa pelaku kejahatan dengan racun pada Pangeran Zhu Di itu adalah orang lain. Dan ia tak bisa melakukan apapun karena keadaannya sebagai putra Jenderal Xu Da saat ini serta sebuah janji lain yang mengikatnya, dengan lebih kuat.
Janji yang muncul dari hati yang bukan lagi miliknya.
Sepasang tangan Changyi terkepal saat gambaran seraut wajah yang mengejarnya dengan uraian airmata pada hari ia dibawa pergi oleh Jenderal Xu Da menuju kotaraja muncul dan memenuhi benaknya. Sosok berbalut pakaian lusuh yang ia tinggalkan di Kuil Bulan Merah demi impiannya untuk dapat memiliki hidup yang lebih baik bagi mereka berdua. Sosok yang akan hilang besok pagi. Bukan hilang untuk sesaat namun hilang hingga waktu yang tak terbatas lagi. Hilang untuk selamanya.
“Adik Chen…Adik Chen…maafkan aku” bisik bibir Changyi saat getaran kepedihan semakin kuat menggayuti dadanya. “Bagaimana caraku untuk menolongmu? Bagaimana caraku untuk menepati janjiku melindungimu?”
Sunyi malam yang tak biasa terasa ketat mengurung di sekitar pemuda itu, membuat bisik lirihnya terdengar demikian keras bagaikan lonceng kuil yang dipukul sekuat tenaga, menggaung, menggema dan memantul kembali ke dinding hati Changyi membuat dada pemuda itu dipenuhi gemuruh dan menggiring sepasang matanya yang indah ke balik tirai kabut.
“Changyi-ko?” sebuah suara lain yang terdengar nyaris selembut angin membuat sepasang mata Changyi yang semula memejam seketika kembali membuka. “Changyi-ko, rupanya kau di sini”.
Tubuh Changyi menegak dengan cepat saat kedua telinganya mendengar kalimat dari sepasang bibir sosok di belakangnya yang telah mengikat seluruh jiwanya. Sekilas, satu tangan pemuda itu terangkat dan mengusap cepat kedua matanya sebelum kemudian tubuhnya berbalik menghadap ke arah seorang gadis yang tengah menatapnya dengan sepasang mata paling indah.
“Xu-moi…kenapa kau ke sini? Hari sudah malam, seharusnya kau tinggal di kamarmu” tanya Changyi tanpa maksud menegur. Senyum pemuda itu terurai menutupi kerut kesedihan yang semula memenuhi raut wajahnya.
Xu Guanjin tak segera menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Changyi. Gadis itu justru melangkah perlahan ke arah pemuda di depannya tanpa sedikitpun mengalihkan kedua mata bintangnya. Changyi memperhatikan setiap inci keindahan di wajah rembulan Xu Guanjin, meresapi sinar keanggunan dan kharisma yang tercipta dalam keelokan yang membuatnya mabuk kepayang. Dan kini, ketika sosok penuh pesona itu bergerak perlahan ke arahnya, Changyi merasakan jantungnya berdetak keras seolah sebuah tenaga baru menggerakkan titik kehidupannya tersebut membuat kesedihan yang sesaat lalu bagai mencengkeram setiap sisi jiwanya seketika mengabur dan hanya membekaskan sebuah jejak samar.
“Ayah mencarimu Changyi-ko. Ayah terlihat demikian cemas” sahut Xu Guanjin saat ia benar-benar telah berdiri di depan Changyi, hanya dalam jarak satu langkah.
Angin berhembus perlahan mengibarkan helai-helai rambut Xu Guanjin, menghamparkan aroma bunga musim semi yang lembut. Changyi menghirup dan menyimpan keharuman yang lembut itu dalam diamnya, membiarkan keharuman musim semi tersebut memenuhi ruang dadanya dan menghantarkan kesejukan yang menenangkan.
“Benarkah Xu-moi? Jadi, kedatanganmu saat ini karena atas perintah Ayah?” tanya Changyi sesaat kemudian.
Xu Guanjin menggeleng tanpa mengalihkan sepasang matanya dari wajah rupawan yang sangat dirindukannya. Mereka tinggal dalam satu rumah dan ia kini – terutama sejak ada perintah dari kaisar agar Changyi meninggalkan distrik pelatihan prajurit di wilayah timur – bisa bertemu Changyi kapanpun. Tetapi, mengapa meskipun mereka sering bertemu, rasa rindu dalam dadanya tak juga berkurang dan malah semakin mengikat? Setiap waktu, bahkan setiap detik, semakin sering ia menatap wajah rupawan secemerlang matahari itu justru membuat hatinya semakin merindukan pemuda itu, bukan lagi bentuk dan rupanya namun bahkan suara, setiap gerak gerik dan senyumnya. Seolah kini, ia hanya akan dapat melalui hari setelah menatap Xu Changyi dan menyimpan keindahan senyum pemuda yang telah menjadi matahari jiwanya itu.
“Tidak Changyi-ko, Ayah tidak menyurhku untuk mencarimu” jawab Xu Guanjin membuat Changyi terperanjat. “Aku pergi atas kemauanku sendiri saat aku mendengar Ayah menanyakan keberadaan Changyi-ko pada prajurit penjaga”.
“Xu-moi…bagaimana kau bisa melakukan hal ini? Bagaimana bila nanti Ayah atau Ibu mencarimu ke dalam kamar dan ternyata kau tidak ada? Mereka pasti akan sangat cemas” sahut Changyi. Kini terdapat nada menegur dalam suaranya.
“Aku lebih mencemaskanmu Changyi-ko” jawab Xu Ganjin. Kini, pandangannya bertemu dengan sepasang mata Changyi, saling mengukur dalamnya perasaan yang bergejolak dalam hati. “Aku tahu Changyi-ko sangat sedih karena Adik Chen dan Ayah kali ini tidak bisa membantu”
Pernyataan yang fatal. Seolah kunci yang membuka pintu paling jauh dalam kalbu seorang Xu Changyi, kalimat yang terucapkan oleh Xu Guanjin seketika merubah rona wajah pemuda itu, membuatnya memucat hingga seputih warna rembulan di langit di jauh. Tanpa bisa ditutupi lagi. Changyi menelan ludah, membuat satu gerakan kasar pada lehernya sementara wajahnya berpaling – untuk pertama kali – dari keelokan pesona seorang Xu Guanjin.
“Changyi-ko” bisik Xu Guanjin sehalus angin, setengah langkah mendekat hingga kini, lengan yang terkulai di bahu Changyi berada dalam jangkauan jemari tangannya.
“Xu-moi..itu…jangan pedulikan aku” sahut Changyi dalam bisiknya. “Aku tidak apa-apa. Aku baik-baik saja. Kau pulanglah…jangan sampai Ayah dan Ibu mencarimu”.
“Apakah kau sungguh bisa membohongiku Changyi-ko?” bergetar suara Xu Guanjin sementara sepasang matanya berkelebat mencari dua telaga di wajah Changyi yang mestinya memancarkan kehangatan cahaya matahari. Namun seolah mengerti bahwa mendung tebal yang menggayut tak lagi bisa ditutupi, wajah rupawan yang mengikat jiwa Guanjin segera berpaling dan menghindar pergi. Hingga sebuah jemari yang gemetar menangkup lengan pemuda itu.
“Apakah kau sungguh berpikir bisa membohongiku Changyi-ko?” ulang Xu Guanjin di balik punggung Xu Changyi.
“Xu-moi…kumohon…biarkan aku sendiri” bisik Changyi. “Ini…bukan hal yang bisa kau mengerti. Tentang aku dan Adik Chen…”
“Bahwa kau telah berjanji untuk melindunginya…tapi kau harus melepaskannya sekarang dengan cara yang tak pernah kau bayangkan sebelumnya. Bahwa kau ingin membawanya dalam kehidupan yang lebih baik, namun pada akhirnya kau tidak bisa melakukan apapun disaat ia justru sangat membutuhkan dirimu. Dan itu semua karena kau telah terikat untuk melindungiku, melindungi Ayah, Ibu dan seluruh keluarga kita. Bukankah benar begitu? Apakah aku telah salah dalam membacamu Changyi-ko?” kata Xu Guanjin membuat Changyi terperanjat dan seketika melemas runtuh saat mendapati seluruh kebenaran dalam kalimat gadis di balik punggungnya.
Changyi merasakan seluruh tubuhnya melemah dan nyaris tak menyadari saat sosoknya yang tinggi dan gagah rubuh dalam posisi berlutut. Wajah pemuda terangkat mengadukan kepiasan rupa pada sang rembulan jauh di langit malam. Xu Guanjin nyaris terpekik saat melihat runtuhnya Changyi dan sektika melompat ke hadapan pemuda itu.
“Changyi-ko?…Changyi-ko, kau kenapakah? Maafkan aku yang mengurai kesedihanmu…Changyi-ko?” nyaris berteriak Xu Guanjin mengguncang kesadaran Changyi yang terbang ke titik terjauh di langit. Gadis itu sungguh merasa panik dan sedih saat menemukan sepasang mata yang semestinya bersinar penuh binar kini terbuka dalam kekosongan selain satu warna kekosongan. Maka, kedua telapak tangan gadis itu serta merta merengkuh wajah yang selalu dirindukannya itu.
“Changyi-ko..kenapa kau diam saja? Jawablah aku Changyi-ko…sungguh maafkan aku” kata Xu Guanjin tepat di depan wajah Changyi.
“Xu-moi…” bisik Changyi rapuh. Sepasang mata pemuda itu memejam menahan kekuatan mendung yang semakin menggayut berat. “Aku telah berjanji pada paman dan bibi saat mereka meninggal untuk selalu melindungi Adik Chen. Aku telah berjanji pada ayah dan ibu saat mereka meninggal untuk selalu bersama dengan Adik Chen karena hanya dialah satu-satunya keluargaku yang sesungguhnya. Adik Chen selalu merawatku bahkan saat aku terluka karena senjata penduduk desa yang mengejarku ketika aku mencuri beras mereka. Adik Chen tidak pernah memakan beras lebih banyak dari satu mangkuk karena dia selalu takut jika aku tidak cukup kenyang dan memilih mengisi perutnya dengan akar dan daun-daunan. Dan sekarang…dia akan mati dan aku tidak bisa melakukan apapun untuknya…aku tidak bisa melakukan apa-apa. Aku harus bagaimana?...Aku harus bagaimana Xu-moi?”.
Xu Guanjin merengkuh wajah dalam tangkupan kedua jemari tangannya hingga kini, kerupawanan yang pias memucat itu terbenam dalam kelembutan dekapannya. Tepat di atas perutnya.
“Maka berikan padaku semua kesedihanmu Changyi-ko” bisik Xu Guanjin tepat di atas kepala Changyi. “Biarkan aku yang menanggungnya untukmu. Aku tak akan runtuh dan karena itu bersembunyilah di balikku”.
“Xu-moi…” getar suara Changyi seolah menandai runtuhnya dinding kekuatan pemuda itu.
“Semuanya akan berlalu seperti badai yang melewati satu musim dan setelahnya, semua akan baik-baik saja. Semua pasti akan baik-baik saja Changyi-ko” sahut Xu Guanjin. Tangan kanannya membelai helai-helai rambut pemuda dalam dekapannya.
Changyi memejamkan kedua matanya saat ia tahu tak lagi mampu menahan mendung yang menggayut. Kedua tangan pemuda itu perlahan terangkat dan melingkari pinggang Xu Guanjin seolah hanya pinggang yang ramping itu saja tempatnya bergantung kini. Helai-helai rambut panjang Guanjin yang tergerai hingga ke bawah pinggul bergerak lembut seirama sapuan angin malam menyembunyikan sepasang tangan Changyi yang memeluk erat pinggang ramping tempatnya menyembunyikan keruntuhan dirinya.
“Adik Chen…maafkan aku…maafkan aku” suara keruntuhan Changyi melepas lolos dalam nada merana yang teredam.
Xu Guanjin menundukkan kepalanya, meletakkan pipinya pada ujung kepala pemuda dalam dekapannya, membiarkan pemuda yang biasa terlihat kokoh tegar dalam kesempurnaan sinarnya itu kini luruh dan meruntuh.
Malam bergerak perlahan meninggalkan desir angin yang membawa udara dingin. Meninggalkan satu rembulan yang merengut sedih dalam raung kemarahannya saat ia melihat satu rembulan lain yang bersinar dalam kekuatannya yang melenakan. Meninggalkan satu binar matahari yang meruntuh dalam dekapan purnama terindah sang rembulan yang justru tak bertahta di keluasan langit…
Malam merambat semakin jauh, merayap dalam endap sunyi yang membawa misteri akan peristiwa di esok hari..
*********
“Cerita ini tak lagi sama meski hatimu selalu di sini
Mengertilah bahwa ku tak berubah
Lihatlah aku dari sisi yang lain
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku…oh
Dan diriku bukanlah aku, tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Waktu yang telah kita lalui, buatmu lebih berarti
Luruhkan kerasnya dinding hati, engkaulah satu yang aku cari..
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku…oh
Dan diriku bukanlah aku, tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Dan diriku bukanlah aku, tanpa kamu menemaniku
Kau menenangkanku, kau melegakanku”
(Tak Lagi Sama – Song By Ariel Noah)

Minggu, 14 Agustus 2016

Straight - Episode 7 ( Bagian Sepuluh )

Di dapur utama…
Juru Masak Jiu Zhong menatap pelayan di depannya dengan sepasang mata terbelalak. Apa yang baru saja didengarnya terasakan seperti sebuah petir di siang hari yang menyambar langsung ke kepalanya.
Kasim Chen akan dihukum mati besok pagi? Pelaksanaan hukuman mati benar-benar akan dilakukan besok pagi-pagi sebelum matahari memunculkan sinarnya ke atas hamparan rerumputan. Itulah berita yang dibawa oleh pelayan di depannya tersebut.
Satu-satunya orang yang bisa membuatnya merasa menemukan lawan yang sesungguhnya akan mati besok!
Orang yang membuatnya merasa penasaran dan memiliki saingan…
Orang yang diam-diam dikaguminya di balik rasa sakit hati kekalahan yang ia rasakan sendiri selama ini…
Akan mati besok pagi!
Dan ia tak akan pernah memiliki kesempatan untuk memperbaiki kekalahannya dahulu serta memuaskan rasa penasarannya pada kasim remaja yang kemampuan memasaknya luar biasa itu. Lalu, ia akan selamanya menanggung perasaan kalah dan penasaran ini, tanpa terobati. Dan seorang diri karena tak akan ada seorangpun yang bisa mengerti terlebih menemaninya.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Bagaimana mungkin segalanya tiba-tiba demikian cepat berubah?. Beberapa hari lalu, Kasim Chen adalah seorang yang sangat dihormati di lingkungan istana ini. Tak ada seorangpun yang tak mengenal Kasim Chen sebagai juru masak dan kasim khusus Pangeran Zhu Di. Kepopuleran seorang Kasim Chen bahkan sempat membuatnya iri.
Dan kini, tiba-tiba remaja berwajah teduh itu menjadi penjahat besar yang paling dibenci oleh Kaisar Hongwu. Seorang penjahat besar yang harus segera dimusnahkan karena dianggap sangat berbahaya bagi keamanan kerajaan!.
Segalanya bagaikan mimpi sekejab namun mengubah segala warna yang ada. Juru Masak jiu Masak Zhong teringat saat beberapa hari lalu di aula istana, pada pesta pernikahan Pangeran Mahkota, ia dipanggil menghadap oleh Kaisar Hongwu. Ia yang saat itu berjaga di depan pintu samping aula dan telah mengetahui perihal keadaan Pangeran Zhu Di yang keracunan sama sekali tak menyadari bahwa apa yang ia ucapkan sebagai jawaban atas pertanyaan kaisar akan mendorong Kasim Chen sebagai tersangka. Ia hanya sekedar menjawab pertanyaan Kaisar Hongwu dengan apa adanya berdasarkan hal sesungguhnya yang ia hadapi. Perihal bahan-bahan makanan dan minuman yang ia kirimkan ke istana Pangeran Zhu Di serta kenyataan bahwa ia memang tidak memasak untuk pangeran keempat tersebut karena selera sang pangeran yang hanya terpenuhi oleh rasa masakan Kasim Chen.
Baginya, apa yang ia katakan pada Kaisar Hongwu saat itu hanyalah sebuah jawaban biasa dan sama sekali tidak bisa dijadikan sebagai sebuah petunjuk bahwa Kasim Chen-lah yang telah meletakkan racun ke dalam makanan dan minuman Pangeran Zhu Di. Dan secara pribadi, ia sendiri merasa sangat yakin bahwa Kasim Chen bukanlah pelaku peletakan racun ke dalam makanan dan minuman pangeran keempat. Bahkan meskipun ia menyimpan rasa sakit hati atas kekalahan terselubung dalam sayembara memasak dahulu, juga rasa penasaran yang belum terobati pada kasim remaja tersebut, namun hal itu sama sekali tak menghalangi penalarannya untuk mengetahui bahwa seorang Kasim Chen tak akan mungkin meracuni orang terlebih Pangeran Zhu Di. Andai saja saat di aula itu, setelah ia menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Kaisar Hongwu, Perdana Menteri Hu Weiyong tidak mengatakan hal yang membawa pemikiran sang kaisar bahwa kasim Chen-lah pelaku kejahatan pada Pangeran Zhu Di, maka pastilah saat ini kasim remaja tersebut masih berada dalam keadaan segar bugar tanpa ancaman hukuman mati yang akan segera dilaksanakan besok pagi.
Dan mendadak…sebuah dugaan yang melesat bagai anak panah tajam menancap dalam penalarannya membuat Juru Masak Jiu Zhong seketika jatuh dan terduduk ke atas balai kayu di dekatnya. Raut wajahnya terlihat sekilas memucat saat perlahan ia mulai menyadari sesuatu.
Apakah Tuan Hu ada di balik semua ini?
Apakah Tuan Hu Weiyong, tuannya sendiri yang telah merencanakan kejahatan terhadap Pangeran Zhu Di?
Lalu, Juru Masak Jiu Zhong kembali teringat pada sehelai surat dari Perdana Menteri Hu Weiyong yang diterimanya sehari sebelum pesta pernikahan. Surat yang berisi perintah agar ia memasak satu jenis masakan untuk Pangeran Zhu Di.
Sekarang, tiba-tiba Juru Masak Jiu Zhong merasa sangat heran mengapa Perdana Menteri Hu Weiyong menyuruhnya untuk memasak satu jenis masakan istimewa bagi Pangeran Zhu Di padahal ia sangat yakin bahwa sang perdana menteri itu juga pasti mengetahui bahwa Pangeran Zhu Di hanya menyantap hidangan hasil olahan Kasim Chen. dan meskipun Perdana Menteri Hu Weiyong mengetahui kenyataan tersebut namun tetap saja menurunkan perintah itu padanya. Seolah sang perdana menteri sudah tahu bahwa ia pasti akan menolaknya karena tahu bahwa resiko kegagalannya sangatlah besar.
Seolah tuannya itu sudah tahu bahwa ia akan menggunakan cara lain untuk melaksanakan perintah yang diterimanya!.
Seolah tuannya itu mampu menebak arah langkahnya bahwa ia akan menggunakan cara meminjam tangan Kasim Chen untuk memasak satu hidangan bagi Pangeran Zhu Di. Hidangan Kepiting Salju yang menjadi menu utama dalam pesta pernikahan Pangeran Zhu Biao.
Mestinya ia-lah yang memasak Kepiting Salju untuk Pangeran Zhu Di, namun ketakutan bahwa pangeran keempat akan mengetahui bahwa hidangan itu bukan hasil karya Kasim Chen membuatnya memutuskan untuk mundur dan hanya menyediakan bahan masakan bagi istana Pangeran Zhu Di sementara pengolahannya ia serahkan pada Kasim Chen. Tak ada yang aneh dalam hal itu kecuali satu hal.
Satu hal yang semula juga bukanlah satu hal yang aneh baginya, namun kini menjadi satu pertanyaan besar yang memenuhi benaknya. satu hal yang membuat hati Juru Masak Jiu Zhong terasa berdesir.
Hal tentang bahan masakan dan minuman yang ia serahkan pada Kasim Anta tempo hari.
Bahwa sesungguhnya bahan-bahan masakan itu diambil dari sumber yang berbeda dengan sumber bahan masakan lainnya yang diperuntukkan bagi kaisar, ratu, keluarga raja dan para tamu undangan. Bahan masakan yang ia serahkan untuk istana pangeran keempat berasal dari Saudagar Fu Han yang diantarkan oleh beberapa pelayan saudagar paling kaya di Yingtian itu karena pasokan bahan masakan dari sumber utama telah habis. Dan ia sendiri sungguh tak mengerti bagaimana bahan masakan dari sumber utama yang merupakan kepercayaan kaisar selama bertahun-tahun bisa habis sebelum dapur istana Pangeran Zhu Di mendapatkan kiriman bahan-bahan masakan. Hal yang sebelumnya tak pernah terjadi karena sumber utama yang memasok bahan-bahan makanan dan minuman ke dalam istana sudah sangat hafal dengan jumlah kebutuhan istana terlebih si pemasok tersebut masih ada hubungan kerabat dengan Kaisar Hongwu sehingga pastilah sangat mengerti keadaan di istana termasuk mengenai selera makan keluarga kerajaan dan segala pernak-pernik kebutuhannya.
Lalu, kenapa kali ini bisa berbeda?
Bagaimana bisa jumlah pasokan yang mestinya sudah diperhitungkan dengan cermat itu bisa meleset dan kekurangannya tepat berada di bagian dapur istana Pangeran Zhu Di?
Hal lain, mengapa pula yang masuk kemudian adalah bahan makanan dan minuman dari Saudagar Fu Han?.
Tidakkah hal ini sungguh aneh?.
Lalu, apakah hanya bahan makanan untuk dapur istana Pangeran Zhu Di saja yang berasal dari Saudagar Fu Han? Bagaimana dengan bahan minumannya?
Juru Masak Jiu Zhong mengangkat kepalanya dan menatap pelayan bertubuh kecil yang masih berdiri di depannya.
“Katakan padaku” ujar Juru Masak Jiu Zhong kemudian. “Apakah kau mengetahui dari mana arak dan bahan minuman untuk pesta pernikahan Pangeran Zhu Biao diambil?”
Pelayan bertubuh kecil di depan Juru Masak Jiu Zhong mengangguk dengan gerakan pasti.
“Saya tahu Tuan Jiu. Arak tersebut diambil dari gudang arak yang ada istana sebagaimana biasa. Sedangkan bahannya dikirim oleh Tuan Liu Zhen” jawab si pelayan.
Juru Masak Jiu Zhong mengerutkan alisnya. Jadi arak tersebut diambil dari gudang arak istana. Jika demikian, maka tidak ada keanehan pada arak maupun bahan minuman yang digunakan sebab selama ini, seluruh bahan yang digunakan untuk membuat arak di istana memang selalu dikirim oleh Tuan Liu Zhen, seorang saudagar yang nyaris tak pernah tinggal menetap di satu tempat. Saudagar Liu Zhen adalah seorang pedagang yang ulung dan masih memiliki hubungan kerabat dengan Kaisar Hongwu meski tali kekerabatan itu sedikit jauh. Namun demikian, semua orang tahu besarnya kepercayaan Kaisar pada Saudagar Liu Zhen meski si saudagar selalu tinggal berpindah-pindah tempat mengikuti musim dan arah angin bertiup. Jadi, jika semua bahan pembuat arak yang dikirim ke istana Pangeran Zhu Di juga berasal dari sumber yang sama, maka hanya bahan makanan saja yang asalnya berbeda. Tetapi, adakah hal lain yang tidak ia ketahui? Juru Masak Jiu Zhong teringat hal lain yaitu bahwa di malam menjelang pesta pernikahan Pangeran Zhu Di, ia mendapat laporan dari pelayan di bagian gudang arak bahwa Perdana Menteri Hu Weiyong menyempatkan diri datang ke gudang arak dan memeriksa semua guci-guci arak yang akan dikirimkan pada malam itu. Bahkan sebelumnya, bukankah ia juga mendapatkan perintah dari Tuan Hu Weiyong agar menyediakan beberapa guci arak sebagai persedian jika ternyata terjadi kekurangan saat pesta berlangsung? Meskipun perintah itu terdengar wajar namun entah mengapa hati Juru Masak Jiu Zhong merasakan adanya hal lain yang membuat jantungnya terasa berdetak lebih keras. Seolah-olah Perdana Menteri Hu Weiyong telah tahu bahwa akan terjadi kekurangan arak nantinya.
“Jadi begitu” gumam Juru Masak Jiu Zhong saat mendengar jawaban pelayan di depannya.
“Memang demikian Tuan Jiu” sahut si pelayan seraya menatap Kepala Dapur Istana yang dalam pandangannya terlihat sangat aneh hari ini. “Apakah Tuan Jiu memikirkan sesuatu tentang arak yang digunakan saat pernikahan Pangeran Zhu Biao? Apakah ada kesalahan yang telah dilakukan oleh para pelayan di bagian gudang arak?”.
Juru Masak Jiu Zhong menarik nafas panjang mendengar pertanyaan panjang pelayan yang baru saja didengarnya. Bahkan jika ia menjawabnya, si pelayan itu pastilah tidak akan mengerti.
“Apakah kau tahu siapa pelayan di bagian gudang yang malam itu bertanggung jawab mengirimkan arak?” tanya Juru Masak Jiu Zhong mengabaikan pertanyaan pelayan di depannya.
Si pelayan mengangguk cepat.
“Ya Tuan Jiu. Ada beberapa pelayan yang malam itu bertugas mengantarkan arak. Bahkan salah satunya adalah saudara saya” jawab si pelayan.
Juru Masak Jiu Zhong bangkit dari atas dipan dan kini berdiri di depan pelayan bertubuh kecil. Kedua matanya menyiratkan seberkas api yang berkobar. Api harapan yang memercik dalam hatinya untuk mengetahui hal apa sesungguhnya yang tengah terjadi.
“Cepat katakan padaku. Aku ingin menanyakan beberapa hal pada mereka” perintah Juru Masak Jiu Zhong tegas.
************

Ruang penjara bawah tanah istana Kerajaan Ming…
“Waktumu tidak banyak karena itu cepatlah!...jika nanti aku memberimu tanda dengan lemparan batu ini, maka kau harus segera keluar dan pergi. Apa kau mengerti?” ujar seorang prajurit penjaga berwajah galak pada sosok lelaki yang mengenakan jubah menutupi kepalanya. Satu tangan prajurit itu menggenggam sekantung kecil uang yang diulurkan oleh lelaki berjubah di depannya beberapa saat lalu.
“Ya, saya akan mengingat-ingat hal itu” jawab si lelaki berjubah seraya mengangguk tegas.
“Baiklah…aku akan meninggalkan kalian” kata si prajurit sambil memutar kunci yang mengaitkan rantai besi penutup ruang penjara di depannya. “Masuklah! Dan ingat pesanku baik-baik!”.
Si lelaki berjubah tak mengeluarkkan sepotong jawaban dan hanya menganggukkan kepala sementara sepasang mata yang tersembunyi di balik penutup kepala terlihat memperhatikan saat pintu ruang penjara yang nyaris tak pernah di buka itu perlahan bergeser. Si lelaki melangkah memasuki ruang penjara yang terlihat gelap. Kedua matanya memicing berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan ruang dalam penjara yang gelap dan pengap sementara suara pintu bergeser menutup terdengar di belakangnya.
Butuh waktu beberapa saat hingga si lelaki berjubah dapat menyesuaikan diri dengan keadaan ruang dalam penjara yang nyaris gelap gulita hingga kemudian, saat ia mulai mampu menangkap bayangan-bayangan samar dalam ruang yang gelap itu, hati si lelaki bagai dilonjakkan oleh rasa terkejut yang menggedor ruang dadanya.
Di sana, tepat beberapa langkah di depannya, samar ia melihat sesosok lelaki yang tengah duduk dalam posisi yang sangat tenang. Posisi yang segera mengingatkan si lelaki pada para biksu saat tengah tenggelam dalam semadinya yang dalam.
Si lelaki di balik jubah mengerjabkan sepasang matanya agar bisa melihat lebih jelas dalam kesuraman ruang penjara yang tanpa jendela tersebut dan sesaat kemudian, ketika ia berhasil menatap pada wajah yang separuh tertunduk, maka rasa kejut dalam hati lelaki itu seketika melenyap dan berganti gelombang keharuan yang entah kapan terakhir kali ia rasakan. Rasa haru berbaur kekaguman, membuatnya terlupa pada rasa kalah yang selalu menghantuinya, pada rasa penasaran yang membuatnya tak pernah damai seolah selalu dikejar oleh waktu.
Perlahan lelaki di dalam jubah merosotkan tubuhnya ke atas lantai batu yang dingin dalam jarak beberapa langkah di depan sosok lelaki muda yang tengah tenggelam di alam kedamaian semadi itu. Sejenak, kedua mata si lelaki dalam jubah masih terus memperhatikan sosok lelaki muda di depannya hingga kemudian…
“Kasim Chen?” terdengar suara panggilan lelaki dalam jubah pada sosok lelaki yang duduk dalam ketenangannya. “Apakah anda mendengar saya? Bisakah anda mengenali saya?”.
“Tuan Jiu Zhong…terima kasih sudah mengunjungi saya” terdengar suara halus yang jernih saat sosok Kasim Chen menjawab pertanyaan Juru Masak Jiu Zhong yang tersembunyi di balik jubah. Hanya suara jernih halus yang terdengar tanpa sedikitpun gerakan tubuh pada diri Kasim Chen. kedua mata kasim remaja itupun masih terpejam.
Juru Masak Jiu Zhong menggerakkan kedua tangannya dan perlahan menurunkan penutup kepala hingga kini, wajah sang kepala dapur istana itu jelas terlihat dalam keremangan ruang penjara.
“Saya datang untuk menanyakan beberapa hal pada Kasim Chen. Bisakah anda memberikan jawaban yang sesungguhnya pada saya?” tanya Juru Masak Jiu Zhong.
Sepasang mata Kasim Chen perlahan membuka dan menatap ke depan membuat Juru Masak Jiu Zhong kembali merasa seolah di terpa oleh gelombang kesejukan yang memancar dari kedua mata jernih yang baru saja membuka. Gelombang kesejukan yang menumbuhkan rasa hormat dalam hatinya pada kasim muda di depannya.
“Apa yang ingin Tuan Jiu tanyakan? Saya akan senang jika bisa membantu Tuan Jiu” jawab Kasim Chen, kini terlihat gerakan pada bibir kasim tersebut.
Juru Masak Jiu Zhong menarik nafas sejenak sebelum kemudian kembali membuka suara.
“Kasim Chen, mengapa anda menerima begitu saja tuduhan bahwa anda-lah yang telah meracuni Pangeran Zhu Di? Anda tahu…dan sayapun tahu bahwa hal itu sama sekali tidak benar” tanya Juru Masak Jiu Zhong sesaat kemudian.
“Tuan Jiu, bisakah anda menuliskan satu kalimat di atas sehelai kain yang tengah terbakar oleh api?”tanya Kasim Chen menjawab pertanyaan Juru Masak Jiu Zhong.
Si kepala dapur istana terdiam. Menuliskan kalimat di atas kain yang tengah terbakar oleh api?. Jelas kalimat itu mengarah pada kemurkaan Yang Mulia Kaisar Hongwu saat ini, dan ia pun segera mengerti bahwa dengan kemarahan sang kaisar sekarang ini, sebuah kalimat pembelaan yang paling masuk akal sekalipun sama sekali tak ada artinya.
“Saya mengerti. Saat ini, tak ada seorangpun yang bisa mendekati Yang Mulia Kaisar. Tetapi, jika anda tidak membela diri, maka apakah anda akan menyerah untuk mati meski anda tahu bahwa bukan anda yang telah melakukan kejahatan?” kata Juru Masak Jiu Zhong.
“Hidup dan mati bukanlah masalah siapa yang salah dan siapa yang benar. Jika memang saya harus mati besok pagi, maka itu artinya Thian telah menetapkan waktu saya untuk mati besok pagi. meskipun seorang manusia melakukan kejahatan seribu kali, namun jika Thian belum menghendakinya untuk mati maka ia tidak akan pernah mati” sahut Kasim Chen.
Juru Masak Jiu Zhong menatap wajah teduh di depannya dan merasa yakin telah melihat seulas senyum pada wajah yang bening tersebut meski sedikitnya cahaya tak banyak membantu kedua matanya untuk melihat dengan jelas.
“Anda benar Kasim Chen. Tetapi…jika anda mati besok pagi, maka akan banyak sekali orang-orang yang bersedih karena kehilangan anda. Tidakkah anda memikirkan mereka yang sangat menyayangi anda?”
Terdengar suara tawa halus Kasim Chen saat Juru Masak Jiu Zhong menyelesaikan kalimatnya.
“Setiap kehilangan akan diganti dengan kehadiran yang baru. Pada saatnya, kesedihan mereka yang mengasihi saya akan menghilang saat Thian menggantinya dengan hal lain yang manis. Kemudian, kenangan akan diri saya akan dirasakan sebagai sebuah kenangan manis yang mereka ingat dengan senyum..bukan air mata” jawab Kasim Chen kemudian.
Juru Masak Jiu Zhong tertunduk. Ia bahkan belum bisa melepaskan kesedihan dan rasa kelam yang menyelimutinya setelah kematian istri dan anak-anaknya pada malam yang mengubah seluruh hidupnya beberapa tahun yang lalu. Lalu, kini ia mendengar kalimat yang baginya terasa seperti sebuah kemustahilan untuk bisa dipahami dan dimengerti. Ia, yang telah menjalani hidup selama sekian tahun lebih lama di banding kasim muda di depannya, belum bisa menerima arti kehilangan dengan keluasan hati, lalu bagaimana remaja yang baru dikenalnya sejak masa sayembara memasak dulu itu justru telah memiliki pemahaman seperti itu?. Sekelebat rasa kagum menyelinap dalam hati Juru Masak Jiu Zhong pada kasim yang nasibnya akan ditentukan besok pagi tersebut.
“Kasim Chen…mengenai racun yang merusak tubuh Pangeran Zhu Di…apakah menurut anda itu berasal dari makanan yang dihidangkan atau dari minumannya?” tanya Juru Masak Jiu Zhong kemudian.
“Tidak dari keduanya” sahut Kasim Chen cepat membuat Juru Masak Jiu Zhong mengangat wajahnya dan menatap ke arah kasim di depannya. Kali ini sinar wajahnya terlihat dipenuhi oleh bara semangat.
“Tidak dari keduanya?...jika demikian, lalu darimanakah racun itu berasal Kasim Chen?”.
“Racun itu dari keduanya” sahut Xiao Chen.
Juru Masak Jiu Zhong terhenyak dan kemudian tertawa.
“Ah…Kasim Chen…anda sungguh membuat saya bingung. Anda mengatakan bahwa racun itu tidak berasal dari keduanya namun berasal dari keduanya. Apakah yang anda maksudkan dengan jawaban yang membuat saya bingung itu?” tanya Juru Masak Jiu Zhong.
“Minumannya tidak beracun…demikian pula makanannya. Racun itu muncul saat minuman dan makanan tersebut bertemu dalam tubuh Pangeran Zhu Di dan membaur menjadi satu”
Juru Masak Jiu Zhong tercengang. Pandangannya nanar menatap Kasim Chen di depannya.
“Jadi…anda juga mengetahui tentang hal itu?” tanyanya kemudian. “Saya telah menduga demikian, namun menurut saya racun yang merusak tubuh Pangeran Zhu Di sangatlah kuat. Tidakkah hal ini cukup aneh? Setahu saya, racun yang muncul karena perpaduan dua atau lebih bahan makanan dan minuman tidak akan menjadi racun yang demikian merusak sebagaimana yang terlihat pada Pangeran Zhu Di”.
“Memang demikian, tetapi racun yang tercipta di dalam tubuh akan bereaksi sebagai bagian dari tubuh tersebut sehingga keberadaannya bukan lagi sebagai benda lain yang akan dianggap oleh tubuh sebagai tanda bahaya” jawab Kasim Chen seraya menatap ke arah Juru Masak jiu Zhong dan tersenyum. “Saya rasa Tuan Jiu tidak perlu terlalu mencemaskan saya sebab apa yang semestinya terjadi akan tetaplah terjadi”.
Juru Masak Jiu Zhong tertunduk.
“Bukan begitu” sahutnya kemudian. “Saya hanya merasakan adanya sesuatu yang salah dalam hal ini dan saya ingin memastikan bahwa kesalahan itu bukanlah terletak pada juru masak seperti saya dan anda. Bagaimanapun, sayalah yang telah mengantarkan bahan-bahan makanan dan minuman ke istana Pangeran Zhu Di sehingga sedikit ataupun banyak saya merasa seolah sayalah yang telah menyeret anda ke dalam sebuah  bencana”.
Kasim Chen tertawa halus.
“Anda hanya melaksanakan apa yang menjadi tugas Tuan Jiu, demikian pula saya dan orang-orang yang lain. Tidak ada satu hal pun di dunia ini yang terjadi sebagai sebuah kebetulan melainkan telah diikat oleh sebuah benang merah yang membuat semuanya menjadi saling terkait dan menjadi alasan bagi yang lain untuk terjadi. Karena itu, Tuan Jiu tidak perlu memiliki beban apapun dalam hati karena hal yang sekarang ini harus terjadi. Karena sesungguhnya apa yang terjadi sekarang adalah sebuah alasan untuk adanya peristiwa lain yang akan terjadi dan kita belum mengetahuinya sebab hal tersebut masih menjadi rahasia Thian Sang Pencipta”.
“Saya mengerti” Juru Masak Jiu Zhong mengangguk. “tetapi setidaknya, tolong katakan pada saya apakah sungguh anda sendiri yang telah memasak untuk Pangeran Zhu Di? Dan apakah ada hal yang aneh dalam bahan-bahan yang saya kirimkan saat anda memasak hidangan itu Kasim Chen?”.
“Ya, sayalah yang telah memasak kepiting salju untuk pangeran Zhu Di. Tidak ada dalam bahan yang saya gunakan” jawab Xiao Chen cepat. “Kepiting yang saya terima adalah kepiting yang sangat segar dan masih dalam keadaan hidup. Demikian pula dengan sayur lobak dan bahan lainnya”.
Juru Masak Jiu Zhong tercenung. Jika demikian, tak ada hal yang aneh dalam bahan-bahan yang ia kirimkan melalui Kasim Anta tersebut. kemudian, jika memang tidak ada yang salah dengan bahan-bahan yang ia kirimkan, lalu bagaimana racun itu bisa tercipta di dalam tubuh Pangeran Zhu Di?. Ia telah lama mengetahui mengenai racun-racun dalam bahan makanan dan minuman baik yang telah ada maupun racun yang bersifat tidur dan akan muncul saat dipadukan dnegan bahan makanan yang lain karena itu, setiap kali ia memasak dan memadukan berbagai bahan makanan ke dalam sebuah menu masakan, ia pasti akan selalu melakukannya dengan sangat hati-hati.
Termasuk saat ia memilih dan mengirimkan bahan makanan dan minuman ke istana Pangeran Zhu Di!.
Benak Juru Masak Jiu Zhong terus berputar dan mengingat sementara kecurigaannya bahwa Perdana Menteri Hu Weiyong ada di balik semua peristiwa ini tak juga mau pergi dan malah semakin menguat.
Hingga kemudian, saat kedua kakinya memasuki pintu ruang dapur utama istana setelah ia meninggalkan ruang penjara bawah tanah di mana Kasim Chen berada, mendadak lelaki itu terlonjak seolah sebuah benda tajam telah terinjak olehnya dan kini menembus kakinya hingga ke jantung.
Ada   satu hal aneh yang ia temukan!.
Hal aneh yang nampaknya akan mengarahkan semua pertanyaan menuju jawaban yang sebenar-benarnya.
Hal aneh yang terjadi di gudang arak pada malam menejlang pesta pernikahan dan ia ketahui sesaat lalu sebelum ia mengunjungi Kasim Chen ke penjara.
Kenyataan bahwa arak untuk Pangeran Zhu Di telah diantarkan oleh pelayan pada malam itu adalah hal biasa yang memang sudah seharusnya terjadi.
Yang aneh adalah bahwa tak ada catatan sama sekali tentang siapa nama pelayan yang telah mengantarkan arak untuk pangeran keempat sebab si pelayan pencatat tertidur pulas pada malam itu dan baru terbangun pada siang harinya dalam keadaan bingung dan tubuh yang lemas.
Si pelayan pengantar arak yang tak pernah ada karena tak seorangpun pelayan di gudang arak yang merasa mengantarkan minuman itu ke istana Pangeran Zhu Di!.
Jadi…siapakah sesungguhnya orang yang telah mengambil arak untuk Pangeran Zhu Di dan mengantarkannya ke istana pangeran keempat pada malam itu?
Juru Masak Jiu Zhong yakin…di sanalah jawaban untuk semuanya akan terungkap!.
**********