Bulan purnama
terlihat jauh di langit seolah sengaja menjauh dari permukaan tanah dan seraut
wajah penuh mendung yang tak sudi pada kecemerlangan sinarnya. Angin berhembus
sedikit kencang mengantarkan aroma bunga semak sisa sore yang telah berlalu
beberapa saat lalu. Aroma lemah yang semakin menegaskan kemurungan hingga
memekat menyenandungkan ketidakberdayaan.
Dan ketidakberdayaan
itu demikian membelenggu hingga memunculkan kemarahan pada seraut wajah yang
mestinya menjadi bentuk terindah di malam yang gelap sunyi tersebut.
Changyi memejamkan
matanya kuat-kuat sementara kepalanya tertunduk ketika kenangan demi kenangan
melintasi ruang di dalam kepalanya membuat pemuda itu seperti di benturkan ke
atas batuan padas yang sangat tajam dan keras hingga tubuh jiwanya hancur tak
berbentuk. Kenangan-kenangan masa lalu saat ia dan Xiao Chen menjalani kehidupan masa kanak-kanak bersama, pada
sosok dengan tubuh yang selalu lemah dan rapuh hingga ia tak pernah sesaatpun
merasa tenang meninggalkan Xiao Chen, pada sosok saudara sejiwanya itu yang
meski tubuhnya lemah dan rapuh namun memiliki pemikiran melebihi ukuran
tubuhnya, pada sosok adik yang ia telah berjanji untuk melindunginya dan
membawanya pada kehidupan yang bahagia. Sosok adik yang membuatnya mampu
menempuh kehidupan keras penuh hinaan pada awal ia datang ke istana dan
menjalani pendidikan di sekolah khusus prajurit.
Tetapi, apa yang baru
saja ia dengar seolah pedang petir yang menebas seluruh kekuatan untuk menepati
janjinya.
Xiao Chen akan tetap
menjalani hukuman mati besok pagi. Dan tak ada sesuatu hal apapun yang bisa
dilakukannya untuk membatalkan hal itu. Bahkan Jenderal Xu Da, ayah angkat yang
sesungguhnya sangat diharapkannya dapat membantu Xiao Chen pun kini tidak bisa
melakukan apa-apa untuk menyelamatkan Xiao Chen atau sekedar mengulur waktu
hingga mereka menemukan bukti bahwa pelaku kejahatan dengan racun pada Pangeran
Zhu Di itu adalah orang lain. Dan ia tak bisa melakukan apapun karena
keadaannya sebagai putra Jenderal Xu Da saat ini serta sebuah janji lain yang
mengikatnya, dengan lebih kuat.
Janji yang muncul
dari hati yang bukan lagi miliknya.
Sepasang tangan
Changyi terkepal saat gambaran seraut wajah yang mengejarnya dengan uraian
airmata pada hari ia dibawa pergi oleh Jenderal Xu Da menuju kotaraja muncul
dan memenuhi benaknya. Sosok berbalut pakaian lusuh yang ia tinggalkan di Kuil
Bulan Merah demi impiannya untuk dapat memiliki hidup yang lebih baik bagi
mereka berdua. Sosok yang akan hilang besok pagi. Bukan hilang untuk sesaat
namun hilang hingga waktu yang tak terbatas lagi. Hilang untuk selamanya.
“Adik Chen…Adik
Chen…maafkan aku” bisik bibir Changyi saat getaran kepedihan semakin kuat
menggayuti dadanya. “Bagaimana caraku untuk menolongmu? Bagaimana caraku untuk
menepati janjiku melindungimu?”
Sunyi malam yang tak
biasa terasa ketat mengurung di sekitar pemuda itu, membuat bisik lirihnya
terdengar demikian keras bagaikan lonceng kuil yang dipukul sekuat tenaga,
menggaung, menggema dan memantul kembali ke dinding hati Changyi membuat dada
pemuda itu dipenuhi gemuruh dan menggiring sepasang matanya yang indah ke balik
tirai kabut.
“Changyi-ko?” sebuah
suara lain yang terdengar nyaris selembut angin membuat sepasang mata Changyi
yang semula memejam seketika kembali membuka. “Changyi-ko, rupanya kau di sini”.
Tubuh Changyi menegak
dengan cepat saat kedua telinganya mendengar kalimat dari sepasang bibir sosok
di belakangnya yang telah mengikat seluruh jiwanya. Sekilas, satu tangan pemuda
itu terangkat dan mengusap cepat kedua matanya sebelum kemudian tubuhnya berbalik
menghadap ke arah seorang gadis yang tengah menatapnya dengan sepasang mata
paling indah.
“Xu-moi…kenapa kau ke
sini? Hari sudah malam, seharusnya kau tinggal di kamarmu” tanya Changyi tanpa
maksud menegur. Senyum pemuda itu terurai menutupi kerut kesedihan yang semula
memenuhi raut wajahnya.
Xu Guanjin tak segera
menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Changyi. Gadis itu justru melangkah perlahan
ke arah pemuda di depannya tanpa sedikitpun mengalihkan kedua mata bintangnya.
Changyi memperhatikan setiap inci keindahan di wajah rembulan Xu Guanjin,
meresapi sinar keanggunan dan kharisma yang tercipta dalam keelokan yang
membuatnya mabuk kepayang. Dan kini, ketika sosok penuh pesona itu bergerak
perlahan ke arahnya, Changyi merasakan jantungnya berdetak keras seolah sebuah
tenaga baru menggerakkan titik kehidupannya tersebut membuat kesedihan yang
sesaat lalu bagai mencengkeram setiap sisi jiwanya seketika mengabur dan hanya
membekaskan sebuah jejak samar.
“Ayah mencarimu
Changyi-ko. Ayah terlihat demikian cemas” sahut Xu Guanjin saat ia benar-benar
telah berdiri di depan Changyi, hanya dalam jarak satu langkah.
Angin berhembus perlahan
mengibarkan helai-helai rambut Xu Guanjin, menghamparkan aroma bunga musim semi
yang lembut. Changyi menghirup dan menyimpan keharuman yang lembut itu dalam
diamnya, membiarkan keharuman musim semi tersebut memenuhi ruang dadanya dan
menghantarkan kesejukan yang menenangkan.
“Benarkah Xu-moi?
Jadi, kedatanganmu saat ini karena atas perintah Ayah?” tanya Changyi sesaat
kemudian.
Xu Guanjin menggeleng
tanpa mengalihkan sepasang matanya dari wajah rupawan yang sangat
dirindukannya. Mereka tinggal dalam satu rumah dan ia kini – terutama sejak ada
perintah dari kaisar agar Changyi meninggalkan distrik pelatihan prajurit di
wilayah timur – bisa bertemu Changyi kapanpun. Tetapi, mengapa meskipun mereka
sering bertemu, rasa rindu dalam dadanya tak juga berkurang dan malah semakin
mengikat? Setiap waktu, bahkan setiap detik, semakin sering ia menatap wajah
rupawan secemerlang matahari itu justru membuat hatinya semakin merindukan
pemuda itu, bukan lagi bentuk dan rupanya namun bahkan suara, setiap gerak
gerik dan senyumnya. Seolah kini, ia hanya akan dapat melalui hari setelah
menatap Xu Changyi dan menyimpan keindahan senyum pemuda yang telah menjadi
matahari jiwanya itu.
“Tidak Changyi-ko,
Ayah tidak menyurhku untuk mencarimu” jawab Xu Guanjin membuat Changyi
terperanjat. “Aku pergi atas kemauanku sendiri saat aku mendengar Ayah
menanyakan keberadaan Changyi-ko pada prajurit penjaga”.
“Xu-moi…bagaimana kau
bisa melakukan hal ini? Bagaimana bila nanti Ayah atau Ibu mencarimu ke dalam
kamar dan ternyata kau tidak ada? Mereka pasti akan sangat cemas” sahut
Changyi. Kini terdapat nada menegur dalam suaranya.
“Aku lebih
mencemaskanmu Changyi-ko” jawab Xu Ganjin. Kini, pandangannya bertemu dengan
sepasang mata Changyi, saling mengukur dalamnya perasaan yang bergejolak dalam
hati. “Aku tahu Changyi-ko sangat sedih karena Adik Chen dan Ayah kali ini
tidak bisa membantu”
Pernyataan yang
fatal. Seolah kunci yang membuka pintu paling jauh dalam kalbu seorang Xu
Changyi, kalimat yang terucapkan oleh Xu Guanjin seketika merubah rona wajah pemuda
itu, membuatnya memucat hingga seputih warna rembulan di langit di jauh. Tanpa bisa
ditutupi lagi. Changyi menelan ludah, membuat satu gerakan kasar pada lehernya
sementara wajahnya berpaling – untuk pertama kali – dari keelokan pesona
seorang Xu Guanjin.
“Changyi-ko” bisik Xu
Guanjin sehalus angin, setengah langkah mendekat hingga kini, lengan yang
terkulai di bahu Changyi berada dalam jangkauan jemari tangannya.
“Xu-moi..itu…jangan
pedulikan aku” sahut Changyi dalam bisiknya. “Aku tidak apa-apa. Aku baik-baik
saja. Kau pulanglah…jangan sampai Ayah dan Ibu mencarimu”.
“Apakah kau sungguh
bisa membohongiku Changyi-ko?” bergetar suara Xu Guanjin sementara sepasang
matanya berkelebat mencari dua telaga di wajah Changyi yang mestinya
memancarkan kehangatan cahaya matahari. Namun seolah mengerti bahwa mendung
tebal yang menggayut tak lagi bisa ditutupi, wajah rupawan yang mengikat jiwa
Guanjin segera berpaling dan menghindar pergi. Hingga sebuah jemari yang
gemetar menangkup lengan pemuda itu.
“Apakah kau sungguh
berpikir bisa membohongiku Changyi-ko?” ulang Xu Guanjin di balik punggung Xu
Changyi.
“Xu-moi…kumohon…biarkan
aku sendiri” bisik Changyi. “Ini…bukan hal yang bisa kau mengerti. Tentang aku
dan Adik Chen…”
“Bahwa kau telah
berjanji untuk melindunginya…tapi kau harus melepaskannya sekarang dengan cara
yang tak pernah kau bayangkan sebelumnya. Bahwa kau ingin membawanya dalam
kehidupan yang lebih baik, namun pada akhirnya kau tidak bisa melakukan apapun
disaat ia justru sangat membutuhkan dirimu. Dan itu semua karena kau telah
terikat untuk melindungiku, melindungi Ayah, Ibu dan seluruh keluarga kita.
Bukankah benar begitu? Apakah aku telah salah dalam membacamu Changyi-ko?” kata
Xu Guanjin membuat Changyi terperanjat dan seketika melemas runtuh saat
mendapati seluruh kebenaran dalam kalimat gadis di balik punggungnya.
Changyi merasakan
seluruh tubuhnya melemah dan nyaris tak menyadari saat sosoknya yang tinggi dan
gagah rubuh dalam posisi berlutut. Wajah pemuda terangkat mengadukan kepiasan
rupa pada sang rembulan jauh di langit malam. Xu Guanjin nyaris terpekik saat
melihat runtuhnya Changyi dan sektika melompat ke hadapan pemuda itu.
“Changyi-ko?…Changyi-ko,
kau kenapakah? Maafkan aku yang mengurai kesedihanmu…Changyi-ko?” nyaris
berteriak Xu Guanjin mengguncang kesadaran Changyi yang terbang ke titik
terjauh di langit. Gadis itu sungguh merasa panik dan sedih saat menemukan
sepasang mata yang semestinya bersinar penuh binar kini terbuka dalam
kekosongan selain satu warna kekosongan. Maka, kedua telapak tangan gadis itu
serta merta merengkuh wajah yang selalu dirindukannya itu.
“Changyi-ko..kenapa
kau diam saja? Jawablah aku Changyi-ko…sungguh maafkan aku” kata Xu Guanjin
tepat di depan wajah Changyi.
“Xu-moi…” bisik
Changyi rapuh. Sepasang mata pemuda itu memejam menahan kekuatan mendung yang
semakin menggayut berat. “Aku telah berjanji pada paman dan bibi saat mereka
meninggal untuk selalu melindungi Adik Chen. Aku telah berjanji pada ayah dan
ibu saat mereka meninggal untuk selalu bersama dengan Adik Chen karena hanya
dialah satu-satunya keluargaku yang sesungguhnya. Adik Chen selalu merawatku
bahkan saat aku terluka karena senjata penduduk desa yang mengejarku ketika aku
mencuri beras mereka. Adik Chen tidak pernah memakan beras lebih banyak dari
satu mangkuk karena dia selalu takut jika aku tidak cukup kenyang dan memilih
mengisi perutnya dengan akar dan daun-daunan. Dan sekarang…dia akan mati dan
aku tidak bisa melakukan apapun untuknya…aku tidak bisa melakukan apa-apa. Aku harus
bagaimana?...Aku harus bagaimana Xu-moi?”.
Xu Guanjin merengkuh
wajah dalam tangkupan kedua jemari tangannya hingga kini, kerupawanan yang pias
memucat itu terbenam dalam kelembutan dekapannya. Tepat di atas perutnya.
“Maka berikan padaku
semua kesedihanmu Changyi-ko” bisik Xu Guanjin tepat di atas kepala Changyi. “Biarkan
aku yang menanggungnya untukmu. Aku tak akan runtuh dan karena itu
bersembunyilah di balikku”.
“Xu-moi…” getar suara
Changyi seolah menandai runtuhnya dinding kekuatan pemuda itu.
“Semuanya akan
berlalu seperti badai yang melewati satu musim dan setelahnya, semua akan
baik-baik saja. Semua pasti akan baik-baik saja Changyi-ko” sahut Xu Guanjin. Tangan
kanannya membelai helai-helai rambut pemuda dalam dekapannya.
Changyi memejamkan
kedua matanya saat ia tahu tak lagi mampu menahan mendung yang menggayut. Kedua
tangan pemuda itu perlahan terangkat dan melingkari pinggang Xu Guanjin seolah
hanya pinggang yang ramping itu saja tempatnya bergantung kini. Helai-helai
rambut panjang Guanjin yang tergerai hingga ke bawah pinggul bergerak lembut
seirama sapuan angin malam menyembunyikan sepasang tangan Changyi yang memeluk
erat pinggang ramping tempatnya menyembunyikan keruntuhan dirinya.
“Adik Chen…maafkan
aku…maafkan aku” suara keruntuhan Changyi melepas lolos dalam nada merana yang
teredam.
Xu Guanjin
menundukkan kepalanya, meletakkan pipinya pada ujung kepala pemuda dalam
dekapannya, membiarkan pemuda yang biasa terlihat kokoh tegar dalam
kesempurnaan sinarnya itu kini luruh dan meruntuh.
Malam bergerak
perlahan meninggalkan desir angin yang membawa udara dingin. Meninggalkan satu
rembulan yang merengut sedih dalam raung kemarahannya saat ia melihat satu
rembulan lain yang bersinar dalam kekuatannya yang melenakan. Meninggalkan satu
binar matahari yang meruntuh dalam dekapan purnama terindah sang rembulan yang
justru tak bertahta di keluasan langit…
Malam merambat
semakin jauh, merayap dalam endap sunyi yang membawa misteri akan peristiwa di
esok hari..
*********
“Cerita
ini tak lagi sama meski hatimu selalu di sini
Mengertilah
bahwa ku tak berubah
Lihatlah
aku dari sisi yang lain
Bersandar
padaku, rasakan hatiku
Bersandar
padaku…oh
Dan
diriku bukanlah aku, tanpa kamu tuk memelukku
Kau
melengkapiku, kau sempurnakan aku
Waktu
yang telah kita lalui, buatmu lebih berarti
Luruhkan
kerasnya dinding hati, engkaulah satu yang aku cari..
Bersandar
padaku, rasakan hatiku
Bersandar
padaku…oh
Dan
diriku bukanlah aku, tanpa kamu tuk memelukku
Kau
melengkapiku, kau sempurnakan aku
Dan
diriku bukanlah aku, tanpa kamu menemaniku
Kau
menenangkanku, kau melegakanku”
(Tak Lagi Sama – Song By Ariel Noah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar