Senin, 29 Agustus 2016

Straight - Episode 7 ( Bagian Sebelas )

Bulan purnama terlihat jauh di langit seolah sengaja menjauh dari permukaan tanah dan seraut wajah penuh mendung yang tak sudi pada kecemerlangan sinarnya. Angin berhembus sedikit kencang mengantarkan aroma bunga semak sisa sore yang telah berlalu beberapa saat lalu. Aroma lemah yang semakin menegaskan kemurungan hingga memekat menyenandungkan ketidakberdayaan.
Dan ketidakberdayaan itu demikian membelenggu hingga memunculkan kemarahan pada seraut wajah yang mestinya menjadi bentuk terindah di malam yang gelap sunyi tersebut.
Changyi memejamkan matanya kuat-kuat sementara kepalanya tertunduk ketika kenangan demi kenangan melintasi ruang di dalam kepalanya membuat pemuda itu seperti di benturkan ke atas batuan padas yang sangat tajam dan keras hingga tubuh jiwanya hancur tak berbentuk. Kenangan-kenangan masa lalu saat ia dan Xiao Chen menjalani  kehidupan masa kanak-kanak bersama, pada sosok dengan tubuh yang selalu lemah dan rapuh hingga ia tak pernah sesaatpun merasa tenang meninggalkan Xiao Chen, pada sosok saudara sejiwanya itu yang meski tubuhnya lemah dan rapuh namun memiliki pemikiran melebihi ukuran tubuhnya, pada sosok adik yang ia telah berjanji untuk melindunginya dan membawanya pada kehidupan yang bahagia. Sosok adik yang membuatnya mampu menempuh kehidupan keras penuh hinaan pada awal ia datang ke istana dan menjalani pendidikan di sekolah khusus prajurit.
Tetapi, apa yang baru saja ia dengar seolah pedang petir yang menebas seluruh kekuatan untuk menepati janjinya.
Xiao Chen akan tetap menjalani hukuman mati besok pagi. Dan tak ada sesuatu hal apapun yang bisa dilakukannya untuk membatalkan hal itu. Bahkan Jenderal Xu Da, ayah angkat yang sesungguhnya sangat diharapkannya dapat membantu Xiao Chen pun kini tidak bisa melakukan apa-apa untuk menyelamatkan Xiao Chen atau sekedar mengulur waktu hingga mereka menemukan bukti bahwa pelaku kejahatan dengan racun pada Pangeran Zhu Di itu adalah orang lain. Dan ia tak bisa melakukan apapun karena keadaannya sebagai putra Jenderal Xu Da saat ini serta sebuah janji lain yang mengikatnya, dengan lebih kuat.
Janji yang muncul dari hati yang bukan lagi miliknya.
Sepasang tangan Changyi terkepal saat gambaran seraut wajah yang mengejarnya dengan uraian airmata pada hari ia dibawa pergi oleh Jenderal Xu Da menuju kotaraja muncul dan memenuhi benaknya. Sosok berbalut pakaian lusuh yang ia tinggalkan di Kuil Bulan Merah demi impiannya untuk dapat memiliki hidup yang lebih baik bagi mereka berdua. Sosok yang akan hilang besok pagi. Bukan hilang untuk sesaat namun hilang hingga waktu yang tak terbatas lagi. Hilang untuk selamanya.
“Adik Chen…Adik Chen…maafkan aku” bisik bibir Changyi saat getaran kepedihan semakin kuat menggayuti dadanya. “Bagaimana caraku untuk menolongmu? Bagaimana caraku untuk menepati janjiku melindungimu?”
Sunyi malam yang tak biasa terasa ketat mengurung di sekitar pemuda itu, membuat bisik lirihnya terdengar demikian keras bagaikan lonceng kuil yang dipukul sekuat tenaga, menggaung, menggema dan memantul kembali ke dinding hati Changyi membuat dada pemuda itu dipenuhi gemuruh dan menggiring sepasang matanya yang indah ke balik tirai kabut.
“Changyi-ko?” sebuah suara lain yang terdengar nyaris selembut angin membuat sepasang mata Changyi yang semula memejam seketika kembali membuka. “Changyi-ko, rupanya kau di sini”.
Tubuh Changyi menegak dengan cepat saat kedua telinganya mendengar kalimat dari sepasang bibir sosok di belakangnya yang telah mengikat seluruh jiwanya. Sekilas, satu tangan pemuda itu terangkat dan mengusap cepat kedua matanya sebelum kemudian tubuhnya berbalik menghadap ke arah seorang gadis yang tengah menatapnya dengan sepasang mata paling indah.
“Xu-moi…kenapa kau ke sini? Hari sudah malam, seharusnya kau tinggal di kamarmu” tanya Changyi tanpa maksud menegur. Senyum pemuda itu terurai menutupi kerut kesedihan yang semula memenuhi raut wajahnya.
Xu Guanjin tak segera menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Changyi. Gadis itu justru melangkah perlahan ke arah pemuda di depannya tanpa sedikitpun mengalihkan kedua mata bintangnya. Changyi memperhatikan setiap inci keindahan di wajah rembulan Xu Guanjin, meresapi sinar keanggunan dan kharisma yang tercipta dalam keelokan yang membuatnya mabuk kepayang. Dan kini, ketika sosok penuh pesona itu bergerak perlahan ke arahnya, Changyi merasakan jantungnya berdetak keras seolah sebuah tenaga baru menggerakkan titik kehidupannya tersebut membuat kesedihan yang sesaat lalu bagai mencengkeram setiap sisi jiwanya seketika mengabur dan hanya membekaskan sebuah jejak samar.
“Ayah mencarimu Changyi-ko. Ayah terlihat demikian cemas” sahut Xu Guanjin saat ia benar-benar telah berdiri di depan Changyi, hanya dalam jarak satu langkah.
Angin berhembus perlahan mengibarkan helai-helai rambut Xu Guanjin, menghamparkan aroma bunga musim semi yang lembut. Changyi menghirup dan menyimpan keharuman yang lembut itu dalam diamnya, membiarkan keharuman musim semi tersebut memenuhi ruang dadanya dan menghantarkan kesejukan yang menenangkan.
“Benarkah Xu-moi? Jadi, kedatanganmu saat ini karena atas perintah Ayah?” tanya Changyi sesaat kemudian.
Xu Guanjin menggeleng tanpa mengalihkan sepasang matanya dari wajah rupawan yang sangat dirindukannya. Mereka tinggal dalam satu rumah dan ia kini – terutama sejak ada perintah dari kaisar agar Changyi meninggalkan distrik pelatihan prajurit di wilayah timur – bisa bertemu Changyi kapanpun. Tetapi, mengapa meskipun mereka sering bertemu, rasa rindu dalam dadanya tak juga berkurang dan malah semakin mengikat? Setiap waktu, bahkan setiap detik, semakin sering ia menatap wajah rupawan secemerlang matahari itu justru membuat hatinya semakin merindukan pemuda itu, bukan lagi bentuk dan rupanya namun bahkan suara, setiap gerak gerik dan senyumnya. Seolah kini, ia hanya akan dapat melalui hari setelah menatap Xu Changyi dan menyimpan keindahan senyum pemuda yang telah menjadi matahari jiwanya itu.
“Tidak Changyi-ko, Ayah tidak menyurhku untuk mencarimu” jawab Xu Guanjin membuat Changyi terperanjat. “Aku pergi atas kemauanku sendiri saat aku mendengar Ayah menanyakan keberadaan Changyi-ko pada prajurit penjaga”.
“Xu-moi…bagaimana kau bisa melakukan hal ini? Bagaimana bila nanti Ayah atau Ibu mencarimu ke dalam kamar dan ternyata kau tidak ada? Mereka pasti akan sangat cemas” sahut Changyi. Kini terdapat nada menegur dalam suaranya.
“Aku lebih mencemaskanmu Changyi-ko” jawab Xu Ganjin. Kini, pandangannya bertemu dengan sepasang mata Changyi, saling mengukur dalamnya perasaan yang bergejolak dalam hati. “Aku tahu Changyi-ko sangat sedih karena Adik Chen dan Ayah kali ini tidak bisa membantu”
Pernyataan yang fatal. Seolah kunci yang membuka pintu paling jauh dalam kalbu seorang Xu Changyi, kalimat yang terucapkan oleh Xu Guanjin seketika merubah rona wajah pemuda itu, membuatnya memucat hingga seputih warna rembulan di langit di jauh. Tanpa bisa ditutupi lagi. Changyi menelan ludah, membuat satu gerakan kasar pada lehernya sementara wajahnya berpaling – untuk pertama kali – dari keelokan pesona seorang Xu Guanjin.
“Changyi-ko” bisik Xu Guanjin sehalus angin, setengah langkah mendekat hingga kini, lengan yang terkulai di bahu Changyi berada dalam jangkauan jemari tangannya.
“Xu-moi..itu…jangan pedulikan aku” sahut Changyi dalam bisiknya. “Aku tidak apa-apa. Aku baik-baik saja. Kau pulanglah…jangan sampai Ayah dan Ibu mencarimu”.
“Apakah kau sungguh bisa membohongiku Changyi-ko?” bergetar suara Xu Guanjin sementara sepasang matanya berkelebat mencari dua telaga di wajah Changyi yang mestinya memancarkan kehangatan cahaya matahari. Namun seolah mengerti bahwa mendung tebal yang menggayut tak lagi bisa ditutupi, wajah rupawan yang mengikat jiwa Guanjin segera berpaling dan menghindar pergi. Hingga sebuah jemari yang gemetar menangkup lengan pemuda itu.
“Apakah kau sungguh berpikir bisa membohongiku Changyi-ko?” ulang Xu Guanjin di balik punggung Xu Changyi.
“Xu-moi…kumohon…biarkan aku sendiri” bisik Changyi. “Ini…bukan hal yang bisa kau mengerti. Tentang aku dan Adik Chen…”
“Bahwa kau telah berjanji untuk melindunginya…tapi kau harus melepaskannya sekarang dengan cara yang tak pernah kau bayangkan sebelumnya. Bahwa kau ingin membawanya dalam kehidupan yang lebih baik, namun pada akhirnya kau tidak bisa melakukan apapun disaat ia justru sangat membutuhkan dirimu. Dan itu semua karena kau telah terikat untuk melindungiku, melindungi Ayah, Ibu dan seluruh keluarga kita. Bukankah benar begitu? Apakah aku telah salah dalam membacamu Changyi-ko?” kata Xu Guanjin membuat Changyi terperanjat dan seketika melemas runtuh saat mendapati seluruh kebenaran dalam kalimat gadis di balik punggungnya.
Changyi merasakan seluruh tubuhnya melemah dan nyaris tak menyadari saat sosoknya yang tinggi dan gagah rubuh dalam posisi berlutut. Wajah pemuda terangkat mengadukan kepiasan rupa pada sang rembulan jauh di langit malam. Xu Guanjin nyaris terpekik saat melihat runtuhnya Changyi dan sektika melompat ke hadapan pemuda itu.
“Changyi-ko?…Changyi-ko, kau kenapakah? Maafkan aku yang mengurai kesedihanmu…Changyi-ko?” nyaris berteriak Xu Guanjin mengguncang kesadaran Changyi yang terbang ke titik terjauh di langit. Gadis itu sungguh merasa panik dan sedih saat menemukan sepasang mata yang semestinya bersinar penuh binar kini terbuka dalam kekosongan selain satu warna kekosongan. Maka, kedua telapak tangan gadis itu serta merta merengkuh wajah yang selalu dirindukannya itu.
“Changyi-ko..kenapa kau diam saja? Jawablah aku Changyi-ko…sungguh maafkan aku” kata Xu Guanjin tepat di depan wajah Changyi.
“Xu-moi…” bisik Changyi rapuh. Sepasang mata pemuda itu memejam menahan kekuatan mendung yang semakin menggayut berat. “Aku telah berjanji pada paman dan bibi saat mereka meninggal untuk selalu melindungi Adik Chen. Aku telah berjanji pada ayah dan ibu saat mereka meninggal untuk selalu bersama dengan Adik Chen karena hanya dialah satu-satunya keluargaku yang sesungguhnya. Adik Chen selalu merawatku bahkan saat aku terluka karena senjata penduduk desa yang mengejarku ketika aku mencuri beras mereka. Adik Chen tidak pernah memakan beras lebih banyak dari satu mangkuk karena dia selalu takut jika aku tidak cukup kenyang dan memilih mengisi perutnya dengan akar dan daun-daunan. Dan sekarang…dia akan mati dan aku tidak bisa melakukan apapun untuknya…aku tidak bisa melakukan apa-apa. Aku harus bagaimana?...Aku harus bagaimana Xu-moi?”.
Xu Guanjin merengkuh wajah dalam tangkupan kedua jemari tangannya hingga kini, kerupawanan yang pias memucat itu terbenam dalam kelembutan dekapannya. Tepat di atas perutnya.
“Maka berikan padaku semua kesedihanmu Changyi-ko” bisik Xu Guanjin tepat di atas kepala Changyi. “Biarkan aku yang menanggungnya untukmu. Aku tak akan runtuh dan karena itu bersembunyilah di balikku”.
“Xu-moi…” getar suara Changyi seolah menandai runtuhnya dinding kekuatan pemuda itu.
“Semuanya akan berlalu seperti badai yang melewati satu musim dan setelahnya, semua akan baik-baik saja. Semua pasti akan baik-baik saja Changyi-ko” sahut Xu Guanjin. Tangan kanannya membelai helai-helai rambut pemuda dalam dekapannya.
Changyi memejamkan kedua matanya saat ia tahu tak lagi mampu menahan mendung yang menggayut. Kedua tangan pemuda itu perlahan terangkat dan melingkari pinggang Xu Guanjin seolah hanya pinggang yang ramping itu saja tempatnya bergantung kini. Helai-helai rambut panjang Guanjin yang tergerai hingga ke bawah pinggul bergerak lembut seirama sapuan angin malam menyembunyikan sepasang tangan Changyi yang memeluk erat pinggang ramping tempatnya menyembunyikan keruntuhan dirinya.
“Adik Chen…maafkan aku…maafkan aku” suara keruntuhan Changyi melepas lolos dalam nada merana yang teredam.
Xu Guanjin menundukkan kepalanya, meletakkan pipinya pada ujung kepala pemuda dalam dekapannya, membiarkan pemuda yang biasa terlihat kokoh tegar dalam kesempurnaan sinarnya itu kini luruh dan meruntuh.
Malam bergerak perlahan meninggalkan desir angin yang membawa udara dingin. Meninggalkan satu rembulan yang merengut sedih dalam raung kemarahannya saat ia melihat satu rembulan lain yang bersinar dalam kekuatannya yang melenakan. Meninggalkan satu binar matahari yang meruntuh dalam dekapan purnama terindah sang rembulan yang justru tak bertahta di keluasan langit…
Malam merambat semakin jauh, merayap dalam endap sunyi yang membawa misteri akan peristiwa di esok hari..
*********
“Cerita ini tak lagi sama meski hatimu selalu di sini
Mengertilah bahwa ku tak berubah
Lihatlah aku dari sisi yang lain
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku…oh
Dan diriku bukanlah aku, tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Waktu yang telah kita lalui, buatmu lebih berarti
Luruhkan kerasnya dinding hati, engkaulah satu yang aku cari..
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku…oh
Dan diriku bukanlah aku, tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Dan diriku bukanlah aku, tanpa kamu menemaniku
Kau menenangkanku, kau melegakanku”
(Tak Lagi Sama – Song By Ariel Noah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar