Minggu, 02 Agustus 2015

Straight - Episode 5 ( Bagian Dua )


Nampaknya, jika melihat posisi Pangeran Zhu Di yang menjadi kesayangan Sang Kaisar, maka apa yang menjadi permintaan Pangeran Keempat mengenai hadiah untuk Xiao Chen sepertinya akan dengan mudah terwujud.
Namun ternyata, kenyataan yang kemudian muncul di depan mata justru menjadi sangat bertentangan dengan apa yang diduga oleh sebagian besar penghuni istana. Lebih dari itu, hal yang menjadi perkiraan Jenderal Xu Da-lah yang kemudian menjelma dalam sebuah kebenaran.
Setelah bertemu dengan Jenderal Lan Yu serta beberapa pejabat dari Kementerian Pertahanan, akhirnya Kaisar Ming Tai Zhu menolak permintaan Pangeran Keempat untuk memasukkan Xiao Chen ke sekolah prajurit khusus. Sebagai gantinya, Kaisar Ming mengangkat Xiao Chen sebagai juru masak dan kasim kecil khusus bagi Pangeran Keempat. Hal yang menjadi dasar pertimbangan bagi Sang Kaisar adalah kenyataan bahwa Kasim Anta telah semakin tua sehingga pastilah tak akan mampu bertahan untuk merawat dan melayani Pangeran Zhu Di dalam waktu yang lebih lama lagi.
Pengangkatan Xiao Chen sebagai juru masak dan kasim kecil khusus bagi Pangeran Keempat segera diumumkan secara luas di seluruh penjuru istana dan bahkan, pengumunan tersebut ditempelkan di tempat-tempat umum sehingga bisa dibaca oleh seluruh rakyat banyak.
Pemberitahuan tentang keputusan Sang Kaisar disampaikan pada Pangeran Zhu Di melalui utusan yang diterima oleh Kasim Anta dan membacakan langsung di hadapan Sang Pangeran Keempat yang terlihat sangat terkejut hingga sekejab wajahnya memucat sebelum kemudian berubah memerah di kejab yang lain. Hingga, begitu Kasim Anta telah selesai membacakan keputusan yang diambil oleh Kaisar Ming, Pangeran Zhu Di telah melompat melewati Kasim Anta yang terperanjat dan tak sempat lagi mencegah pangeran kecil yang jelas terlihat marah dan kecewa itu melesat menuju istana kaisar. Prajurit yang berjaga di depan istana pangeran kesemuanya terkejut dan saling pandang sementara Kasim Anta yang telah pulih dari rasa terkejutnya segera berlari di belakang Pangeran Keempat sambil meneriakkan nama Sang Pangeran yang terus berlari dengan cepat bagaikan anak panah kecil yang lepas dari busurnya.
Dan sebagaimana para prajurit penjaga di istana pangeran, para prajurit yang berjaga di istana kaisar-pun hanya saling pandang dan tak satupun memiliki keberanian untuk mencegah saat Pangeran Zhu Di menerobos melewati mereka semua dan tanpa kata-kata yang terucap dari mulutnya yang mungil. Hanya sepasang mata yang memancarkan kilau tajam pertanda kemarahan dan kekecewaan hati atas apa yang baru saja diputuskan oleh Sang Kaisar. Dan gerak tubuh Pangeran Zhu Di tak berhenti hingga ia membuka pintu ruang kaisar dan menemukan ayahnya itu sedang duduk sambil membaca sebuah buku di kursinya yang indah.
Kaisar Ming Tai Zhu terlihat terkejut saat melihat Pangeran Keempat yang menerobos masuk tanpa ada pemberitahuan dari prajurit penjaga yang berdiri di depan pintu. Keningnya berkerut sementara jari tangannya yang berhias sebuah cincin giok berhenti bergerak di atas lembaran buku di depannya.
“Zhu Di…kenapa kau masuk tanpa mengetuk pintu lebih dahulu? Apakah kau telah melupakan aturan sopan santun saat ingin masuk ke kamar orangtuamu?” tanya Kaisar Ming Tai Zhu dengan nada menegur.
Pangeran Zhu Di menarik nafas sekedar untuk menenangkan jantungnya yang berdegub lebih cepat. Tubuhnya membungkuk di depan Kaisar meski hal itu sama sekali tak mengurangi kekeruhan yang tercipta di wajah tampannya.
“Maafkan hamba Yang Mulia” sahut Pangeran Zhu Di membuat Kaisar Ming mengangkat satu alisnya saat mendengar kalimat putranya yang formal. Pangeran Zhu Di selalu menggunakan kalimat formal saat berbicara dengannya jika hati Sang Pangeran kecil itu tengah kalut atau kecewa akan sesuatu hal. Dan Kaisar Ming Tai Zhu sangat hafal dengan kebiasaan putra keempatnya itu.
“Ada apa? Kau pasti memiliki sesuatu yang penting untuk kau katakan pada ayahmu sehingga kau harus berlari menembus para prajurit dan datang tanpa memberitahu lebih dulu” ujar Kaisar Ming Tai Zhu. Jarinya kembali bergerak di atas lembar buku dan bersiap membalik lembaran yang telah selesai dibacanya itu.
“Yang Mulia, kenapa Yang Mulia menjadikan Xiao Chen sebagai juru masak dan kasim untuk hamba? Bukan seperti itu hadiah yang ingin hamba berikan padanya” tanya Pangeran Zhu Di menjawab pertanyaan ayahnya. Kalimatnya yang langsung pada pokok masalah tanpa basa-basi membuat Kaisar Ming kembali terkejut. Terlebih lagi, cara Sang Pangeran mengucapkan kalimatnya dengan nada tegas yang mengesankan kemarahan.
Kaisar Ming kembali menatap Pangeran Zhu Di. Jarinya yang bersiap membalik lembaran buku terhenti dan bahkan kemudian, buku yang sedang dibacanya itu ditutupnya sama sekali dan digeser ke samping, pada sisi tumpukan buku lain di atas meja. Pandangan mata Kaisar Ming lurus menatap ke arah Pangeran Zhu Di yang juga tengah menatap ke arahnya. Tanpa berkedip, menuntut jawaban secepatnya. Sejelas-jelasnya.
“Karena itulah yang terbaik bagimu Zhu Di. Kau sakit dan Pelayan Chen-lah yang menyembuhkanmu. Anak itu akan lebih berguna bagimu jika ia tinggal di sisimu sebagai juru masak dan kasim yang secara khusus melayanimu. Aku tidak ingin ada hal lain yang terjadi pada kesehatanmu hanya karena kau tidak menyukai masakan juru masak istana. Kakakmu Zhu Biao sudah sering jatuh sakit dan itu sangat memusingkanku karena itu aku ingin memastikan bahwa kesehatanmu terpelihara dengan baik. Lagipula, Kasim Anta semakin tua dan jelas ia tidak akan bisa melayanimu dengan baik untuk waktu yang lama, terlebih dengan gerakmu yang terlalu cepat baginya” jelas Kaisar Ming Tai Zhu dengan suara melambat seolah sengaja ditekankan agar Pangeran Zhu Di dapat memahami maksud yang ingin disampaikannya meski hanya dengan sekali dengar.
Namun tampaknya, menembus hati yang telah dirundung kecewa dan marah dari singa kecil yang berdiri dengan garang di depan sang raja bukanlah hal yang mudah. Pangeran Zhu Di memang segera mengerti dengan penjelasan yang diberikan oleh ayahnya. Tetapi, semakin ia mengerti apa yang diinginkan oleh Kaisar Ming, justru semakin membuat kemarahannya memuncak. Maka sepasang mata yang jernih itu kini terlihat berkilauan seolah ribuan kilat tengah bertarung di dalamnya. Meskipun Sang Pangeran Keempat tetap dalam sikapnya yang menunjukkan rasa hormat di depan Kaisar Ming, namun Sang Kaisar dapat dengan jelas merasakan gelombang kekecewaan yang menyala dalam hati putranya.
“Yang Mulia, sungguh hamba sangat berterima kasih atas perhatian demikian besar yang diberikan pada hamba. Namun begitu, tidakkah Yang Mulia mengerti bahwa hamba memiliki pemikiran dan alasan yang membuat hamba memilih hadiah hamba pada Pelayan Chen?” tanya Pangeran Zhu Di. Nada bicaranya terdengar halus dan sopan namun ketegasan yang ditekankan pada titik-titik kalimatnya membuat Sang Kaisar semakin memahami sejauh apa kemarahan pangeran kecil di depannya.
Kaisar Ming Tai Zhu mengangguk-angguk. Kedua alisnya berkerut sesaat sebelum sehela nafas panjang menyeruak menyertai kalimatnya yang meluncur dalam intonasi yang tenang dan anggun.
“Baiklah Zhu Di” jawab Kaisar Ming Tai Zhu. Sepasang matanya masih terus menatap putranya. “Aku mengerti bahwa kau pasti memiliki alasan hingga kau memilih hadiah untuk anak bernama Xiao Chen seperti yang kau katakan di arena sayembara kemarin. Tetapi, hal yang ingin kuketahui adalah apakah alasanmu itu memiliki kepentingan terhadap orang banyak di sekitarmu ataukah hanya merupakan kepentinganmu dan sahabatmu itu saja? Di arena sayembara kemarin, kau telah mengatakan bahwa kau akan mematuhi apapun keputusan yang diambil setelah aku bertemu dengan Jenderal Lan Yu dan pejabat-pejabat dari Kementerian Pertahanan. Namun, hari ini kau terlihat marah dan kecewa setelah keputusan diambil. Untuk hal ini, aku ingin kau menjawabnya dengan jujur Zhu Di”.
Pangeran Zhu Di terkejut saat mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh ayahnya. Ia bahkan belum pernah mengungkapkan tentang apa yang menjadi maksud hatinya namun, bagaimana mungkin Kaisar telah dapat menebak isi hatinya?
“Bagaimana Yang Mulia bisa mengetahui bahwa alasan hamba adalah mengenai hamba dan Kakak Xu Changyi?” Pangeran Zhu Di balik bertanya. Sepasang matanya mengerjab. Sedikit rasa gugup menghinggapi hatinya.
Kaisar Ming Tai Zhu tertawa dengan suara pelan.
“Jadi benar alasanmu memberi hadiah seperti yang kau pillih itu adalah karena rasa persahabatanmu dengan sahabatmu? Karena anak bernama Xiao Chen itu, meskipun ia sesungguhnya adalah pelayan tapi ia juga adalah teman dari sahabatmu karena mereka telah bersama sejak masih kanak-kanak. Benarkah begitu?” desak Kaisar Ming membuat Pangeran Zhu Di semakin gugup.
Ada satu hal yang selalu dikagumi Pangeran Zhu Di dari sosok ayahnya. Dan itu adalah kecerdasannya yang terlihat dalam setiap pemikiran-pemikirannya. Seringkali, Sang Kaisar seolah telah dapat menebak apa yang ada dalam hatinya. Meskipun Pangeran Zhu Di tidak tahu apakah Kaisar Ming juga dapat menebak isi hati para pejabat istana dan menteri sebagaimana Sang Kaisar selalu tepat saat menebak isi hatinya.
Dan kali ini, sekali lagi Kaisar Ming berhasil menebak dengan tepat isi hatinya membuat kemarahan Pangeran Zhu Di yang semula menyala-nyala seketika berubah, bercampur kegugupan sekaligus rasa heran. Kegugupan yang mendesak kepala Sang Pangeran Keempat untuk mengangguk dengan kejujuran.
“Benar Yang Mulia” desis Pangeran Zhu Di. “Memang demikianlah alasan hamba yang sesungguhnya. Hamba tak ingin memisahkan Kakak Changyi dengan Xiao Chen karena bagaimanapun mereka telah bersama demikian lama. Karena itu, meskipun hamba membutuhkan Xiao Chen untuk memasak bagi hamba, namun hamba juga ingin agar hal itu tidak akan menghalangi Kakak Changyi dan Adik Chen untuk bersama. Apakah salah jika hamba memiliki maksud seperti itu?”.
Kaisar Ming Tai Zhu mendengus. Sepasang matanya yang menatap putranya kini terlihat sedikit berkilat.
“Kau bahkan memanggil Pelayan Chen dengan sebutan ‘adik’. Sebenarnya, sejauh apa hubunganmu dengan anak itu? Dan sejauh apa hubungan Changyi dengan anak bernama Chen itu?” tanya Sang Kaisar tak menghiraukan pertanyaan Pangeran Zhu Di.
Hati Pangeran Zhu Di tersentak. Itu pertanyaan berbahaya. Jika ia menjawab secara apa adanya, maka kenyataan bahwa sesungguhnya Chen bukanlah pelayan di rumah Keluarga Xu akan terbongkar. Dan itu sangat tidak boleh terjadi karena, jika sampai Kaisar Ming Tai Zhu mengetahui bahwa sesungguhnya Chen bukanlah pelayan di rumah Jenderal Xu Da maka dengan sendirinya Sang Kaisar juga akan mengetahui kebohongan-kebohongan yang lain. Termasuk bahwa sesungguhnya Chen tidak boleh mengikuti sayembara, bahwa sesungguhnya Chen adalah bagian dari para biksu di Kuil Bulan Merah meskipun Chen belum menjadi salah satu biksu di kuil tersebut, bahwa adanya Chen dalam sayembara memasak adalah karena ia dan Changyi yang menyusupkannya secara diam-diam pada malam sebelum sayembara dimulai. Lebih buruk lagi, Kaisar Ming Tai Zhu akan tahu bahwa Jenderal Xu Da telah berbohong juga dengan mengatakan bahwa Chen adalah pelayan di rumahnya – meskipun hal itu dilakukan oleh Jenderal Xu Da pastilah demi untuk melindungi Changyi dan juga dirinya dari kemurkaan Kaisar – dan Pangeran Zhu Di tahu seberapa baik hubungan Kaisar dengan Jenderal Xu Da yang seolah telah seperti saudara sehingga jika sampai Kaisar tahu bahwa jenderal yang sangat dipercayainya telah membohonginya, maka Kaisar pastilah akan sangat kecewa. Jadi, Pangeran Zhu Di tahu dengan pasti bahwa untuk pertanyaan yang dilontarkan oleh ayahnya itu, ia tak boleh menjawab dengan sejujurnya. Bahkan jika ia memang harus dihukum berat karena telah berbohong pada orangtua yang sangat dihormatinya itu.
“Karena Kakak Changyi bukan hanya sahabat bagi hamba melainkan saudara hamba Yang Mulia. Sementara Pelayan Chen bagi Kakak Changyi bukan hanya pelayan tapi sudah seperti keluarga karena mereka telah bersama sejak kecil, sehingga saat Kakak Changyi memanggil Pelayan Chen dengan sebutan ‘adik’ maka dengan sendirinya hamba ikut memanggil Pelayan Chen dengan sebutan ‘adik’ pula. Hamba melakukan hal itu karena, bagi hamba, saudara Kakak Changyi adalah juga saudara hamba. Demikianlah Yang Mulia” jawab Pangeran Zhu Di setelah selama dua detik memikirkan jawaban yang paling tepat untuk pertanyaan Sang Kaisar.
Kaisar Ming Tai Zhu menatap Pangeran Zhu Di lekat-lekat seperti sedang mengukur kejujuran putranya itu. Kemudian, setelah menghela nafas sejenak, Sang Kaisar menganggukkan kepalanya. Ia menyadari adanya hal yang masuk akal dalam jawaban Pangeran Keempat. Bukankah ia dan Jenderal Xu Da juga dipersaudarakan oleh kebersamaan terutama di waktu-waktu sulit yang mereka lalui di masa peperangan dan perjuangan melawan kekuasaan Yuan?. Ia bahkan juga memanggil Panglima Tertinggi Kerajaan tersebut dengan sebutan ‘Kakak’…
“Hmm…baiklah” sahut Kaisar Ming kemudian. Kepalanya masih mengangguk sekali lagi sebelum ia melanjutkan kata-katanya. “Tetapi, meskipun begitu, kau juga harus menyadari bahwa kau hidup di lingkungan istana. Lebih dari itu, kau harus sungguh-sungguh menyadari keadaanmu sebagai seorang pangeran. Karena itu, kau tidak bisa melakukan segala hal sesuai kehendak hatimu dan mengabaikan aturan-aturan yang ada. Jika kau sebagai putraku, melakukan apapun yang kau mau maka rakyat di luar sana tidak akan lagi mempercayai aturan-aturan yang dibuat oleh istana. Ingatlah Zhu Di, rakyat di luar tembok istana ini tampak sebagai orang-orang yang bodoh dan tidak mengerti apa-apa. Namun sesungguhnya, mereka adalah titik kekuatanmu yang utama jika kau ingin membuat negaramu menjadi negara yang besar. Rakyat di luar sana adalah para pengikutmu yang sebenar-benarnya. Sebagai seorang pangeran, kau harus menunjukkan dirimu sebagai orang yang lebih mampu mematuhi aturan kerajaan sehingga rakyat dapat mencontohmu. Jika kau bisa menjadi contoh bagi pengikutmu, maka sesungguhnya kau telah memegang kepercayaan mereka padamu. Dan kepercayaan para pengikutmu adalah modal utama bagimu untuk membesarkan negaramu. Kehancuran sebuah negara selalu dimulai dari adanya rasa tidak percaya rakyat pada pemimpin mereka”.
Pangeran Zhu Di menunduk. Sinar matanya tak lagi segarang saat ia menerobos masuk ke ruang Kaisar Ming. Apa yang diucapkan oleh ayahnyalah yang membuat kepala berhias wajah tampan itu akhirnya tertunduk. Ia dapat menemukan kebenaran dalam kalimat yang diucapkan oleh Kaisar Ming. Tetapi, tidak bisakah dibuat satu pengecualian saja? Untuknya? Sekali ini saja?
“Yang Mulia, tidak bisakah Yang Mulia membuat satu pengecualian bagi hamba? Sekali ini saja?” tanya Pangeran Zhu Di menyuarakan isi kepalanya.
Kaisar Ming tertawa hingga menampakkan deretan giginya yang rapi.
“Jika kau meminta sebuah pengecualian lalu aku mengabulkan permintaanmu itu, maka besok akan datang lagi seseorang yang meminta pengecualian padaku dan aku harus mengabulkannya karena aku telah mengabulkan permintaanmu. Jika tidak maka orang itu akan berkata ‘Kaisar telah mengabulkan permintaan pengecualian dari putranya tapi menolak mengabulkan permintaan pengecualian dari pengikutnya’. Lalu, berita itu akan tersebar dan selanjutnya, orang banyak akan melihat bahwa aku sebagai seorang raja hanya bisa membuat aturan-aturan bagi rakyat tapi tak mampu memberi contoh bagaimana mentaati aturan yang telah dibuat dan disepakati bersama. Lalu, kepercayaan banyak orang padaku akan menyusut sedikit demi sedikit sebelum akhirnya hilang dan hal itu berarti hancurnya kerajaan ini. Lain halnya jika aku mengabulkan permintaan pengecualian dari orang itu, maka orang itu akan menceritakan kepada banyak orang bahwa aku bisa membuat pengecualian bagi siapapun yang memintanya padaku. Lalu, satu demi satu orang-orang akan berdatangan padaku untuk meminta pengecualian dari aturan-aturan kerajaan yang telah dibuat, sebelum akhirnya, semua orang, seluruh rakyat akan datang pada raja mereka dan meminta pengecualian. Akhirnya, aturan-aturan kerajaan yang dibuat hanya akan menjadi kalimat-kalimat kosong yang sama sekali tak memiliki arti dan kekuatan. Dan kerajaan yang kita bangun dengan segenap usaha dan susah payah, dengan pengorbanan nyawa dari prajurit yang telah gugur akan hancur dalam sekejab karena setiap orang akan berjalan sesuai kehendak hatinya sendiri. Apakah hal seperti itu yang kau inginkan untuk terjadi di kerajaanmu ini Zhu Di?”.
Sunyi senyap. Pangeran Zhu Di menelan ludah saat ia mendengar pertanyaan Kaisar Ming Tai Zhu tersebut.
Itu adalah pertanyaan di titik akhir. Artinya, apa yang akan ia katakan sebagai jawaban akan menimbulkan akibat dan apapun akibat itu, ia harus memikul tanggungjawab terhadapnya.
Pangeran Zhu Di sungguh tidak suka setiap kali ia dihadapkan pada pertanyaan di titik akhir seperti itu sebab, pertanyaan seperti itu selalu membawa dua atau lebih pilihan di depannya dan ia tak bisa tidak untuk memilih satu dari pilihan-pilihan tersebut. Seringkali, ia memutuskan untuk memilih satu dari beberapa pilihan yang ada di depannya bukan dengan pertimbangan karena ia menyukainya melainkan karena pertimbangan demi kepentingan orang banyak. Dan hanya ada satu alasan mengapa ia harus melakukan hal itu. Yaitu selalu mendahulukan kepentingan orang banyak dibanding hal-hal yang menjadi kesenangan atau kebahagiaannya sendiri. Dan alasan itu adalah karena ia seorang pangeran. Putra dari Kaisar Ming Tai Zhu yang semua tingkah laku, sikap dan ucapannya akan menjadi sorotan dari seluruh rakyat baik yang ada di lingkungan istana maupun yang ada di luar tembok istana. Mengingat akan hal itu, selalu membuat Pangeran Keempat menjadi mengerti dan memahami mengapa Pangeran Zhu Biao, Sang Pangeran Pertama yang menjadi putra mahkota justru lebih suka menghabiskan waktunya di luar tembok istana dan bergaul dengan rakyat biasa. Pastilah, alasan dari kakak tertuanya itu bukan semata-mata karena ketidakcocokan dengan Kaisar seperti yang selama ini dimengerti oleh banyak orang melainkan juga adanya beban sebagai seorang putra raja yang harus selalu berhati-hati dan nyaris sulit untuk memikirkan kesenangannya sendiri.
“Bagaimana Zhu Di?” kejar Kaisar Ming Tai Zhu saat putra keempatnya hanya diam tertunduk. “Jika kau memang menginginkan hadiah seperti yang kau ucapkan untuk Pelayan Xiao Chen itu, maka aku akan mengabulkan permintaanmu. Tetapi, kau harus mau dan sanggup untuk memikul tanggungjawab dari permintaanmu itu. Apakah kau sungguh-sungguh telah membulatkan tekadmu?”.
Jika Kaisar Ming mengabulkan hadiah yang diminta oleh Pangeran Zhu Di untuk Xiao Chen, maka esok pagi ia, Chen dan Changyi pasti sudah berada dalam satu kamar di barak calon prajurit khusus, belajar dan bergembira bersama-sama. Namun, bersamaan dengan hal itu, maka rakyat akan segera tahu bahwa Kaisar memiliki pengecualian terhadap aturan-aturan yang dibuatnya sendiri dan kemudian, kesenangan yang dirasakannya bersama dengan Chen dan Changyi akan harus dibayar  mahal dengan jatuhnya wibawa Kaisar Ming di depan rakyatnya sendiri. Dan sungguh, meski sepahit apapun kenyataan sedih yang kini disadarinya dan – akhirnya – dipahaminya sebagai penyebab kemurungan dan mendung di wajah sahabatnya, namun Pangeran Zhu Di tak melihat pilihan lain lagi. Pada akhirnya, semua mesti berjalan seperti seharusnya. Kemarahan Xu Changyi padanya pada malam sebelum pelaksanaan sayembara itu, kini dimengertinya dengan hati berkabut oleh gulungan rasa bersalah yang semakin membesar.
Kaisar Ming Tai Zhu menatap putra keempatnya yang terus tertunduk tanpa suara. Tetapi sebuah gelengan yang lemah dengan jelas tertangkap dalam pandangan Sang Kaisar membuatnya mengerti bahwa Pangeran Zhu Di telah menjawab pertanyaan yang dilontarkannya dan menetapkan pilihan. Seulas senyum merekah di bibir Kaisar Ming Tai Zhu.
Pilihan yang diambil oleh Pangeran Zhu Di, tepat seperti yang diharapkannya.
**********

  Berita pengangkatan Xiao Chen sebagai kasim kecil dan juru masak khusus Pangeran Keempat segera menyebar ke seluruh negeri. Merambat dengan sangat cepat seperti asap yang dibawa oleh angin kencang hingga dalam waktu singkat, nama Xiao Chen telah di dengar dan dikenal oleh seluruh rakyat tak terkecuali para biksu di Kuil Bulan Merah yang menyambut kabar tersebut dengan riang gembira sebagaimana kebanyakan rakyat yang lain. Adanya seorang juru masak anak-anak yang mampu membuat Pangeran Keempat sembuh dari sakit anehnya dianggap sebagai sebuah keajaiban dari para dewa di langit yang membuat rakyat cepat menerima kehadiran Xiao Chen sebagai bagian dari istana dengan penuh rasa suka cita.
Namun, tidak semua orang merasa gembira dengan pengangkatan Xiao Chen sebagai juru masak khusus dan sekaligus kasim kecil bagi Pangeran Keempat. Setidaknya, ada beberapa  hati yang jelas-jelas tidak sejalan dengan kegembiraan rakyat atas kesembuhan Pangeran Keempat dan pengangkatan Xiao Chen sebagai kasim kecil dan juru masak khusus Sang Pangeran. Hari menjelang sore. Desau angin di sela dedaunan bambu menyisipkan pesan bahwa malam sebentar lagi akan datang. Chen baru saja selesai memasak untuk makan malam Pangeran Keempat dan bersiap membawanya ke kamar Sang Pangeran ketika mendadak pintu dapur istana pangeran terbuka lalu, sesosok bayangan berkelebat cepat masuk ke ruang dapur dalam balutan kain hitam yang menutup wajahnya hingga hanya menampakkan sepasang mata yang mencorong tajam. Sosok yang memiliki gerakan sangat gesit dan segera menyambar pergelangan tangan Chen kemudian menariknya keluar dari ruang dapur, melesat melewati gerumbul bunga di tepi kolam besar berisi ikan-ikan merah di sisi luar dapur  yang memisahkan ruangan tempat para juru masak istana pangeran yang telah dibebaskan dari penjara melaksanakan aktivitas mereka bersama dengan Xiao Chen dengan ruang baca Pangeran Zhu Di. Begitu cepat gerakan sesosok tubuh tersebut hingga ketika Xiao Chen terseret keluar, para juru masak lain hanya mampu menatapnya dengan ekspresi terpana. Hingga kemudian, saat kekagetan para juru masak tersebut telah pulij, Xiao Chen telah hilang dari hadapan mereka bersama dengan sosok berselubung kain hitam yang menyeretnya. Meninggalkan desah angin dan kecipak gerak ekor ikan merah di kolam yang turut melihat kepergian dua sosok tubuh yang melompati semak bunga, naik ke atas genting atap istana pangeran untuk kemudian hilang lenyap tanpa bekas!.
Suasana kemudian menjadi sangat gaduh saat setiap juru masak tersebut berteriak keras memanggil Xiao Chen yang meski masih anak-anak namun sangat dihormati di kalangan para juru masak istana pangeran karena dianggap sebagai penyelamat mereka semua dari ancaman  hukuman mati Kaisar Ming Tai Zhu. Dayang-dayang menjerit keras dan dalam sekejab, puluhan prajurit khusus pengawal keluarga kaisar berdatangan dengan senjata lengkap, tak terkecuali Pangeran Zhu Di sendiri yang tengah duduk membaca buku di ruang bacanya. Dalam keremangan senja, istana Pangeran Keempat menjadi gempar atas masuknya sesosok manusia yang mampu bergerak demikian cepat hingga hanya menyerupai sebuah bayangan dan dalam beberapa detik telah menculik Juru Masak Xiao Chen!.
Sementara laporan hilangnya Juru Masak dan kasim kecil Xiao Chen telah sampai ke telinga Kaisar Ming, di suatu tempat, jauh di sudut taman istana yang dikenal dengan nama Taman Maple yang nyaris di lupakan orang, dua sosok tubuh berdiri saling berhadap-hadapan. Gelapnya malam yang mulai turun tak menghalangi keduanya untuk saling mengenali satu sama lain….
 “Adik Chen!...pergilah dari istana! Ayo kita pergi dari sini. Kita akan pergi jauh dari sini ke tempat di mana mereka semua tidak bisa menemukan kita. Kita akan hidup di tempat aman seperti dulu” suara Changyi nyaris berteriak dalam nada setengah membujuk setengah memohon di depan wajah Chen yang diam terpaku, sementara kedua tangan Changyi mengguncang bahu Chen kuat-kuat.
  Satu orang yang sulit menahan kesedihan hatinya atas pengangkatan Chen sebagai juru masak sekaligus kasim kecil Pangeran Keempat adalah Changyi. Meskipun ia telah mengira akan hal tersebut sejak awal mula Pangeran Zhu Di mengabarkan adanya sayembara memasak yang diadakan oleh Kaisar Ming, namun tetap saja, saat akhirnya perkiraan itu menjadi kenyataan, Changyi merasa dirinya seperti dilemparkan ke dasar jurang yang sangat dalam. Jurang yang berisi kesedihan dan rasa sakit. Rasa sedih dan sakit yang menyatu dan menggumpal, menggulungnya tanpa ampun, membuat rasa takut dalam diri Changyi justru menghilang dan berganti dengan kebutaan. Kebutaan terhadap penalaran yang baik dan hanya menurutkan perasaan belaka.
“Kakak?...Kenapa Kakak begini? Kalau kita pergi, lalu bagaimana kita akan hidup? Apakah Kakak akan mencuri beras lagi?” tanya Chen sambil menatap Changyi. Sepasang alisnya berkerut melihat gelombang kekalutan di kedalaman mata Changyi yang selama ini dikenalnya sebagai sosok yang ceria.
“Aku akan melakukan apa saja agar kita tidak kelaparan!...Aku tidak akan mencuri beras lagi Adik Chen, percayalah padaku!...aku akan bekerja apa saja agar kita bisa hidup. Yang penting kita bisa pergi dari sini!” jawab Changyi dengan nada tegas dan berapi-api. Satu tangan Changyi kini memegang kuat-kuat pergelangan tangan Chen kembali bersiap menariknya pergi.
Perlahan Chen menarik tangannya dari cengkeraman jemari Changyi. Gerakannya terlihat sangat lembut dan lemah namun, jepitan jemari Changyi yang sangat kuat dapat terlepas dengan sangat mudah membuat Changyi terkejut. Raut wajah Changyi yang rupawan berubah.
“Adik Chen…kau…kau tidak mau pergi denganku? Kau ingin tinggal di sini? di istana ini?” tanya Changyi dengan rasa kecewa yang menyeruak dengan cepat. Sekejab wajahnya sedikit memucat sebelum kemudian kembali memerah.
“Kakak Changyi…sungguh ini bukan dirimu. Kau tak seharusnya seperti ini” jawab Chen lirih namun jelas terdengar membuat sepasang mata Changyi terasa menggelap.
“Kenapa kau tidak percaya padaku!!...Adik Chen, ini aku kakakmu…saudaramu!!. Jika kita masih di istana ini kita akan hidup terpisah. Kau harus tinggal sebagai pelayan dan aku…aku akan berdiri sebagai tuan bagimu. Apa kau bisa melalui hal itu? hah? Bisa kau melalui hal seperti itu?” Changyi berteriak dengan suaranya yang bergetar. Sepasang matanya membelalak.
Chen menelan ludah. Namun sedetik kemudian, kepalanya terangguk membuat tubuh Changyi terasa melemas seketika. Kedua tangan Changyi jatuh ke sisi tubuh dengan lunglai sementara tubuhnya beranjak mundur selangkah. Pandangannya menatap Chen dengan eskpresi tak percaya. Selubung kain hitam yang semula menutupi wajahnya dan tergantung di kedua bahunya melayang jatuh dan tergeletak di tanah yang lembab oleh embun malam yang mulai turun.
“Kakak…bagiku itu tidak apa-apa. Tidak masalah jika Kakak menjadi tuan bagiku selama kita tinggal di istana. Aku akan selalu menyayangi Kakak dan Kakak tetaplah Kakakku, saudaraku, keluargaku…kita masih bisa…
“Kau sama sekali tidak mengerti tentang perasaanku!!” potong Changyi dengan bentakan keras. “ Kau sama sekali tidak mengerti apa artinya jika kita hidup dalam satu atap tak bisa saling bicara!...Kau sama sekali tak tahu apa-apa Adik Chen!”
Xiao Chen terhenyak. Changyi membentaknya, sungguh-sungguh membentaknya. Ini pertama kalinya Changyi membentaknya setelah mereka melalui waktu bersama. Sebelumnya, betapapun ia melakukan kesalahan atau merepotkan Changyi dengan kelemahannya, namun saudaranya itu selalu tersenyum dan tertawa padanya. Diam-diam, seleret rasa sedih menyusup dalam hati Chen. Changyi, benarkah saudaranya itu telah berubah? Ataukah karena kenyataan pedih yang mereka hadapi sekarang ini?
“Kakak…aku tidak bisa meninggalkan istana ini” sahut Chen dengan suara nyaris hilang. Rasa sedih atas bentakan Changyi seperti menelan kekuatannya.
“Kenapa? Kenapa kau tidak bisa pergi dari istana ini Adik Chen? bukankah dulu, kau sangat ingin pergi dari rumah Jenderal Xu Da? Kau bahkan menolak saat Jenderal Xu Da datang ke kuil dan ingin mengajak kita ke istana untuk belajar di sekolah calon prajurit khusus! Apa kau sudah lupa semua itu Adik Chen?!” serbu Changyi masih dengan nada keras dalam kecewa dan marahnya.
“Tentu saja aku ingat” jawab Chen pelan. Sesaat kepalanya tertunduk sebelum kemudian kembali terangkat dan menatap Changyi. “Tapi Kakak…sekarang ini, situasinya berbeda…”
“Apa bedanya?!..katakan padaku apa bedanya?!” teriak Changyi kembali memotong kalimat Chen.
“Pesan dari Bapak Tua di kuil…tidakkah Kakak mengingatnya? Apakah Kakak telah melupakannya? Atau ingin melupakannya?” sahut Chen nyaris menangis saat ia menemukan luka yang teramat dalam di sepasang mata Changyi ketika mendengar jawabannya. Dan ia sungguh tidak suka melihat kepedihan dan luka di kedua mata cemerlang yang sangat dikaguminya itu.
“Pesan dari Guru?...” ulang bibir Changyi separuh tercenung. Benaknya seketika memutar kembali kenangan terakhir pertemuannya dengan Biksu Tua sebelum ia dan Chen berangkat menuju Yingtian untuk menyembuhkan Pangeran Zhu Di dan menolong para juru masak istana pangeran yang terancam hukuman mati. Terngiang-ngiang kembali setiap kata-kata Biksu Tua yang jelas diucapkan di sisi telinganya. “Jaga sang kaisar di sisimu Changyi, karena kejayaan negara ini akan berawal dari kedua tangannya dan kedua tangan sang raja besar itu hanya terulur padamu. Kau yang akan ada di sisinya dan memberi warna dalam jiwanya” …Mendadak Changyi merasa dadanya menyesak. Jelas-jelas pesan itu mengharuskannya untuk tetap tinggal di istana meskipun ia masih belum sepenuhnya mengerti mengapa ia harus terus berada di sisi Kaisar? Bukankah Kaisar Hongwu telah memiliki banyak penjaga yang sangat tangguh di sekitarnya dan salah satunya adalah ayah angkatnya sendiri? Ia bahkan tidak pernah merasa bahwa sepasang tangan Sang Kaisar tengah tertuju padanya meskipun ia diijinkan untuk berteman dengan Pangeran Keempat dan persahabatannya dengan Pangeran Zhu Di telah semakin erat dari hari ke hari. Bahkan guru yang sangat dihormatinya pun tidak mengijinkannya untuk pergi dari istana.  Bisakah ia menepis pesan dari guru yang sangat dihormatinya? Bisakah ia melupakan keinginan dari gurunya demi rasa pedih dan kecewa yang tengah menggulungnya saat ini?
“Guru?...Guru!...Guruuuuu!” jerit Changyi ketika benaknya menjadi penuh dan tak lagi mampu melihat dalam kejernihan. Lalu, sebelum Chen sempat mencegah, mendadak tubuh Changyi telah melompat dan melesat menembus gelapnya malam. Hanya dalam beberapa detik, tubuh Changyi telah berhasil melompati tembok tinggi pembatas istana dan kemudian hilang dari pandangan Xiao Chen.
“Kakak!...Kakak Changyi!...Kakak hendak kemana?” teriak Chen seraya bersiap menyusul ke arah hilangnya Changyi.
Namun gerak Xiao Chen terhenti saat sebuah tangan besar dan kuat mendadak meraih bahunya membuat kakinya kembali terpaku di tanah taman yang berselimut rumput tebal dan halus. Dengan terkejut, Chen menoleh dan segera mengenali siapa adanya sosok tinggi besar yang menahan geraknya. Dengan agak gugup, Chen segera membungkuk ke arah sosok tinggi besar di depannya.
“Tuan Jenderal Xu Da…hormat saya Tuan Jenderal” suara Chen dalam penghormatannya.
Jenderal Xu Da mengangguk sekilas sebelum kemudian berkata.
“Biar aku yang menyusul Changyi” ujarnya dengan suara yang besar dan berat penuh kharisma. “Kau kembalilah ke istana Pangeran Zhu Di, saat ini semua orang sedang mencarimu”.
Chen menelan ludah namun mengangguk juga dengan patuh. Sepasang matanya merebak merah dalam keremangan cahaya bulan yang jauh di langit.
“Baik Tuan Jenderal, perintah Tuan Jenderal akan saya laksanakan” sahut Chen sambil membungkuk kembali.
Tak terdengar suara sahutan Jenderal Xu Da. Hanya hening dan sunyi yang melingkupi Chen di sudut Taman Maple. Namun, sekilas saat membungkuk untuk memberi hormat pada Panglima Tertinggi milik Kaisar Hongwu tersebut, Chen sempat merasakan sebuah kilasan angin yang tajam melewati dirinya dan saat ia mengangkat tubuhnya untuk kembali pada posisi berdiri, Jenderal Xu Da telah lenyap dan hanya menyisakan gerak halus pucuk-pucuk daun Maple yang mulai menguning, di arah hilangnya Changyi…
**********