Nampaknya,
jika melihat posisi Pangeran Zhu Di yang menjadi kesayangan Sang Kaisar, maka
apa yang menjadi permintaan Pangeran Keempat mengenai hadiah untuk Xiao Chen
sepertinya akan dengan mudah terwujud.
Namun
ternyata, kenyataan yang kemudian muncul di depan mata justru menjadi sangat
bertentangan dengan apa yang diduga oleh sebagian besar penghuni istana. Lebih
dari itu, hal yang menjadi perkiraan Jenderal Xu Da-lah yang kemudian menjelma
dalam sebuah kebenaran.
Setelah
bertemu dengan Jenderal Lan Yu serta beberapa pejabat dari Kementerian
Pertahanan, akhirnya Kaisar Ming Tai Zhu menolak permintaan Pangeran Keempat
untuk memasukkan Xiao Chen ke sekolah prajurit khusus. Sebagai gantinya, Kaisar
Ming mengangkat Xiao Chen sebagai juru masak dan kasim kecil khusus bagi
Pangeran Keempat. Hal yang menjadi dasar pertimbangan bagi Sang Kaisar adalah
kenyataan bahwa Kasim Anta telah semakin tua sehingga pastilah tak akan mampu
bertahan untuk merawat dan melayani Pangeran Zhu Di dalam waktu yang lebih lama
lagi.
Pengangkatan
Xiao Chen sebagai juru masak dan kasim kecil khusus bagi Pangeran Keempat
segera diumumkan secara luas di seluruh penjuru istana dan bahkan, pengumunan
tersebut ditempelkan di tempat-tempat umum sehingga bisa dibaca oleh seluruh
rakyat banyak.
Pemberitahuan
tentang keputusan Sang Kaisar disampaikan pada Pangeran Zhu Di melalui utusan
yang diterima oleh Kasim Anta dan membacakan langsung di hadapan Sang Pangeran
Keempat yang terlihat sangat terkejut hingga sekejab wajahnya memucat sebelum
kemudian berubah memerah di kejab yang lain. Hingga, begitu Kasim Anta telah
selesai membacakan keputusan yang diambil oleh Kaisar Ming, Pangeran Zhu Di
telah melompat melewati Kasim Anta yang terperanjat dan tak sempat lagi
mencegah pangeran kecil yang jelas terlihat marah dan kecewa itu melesat menuju
istana kaisar. Prajurit yang berjaga di depan istana pangeran kesemuanya
terkejut dan saling pandang sementara Kasim Anta yang telah pulih dari rasa
terkejutnya segera berlari di belakang Pangeran Keempat sambil meneriakkan nama
Sang Pangeran yang terus berlari dengan cepat bagaikan anak panah kecil yang
lepas dari busurnya.
Dan
sebagaimana para prajurit penjaga di istana pangeran, para prajurit yang
berjaga di istana kaisar-pun hanya saling pandang dan tak satupun memiliki
keberanian untuk mencegah saat Pangeran Zhu Di menerobos melewati mereka semua
dan tanpa kata-kata yang terucap dari mulutnya yang mungil. Hanya sepasang mata
yang memancarkan kilau tajam pertanda kemarahan dan kekecewaan hati atas apa
yang baru saja diputuskan oleh Sang Kaisar. Dan gerak tubuh Pangeran Zhu Di tak
berhenti hingga ia membuka pintu ruang kaisar dan menemukan ayahnya itu sedang
duduk sambil membaca sebuah buku di kursinya yang indah.
Kaisar
Ming Tai Zhu terlihat terkejut saat melihat Pangeran Keempat yang menerobos
masuk tanpa ada pemberitahuan dari prajurit penjaga yang berdiri di depan
pintu. Keningnya berkerut sementara jari tangannya yang berhias sebuah cincin
giok berhenti bergerak di atas lembaran buku di depannya.
“Zhu
Di…kenapa kau masuk tanpa mengetuk pintu lebih dahulu? Apakah kau telah
melupakan aturan sopan santun saat ingin masuk ke kamar orangtuamu?” tanya
Kaisar Ming Tai Zhu dengan nada menegur.
Pangeran
Zhu Di menarik nafas sekedar untuk menenangkan jantungnya yang berdegub lebih
cepat. Tubuhnya membungkuk di depan Kaisar meski hal itu sama sekali tak
mengurangi kekeruhan yang tercipta di wajah tampannya.
“Maafkan
hamba Yang Mulia” sahut Pangeran Zhu Di membuat Kaisar Ming mengangkat satu
alisnya saat mendengar kalimat putranya yang formal. Pangeran Zhu Di selalu
menggunakan kalimat formal saat berbicara dengannya jika hati Sang Pangeran
kecil itu tengah kalut atau kecewa akan sesuatu hal. Dan Kaisar Ming Tai Zhu
sangat hafal dengan kebiasaan putra keempatnya itu.
“Ada
apa? Kau pasti memiliki sesuatu yang penting untuk kau katakan pada ayahmu
sehingga kau harus berlari menembus para prajurit dan datang tanpa memberitahu
lebih dulu” ujar Kaisar Ming Tai Zhu. Jarinya kembali bergerak di atas lembar
buku dan bersiap membalik lembaran yang telah selesai dibacanya itu.
“Yang
Mulia, kenapa Yang Mulia menjadikan Xiao Chen sebagai juru masak dan kasim
untuk hamba? Bukan seperti itu hadiah yang ingin hamba berikan padanya” tanya
Pangeran Zhu Di menjawab pertanyaan ayahnya. Kalimatnya yang langsung pada
pokok masalah tanpa basa-basi membuat Kaisar Ming kembali terkejut. Terlebih
lagi, cara Sang Pangeran mengucapkan kalimatnya dengan nada tegas yang
mengesankan kemarahan.
Kaisar
Ming kembali menatap Pangeran Zhu Di. Jarinya yang bersiap membalik lembaran
buku terhenti dan bahkan kemudian, buku yang sedang dibacanya itu ditutupnya
sama sekali dan digeser ke samping, pada sisi tumpukan buku lain di atas meja.
Pandangan mata Kaisar Ming lurus menatap ke arah Pangeran Zhu Di yang juga
tengah menatap ke arahnya. Tanpa berkedip, menuntut jawaban secepatnya.
Sejelas-jelasnya.
“Karena
itulah yang terbaik bagimu Zhu Di. Kau sakit dan Pelayan Chen-lah yang
menyembuhkanmu. Anak itu akan lebih berguna bagimu jika ia tinggal di sisimu
sebagai juru masak dan kasim yang secara khusus melayanimu. Aku tidak ingin ada
hal lain yang terjadi pada kesehatanmu hanya karena kau tidak menyukai masakan
juru masak istana. Kakakmu Zhu Biao sudah sering jatuh sakit dan itu sangat
memusingkanku karena itu aku ingin memastikan bahwa kesehatanmu terpelihara
dengan baik. Lagipula, Kasim Anta semakin tua dan jelas ia tidak akan bisa
melayanimu dengan baik untuk waktu yang lama, terlebih dengan gerakmu yang
terlalu cepat baginya” jelas Kaisar Ming Tai Zhu dengan suara melambat seolah
sengaja ditekankan agar Pangeran Zhu Di dapat memahami maksud yang ingin
disampaikannya meski hanya dengan sekali dengar.
Namun
tampaknya, menembus hati yang telah dirundung kecewa dan marah dari singa kecil
yang berdiri dengan garang di depan sang raja bukanlah hal yang mudah. Pangeran
Zhu Di memang segera mengerti dengan penjelasan yang diberikan oleh ayahnya.
Tetapi, semakin ia mengerti apa yang diinginkan oleh Kaisar Ming, justru
semakin membuat kemarahannya memuncak. Maka sepasang mata yang jernih itu kini
terlihat berkilauan seolah ribuan kilat tengah bertarung di dalamnya. Meskipun
Sang Pangeran Keempat tetap dalam sikapnya yang menunjukkan rasa hormat di
depan Kaisar Ming, namun Sang Kaisar dapat dengan jelas merasakan gelombang
kekecewaan yang menyala dalam hati putranya.
“Yang
Mulia, sungguh hamba sangat berterima kasih atas perhatian demikian besar yang
diberikan pada hamba. Namun begitu, tidakkah Yang Mulia mengerti bahwa hamba
memiliki pemikiran dan alasan yang membuat hamba memilih hadiah hamba pada
Pelayan Chen?” tanya Pangeran Zhu Di. Nada bicaranya terdengar halus dan sopan
namun ketegasan yang ditekankan pada titik-titik kalimatnya membuat Sang Kaisar
semakin memahami sejauh apa kemarahan pangeran kecil di depannya.
Kaisar
Ming Tai Zhu mengangguk-angguk. Kedua alisnya berkerut sesaat sebelum sehela
nafas panjang menyeruak menyertai kalimatnya yang meluncur dalam intonasi yang
tenang dan anggun.
“Baiklah
Zhu Di” jawab Kaisar Ming Tai Zhu. Sepasang matanya masih terus menatap
putranya. “Aku mengerti bahwa kau pasti memiliki alasan hingga kau memilih
hadiah untuk anak bernama Xiao Chen seperti yang kau katakan di arena sayembara
kemarin. Tetapi, hal yang ingin kuketahui adalah apakah alasanmu itu memiliki
kepentingan terhadap orang banyak di sekitarmu ataukah hanya merupakan
kepentinganmu dan sahabatmu itu saja? Di arena sayembara kemarin, kau telah
mengatakan bahwa kau akan mematuhi apapun keputusan yang diambil setelah aku
bertemu dengan Jenderal Lan Yu dan pejabat-pejabat dari Kementerian Pertahanan.
Namun, hari ini kau terlihat marah dan kecewa setelah keputusan diambil. Untuk
hal ini, aku ingin kau menjawabnya dengan jujur Zhu Di”.
Pangeran
Zhu Di terkejut saat mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh ayahnya. Ia
bahkan belum pernah mengungkapkan tentang apa yang menjadi maksud hatinya
namun, bagaimana mungkin Kaisar telah dapat menebak isi hatinya?
“Bagaimana
Yang Mulia bisa mengetahui bahwa alasan hamba adalah mengenai hamba dan Kakak
Xu Changyi?” Pangeran Zhu Di balik bertanya. Sepasang matanya mengerjab.
Sedikit rasa gugup menghinggapi hatinya.
Kaisar
Ming Tai Zhu tertawa dengan suara pelan.
“Jadi
benar alasanmu memberi hadiah seperti yang kau pillih itu adalah karena rasa
persahabatanmu dengan sahabatmu? Karena anak bernama Xiao Chen itu, meskipun ia
sesungguhnya adalah pelayan tapi ia juga adalah teman dari sahabatmu karena
mereka telah bersama sejak masih kanak-kanak. Benarkah begitu?” desak Kaisar
Ming membuat Pangeran Zhu Di semakin gugup.
Ada
satu hal yang selalu dikagumi Pangeran Zhu Di dari sosok ayahnya. Dan itu
adalah kecerdasannya yang terlihat dalam setiap pemikiran-pemikirannya.
Seringkali, Sang Kaisar seolah telah dapat menebak apa yang ada dalam hatinya. Meskipun
Pangeran Zhu Di tidak tahu apakah Kaisar Ming juga dapat menebak isi hati para
pejabat istana dan menteri sebagaimana Sang Kaisar selalu tepat saat menebak
isi hatinya.
Dan
kali ini, sekali lagi Kaisar Ming berhasil menebak dengan tepat isi hatinya
membuat kemarahan Pangeran Zhu Di yang semula menyala-nyala seketika berubah,
bercampur kegugupan sekaligus rasa heran. Kegugupan yang mendesak kepala Sang
Pangeran Keempat untuk mengangguk dengan kejujuran.
“Benar
Yang Mulia” desis Pangeran Zhu Di. “Memang demikianlah alasan hamba yang
sesungguhnya. Hamba tak ingin memisahkan Kakak Changyi dengan Xiao Chen karena
bagaimanapun mereka telah bersama demikian lama. Karena itu, meskipun hamba
membutuhkan Xiao Chen untuk memasak bagi hamba, namun hamba juga ingin agar hal
itu tidak akan menghalangi Kakak Changyi dan Adik Chen untuk bersama. Apakah
salah jika hamba memiliki maksud seperti itu?”.
Kaisar
Ming Tai Zhu mendengus. Sepasang matanya yang menatap putranya kini terlihat
sedikit berkilat.
“Kau
bahkan memanggil Pelayan Chen dengan sebutan ‘adik’. Sebenarnya, sejauh apa
hubunganmu dengan anak itu? Dan sejauh apa hubungan Changyi dengan anak bernama
Chen itu?” tanya Sang Kaisar tak menghiraukan pertanyaan Pangeran Zhu Di.
Hati
Pangeran Zhu Di tersentak. Itu pertanyaan berbahaya. Jika ia menjawab secara
apa adanya, maka kenyataan bahwa sesungguhnya Chen bukanlah pelayan di rumah
Keluarga Xu akan terbongkar. Dan itu sangat tidak boleh terjadi karena, jika
sampai Kaisar Ming Tai Zhu mengetahui bahwa sesungguhnya Chen bukanlah pelayan
di rumah Jenderal Xu Da maka dengan sendirinya Sang Kaisar juga akan mengetahui
kebohongan-kebohongan yang lain. Termasuk bahwa sesungguhnya Chen tidak boleh
mengikuti sayembara, bahwa sesungguhnya Chen adalah bagian dari para biksu di
Kuil Bulan Merah meskipun Chen belum menjadi salah satu biksu di kuil tersebut,
bahwa adanya Chen dalam sayembara memasak adalah karena ia dan Changyi yang
menyusupkannya secara diam-diam pada malam sebelum sayembara dimulai. Lebih
buruk lagi, Kaisar Ming Tai Zhu akan tahu bahwa Jenderal Xu Da telah berbohong
juga dengan mengatakan bahwa Chen adalah pelayan di rumahnya – meskipun hal itu
dilakukan oleh Jenderal Xu Da pastilah demi untuk melindungi Changyi dan juga
dirinya dari kemurkaan Kaisar – dan Pangeran Zhu Di tahu seberapa baik hubungan
Kaisar dengan Jenderal Xu Da yang seolah telah seperti saudara sehingga jika
sampai Kaisar tahu bahwa jenderal yang sangat dipercayainya telah
membohonginya, maka Kaisar pastilah akan sangat kecewa. Jadi, Pangeran Zhu Di
tahu dengan pasti bahwa untuk pertanyaan yang dilontarkan oleh ayahnya itu, ia
tak boleh menjawab dengan sejujurnya. Bahkan jika ia memang harus dihukum berat
karena telah berbohong pada orangtua yang sangat dihormatinya itu.
“Karena
Kakak Changyi bukan hanya sahabat bagi hamba melainkan saudara hamba Yang
Mulia. Sementara Pelayan Chen bagi Kakak Changyi bukan hanya pelayan tapi sudah
seperti keluarga karena mereka telah bersama sejak kecil, sehingga saat Kakak
Changyi memanggil Pelayan Chen dengan sebutan ‘adik’ maka dengan sendirinya
hamba ikut memanggil Pelayan Chen dengan sebutan ‘adik’ pula. Hamba melakukan
hal itu karena, bagi hamba, saudara Kakak Changyi adalah juga saudara hamba.
Demikianlah Yang Mulia” jawab Pangeran Zhu Di setelah selama dua detik
memikirkan jawaban yang paling tepat untuk pertanyaan Sang Kaisar.
Kaisar
Ming Tai Zhu menatap Pangeran Zhu Di lekat-lekat seperti sedang mengukur
kejujuran putranya itu. Kemudian, setelah menghela nafas sejenak, Sang Kaisar
menganggukkan kepalanya. Ia menyadari adanya hal yang masuk akal dalam jawaban
Pangeran Keempat. Bukankah ia dan Jenderal Xu Da juga dipersaudarakan oleh
kebersamaan terutama di waktu-waktu sulit yang mereka lalui di masa peperangan
dan perjuangan melawan kekuasaan Yuan?. Ia bahkan juga memanggil Panglima
Tertinggi Kerajaan tersebut dengan sebutan ‘Kakak’…
“Hmm…baiklah”
sahut Kaisar Ming kemudian. Kepalanya masih mengangguk sekali lagi sebelum ia
melanjutkan kata-katanya. “Tetapi, meskipun begitu, kau juga harus menyadari
bahwa kau hidup di lingkungan istana. Lebih dari itu, kau harus sungguh-sungguh
menyadari keadaanmu sebagai seorang pangeran. Karena itu, kau tidak bisa
melakukan segala hal sesuai kehendak hatimu dan mengabaikan aturan-aturan yang
ada. Jika kau sebagai putraku, melakukan apapun yang kau mau maka rakyat di
luar sana tidak akan lagi mempercayai aturan-aturan yang dibuat oleh istana.
Ingatlah Zhu Di, rakyat di luar tembok istana ini tampak sebagai orang-orang
yang bodoh dan tidak mengerti apa-apa. Namun sesungguhnya, mereka adalah titik
kekuatanmu yang utama jika kau ingin membuat negaramu menjadi negara yang
besar. Rakyat di luar sana adalah para pengikutmu yang sebenar-benarnya.
Sebagai seorang pangeran, kau harus menunjukkan dirimu sebagai orang yang lebih
mampu mematuhi aturan kerajaan sehingga rakyat dapat mencontohmu. Jika kau bisa
menjadi contoh bagi pengikutmu, maka sesungguhnya kau telah memegang
kepercayaan mereka padamu. Dan kepercayaan para pengikutmu adalah modal utama
bagimu untuk membesarkan negaramu. Kehancuran sebuah negara selalu dimulai dari
adanya rasa tidak percaya rakyat pada pemimpin mereka”.
Pangeran
Zhu Di menunduk. Sinar matanya tak lagi segarang saat ia menerobos masuk ke
ruang Kaisar Ming. Apa yang diucapkan oleh ayahnyalah yang membuat kepala
berhias wajah tampan itu akhirnya tertunduk. Ia dapat menemukan kebenaran dalam
kalimat yang diucapkan oleh Kaisar Ming. Tetapi, tidak bisakah dibuat satu
pengecualian saja? Untuknya? Sekali ini saja?
“Yang
Mulia, tidak bisakah Yang Mulia membuat satu pengecualian bagi hamba? Sekali
ini saja?” tanya Pangeran Zhu Di menyuarakan isi kepalanya.
Kaisar
Ming tertawa hingga menampakkan deretan giginya yang rapi.
“Jika
kau meminta sebuah pengecualian lalu aku mengabulkan permintaanmu itu, maka
besok akan datang lagi seseorang yang meminta pengecualian padaku dan aku harus
mengabulkannya karena aku telah mengabulkan permintaanmu. Jika tidak maka orang
itu akan berkata ‘Kaisar telah mengabulkan permintaan pengecualian dari
putranya tapi menolak mengabulkan permintaan pengecualian dari pengikutnya’.
Lalu, berita itu akan tersebar dan selanjutnya, orang banyak akan melihat bahwa
aku sebagai seorang raja hanya bisa membuat aturan-aturan bagi rakyat tapi tak
mampu memberi contoh bagaimana mentaati aturan yang telah dibuat dan disepakati
bersama. Lalu, kepercayaan banyak orang padaku akan menyusut sedikit demi
sedikit sebelum akhirnya hilang dan hal itu berarti hancurnya kerajaan ini.
Lain halnya jika aku mengabulkan permintaan pengecualian dari orang itu, maka
orang itu akan menceritakan kepada banyak orang bahwa aku bisa membuat
pengecualian bagi siapapun yang memintanya padaku. Lalu, satu demi satu
orang-orang akan berdatangan padaku untuk meminta pengecualian dari aturan-aturan
kerajaan yang telah dibuat, sebelum akhirnya, semua orang, seluruh rakyat akan
datang pada raja mereka dan meminta pengecualian. Akhirnya, aturan-aturan
kerajaan yang dibuat hanya akan menjadi kalimat-kalimat kosong yang sama sekali
tak memiliki arti dan kekuatan. Dan kerajaan yang kita bangun dengan segenap
usaha dan susah payah, dengan pengorbanan nyawa dari prajurit yang telah gugur
akan hancur dalam sekejab karena setiap orang akan berjalan sesuai kehendak
hatinya sendiri. Apakah hal seperti itu yang kau inginkan untuk terjadi di
kerajaanmu ini Zhu Di?”.
Sunyi
senyap. Pangeran Zhu Di menelan ludah saat ia mendengar pertanyaan Kaisar Ming
Tai Zhu tersebut.
Itu
adalah pertanyaan di titik akhir. Artinya, apa yang akan ia katakan sebagai
jawaban akan menimbulkan akibat dan apapun akibat itu, ia harus memikul
tanggungjawab terhadapnya.
Pangeran
Zhu Di sungguh tidak suka setiap kali ia dihadapkan pada pertanyaan di titik
akhir seperti itu sebab, pertanyaan seperti itu selalu membawa dua atau lebih
pilihan di depannya dan ia tak bisa tidak untuk memilih satu dari
pilihan-pilihan tersebut. Seringkali, ia memutuskan untuk memilih satu dari
beberapa pilihan yang ada di depannya bukan dengan pertimbangan karena ia
menyukainya melainkan karena pertimbangan demi kepentingan orang banyak. Dan
hanya ada satu alasan mengapa ia harus melakukan hal itu. Yaitu selalu
mendahulukan kepentingan orang banyak dibanding hal-hal yang menjadi kesenangan
atau kebahagiaannya sendiri. Dan alasan itu adalah karena ia seorang pangeran.
Putra dari Kaisar Ming Tai Zhu yang semua tingkah laku, sikap dan ucapannya
akan menjadi sorotan dari seluruh rakyat baik yang ada di lingkungan istana
maupun yang ada di luar tembok istana. Mengingat akan hal itu, selalu membuat
Pangeran Keempat menjadi mengerti dan memahami mengapa Pangeran Zhu Biao, Sang
Pangeran Pertama yang menjadi putra mahkota justru lebih suka menghabiskan
waktunya di luar tembok istana dan bergaul dengan rakyat biasa. Pastilah,
alasan dari kakak tertuanya itu bukan semata-mata karena ketidakcocokan dengan
Kaisar seperti yang selama ini dimengerti oleh banyak orang melainkan juga
adanya beban sebagai seorang putra raja yang harus selalu berhati-hati dan
nyaris sulit untuk memikirkan kesenangannya sendiri.
“Bagaimana
Zhu Di?” kejar Kaisar Ming Tai Zhu saat putra keempatnya hanya diam tertunduk.
“Jika kau memang menginginkan hadiah seperti yang kau ucapkan untuk Pelayan
Xiao Chen itu, maka aku akan mengabulkan permintaanmu. Tetapi, kau harus mau
dan sanggup untuk memikul tanggungjawab dari permintaanmu itu. Apakah kau sungguh-sungguh
telah membulatkan tekadmu?”.
Jika
Kaisar Ming mengabulkan hadiah yang diminta oleh Pangeran Zhu Di untuk Xiao
Chen, maka esok pagi ia, Chen dan Changyi pasti sudah berada dalam satu kamar
di barak calon prajurit khusus, belajar dan bergembira bersama-sama. Namun,
bersamaan dengan hal itu, maka rakyat akan segera tahu bahwa Kaisar memiliki
pengecualian terhadap aturan-aturan yang dibuatnya sendiri dan kemudian,
kesenangan yang dirasakannya bersama dengan Chen dan Changyi akan harus
dibayar mahal dengan jatuhnya wibawa
Kaisar Ming di depan rakyatnya sendiri. Dan sungguh, meski sepahit apapun
kenyataan sedih yang kini disadarinya dan – akhirnya – dipahaminya sebagai
penyebab kemurungan dan mendung di wajah sahabatnya, namun Pangeran Zhu Di tak
melihat pilihan lain lagi. Pada akhirnya, semua mesti berjalan seperti
seharusnya. Kemarahan Xu Changyi padanya pada malam sebelum pelaksanaan sayembara
itu, kini dimengertinya dengan hati berkabut oleh gulungan rasa bersalah yang
semakin membesar.
Kaisar
Ming Tai Zhu menatap putra keempatnya yang terus tertunduk tanpa suara. Tetapi
sebuah gelengan yang lemah dengan jelas tertangkap dalam pandangan Sang Kaisar
membuatnya mengerti bahwa Pangeran Zhu Di telah menjawab pertanyaan yang
dilontarkannya dan menetapkan pilihan. Seulas senyum merekah di bibir Kaisar
Ming Tai Zhu.
Pilihan
yang diambil oleh Pangeran Zhu Di, tepat seperti yang diharapkannya.
**********
Berita
pengangkatan Xiao Chen sebagai kasim kecil dan juru masak khusus Pangeran
Keempat segera menyebar ke seluruh negeri. Merambat dengan sangat cepat seperti
asap yang dibawa oleh angin kencang hingga dalam waktu singkat, nama Xiao Chen
telah di dengar dan dikenal oleh seluruh rakyat tak terkecuali para biksu di
Kuil Bulan Merah yang menyambut kabar tersebut dengan riang gembira sebagaimana
kebanyakan rakyat yang lain. Adanya seorang juru masak anak-anak yang mampu
membuat Pangeran Keempat sembuh dari sakit anehnya dianggap sebagai sebuah
keajaiban dari para dewa di langit yang membuat rakyat cepat menerima kehadiran
Xiao Chen sebagai bagian dari istana dengan penuh rasa suka cita.
Namun,
tidak semua orang merasa gembira dengan pengangkatan Xiao Chen sebagai juru
masak khusus dan sekaligus kasim kecil bagi Pangeran Keempat. Setidaknya, ada
beberapa hati yang jelas-jelas tidak
sejalan dengan kegembiraan rakyat atas kesembuhan Pangeran Keempat dan
pengangkatan Xiao Chen sebagai kasim kecil dan juru masak khusus Sang Pangeran.
Hari menjelang sore. Desau angin di sela dedaunan bambu menyisipkan pesan bahwa
malam sebentar lagi akan datang. Chen baru saja selesai memasak untuk makan
malam Pangeran Keempat dan bersiap membawanya ke kamar Sang Pangeran ketika
mendadak pintu dapur istana pangeran terbuka lalu, sesosok bayangan berkelebat
cepat masuk ke ruang dapur dalam balutan kain hitam yang menutup wajahnya
hingga hanya menampakkan sepasang mata yang mencorong tajam. Sosok yang
memiliki gerakan sangat gesit dan segera menyambar pergelangan tangan Chen
kemudian menariknya keluar dari ruang dapur, melesat melewati gerumbul bunga di
tepi kolam besar berisi ikan-ikan merah di sisi luar dapur yang memisahkan ruangan tempat para juru
masak istana pangeran yang telah dibebaskan dari penjara melaksanakan aktivitas
mereka bersama dengan Xiao Chen dengan ruang baca Pangeran Zhu Di. Begitu cepat
gerakan sesosok tubuh tersebut hingga ketika Xiao Chen terseret keluar, para
juru masak lain hanya mampu menatapnya dengan ekspresi terpana. Hingga
kemudian, saat kekagetan para juru masak tersebut telah pulij, Xiao Chen telah
hilang dari hadapan mereka bersama dengan sosok berselubung kain hitam yang
menyeretnya. Meninggalkan desah angin dan kecipak gerak ekor ikan merah di
kolam yang turut melihat kepergian dua sosok tubuh yang melompati semak bunga,
naik ke atas genting atap istana pangeran untuk kemudian hilang lenyap tanpa
bekas!.
Suasana
kemudian menjadi sangat gaduh saat setiap juru masak tersebut berteriak keras
memanggil Xiao Chen yang meski masih anak-anak namun sangat dihormati di
kalangan para juru masak istana pangeran karena dianggap sebagai penyelamat
mereka semua dari ancaman hukuman mati
Kaisar Ming Tai Zhu. Dayang-dayang menjerit keras dan dalam sekejab, puluhan
prajurit khusus pengawal keluarga kaisar berdatangan dengan senjata lengkap,
tak terkecuali Pangeran Zhu Di sendiri yang tengah duduk membaca buku di ruang
bacanya. Dalam keremangan senja, istana Pangeran Keempat menjadi gempar atas
masuknya sesosok manusia yang mampu bergerak demikian cepat hingga hanya
menyerupai sebuah bayangan dan dalam beberapa detik telah menculik Juru Masak
Xiao Chen!.
Sementara
laporan hilangnya Juru Masak dan kasim kecil Xiao Chen telah sampai ke telinga
Kaisar Ming, di suatu tempat, jauh di sudut taman istana yang dikenal dengan
nama Taman Maple yang nyaris di lupakan orang, dua sosok tubuh berdiri saling
berhadap-hadapan. Gelapnya malam yang mulai turun tak menghalangi keduanya
untuk saling mengenali satu sama lain….
“Adik Chen!...pergilah dari istana! Ayo kita
pergi dari sini. Kita akan pergi jauh dari sini ke tempat di mana mereka semua
tidak bisa menemukan kita. Kita akan hidup di tempat aman seperti dulu” suara
Changyi nyaris berteriak dalam nada setengah membujuk setengah memohon di depan
wajah Chen yang diam terpaku, sementara kedua tangan Changyi mengguncang bahu
Chen kuat-kuat.
Satu
orang yang sulit menahan kesedihan hatinya atas pengangkatan Chen sebagai juru
masak sekaligus kasim kecil Pangeran Keempat adalah Changyi. Meskipun ia telah
mengira akan hal tersebut sejak awal mula Pangeran Zhu Di mengabarkan adanya
sayembara memasak yang diadakan oleh Kaisar Ming, namun tetap saja, saat
akhirnya perkiraan itu menjadi kenyataan, Changyi merasa dirinya seperti
dilemparkan ke dasar jurang yang sangat dalam. Jurang yang berisi kesedihan dan
rasa sakit. Rasa sedih dan sakit yang menyatu dan menggumpal, menggulungnya
tanpa ampun, membuat rasa takut dalam diri Changyi justru menghilang dan
berganti dengan kebutaan. Kebutaan terhadap penalaran yang baik dan hanya
menurutkan perasaan belaka.
“Kakak?...Kenapa
Kakak begini? Kalau kita pergi, lalu bagaimana kita akan hidup? Apakah Kakak
akan mencuri beras lagi?” tanya Chen sambil menatap Changyi. Sepasang alisnya
berkerut melihat gelombang kekalutan di kedalaman mata Changyi yang selama ini
dikenalnya sebagai sosok yang ceria.
“Aku
akan melakukan apa saja agar kita tidak kelaparan!...Aku tidak akan mencuri beras
lagi Adik Chen, percayalah padaku!...aku akan bekerja apa saja agar kita bisa
hidup. Yang penting kita bisa pergi dari sini!” jawab Changyi dengan nada tegas
dan berapi-api. Satu tangan Changyi kini memegang kuat-kuat pergelangan tangan
Chen kembali bersiap menariknya pergi.
Perlahan
Chen menarik tangannya dari cengkeraman jemari Changyi. Gerakannya terlihat
sangat lembut dan lemah namun, jepitan jemari Changyi yang sangat kuat dapat
terlepas dengan sangat mudah membuat Changyi terkejut. Raut wajah Changyi yang
rupawan berubah.
“Adik
Chen…kau…kau tidak mau pergi denganku? Kau ingin tinggal di sini? di istana
ini?” tanya Changyi dengan rasa kecewa yang menyeruak dengan cepat. Sekejab
wajahnya sedikit memucat sebelum kemudian kembali memerah.
“Kakak
Changyi…sungguh ini bukan dirimu. Kau tak seharusnya seperti ini” jawab Chen
lirih namun jelas terdengar membuat sepasang mata Changyi terasa menggelap.
“Kenapa
kau tidak percaya padaku!!...Adik Chen, ini aku kakakmu…saudaramu!!. Jika kita
masih di istana ini kita akan hidup terpisah. Kau harus tinggal sebagai pelayan
dan aku…aku akan berdiri sebagai tuan bagimu. Apa kau bisa melalui hal itu?
hah? Bisa kau melalui hal seperti itu?” Changyi berteriak dengan suaranya yang
bergetar. Sepasang matanya membelalak.
Chen
menelan ludah. Namun sedetik kemudian, kepalanya terangguk membuat tubuh
Changyi terasa melemas seketika. Kedua tangan Changyi jatuh ke sisi tubuh
dengan lunglai sementara tubuhnya beranjak mundur selangkah. Pandangannya
menatap Chen dengan eskpresi tak percaya. Selubung kain hitam yang semula
menutupi wajahnya dan tergantung di kedua bahunya melayang jatuh dan tergeletak
di tanah yang lembab oleh embun malam yang mulai turun.
“Kakak…bagiku
itu tidak apa-apa. Tidak masalah jika Kakak menjadi tuan bagiku selama
kita tinggal di istana. Aku akan selalu menyayangi Kakak dan Kakak tetaplah
Kakakku, saudaraku, keluargaku…kita masih bisa…
“Kau
sama sekali tidak mengerti tentang perasaanku!!” potong Changyi dengan bentakan
keras. “ Kau sama sekali tidak mengerti apa artinya jika kita hidup dalam satu
atap tak bisa saling bicara!...Kau sama sekali tak tahu apa-apa Adik Chen!”
Xiao
Chen terhenyak. Changyi membentaknya, sungguh-sungguh membentaknya. Ini pertama
kalinya Changyi membentaknya setelah mereka melalui waktu bersama. Sebelumnya,
betapapun ia melakukan kesalahan atau merepotkan Changyi dengan kelemahannya,
namun saudaranya itu selalu tersenyum dan tertawa padanya. Diam-diam, seleret
rasa sedih menyusup dalam hati Chen. Changyi, benarkah saudaranya itu telah
berubah? Ataukah karena kenyataan pedih yang mereka hadapi sekarang ini?
“Kakak…aku
tidak bisa meninggalkan istana ini” sahut Chen dengan suara nyaris hilang. Rasa
sedih atas bentakan Changyi seperti menelan kekuatannya.
“Kenapa?
Kenapa kau tidak bisa pergi dari istana ini Adik Chen? bukankah dulu, kau
sangat ingin pergi dari rumah Jenderal Xu Da? Kau bahkan menolak saat Jenderal
Xu Da datang ke kuil dan ingin mengajak kita ke istana untuk belajar di sekolah
calon prajurit khusus! Apa kau sudah lupa semua itu Adik Chen?!” serbu Changyi
masih dengan nada keras dalam kecewa dan marahnya.
“Tentu
saja aku ingat” jawab Chen pelan. Sesaat kepalanya tertunduk sebelum kemudian
kembali terangkat dan menatap Changyi. “Tapi Kakak…sekarang ini, situasinya
berbeda…”
“Apa
bedanya?!..katakan padaku apa bedanya?!” teriak Changyi kembali memotong
kalimat Chen.
“Pesan
dari Bapak Tua di kuil…tidakkah Kakak mengingatnya? Apakah Kakak telah
melupakannya? Atau ingin melupakannya?” sahut Chen nyaris menangis saat ia menemukan
luka yang teramat dalam di sepasang mata Changyi ketika mendengar jawabannya.
Dan ia sungguh tidak suka melihat kepedihan dan luka di kedua mata cemerlang
yang sangat dikaguminya itu.
“Pesan
dari Guru?...” ulang bibir Changyi separuh tercenung. Benaknya seketika memutar
kembali kenangan terakhir pertemuannya dengan Biksu Tua sebelum ia dan Chen
berangkat menuju Yingtian untuk menyembuhkan Pangeran Zhu Di dan menolong para
juru masak istana pangeran yang terancam hukuman mati. Terngiang-ngiang kembali
setiap kata-kata Biksu Tua yang jelas diucapkan di sisi telinganya. “Jaga sang kaisar di sisimu Changyi, karena
kejayaan negara ini akan berawal dari kedua tangannya dan kedua tangan sang
raja besar itu hanya terulur padamu. Kau yang akan ada di sisinya dan memberi
warna dalam jiwanya” …Mendadak Changyi merasa dadanya menyesak. Jelas-jelas
pesan itu mengharuskannya untuk tetap tinggal di istana meskipun ia masih belum
sepenuhnya mengerti mengapa ia harus terus berada di sisi Kaisar? Bukankah
Kaisar Hongwu telah memiliki banyak penjaga yang sangat tangguh di sekitarnya
dan salah satunya adalah ayah angkatnya sendiri? Ia bahkan tidak pernah merasa
bahwa sepasang tangan Sang Kaisar tengah tertuju padanya meskipun ia diijinkan
untuk berteman dengan Pangeran Keempat dan persahabatannya dengan Pangeran Zhu
Di telah semakin erat dari hari ke hari. Bahkan guru yang sangat dihormatinya
pun tidak mengijinkannya untuk pergi dari istana. Bisakah ia menepis pesan dari guru yang sangat
dihormatinya? Bisakah ia melupakan keinginan dari gurunya demi rasa pedih dan
kecewa yang tengah menggulungnya saat ini?
“Guru?...Guru!...Guruuuuu!”
jerit Changyi ketika benaknya menjadi penuh dan tak lagi mampu melihat dalam
kejernihan. Lalu, sebelum Chen sempat mencegah, mendadak tubuh Changyi telah
melompat dan melesat menembus gelapnya malam. Hanya dalam beberapa detik, tubuh
Changyi telah berhasil melompati tembok tinggi pembatas istana dan kemudian
hilang dari pandangan Xiao Chen.
“Kakak!...Kakak
Changyi!...Kakak hendak kemana?” teriak Chen seraya bersiap menyusul ke arah
hilangnya Changyi.
Namun
gerak Xiao Chen terhenti saat sebuah tangan besar dan kuat mendadak meraih
bahunya membuat kakinya kembali terpaku di tanah taman yang berselimut rumput
tebal dan halus. Dengan terkejut, Chen menoleh dan segera mengenali siapa
adanya sosok tinggi besar yang menahan geraknya. Dengan agak gugup, Chen segera
membungkuk ke arah sosok tinggi besar di depannya.
“Tuan
Jenderal Xu Da…hormat saya Tuan Jenderal” suara Chen dalam penghormatannya.
Jenderal
Xu Da mengangguk sekilas sebelum kemudian berkata.
“Biar
aku yang menyusul Changyi” ujarnya dengan suara yang besar dan berat penuh
kharisma. “Kau kembalilah ke istana Pangeran Zhu Di, saat ini semua orang
sedang mencarimu”.
Chen
menelan ludah namun mengangguk juga dengan patuh. Sepasang matanya merebak
merah dalam keremangan cahaya bulan yang jauh di langit.
“Baik
Tuan Jenderal, perintah Tuan Jenderal akan saya laksanakan” sahut Chen sambil
membungkuk kembali.
Tak
terdengar suara sahutan Jenderal Xu Da. Hanya hening dan sunyi yang melingkupi
Chen di sudut Taman Maple. Namun, sekilas saat membungkuk untuk memberi hormat
pada Panglima Tertinggi milik Kaisar Hongwu tersebut, Chen sempat merasakan
sebuah kilasan angin yang tajam melewati dirinya dan saat ia mengangkat
tubuhnya untuk kembali pada posisi berdiri, Jenderal Xu Da telah lenyap dan
hanya menyisakan gerak halus pucuk-pucuk daun Maple yang mulai menguning, di
arah hilangnya Changyi…
**********
Tidak ada komentar:
Posting Komentar