“Malam
berseri, indah damai dalam hati
Kau
berikan rasa ini, hingga dapat ku bermimpi
Tentang
maaf yang bersemi
Tentang
cinta yang tak letih
Dan
kuharapkan kekasih
Tak
perlu bertengkar lagi
Tak
perlu menangis lagi
Biarkan
kita mengalir sampai nanti….”
( Puisi Adinda – Song by Ariel Noah )
Rumah Jenderal Xu Da…
Bayangan itu bergerak
cepat melintasi halaman yang luas seolah kilasan gelap sesaat yang tak sempat
tertangkap oleh mata. Sosok bayangan yang jelas tinggi menjulang dalam balutan
jubah panjang itu tak berhenti meski telah melewati halaman luas dan melompati
sebuah taman lebar. Tepat di belakangnya, satu sosok lain bergerak dengan cepat
berusaha untuk menyusul meskipun tampaknya, kemampuan geraknya masih jauh di
bawah sosok pertama yang kini telah sampai di beranda rumah utama, melintasi
pintu demi pintu tanpa maksud untuk berhenti sama sekali, hingga sebuah suara
terdengar tajam disusul terkuaknya satu pintu yang terletak di sisi ujung
bangunan utama tersebut.
“Changyi!” suara yang
berat itu terdengar dengan sangat jelas meski tak keras, mengumandangkan
kewibawaan yang sangat kuat hingga memaksa sosok bayangan yang bergerak cepat
di depan setiap pintu tersebut seketika menghentikan langkahnya. Sosok lain di belakang
bayangan pertama turut berhenti dan seketika membungkuk hormat saat seorang
lelaki bertubuh tinggi besar melangkah keluar dari pintu yang terbuka.
“Jenderal” sebut
bayangan kedua yang membungkuk penuh hormat tersebut demikian ia melihat Jenderal
Xu Da.
“Changyi?” panggil Jenderal
Xu Da mengalihkan pandangannya dari sosok pertama yang terlihat berdiri
termangu. “Kenapa kalian datang hanya berdua? Di mana Xiao Chen?”
Tak terdengar
jawaban. Hanya sebuah gerak perlahan dari sosok pertama yang terlihat menarik
lepas jubah penutup kepalanya, menampakkan seraut wajah rupawan yang pias
nanar.
“Changyi?” tegur Jenderal
Xu Da saat ia tak mendapakan jawaban dari mulut Xu Changyi.
Changyi tertunduk. Terlihat
gerakan kasar di lehernya saat pemuda itu berusaha menelan ludah seolah apa
yang tengah melewati kerongkongannya adalah sebongkah batu berduri yang amat
keras dan tajam.
“Ayah…kita telah
terlambat” bisik Changyi sehalus angin.
Jenderal Xu Da
mengerutkan alisnya saat mendengar jawaban yang nyaris hanya berupa desisan
daun tersebut.
“Terlambat?” tanyanya
kemudian seraya menatap putranya. “Apanya yang terlambat? Apa yang sebenarnya
terjadi?”
Changyi kembali
terdiam. Wajahnya tertunduk dalam kekosongan yang menyengat membuat Jenderal Xu
Da tak lagi sabar menunggu. Maka, setelah mengeluarkan satu dengusan keras, panglima tertinggi kerajaan
itu mengalihkan tatapan matanya ke arah sosok kedua yang juga telah melepaskan
jubah penutup tubuhnya dan menampakkan sosok gagah Perwira Bohai, prajurit
setia yang selalu mengikuti Jenderal Xu Da kemanapun.
“Perwira Bohai…katakan
padaku, apa yang terjadi? Apanya yang terlambat? Apakah kalian gagal untuk
membawa Xiao Chen?” tanya Jenderal Xu Da pada prajuritnya.
Perwira Bohai terlihat
membungkukkan tubuhnya.
“Benar Jenderal”
jawab Perwira Bohai saat ia telah berdiri tegak kembali. “Saat kami tiba di
penjara bawah tanah, ternyata Kasim Chen telah di bawa pergi. Ruang penjara
paling ujung itu kosong. Prajurit penjaga yang kami sandera mengatakan bahwa
Kasim Chen telah dibawa tepat tengah malam dan telah dihukum mati atas perintah
dari Yang Mulia Kaisar”.
Jenderal Xu Da
terlihat terkejut. Sejenak pandangannya kembali pada sosok putranya sebelumnya
kemudian ia menatap Perwira Bohai.
“Hukuman mati telah
dilaksanakan tepat tengah malam? Tapi, itu bukan kebiasaan Yang Mulia Kaisar.
Biasanya, hukuman mati akan dilaksanakan di pagi hari atau bahkan di siang hari
agar bisa menjadi pelajaran bagi banyak orang untuk tidak melakukan kesalahan
yang sama” ujar Jenderal Xu Da. “Apakah kau mendapatkan informasi yang lain
Perwira Bohai? Di mana hukuman mati itu dilakukan?”
“Hukuman mati
dilakukan di sisi utara istana, di dekat barak senjata Jenderal” sahut Perwira
Bohai dengan cepat. “Menurut keterangan prajurit penjaga penjara itu, hukuman
mati yang dilakukan dengan racun sebagaimana kejahatan yang telah dilakukan
oleh Kasim Chen pada Pangeran Keempat”.
“Barak senjata? Itu lebih
aneh lagi. Sudut istana di sisi barak senjata bukan tempat biasa digunakan
untuk pelaksanaan hukuman mati. Kenapa Yang Mulia Kaisar mengambil tempat itu?”
gumam Jemderal Xu Da. “Apakah Yang Mulia Kaisar datang untuk menyaksikan pelaksanaan
hukuman mati itu Perwira Bohai?”
Perwira Bohai
menggeleng tegas. “Menurut keterangan prajurit itu, Yang Mulia Kaisar tidak datang.
Juga, tidak ada pejabat yang datang untuk melihat pelaksanaan hukuman mati
Kasim Chen”
Kening Jenderal Xu Da
berkerut semakin dalam. Adalah hal yang sangat aneh jika hukuman mati, terlebih
untuk satu kejahatan besar dilaksanakan tanpa kehadiran kaisar dan pejabat
kerajaan. Biasanya, penjahat-penjahat besar seperti pengkhianat negara ataupun
orang-orang yang melakukan kejahatan pada keluarga raja akan dihukum mati
dengan menghadirkan kaisar, anggota keluarga raja dan pejabat istana. Jika seandainya
kaisar tidak bisa hadir dalam pelaksanaan hukuman mati, maka pasti akan ada anggota
keluarga raja ataupun pejabat kerajaan yang menjadi wakil raja. Namun kini,
dalam pelaksanaan hukuman mati terhadap Kasim Chen, bukan saja kaisar tidak
hadir namun juga tak satupun anggota keluarga raja dan pejabat kerajaan yang
datang untuk menyaksikan pelaksanaan hukuman pada kasim remaja yang dituduh
melakukan kejahatan dengan racun pada Pangeran Zhu Di tersebut.
Dan ini adalah hal
yang sungguh aneh!.
Aneh sebab
seolah-olah, pelaksanaan hukuman mati itu dilakukan secara tersembunyi dan
ditutupi!.
Aneh sebab hukuman
mati itu dilakukan lebih cepat dari waktu seharusnya dan di saat yang tak biasa
yaitu ditengah malam sehingga tak ada orang yang menyaksikan agar menjadi bahan
pelajaran bagi rakyat luas!
Dan aneh sebab
hukuman mati itu dilakukan di tempat yang tertutup, bukan tempat biasa untuk
melaksanakan hukuman mati sebab selama ini hukuman mati selalu dilakukan di
tempat terbuka sehingga bisa disaksikan oleh banyak orang!.
Kemudian, dengan
adanya semua keanehan-keanehan itu, satu pertanyaan paling mendasarpun muncul
di benak Jenderal Xu Da.
Ada apa sebenarnya?
Atau…apa yang
sesungguhnya tengah terjadi?
Pandangan Jeneral Xu
Da beralih pada putranya yang berdiri dengan tubuh mengejang kaku dan wajah
pias.
“Changyi…”
“Ayah” Changyi
bergerak dan memutar tubuhnya menghadap ke arah ayah angkatnya. Sebuah binar
tekad terlihat berkelebat di kedalaman matanya dan menjadi warna lain yang
meronai selain gelombang kepedihan yang memenuhi setiap sudutnya. “Saya ingin
melihat Adik Chen, untuk terakhir kali. Ijinkan saya pergi Ayah”.
Jenderal Xu Da
termangu sesaat. Saat ini telah menjelang pagi hari dan hukuman mati telah
dilaksanakan tepat tengah malam tadi. Kemungkinan besar saat ini Xiao Chen
telah tewas. Namun, meskipun demikian, biasanya tubuh orang yang dihukum mati
masih akan dibiarkan berada di tempat pelaksanaan hukuman hingga beberapa saat
sebelum dibawa pergi untuk dihanyutkan ke sungai atau diberikan pada binatang
buas sebagai makanan. Kedatangan Changyi ke tempat pelaksanaan hukuman mati
Xiao Chen pasti akan menimbulkan pertanyaan dan kecurigaan, namun dengan
gelombang kepedihan yang bergumpal-gumpal bagaikan badai di kedua mata Changyi
seperti yang dilihatnya saat ini, bisakah ia menahan putranya itu?.
“Baiklah” jawab
Jenderal Xu Da kemudian. “Tapi kendalikan dirimu. Ingat baik-baik bahwa kau
adalah putraku dan Ayah ingin kau menjaga kehormatan dirimu. Tidak semua orang
di istana adalah kawanmu, jangan lupakan itu. Apa kau mengerti Changyi?”.
Changyi menatap ayah
angkatnya beberapa saat dengan sepasang mata memerah yang terasa bagaikan
sebuah palu menggedor dinding nurani Jenderal Xu Da, memaksa sang panglima
tertinggi kerajaan yang amat berkhaisma itu menarik sudut-sudut bibirnya dan
mengurai sebuah senyum.
Tetapi, senyum ayah
angkatnya itu justru terasa semakin memperjelas rasa pedih yang dirasakan oleh
Changyi. Xiao Chen adalah adiknya, saudara sejiwanya meski orangtua mereka
bukanlah orangtua yang sama. Namun mereka telah melalui waktu bersama sejak
pertama mengenal kehidupan di dunia. Dan kedekatan sejiwa itu jauh lebih kuat
daripada ikatan darah persaudaraan. Mestinya, ia bisa menemui Xiao Chen
kapanpun ia mau. Mestinya ia dan Xiao Chen bisa bersama sebagaimana dahulu,
seperti yang ia cita-citakan saat ia pertama datang ke istana ini. Tetapi kini,
kenyataan yang terbentang di depan mata justru sangat berbeda. Kedatangannya ke
istana justru menjadi jurang pemisah yang amat tajam di antara dirinya dan
saudara sejiwanya. Bukan saja ia tak bisa bersama dengan Xiao Chen seperti
dulu, namun lebih dari itu, ia dan Xiao Chen bahkan berdiri pada sisi yang
sangat berbeda, bahkan berlawanan. Ia berdiri sebagai anak pejabat tinggi
istana yang sangat dihormati oleh semua orang. Sebagai seorang tuan muda yang
bahkan telah dianggap sebagai bagian dari kerabat kaisar sementara adiknya
berdiri sebagai seorang kasim, seorang pelayan yang keberadaannya bahkan tak
pernah dipandang dua kali. Pelayan yang mesti membungkuk hormat bila mereka
bertemu dan melayaninya dengan sebaik mungkin. Dan kini, di saat terakhir kali
ia mungkin masih bisa melihat saudara sejiwanya itupun, jurang pemisah yang
amat tajam itu tetap saja tak memberinya kesempatan untuk memiliki adiknya
sebagaimana seharusnya.
“Baik Ayah, saya
tidak akan lupa semua pesan Ayah” sahut Changyi
setelah beberapa saat. Kepala berhias rambut hitam legam itu terlihat
mengangguk sebelum kemudian, sosoknya yang tinggi gagah bergerak. Hanya gerak
sekilas yang seolah tak berarti namun sekejab kemudian sosok rupawan yang telah
merebut seluruh ruang di hati Jenderal Xu Da itu telah lenyap dari pandangan
mata dan hanya meninggalkan sebuah siuran angin singkat yang segera menghilang
sedetik kemudian.
Jenderal Xu Da
menarik nafas panjang sebelum kemudian berpaling ke arah Perwira Bohai yang
masih berdiri beberapa langkah darinya.
“Ikuti putraku”
perintah Jenderal Xu Da pada prajurit setia yang menjadi kepercayaannya. “Apapun
yang kalian lihat di sana nanti, jangan biarkan Changyi menjadi lupa dan
mempermalukan dirinya sendiri”.
“Baik Jenderal” sahut
Perwira Bohai cepat yang segera membungkuk hormat sebelum kemudian, sosoknya
turut berkelebat lenyap pula dari hadapan Jendera Xu Da, melesat ke arah mana
bayangan Changyi menghilang sebelumnya.
Jenderal Xu Da masih
berdiri sesaat seraya menatap ke arah mana dua bayangan yang semula berdiri di
dekatnya menghilang. Kemudian, lelaki yang sangat dihormati itupun bergerak
melangkah ke arah pintu yang masih terbuka. Kedua kakinya telah nyaris mencapai
batas pintu saat mendadak, suara langkah kaki dari arah belakang terdengar cepat
membuat Jenderal Xu Da seketika menoleh ke belakang dan menemukan seorang
prajurit yang setengah berlari datang mendekat. Kening sang panglima tertinggi
kerajaan itu berkerut ketika ia mengenali si prajurit sebagai salah satu
prajurit khusus di istana Kaisar Hongwu. Ada apa prajurit penjaga istana kaisar
datang pada pagi buta seperti ini?
“Ada apa?” tanya
Jenderal Xu Da bahkan sebelum si prajurit yang berlari datang mendekat itu
sempat mengucapkan satu kata.
“Jenderal, Yang Mulia
Kaisar memanggil Jenderal untuk datang ke istana saat ini juga” jawab si
prajurit setelah membungkuk hormat.
“Ke istana? Sekarang juga?”
ulang Jenderal Xu Da seraya menatap prajurit di depannya. Kerut di kening sang
jenderal semakin dalam. Satu lagi keanehan terjadi di pagi yang masih gelap
ini. Kenapa kaisar memanggilnya di pagi buta seperti ini?.
“Benar Jenderal. Yang
Mulia Kaisar ingin Jenderal datang menghadap saat ini juga” sahut si prajurit.
Jenderal Xu Da
mengangguk.
“Baiklah” katanya
kemudian. “Kau pergilah lebih dulu. Aku akan segera menyusul”.
“Baik Jenderal” jawab
si prajurit seraya memberi hormat.
Jenderal Xu Da masih
berdiri menatap kepergian prajurit khusus penjaga istana kaisar hingga
menghilang di balik pintu gerbang depan sebelum kemudian, panglima perang yang
sangat disegani itu melanjutkan langkah
kakinya yang sempat terhenti. Kali ini, sang jenderal bergerak cepat masuk ke
dalam rumah dan menutup kembali pintu di belakangnya.
Sesaat kemudian, dari
arah gerbang rumah Keluarga Xu terlihat melesat seekor kuda yang melaju menuju
istana kaisar membawa sosok gagah penuh kharisma panglima tertinggi kerajaan…
************
“Apa?!...itu tidak
mungkin terjadi! Bagaimana bisa?!” teriak Perdana Menteri Hu Weiyong dengan
sepasang mata membeliak. Rona wajahnya sekejab memerah dan sesaat kemudian
memutih menandakan gejolak kemarahan bercampur rasa terkejut yang amat sangat. Pandanganya
tajam menusuk ke arah dua lelaki berpakaian prajurit yang berdiri dengan raut
kecut di depannya. “Katakan padaku, apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana bisa
Yang Mulia Kaisar merubah keputusannya demikian cepat?”.
“Mengenai Yang Mulia
Kaisar merubah keputusannya dengan sangat cepat itu, kami sama sekali tidak
tahu Tuanku. Kami hanya mengetahui bahwa Kasim Chen telah dibawa ke istana Yang
Mulia Kaisar tepat sebelum tengah malam dan setelah itu, kami tidak lagi
melihat sosok Kasim Chen. Saat tengah malam tiba, kami melihat seorang lelaki
dibawa keluar dari istana kaisar oleh prajurit khusus yang dipimpin oleh Jenderal
Lan Yu. Lelaki itu dibawa ke sudut istana di bagian utara di dekat barak
senjata” tutur seorang prajurit pada Perdana Menteri Hu Weiyong.
“Lalu, bagaimana
Pangeran Keempat bisa sampai di tempat itu dan menghentikan pelaksanaan hukuman
mati?” tanya Perdana Menteri Hu Weiyong kemudian.
“Maafkan kami Tuan
Hu, mengenai hal itupun, kami tidak tahu. Kami hanya mengikuti rombongan
Jenderal Lan Yu yang membawa lelaki dengan tutup hitam di kepalanya itu ke
sudut istana dekat barak senjata dan selanjutnya kami melihat lelaki itu
menerima seratus pukulan pada tubuhnya. Kemudian, saat lelaki itu hendak
meminum racun yang diberikan, tiba-tiba Pangeran Keempat muncul dan
menghentikan semuanya” jawan satu prajurit yang lain.
“Jadi…jika demikian,
maka lelaki yang dihukum itu belum sempat meminum racun yang diberikan padanya?
Apakah benar begitu?” tanya Perdana Menteri Hu Weiyong dengan kening berkerut.
“Tampaknya, meski
sedikit, racun itu telah berhasil memasuki tubuh lelaki itu Tuanku” sahut si
prajurit.
“Tampaknya?...kalian
tidak yakin dengan apa yang kalian lihat?” kejar Perdana Menteri Hu Weiyong
dengan nada tajam dan sorot mata penuh cela.
“Maafkan kami Tuan Hu”
jawab satu prajurit kedua dengan suara agak bergetar. “Sebenarnya, kami memang
tidak dapat melihat dengan jelas karena tempat kami mengintai cukup jauh. Tetapi,
melihat bagaimana tubuh lelaki itu menjadi sangat lemah dan Pangeran Zhu Di yang
berteriak marah kemudian memeluk tubuh lelaki itu, kami dapat menyimpulkan
bahwa lelaki itu telah sempat meminum racun yang diberikan kepadanya”.
“Hmmm…” gumam Perdana
Menteri Hu Weiyong seraya memegang dagunya yang bergaris tajam. Sepasang matanya
bergerak menandakan bahwa pejabat tinggi kerajaan itu tengah berpikir keras. “Dan
kalian tidak tahu siapa lelaki itu?”
“Tidak Tuan Hu” kedua
prajurit di depan Perdana Menteri Hu Weiyong menggeleng. “Keadaan sangat gelap,
hanya ada beberapa api penerang di tempat itu”.
“Tapi, kami juga
yakin bahwa siapapun lelaki itu, dia bukanlah Kasim Chen sebab ukuran tubuhnya
terlihat lebih besar seperti ukuran tubuh lelaki dewasa” sambung prajurit lain.
Tak terdengar suara
tanggapan dari mulut Perdana Menteri Hu Weiyong selain gerak tubuh yang
terlihat gelisah. Berarti, Kasim Chen masih hidup saat ini. Siapapun adanya
lelaki yang telah menjalani hukuman itu, dia telah menyelamatkan Kasim Chen
dari kematian. Kemudian, dimanapun adanya Kasim Chen saat ini, dia telah
memegang satu kunci jawaban mengenai apa yang tengah terjadi di kamar Pangeran
Zhu Biao beberapa waktu lalu. Dan hal itu adalah satu hal yang sangat tidak
baik.
Kenapa lelaki itu
bisa muncul?
Siapa lelaki bodoh
yang mau mengorbankan hidupnya demi seorang kasim remaja yang tengah menanti
kematian itu?
Di mana ia mesti
mencari Kasim Chen sekarang?
“Ah!!...” teriak
Perdana Menteri Hu Weiyong penuh kemarahan seraya mengayunkan satu tangannya
menghantam permukaan meja di sisinya. Suara berderak keras terdengar membuat
dua orang prajurit yang berdiri tak jauh darinya terlonjak kaget dan ketakutan.
“Dasar bodoh!!”.
Namun…apa yang mesti
terjadi sesungguhnya bukanlah apa yang tengah terpampang di depan mata.
Semilir angin pagi
buta menghembus melewati celah lubang angin, menghembus menerpa kening Perdana
Menteri Hu Weiyong yang berkilau oleh percikan keringat kemarahan.
Semilir angin yang
menyampaikan ancaman…dan tragedi yang menanti…
Sayang, kemarahan
yang menggumpal membuat sang pejabat tinggi kerajaan itu tak dapat menangkap
bahasa angin yang halus membisik di sisi kepalanya…
***********