Bulan bulat telah naik ke atas langit dan
terlihat jauh seolah sengaja menjauh dari gapaian jemari sang awan. Angin
bertiup sepoi membawa semburat rasa dingin musim gugur yang mulai menyapa.
Helai-helai daun maple kuning dan merah jatuh menyapa tanah satu satu
mengabarkan bahwa saatnya telah tiba untuk memeluk sang bumi.
Changyi berhenti di
bawah sebatang pohon maple besar dan membiarkan beberapa kuntum daun yang jatuh
tersangkut di sisi bahunya. Pandangannya jauh menembus awan dan meraih wajah
rembulan dengan jemari tak kasat mata yang terulur dari dua matanya yang
cemerlang.
Cemerlang namun
bersemburat kesedihan.
Kesedihan yang
sekaligus menyimpan kemarahan.
Ia tak tahu berapa
jauh ia berlari meninggalkan Chen sendiri di tengah Taman Maple di sudut
istana. Gemuruh rasa yang bercampur aduk dalam hati membuatnya tak lagi menoleh
ke belakang.
Jadi, ia memang tidak
bisa meninggalkan istana ini bukan? Karena jelas, ia tak akan pernah mampu
untuk menepiskan keinginan dari Biksu Tua yang sangat dihormatinya. Orang yang
telah dianggapnya sebagai guru sejatinya. Lalu, selain daripada itu, bisakah ia
meninggalkan Jenderal Xu Da? Setelah semua kebaikan yang diberikan oleh Sang
Jenderal Besar itu padanya, apakah ia akan begitu saja menghempaskan kebaikan
itu demi mementingkan rasa diri sendiri yang tak sudi menanggung derita?
Tetapi, jika tidak…mampukah
ia menjalani hidup di istana dengan kesedihan yang pasti akan dirasakannya
setiap hari? Menjadi tuan bagi adiknya sendiri dan menerima pengormatan dari
satu-satunya keluarga yang tersisa itu tepat di depan mata setiap kali ia dan
Pangeran Keempat bertemu?. Ia tahu hal itu akan selalu terjadi sebab setelah menjadi
bagian dari keluarga Jenderal Xu Da, Changyi selalu mendapatkan penghormatan dari
siapapun di istana termasuk Kasim Anta, yang selalu mengikuti Pangeran Keempat
ke manapun. Dan kini, Chen telah diangkat sebagai kasim kecil bagi Sang
Pangeran yang menjadi sahabatnya itu sehingga dengan sendirinya ia akan sering
bertemu dengan Chen, bukan sebagai adiknya melainkan sebagai kasim dan pelayan
istana sebagaimana Kasim Anta sebelumnya.
Dan sebagaimana yang
selalu dilakukan oleh Kasim Anta padanya, Chen akan harus membungkuk di
depannya dan memberikan penghormatan. Sungguh, meskipun ia telah mulai terbiasa
dengan bentuk-bentuk penghormatan dari semua orang di lingkungan istana setelah
ia menjadi putra Jenderal Xu Da, namun tetap saja Changyi tak bisa membayangkan
jika penghormatan tersebut berasal dari adiknya sendiri. Dan kenyataan itu kini
telah benar-benar terpampang di depan mata tanpa ia mampu untuk menghindarinya.
Jadi apa yang harus dilakukannya sekarang?
“Melarikan diri dari
kenyataan hidup bukanlah sikap seorang prajurit sejati” sebuah suara besar yang
penuh kharisma terdengar sangat jelas di belakang Changyi membuat remaja
berwajah rupawan itu terperanjat dan seketika berbalik ke belakang. Sepasang
matanya yang memerah sekejab membesar saat menemukan Jenderal Xu Da berdiri
beberapa langkah. Kemudian, setelah sekilas mengusap kedua matanya, remaja yang
kini telah nyaris setinggi Jenderal Xu Da tersebut segera membungkuk.
“Ayah…maaf saya tidak
mengetahui kedatangan Ayah” sahut Changyi saat ia telah berdiri tegak kembali.
“Sepahit dan sepedih
apapun kenyataan yang mesti dihadapi, seorang prajurit sejati akan tetap tegak
berdiri tanpa sedikitpun memperlihatkan kelemahan hati. Apakah kau benar-benar
telah memiliki tekad untuk menjadi seorang prajurit di dalam hatimu Xu
Changyi?” suara Jenderal Xu Da terdengar mengalun pelan dalam nada yang tegas
membuat Changyi segera menyadari adanya teguran dalam kalimat yang terdengar
halus tersebut.
“Maafkan saya Ayah”
kepala rupawan Changyi tertunduk. “Adik Chen adalah satu-satunya keluarga saya
yang tersisa sehingga, jika Adik Chen kemudian harus berdiri pada posisi yang
sama sekali berbeda, bagaimana saya harus menanggapi hal tersebut dan menjalani
kehidupan yang sama sekali berbeda?”
Jenderal Xu Da
mendengus pelan sebelum kemudian melangkah ke sisi putra angkatnya. Kepala
berhias sanggul rambut dalam ikatan gelang perak tersebut terlihat menengadah
menatap langit, pada rembulan yang mengayun lembut di antara arak awan-awan
putih kelabu.
“Maka kau hanya perlu
menjalaninya seperti hari-hari yang kau jalani sebelum hari ini” sahut Jenderal
Xu Da tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah lembut sang rembulan.
“Ayah? Tapi bagaimana
bisa?” alis indah Changyi berkerut sementara kepalanya berpaling ke arah
Jenderal Xu Da.
“Changyi…lihatlah
rembulan itu” ucap Sang Jenderal menunjuk ke langit membuat Changyi segera
mengalihkan matanya ke wajah sang rembulan. “Kekuatan rembulan itu membuat
seluruh malam membutuhkannya. Tapi rembulan itu tak pernah sekalipun
memperlihatkan manakah malam yang disukainya dan manakah malam yang ingin
dihindarinya. Sama sekali tidak karena sesungguhnya, rembulan melakukan
tugasnya demi kesejatian diri sang rembulan itu sendiri sebagai bagian dari
alam semesta. Bagi rembulan itu, setiap malam adalah sama, yaitu saat di mana
ia mesti menjalankan tugasnya Seperti itulah jalan seorang prajurit yang
tercipta untuk menjalankan tugas pada negara. Kau akan dihadapkan pada tugas
yang tidak kau sukai namun kau harus melakukannya. Kau akan memiliki hal yang
kau sukai namun kau tidak bisa melakukannya. Segalanya harus kau lakukan dengan
perintah tertinggi yang kau terima. Namun, jauh di atas itu semua, seorang
prajurit sejati menjalankan perintah yang diterimanya bukan karena
ketundukannya pada sang pemberi perintah melainkan sebagai wujud baktinya pada
negara. Dan nilai seorang prajurit ditentukan oleh seberapa besar ia mampu
menjadi penjaga bagi negaranya, menjaga rasa patriot dalam hati dan tidak
pernah surut ke belakang meskipun, apa yang terpampang di depan matanya adalah
sebuah hal yang sangat menghancurkan hati. Apakah kau belum juga memahami hal
itu Changyi?”
Changyi tertunduk.
Ya, ia bisa mengingat dengan jelas tentang martabat dan jalan seorang prajurit
dalam buku tentang strategi perang yang diberikan oleh ayah angkatnya melalui
Biksu Tua di Kuil Bulan Merah. Dan kini, ujian pertama yang harus dihadapinya
sebagai seorang prajurit telah terpampang di depan mata. Sanggupkah ia
menyambut ujian itu dan meneruskan langkahnya sebagai seorang prajurit seperti
impiannya semula? Seperti harapan ayah angkatnya?...tapi kenapa ujian pertama
ini justru datang dari seseorang yang paling dekat di hatinya? Kenapa justru
Xiao Chen?
“Kau masih belum
sepenuhnya menjadi seorang parjurit Changyi. Masih banyak hal yang harus kau pelajari
sebelum Yang Mulia benar-benar meresmikan kalian sebagai prajurit khusus
kerajaan. Karena itu, masih ada waktu bagimu jika memang kau ingin mundur dari
jalan seorang prajurit. Aku tidak akan menghalangimu jika memang itu
keinginanmu” desis Jenderal Xu Da sambil membalikkan tubuhnya dan mulai melangkah
pergi.
Xu Changyi terkejut
mendengar kalimat Jenderal Xu Da. Suara dalam kalimat tersebut terdengar pelan
namun mengapa hatinya seperti tertusuk dan nyeri seolah kalimat ayah angkatnya
itu dengan jelas menyampaikan rasa kecewa yang mendalam?
“Ayah?” panggil
Changyi sebelum bayangan tubuh Jenderal
Xu Da benar-benar lenyap di balik sebatang pohon yang menghitam oleh gelapnya
malam.
Langkah Jenderal Xu
Da terhenti. Kepalanya sedikit menoleh melalui bahunya meski tak benar-benar
berbalik ke arah putranya.
“Aku akan
meninggalkanmu di sini Changyi. Gunakan waktumu malam ini untuk memikirkan
jalan sesungguhnya yang ingin kau ambil dalam hidupmu. Jika kau ingin
melanjutkan keinginanmu menjadi seorang prajurit seperti sebelumnya maka
temuilah aku di rumah besok pagi. Namun, jika kau memilih untuk mendapatkan
kembali kehidupan seperti yang kau inginkan bersama Xiao Chen, maka pergilah,
jangan pernah lagi menampakkan diri di depanku”.
Sepasang mata Changyi
membelalak sesaat mendengar kalimat Jenderal Xu Da. Seolah sebuah desiran angin
yang sangat dingin menyelusup ke dalam dadanya membuat remaja itu seketika
menggigil. Bisakah ia meninggalkan ayah angkatnya yang telah memberikan
kehidupan baru padanya? Bisakah ia menepiskan kebaikan yang telah diterimanya
dari Sang Jenderal Besar itu? Ia, yang sesungguhnya hanyalah anak seorang
petani, karena kebaikan Jenderal Xu Da kini memiliki kehidupan yang terhormat
sebagai seorang bangsawan, putra seorang Panglima Tertinggi kerajaan yang
sangat disegani, dihormati dan ditakuti baik oleh kawan maupun lawan.
Tetapi, jika ia
bertahan untuk tinggal di istana, bisakah ia menjalani hari-hari dengan melihat
adiknya menjadi pelayan, menerima penghormatan dan pelayanan dari Chen
sebagaimana Kasim Anta menghormati dan melayaninya setiap kali ia dan Pangeran
Zhu Di bersama-sama? Bisakah ia menabahkan hatinya untuk mendapatkan semua itu,
bukan lagi dari Kasim Anta melainkan dari Xiao Chen, nama yang selama ini
menjadi semangat dalam dirinya, yang membuatnya mau dan mampu menjalani kehidupan
yang berat di barak prajurit, menjalani pelatihan sebagai calon prajurit khusus
di bawah tekanan Jenderal Lan Yu dan anak-anak angkatnya yang tak pernah bisa
melupakan dendamnya pada Jenderal Xu Da…dan saudara lelaki yang membuatnya
memiliki impian untuk meraih kehidupan terhormat sebagai prajurit kerajaan dan
meninggakan masa lalu mereka berdua sebagai anak-anak yatim piatu yang mesti
mencuri beras untuk bertahan hidup. Bisakah ia menerimanya? Mampukah ia?
Changyi menatap
punggung ayah angkatnya dengan mata berkilat-kilat. Mulutnya bergetar separuh
membuka untuk menyampaikan sebuah kalimat namun, mendadak sang jenderal besar
itu telah melompat ke balik gelapnya rerimbunan pohon Maple dan kemudian, hanya
dalam sekedip mata, sosok tinggi besar yang sangat dihormati itu telah lenyap
dari pandangan mata Changyi, membuat sepasang mata jernih remaja rupawan
tersebut meredup dan perlahan, aliran jernih bergulir memantulkan cahaya
rembulan di langit yang jauh…
************
Sepuluh hari telah
berlalu sejak Chen diangkat sebagai juru masak dan kasim khusus Pangeran
Keempat. Seluruh penghuni istana mulai terbiasa dengan sosok Chen yang kini
selalu mengikuti ke manapun Pangeran Zhu Di berada. Sang Kaisar dan Permaisuri
Ma terlihat sangat gembira melihat kesehatan putra kecil mereka kini telah
sepenuhnya pulih bahkan, semenjak Chen menjadi juru masak dan kasim khusus bagi
Pangeran Keempat, jelas terlihat betapa Pangeran Zhu Di berubah semakin lincah
dan cemerlang. Perubahan nyata yang bukan hanya membahagiakan bagi Kaisar dan
Permaisuri namun juga seluruh penghuni istana.
Kecuali dua wajah
yang meski terus berusaha untuk menunjukkan wajah gembira, namun tetap saja terlihat
mendung yang menggayut di kejernihan dua pasang mata tersebut.
Pangeran Zhu Di telah
memutuskan untuk berhenti belajar olah keprajuritan di barak prajurit khusus.
Hal yang sesungguhnya bukan keinginan hatinya sendiri melainkan atas permohonan
Jenderal Xu Da yang disampaikan pada Kaisar sembilan hari yang lalu.
Dan Pangeran Zhu Di
mengerti, alasan di balik permohonan yang disampaikan oleh seorang jenderal
besar yang amat sangat jarang mengajukan permintaan pada Kaisar tersebut.
Menghilangnya Changyi dari kehidupannya dengan jelas menggambarkan apa
sesungguhnya yang telah terjadi. Meskipun ia masih beberapa kali melihat sosok
Changyi saat pertemuan agung di istana Kaisar, namun sahabatnya itu terlihat
seperti telah berada dalam jarak yang sangat jauh darinya. Changyi bahkan tak
pernah lagi menyambanginya di istana pangeran dan ia tak lagi memiliki keberanian
untuk memanggil Changyi datang menemuinya di istana. Seluruh keberaniannya
telah lenyap tergerus oleh rasa bersalah yang menggulungnya tanpa ampun.
Sementara Changyi
sendiri – setelah menghabiskan waktunya di malam yang menentukan hidupnya – memutuskan
untuk memilih jalannya sebagai seorang prajurit walaupun keputusan tersebut
merupakan hal paling berat yang pernah dilakukannya selama kehidupannya hingga
saat ini. Meski Changyi menyadari bahwa hari-hari setelah malam itu akan ia
rasakan sebagai sebuah siksaan yang amat berat baginya, tetapi setidaknya, ia
tidak akan menjalani kehidupannya sebagai seorang yang tidak tahu malu dan tak
mengerti arti balas budi. Apa yang telah diberikan oleh Jenderal Xu Da padanya
– dan sesungguhnya juga pada Xiao Chen – sangatlah besar dan tak akan pernah
cukup untuk dibalasnya dengan seribu ucapan terima kasih dari hatinya yang
terdalam. Bahkan, meskipun ia merasa sangat sedih dengan posisi Chen sebagai
pelayan dan kasim di istana pangeran, namun di sisi lain Changyi mesti mengakui
bahwa dengan posisi tersebut setidaknya Chen tidak akan kelaparan, hidup
berkecukupan dan bahkan menerima penghormatan dari pelayan-pelayan lain di
istana khususnya pelayan dan dayang di istana pangeran yang merasakan kehadiran
Chen sebagai penyelamat hidup mereka dari hukuman mati Sang Kaisar Ming Tai
Zhu. Sehingga, satu-satunya masalah yang dihadapinya saat ini hanyalah mengurus
perasaannya sendiri. Rasa tersiksa dan sedih yang terus menggayutinya seperti
bayangan hitam yang mengikutinya ke manapun. Changyi tak tahu, adakah orang
yang bisa mengerti bahwa rasa itu sangatlah menyakitkan baginya?. Rasanya
seperti ia benar-benar sendirian di istana ini sekarang. Bukan, bukan hanya di
istana ini melainkan di seluruh penjuru mata angin, seolah tak ada lagi
siapapun yang dikenalinya.
Karena itu, hal yang
kemudian bisa dilakukan oleh Changyi hanyalah mengurangi pertemuannya dengan
Pangeran Zhu Di. Jika ia tidak bertemu dengan Pangeran Keempat, maka dengan
sendirinya ia tak perlu bertemu dan melihat bagaimana Chen akan membungkuk
hormat padanya dan memanggilnya ‘Tuan Muda Xu’. Beberapa hari ini ia terus
menenggelamkan diri dalam pelatihan olah keprajuritan di sekolah khusus. Satu
hal yang sangat disyukuri oleh Changyi adalah bahwa Pangeran Zhu Di kini tak
lagi belajar di tempat yang sama dengannya. Meski jauh di dalam hati, Changyi
merasa terharu saat menyadari bahwa Sang Pangeran Keempat melakukan hal
tersebut pastilah untuk melindungi perasaan hatinya.
Tetapi, sedalam
apapun Changyi berusaha mengalihkan dirinya dari kenyataan sedih yang mesti
dihadapinya, namun tetapi saja, ada saat-saat di mana semua kenangan kesedihan
di depannya akan datang menghampiri lalu menggulungnya tanpa ampun. Ia sangat
merindukan Chen. Ia sangat ingin berbincang dengan adiknya itu dan menceritakan
segalanya. Ia sangat ingin bercanda dan tertawa dengan lepas seperti
waktu-waktu yang lalu. Sekarang rasanya sangat berbeda baginya. Rasa rindu yang
dirasakannya pada Chen di saat sekarang adiknya tersebut justru telah tinggal di
bawah atap yang sama dengannya terasa sangat menyengat seolah ia telah beribu
tahun tidak pernah bertemu dengan Chen. Sebelumnya, saat Chen masih tinggal di
Kuil Bulan Merah, Changyi juga merasakan kerinduan pada adiknya namun kerinduan
tersebut tidak sekuat sekarang dan bisa ditahannya. Bahkan sebelumnya, rasa
rindu pada Chen justru membuat semangat Changyi semakin berkobar dan bukan rasa
rindu yang membuat batinnya terasa pedih seperti sekarang.
“Pulanglah ke rumah.
Ada hal yang ingin Ayah katakan padamu” pesan Jenderal Xu Da yang disampaikan
oleh Tamtama Bohai tadi pagi.
Ada apa lagi
sekarang? kening Changyi berkerut dalam sementara ia menghela kudanya perlahan
menyusuri jalan berbatu di sisi tembok istana. Semoga tak ada lagi kenyataan
pahit yang harus di hadapinya setelah hal paling sulit yang mesti dijalaninya
saat ini. Ia sengaja meminta Tamtama Bohai untuk pergi lebih dulu hanya agar
prajurit ayah angkatnya yang setia itu tak terlalu banyak melihat kesedihannya.
Bagaimanapun, Changyi merasa malu jika ia tak berhasil menyembunyikan gejolak
hatinya di depan orang lain. Terlebih orang lain itu adalah prajurit-prajurit
setia di sekitar ayah angkatnya karena hal tersebut pasti akan membuat Jenderal
Xu Da menjadi malu.
Changyi menarik nafas
panjang sementara ia menyerahkan tali kekang kuda pada pelayan yang
tergopoh-gopoh menyambutnya. Lelaki setengah baya yang telah lama dikenalnya
sejak ia masih menjadi pengurus kuda di rumah Keluarga Xu itu membungkuk dan
mengatakan bahwa Jenderal Xu Da telah menunggu di ruang utama bersama tamu yang
lain. Changyi mengangguk sekilas. Bibirnya masih mengurai sebuah senyum yang
indah untuk lelaki setengah baya di depannya sebelum kemudian langkahnya tegap
menuju rumah di mana ayah angkatnya telah menunggu bersama tamu yang akan
diperkenalkan kepadanya.
“Changyi-Ko?” sebuah
suara panggilan merdu terdengar membuat langkah kaki Changyi terhenti. Pemuda
itu menoleh ke arah asal suara dan segera senyumnya melebar memperlihatkan
deretan gigi putih cemerlang di balik bibirnya yang indah berlekuk.
“Ah…rupanya Adik Xu
Miaojin” sebut Changyi saat melihat seorang gadis berparas cantik berdiri di
dekat pintu samping rumah. Xu Miaojin adalah putri Jenderal Xu Da yang kedua.
Gadis itu cantiknya bukan main dengan tingkah laku yang lincah manja seperti
burung hong. Changyi seringkali merasa gemas melihat gadis kecil yang menjadi
adik angkatnya itu berdiri sambil menandak-nandak dalam kemanjaan di depannya.
Setelah menjadi putra angkat Jenderal Xu Da, dengan sendirinya Changyi mengenal
semua saudara-saudara angkatnya. Tiga di antara saudara angkat Changyi adalah
anak-anak perempuan Jenderal Xu Da dari Nyonya Xu. Yang pertama seorang gadis
berparas jelita dengan tingkah laku yang lembut dan anggun bernama Xu Guanjin.
Putri kedua adalah Xu Miaojin yang tak pernah gagal membuatnya tertawa dengan
keceriaan di wajah cantik manis gadis tersebut. Putri ketiga adalah seorang
gadis berwajah cantik mungil dan memiliki sikap yang sangat pemalu bernama Xu
Yinjin. Dari ketiga saudari angkatnya tersebut, Changyi lebih dekat pada Xu
Guanjin dan Xu Miaojin. Sedangkan Xu Yinjin masih saja malu saat bertemu
dengannya meski ia telah lama menjadi bagian dari Keluarga Xu.
Changyi berdiri
menunggu sementara ia melihat Xu Miaojin berlari – dengan gaya menandak-nandak
seperti biasanya – menuju ke arahnya. Wajah gadis yang mulai menginjak remaja
itu terlihat berbinar-binar gembira membuat wajahnya semakin cantik dan manis
menggemaskan. Rambutnya dijalin membentuk untaian yang membelit bagian atas
kepala, disemat dengan kain sutera berwarna hijau muda yang lembut dan sisa
dari kain yang panjang itu menjuntai di belakang punggung bersama rambut
panjang tergerai yang hitam berkilau.
“Changyi-Ko!..Lama
tidak pulang, apakah kau ingin mengajakku berburu kelinci lagi?” tanya Xu
Miaojin saat sampai di depan Changyi.
“Adik Miaojin, tentu
saja aku akan mengajakmu berburu kelinci lagi. Tapi tidak sekarang, karena hari
ini aku harus menemui ayah” jawab Changyi dengan senyum melebar.
“Begitu ya? Jadi Changyi-Ko
datang bukan untukku tapi untuk menemui Ayah? Kupikir Changyi-Ko datang karena
ingin melihatku” bibir Miaojin cemberut.
Changyi tertawa.
Tubuhnya sedikit membungkuk untuk mensejajarkan wajahnya dengan wajah gadis
yang sedang cemberut di depannya.
“Tentu saja aku
senang bertemu denganmu Adik Miaojin. Hanya saja untuk saat ini, Ayah sedang
menunggu di dalam jadi kita pergi mencari kelinci lain waktu saja ya?” sahutnya
di depan wajah Miaojin yang cemberut.
Xu Miaojin membanting
satu kaki mungilnya ke tanah, namun cemberut di wajahnya jauh berkurang saat
kedua matanya yang jernih menangkap tawa dan binar di wajah pemuda yang ada di
depannya. Apa yang dilihatnya di wajah Changyi bukanlah sebuah seraut wajah
melainkan pancaran sinar matahari yang indah dan membangkitkan seluruh
kebahagiaannya. Ia tak pernah mampu untuk mempertahankan kejengkelannya di
depan kakak angkatnya tersebut. Memangnya siapa yang dapat menahan hati dari
wajah serupawan dewa di langit nirwana itu? Seluruh gadis dan wanita di semua
penjuru kerajaan ini telah tahu bagaimana keelokan rupa seorang Tuan Muda Xu
dan memendam kekaguman di dalam hati. Kekaguman yang melahirkan impian-impian
indah di lubuk hati mereka. Termasuk di hati Miaojin, yang telah lama
dipendamnya. Impian dan kekaguman yang pertama dalam hatinya pada seorang
pemuda. Pertama tumbuh dan langsung mengambil tempat terbaik dan terdalam di
hatinya.
“Ayah ada di dalam bersama
Paman Chang Yu Chun. Sepertinya mereka memang sedang menunggu seseorang.
Rupanya Changyi-Ko yang dinantikan” sahut Miaojin sambil mengerdik ke arah
rumah utama.
Alis Changyi berkerut
saat mendengar satu nama yang saat ini tengah menunggunya di dalam bersama ayah
angkatnya. Jenderal Chang Yu Chun? Mengapa Jenderal Chang menunggunya? Bukankah
sahabat Jenderal Xu Da itu bertugas di distrik pelatihan prajurit di wilayah
timur dan sangat jarang datang ke ibukota selain bila ada pertemuan dengan Kaisar?.
Lalu, kenapa hari ini tiba-tiba Jenderal Chang Yu Chun yang sangat dekat dengan
ayah angkatnya itu datang ke ibukota dan menunggunya? Apakah Jenderal Xu Da
yang telah meminta Jenderal Chang untuk datang? Tapi kenapa? Untuk apa?.
“Baiklah Adik
Miaojin…aku akan segera menemui Ayah sekarang” sahut Changyi sambil menatap
gadis kecil yang masih berdiri di depannya. Senyumnya kembali mengembang meski
kini hatinya dipenuhi oleh tanya.
“Jangan lupa makan
dulu bersama kami sebelum Changyi-Ko kembali ke sekolah prajurit nanti!” seru
Xu Miaojin ke arah Changyi saat dilihatnya pemuda itu mulai melangkah cepat ke
arah rumah utama.
Changyi melambai
sekilas ke arah Xu Miaojin. Dadanya sedikit berdebar saat langkahnya semakin
mendekati pintu ruang utama di mana Jenderal Xu Da telah menunggunya bersama
dengan Jenderal Chang Yu Chun. Tinggal dua langkah lagi kakinya akan menginjak
depan pintu saat mendadak sebuah suara lembut terdengar.
“Changyi-Ko?”
Changyi terhenti dan
seketika menoleh. Sedikit rona ketegangan yang semula nampak di wajah
rupawannya seketika memudar saat kedua matanya tertumbuk pada seraut wajah
jelita yang sangat lembut. Wajah yang selalu memberikan kesejukan pada siapapun
yang menatapnya seolah gadis jelita yang kini berdiri di depan Changyi tersebut
adalah penjelmaan seorang dewi. Sinar keagungan yang memancar dengan sangat
kuat membuat hati Changyi dipenuhi oleh rasa kagum sekaligus hormat. Inilah Xu
Guanjin, putri sulung Jenderal Xu Da yang sangat terkenal dengan kecerdasan di
balik kecantikan dan keanggunan penampilannya.
“Xu-Moi” bibir
Changyi mengurai senyum sementara kedua matanya melembut.
Xu Guanjin sedikit
membungkukkan tubuhnya membuat dada Changyi berdesir. Ia telah terbiasa
mendapat penghormatan dari banyak orang. Rasa jengah dan risi yang dulu dirasakannya
saat pertama kali ia menjadi putra angkat Jenderal Xu Da telah menghilang
seiring dengan berjalannya waktu. Namun, kenapa setiap kali ia melihat Xu
Guanjin memberi hormat padanya, ia selalu merasakan seolah jantungnya menjadi
gelisah?. Kenapa gadis itu menghormat padanya? Ia hanyalah seorang anak angkat
dalam Keluarga Xu, seharusnya Xu Guanjin tak perlu menghormatinya begitu rupa.
Changyi membalas penghormatan yang diberikan gadis berparas jelita di depannya.
“Apakah Changyi-Ko
hendak menemui Ayah?” tanya Xu Guanjin saat keduanya kembali saling berhadapan.
Kedua mata seindah bintang cemerlang di depan Changyi tersebut menatap lurus ke
depan.
Changyi mengangguk
sekilas. Senyumnya mengembang semakin lebar sekedar menutupi desir jantungnya
yang berdetak semakin kencang. Kenapa ia tak bisa mengalihkan pandangannya dari
seraut wajah yang demikian indah di depannya itu?.
“Benar Xu-Moi…Ayah
memanggilku untuk datang menghadap. Apakah Ayah ada di dalam?” sahut Chanyi
sambil menunjuk kamar di belakangnya.
“Changyi!..cepat
masuk! Kenapa kau hanya berdiri di depan pintu?” sebuah seruan keras dari dalam
ruangan membuat Changyi dan Guanjin seketika menoleh ke arah ruang di mana
Jenderal Xu Da duduk bersama Jenderal Chang Yu Chun.
“Sebaiknya Changyi-Ko
segera masuk ke dalam, Ayah telah menunggu” bisik Guanjin pada Changyi membuat
pemuda itu kembali menatap ke arah Xu Guanjin.
“Benar Xu-moi…kalau
begitu sampai nanti” sahut Changyi mengangguk.
Xu Guanjin tersenyum
dan sekali lagi menganguk hormat saat pemuda di depannya melangkah menuju ke
arah pintu kemudian masuk ke dalam ruangan. Dilihatnya Changyi membungkuk penuh
hormat pada Jenderal Xu Da dan Jenderal Chang Yu Chun.
“Guanjin!...bawakan
minum untuk kakakmu!” suara Jenderal Xu Da mengagetkan Xu Guanjin dan ia dapat
melihat tatapan ayahnya dari balik bahu Changyi sementara Changyi sendiri duduk
tertunduk.
“Baik Ayah” sahut Xu
Guanjin dengan gugup ketika ia menangkap kilatan tajam di mata ayahnya. Kepala
gadis itu tertunduk sementara kakinya melangkah menuju ke dapur besar.
Sementara di dalam
ruangan, Jenderal Xu Da menatap Chanyi yang telah duduk di depannya. Jenderal
Chang Yu Chun turut menatap Changyi. Pandangan Jenderal Chang terlihat dipenuhi
rasa kagum saat menatap pemuda yang tertunduk di hadapannya.
“Changyi, hari ini
aku sengaja memanggilmu karena aku ingin mempertemukanmu dengan sahabatku
Jenderal Chang Yu Chun. Kau telah mengenalnya karena kau beberapa kali bertemu
degan Jenderal Chang” ucap Jenderal Xu Da mengawali kalimatnya.
Changyi mengangguk
hormat. “Ya Ayah” sahutnya dengan suara pelan namun jelas.
“Nah Adik
Chang…inilah putraku Changyi. Terakhir kau melihatnya pasti saat sayembara
memasak beberapa hari yang lalu” ujar Jenderal Xu Da seraya memalingkan
pandangannya ke arah Jenderal Chang Yu Chun yang duduk di sampingnya.
Jenderal Chang Yu
Chun mengangguk-angguk sambil tersenyum.
“Benar Kakak
Xu…beberapa hari lalu saat sayembara berlangsung aku memang melihat putramu
ini. Itu belum lama tapi kenapa aku merasa seolah telah lama tidak melihatnya?
Kau terlihat sangat berbeda Changyi. Kau sudah sebesar ini. Sekarang kau
benar-benar telah menjadi seorang prajurit yang gagah seperti ayahmu” sahut
Jenderal Chang Yu Chun.
Changyi tersenyum
namun kepalanya menggeleng pelan.
“Paman Chang terlalu
memuji. Saya sama sekali belum bisa disejajarkan dengan Ayah. Saya masih sangat
dangkal dan perlu banyak belajar agar bisa seperti Ayah dan Paman Chang” ujar
Changyi membuat tawa Jenderal Chang Yu Chun meledak.
Jenderal Xu Da
tertawa dalam nada bangga. Satu tangannya mengelus janggutnya yang rapi.
“Kau benar Adik
Chang…karena itulah aku memanggilmu. Aku terus berpikir untuk memberikan
pelajaran yang lebih baik untuk putraku agar kelak ia bisa menggantikanku menjaga Kaisar” kata Jenderal Xu Da setelah
tawanya reda.
Jenderal Chan Yu Chun
manggut-manggut dengan senyum terkulum. Ia telah mengetahui hal yang dimaksud
oleh Jenderal Xu Da karena Sang Panglima Besar telah memberitahu sebelumnya
saat ia baru saja bertemu dengan sahabatnya tersebut.
Sementara itu
Jenderal Xu Da telah mengalihkan tatapan matanya ke arah Changyi yang duduk
menunggu. Kali ini, kedua alis pemuda itu kembali berkerut setelah mendengar
ucapan ayah angkatnya pada Jenderal Chang Yu Chun.
“Nah Changyi…kau
dengarlah baik-baik. Tujuanku memanggilmu hari ini adalah karena aku telah
meminta pada Kaisar untuk mengambilmu dari sekolah prajurit khusus. Pelajaran
olah keprajuritan yang kau peroleh di sana telah lebih dari cukup dan untuk
selanjutnya, aku ingin kau belajar langsung bersama dengan Jenderal Chang Yu
Chun di Distrik Pelatihan Prajurit di wilayah timur. Kau mengerti Changyi?”
ujar Jenderal Xu Da. Kali ini wajahnya yang penuh wibawa terlihat demikian
bersungguh-sungguh.
Changyi tak dapat
menyembunyikan rasa terkejutnya. Wajahnya terangkat dan menatap ayah angkatnya.
Mulutnya siap membuka namun segera membungkam kembali saat sebuah suara halus
di depan pintu terdengar. Suara Xu Guanjin yang memohon ijin untuk masuk dan
mengantarkan minuman.
Jenderal Xu Da
menggumam pelan namun segera memerintahkan putrinya untuk masuk. Suara pintu
bergeser dibuka terdengar di belakang Changyi disusul aroma harum yang menyerbu
masuk. Terdapat dua aroma harum yang menyusup dalam penciuman Changyi. Satu
aroma harum yang membawa keindahan bunga-bunga musim semi, dan Changyi sangat
tahu bahwa keharuman musim semi itu hanya dibawa oleh tubuh gadis jelita yang
selalu membuat jantungnya berdesir gelisah. Tak ada lagi selain Guanjin yang
dapat membawa keindahan musim semi bahkan di saat alam di sekitar mereka tengah
diamuk dinginnya udara musim gugur. Aroma harum kedua berasal dari satu guci
kecil arak madu di atas nampan kayu. Seorang dayang berjalan mendekat ke arah
meja dan Xu Guanjin mulai menata cangkir keramik di depan Jenderal Xu Da, Jenderal
Chang Yu Chun dan terakhir di depan Changyi, meletakkan guci kecil arak madu
tepat di tengah meja dan mengambil dua cangkir keramik milik Jenderal Xu Da dan
Chang Yu Chun yang telah terpakai sebelumnya. Hal selanjutnya, jemari lentik
gadis itu mulai menuangkan arak madu ke dalam masing-masing cangkir setelah
menata beberapa piring kue yang terbuat dari beras, akar, dan buah.
Jenderal Xu Da
berdehem dengan nada tak sabar sambil menatap putrinya.
“Sudahlah, tinggalkan
saja biar nanti kakakmu yang melayani kami” ujar Jenderal Xu Da pada Xu Guanjin.
Sekilas Changyi
melirik ke arah Guanjin dan melihat rona merah di pipi gadis itu. Hati Changyi
kembali berdesir. Kenapa saudari angkatnya ini begitu anggun menawan hingga
membuat Changyi merasa seolah tengah menatap sosok seorang ratu yang agung?.
Xu Guanjin mengangguk
dan membungkuk ke arah dua jenderal di depannya, mengangguk sekilas ke arah
Changyi sebelum kemudian melangkah keluar diikuti oleh sang dayang.
Sesaat setelah pintu
kembali menutup, Changyi segera mengangkat pandangannya kembali ke arah ayah
angkatnya.
“Ayah..apakah yang Ayah
maksudkan saya belajar di distrik pelatihan prajurit bersama Paman Chang
adalah…”
“Itu benar Changyi”
potong Jenderal Xu Da cepat sebelum Changyi menyelesaikan kalimatnya. “Mulai
besok kau akan belajar di distrik pelatihan prajurit di wilayah timur. Pamanmu
sendiri yang akan membimbingmu karena itu sebaiknya kau mematuhi semua
perintahnya. Jenderal Chang Yu Chun adalah sahabat baikku dan aku sangat
percaya padanya. Aku sangat yakin, bersama dengan Jenderal Chang, kemampuanmu
sebagai seorang prajurit akan terasah. Aku ingin kau bisa sepertiku Changyi dan
kelak menggantikanku menjadi pelindung kaisar dan kerajaan ini”.
Changyi tercenung. Ia
akan pergi ke distrik pelatihan prajurit di wilayah timur dan belajar di sana
di bawah bimbingan Jenderal Chang Yu Chun?. Mendadak Changyi merasakan seleret
keharuan menyusup saat sebuah pengertian menyeruak dalam benaknya akan maksud
dari ayah angkat yang sebenarnya. Bahwa Jenderal Xu Da ingin melindunginya dari
kesedihan yang mesti dihadapinya setiap hari sejak Chen menjadi juru masak dan
kasim khusus Pangeran Keempat. Bahwa ternyata, masih ada seseorang yang
memberikan perhatian padanya di saat Chanyi merasa sendirian menghadapi
kesedihannya.
“Baik Ayah…saya akan
melaksanakan perintah Ayah” sahut Changyi sambil mengangguk tegas. Meninggalkan
istana adalah pilihan terbaik agar ia tak perlu bertemu Chen setiap hari dan
merasakan hentakan kepedihan saat melihat adiknya tersebut membungkuk penuh
hormat padanya dan memanggilnya dengan sebutan ‘Tuan Muda Xu’. Karena itu,
tanpa keraguan lagi, Changyi langsung menyetujui apa yang diperintahkan oleh
ayah angkatnya.
“Bagus Chanyi.
Belajarlah sebaik-baiknya pada pamanmu. Aku akan menengokmu setiap kali aku
memiliki waktu” jawab Jenderal Xu Da dengan ekspresi puas dan senang.
Jenderal Chang Yu
Chun tersenyum senang. Benaknya memutar kembali kenangan saat pertama ia
bertemu dengan dua bocah kecil yang tengah dikejar oleh penduduk desa karena
ketahuan mencuri beras. Changyi kecil dan adiknya Chen. Saat itu ia telah
memiliki niat untuk mengambil dua bocah kecil itu sebagai anak angkat, terlebih
Changyi yang terlihat sangat berbeda dengan bocah-bocah lain seusianya. Namun
sayang, niat hatinya itu ternyata didahului oleh Jenderal Xu Da yang juga tertarik
dengan dua bocah pencuri beras yang menyusup ke dalam rombongan mereka untuk
menghindari kejaran penduduk desa yang marah. Dan rasa hormat serta
persahabatan yang kuat dalam hati pada Jenderal Xu Da-lah yang telah membuat
Jenderal Chang Yu Chun melepaskan harapannya untuk bisa mengangkat dua bocah
tersebut menjadi anggota keluarganya. Dan kini, tiba-tiba Jenderal Xu Da
menyerahkan putranya untuk belajar di bawah bimbingannya, dan itu artinya
secara tidak langsung bocah luar biasa yang dulu telah menarik hatinya tersebut
akan menjadi bagian dari dirinya pula, putranya, meski dari segi keilmuan.
Namun, meski begitu, bagi Jenderal Chang Yu Chun, hal tersebut tidaklah menjadi
masalah dan hatinya benar-benar merasa sangat bahagia.
Sementara hidangan terus
mengalir dan ketiga lelaki itu berbincang dalam suasana yang gembira. Changyi
sangat menikmati pembicaraan di antara Jenderal Xu Da dan Jenderal Chang Yu
Chun yang menceritakan pengalaman masing-masing dalam tugas. Bagi Changyi,
mendengar pengalaman dua jenderal besar sama seperti mempelajari
pengalaman-pengalaman baru tanpa ia harus melaluinya secara langsung. Hingga
kemudian, ketika matahari mulai condong ke arah barat, Jenderal Xu Da berpaling
pada putra angkatnya.
“Changyi, aku telah
mengutus Tamtama Bohai untuk mengantarkan suratku pada Kementerian Pertahanan.
Karena itu, sebaiknya kau pergi ke sekolah prajurit dan kemasi barang-barangmu.
Malam ini kau tidur di rumah karena besok pagi-pagi sekali kau harus berangkat
ke distrik pelatihan prajurit bersama dengan Jenderal Chang” ujar Jenderal Xu
Da sambil menatap putranya.
“Baik Ayah, jika
begitu… saya mohon diri sekarang” sahut Changyi mengangguk.
Jenderal Xu Da dan
Jenderal Chang Yu Chun mengangguk nyaris bersamaan saat Changyi bangkit dari
duduknya, membungkuk ke arah dua orang jenderal di depannya kemudian berlalu ke
arah pintu.
Hari telah mulai
menjelang sore. Musim gugur membuat angin tak terasa panas meski langit
terlihat cerah. Sesaat Changyi menarik nafas panjang menghirup udara yang kini
terasa segar dalam dadanya. Ia masih berdiri beberapa langkah dari pintu di
mana ayah angkatnya dan Jenderal Chang Yu Chun masih duduk dan berbincang.
Kedua kaki pemuda itu nyaris melangkah pergi saat mendadak, telinganya
menangkap suara Jenderal Chang Yu Chun yang menyebut namanya. Changyi tertegun
sementara tubuhnya sedikit berbalik ke belakang.
“Tapi Kakak Xu…jika
aku boleh bertanya, kenapa tiba-tiba kau memutuskan untuk mengirim putramu Changyi
ke distrik pelatihan prajurit di wilayah timur? Tempat itu sangat jauh.
Lagipula, aku ingat benar kau pernah mengatakan padaku bahwa kau sendiri yang
akan melatih putramu itu setelah pendidikannya di sekolah prajurit khusus
selesai. Lalu, kenapa kini kau berubah?. Maafkan aku Kakak Xu…aku bertanya
karena aku tahu benar kau bukanlah orang mudah mengubah apa yang menjadi
keputusanmu kecuali jika terjadi sesuatu yang besar. Apakah perkiraanku ini
benar?” terdengar suara Jenderal Chang Yu Chun di balik pintu di belakang
Changyi.
Dada Changyi berdegub
saat ia menyadari kebenaran di balik kata-kata Jenderal Chang Yu Chun. Meskipun
Changyi tak pernah mendengar Jenderal Xu Da mengatakan hendak melatihnya, namun
jauh di dasar hati, Changyi sangat mengharapkan hal tersebut sehingga saat ia
mendengar kalimat Jenderal Chang Yu Chun itu, hatinya bagaikan dipacu oleh rasa
penasaran yang mendadak meledak memenuhi ruang dadanya. Kenapa? Hal besar apa
yang membuat ayahnya mengubah keputusannya?. Kedua tangan Changyi mengepal saat
ia berusaha meredam gejolak jantungnya sementara pendengarannya kini tertuju ke
arah ruang di balik pintu di belakang punggungnya.
“Kau benar Adik
Chang” Jenderal Xu Da akhirnya menjawab setelah terdengar menghela nafas
panjang. “Memang keinginan hatiku adalah melatih sendiri putraku setelah ia
menyelesaikan pendidikannya di sekolah prajurit khusus. Namun, dua hari yang
lalu Yang Mulia Kaisar memanggilku dan memintaku untuk membimbing Pangeran Zhu
Di. Kau tahu bahwa Pangeran Keempat belajar bersama dengan Changyi di barak
sekolah calon prajurit khusus. Namun sehari setelah sayembara memasak itu, aku
telah mengajukan permohonan pada Yang Mulia Kaisar agar Pangeran Keempat
dilatih oleh orang-orang khusus di istana Pangeran. Aku melakukan hal itu
karena, bagaimanapun aku menyadari, keberadaan Xiao Chen di sisi Pangeran
Keempat akan membuat putraku sulit untuk memusatkan perhatian pada pelatihannya
sendiri. Yang Mulia Kaisar mengabulkan permohonanku, tapi dua hari yang lalu,
Yang Mulia Kaisar memberiku perintah untuk menjadi guru bagi Pangeran Zhu Di
sebagai ganti permohonanku yang telah dikabulkannya. Kita hanyalah prajurit
yang tidak bisa menolak perintah Kaisar. Namun, jika aku membimbing Pangeran
Keempat, maka itu berarti Pangeran Zhu Di akan sering berada di sisiku. Jika
Changyi juga berada di sisiku pada saat yang sama, maka aku khawatir jika hal
itu akan membuat hati putraku menjadi goyah dengan adanya Xiao Chen di dekat
Pangeran Zhu Di. Dan aku tidak ingin hal itu terjadi. Changyi tidak boleh goyah
karena adanya kesedihan yang berlangsung di depan matanya setidaknya sampai
jiwanya menjadi matang dan ia bisa menghadapi semuanya dengan kekuatan penuh
seperti diriku. Aku yakin Changyi akan bisa mengikuti jejakku Adik Chang, tapi
jika putraku terus dihantam kesedihan, maka aku khawatir itu akan mempengaruhi
kemampuannya sebagai prajurit nantinya. Karena itulah aku memutuskan untuk
menyerahkan putraku padamu sebab hanya kau yang kupercaya bisa membimbing
putraku. Apakah kini kau mengerti Adik Chang?”.
Sebuah ledakan
dahsyat perasaan haru membuat Changyi memejamkan keduanya kuat-kuat. Jadi
begitu rupanya, alasan kenapa ayahnya bisa mengubah keputusannya adalah karena
perintah Kaisar Ming Tai Zhu yang menghendaki ayahnya sebagai guru bagi
Pangeran Zhu Di. Dan karena Jenderal Xu Da tahu bahwa ia tak bisa menolak
perintah Kaisar, maka ayahnya tersebut memilih untuk mengirimnya ke Distrik
Pelatihan Prajurit di Wilayah Timur yang jauh agar ia tak perlu melihat
keberadaan Chen di sisi Pangeran Zhu setiap hari. Karena ayahnya tahu jika hal
itu akan sangat melukai hatinya. Lebih dari itu, perginya Pangeran Keempat dari
sekolah calon prajurit khusus ternyata adalah karena permohonan dari Jenderal
Xu Da dan bukan kehendak Pangeran Zhu Di. Sepasang rahang Changyi mengertak
saat ia berusaha menepis kabut tipis yang mulai menyelimuti kedua matanya dan
segera melangkah pergi menuju halaman di mana seorang pelayan telah menyiapkan
kudanya. Si Hitam meringkik keras saat tuannya melompat ke atas punggungnya dan
segera melesat cepat menuju sekolah prajurit seolah binatang yang luar biasa itu
mengerti dan merasakan gejolak rasa dalam hati pemuda tampan yang memegang erat
tali kekangnya.
Berita diambilnya
Changyi dari sekolah prajurit dan keputusan Jenderal Xu Da untuk mengirim
putranya ke distrik pelatihan prajurit di wilayah timur segera tersebar luas
hanya dalam sekejab, seolah setiap helai daun di seluruh penjuru istana telah
mengabarkan hal tersebut. Banyak pihak yang memahami keputusan Panglima
Tertinggi Kerajaan itu, namun tak sedikit pula yang terkejut dan bahkan
kemudian dihempas oleh rasa sedih.
Sebuah bayangan
berkelebat cepat menembus kabut di pagi yang belum sepenuhnya terang oleh
mentari pagi. Sosok bayangan yang jelas adalah seorang pemuda berpakaian mewah
dengan sebuah mahkota bertengger di kepalanya. Sinar matahari pagi yang belum
sepenuhnya menampakkan diri membiaskan binar lembut sebutir mutiara pada
mahkota yang dikenakannya. Sementara, beberapa tombak di belakang pemuda tampan
bermahkota mutiara tersebut, nampak jelas melesat pula sebuah bayangan lain.
Bayangan yang bergerak tanpa suara dengan gerak yang sangat ringan seolah
bayangan tersebut hanyalah sehelai asap tipis tanpa wujud nyata. Dan bayangan
yang sangat ringan tersebut terus mengikuti bayangan pemuda bermahkota mutiara
yang lebih dulu melesat beberapa tombak di depannya. Tanpa diketahui sama
sekali oleh si pemuda bermahkota!.
Hingga kemudian, pada
sebuah jalan setapak di sisi bukit, pemuda tampan dengan mahkota mutiara di
kepalanya tersebut berhenti. Rerumputan di atas jalan setapak masih meneteskan
embun pagi. Demikian pula helai-helai daun yang bergoyang pelan saat tetes demi
tetes embun bergulir pada permukaan wajah mereka untuk kemudian tetes-tetes
embun sejernih permata itu meluncur jatuh ke bumi, pada tanah jalan setapak
yang lembab. Sepasang mata pemuda bermahkota terlihat berkilau saat menatap
seorang pemuda lain yang duduk di atas kuda hitamnya. Pemuda berparas serupa
malaikat di atas kuda terlihat tenang memandang pada si pemuda bermahkota
mutiara.
“Kakak Changyi” desis
pemuda bermahkota mutiara pada pemuda rupawan di atas kuda hitam di depannya.
“Pangeran Zhu Di”
sahut Changyi sambil mengurai senyum indah di bibirnya yang berlekuk sempurna.
Pangeran Zhu Di
melangkah mendekat ke arah Changyi. Sepasang matanya yang biasanya berbinar
gembira kini terlihat sedih. Ia telah mendengar kabar perihal hendak dikirimnya
Changyi ke distrik pelatihan prajurit di wilayah timur dari Kasim Anta tadi
malam. Semula, ia merasa begitu gembira saat Kaisar memberitahunya bahwa ia
akan berlatih di bawah bimbingan Jenderal Xu Da secara langsung. Ia telah
membayangkan bahwa jika Jenderal Xu Da menjadi gurunya, maka ia akan memiliki
banyak kesempatan untuk bertemu dengan sahabatnya yang telah lama menghilang
dari hari-harinya. Karena itu, saat Kasim Anta membawa kabar bahwa Changyi akan
meninggalkan istana untuk tinggal di distrik pelatihan prajurit di wilayah
timur yang sangat jauh, Pangeran Zhu Di merasa sangat terkejut. Ia telah
mengirim satu utusan untuk menyampaikan surat bagi Changyi namun utusannya
tersebut kembali dan mengatakan bahwa ia tak bisa bertemu dengan Tuan Muda Xu
sebab tidak mendapatkan ijin dari Jenderal Xu Da yang tengah berbicara dengan
putranya dan Jenderal Chang Yu Chun di ruang dalam. Sang prajurit utusan hanya
mengatakan bahwa Tuan Muda Xu akan meninggalkan rumah dan berangkat ke distrik
pelatihan prajurit di wilayah timur pada pagi-pagi buta saat matahari belum
lagi muncul di ujung rerumputan.
Dan di sinilah ia
sekarang. Di atas jalan setapak di sisi bukit, di daerah perbatasan Ibukota Yingtian
tempat Changyi menunggunya. Changyi telah memberikan surat balasan untuknya dan
mengatakan bahwa sahabatnya tersebut akan menunggunya di sini.
“Jadi Kakak
benar-benar akan meninggalkan istana?” tanya Pangeran Zhu Di saat Changyi telah
berdiri di depannya. Sepasang alis sang pangeran yang tebal bagus terlihat
berkerut.
Changyi tersenyum
namun kepalanya mengangguk.
“Benar Pangeran…ini
perintah yang harus dilaksanakan dan selain itu hamba ingin membahagiakan ayah
hamba” sahutnya kemudian.
Pangeran Zhu Di
melengak dengan sinar tak setuju memancar di matanya.
“Tapi kenapa Paman Xu
Da mengirim Kakak ke wilayah timur? Kupikir Paman Xu Da akan melatih kita
berdua bersama-sama sehingga aku merasa sangat senang sekali. Tapi ternyata
Kakak justru meninggalkan istana untuk tinggal di distrik prajurit yang sangat
jauh” ujar Sang Pangeran Keempat dengan nada yang jelas menyiratkan kekecewaan.
“Distrik prajurit di
wilayah timur masih membutuhkan banyak prajurit Pangeran…sementara daerah itu
merupakan wilayah perbatasan sehingga Ayah merasa perlu untuk menambah jumlah
prajurit di sana” jawab Changyi pelan namun jelas terdengar di telinga Pangeran
Zhu Di.
Pangeran Zhu Di
terdiam. Meskipun ia menangkap alasan yang masuk akal dalam jawaban Changyi
tapi entah mengapa hatinya menangkap hal yang berbeda.
“Apakah…Kakak masih
marah padaku? Apakah Kakak belum bisa memaafkan aku karena Adik Chen menjadi
juru masak dan kasim untukku?” tanya Pangeran Zhu Di saat mengangkat wajahnya
dan menatap pemuda rupawan di depannya.
Changyi terkejut.
Sedetik rona wajahnya sedikit berubah namun segera sebuah senyum indah
mengembang menampakkan sederet gigi indah cemerlang.
“Kenapa Pangeran
berpikir demikian? Hamba sama sekali tidak marah pada Pangeran. Adik Chen
menjadi juru masak dan kasim bagi Pangeran, itu adalah garis hidup yang harus
dijalaninya. Hamba tidak memiliki alasan untuk marah. Hamba pergi ke distrik
prajurit karena seperti itulah perintah dari ayah hamba…bukan karena hal lain”
jawab Changyi di sela tawa kecilnya.
Pangeran Zhu Di
menghela nafas panjang. Sepasang matanya masih menatap Changyi nyaris tak
berkedip sebelum kemudian, setelah beberapa detik yang terasa lama bagi
Changyi, sang pangeran kesayangan Kaisar itu mengangguk.
“Baiklah Kakak…kalau
begitu biarlah sekarang aku akan berbicara pada Paman Xu Da agar membatalkan
perintahnya pada Kakak” ujar Pangeran Zhu Di sambil bersiap membalikkan tubuhnya.
“Pangeran Zhu Di!”
panggil Changyi cepat membuat gerakan Sang Pangeran Keempat seketika terhenti
dan pangeran tampan tersebut kembali menghadap ke arah Changyi. “Hamba kira hal
itu bukanlah hal yang baik. Hamba mohon Pangeran jangan melakukannya”.
Sepasang mata
Pangeran Zhu Di membesar mendengar jawaban Changyi.
“Kenapa Kakak? Kenapa
hal itu bukanlah hal yang baik?” tanya Pangeran Zhu Di dengan nada sedikit
meninggi. “Apakah karena Kakak memang ingin meninggalkan istana? Menjauhi diriku?”.
Changyi menghela
nafas dalam-dalam. Pangeran Zhu Di adalah seorang pangeran kecil yang sangat
cerdas. Bisa dikatakan, Pangeran Keempat adalah putra Kaisar Ming yang paling
cerdas di antara putra-putra kaisar yang lain. Sangat sulit untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
Pangeran Zhu Di karena bila jawaban yang diberikan tidak masuk akal maka sang
pangeran akan terus mencecar dengan pertanyaan-pertanyaan baru yang lebih sulit
untuk dijawab. Namun, hal lain yang paling memusingkan adalah sifat sang pangeran
yang kadang masih sangat kekanakan di balik kecerdasannya. Changyi
memperkirakan bahwa usia Pangeran Zhu Di tak lebih sama atau sebaya dengan usia
Xiao Chen, namun meskipun demikian, dalam hal kedewasaan berpikir, Xiao Chen
jauh di atas Sang Pangeran Keempat membuat Changyi sering berpikir bahwa menghadapi
Xiao Chen masih jauh lebih mudah karena kadangkala, justru Chen-lah yang
mengingatkannya akan hal-hal baik yang terlupakan olehnya karena gejolak emosi
dalam dirinya. Berhadapan dengan Pangeran Zhu Di membuat Changyi sering merasa
sedang berhadapan dengan adik kecilnya yang manja dan keras kepala.
“Adik Zhu Di” panggil
Changyi kemudian membuat sebuah binar cemerlang memancar dari sepasang mata
Pangeran Zhu Di saat ia mendengar kembali nama panggilan yang dulu selalu
diberikan Changyi padanya. “Tidak ada maksud untuk menjauhi Anda. Saya pergi ke
distrik prajurit di wilayah timur karena semata tugas yang diberikan oleh Ayah
Xu Da. Dan saat perintah itu diberikan, Ayah Xu Da berdiri sebagai Panglima
Perang Kerajaan sehingga, meskipun Jenderal Xu Da adalah ayah angkat saya,
namun sebagai Panglima Perang tertinggi, Jenderal Xu Da adalah pimpinan saya
yang harus saya junjung tinggi perintahnya dan saya laksanakan sebaik-baiknya.
Jika kemudian Anda menemui Jenderal Xu Da dan memintanya untuk mencabut kembali
perintahnya pada saya, maka itu bisa saja terjadi sebab Jenderal Xu Da pasti
akan melaksanakan apa yang menjadi perintah Anda sebagai bentuk ketaatannya
pada Yang Mulia Kaisar. Namun, jika hal itu terjadi, maka saya akan kehilangan
kehormatan saya sebagai seorang prajurit karena seorang prajurit yang menolak
atau meninggalkan tugas yang diberikan padanya, maka sama halnya prajurit itu
telah menelanjangi dirinya sendiri. Dan prajurit yang seperti itu pantas dihukum
mati”.
Pangeran Zhu Di
terkejut dan menatap Changyi. Ya, ia tahu perihal aturan kehormatan prajurit yang
tercatat dalam buku tentang wilayah kehormatan prajurit yang pernah dibacanya
bersama dengan Changyi. Tapi, haruskah ia kehilangan sahabat terbaiknya setelah
selama berhari-hari sejak sayembara memasak itu ia tak lagi bertemu dengan
Changyi?.
“Apakah jika Kakak
tinggal di distrik prajurit, Kakak akan berubah atau masihkan Kakak Changyi
akan seperti yang kukenal sebelumnya?” tanya Pangeran Zhu Di membuat Changyi
kembali tertawa kecil.
“Tentu saja saya
masih seperti yang Anda kenal Adik Zhu Di. Jarak tidak membuat segalanya bisa
berubah begitu saja” jawab Changyi kemudian.
Pangeran Zhu Di
terlihat senang. Kepalanya mengangguk setuju mendengar jawaban Changyi.
“Kalau begitu, Kakak
pasti akan kembali bukan?” tanyanya dengan nada memastikan.
Changyi tersenyum.
“Tentu saja saya akan pulang Adik Zhu Di”.
“Baiklah…jika begitu
aku mengijinkan Kakak berangkat sekarang” ujar Pangeran Keempat membuat Changyi
tertawa dalam hati.
“Terima kasih Adik
Zhu Di…” jawab Changyi sambil membungkuk hormat. “Kalau begitu, saya berangkat
sekarang”.
Pangeran Zhu Di
mengangguk dengan ekspresi senang. Ia percaya bahwa Changyi tak akan
mengingkari janjinya. Changyi pasti akan kembali. Itu pasti. Karenanya, saat
pemuda rupawan di depannya mulai melompat ke atas kuda hitam yang menunggu tak
jauh dari mereka, sang pangeran hanya menatap dengan senyumnya. Sementara
Changyi yang bersiap untuk menggebrak Si Hitam pergi mendadak menghentikan
gerakannya saat pandangannya menumbuk pada sehelai kain tipis kecil berwarna
putih yang bergerak tertiup angin di balik sebatang pohon dalam jarak beberapa
tombak di belakang Pangeran Zhu Di. Sebuah rasa sedih kembali menyusup di hati
Changyi saat ia mengenali sehelai kain tipis kecil itu sebagai ikat kepala Xiao
Chen. Bahkan di saat ia akan meninggalkan istana untuk waktu yang tak pasti
seperti sekarangpun, Chen tak bisa bertemu dan berbicara dengannya sekedar
untuk mengucapkan selamat tinggal. Meskipun, andai saja Chen mau memintanya
pada Pangeran Keempat, maka sang pangeran pasti akan dengan senang hati
mengijinkan si kasim kecil tersebut bertemu dengannya dan berbincang sebelum
kepergiannya. Namun, apakah itu akan ada artinya? Sebuah jarak tak kasat mata
seolah telah terbentang di antara dirinya dengan Chen saat ini, membuat adiknya
itu hanya berani mengikuti Pangeran Zhu Di diam-diam dan bersembunyi di balik
sebatang pohon jauh di belakang tanpa berani mendekat untuk menyapanya. Ia,
kakak dari Chen yang selama ini selalu melindungi anak itu – dan akan terus
melindunginya sampai kapanpun seperti janjinya di depan orangtua Chen dulu –
seperti telah menjadi orang lain bagi Chen saat ini. Seleret rasa sedih membuat
Changyi kembali menoleh ke arah Pangeran Keempat.
“Adik Zhu Di…bisakah
saya meminta satu hal pada Anda sebelum saya pergi?” tanya Changyi sambil
mengurai sebuah senyum.
Pangeran Zhu Di
segera mengangguk, sedetik setelah Changyi menyelesaikan pertanyaannya.
“Katakan saja
Kakak…apapun, selama aku bisa melakukannya untukmu” sahut Sang Pangeran penuh
semangat.
“Ini tentang Adik
Chen. Bisakah Anda melindunginya selama saya pergi?” tanya Changyi lebih
lanjut.
Sepasang mata
Pangeran Zhu Di membellaak sesaat, namun kemudian senyumnya lebar mengembang.
“Ah Kakak…kalau hal
itu, tanpa Kakak memintanya sekalipun aku pasti akan melindungi Adik Chen. Dia
adalah hidupku sekarang. Tak akan kubiarkan siapapun menyakitinya, bahkan
meskipun itu adalah Yang Mulia Kaisar sendiri” jawab Pangeran Zhu Di tegas.
Changyi tersenyum.
Tentu saja, ia bisa mengerti dan apa yang dikatakan oleh Sang Pangeran Keempat
sudah pasti bisa dipercayainya. Kepala Changyi mengangguk dengan ekspresi lega.
“Terima kasih Adik
Zhu Di…jika begitu saya berangkat sekarang” balas Changyi kemudian.
Pangeran Zhu Di
mengangkat tangan kanannya dan melambai, masih dengan senyum lebar mengembang.
Ia senang, bahwa akhirnya ia bisa mendapatkan kembali sahabatnya meskipun
kemudian mereka harus berpisah untuk sementara waktu. Karena itu, pangeran
berwajah tampan itu masih berdiri menunggu di atas jalan setapak saat kuda
hitam yang membawa Changyi melesat cepat meninggalkan sisi bukit dan kemudian
hilang di balik rerimbunan dedaunan yang lebat.
Sementara, jauh di
belakang Pangeran Zhu Di, di balik sebatang pohon pinus besar, sesosok tubuh
berdiri merapat dengan kepala tertunduk. Angin sepoi-sepoi mengibarkan ikat
kepalanya yang tipis. Wajah remaja kecil itu tidak terlihat jelas dengan
posisinya yang menunduk dalam. Namun, sebuah aliran bening mengalir membasahi
pipinya yang putih pucat.
“Selamat jalan
Kakak…semoga Thian selalu melindungi Kakak. Maafkan aku karena tidak berani
menemui Kakak untuk yang terakhir sebelum Kakak pergi. Aku akan selalu
menunggumu pulang” bisik bibir merah yang bergetar. Sebuah tarikan nafas
panjang terlihat dihela dengan rasa sedih yang nyata.
Satu lagi episode
kehidupan baru telah dimulai. Dan Chen tidak tahu, apakah episode baru ini akan
membawa kebahagiaan atau justru tragedi dalam kehidupannya dan satu-satunya
kakak yang sangat ia cintai. Untuk kedua kalinya, ia berpisah dengan Changyi
setelah kepergian kakaknya itu meninggalkan Kuil Bulan Merah untuk masuk ke
sekolah khusus prajurit beberapa tahun lalu. Sebuah suara hati nurani
membisikkan bahwa setelah perpisahan demi perpisahan yang menggoreskan luka di
hatinya, ia akan sama sekali kehilangan Changyi…
Maka, satu lagi
aliran deras airmata membasahi pipi Chen, mengiringi sedu sedan halus yang
mengguncang dada dan jantungnya.
************