Kamis, 21 Januari 2016

Straight - Episode 5 ( Bagian Tiga )


 Bulan bulat telah naik ke atas langit dan terlihat jauh seolah sengaja menjauh dari gapaian jemari sang awan. Angin bertiup sepoi membawa semburat rasa dingin musim gugur yang mulai menyapa. Helai-helai daun maple kuning dan merah jatuh menyapa tanah satu satu mengabarkan bahwa saatnya telah tiba untuk memeluk sang bumi.
Changyi berhenti di bawah sebatang pohon maple besar dan membiarkan beberapa kuntum daun yang jatuh tersangkut di sisi bahunya. Pandangannya jauh menembus awan dan meraih wajah rembulan dengan jemari tak kasat mata yang terulur dari dua matanya yang cemerlang.
Cemerlang namun bersemburat kesedihan.
Kesedihan yang sekaligus menyimpan kemarahan.
Ia tak tahu berapa jauh ia berlari meninggalkan Chen sendiri di tengah Taman Maple di sudut istana. Gemuruh rasa yang bercampur aduk dalam hati membuatnya tak lagi menoleh ke belakang.
Jadi, ia memang tidak bisa meninggalkan istana ini bukan? Karena jelas, ia tak akan pernah mampu untuk menepiskan keinginan dari Biksu Tua yang sangat dihormatinya. Orang yang telah dianggapnya sebagai guru sejatinya. Lalu, selain daripada itu, bisakah ia meninggalkan Jenderal Xu Da? Setelah semua kebaikan yang diberikan oleh Sang Jenderal Besar itu padanya, apakah ia akan begitu saja menghempaskan kebaikan itu demi mementingkan rasa diri sendiri yang tak sudi menanggung derita?
Tetapi, jika tidak…mampukah ia menjalani hidup di istana dengan kesedihan yang pasti akan dirasakannya setiap hari? Menjadi tuan bagi adiknya sendiri dan menerima pengormatan dari satu-satunya keluarga yang tersisa itu tepat di depan mata setiap kali ia dan Pangeran Keempat bertemu?. Ia tahu hal itu akan selalu terjadi sebab setelah menjadi bagian dari keluarga Jenderal Xu Da, Changyi selalu mendapatkan penghormatan dari siapapun di istana termasuk Kasim Anta, yang selalu mengikuti Pangeran Keempat ke manapun. Dan kini, Chen telah diangkat sebagai kasim kecil bagi Sang Pangeran yang menjadi sahabatnya itu sehingga dengan sendirinya ia akan sering bertemu dengan Chen, bukan sebagai adiknya melainkan sebagai kasim dan pelayan istana sebagaimana Kasim Anta sebelumnya.
Dan sebagaimana yang selalu dilakukan oleh Kasim Anta padanya, Chen akan harus membungkuk di depannya dan memberikan penghormatan. Sungguh, meskipun ia telah mulai terbiasa dengan bentuk-bentuk penghormatan dari semua orang di lingkungan istana setelah ia menjadi putra Jenderal Xu Da, namun tetap saja Changyi tak bisa membayangkan jika penghormatan tersebut berasal dari adiknya sendiri. Dan kenyataan itu kini telah benar-benar terpampang di depan mata tanpa ia mampu untuk menghindarinya. Jadi apa yang harus dilakukannya sekarang?
“Melarikan diri dari kenyataan hidup bukanlah sikap seorang prajurit sejati” sebuah suara besar yang penuh kharisma terdengar sangat jelas di belakang Changyi membuat remaja berwajah rupawan itu terperanjat dan seketika berbalik ke belakang. Sepasang matanya yang memerah sekejab membesar saat menemukan Jenderal Xu Da berdiri beberapa langkah. Kemudian, setelah sekilas mengusap kedua matanya, remaja yang kini telah nyaris setinggi Jenderal Xu Da tersebut segera membungkuk.
“Ayah…maaf saya tidak mengetahui kedatangan Ayah” sahut Changyi saat ia telah berdiri tegak kembali.
“Sepahit dan sepedih apapun kenyataan yang mesti dihadapi, seorang prajurit sejati akan tetap tegak berdiri tanpa sedikitpun memperlihatkan kelemahan hati. Apakah kau benar-benar telah memiliki tekad untuk menjadi seorang prajurit di dalam hatimu Xu Changyi?” suara Jenderal Xu Da terdengar mengalun pelan dalam nada yang tegas membuat Changyi segera menyadari adanya teguran dalam kalimat yang terdengar halus tersebut.
“Maafkan saya Ayah” kepala rupawan Changyi tertunduk. “Adik Chen adalah satu-satunya keluarga saya yang tersisa sehingga, jika Adik Chen kemudian harus berdiri pada posisi yang sama sekali berbeda, bagaimana saya harus menanggapi hal tersebut dan menjalani kehidupan yang sama sekali berbeda?”
Jenderal Xu Da mendengus pelan sebelum kemudian melangkah ke sisi putra angkatnya. Kepala berhias sanggul rambut dalam ikatan gelang perak tersebut terlihat menengadah menatap langit, pada rembulan yang mengayun lembut di antara arak awan-awan putih kelabu.
“Maka kau hanya perlu menjalaninya seperti hari-hari yang kau jalani sebelum hari ini” sahut Jenderal Xu Da tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah lembut sang rembulan.
“Ayah? Tapi bagaimana bisa?” alis indah Changyi berkerut sementara kepalanya berpaling ke arah Jenderal Xu Da.
“Changyi…lihatlah rembulan itu” ucap Sang Jenderal menunjuk ke langit membuat Changyi segera mengalihkan matanya ke wajah sang rembulan. “Kekuatan rembulan itu membuat seluruh malam membutuhkannya. Tapi rembulan itu tak pernah sekalipun memperlihatkan manakah malam yang disukainya dan manakah malam yang ingin dihindarinya. Sama sekali tidak karena sesungguhnya, rembulan melakukan tugasnya demi kesejatian diri sang rembulan itu sendiri sebagai bagian dari alam semesta. Bagi rembulan itu, setiap malam adalah sama, yaitu saat di mana ia mesti menjalankan tugasnya Seperti itulah jalan seorang prajurit yang tercipta untuk menjalankan tugas pada negara. Kau akan dihadapkan pada tugas yang tidak kau sukai namun kau harus melakukannya. Kau akan memiliki hal yang kau sukai namun kau tidak bisa melakukannya. Segalanya harus kau lakukan dengan perintah tertinggi yang kau terima. Namun, jauh di atas itu semua, seorang prajurit sejati menjalankan perintah yang diterimanya bukan karena ketundukannya pada sang pemberi perintah melainkan sebagai wujud baktinya pada negara. Dan nilai seorang prajurit ditentukan oleh seberapa besar ia mampu menjadi penjaga bagi negaranya, menjaga rasa patriot dalam hati dan tidak pernah surut ke belakang meskipun, apa yang terpampang di depan matanya adalah sebuah hal yang sangat menghancurkan hati. Apakah kau belum juga memahami hal itu Changyi?”
Changyi tertunduk. Ya, ia bisa mengingat dengan jelas tentang martabat dan jalan seorang prajurit dalam buku tentang strategi perang yang diberikan oleh ayah angkatnya melalui Biksu Tua di Kuil Bulan Merah. Dan kini, ujian pertama yang harus dihadapinya sebagai seorang prajurit telah terpampang di depan mata. Sanggupkah ia menyambut ujian itu dan meneruskan langkahnya sebagai seorang prajurit seperti impiannya semula? Seperti harapan ayah angkatnya?...tapi kenapa ujian pertama ini justru datang dari seseorang yang paling dekat di hatinya? Kenapa justru Xiao Chen?
“Kau masih belum sepenuhnya menjadi seorang parjurit Changyi. Masih banyak hal yang harus kau pelajari sebelum Yang Mulia benar-benar meresmikan kalian sebagai prajurit khusus kerajaan. Karena itu, masih ada waktu bagimu jika memang kau ingin mundur dari jalan seorang prajurit. Aku tidak akan menghalangimu jika memang itu keinginanmu” desis Jenderal Xu Da sambil membalikkan tubuhnya dan mulai melangkah pergi.
Xu Changyi terkejut mendengar kalimat Jenderal Xu Da. Suara dalam kalimat tersebut terdengar pelan namun mengapa hatinya seperti tertusuk dan nyeri seolah kalimat ayah angkatnya itu dengan jelas menyampaikan rasa kecewa yang mendalam?
“Ayah?” panggil Changyi sebelum bayangan  tubuh Jenderal Xu Da benar-benar lenyap di balik sebatang pohon yang menghitam oleh gelapnya malam.
Langkah Jenderal Xu Da terhenti. Kepalanya sedikit menoleh melalui bahunya meski tak benar-benar berbalik ke arah putranya.
“Aku akan meninggalkanmu di sini Changyi. Gunakan waktumu malam ini untuk memikirkan jalan sesungguhnya yang ingin kau ambil dalam hidupmu. Jika kau ingin melanjutkan keinginanmu menjadi seorang prajurit seperti sebelumnya maka temuilah aku di rumah besok pagi. Namun, jika kau memilih untuk mendapatkan kembali kehidupan seperti yang kau inginkan bersama Xiao Chen, maka pergilah, jangan pernah lagi menampakkan diri di depanku”.
Sepasang mata Changyi membelalak sesaat mendengar kalimat Jenderal Xu Da. Seolah sebuah desiran angin yang sangat dingin menyelusup ke dalam dadanya membuat remaja itu seketika menggigil. Bisakah ia meninggalkan ayah angkatnya yang telah memberikan kehidupan baru padanya? Bisakah ia menepiskan kebaikan yang telah diterimanya dari Sang Jenderal Besar itu? Ia, yang sesungguhnya hanyalah anak seorang petani, karena kebaikan Jenderal Xu Da kini memiliki kehidupan yang terhormat sebagai seorang bangsawan, putra seorang Panglima Tertinggi kerajaan yang sangat disegani, dihormati dan ditakuti baik oleh kawan maupun lawan.
Tetapi, jika ia bertahan untuk tinggal di istana, bisakah ia menjalani hari-hari dengan melihat adiknya menjadi pelayan, menerima penghormatan dan pelayanan dari Chen sebagaimana Kasim Anta menghormati dan melayaninya setiap kali ia dan Pangeran Zhu Di bersama-sama? Bisakah ia menabahkan hatinya untuk mendapatkan semua itu, bukan lagi dari Kasim Anta melainkan dari Xiao Chen, nama yang selama ini menjadi semangat dalam dirinya, yang membuatnya mau dan mampu menjalani kehidupan yang berat di barak prajurit, menjalani pelatihan sebagai calon prajurit khusus di bawah tekanan Jenderal Lan Yu dan anak-anak angkatnya yang tak pernah bisa melupakan dendamnya pada Jenderal Xu Da…dan saudara lelaki yang membuatnya memiliki impian untuk meraih kehidupan terhormat sebagai prajurit kerajaan dan meninggakan masa lalu mereka berdua sebagai anak-anak yatim piatu yang mesti mencuri beras untuk bertahan hidup. Bisakah ia menerimanya? Mampukah ia?
Changyi menatap punggung ayah angkatnya dengan mata berkilat-kilat. Mulutnya bergetar separuh membuka untuk menyampaikan sebuah kalimat namun, mendadak sang jenderal besar itu telah melompat ke balik gelapnya rerimbunan pohon Maple dan kemudian, hanya dalam sekedip mata, sosok tinggi besar yang sangat dihormati itu telah lenyap dari pandangan mata Changyi, membuat sepasang mata jernih remaja rupawan tersebut meredup dan perlahan, aliran jernih bergulir memantulkan cahaya rembulan di langit yang jauh…

************


Sepuluh hari telah berlalu sejak Chen diangkat sebagai juru masak dan kasim khusus Pangeran Keempat. Seluruh penghuni istana mulai terbiasa dengan sosok Chen yang kini selalu mengikuti ke manapun Pangeran Zhu Di berada. Sang Kaisar dan Permaisuri Ma terlihat sangat gembira melihat kesehatan putra kecil mereka kini telah sepenuhnya pulih bahkan, semenjak Chen menjadi juru masak dan kasim khusus bagi Pangeran Keempat, jelas terlihat betapa Pangeran Zhu Di berubah semakin lincah dan cemerlang. Perubahan nyata yang bukan hanya membahagiakan bagi Kaisar dan Permaisuri namun juga seluruh penghuni istana.
Kecuali dua wajah yang meski terus berusaha untuk menunjukkan wajah gembira, namun tetap saja terlihat mendung yang menggayut di kejernihan dua pasang mata tersebut.
Pangeran Zhu Di telah memutuskan untuk berhenti belajar olah keprajuritan di barak prajurit khusus. Hal yang sesungguhnya bukan keinginan hatinya sendiri melainkan atas permohonan Jenderal Xu Da yang disampaikan pada Kaisar sembilan hari yang lalu.
Dan Pangeran Zhu Di mengerti, alasan di balik permohonan yang disampaikan oleh seorang jenderal besar yang amat sangat jarang mengajukan permintaan pada Kaisar tersebut. Menghilangnya Changyi dari kehidupannya dengan jelas menggambarkan apa sesungguhnya yang telah terjadi. Meskipun ia masih beberapa kali melihat sosok Changyi saat pertemuan agung di istana Kaisar, namun sahabatnya itu terlihat seperti telah berada dalam jarak yang sangat jauh darinya. Changyi bahkan tak pernah lagi menyambanginya di istana pangeran dan ia tak lagi memiliki keberanian untuk memanggil Changyi datang menemuinya di istana. Seluruh keberaniannya telah lenyap tergerus oleh rasa bersalah yang menggulungnya tanpa ampun.
Sementara Changyi sendiri – setelah menghabiskan waktunya di malam yang menentukan hidupnya – memutuskan untuk memilih jalannya sebagai seorang prajurit walaupun keputusan tersebut merupakan hal paling berat yang pernah dilakukannya selama kehidupannya hingga saat ini. Meski Changyi menyadari bahwa hari-hari setelah malam itu akan ia rasakan sebagai sebuah siksaan yang amat berat baginya, tetapi setidaknya, ia tidak akan menjalani kehidupannya sebagai seorang yang tidak tahu malu dan tak mengerti arti balas budi. Apa yang telah diberikan oleh Jenderal Xu Da padanya – dan sesungguhnya juga pada Xiao Chen – sangatlah besar dan tak akan pernah cukup untuk dibalasnya dengan seribu ucapan terima kasih dari hatinya yang terdalam. Bahkan, meskipun ia merasa sangat sedih dengan posisi Chen sebagai pelayan dan kasim di istana pangeran, namun di sisi lain Changyi mesti mengakui bahwa dengan posisi tersebut setidaknya Chen tidak akan kelaparan, hidup berkecukupan dan bahkan menerima penghormatan dari pelayan-pelayan lain di istana khususnya pelayan dan dayang di istana pangeran yang merasakan kehadiran Chen sebagai penyelamat hidup mereka dari hukuman mati Sang Kaisar Ming Tai Zhu. Sehingga, satu-satunya masalah yang dihadapinya saat ini hanyalah mengurus perasaannya sendiri. Rasa tersiksa dan sedih yang terus menggayutinya seperti bayangan hitam yang mengikutinya ke manapun. Changyi tak tahu, adakah orang yang bisa mengerti bahwa rasa itu sangatlah menyakitkan baginya?. Rasanya seperti ia benar-benar sendirian di istana ini sekarang. Bukan, bukan hanya di istana ini melainkan di seluruh penjuru mata angin, seolah tak ada lagi siapapun yang dikenalinya.
Karena itu, hal yang kemudian bisa dilakukan oleh Changyi hanyalah mengurangi pertemuannya dengan Pangeran Zhu Di. Jika ia tidak bertemu dengan Pangeran Keempat, maka dengan sendirinya ia tak perlu bertemu dan melihat bagaimana Chen akan membungkuk hormat padanya dan memanggilnya ‘Tuan Muda Xu’. Beberapa hari ini ia terus menenggelamkan diri dalam pelatihan olah keprajuritan di sekolah khusus. Satu hal yang sangat disyukuri oleh Changyi adalah bahwa Pangeran Zhu Di kini tak lagi belajar di tempat yang sama dengannya. Meski jauh di dalam hati, Changyi merasa terharu saat menyadari bahwa Sang Pangeran Keempat melakukan hal tersebut pastilah untuk melindungi perasaan hatinya.
Tetapi, sedalam apapun Changyi berusaha mengalihkan dirinya dari kenyataan sedih yang mesti dihadapinya, namun tetapi saja, ada saat-saat di mana semua kenangan kesedihan di depannya akan datang menghampiri lalu menggulungnya tanpa ampun. Ia sangat merindukan Chen. Ia sangat ingin berbincang dengan adiknya itu dan menceritakan segalanya. Ia sangat ingin bercanda dan tertawa dengan lepas seperti waktu-waktu yang lalu. Sekarang rasanya sangat berbeda baginya. Rasa rindu yang dirasakannya pada Chen di saat sekarang adiknya tersebut justru telah tinggal di bawah atap yang sama dengannya terasa sangat menyengat seolah ia telah beribu tahun tidak pernah bertemu dengan Chen. Sebelumnya, saat Chen masih tinggal di Kuil Bulan Merah, Changyi juga merasakan kerinduan pada adiknya namun kerinduan tersebut tidak sekuat sekarang dan bisa ditahannya. Bahkan sebelumnya, rasa rindu pada Chen justru membuat semangat Changyi semakin berkobar dan bukan rasa rindu yang membuat batinnya terasa pedih seperti sekarang.
“Pulanglah ke rumah. Ada hal yang ingin Ayah katakan padamu” pesan Jenderal Xu Da yang disampaikan oleh Tamtama Bohai tadi pagi.
Ada apa lagi sekarang? kening Changyi berkerut dalam sementara ia menghela kudanya perlahan menyusuri jalan berbatu di sisi tembok istana. Semoga tak ada lagi kenyataan pahit yang harus di hadapinya setelah hal paling sulit yang mesti dijalaninya saat ini. Ia sengaja meminta Tamtama Bohai untuk pergi lebih dulu hanya agar prajurit ayah angkatnya yang setia itu tak terlalu banyak melihat kesedihannya. Bagaimanapun, Changyi merasa malu jika ia tak berhasil menyembunyikan gejolak hatinya di depan orang lain. Terlebih orang lain itu adalah prajurit-prajurit setia di sekitar ayah angkatnya karena hal tersebut pasti akan membuat Jenderal Xu Da menjadi malu.
Changyi menarik nafas panjang sementara ia menyerahkan tali kekang kuda pada pelayan yang tergopoh-gopoh menyambutnya. Lelaki setengah baya yang telah lama dikenalnya sejak ia masih menjadi pengurus kuda di rumah Keluarga Xu itu membungkuk dan mengatakan bahwa Jenderal Xu Da telah menunggu di ruang utama bersama tamu yang lain. Changyi mengangguk sekilas. Bibirnya masih mengurai sebuah senyum yang indah untuk lelaki setengah baya di depannya sebelum kemudian langkahnya tegap menuju rumah di mana ayah angkatnya telah menunggu bersama tamu yang akan diperkenalkan kepadanya.
“Changyi-Ko?” sebuah suara panggilan merdu terdengar membuat langkah kaki Changyi terhenti. Pemuda itu menoleh ke arah asal suara dan segera senyumnya melebar memperlihatkan deretan gigi putih cemerlang di balik bibirnya yang indah berlekuk.
“Ah…rupanya Adik Xu Miaojin” sebut Changyi saat melihat seorang gadis berparas cantik berdiri di dekat pintu samping rumah. Xu Miaojin adalah putri Jenderal Xu Da yang kedua. Gadis itu cantiknya bukan main dengan tingkah laku yang lincah manja seperti burung hong. Changyi seringkali merasa gemas melihat gadis kecil yang menjadi adik angkatnya itu berdiri sambil menandak-nandak dalam kemanjaan di depannya. Setelah menjadi putra angkat Jenderal Xu Da, dengan sendirinya Changyi mengenal semua saudara-saudara angkatnya. Tiga di antara saudara angkat Changyi adalah anak-anak perempuan Jenderal Xu Da dari Nyonya Xu. Yang pertama seorang gadis berparas jelita dengan tingkah laku yang lembut dan anggun bernama Xu Guanjin. Putri kedua adalah Xu Miaojin yang tak pernah gagal membuatnya tertawa dengan keceriaan di wajah cantik manis gadis tersebut. Putri ketiga adalah seorang gadis berwajah cantik mungil dan memiliki sikap yang sangat pemalu bernama Xu Yinjin. Dari ketiga saudari angkatnya tersebut, Changyi lebih dekat pada Xu Guanjin dan Xu Miaojin. Sedangkan Xu Yinjin masih saja malu saat bertemu dengannya meski ia telah lama menjadi bagian dari Keluarga Xu.
Changyi berdiri menunggu sementara ia melihat Xu Miaojin berlari – dengan gaya menandak-nandak seperti biasanya – menuju ke arahnya. Wajah gadis yang mulai menginjak remaja itu terlihat berbinar-binar gembira membuat wajahnya semakin cantik dan manis menggemaskan. Rambutnya dijalin membentuk untaian yang membelit bagian atas kepala, disemat dengan kain sutera berwarna hijau muda yang lembut dan sisa dari kain yang panjang itu menjuntai di belakang punggung bersama rambut panjang tergerai yang hitam berkilau.
“Changyi-Ko!..Lama tidak pulang, apakah kau ingin mengajakku berburu kelinci lagi?” tanya Xu Miaojin saat sampai di depan Changyi.
“Adik Miaojin, tentu saja aku akan mengajakmu berburu kelinci lagi. Tapi tidak sekarang, karena hari ini aku harus menemui ayah” jawab Changyi dengan senyum melebar.
“Begitu ya? Jadi Changyi-Ko datang bukan untukku tapi untuk menemui Ayah? Kupikir Changyi-Ko datang karena ingin melihatku” bibir Miaojin cemberut.
Changyi tertawa. Tubuhnya sedikit membungkuk untuk mensejajarkan wajahnya dengan wajah gadis yang sedang cemberut di depannya.
“Tentu saja aku senang bertemu denganmu Adik Miaojin. Hanya saja untuk saat ini, Ayah sedang menunggu di dalam jadi kita pergi mencari kelinci lain waktu saja ya?” sahutnya di depan wajah Miaojin yang cemberut.
Xu Miaojin membanting satu kaki mungilnya ke tanah, namun cemberut di wajahnya jauh berkurang saat kedua matanya yang jernih menangkap tawa dan binar di wajah pemuda yang ada di depannya. Apa yang dilihatnya di wajah Changyi bukanlah sebuah seraut wajah melainkan pancaran sinar matahari yang indah dan membangkitkan seluruh kebahagiaannya. Ia tak pernah mampu untuk mempertahankan kejengkelannya di depan kakak angkatnya tersebut. Memangnya siapa yang dapat menahan hati dari wajah serupawan dewa di langit nirwana itu? Seluruh gadis dan wanita di semua penjuru kerajaan ini telah tahu bagaimana keelokan rupa seorang Tuan Muda Xu dan memendam kekaguman di dalam hati. Kekaguman yang melahirkan impian-impian indah di lubuk hati mereka. Termasuk di hati Miaojin, yang telah lama dipendamnya. Impian dan kekaguman yang pertama dalam hatinya pada seorang pemuda. Pertama tumbuh dan langsung mengambil tempat terbaik dan terdalam di hatinya.
“Ayah ada di dalam bersama Paman Chang Yu Chun. Sepertinya mereka memang sedang menunggu seseorang. Rupanya Changyi-Ko yang dinantikan” sahut Miaojin sambil mengerdik ke arah rumah utama.
Alis Changyi berkerut saat mendengar satu nama yang saat ini tengah menunggunya di dalam bersama ayah angkatnya. Jenderal Chang Yu Chun? Mengapa Jenderal Chang menunggunya? Bukankah sahabat Jenderal Xu Da itu bertugas di distrik pelatihan prajurit di wilayah timur dan sangat jarang datang ke ibukota selain bila ada pertemuan dengan Kaisar?. Lalu, kenapa hari ini tiba-tiba Jenderal Chang Yu Chun yang sangat dekat dengan ayah angkatnya itu datang ke ibukota dan menunggunya? Apakah Jenderal Xu Da yang telah meminta Jenderal Chang untuk datang? Tapi kenapa? Untuk apa?.
“Baiklah Adik Miaojin…aku akan segera menemui Ayah sekarang” sahut Changyi sambil menatap gadis kecil yang masih berdiri di depannya. Senyumnya kembali mengembang meski kini hatinya dipenuhi oleh tanya.
“Jangan lupa makan dulu bersama kami sebelum Changyi-Ko kembali ke sekolah prajurit nanti!” seru Xu Miaojin ke arah Changyi saat dilihatnya pemuda itu mulai melangkah cepat ke arah rumah utama.
Changyi melambai sekilas ke arah Xu Miaojin. Dadanya sedikit berdebar saat langkahnya semakin mendekati pintu ruang utama di mana Jenderal Xu Da telah menunggunya bersama dengan Jenderal Chang Yu Chun. Tinggal dua langkah lagi kakinya akan menginjak depan pintu saat mendadak sebuah suara lembut terdengar.
“Changyi-Ko?”
Changyi terhenti dan seketika menoleh. Sedikit rona ketegangan yang semula nampak di wajah rupawannya seketika memudar saat kedua matanya tertumbuk pada seraut wajah jelita yang sangat lembut. Wajah yang selalu memberikan kesejukan pada siapapun yang menatapnya seolah gadis jelita yang kini berdiri di depan Changyi tersebut adalah penjelmaan seorang dewi. Sinar keagungan yang memancar dengan sangat kuat membuat hati Changyi dipenuhi oleh rasa kagum sekaligus hormat. Inilah Xu Guanjin, putri sulung Jenderal Xu Da yang sangat terkenal dengan kecerdasan di balik kecantikan dan keanggunan penampilannya.
“Xu-Moi” bibir Changyi mengurai senyum sementara kedua matanya melembut.
Xu Guanjin sedikit membungkukkan tubuhnya membuat dada Changyi berdesir. Ia telah terbiasa mendapat penghormatan dari banyak orang. Rasa jengah dan risi yang dulu dirasakannya saat pertama kali ia menjadi putra angkat Jenderal Xu Da telah menghilang seiring dengan berjalannya waktu. Namun, kenapa setiap kali ia melihat Xu Guanjin memberi hormat padanya, ia selalu merasakan seolah jantungnya menjadi gelisah?. Kenapa gadis itu menghormat padanya? Ia hanyalah seorang anak angkat dalam Keluarga Xu, seharusnya Xu Guanjin tak perlu menghormatinya begitu rupa. Changyi membalas penghormatan yang diberikan gadis berparas jelita di depannya.
“Apakah Changyi-Ko hendak menemui Ayah?” tanya Xu Guanjin saat keduanya kembali saling berhadapan. Kedua mata seindah bintang cemerlang di depan Changyi tersebut menatap lurus ke depan.
Changyi mengangguk sekilas. Senyumnya mengembang semakin lebar sekedar menutupi desir jantungnya yang berdetak semakin kencang. Kenapa ia tak bisa mengalihkan pandangannya dari seraut wajah yang demikian indah di depannya itu?.
“Benar Xu-Moi…Ayah memanggilku untuk datang menghadap. Apakah Ayah ada di dalam?” sahut Chanyi sambil menunjuk kamar di belakangnya.
“Changyi!..cepat masuk! Kenapa kau hanya berdiri di depan pintu?” sebuah seruan keras dari dalam ruangan membuat Changyi dan Guanjin seketika menoleh ke arah ruang di mana Jenderal Xu Da duduk bersama Jenderal Chang Yu Chun.
“Sebaiknya Changyi-Ko segera masuk ke dalam, Ayah telah menunggu” bisik Guanjin pada Changyi membuat pemuda itu kembali menatap ke arah Xu Guanjin.
“Benar Xu-moi…kalau begitu sampai nanti” sahut Changyi mengangguk.
Xu Guanjin tersenyum dan sekali lagi menganguk hormat saat pemuda di depannya melangkah menuju ke arah pintu kemudian masuk ke dalam ruangan. Dilihatnya Changyi membungkuk penuh hormat pada Jenderal Xu Da dan Jenderal Chang Yu Chun.
“Guanjin!...bawakan minum untuk kakakmu!” suara Jenderal Xu Da mengagetkan Xu Guanjin dan ia dapat melihat tatapan ayahnya dari balik bahu Changyi sementara Changyi sendiri duduk tertunduk.
“Baik Ayah” sahut Xu Guanjin dengan gugup ketika ia menangkap kilatan tajam di mata ayahnya. Kepala gadis itu tertunduk sementara kakinya melangkah menuju ke dapur besar.
Sementara di dalam ruangan, Jenderal Xu Da menatap Chanyi yang telah duduk di depannya. Jenderal Chang Yu Chun turut menatap Changyi. Pandangan Jenderal Chang terlihat dipenuhi rasa kagum saat menatap pemuda yang tertunduk di hadapannya.
“Changyi, hari ini aku sengaja memanggilmu karena aku ingin mempertemukanmu dengan sahabatku Jenderal Chang Yu Chun. Kau telah mengenalnya karena kau beberapa kali bertemu degan Jenderal Chang” ucap Jenderal Xu Da mengawali kalimatnya.
Changyi mengangguk hormat. “Ya Ayah” sahutnya dengan suara pelan namun jelas.
“Nah Adik Chang…inilah putraku Changyi. Terakhir kau melihatnya pasti saat sayembara memasak beberapa hari yang lalu” ujar Jenderal Xu Da seraya memalingkan pandangannya ke arah Jenderal Chang Yu Chun yang duduk di sampingnya.
Jenderal Chang Yu Chun mengangguk-angguk sambil tersenyum.
“Benar Kakak Xu…beberapa hari lalu saat sayembara berlangsung aku memang melihat putramu ini. Itu belum lama tapi kenapa aku merasa seolah telah lama tidak melihatnya? Kau terlihat sangat berbeda Changyi. Kau sudah sebesar ini. Sekarang kau benar-benar telah menjadi seorang prajurit yang gagah seperti ayahmu” sahut Jenderal Chang Yu Chun.
Changyi tersenyum namun kepalanya menggeleng pelan.
“Paman Chang terlalu memuji. Saya sama sekali belum bisa disejajarkan dengan Ayah. Saya masih sangat dangkal dan perlu banyak belajar agar bisa seperti Ayah dan Paman Chang” ujar Changyi membuat tawa Jenderal Chang Yu Chun meledak.
Jenderal Xu Da tertawa dalam nada bangga. Satu tangannya mengelus janggutnya yang rapi.
“Kau benar Adik Chang…karena itulah aku memanggilmu. Aku terus berpikir untuk memberikan pelajaran yang lebih baik untuk putraku agar kelak ia bisa menggantikanku  menjaga Kaisar” kata Jenderal Xu Da setelah tawanya reda.
Jenderal Chan Yu Chun manggut-manggut dengan senyum terkulum. Ia telah mengetahui hal yang dimaksud oleh Jenderal Xu Da karena Sang Panglima Besar telah memberitahu sebelumnya saat ia baru saja bertemu dengan sahabatnya tersebut.
Sementara itu Jenderal Xu Da telah mengalihkan tatapan matanya ke arah Changyi yang duduk menunggu. Kali ini, kedua alis pemuda itu kembali berkerut setelah mendengar ucapan ayah angkatnya pada Jenderal Chang Yu Chun.
“Nah Changyi…kau dengarlah baik-baik. Tujuanku memanggilmu hari ini adalah karena aku telah meminta pada Kaisar untuk mengambilmu dari sekolah prajurit khusus. Pelajaran olah keprajuritan yang kau peroleh di sana telah lebih dari cukup dan untuk selanjutnya, aku ingin kau belajar langsung bersama dengan Jenderal Chang Yu Chun di Distrik Pelatihan Prajurit di wilayah timur. Kau mengerti Changyi?” ujar Jenderal Xu Da. Kali ini wajahnya yang penuh wibawa terlihat demikian bersungguh-sungguh.
Changyi tak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya. Wajahnya terangkat dan menatap ayah angkatnya. Mulutnya siap membuka namun segera membungkam kembali saat sebuah suara halus di depan pintu terdengar. Suara Xu Guanjin yang memohon ijin untuk masuk dan mengantarkan minuman.
Jenderal Xu Da menggumam pelan namun segera memerintahkan putrinya untuk masuk. Suara pintu bergeser dibuka terdengar di belakang Changyi disusul aroma harum yang menyerbu masuk. Terdapat dua aroma harum yang menyusup dalam penciuman Changyi. Satu aroma harum yang membawa keindahan bunga-bunga musim semi, dan Changyi sangat tahu bahwa keharuman musim semi itu hanya dibawa oleh tubuh gadis jelita yang selalu membuat jantungnya berdesir gelisah. Tak ada lagi selain Guanjin yang dapat membawa keindahan musim semi bahkan di saat alam di sekitar mereka tengah diamuk dinginnya udara musim gugur. Aroma harum kedua berasal dari satu guci kecil arak madu di atas nampan kayu. Seorang dayang berjalan mendekat ke arah meja dan Xu Guanjin mulai menata cangkir keramik di depan Jenderal Xu Da, Jenderal Chang Yu Chun dan terakhir di depan Changyi, meletakkan guci kecil arak madu tepat di tengah meja dan mengambil dua cangkir keramik milik Jenderal Xu Da dan Chang Yu Chun yang telah terpakai sebelumnya. Hal selanjutnya, jemari lentik gadis itu mulai menuangkan arak madu ke dalam masing-masing cangkir setelah menata beberapa piring kue yang terbuat dari beras, akar, dan buah.
Jenderal Xu Da berdehem dengan nada tak sabar sambil menatap putrinya.
“Sudahlah, tinggalkan saja biar nanti kakakmu yang melayani kami” ujar Jenderal Xu Da pada Xu Guanjin.
Sekilas Changyi melirik ke arah Guanjin dan melihat rona merah di pipi gadis itu. Hati Changyi kembali berdesir. Kenapa saudari angkatnya ini begitu anggun menawan hingga membuat Changyi merasa seolah tengah menatap sosok seorang ratu yang agung?.
Xu Guanjin mengangguk dan membungkuk ke arah dua jenderal di depannya, mengangguk sekilas ke arah Changyi sebelum kemudian melangkah keluar diikuti oleh sang dayang.
Sesaat setelah pintu kembali menutup, Changyi segera mengangkat pandangannya kembali ke arah ayah angkatnya.
“Ayah..apakah yang Ayah maksudkan saya belajar di distrik pelatihan prajurit bersama Paman Chang adalah…”
“Itu benar Changyi” potong Jenderal Xu Da cepat sebelum Changyi menyelesaikan kalimatnya. “Mulai besok kau akan belajar di distrik pelatihan prajurit di wilayah timur. Pamanmu sendiri yang akan membimbingmu karena itu sebaiknya kau mematuhi semua perintahnya. Jenderal Chang Yu Chun adalah sahabat baikku dan aku sangat percaya padanya. Aku sangat yakin, bersama dengan Jenderal Chang, kemampuanmu sebagai seorang prajurit akan terasah. Aku ingin kau bisa sepertiku Changyi dan kelak menggantikanku menjadi pelindung kaisar dan kerajaan ini”.
Changyi tercenung. Ia akan pergi ke distrik pelatihan prajurit di wilayah timur dan belajar di sana di bawah bimbingan Jenderal Chang Yu Chun?. Mendadak Changyi merasakan seleret keharuan menyusup saat sebuah pengertian menyeruak dalam benaknya akan maksud dari ayah angkat yang sebenarnya. Bahwa Jenderal Xu Da ingin melindunginya dari kesedihan yang mesti dihadapinya setiap hari sejak Chen menjadi juru masak dan kasim khusus Pangeran Keempat. Bahwa ternyata, masih ada seseorang yang memberikan perhatian padanya di saat Chanyi merasa sendirian menghadapi kesedihannya.
“Baik Ayah…saya akan melaksanakan perintah Ayah” sahut Changyi sambil mengangguk tegas. Meninggalkan istana adalah pilihan terbaik agar ia tak perlu bertemu Chen setiap hari dan merasakan hentakan kepedihan saat melihat adiknya tersebut membungkuk penuh hormat padanya dan memanggilnya dengan sebutan ‘Tuan Muda Xu’. Karena itu, tanpa keraguan lagi, Changyi langsung menyetujui apa yang diperintahkan oleh ayah angkatnya.
“Bagus Chanyi. Belajarlah sebaik-baiknya pada pamanmu. Aku akan menengokmu setiap kali aku memiliki waktu” jawab Jenderal Xu Da dengan ekspresi puas dan senang.
Jenderal Chang Yu Chun tersenyum senang. Benaknya memutar kembali kenangan saat pertama ia bertemu dengan dua bocah kecil yang tengah dikejar oleh penduduk desa karena ketahuan mencuri beras. Changyi kecil dan adiknya Chen. Saat itu ia telah memiliki niat untuk mengambil dua bocah kecil itu sebagai anak angkat, terlebih Changyi yang terlihat sangat berbeda dengan bocah-bocah lain seusianya. Namun sayang, niat hatinya itu ternyata didahului oleh Jenderal Xu Da yang juga tertarik dengan dua bocah pencuri beras yang menyusup ke dalam rombongan mereka untuk menghindari kejaran penduduk desa yang marah. Dan rasa hormat serta persahabatan yang kuat dalam hati pada Jenderal Xu Da-lah yang telah membuat Jenderal Chang Yu Chun melepaskan harapannya untuk bisa mengangkat dua bocah tersebut menjadi anggota keluarganya. Dan kini, tiba-tiba Jenderal Xu Da menyerahkan putranya untuk belajar di bawah bimbingannya, dan itu artinya secara tidak langsung bocah luar biasa yang dulu telah menarik hatinya tersebut akan menjadi bagian dari dirinya pula, putranya, meski dari segi keilmuan. Namun, meski begitu, bagi Jenderal Chang Yu Chun, hal tersebut tidaklah menjadi masalah dan hatinya benar-benar merasa sangat bahagia.
Sementara hidangan terus mengalir dan ketiga lelaki itu berbincang dalam suasana yang gembira. Changyi sangat menikmati pembicaraan di antara Jenderal Xu Da dan Jenderal Chang Yu Chun yang menceritakan pengalaman masing-masing dalam tugas. Bagi Changyi, mendengar pengalaman dua jenderal besar sama seperti mempelajari pengalaman-pengalaman baru tanpa ia harus melaluinya secara langsung. Hingga kemudian, ketika matahari mulai condong ke arah barat, Jenderal Xu Da berpaling pada putra angkatnya.
“Changyi, aku telah mengutus Tamtama Bohai untuk mengantarkan suratku pada Kementerian Pertahanan. Karena itu, sebaiknya kau pergi ke sekolah prajurit dan kemasi barang-barangmu. Malam ini kau tidur di rumah karena besok pagi-pagi sekali kau harus berangkat ke distrik pelatihan prajurit bersama dengan Jenderal Chang” ujar Jenderal Xu Da sambil menatap putranya.
“Baik Ayah, jika begitu… saya mohon diri sekarang” sahut Changyi mengangguk.
Jenderal Xu Da dan Jenderal Chang Yu Chun mengangguk nyaris bersamaan saat Changyi bangkit dari duduknya, membungkuk ke arah dua orang jenderal di depannya kemudian berlalu ke arah pintu.
Hari telah mulai menjelang sore. Musim gugur membuat angin tak terasa panas meski langit terlihat cerah. Sesaat Changyi menarik nafas panjang menghirup udara yang kini terasa segar dalam dadanya. Ia masih berdiri beberapa langkah dari pintu di mana ayah angkatnya dan Jenderal Chang Yu Chun masih duduk dan berbincang. Kedua kaki pemuda itu nyaris melangkah pergi saat mendadak, telinganya menangkap suara Jenderal Chang Yu Chun yang menyebut namanya. Changyi tertegun sementara tubuhnya sedikit berbalik ke belakang.
“Tapi Kakak Xu…jika aku boleh bertanya, kenapa tiba-tiba kau memutuskan untuk mengirim putramu Changyi ke distrik pelatihan prajurit di wilayah timur? Tempat itu sangat jauh. Lagipula, aku ingat benar kau pernah mengatakan padaku bahwa kau sendiri yang akan melatih putramu itu setelah pendidikannya di sekolah prajurit khusus selesai. Lalu, kenapa kini kau berubah?. Maafkan aku Kakak Xu…aku bertanya karena aku tahu benar kau bukanlah orang mudah mengubah apa yang menjadi keputusanmu kecuali jika terjadi sesuatu yang besar. Apakah perkiraanku ini benar?” terdengar suara Jenderal Chang Yu Chun di balik pintu di belakang Changyi.
Dada Changyi berdegub saat ia menyadari kebenaran di balik kata-kata Jenderal Chang Yu Chun. Meskipun Changyi tak pernah mendengar Jenderal Xu Da mengatakan hendak melatihnya, namun jauh di dasar hati, Changyi sangat mengharapkan hal tersebut sehingga saat ia mendengar kalimat Jenderal Chang Yu Chun itu, hatinya bagaikan dipacu oleh rasa penasaran yang mendadak meledak memenuhi ruang dadanya. Kenapa? Hal besar apa yang membuat ayahnya mengubah keputusannya?. Kedua tangan Changyi mengepal saat ia berusaha meredam gejolak jantungnya sementara pendengarannya kini tertuju ke arah ruang di balik pintu di belakang punggungnya.
“Kau benar Adik Chang” Jenderal Xu Da akhirnya menjawab setelah terdengar menghela nafas panjang. “Memang keinginan hatiku adalah melatih sendiri putraku setelah ia menyelesaikan pendidikannya di sekolah prajurit khusus. Namun, dua hari yang lalu Yang Mulia Kaisar memanggilku dan memintaku untuk membimbing Pangeran Zhu Di. Kau tahu bahwa Pangeran Keempat belajar bersama dengan Changyi di barak sekolah calon prajurit khusus. Namun sehari setelah sayembara memasak itu, aku telah mengajukan permohonan pada Yang Mulia Kaisar agar Pangeran Keempat dilatih oleh orang-orang khusus di istana Pangeran. Aku melakukan hal itu karena, bagaimanapun aku menyadari, keberadaan Xiao Chen di sisi Pangeran Keempat akan membuat putraku sulit untuk memusatkan perhatian pada pelatihannya sendiri. Yang Mulia Kaisar mengabulkan permohonanku, tapi dua hari yang lalu, Yang Mulia Kaisar memberiku perintah untuk menjadi guru bagi Pangeran Zhu Di sebagai ganti permohonanku yang telah dikabulkannya. Kita hanyalah prajurit yang tidak bisa menolak perintah Kaisar. Namun, jika aku membimbing Pangeran Keempat, maka itu berarti Pangeran Zhu Di akan sering berada di sisiku. Jika Changyi juga berada di sisiku pada saat yang sama, maka aku khawatir jika hal itu akan membuat hati putraku menjadi goyah dengan adanya Xiao Chen di dekat Pangeran Zhu Di. Dan aku tidak ingin hal itu terjadi. Changyi tidak boleh goyah karena adanya kesedihan yang berlangsung di depan matanya setidaknya sampai jiwanya menjadi matang dan ia bisa menghadapi semuanya dengan kekuatan penuh seperti diriku. Aku yakin Changyi akan bisa mengikuti jejakku Adik Chang, tapi jika putraku terus dihantam kesedihan, maka aku khawatir itu akan mempengaruhi kemampuannya sebagai prajurit nantinya. Karena itulah aku memutuskan untuk menyerahkan putraku padamu sebab hanya kau yang kupercaya bisa membimbing putraku. Apakah kini kau mengerti Adik Chang?”.
Sebuah ledakan dahsyat perasaan haru membuat Changyi memejamkan keduanya kuat-kuat. Jadi begitu rupanya, alasan kenapa ayahnya bisa mengubah keputusannya adalah karena perintah Kaisar Ming Tai Zhu yang menghendaki ayahnya sebagai guru bagi Pangeran Zhu Di. Dan karena Jenderal Xu Da tahu bahwa ia tak bisa menolak perintah Kaisar, maka ayahnya tersebut memilih untuk mengirimnya ke Distrik Pelatihan Prajurit di Wilayah Timur yang jauh agar ia tak perlu melihat keberadaan Chen di sisi Pangeran Zhu setiap hari. Karena ayahnya tahu jika hal itu akan sangat melukai hatinya. Lebih dari itu, perginya Pangeran Keempat dari sekolah calon prajurit khusus ternyata adalah karena permohonan dari Jenderal Xu Da dan bukan kehendak Pangeran Zhu Di. Sepasang rahang Changyi mengertak saat ia berusaha menepis kabut tipis yang mulai menyelimuti kedua matanya dan segera melangkah pergi menuju halaman di mana seorang pelayan telah menyiapkan kudanya. Si Hitam meringkik keras saat tuannya melompat ke atas punggungnya dan segera melesat cepat menuju sekolah prajurit seolah binatang yang luar biasa itu mengerti dan merasakan gejolak rasa dalam hati pemuda tampan yang memegang erat tali kekangnya.
Berita diambilnya Changyi dari sekolah prajurit dan keputusan Jenderal Xu Da untuk mengirim putranya ke distrik pelatihan prajurit di wilayah timur segera tersebar luas hanya dalam sekejab, seolah setiap helai daun di seluruh penjuru istana telah mengabarkan hal tersebut. Banyak pihak yang memahami keputusan Panglima Tertinggi Kerajaan itu, namun tak sedikit pula yang terkejut dan bahkan kemudian dihempas oleh rasa sedih.
Sebuah bayangan berkelebat cepat menembus kabut di pagi yang belum sepenuhnya terang oleh mentari pagi. Sosok bayangan yang jelas adalah seorang pemuda berpakaian mewah dengan sebuah mahkota bertengger di kepalanya. Sinar matahari pagi yang belum sepenuhnya menampakkan diri membiaskan binar lembut sebutir mutiara pada mahkota yang dikenakannya. Sementara, beberapa tombak di belakang pemuda tampan bermahkota mutiara tersebut, nampak jelas melesat pula sebuah bayangan lain. Bayangan yang bergerak tanpa suara dengan gerak yang sangat ringan seolah bayangan tersebut hanyalah sehelai asap tipis tanpa wujud nyata. Dan bayangan yang sangat ringan tersebut terus mengikuti bayangan pemuda bermahkota mutiara yang lebih dulu melesat beberapa tombak di depannya. Tanpa diketahui sama sekali oleh si pemuda bermahkota!.
Hingga kemudian, pada sebuah jalan setapak di sisi bukit, pemuda tampan dengan mahkota mutiara di kepalanya tersebut berhenti. Rerumputan di atas jalan setapak masih meneteskan embun pagi. Demikian pula helai-helai daun yang bergoyang pelan saat tetes demi tetes embun bergulir pada permukaan wajah mereka untuk kemudian tetes-tetes embun sejernih permata itu meluncur jatuh ke bumi, pada tanah jalan setapak yang lembab. Sepasang mata pemuda bermahkota terlihat berkilau saat menatap seorang pemuda lain yang duduk di atas kuda hitamnya. Pemuda berparas serupa malaikat di atas kuda terlihat tenang memandang pada si pemuda bermahkota mutiara.
“Kakak Changyi” desis pemuda bermahkota mutiara pada pemuda rupawan di atas kuda hitam di depannya.
“Pangeran Zhu Di” sahut Changyi sambil mengurai senyum indah di bibirnya yang berlekuk sempurna.
Pangeran Zhu Di melangkah mendekat ke arah Changyi. Sepasang matanya yang biasanya berbinar gembira kini terlihat sedih. Ia telah mendengar kabar perihal hendak dikirimnya Changyi ke distrik pelatihan prajurit di wilayah timur dari Kasim Anta tadi malam. Semula, ia merasa begitu gembira saat Kaisar memberitahunya bahwa ia akan berlatih di bawah bimbingan Jenderal Xu Da secara langsung. Ia telah membayangkan bahwa jika Jenderal Xu Da menjadi gurunya, maka ia akan memiliki banyak kesempatan untuk bertemu dengan sahabatnya yang telah lama menghilang dari hari-harinya. Karena itu, saat Kasim Anta membawa kabar bahwa Changyi akan meninggalkan istana untuk tinggal di distrik pelatihan prajurit di wilayah timur yang sangat jauh, Pangeran Zhu Di merasa sangat terkejut. Ia telah mengirim satu utusan untuk menyampaikan surat bagi Changyi namun utusannya tersebut kembali dan mengatakan bahwa ia tak bisa bertemu dengan Tuan Muda Xu sebab tidak mendapatkan ijin dari Jenderal Xu Da yang tengah berbicara dengan putranya dan Jenderal Chang Yu Chun di ruang dalam. Sang prajurit utusan hanya mengatakan bahwa Tuan Muda Xu akan meninggalkan rumah dan berangkat ke distrik pelatihan prajurit di wilayah timur pada pagi-pagi buta saat matahari belum lagi muncul di ujung rerumputan.
Dan di sinilah ia sekarang. Di atas jalan setapak di sisi bukit, di daerah perbatasan Ibukota Yingtian tempat Changyi menunggunya. Changyi telah memberikan surat balasan untuknya dan mengatakan bahwa sahabatnya tersebut akan menunggunya di sini.
“Jadi Kakak benar-benar akan meninggalkan istana?” tanya Pangeran Zhu Di saat Changyi telah berdiri di depannya. Sepasang alis sang pangeran yang tebal bagus terlihat berkerut.
Changyi tersenyum namun kepalanya mengangguk.
“Benar Pangeran…ini perintah yang harus dilaksanakan dan selain itu hamba ingin membahagiakan ayah hamba” sahutnya kemudian.
Pangeran Zhu Di melengak dengan sinar tak setuju memancar di matanya.
“Tapi kenapa Paman Xu Da mengirim Kakak ke wilayah timur? Kupikir Paman Xu Da akan melatih kita berdua bersama-sama sehingga aku merasa sangat senang sekali. Tapi ternyata Kakak justru meninggalkan istana untuk tinggal di distrik prajurit yang sangat jauh” ujar Sang Pangeran Keempat dengan nada yang jelas menyiratkan kekecewaan.
“Distrik prajurit di wilayah timur masih membutuhkan banyak prajurit Pangeran…sementara daerah itu merupakan wilayah perbatasan sehingga Ayah merasa perlu untuk menambah jumlah prajurit di sana” jawab Changyi pelan namun jelas terdengar di telinga Pangeran Zhu Di.
Pangeran Zhu Di terdiam. Meskipun ia menangkap alasan yang masuk akal dalam jawaban Changyi tapi entah mengapa hatinya menangkap hal yang berbeda.
“Apakah…Kakak masih marah padaku? Apakah Kakak belum bisa memaafkan aku karena Adik Chen menjadi juru masak dan kasim untukku?” tanya Pangeran Zhu Di saat mengangkat wajahnya dan menatap pemuda rupawan di depannya.
Changyi terkejut. Sedetik rona wajahnya sedikit berubah namun segera sebuah senyum indah mengembang menampakkan sederet gigi indah cemerlang.
“Kenapa Pangeran berpikir demikian? Hamba sama sekali tidak marah pada Pangeran. Adik Chen menjadi juru masak dan kasim bagi Pangeran, itu adalah garis hidup yang harus dijalaninya. Hamba tidak memiliki alasan untuk marah. Hamba pergi ke distrik prajurit karena seperti itulah perintah dari ayah hamba…bukan karena hal lain” jawab Changyi di sela tawa kecilnya.
Pangeran Zhu Di menghela nafas panjang. Sepasang matanya masih menatap Changyi nyaris tak berkedip sebelum kemudian, setelah beberapa detik yang terasa lama bagi Changyi, sang pangeran kesayangan Kaisar itu mengangguk.
“Baiklah Kakak…kalau begitu biarlah sekarang aku akan berbicara pada Paman Xu Da agar membatalkan perintahnya pada Kakak” ujar Pangeran Zhu Di sambil bersiap membalikkan tubuhnya.
“Pangeran Zhu Di!” panggil Changyi cepat membuat gerakan Sang Pangeran Keempat seketika terhenti dan pangeran tampan tersebut kembali menghadap ke arah Changyi. “Hamba kira hal itu bukanlah hal yang baik. Hamba mohon Pangeran jangan melakukannya”.
Sepasang mata Pangeran Zhu Di membesar mendengar jawaban Changyi.
“Kenapa Kakak? Kenapa hal itu bukanlah hal yang baik?” tanya Pangeran Zhu Di dengan nada sedikit meninggi. “Apakah karena Kakak memang ingin meninggalkan istana? Menjauhi diriku?”.
Changyi menghela nafas dalam-dalam. Pangeran Zhu Di adalah seorang pangeran kecil yang sangat cerdas. Bisa dikatakan, Pangeran Keempat adalah putra Kaisar Ming yang paling cerdas di antara putra-putra kaisar yang lain. Sangat sulit untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan Pangeran Zhu Di karena bila jawaban yang diberikan tidak masuk akal maka sang pangeran akan terus mencecar dengan pertanyaan-pertanyaan baru yang lebih sulit untuk dijawab. Namun, hal lain yang paling memusingkan adalah sifat sang pangeran yang kadang masih sangat kekanakan di balik kecerdasannya. Changyi memperkirakan bahwa usia Pangeran Zhu Di tak lebih sama atau sebaya dengan usia Xiao Chen, namun meskipun demikian, dalam hal kedewasaan berpikir, Xiao Chen jauh di atas Sang Pangeran Keempat membuat Changyi sering berpikir bahwa menghadapi Xiao Chen masih jauh lebih mudah karena kadangkala, justru Chen-lah yang mengingatkannya akan hal-hal baik yang terlupakan olehnya karena gejolak emosi dalam dirinya. Berhadapan dengan Pangeran Zhu Di membuat Changyi sering merasa sedang berhadapan dengan adik kecilnya yang manja dan keras kepala.
“Adik Zhu Di” panggil Changyi kemudian membuat sebuah binar cemerlang memancar dari sepasang mata Pangeran Zhu Di saat ia mendengar kembali nama panggilan yang dulu selalu diberikan Changyi padanya. “Tidak ada maksud untuk menjauhi Anda. Saya pergi ke distrik prajurit di wilayah timur karena semata tugas yang diberikan oleh Ayah Xu Da. Dan saat perintah itu diberikan, Ayah Xu Da berdiri sebagai Panglima Perang Kerajaan sehingga, meskipun Jenderal Xu Da adalah ayah angkat saya, namun sebagai Panglima Perang tertinggi, Jenderal Xu Da adalah pimpinan saya yang harus saya junjung tinggi perintahnya dan saya laksanakan sebaik-baiknya. Jika kemudian Anda menemui Jenderal Xu Da dan memintanya untuk mencabut kembali perintahnya pada saya, maka itu bisa saja terjadi sebab Jenderal Xu Da pasti akan melaksanakan apa yang menjadi perintah Anda sebagai bentuk ketaatannya pada Yang Mulia Kaisar. Namun, jika hal itu terjadi, maka saya akan kehilangan kehormatan saya sebagai seorang prajurit karena seorang prajurit yang menolak atau meninggalkan tugas yang diberikan padanya, maka sama halnya prajurit itu telah menelanjangi dirinya sendiri. Dan prajurit yang seperti itu pantas dihukum mati”.
Pangeran Zhu Di terkejut dan menatap Changyi. Ya, ia tahu perihal aturan kehormatan prajurit yang tercatat dalam buku tentang wilayah kehormatan prajurit yang pernah dibacanya bersama dengan Changyi. Tapi, haruskah ia kehilangan sahabat terbaiknya setelah selama berhari-hari sejak sayembara memasak itu ia tak lagi bertemu dengan Changyi?.
“Apakah jika Kakak tinggal di distrik prajurit, Kakak akan berubah atau masihkan Kakak Changyi akan seperti yang kukenal sebelumnya?” tanya Pangeran Zhu Di membuat Changyi kembali tertawa kecil.
“Tentu saja saya masih seperti yang Anda kenal Adik Zhu Di. Jarak tidak membuat segalanya bisa berubah begitu saja” jawab Changyi kemudian.
Pangeran Zhu Di terlihat senang. Kepalanya mengangguk setuju mendengar jawaban Changyi.
“Kalau begitu, Kakak pasti akan kembali bukan?” tanyanya dengan nada memastikan.
Changyi tersenyum. “Tentu saja saya akan pulang Adik Zhu Di”.
“Baiklah…jika begitu aku mengijinkan Kakak berangkat sekarang” ujar Pangeran Keempat membuat Changyi tertawa dalam hati.
“Terima kasih Adik Zhu Di…” jawab Changyi sambil membungkuk hormat. “Kalau begitu, saya berangkat sekarang”.
Pangeran Zhu Di mengangguk dengan ekspresi senang. Ia percaya bahwa Changyi tak akan mengingkari janjinya. Changyi pasti akan kembali. Itu pasti. Karenanya, saat pemuda rupawan di depannya mulai melompat ke atas kuda hitam yang menunggu tak jauh dari mereka, sang pangeran hanya menatap dengan senyumnya. Sementara Changyi yang bersiap untuk menggebrak Si Hitam pergi mendadak menghentikan gerakannya saat pandangannya menumbuk pada sehelai kain tipis kecil berwarna putih yang bergerak tertiup angin di balik sebatang pohon dalam jarak beberapa tombak di belakang Pangeran Zhu Di. Sebuah rasa sedih kembali menyusup di hati Changyi saat ia mengenali sehelai kain tipis kecil itu sebagai ikat kepala Xiao Chen. Bahkan di saat ia akan meninggalkan istana untuk waktu yang tak pasti seperti sekarangpun, Chen tak bisa bertemu dan berbicara dengannya sekedar untuk mengucapkan selamat tinggal. Meskipun, andai saja Chen mau memintanya pada Pangeran Keempat, maka sang pangeran pasti akan dengan senang hati mengijinkan si kasim kecil tersebut bertemu dengannya dan berbincang sebelum kepergiannya. Namun, apakah itu akan ada artinya? Sebuah jarak tak kasat mata seolah telah terbentang di antara dirinya dengan Chen saat ini, membuat adiknya itu hanya berani mengikuti Pangeran Zhu Di diam-diam dan bersembunyi di balik sebatang pohon jauh di belakang tanpa berani mendekat untuk menyapanya. Ia, kakak dari Chen yang selama ini selalu melindungi anak itu – dan akan terus melindunginya sampai kapanpun seperti janjinya di depan orangtua Chen dulu – seperti telah menjadi orang lain bagi Chen saat ini. Seleret rasa sedih membuat Changyi kembali menoleh ke arah Pangeran Keempat.
“Adik Zhu Di…bisakah saya meminta satu hal pada Anda sebelum saya pergi?” tanya Changyi sambil mengurai sebuah senyum.
Pangeran Zhu Di segera mengangguk, sedetik setelah Changyi menyelesaikan pertanyaannya.
“Katakan saja Kakak…apapun, selama aku bisa melakukannya untukmu” sahut Sang Pangeran penuh semangat.
“Ini tentang Adik Chen. Bisakah Anda melindunginya selama saya pergi?” tanya Changyi lebih lanjut.
Sepasang mata Pangeran Zhu Di membellaak sesaat, namun kemudian senyumnya lebar mengembang.
“Ah Kakak…kalau hal itu, tanpa Kakak memintanya sekalipun aku pasti akan melindungi Adik Chen. Dia adalah hidupku sekarang. Tak akan kubiarkan siapapun menyakitinya, bahkan meskipun itu adalah Yang Mulia Kaisar sendiri” jawab Pangeran Zhu Di tegas.
Changyi tersenyum. Tentu saja, ia bisa mengerti dan apa yang dikatakan oleh Sang Pangeran Keempat sudah pasti bisa dipercayainya. Kepala Changyi mengangguk dengan ekspresi lega.
“Terima kasih Adik Zhu Di…jika begitu saya berangkat sekarang” balas Changyi kemudian.
Pangeran Zhu Di mengangkat tangan kanannya dan melambai, masih dengan senyum lebar mengembang. Ia senang, bahwa akhirnya ia bisa mendapatkan kembali sahabatnya meskipun kemudian mereka harus berpisah untuk sementara waktu. Karena itu, pangeran berwajah tampan itu masih berdiri menunggu di atas jalan setapak saat kuda hitam yang membawa Changyi melesat cepat meninggalkan sisi bukit dan kemudian hilang di balik rerimbunan dedaunan yang lebat.
Sementara, jauh di belakang Pangeran Zhu Di, di balik sebatang pohon pinus besar, sesosok tubuh berdiri merapat dengan kepala tertunduk. Angin sepoi-sepoi mengibarkan ikat kepalanya yang tipis. Wajah remaja kecil itu tidak terlihat jelas dengan posisinya yang menunduk dalam. Namun, sebuah aliran bening mengalir membasahi pipinya yang putih pucat.
“Selamat jalan Kakak…semoga Thian selalu melindungi Kakak. Maafkan aku karena tidak berani menemui Kakak untuk yang terakhir sebelum Kakak pergi. Aku akan selalu menunggumu pulang” bisik bibir merah yang bergetar. Sebuah tarikan nafas panjang terlihat dihela dengan rasa sedih yang nyata.
Satu lagi episode kehidupan baru telah dimulai. Dan Chen tidak tahu, apakah episode baru ini akan membawa kebahagiaan atau justru tragedi dalam kehidupannya dan satu-satunya kakak yang sangat ia cintai. Untuk kedua kalinya, ia berpisah dengan Changyi setelah kepergian kakaknya itu meninggalkan Kuil Bulan Merah untuk masuk ke sekolah khusus prajurit beberapa tahun lalu. Sebuah suara hati nurani membisikkan bahwa setelah perpisahan demi perpisahan yang menggoreskan luka di hatinya, ia akan sama sekali kehilangan Changyi…
Maka, satu lagi aliran deras airmata membasahi pipi Chen, mengiringi sedu sedan halus yang mengguncang dada dan jantungnya.

************