Rabu, 07 Desember 2016

Straight - Episode 8 ( Bagian Tiga )

  Istana Pangeran Keempat…
“Bagaimana keadaannya?” tanya Pangeran Zhu Di pada seorang tabib yang baru saja keluar dari sebuah kamar. Raut cemas nyata terlihat di wajah Pangeran Zhu Di dan kecemasan itu semakin nyata saat ia melihat kemurungan di wajah sang penyembuh tersebut. “Katakan padaku..apakah kau sudah mengeluarkan racun dari tubuhnya?”.
Si tabib membungkukkan tubuhnya dengan penuh hormat pada Pangeran Zhu Di. Sesaat kemudian, saat tubuhnya telah menegak kembali, kepala sang penyembuh terlihat mengangguk.
“Itu benar  Pangeran..” jawabnya membuat Pangeran Zhu Di nyaris merasa lega hingga, rona murung yang jelas terlihat di wajah si tabib membuat sang pangeran mengerutkan keningnya.
“Lalu…apa masalahnya? Bukankah seharusnya sangat bagus jika racunnya sudah keluar?” tanya Pangeran Zhu Di. Kecemasan yang memancar dari wajah tampannya semakin terlihat. “Katakan padaku hal yang sesungguhnya”.
“Ampunkan hamba Pangeran” desah si tabib dengan nada sedih. “Luka di tubuh Tuan Kasim bukan hanya disebabkan oleh racun saja melainkan luka-luka tubuh oleh sebab pukulan yang diterimanya di sekujur tubuh”.
“Lantas?...Tidakkah kau bisa melakukan sesuatu? Selamatkan dia! Cepat masuk ke dalam dan lakukan apapun dengan kemampuanmu! Aku ingin dia selamat. Ini perintah!” tandas Pangeran Zhu Di dengan nada meninggi membuat si tabib semakin gemetar oleh rasa takut.
“Baik Pangeran…hamba akan berusaha” jawab si tabib dengan tubuh yang membungkuk dalam. Lelaki itu telah berbalik dan siap masuk kembali ke dalam ruangan dimana ia semula berada.
Namun, belum lagi kakinya menapak, mendadak pintu yang tertutup itu membuka dan seorang tabib lain keluar dengan raut wajah menggambarkan kecemasan dan rasa takut. Tubuhnya membungkuk dalam di hadapan Pangeran Zhu Di.
“Ada apa?” tanya Pangeran Zhu Di mendahului demikian ia melihat tabib yang baru saja keluar dari dalam kamar.
“Pangeran...Tuan Kasim sangat ingin melihat Pangeran” sahut si tabib dengan kepala menunduk membuat kening Pangeran Zhu Di berkerut.
“Kenapa? Apakah keadaannya sudah lebih baik?” tanya Pangeran Zhu Di.
Si tabib yang baru saja keluar melirik ke arah tabib pertama dengan gelisah. Tabib pertama mengangguk ke arah temannya setelah menatap Pangeran Zhu Di sesaat.
“Katakan saja” bisik tabib pertama membuat hati Pangeran Zhu Di berdesir.
“Kenapa kalian berbisik-bisik? Katakan padaku yang sesungguhnya! Apakah kalian bisa menyelamatkannya?” tanya Pangeran Zhu Di dengan nada tak sabar.
“Ampunilah kami Pangeran…kami telah berusaha. Tapi, luka-luka Tuan Kasim sangatlah parah. Racun yang diminum oleh Tuan kasim memang telah berhasil kami keluarkan, namun luka-luka akibat pukulan di seluruh tubuhnya telah mematahkan beberapa tulang termasuk tulang di bagian punggung serta pendarahan yang sangat parah di bagian dalam” sahut tabib kedua dengan suara pelan namun jernih hingga jelas terdengar di telinga Pangeran Zhu Di.
Pangeran Keempat memejamkan matanya saat kalimat demi kalimat yang diucapkan oleh tabib di depannya merasuk ke dalam benak dan menciptakan satu-satunya pengertian yang bisa ia tangkap. Hal yang semakin terasa menyesakkan hati dan sungguh ia tak pernah menyangka bahwa kesesakan seperti ini akan dirasakannya. Rasa sesak yang sedih dan sangat jauh berbeda dengan rasa sedih yang ia rasakan jika apa yang ia inginkan tak tergapai atau tidak menjadi kenyataan. Rasa sedih ini terasa memenuhi ruang dadanya hingga membuat ia merasa seolah sulit untuk menarik nafas sehingga kesedihan itu terasa menetap dan tak mau menguap pergi seperti kesedihan-keksedihan yang lain.
“Kalian tidak bisa mengeluarkan darah yang mengumpul di dalam tubuhnya?” tanya Pangeran Zhu Di saat kedua matanya telah kembali membuka. Cahaya lentera yang tergantung di langit-langit beranda membiaskan kesedihan yang membalut wajah tampan pangeran muda tersebut.
“Pangeran, untuk mengeluarkan darahnya, kami harus membuka beberapa bagian luka di tubuhnya. Tetapi hal tersebut akan sangat berbahaya karena luka di tubuh Tuan Kasim akibat pukulan itu telah membuat banyak sekali urat darah besar menjadi pecah. Jika kami menyayat tubuh Tuan Kasim untuk mengeluarkan darah yang mengumpul di dalam maka urat darah besar yang pecah itu akan memiliki jalan untuk menyemburkan darah ke luar tubuh” jawab tabib pertama.
Pangeran Zhu Di terdiam. Meskipun ia bukanlah seorang tabib namun ia dapat memahami apa yang dikatakan oleh dua tabib istana tersebut.
“Ampuni kami Pangeran” kata tabib kedua. “Menurut kami, akan lebih baik jika Pangeran menemui Tuan Kasim karena tadi ia mengatakan sangat ingin bertemu dengan Pangeran jika diijinkan. Kami rasa, waktu yang dimiliki oleh Tuan Kasim tidaklah lama”.
Pangeran Zhu Di menghela nafas sesaat. Sepasang matanya menatap ke arah pintu yang tertutup rapat sebelum kemudian kakinya mulai melangkah. Kedua tabib yang berdiri di depan sang pangeran menepi untuk emmberi jalan pada Pangeran Zhu Di kemudian membungkukkan tubuh mereka dalam-dalam. Terlihat jelas raut penyesalan di wajah keduanya terlebih saat mereka menangkap kesedihan yang memancar dari pangeran muda kesayangan kaisar.
Sementara Pangeran Zhu Di yang telah masuk ke dalam kamar kini berdiri tepat di sisi ranjang tempat seorang lelaki tergeletak dalam balutan pakaian yang penuh dengan noda darah. Pakaian kasim itu telah di ganti dengan yang bersih namun darah yang mengalir dari luka di seluruh tubuh lelaki malang tersebut masih terus mengucur membuat perut Pangeran Zhu Di serasa ditendang saat bayangan puluhan batang kayu yang keras dan kuat terayun lalu menghempas ke tubuh yang telah sangat akrab dengannya di sepanjang usianya hingga hari ini membayang dalam benaknya.
Perlahan Pangeran Zhu Di melangkah mendekati lelaki yang tergeletak di atas ranjang tersebut. Sepasang mata yang terpejam rapat seolah tak menyadari kehadiran pangeran keempat namun, saat jarak antara sang pangeran dengan lelaki itu tinggal dua langkah, mendadak sepasang mata yang terpejam rapat tersebut membuka kemudian dalam gerak lemah bergerak mencari dan menemukan sosok gagah yang berdiri dalam jarak sangat dekat dengannya.
Dalam sekejab, sepasang mata yang baru saja membuka itu merebak mengiringi gerak tangan yang lemah menggapai ke arah Pangeran Zhu Di. Pangeran keempat tertegun sesaat seolah kedua kakinya terpaku pada lantai yang dipijaknya hingga kemudian, saat ia melihat jemari yang lemah menggapai terayun ke arahnya, perlahan pangeran muda yang tampan dan cerdas itu mendekat dan duduk di sisi ranjang, membiarkan tangan yang menggapai tersebut menemukan pencariannya, mengelus pipinya membuat Pangeran Zhu Di merasa seolah sebongkah batu padas yang tajam dan keras telah mengganjal lehernya dan menciptakan rasa sakit luar biasa saat ia berusaha untuk menelan ludah. Sepasang mata Pangeran Zhu Di lurus tertuju pada wajah lelaki yang terbaring di sisinya. Wajah yang telah menemaninya sejak pertama ia membuka mata hingga hari ini namun baru kali ini ia sungguh-sungguh memperhatikan wajah tersebut. Baru kali ini ia menyadari betapa wajah yang kini terbaring di atas ranjangnya itu telah dipenuhi garis-garis penuaan. Baru saat ini ia menyadari bahwa sepasang mata yang kini tengah menatapnya dengan aliran air mata itu dipenuhi binar kelembutan yang bahkan tak pernah ia temukan di kedalaman sepasang mata Kaisar Hongwu, ayahnya sendiri.
Dan semua yang baru saat ini ditemukannya tersebut membuat dada sang pangeran serasa dihantam palu dengan telak.
“Pangeran…” suara parau yang kemudian terdengar keluar terdengar bagaikan sebuah teriakan keras di telinga Pangeran Zhu Di membuat sang pangeran mengerenyitkan alisnya.
“Pangeran hamba…” suara parau itu kembali terdengar. Kali ini lebih jelas meski nadanya semakin lemah. “Ternyata…waktu sungguh cepat sekali berjalan…Anda…sungguh tampan dan gagah sekarang”.
Pangeran Zhu Di kembali berusaha menelan bongkahan batu padas yang mengganjal lehernya. Semakin sakit hingga membuat sepasang matanya memanas.
“Apa yang kau lakukan? Kenapa kau lakukan ini? Kenapa kau ini bodoh sekali?” bisik Pangeran Zhu Di. Kemarahan yang meluap dalam dadanya terasa sia-sia saat kepedihan yang jauh lebih besar menindas hingga suara bisikan yang keluar tak lebih dari sebuah rintihan belaka.
Sepasang mata yang mengalirkan sepasang anak sungai dari mata air jiwa di depan Pangeran Zhu Di mengerjab. Jelas terlihat bahwa lelaki itu tengah mengumpulkan tenaganya yang semakin menyusut.
“Kasim Chen…dia…baik-baik saja” sepasang bibir membiru di depan Pangeran Zhu Di terlihat bergetar saat kalimatnya terucap. Namun jelas sekelumit senyum terurai. Bukan senyum pahit namun lebih tepat di sebut sebuah senyum yang menyiratkan kepuasan.
Kening Pangeran Zhu Di berkerut. Apa yang baru saja di dengarnya bukanlah sebuah berita yang buruk namun saat ini apa yang tengah dihadapinya, kenyataan apa yang baru saja diketahuinya membuat hatinya seperti tertutup untuk berita baik manapun.
“Kau tidak menjawab pertanyaanku? Kenapa kau lakukan ini? Kenapa kau mengatakan pada Yang Mulia bahwa kau pelakunya? Kenapa kau menerima apa yang seharusnya tidak kau terima?” bentak Pangeran Zhu Di dalam bisiknya. Tangan kanan halus sang pangeran meraih tangan penuh luka yang tengah membelai pipinya dan menggenggam tangan yang sangat dikenalnya itu kuat-kuat. “Kenapa kau ini bodoh sekali?”.
Senyum di bibir membiru itu melebar.
“Syukurlah…Kasim Chen sekarang…bisa menemani Pangeran. Hamba, Anta yang tua ini…merasa tenang”.
Pandangan Pangeran Zhu Di terasa mengabur. Kini kedua tangannya terulur dan memegang bahu Kasim Anta saat kedua mata lelaki tua itu memejam.
“Kau harus menjawab pertanyaanku, kau dengar? Seharusnya kau mengatakan padaku apa yang akan kau lakukan!...cepat buka matamu dan jawab pertanyaanku! Cepat buka matamu, apa kau tidak mendengarku? Ini perintah!” seru Pangeran Zhu Di dengan panik saat lelaki yang telah sangat akrab dengannya itu semakin melemas.
Kasim Anta mengerang pelan seiring mengalirnya segumpal darah segar dari mulutnya yang membuat kedua mata Pangeran Zhu Di terbelalak. Dalam sekejab sang pangeran terpana namun kemudian, tangan sang pangeran yang halus itu mengusap darah yang meleleh keluar dari mulut Kasim Anta. Rasa sakit yang tajam semakin keras menusuk leher Pangeran Zhu Di membuat kening pangeran muda itu berkerut dalam.
“Pangeran…Pangeran…” panggil Kasim Anta sayup-sayup jauh.
Pangeran Zhu Di menggenggam tangan Kasim Anta kuat-kuat. Satu suara di dasar hatinya membisikkan sebuah kenyataan yang sepertinya memang harus diterimanya.
“Tabib akan mengobatimu, kau pasti akan sembuh” ujar Pangeran Zhu Di mengingkari bisikan kata hatinya. 
“Mohon…panggil hamba…Pangeran, panggillah hamba” bisik Kasim Anta nyaris tak terdengar.
“Apa yang kau katakan? Tak terhitung kali aku memanggilmu selama ini, panggilan apa lagi yang harus kuberikan padamu?!” tanya Pangeran Zhu Di dengan keras sementara genggamannya pada tangan Kasim Anta semakin menguat. Namun, kasim yang telah dikenalinya sejak pertama ia membuka mata itu seperti tak merasakan sedikitpun kekuatan tangan yang mencengkeram hingga buku-buku jemarinya memutih. Seolah, semua rasa telah memudar dan pergi dari seluruh tubuh tua yang kini tergeletak lemah di depannya tersebut.
Kasim Anta terlihat menggeleng lemah. Satu kali terceguk sebelum kemudian satu lelehan darah hitam kembali mengalir keluar dari sela bibir yang semakin membiru.
“Panggil hamba…Pangeranku” bisik Kasim Anta semakin jauh.
Pangeran Zhu Di panik. Ia benar-benar tak mengerti apa yang dimaksud oleh kasimnya itu. Memanggil? Apa maksud Kasim Anta dengan memanggilnya itu? selama ini, sejak ia lahir dan mulai bisa berbicara hingga batas umurnya di hari ini, telah tak terhitung kali ia memanggil kasimnya itu. Bukan hanya karena kebutuhan tapi juga karena Kasim Anta adalah satu-satunya teman setia yang rela mengikutinya kemanapun, melakukan segala perintahnya meski seringkali, apa yang ia perintahkan adalah hal-hal yang konyol buah kenakalannya. Kasim Anta, baginya bukan hanya sekedar kasim, pembantu ataupun perawat melainkan adalah keluarganya. Meskipun tetap tak bisa mengalihkan tempat Kaisar Hongwu sebagai ayah kandungnya, dan Permaisuri Ma sebagai ibu kandungnya, namun keberadaan Kasim Anta terasakan seperti seorang paman yang sederhana dan selau ada untuknya, yang selalu menjaga dan mengasihinya lebih dari yang bisa diberikan oleh siapapun selain orangtua kandungnya sendiri. Jadi, panggilan apa lagi…
Mendadak Pangeran Zhu Di tersentak saat ia menyadari sesuatu. Ya, memang tak terhitung kali ia memanggil kasim tuanya itu, namun panggilan yang ia berikan adalah…’bodoh’, ‘tolol’, ‘kau’, ‘orangtua lamban’, dan puluhan panggilan lain yang kesemuanya keluar dengan semburan rasa jengkelnya. Panggilan yang sesungguhnya sama sekali berlawanan dengan besarnya arti kasim tua itu baginya.
Kabut di kedua mata Pangeran Zhu Di semakin menebal seiring rasa sakit baru yang muncul secara tiba-tiba bersama kesadarannya. Sakit yang mungkin telah terlambat untuk diobati. Sakit yang datang disaat ia menyadari bahwa ia telah mensia-siakan orang yang sebenarnya sangatlah berarti baginya namun kesadaran itu muncul justru disaat hati kecilnya membisikkan keterlambatan waktu baginya. Pangeran Zhu Di menarik nafas panjang mencoba mengurai ikatan menyesakkan yang menjerat ruang dadanya sebelum kemudian bibirnya bergerak.
“Paman…Paman Anta” bisik bibir indah Pangeran Zhu Di. Bisik halus yang memberikan pengaruh luar biasa pada tubuh tua di depan sang pangeran. Sepasang mata Kasim Anta yang semula telah menutup, membuka dalam binar cahaya yang jelas menunjukkan rasa bahagia sementara bibir yang tak henti melelehkan darah hitam itu terlihat kembali mengurai senyum. Hati Pangeran Zhu Di terasa dicabik dengan keras. Ternyata dugaannya benar. Bibir sang pangeran bergetar saat bisikannya kembali terdengar. “Paman Anta, kau dengar aku? Tabib pasti akan…menyembuhkanmu”.
Sepasang mata Kasim Anta menatap Pangeran Zhu Di. Tak banyak cahaya yang tersisa dalam pancaran binar di mata itu. Hanya pesan bahagia yang terlihat dengan jelas sementara sepasang bibir yang mengurai senyum itu tetap terkatup tanpa tanda gerak adanya kata.
“Paman Anta…bicaralah padaku” bisik Pangeran Zhu Di. Nadanya yang dihiasi getar melukiskan gemuruh hebat di dada pemuda itu. “Kumohon bicaralah padaku”.
Tetap sunyi melingkupi ruang kamar yang mewah milik Pangeran Zhu Di. Tetapi, seolah dapat mendengar gemuruh di hati pangeran keempat, mendadak Kasim Anta menarik satu tangannya dari genggaman Pangeran Zhu Di lalu, dengan gerak lemah, tangan yang telah terbebas itu terangkat ke arah pipi Pangeran Zhu Di dan membekap pipi halus yang mendingin oleh kepanikan yang datang menggulung.
Pangeran Zhu Di sedikit menelengkan kepalanya ke arah telapak tangan yang mendekap pipinya. Sepasang matanya mengerjab seolah dengan cara itu, kabut tebal yang menghalangi pandangannya dapat tertepis. Kesunyian yang melingkupi ruang kamar semakin kental terasa. Pangeran Zhu Di telah mendiami kamar ini sejak awal mula kehidupannya sehingga ia sangat mengenali setiap sudutnya. Entah berapa kali ia berdiam sendiri di kamar ini terutama di saat ia diliputi perasaan sedih ataupun marah. Dan, selama sekian belas tahun ia memiliki kamar ini, ia telah sangat mengenal kesunyian yang tercipta disaat kesendiriannya.
Tetapi…kesunyian yang dirasakannya saat ini sungguh terasa berbeda. Kesunyian yang melingkupinya terasakan seperti…kehampaan.
Seolah ia kini benar-benar sendirian…
Kesendirian yang terjadi bukan karena ia menepi dari orang-orang lain di luar kamar melainkan kesendirian yang tercipta karena ia memang benar-benar sendirian. Kesendirian yang tak akan tersembuhkan meski ia melangkah keluar dari ruang kamar ini untuk bertemu dengan sekian banyak manusia lain.
Kesendirian yang hampa dan terasa sangat mengikat…
Membuat sang pangeran tampan yang cerdas itu seperti tak lagi menyadari saat mendadak, pintu kamar terbuka dengan keras dan seorang pemuda melangkah masuk diikuti oleh sosok lelaki lain di belakangnya. Pemuda berparas rupawan yang sesaat terbelalak ketika menatap pemandangan yang terpampang di depannya matanya. Sepasang matanya yang jernih indah menatap sosok Kasim Anta yang terbujur diam. Wajah kasim tua itu terlihat demikian tenang dengan seulas senyum menghias bibirnya yang biru hitam sementara sepasang mata pengasuh pangeran keempat itu terpejam rapat. Tak terlihat tanda nafas. Tak terlihat tanda gerak. Segala yang tampak dari sosok Kasim Anta hanyalah kesunyian yang tenang.
Sangat tenang dan abadi.
Si pemuda rupawan bergerak pelan mendekat ke arah ranjang. Pandangannya kini beralih pada Pangeran Zhu Di yang diam tak bergerak.
“Adik Zhu Di?...hamba Changyi datang menghadap” ucap si pemuda rupawan saat ia telah sampai tepat di belakang sosok Pangeran Zhu Di yang diam mematung.
Patung hidup yang tak lagi menyadari kehadiran siapapun di dekatnya selain sebidang dada yang menjadi tumpuan kepalanya. Sebidang dada yang tak lagi mendetakkan kehidupan sejak tangan yang mendekap pipinya jatuh dan terkulai seiring menutupnya sepasang mata yang selama belasan tahun selalu menatapnya dalam kehangatan kasih dan sayang…
**********