Minggu, 24 April 2016

Straight - Episode 6 ( Bagian Delapan )


Yingtian…
Beberapa saat sebelum peristiwa kedatangan Changyi, Xiao Chen dan Xu Guanjin ke rumah Keluarga Xiao Jiang jauh di sebuah desa sebelah utara kotaraja…
“Siapa yang bertugas membawakan bahan makanan ke dapur istana?” sebuah suara berat terdengar berdentam membuat beberapa pelayan dan dayang yang tengah sibuk seketika menghentikan kegiatan mereka dan berbalik, menghadap seorang lelaki bertubuh kekar yang baru saja datang lalu serentak membungkukkan tubuh mereka.
“Hormat kami pada Tuan Hu” seru para pelayan dan dayang bersamaan.
Perdana menteri Hu Weiyong mengangguk sekilas dan menatap guci-guci berisi arak yang tertata rapi di atas sebuah pedati.
“Apakah itu arak untuk pesta perjamuan besok?” tanya Sang Perdana Menteri seraya menunjuk ke arah deretan pedati berisi guci-guci yang tertutup rapat.
“Benar Tuanku…kami telah menata sesuai dengan jenis arak seperti yang Tuan Hu perintahkan. Arak madu, arak bunga, arak akar kayu, arak buah dan arak beras” jawab seorang pelayan.
“Ada berapa semuanya?” tanya Perdana Menteri Hu Weiyong, masih menatap deretan guci di dalam pedati. Pejabat tinggi istana itu kemudian melangkah mendekati satu pedati dan mulai membuka salah satu penutup guci, sejenak mengendus-endus sebelum kemudian menoleh ke arah pelayan yang berdiri beberapa langkah di belakangnya. “Untuk siapa arak bunga ini?”.
“Semuanya ada tiga puluh pedati dengan jumlah arak sebanyak seratus dua puluh guci arak Tuanku. Arak bunga ini untuk Pangeran Zhu Di. Karena Pangeran Keempat sangat menyukai arak bunga, sehingga perintah dari Yang Mulia Ratu yang kami terima adalah agar arak untuk Pangeran Zhu Di besok diambilkan arak bunga” sahut sang pelayan seraya menunjuk pedati berisi empat guci arak bunga.
Perdana Menteri Hu Weiyong kembali mengangguk. Pandangannya kemudian beralih ke arah pedati-pedati lain.
“Kemana saja mereka akan dikirimkan? Jangan melupakan arak yang menjadi kesukaan Yang Mulia Kaisar” ujar Perdana Menteri Hu seraya menunjuk pedati-pedati yang berjajar rapi di depan rumah arak.
“Arak-arak ini akan dikirim ke istana untuk perjamuan besok Tuanku. Arah madu untuk perjamuan agung, arak beras, arak buah dan arak akar kayu kami kirim ke dapur istana untuk bumbu dan sebagai bahan pencampur kue-kue beras. Selain itu kami juga mengirim beberapa guci arak untuk istana Yang Mulia Kaisar, Yang Mulia Ratu, istana para pangeran, para puteri, para selir dan keluarga kaisar. Untuk Yang Mulia Kaisar, kami telah memilihkan arak madu terbaik. Itu di sana kami menempatkan arak untuk Yang Mulia Kaisar” jawab si pelayan seraya menunjuk sebuah pedati yang terletak paling ujung. Terdapat empat buah guci berukuran sedang di dalam pedati dengan tutup bertali kulit yang sangat rapat.
Perdana Menteri Hu Weiyong menatap pedati yang ditunjuk oleh sang pelayan lalu tersenyum.
“Bagus…jika begitu, tidak ada masalah dengan arak untuk perjamuan besok. Jika ada kekurangan atau ada arak yang rusak kau harus segera menghubungi Kepala Dapur Jiu Zhong agar memerintahkan si pembuat arak untuk segera mengganti. Aku sudah mengatakan pada Kepala Dapur agar menyediakan beberapa guci arak sebagai persediaan jika ada kekurangan” sahut Perdana Menteri Hu Weiyong pada pelayan bagian arak di dekatnya.
“Baik Tuanku…setiap arak yang masuk ke dapur utama maupun dapur-dapur keluarga Kaisar akan selalu kami laporkan pada Tuan Jiu Zhong” sahut si pelayan sambil membungkukkan tubuhnya kembali.
“Baiklah, cepat kemasi arak-arak itu. Aku akan memeriksa bagian lain” ucap Perdana Menteri Hu seraya melangkah pergi.
Si pelayan tak sempat mengucapkan sepatah kata saat sang pejabat tinggi kerajaan itu berlalu. Namun lelaki bertubuh kecil kurus itu kembali membungkuk dalam ke arah Perdana Menteri Hu Weiyong yang telah melangkah semakin jauh meninggalkan gudang arak.
Malam baru saja datang. Jika seseorang naik ke atas atap bangunan istana maka niscaya kedua matanya masih akan menangkap sisa-sisa senja dengan semburat jingga mataharinya di batas cakrawala.
Namun, bagi para pelayan, dayang, serta juru masak, waktu yang seolah masih terbilang sore itu telah berjalan dengan kecepatan kilat menuju esok hari di mana pernikahan agung akan dilakukan. Seluruh bangunan istana telah selesai dihias dengan berbagai ornament indah yang semakin menampakkan kharisma dan keanggunan Kaisar Hongwu sebagai seorang raja besar. Cahaya terang dari lampion-lampion indah berpendar di setiap bagian istana membuat bangunan yang telah sangat indah itu kini seolah berubah menjadi sebuah istana cahaya yang hanya ada dalam cerita-cerita tentang negeri impian. Aroma harum bunga, kayu-kayuan, serta dedaunan memenuhi setiap bagian istana dalam takaran yang pas membuat udara terasa sangat nyaman dan lembut untuk dihirup serta membawa rasa bahagia yang kuat ke dalam kalbu setiap orang. Keharuman yang terbawa angin hingga dapat dihirup oleh seluruh rakyat di luar tembok istana dan memberikan kegembiraan dalam irama pesta rakyat yang telah berlangsung sejak beberapa hari sebelumnya.
Kegembiraan yang justru nyaris tak terasakan bagi para juru masak yang bekerja keras di dapur-dapur istana.
Si pelayan dari bagian gudang arak menguap beberapa kali seraya mengucak-ucak matanya. Satu tangannya memegang  gulungan kertas kulit kayu tempat ia mencatat setiap pedati berisi arak yang telah dibawa pergi menuju tempatnya masing-masing. Sesuai dengan perintah yang diberikan oleh Perdana Menteri Hu Weiyong sebelumnya, ia mencatat setiap arak yang dikirim menuju dapur istana untuk keperluan bumbu maupun sebagai minuman dalam perjamuan besok. Laporan yang ia catat saat ini nantinya akan disampaikannya pada Kepala Dapur Jiu Zhong.
Sekali lagi si pelayan bertubuh kecil itu menguap. Ia sudah beberapa hari tidak tidur karena persiapan pernikahan Pangeran Mahkota yang sangat banyak. Membuat arak bukanlah hal yang mudah karena kesalahan sedikit saat memeras buah, bunga, madu maupun beras akan membuat arak kehilangan keharuman dan rasanya. Bahkan bisa jadi arak akan menjadi asam ataupun pahit. Karena itu ia dan teman-temannya di bagian gudang arak bekerja demikian keras hingga tak ada waktu sedikitpun sekedar untuk tidur.
Tinggal dua pedati lagi yang masih menunggu di antar. Itu pedati berisi arak bunga untuk istana Pangeran Keempat dan arak buah untuk istana para puteri. Setelah dua pedati itu diambil, maka tugasnya malam ini selesai. Mungkin ia bisa tidur barang sebentar sebelum mempersiapkan arak-arak baru sebagai persediaan untuk keperluan berikutnya.
Si pelayan menunduk menatap lembar kertas kulit kayunya. Sesaat membaca kembali catatan yang telah ia tuliskan dan mengangguk puas sebelum kemudian menarik nafas dalam-dalam. Udara di awal malam ini benar-benar segar. Aroma harum bunga dan kayu-kayuan terasa lembut memasuki ruang dadanya membuat si pelayan bertubuh kurus sekali lagi menarik nafas dalam-dalam. Kesejukan dan keharuman yang terasakan di dalam udara yang dihirupnya membuat si pelayan memejamkan mata dengan rasa nikmat. Ia merasa seperti melayang dan sesaat si pelayan seperti benar-benar tertidur. Hanya sesaat karena saat berikutnya, lelaki bertubuh kurus yang cekatan itu segera membuka kedua matanya kembali.
Dan segera ia terkejut saat mendapati seorang pelayan lain telah berdiri di sisi pedati yang berisi guci-guci arak untuk istana Pangeran Zhu Di. Si pelayan bertubuh kurus mencoba untuk menatap wajah pelayan lain yang telah bersiap menarik pedati berisi arak bunga tersebut namun pandangannya terasa sangat kabur. Mungkin pengaruh dari rasa kantuk dan tidur sesaat yang ia alami beberapa detik lalu. Satu tangannya terangkat dan kembali mengucak-ucak mata.
“Kau yang akan membawa pedati itu ke istana Pangeran Keempat?” tanya si pelayan bertubuh kurus seraya menatap pelayan lain di depannya. Kedua alis dan keningnya berkerut dalam mencoba menembus kabut tebal yang menghalangi kedua matanya mengenali siapa adanya pelayan yang telah bersiap membawa pedati. Namun, kabut ini seperti terpatri mati di kedua pelupuk matanya membuat rasa kabur tak juga menghilang. Bahkan kemudian, kepalanya terasa sedikit pening dengan rasa lemas menghinggapi tubuh. Si pelayan bertubuh kurus menarik nafas dalam-dalam. Rupanya ia benar-benar kelelahan dan butuh tidur sekarang.
“Benar…hanya tinggal dua pedati lagi. Aku sangat lelah dan aku ingin semuanya segera selesai agar bisa tidur barang sebentar jadi aku akan mengantar arak bunga ini ke dapur istana Pangeran Keempat” jawab pelayan lain seraya bersiap mendorong pedati yang telah dipegangnya.
“Lalu kenapa kau hanya sendiri? Mana yang lain?” tanya si pelayan bertubuh kurus seraya menguap lebar.
“Ada di belakang. Sebentar lagi pasti datang. Baiklah, aku akan segera mengantarkan arak ini sebelum hari benar-benar menjadi malam. Kau sepertinya sangat mengantuk, kupikir kau butuh tidur sekarang” jawab si pelayan lain seraya mulai melangkah pergi.
Si pelayan bertubuh kurus mengangguk.
“Ya..aku memang ingin tidur sekarang. Aku benar-benar mengantuk” gumam si pelayan bertubuh kurus seraya kembali mengucak-ucak kedua matanya. “Ah..kenapa kedua mataku jadi sangat kabur begini? Kantuk benar-benar sudah merusak dua mataku”.
Si pelayan bertubuh kurus menatap ke depan dan melihat bayangan pedati yang membawa guci-guci arak bunga untuk Pangeran Keempat semakin menjauh. Ia tak dapat melihat dengan jelas namun bayangan saat pedati kecil itu menghilang di ujung jalan setapak istana masih dapat ditangkapnya. Tangan kanannya mengangkat kayu tinta sementara gulungan kertas kayu yang dipegangnya dibentangkan. Seraya menguap untuk kesekian kali, lelaki bertubuh kurus itu melangkah ke arah sisi gudang arak di mana terdapat panggung kayu tempat beberapa guci tertata dengan rapi.  Itu adalah guci-guci berisi arak muda yang baru saja dibuat. Dengan gerak lemah karena rasa kantuk yang sangat berat si pelayan kurus melompat ke atas panggung kayu pada bagian yang kosong dari guci arak. Kemudian, demikian ia telah berhasil naik ke atas panggung, segera saja tubuh yang lemah oleh kantuk itu menggelosoh ke atas papan kayu panggung. Kayu tinta di tangan kanannya terlepas tanpa sempat digunakan, demikian juga dengan gulungan kertas kayu. Hanya butuh sekedip mata bagi kedua mata yang telah sangat berat itu untuk menutup rapat dan pelayan kurus itupun terlelap dalam tidur yang sangat pulas.
Demikian pulas hingga ia tak mengetahui saat kedatangan dua orang pelayan yang segera menjadi kebingungan ketika menyadari bahwa salah satu pedati yang mestinya mereka bawa telah hilang satu. Satu pelayan melongok ke sana kemari mencari-cari.
“Aneh sekali, ke mana pedati berisi arak bunga untuk istana Pangeran Keempat?” tanya pelayan pertama seraya menatap ke arah temannya. Kedua matanya menyiratkan kebingungan sekaligus rasa takut. “Bukankah seharusnya ada dua pedati di sini dan kitalah yang bertugas membawanya ke istana Pangeran Keempat dan istana para puteri?”.
Pelayan lain yang bertubuh agak pendek mengangguk. Ia berjalan ke arah jalan setapak istana.
“Kau benar!” katanya kemudian. “Ini hanya satu pedati berisi arak buah untuk istana para puteri, lalu ke mana pedati berisi arak bunga untuk istana Pangeran Zhu Di?”
“Mungkinkah ada pelayan yang telah lebih dulu datang dan mengantar arak untuk istana Pangeran Zhu Di?” tanya pelayan pertama yang bertubuh besar.
“Entahlah” si pelayan bertubuh pendek menggelengkan kepalanya. Kepalanya kembali berpaling menengok ke sana ke mari, lalu pandangannya terhenti pada sosok seorang pelayan yang tengah pulas tertidur di atas panggung guci arak. “Tapi jika memang ada pelayan yang lebih dulu datang dari kita lalu membawa arak untuk istana Pangeran Zhu Di, pasti ada catatannya. Nah..dia pasti tahu ke mana arak untuk istana Pangeran Keempat”.
Pelayan bertubuh besar mengangguk setuju dan dengan langkah cepat segera melangkah menuju panggung kayu di mana teman mereka tengah tertidur dengan pulas. Raut wajahnya sedikit jengkel saat tangannya mulai menggoyang bahu si pelayan kurus yang pulas tersebut.
“Bangun!” serunya dengan suara keras. “Ayo cepat bangunlah. Kenapa kau tidur di sini?”.
Tapi, si pelayan bertubuh kurus itu sama sekali tak bergeming. Suara dengkurnya yang halus terdengar berirama teratur.
“Dia tidur seperti orang pingsan. Mungkin dia benar-benar sangat kelelahan” ujar pelayan bertubuh pendek yang telah turut berdiri di sisi temannya. Pandangannya tertumbuk pada gulungan kertas kayu di sisi si pelayan bertubuh kurus. “Kita lihat saja catatannya itu, pasti ada nama pelayan yang sudah mengantarkan arak bunga untuk istana Pangeran Keempat”.
“Kau benar” sahut pelayan berbadan besar seraya menjumput gulungan kertas kayu di sisi teman mereka yang tertidur pulas kemudian membukanya. “Pasti ada di sini catatannya. Ini lihatlah”.
Si pelayan bertubuh pendek mendekatkan kepalanya ke arah lembaran kertas kayu yang telah membuka dan kemudian membaca. Sejenak keheningan menyelimuti keduanya sementara dua pelayan itu menekuni catatan yang tertulis di atas kertas. Hingga kemudian, sebuah kerut menghiasi wajah kedua pelayan tersebut.
“Aneh sekali, kenapa di sini tercatat bahwa arak bunga untuk istana Pangeran Zhu Di sudah dikirim tapi tidak ada catatan siapa nama pelayan yang mengantarkannya?” gumam pelayan berbadan besar seraya membolak-balik kertas kayu di tangannya. Pandangannya beralih pada pelayan pendek di sisinya. “Tidakkah ini aneh?”.
“Kau benar, ini memang aneh” si pelayan pendek mengangguk membenarkan. “Apakah mungkin dia lupa mencatat nama pelayan yang mengantarkan arak untuk istana Pangeran Zhu Di?”.
Si pelayan berbadan besar mengangkat bahunya.
“Entahlah..” katanya seraya menatap teman mereka yang tertidur pulas. “Hal itu mungkin saja jika dilihat caranya tidur sekarang. dia benar-benar seperti orang mati”.
“Tidakkah sebaiknya kita bangunkandia lalu kita tanyakan padanya siapa pelayan yang membawa arak untuk panegran Keempat?” tanya pelayan bertubuh pendek kembali.
Si pelayan berbadan besar menggelengkan kepalanya berkali-kali dengan rasa heran tergambar jelas di wajahnya.
“Sepertinya itu akan sulit. Kau lihat tadi aku sudah mencoba membangunkannya tapi dia sama sekali tidak bergerak bukan?” ujarnya seraya menggoyang bahu pelayan kurus yang tengah tertidur pulas. Sama seperti sebelumnya, tak terlihat reaksi sedikitpun pada pelayan kurus di atas panggung kayu.
 “Jika begitu, sepertinya kita memang harus menunggu sampai dia bangun” sahut pelayan bertubuh pendek. Tangannya menggulung kembali kertas kayu yang diambilnya dari tangan pelayan berbadan besar. “Catatan ini biar kusimpan saja. Nanti, jika ia bangun, aku akan menanyakan padanya siapa pelayan yang sudah mengantarkan arak untuk Pangeran Keempat”.
“Kau benar” pelayan berbadan besar mengangguk membenarkan. “Lagipula, hari sudah semakin malam, sebaiknya kita antarkan saja arak buah ini ke istana para puteri”.
“Kau yang menarik pedatinya, aku akan mendorong dari belakang” jawab pelayan pendek sambil mulai melangkah ke arah satu-satunya pedati yang tersisa.
Si pelayan bertubuh besar melengak dengan mata melotot.
“Seperti itu lagi?” semburnya seraya melayangkan satu tendangan kaki kanannya ke arah pinggul temannya. Namun pelayan bertubuhpendek telah mengelak dengan gesit seraya tertawa terkekeh. “Kita sudah mengantarkan delapan pedati arak dan selalu aku yang menarik. Kau ini benar-benar curang sekali”.
“Ayolah…buat apa kau memiliki tubuh sebesar itu kalau tidak untuk menolong temanmu yang kecil ini?” sungut pelayan pendek. Rautnya terlihat memelas dengan ekspresi yang dibuat-buat.
“Kecil katamu? Apamu yang kecil? Kau bahkan makan lebih banyak dariku” hujat pelayan berbadan besar. Langkahnya cepat menuju pedati berisi arak buah dan berdiri di bagian belakang. “Kali ini aku tidak mau mengalah lagi. Kau yang harus menariknya agar tubuhnya bisa bertambah tinggi”.
Pelayan bertubuh pendek cemberut, namun lelaki berwajah kocak itu melangkah juga ke arah pedati dan mulai memegang bagian depan pedati.
“Baiklah” katanya. “Tapi aku akan memberitahu istrimu apa yang menjadi rahasiamu”.
Si pelayan berbadan besar kembali terjenggit.
“Apa katamu? Apa yang akan kau katakan pada istriku?” tanya pelayan berbadan besar mendorong tubuhnya mencondong ke arah temannya sementara keduanya mulai berjalan meninggalkan halaman gudang arak. “Kau mau menghancurkan aku. Begitukah? Berani kau lakukan itu padahal kita sudah berteman begitu lama”.
“Kenapa tidak?” jawab si pelayan pendek seraya mencibir. “Aku akan mengatakan pada istrimu bahwa kau…”
“Bahwa aku apa?” cecar pelayanberbadan besar. “ Kenapa kau berhenti? Apa yang akan kau katakan pada istriku? Bahwa aku ini apa?”.
Tapi si pelayan bertubuh pendek masih terdiam dan justru melambatkan langkah kakinya. Kepalanya yang bulat sedikit menengadah dan mulai hidungnya mengeluarkan suara dengusan halus seolah ia sedang mengendus.
“Ssst…diamlah” ujar pelayan pendek seraya mendekatkan jari telunjuknya ke bibir. “Coba kau hirup udara ini. Kenapa wanginya jadi berbeda?”
Alis pelayan berbadan besar berkerut. Namun langkahnya kemudian terhenti sebagaimana pelayan pendek dan ia turut pula mengendus.
“Menurutku udara di istana memang sangat harum karena aroma wewangian yang dipasang di setiap bagian istana. Sejak kemarinpun aku sudah mencium udara yang wangi seperti ini?” sahut pelayan berbadan besar sambil menatap temannya. “Kupikir ini biasa saja”.
“Tidak…ini tidak biasa” sanggah pelayan pendek menggelengkan kepalanya kuat-kuat. “Wanginya sangat berbeda”.
“Berbeda? Di mana letak perbedaannya?” tanya pelayan berbadan besar tidak mengerti. Ia sungguh tidak merasakan hal yang ganjil pada keharuman udara yang mereka hirup saat ini.
“Wanginya terlalu mencolok” jawab pelayan pendek. “Dan berbeda dengan keharuman udara yang kita hirup saat kita berada di sekitar istana Pangeran Mahkota, istana Yang Mulia Kaisar, istana Yang Mulia Ratu dan di manapun. Memang wangi, tapi seperti ada yang berbeda dengan wangi yang kurasakan sekarang. Wanginya seperti membuatku merasa malas”.
Pelayan berbadan besar melepaskan bibir pedati yang semula dipegangnya lalu melangkah cepat ke depan. Kemudian, sebelum si pelayan pendek menyadari, mendadak sebuah pukulan ringan telah melayang dari tangan pelayan berbadan besar dan tepat mengenai kepalanya. Pelayan bertubuh pendek mengaduh seraya memegangi kepalanya.
“Hish!...dasar kau!” kata pelayan berbadan besar. “Katakan saja kau juga ingin tidur. Dasar pemalas! Ayo cepat jalan, kita bisa mendapat hukuman jika sampai terlambat”.
Pelayan bertubuh pendek meringis. Kedua tangannya kembali memegang sisi depan pedati dan mulai menariknya.
“Tapi aku memang mengantuk” gumamnya pelan membuat pelayan berbadan besar di bagian belakang pedati menggelengkan kepalanya. “Udara ini wanginya seperti membuatku mengantuk. Seharusnya kau juga merasakannya”.
“Cepat jalan!” sentak pelayan berbadan besar sambil mendorong pedati yang dipegangnya dengan keras ke arah pinggul temannya membuat si pelayan pendek nyaris terjungkal.
Tetapi tak ada kalimat meluncur keluar dari mulut pelayan bertubuh pendek. Lelaki itu terus melangkah sambil terus mengendus udara. Sesekali, ia menarik nafas dalam-dalam dan kemudian, nyaris tanpa sadar, kedua matanya memejam meski kemudian segera membuka kembali saat merasakan dorongan bibir pedati yang menyenggol keras pinggulnya.
Udara memang aneh…
Dan ia sungguh merasakannya…
**************

Istana Pangeran Keempat…
Kasim Anta berjalan tergopoh-gopoh menuju ke arah Pangeran Zhu Di yang tengah berdiri di sisi taman. Tubuhnya telah membungkuk dalam sementara sang pangeran tampan membalikkan tubuhnya yang indah dan menatap pengasuhnya dengan pandangan tajam. Wajah jernih sang pangeran yang galak membuat Kasim Anta gugup meski sang kasim tua itu berusaha untuk memperlihatkan senyum lebarnya.
“Pangeran…maafkan hamba karena datang terlambat” ucap Kasim Anta saat menegakkan tubuhnya kembali. Senyumnya mengembang menampakkan sederet gigi agak besar namun putih bersih.
Pangeran Zhu Di cemberut melihat senyum lebar di depannya. Sungguhpun ia merasa sangat jengkel namun tetap saja ia tak mampu menjatuhkan tangan kasar pada lelaki yang telah merawatnya sejak ia masih bayi itu. Tetapi, untuk bersikap lembut-pun, sang pangeran merasa malas karena seringnya ia dibuat bosan oleh kelambatan gerak kasim tuanya.
“Kenapa kau terlambat begitu lama?” tanya Pangeran Zhu Di dengan nada jengkel yang jelas terdengar.
“Ampun Pangeran…hamba terlambat karena tadi ada utusan dari dapur utama meminta hamba untuk menemui Kepala Dapur” sahut Kasim Anta seraya membungkuk dalam-dalam.
“Apa!...jadi kau mendahulukan perintah Kepala Dapur Istana daripada perintahku?! Apa kau sudah bosan hidup? Kau minta mati?” bentak Pangeran Zhu Di dengan sepasang mata membelalak marah. Sungguh keterlaluan, ia menunggu kasim pengasuhnya itu sejak awal sore tadi dan si kasim justru pergi menemui kepala dapur istana. Benar-benar meremehkan!.
Kasim Anta terperanjat mendengar bentakan Pangeran Zhu Di. Tubuh sang kasim yang semula membungkuk dalam segera menjatuhkan diri ke atas lantai kayu dan berlutut.
“Ampun Pangeran…hamba tidak bermaksud mendahulukan Kepala Dapur Istana daripada Pangeran. Hanya saja, pesan yang tertulis dalam surat Kepala Dapur untuk hamba menyebutkan bahwa hamba harus segera menemuinya karena ada beberapa bahan makanan untuk Pangeran yang akan dikirim ke istana ini. Hamba berpikir jika hamba tidak ke sana, mungkin saja akan terjadi kesalahan sehingga nanti Pangeran tidak akan menyukainya. Karena itulah hamba memutuskan untuk datang menemui Juru Masak Jiu di dapur utama” tutur Kasim Anta sambil menengadahkan wajahnya menatap sang pangeran yang tengah menatap ke arahnya dengan dua mata menyorot berang.
“Untuk hal semacam itu bukankah kau bisa menyuruh pelayan lain atau dayang? Kenapa harus kau?” tanya Pangeran Zhu Di, masih dengan nada tinggi.
“Karena Kepala Dapur mengatakan bahwa waktu memasak hidangan untuk Pangeran hanya tinggal malam ini saja sementara tidak ada satupun juru masak yang berani memasak hidangan untuk Pangeran. Termasuk memilih bahan-bahan. Semua menunggu Kasim Chen. Apalagi jumlah hidangan yang harus dimasak sangatlah banyak dan harus sama dengan jenis hidangan yang dimasak di dapur istana karena itu adalah perintah dari Yang Mulia Kaisar melalui Yang Mulia Ratu. Itulah sebabnya Kepala Dapur meminta hamba untuk melihat bahan-bahan makanan yang akan dikirim ke mari sekaligus memberikan catatan semua jenis masakan yang akan dihidangkan dalam perjamuan besok. Demikianlah Pangeran…mohon ampuni hamba” sahut Kasim Anta dengan wajah memelas.
Pangeran Zhu Di tertegun mendengar penuturan kasim pengasuhnya. Ia tidak pernah memperhitungkan seberapa penting keberadaan Kasim Chen di antara seluruh pelayan dan juru masak yang ada di istana. Ia telah terbiasa dengan keberadaan Kasim Chen di sisinya sehingga merasa bahwa keberadaan kasim remaja itu sebagai bagian dari dirinya. Dan kini, ketika istana sedang memiliki kepentingan menjamu seluruh tamu kerajaan dalam sebuah upacara agung di mana seluruh pelayan, dayang dan terutama juru masak terlibat langsung di dalamnya, barulah terasa betapa keberadaan Kasim Chen menjadi sebuah kunci bagi juru masak, pelayan dan dayang lainnya karena tak ada seorangpun pelayan, dayang maupun juru masak yang berani memasak untuknya. Tidak karena semua sudah tahu bahwa ia tak bisa memakan masakan juru masak lain selain hidangan yang dimasak oleh Kasim Chen. Satu hal yang kemudian disadari oleh Pangeran Zhu Di sebagai sebuah kebenaran dari kalimat Kasim Anta adalah bahwa waktu untuk memasak hidangan baginya hanya tertinggal malam ini.
Sementara, Kasim Chen belum sampai di istana karena ia telah memerintahkan kasim kesayangannya itu untuk menjemput Xiao Ai. Di sisi lain, ia sendiri merasa gelisah dengan belum adanya kabar mengenai Xu Changyi dan Xu Guanjin yang terjatuh ke dalam jurang karena kesalahannya. Meskipun hati kecilnya membisikkan bahwa semua akan baik-baik saja, tetapi rasa bersalah yang menyengat setiap ia mengingat jatuhnya Xu Guanjin ke dalam jurang karena ia tidak mengindahkan peringatan yang diberikan oleh Changyi benar-benar telah merampas kedamaiannya saat ini. Karena itulah ia tidak dapat tinggal di dalam kamarnya dan hanya duduk di sisi taman sejak kedatangannya ke istana sore tadi untuk menunggu kedatangan Xiao Chen. Dan kegelisahan yang ia rasakan karena adanya tekanan rasa bersalah itulah yang membuatnya tak dapat memikirkan hal lain selain Xiao Chen yang belum juga sampai di istana serta belum adanya kabar tentang Changyi dan Xu Guanjin.
Lalu, mendadak kini ia mengerti satu penting lain yang sebelumnya tak terlintas dalam benaknya. Hal yang terlihat sepele jika dilihat dari sudut pandangnya namun menjadi hal yang sangat penting jika dilihat dari sudut kepentingan istana – dalam hal ini Yang Mulia Kaisar dan Ratu – serta sudut pandang para pelayan, dayang serta juru masak istana yang tengah mempertaruhkan hidup mereka untuk memberikan pelayanan terbaik bagi para tamu kerajaan demi menjaga nama baik Kaisar serta Ratu sebagai tuan rumah.
Dan ia tidak bisa – belum pernah bisa – untuk mengabaikan para pelayan, juru masak dan dayang. Termasuk kasim yang sekarang sedang berlutut di depannya dengan raut wajah memelas.
Pangeran Zhu Di menarik nafas panjang demikian kesadaran menyusup ke dalam benaknya. Kemarahan yang semula telah mencapai titik puncak di ubun-ubunnya dengan cepat menyurut.
“Jadi begitu?” gumamnya kemudian. Rona merah yang semula menghiasi wajah tampan sang pangeran kesayangan Kaisar Hongwu memupus hilang membuat Kasim Anta diam-diam menarik nafas lega.
“Memang demikianlah Pangeran” sahut Kasim Anta seraya tersenyum. Kedua matanya mengedip-kedip dengan ekspresi menghiba membuat Pangeran Zhu Di merasa jengkel sekaligus terharu dalam hati.
“Lalu, apakah bahan makanan yang hendak dikirim sudah sampai?” tanya Pangeran Zhu Di kemudian.
Kasim Anta mengangguk cepat. “Itu benar Pangeran. Baru saja sampai sesaat lalu, termasuk arak bunga untuk Pangeran juga sudah sampai dan sekarang sedang di rawat oleh juru masak, dayang dan pelayan di dapur. Mereka belum melakukan apapun pada bahan makanan dan arak itu karena semua menunggu Kasim Chen”.
“Tapi Adik Chen belum pulang. Aku menyuruhnya untuk menjemput seseorang dan mungkin saja perjalanan ke sana agak sulit” ujar Pangeran Zhu Di seraya mengerutkan alisnya yang tebal bagus.
“Hambapun juga telah mengatakan hal itu pada Juru Masak Jiu Zhong, namun dia mengatakan tidak dapat berbuat apa-apa karena pada kenyataannya Pangeran hanya dapat menyantap hidangan yang dimasak oleh Kasim Chen. Karena itu, Kepala Dapur hanya dapat menyerahkan bahan-bahan makanan ke dapur kita dan untuk selanjutnya semua diserahkan pada Kasim Chen. Demikianlah Pangeran. Karena itu hamba menjadi gelisah sebab jenis hidangan yang harus dimasak oleh Kasim Chen sangatlah banyak sementara malam semakin larut. Hamba tidak tahu kapan Kasim Chen akan sampai di istana dan para pelayan, juru masak serta dayang di dapur tidak ada satupun yang berani memulai memasak tanpa Kasim Chen” tutur Kasim Anta.
“Tunjukkan catatan jenis hidangan yang diberikan oleh Kepala Dapur Jiu padaku” perintah Pangeran Zhu Di dengan kening alis berkerut. Tangannya terulur ke arah kasim pengasuhnya. Sungguh, masalah kecil ini bisa menjadi masalah besar jika tidak segera diselesaikan.
Kasim Anta sedikit tersentak mendengar perintah Pangeran Keempat, namun kemudian, kasim setia itu segera merogoh ke balik hanfu seragam kasimnya dan mengeluarkan segulung kertas kayu.
“Ini Pangeran…inilah catatan yang diberikan oleh Kepala Dapur pada hamba” ujar Kasim Anta seraya mengulurkan gulungan kertas kayu pada Pangeran Zhu Di.
Pangeran Keempat bergumam dengan suara pelan sementara tangannya merenggut cepat gulungan kertas kayu dari tangan Kasim Anta kemudian membukanya. Sepasang matanya sedikit membeliak saat mendapati deretan nama hidangan yang tertulis di atas kertas. Jenis hidangan itu terdiri dari hidangan berbagai jenis kue, buah-buahan kering, buah-buahan segar, buah-buahan yang diolah dengan arak dan dijadikan manisan, berjenis-jenis sayuran dengan bermacam-macam cara olahan, sup buah, sup sayur, sup daging, sup ikan laut, sup madu, nasi bumbu, nasi daging, nasi kacang merah. Dan seolah belum cukup dengan daftar yang telah demikian panjang, masih ditambah dengan jenis hidangan utama yaitu kepiting salju.
Pangeran Zhu Di mendesah seraya menangkupkan gulungan kertas kayu di tangannya lalu menyerahkannya pada Kasim Anta. Jika demikian banyak jenis makanan yang harus dimasak oleh Xiao Chen, maka sehebat apapun kemampuan kasim kesayangannya itu dalam memasak, namun tetap saja tidak akan bisa menyelesaikan semuanya hanya dalam waktu semalam. Sementara jika jenis-jenis hidangan tersebut tidak dimasak, maka hal tersebut justru akan menjadi sebuah masalah besar karena sama artinya ia membangkang terhadap perintah Kaisar dan Ratu. Mungkin saja Ratu tidak akan memarahinya, namun Kaisar jelas akan menjadi murka terutama karena menganggap ia telah mempermalukan Kaisar di depan para tamu kerajaan.
Jadi, jika seperti itu keadaannya, bukankah memang harus ada yang dikorbankan demi kebaikan semuanya?.
“Baiklah…” ujar Pangeran Zhu Di setelah terdiam beberapa saat kemudian. “Adik Chen memang tidak akan bisa memasak semuanya dalam waktu satu malam karena itu, kau pergilah ke dapur dan perintahkan pada semua juru masak, pelayan dan dayang untuk mulai memasak semua jenis masakan kecuali hidangan utamanya. Untuk kepitingnya, biarkan Adik chen yang memasaknya. Kukira, memasak kepiting tidak membutuhkan waktu yang lama”.
Kasim Anta nyaris terlonjak karena gembira sekaligus lega mendengar perintah yang diucapkan oleh Pangeran Zhu Di. Wajahnya berbinar saat menatap pangeran tampan di depannya.
“Sungguhkah demikian Pangeran? Lalu, bagaimana jika besok dalam perjamuan Pangeran tidak dapat menyantap kue-kue dan lainnya selain hidangan utama? Kami semua yang di dapur tentu akan mendapat marah dari Yang Mulia Kaisar dan Ratu” tanya Kasim Anta menyakinkan diri.
“Aku akan tetap mencicipi setiap hidangan yang ada di depanku. Kalian tidak perlu cemas. Meskipun sedikit-sedikit, aku akan tetap akan memakannya. Lagipula, perut siapa yang dapat menampung makanan sebanyak itu?” sahut Pangeran Zhu Di seraya mengerdik ke arah catatan di tangan Kasim Anta.
Sepasang mata Kasim Anta membelalak dengan kegembiraan yang meluap-luap membuat sang kasim pengasuh segera menubruk kaki Pangeran Zhu Di dan memeluknya erat-erat.
Pangeran Keempat terkaget-kaget karena tak menyangka bahwa kasim pengasuhnya akan memeluk kakinya seperti itu.
“Ya!..apa yang kau lakukan!” seru Pangeran Zhu dengan nada membentak meski sesungguhnya hatinya diliputi rasa haru. “Cepat lepaskan kakiku dan pergilah pada para pelayan, dayang dan juru masak di dapur sebelum malam semakin larut”.
Kasim Anta tersenyum lebar dengan wajah penuh rasa bahagia. Kedua tangannya melepaskan kaki Pangeran Zhu Di dan segera bangkit berdiri dari lantai kayu tempatnya berlutut kemudian membungkuk dalam-dalam.
“Baik Pangeran..hamba akan ke dapur sekarang” sahut Kasim Anta penuh semangat.
Pangeran Zhu Di mengangguk. Tidak dapat menahan untuk tidak tersenyum.
“Jangan lupa ambilkan buku-buku yang tadi kuminta padamu” ujar Sang Pangeran membuat gerak tubuh Kasim Anta terhenti dan kembali, kasim pengasuh itu menatap pangeran di depannya.
“Buku-buku?” tanya Kasim Anta dengan alis berkerut bingung.
Pangeran Zhu Di membelalak melihat kebingungan kasim pengasuhnya.
“Bukankah aku menyuruhmu untuk mengambilkan beberapa buku untuk kubaca? Jangan katakan kau lupa dengan perintahku itu” tegur Pangeran Keempat dengan ekspresi wajah siap meledak.
Kasim Anta terperanjat demikian ia mengingat hal itu. Memang semula, ia mendapat perintah untuk mengambilkan beberapa judul buku yang akan dibaca oleh Pangeran Zhu Di sambil duduk di taman. Namun adanya surat dari Kepala Dapur Jiu Zhong membuatnya sama sekali terlupa dengan perintah itu. nyaris tanpa sadar, kasim tua itu menepuk dahinya sendiri.
“Ah…aku benar-benar aku sudah tua” gumam Kasim Anta seraya melirik ke arah Pangeran Keempat dengan ekspresi takut-takut. Namun sedetik kemudian, sang kasim setia segera membungkukkan tubuhnya.
“Hamba mengingatnya Pangeran, dan akan hamba ambilkan sekarang juga” ucap Kasim Anta sambil mulai melangkah dengan tergopoh-gopoh begitu menegakkan tubuhnya kembali.
Pangeran Zhu Di tak mengeluarkan sepatah katapun dan hanya menatap kasim pengasuhnya dengan tajam hingga Kasim Anta menghilang di balik pintu menuju bangunan dapur.
Sejenak, sang pangeran termuda itu masih berdiri termangu sebelum kemudian, tubuhnya yang indah dalam balutan hanfu mewah berwarna ungu berbalik kembali menghadap ke arah taman. Taman yang memperdengarkan suara gemericik air sungai buatan dengan aroma harum bunga yang membubung ke udara. Musim semi masih akan berlangsung hingga dua purnama ke depan. dan bersama keharuman wangi bunga yang memenuhi rongga dadanya, kenangan Sang Pangeran Keempat melayang ke satu wajah seindah bulan purnama yang terlepas dari genggaman jemarinya di bibir jurang. Wajah yang telah merenggut ketenangan jiwanya sejak beberapa waktu lalu hingga kini, membuatnya merasa sangat hidup namun sekaligus mendekap gelisah aneh yang belum dirasakannya sebelum saat ia melihat wajah seindah rembulan itu.
Pangeran Zhu Di mendesah saat jantungnya mendenyutkan rasa sakit yang membisikkan kerinduan. Ia tahu, bahwa segalanya tak pernah sama lagi baginya. Ia tahu bagaimana dirinya dahulu dan ia dapat melihat dengan sangat jelas seperti apa ia sekarang. Kerinduannya pada sang rembulan telah membuatnya mengerti sesakit apa sesungguhnya hati Pangeran Mahkota yang akan melepaskan kesendiriannya besok pagi untuk seorang gadis yang tak pernah dikenali, dikasihi, dirindui serta menepikan satu wajah yang telah mengisi jiwa dengan seluruh kesejukan dan keharuman sosoknya.
Dan pemahaman serta pengertian yang datang itulah yang membuat Pangeran Zhu Di memutuskan untuk memperjuangkan sepotong kecil kebahagiaan bagi kakak sulungnya tersebut.
Sebab ia sendiri akan memperjuangkan cintanya sekuat tenaga. Sebab ia tak akan pernah menyerah hingga satu wajah purnama yang mengikat jiwanya itu menjadi miliknya, dalam rengkuhan hatinya.
Meskipun untuk itu ia harus bertarung melawan seluruh isi semesta.
Ia tak akan mengalah. Pada siapapun meski orang itu adalah saudara atau orang terdekatnya.
Meski orang itu adalah sahabat yang paling dikasihinya.
Sebab bagi Pangeran Zhu Di cinta sejatinya hanya satu dan membawa serta kekuatan hidup dalam jiwanya.
Karena itu ia tak mungkin untuk menyerah.
Atau mengalah.
Sebab jika ia melakukan hal itu, maka itu artinya…
MATI.
Ia akan mati…
“Guanjin-moi…hanya kau yang akan menjadi ratu bagiku. Tak mungkin yang lain, atau aku akan mati” bisik Sang Pangeran Keempat dalam getaran jiwa yang mengalir bersama semilir angin malam yang lembut berhembus. Tangan kanan berjari indah sang pangeran terangkat mendekap satu sisi dadanya seolah hendak menenangkan jantung yang bergolak gelisah dalam hantaman cinta yang mendalam dan semakin dalam…
*************
(For you Uncle Jackie...in your smile I get my spirit ^^)

Senin, 18 April 2016

Straight - Episode 6 ( Bagian Tujuh )

“Apa…apa yang terjadi?” seru seorang lelaki bertubuh tinggi menjulang di sisi si lelaki bermata buas. “Kau lihat pisau itu? bagaimana pisau itu bisa terbenam demikian dalam? Dan…siapa yang telah melemparnya? Apakah gadis itu?”
Si lelaki bermata buas menatap Xiao Ai yang terduduk degan wajah pias di atas tanah. Pandangannya lekat meneliti gadis itu dan sesaat kemudian, kepalanya yang berhias rambut panjang ikal tersebut menggeleng kuat-kuat.
“Bukan” sahutnya dengan nada tegas dan yakin. “Bukan gadis itu. dia tidak memiliki kemampuan apapun”.
“Jika bukan gadis itu, lalu siapa?” seru seorang lelaki bertubuh gemuk anak buah Tuan Hui yang lain.
“Mungkinkah salah satu dari orang-orang yang menonton itu?” si lelaki bermata buas mengedarkan pandangan matanya ke arah para tetangga yang berdiri dalam jarak jauh dengan sorot tajam penuh ancaman. “Jika ada yang berani ikut campur, maka aku tak akan segan-segan untuk membunuhnya saat ini juga”.
“Aku akan memeriksa mereka” dengus si lelaki bertubuh tinggi menjulang seraya beringsut dari sisi temannya yang bermata buas. Si lelaki bermata buas mengangguk sementara temannya mulai melangkah.
Tetapi, belum lagi beberapa langkah anak buah Tuan Hui yang bertubuh tinggi menjulang itu meninggalkan tempatnya, mendadak sebuah siuran angin yang keras datang dengan kuat dan menerpa si lelaki tersebut, tepat telak membuat salah satu anak buah tuan tanah yang sangat ditakuti tersebut seketika terhempas ke atas tanah. Si lelaki yang sama sekali tak menduga datangnya serangan itu menggeliat kesakitan di atas tanah seolah seluruh tulang tubuhnya meremuk.
Semua orang – terutama anak buah Tuan Hui – kembali menjadi gempar melihat satu teman mereka terhempas ke tanah dalam keadaan kesakitan. Si lelaki bermata buas menjadi sangat marah karena merasa dipermainkan. Pandangannya nanar beredar ke sekeliling, menatap para penduduk yang semakin banyak berkumpul. Leher dan kening lelaki itu terlihat memerah dengan urat-urat yang bermunculan menandakan aliran darah yang telah naik ke kepala.
“Hai!” teriak si lelaki bermata buas dengan garang seraya menatap ke sekeliling. “Siapa yang berani ikut campur urusan Tuan Hui, cepat keluar!...kalau tidak maka kami akan menghabisi seluruh penduduk desa ini dan membakar semua rumah yang ada! Cepat keluar!..atau kami akan…”
Teriakan garang si lelaki bermata buas terhenti saat mendadak sesosok remaja yang duduk atas kudanya berjalan masuk ke halaman rumah Keluarga Xiao Jiang. Remaja itu masih muda dengan sepasang mata yang sejuk dan  wajah teduh. Ikat kepalanya yang putih berkibar tertiup aliran angin malam membuat wajah yang teduh itu terlihat semakin bening. Sementara tepat di belakang remaja berwajah teduh tersebut terlihat berjalan masuk pula dua orang yang juga duduk di atas kuda mereka. Tak terlihat wajah kedua orang yang duduk di atas kuda tersebut karena sosok mereka yang tersembunyi di balik jubah hitam panjang, menutup dari kepala hingga di bawah lutut. Salah satu sosok dalam selubung jubah hitam yang duduk di atas kudanya yang juga berwarna hitam legam terlihat mendekap sosok Xiao Long yang terkulai pingsan!.
Semua mata kini tertuju ke arah tiga orang yang baru saja datang dan kini telah berhenti tepat di tengah halaman, di tengah antara para anak buah Tuan Hui dengan Xiao Ai yang masih berlutut di tanah di sisi tubuh ayahnya yang terbujur diam. Hanya si remaja berwajah teduh yang terlihat turun dari kuda lalu berjalan ke arah Xiao Ai membuat gadis  itu sedikit beringsut dengan ekspresi takut. Namun, saat pandangan gadis itu tertumbuk pada sosok adiknya yang berada dalam dekapan salah satu sosok berselubung jubah hitam, gerakan Xiao Ai terhenti dan bahkan kemudian gadis itu bangkit berdiri dengan airmata berlinang seraya melangkah satu tapak ke depan kuda hitam legam di mana sosok yang tak terlihat wajahnya itu mendekap adiknya.
“Xiao Long?” panggil Xiao Ai dengan suara bergetar pilu. Tangannya terangkat ke depan seolah ingin menyentuh tubuh adiknya namun kemudian, tangan mungil itu terkulai kembali ketika pandangannya tertumbuk pada sosok berjubah hitam yang mendekap adiknya. Ada rona takut di wajah cantik gadis yang semakin pias oleh kepedihan hati itu saat menatap sosok tinggi gagah dalam selubung jubah di atas kuda hitam.
“Nona Xiao Ai…adik Anda baik-baik saja. Ia hanya pingsan tanpa luka yang parah dalam tubuhnya” sebuah suara yang halus sopan terdengar mengalun membuat Xiao Ai menoleh dan menatap arah asal suara.
“Tu…Tuan siapakah? Apakah Tuan adalah teman-teman dari orang-orang jahat itu?” tanya Xiao Ai pada remaja berikat kepala putih yang baru saja bicara padanya. Satu tangannya sesaat menunjuk ke arah si remaja yang telah turun dari atas kuda dan kini berdiri dalam jarak yang dekat beberapa langkah darinya.
Si remaja membungkukkan tubuhnya sebagai bentuk penghormatan membuat Xiao Ai terkejut sekaligus jengah. Hal yang juga dilihat oleh kesebelas lelaki anak buah Tuan Hui dan seluruh penduduk desa yang menonton dari jarak jauh. Keterkejutan yang sama turut terasakan dalam hati setiap hati orang. Siapakah remaja yang baru saja datang bersama dua orang lain yang berselubung jubah itu? Mengapa ia terlihat demikian menghormati Xiao Ai yang hanya anak seorang petani miskin?.
“Nona Xiao Ai, hamba Xiao Chen, kasim Pangeran Zhu Di putra keempat Yang Mulia Kaisar Hongwu” jawab Xiao Chen setelah menegakkan tubuhnya kembali.
Terdengar suara berdengung yang menandakan keterkejutan semua orang di sekitar tempat itu saat mendengar jawaban dari remaja di depan Xiao Ai.
Xiao Ai sendiri semakin terkejut ketika mendengar jawaban remaja di depannya. Hanya sedetik baginya untuk mengerti dan selanjutnya, gadis berparas cantik itu segera membungkukkan tubuhnya dalam-dalam di depan kasim dari Pangeran Keempat. Di seluruh penjuru kerajaan ini, tak ada seorangpun yang tak mendengar tentang seorang kasim kecil kesayangan dari Pangeran Keempat. Kasim anak-anak yang memiliki kemampuan memasak melebihi para juru masak paling pandai di istana kaisar. Dan meskipun ia belum pernah melihat langsung sosok kasim kecil yang sangat terkenal itu, namun begitu ia mendengar jawaban yang keluar dari mulut remaja berwajah teduh di depannya hatinya langsung mempercayainya. Terlebih setelah ia melihat sendiri apa yang terjadi pada pisau dapur yang kini hilang menancap di tiang rumah sertalelaki bertubuh tinggi anak buah Tuan Hui. Kasim dari seorang Pangeran Zhu Di pastilah bukan orang biasa.
“Mohon maafkan kami yang tidak tahu bahwa Tuan Chen telah datang sehingga kami tidak bisa menyambut Tuan Chen dengan cara yang pantas” ucap Xiao Ai seraya membungkuk dalam.
Xiao Chen segera bergerak ke depan dan mengulurkan kedua tangannya ke arah Xiao Ai meski tak benar-benar menyentuhnya.
“Ah Nona Xiao…jangan membungkuk pada hamba. Justru hambalah yang semestinya meminta maaf karena tidak memberitahu terlebih dahulu untuk menemui Nona Xiao Ai” sergah Xiao Chen membuat Xiao Ai kembali berdiri dan menatap kasim remaja di depannya dengan alis berkerut dalam. Sesaat kemudian, pandangannya beralih pada dua orang di atas kuda yang tertutup oleh jubah panjang.
“Tidak mengapa Tuan Chen” jawab Xiao Ai kemudian. Mendadak, jantungnya terasa berdebar. Pangeran Zhu Di adalah pangeran keempat dari Kaisar Hongwu dan itu berarti adalah adik dari…. “Tetapi, jika boleh kami tahu, ada apakah Tuan Chen dan Tuan-Tuan berdua di sana itu datang ke rumah kami yang buruk ini?”.
“Kami datang atas perintah dari Pangeran Keempat untuk menjemput Nona Xiao Ai” jawab Kasim Chen membuat wajah Xiao Ai kembali memucat.
Namun, bukan hanya Xiao Ai saja yang menjadi semakin terkejut mendengar jawaban Kasim Chen, melainkan juga semua penduduk dan terutama sebelas lelaki anak buah Tuan Hui. Bagaimanapun para lelaki itu menjadi sedikit takut setelah mengetahui bahwa orang-orang yang baru saja datang ternyata adalah orang-orang yang merupakan utusan dari istana, namun rasa harga diri dan lebih lagi rasa takut akan mendapat hukuman yang sangat berat dari majikan mereka membuat kesebelas lelaki yang sejak kedatangan tiga orang utusan Pangeran Keempat itu hanya terdiam seketika menghentak marah. Bahkan kemudian, si lelaki bermata buas maju selangkah dan membentak dengan suara garang ke arah Xiao Chen.
“Hai anak muda!...apakah kau pikir bisa membuat kami percaya dengan kata-katamu itu? Kami sama sekali tak percaya bahwa kau adalah kasim dari Pangeran Zhu Di. Untuk apa seorang Pangeran Keempat mengutus kasimnya ke desa yang sangat jauh seperti ini? Kau dan teman-temanmu itu pastilah hanya teman-teman gadis itu untuk membuat kami takut dengan sandiwara kalian. Tapi kami sama sekali tak akan tertipu oleh kalian!” teriaknya dengan sepasang mata melotot.
Xiao Chen menatap si lelaki besar bermata buas dengan tatapan teduh, sama sekali tak terlihat kilasan rasa takut di mata yang bening itu. Garis bibirnya yang merah segar membentuk seulas senyum tipis.
“Jadi jika Paman semua tidak percaya, lalu bagaimana caraku untuk membuktikan bahwa aku memang kasim Pangeran Zhu Di dan kedatanganku ke desa ini adalah atas perintah dari Pangeran Keempat?” tanya Xiao Chen kemudian.
“Kenapa kau bertanya pada kami?” bentak seorang lelaki lain yang berdiri dalam jarak beberapa langkah dari si lelaki bermata buas. “Itu adalah masalahmu sendiri dan kami sama sekali tak ingin tahu!. Kami hanya ingin, siapapun dirimu dan teman-temanmu itu, jangan ikut campur urusan kami dan biarkan kami membawa gadis itu!”.
Xiao Chen mengerutkan keningnya mendengar ucapan si lelaki berkumis tebal yang barusan bicara. Sungguh kalimat yang aneh. Mereka tidak percaya bahwa ia benar-benar kasim Pangeran Keempat tapi mereka menolak untuk mengetahui buktinya. Jadi harus bagaimana?. Sudut bibir Xiao Chen tertarik ke samping dengan ekspresi geli.
“Baiklah jika begitu” sahut Xiao Chen kemudian, masih dengan senyum di kulum. “Tapi aku sungguh menyesal karena tidak bisa membiarkan Paman semua membawa pergi Nona Xiao Ai sebab Pangeran Keempat menghendaki Nona Xiao Ai untuk datang menghadap ke istana malam ini juga”.
Jawaban yang membuat amarah orang-orang anak buah Tuan Hui seketika meledak. Beberapa dari para lelaki yang bertubuh tinggi besar itu segera menggerung dengan keras seperti harimau yang murka sementara beberapa yang lain segera melompat maju ke arah Xiao Chen dan Xiao Ai.
“Kalau begitu, kau dan teman-temanmu itu harus mati di tangan kami malam ini juga!” bentak si lelaki bermata buas mendahului teman-temannya yang lain. Tangannya telah terangkat ke depan membentuk sebuah pukulan dengan sasaran kepala Xiao Chen saat lelaki tersebut menerjang dengan cepat dan beringas.
Xiao Chen menoleh ke arah Xiao Ai yang terlihat gemetar ketakutan.
“Maafkan hamba Nona Xiao Ai” ucap Xiao Chen seraya menarik lengan Xiao Ai dan kemudian menyembunyikan gadis yang pucat itu di balik punggungnya. Selanjutnya sang kasim terlihat berdiri dengan tenang menunggu serangan yang terarah padanya. Sama sekali tak terlihat gerakan bersiap atau sebuah kuda-kuda pada diri sang kasim remaja tersebut selain kedua telapan tangan yang terkepal erat di dua sisi tubuh. Jelas, meskipun keadaan tubuh Xiao Chen terlihat tenang namun kasim remaja itu telah bersiap untuk benturan yang akan segera akan terjadi.
Namun, belum lagi benturan yang ditunggu oleh Xiao Chen datang, mendadak sebuah tiupan angin lain menghembus dan memapar serangan si lelaki bermata buas membuat si lelaki yang menjadi pemimpin anak buah Tuan Hui itu terjajar surut ke belakang beberapa langkah dengan ekspresi terkejut yang sangat nyata. Sepasang matanya terbelalak menatap ke depan, ke arah Xiao Chen, namun apa yang dilihatnya kemudian hanyalah sosok yang masih berdiri dengan ketenangan sama seperti sebelumnya. Jelas bahwa angin keras yang menamparnya tadi bukan berasal dari sosok remaja berwajah teduh itu. Jadi kalau begitu, siapa lagi orang yang telah mengirimkan angin keras itu?
Dan jawaban yang dicari oleh si lelaki bermata buas segera muncul.
“Adik Chen…kau uruslah Nona Xiao Ai dan keluarganya. Biar aku yang menghadapi mereka” sebuah suara merdu dan jernih terdengar mengalun – jelas suara seorang lelaki muda – disusul melayangnya tubuh Xiao Long yang dilempar oleh sosok berjubah di atas kuda hitam. Gerakannya saat melempar tubuh Xiao Long terlihat demikian ringan seolah anak itu hanyalah sebuah ranting kecil yang telah lapuk. Dan tubuh pingsan anak yang malang itu segera tertangkap oleh lengan Xiao Chen dengan gerak yang sangat lembut.
“Baik Kakak, tapi cepatlah…hari sudah malam dan kita harus segera sampai ke istana” sahut Xiao Chen seraya memondong Xiao Long dengan kedua lengannya.
Sebuah pemandangan yang mencengangkan dan seharusnya membuat siapapun yang melihatnya dapat memahami sebaik apa kemampuan ginkang dan Chi dua orang yang baru saja datang tersebut. Namun sayang, kemarahan yang datang dari rasa harga diri dan takut akan mendapat hukuman berat dari majikan membuat kesebelas anak buah Tuan Hui seperti tak menangkap tanda bahaya yang terkirimkan melalui segala yang terjadi di depan mata mereka. Karena itu, begitu si lelaki bermata buas mengetahui siapakah orang yang telah mengirimkan serangan padanya, maka dengan segera ia kembali menerjang maju. Kali ini serangannya bukan terarah pada Xiao Chen melainkan pada sosok gagah terlindung jubah di atas kuda hitam.
“Rupanya kaulah biang keladinya Orang Muda! Matilah!” bentak si lelaki bermata buas seraya melesat ke arah kuda hitam. Satu kakinya terangkat membentuk sebuah tendangan lurus. Dari suara angin yang berdesir dapat diduga bahwa tenaga yang menyertai serangan kaki lelaki itu mengandung ginkang yang lumayan. Sepertinya, dibanding kesepuluh lelaki lainnya, kemampuan beladiri lelaki bermata buas itu masih jauh lebih baik.
Tetapi, sesuatu yang luar biasa kembali terjadi!.
Tinggal satu tombak lagi tendangan kaki si lelaki bermata buas tiba di tempat sosok gagah berjubah, mendadak terdengar suara ringkikan keras kuda hitam disusul dua kaki depan binatang yang tinggi besar itu terangkat ke atas.
Si lelaki bermata buas yang sama sekali tak memperhitungkan binatang bertubuh besar di depannya menjadi terkejut dan sesaat ia terpana membuat tenaga serangan mengendur karena perhatiannya terpecah. Lelaki itu hanya sempat melihat dua kaki kuda yang terangkat tinggi ke atas jauh melebihi tinggi tubuhnya dan selanjutnya, bagaikan sebuah badai, dua kaki berladam yang sangat kuat tersebut mendadak menerjang ke arah si lelaki bermata buas membuat anak buah Tuan Hui yang sangat ditakuti oleh penduduk desa itu seketika terpelanting jatuh.
Si lelaki bermata buas meringis saat merasakan satu sisi bahunya terasa seolah remuk akibat sapuan kaki kuda. Masih beruntung bahwa ia sempat sedikit mengelak sehingga hentakan kaki kuda itu tidaklah telak menghantam dadanya. Jika tidak, sungguh mungkin saat ini ia telah tergeletak di tanah dengan dada jebol!.
“Binatang iblis!” umpat si lelaki bermata buas seraya menatap kuda hitam yang terlihat bergerak-gerak dengan ekspresi beringas seolah binatang itupun sudah tak sabar untuk kembali menyerang. Pandangan mata si lelaki bermata buas beralih ke arah sosok berjubah di atas kuda. ”Apakah kau hanya akan mengandalkan kudamu itu untuk melawanku? Apakah kau tidak memiliki kemampuan apapun sehingga karena itu kau hanya berani menyembunyikan dirimu di balik jubahmu itu? Tunjukkan dirimu dengan gagah pada kami!”.
Tak terdengar jawaban apapun dari sosok berjubah di atas kuda, namun tangan kanan sosok tersebut terulur mengusap leher kudanya membuat binatang yang gelisah dalam berangnya itu kembali tenang dan mengeluarkan suara ringkik halus. Suasana di halaman rumah Keluarga Xiao Jiang sunyi senyap sementara semua penduduk yang berada dalam jarak cukup jauh menjadi gelisah karena rasa takut mulai menghinggapi saat sosok di atas kuda tak juga mengeluarkan sebuah suara. Sungguh mereka berharap semoga sosok di atas kuda itu adalah seorang baik yang dapat menyelamatkan tetangga mereka karena jika mereka melihat pada sosok kasim dari Pangeran Zhu Di tersebut, rasanya sungguh sulit untuk mengalahkan kesebelas anak buah Tuan Hui yang kejam dan kuat. Remaja yang mengaku sebagai kasim dari istana itu terlihat lemah dan rapuh, lebih pantas disebut sebagai biksu yang lembut.
Sementara itu, diamnya sosok berjubah di atas kuda semakin membuat kemarahan lelaki bermata buas memuncak. Ia sungguh merasa terhina di depan teman-teman yang dipimpinnya, juga di hadapan semua penduduk desa. Karena itu, disertai dengan suara menggeram marah, lelaki bertubuh besar itu berpaling ke arah kesepuluh temannya.
“Cepat! Kita keroyok saja orang di atas kuda itu. bunuh juga binatang iblis itu!” perintah si lelaki bermata buas dengan keras lalu mulai menerjang kembali ke depan diikuti oleh semua lelaki anak buah Tuan Hui yang semula hanya berdiri diam.
Halaman rumah Keluarga Xiao Jiang kembali menjadi gaduh oleh suara bentakan dan teriakan setiap lelaki yang kesemuanya kini menyerbu ke arah sosok berjubah di atas kuda hitam. Gerakan para tukang pukul itu terlihat gesit dan cepat meskipun terkesan kasar. Semua orang menatap dengan jantung berdebar melihat bagaimana sosok gagah terselubung jubah di atas kuda hitam diserbu oleh semua anak buah tuan tanah yang sangat ditakuti. Mampukah sosok yang tak terlihat wajahnya itu menghadapi orang-orang beringas dan kejam itu?
Xiao Ai yang telah di tarik ke tepi halaman oleh Kasim Chen menatap sosok berjubah di atas kuda dengan pandangan cemas bercampur harap. Ia tahu bahwa keselamatan diri dan keluarganya kini benar-benar bergantung pada sosok gagah dalam selubung jubah di atas kuda hitam serta Kasim Chen.
Dan jawaban yang dinantikan oleh Xiao Ai dan seluruh penduduk desa datang hanya beberapa detik kemudian.
Segalanya berlangsung demikian cepat.
Dalam beberapa langkah sebelum orang-orang beringas itu mencapai dirinya, mendadak sosok gagah di atas kuda melenting tinggi meninggalkan punggung kudanya, kemudian, masih dengan posisi melayang di udara jemari tangan kanan sosok tersebut terlihat menjentik beberapa kali. Gerakannya terlihat wajar serupa gerakan orang yang tengah menjentik sebutir biji kecil namun akibat yang terlihat demikian mencengangkan.
Orang-orang beringas anak buah tuan tanah bergulingan di tanah dalam waktu nyaris bersamaan dengan masing-masing memegang bagian tubuh yang membengkak dan benjol akibat timpukan batu kerikil dari sosok berjubah. Suara mengerang bercampur umpatan kasar terdengar bersahutan sementara sosok gagah yang melenting meninggalkan punggung kudanya terlihat berjumpalitan membentuk gerak salto yang indah sebelum kemudian mendarat di atas permukaan tanah halaman.
Para penduduk desa yang melihat dari jarak jauh menjadi gaduh. Suara-suara seruan segera terdengar demikian mereka menatap ke depan, pada sosok yang kini berdiri di tengah halaman rumah Keluarga Xiao Jiang. Seruan yang bukan lagi bernada cemas ataupun takut namun telah berganti menjadi seruan kekaguman dan sorak gembira. Dan bukan seruan kegembiraan karena melihat orang-orang beringas yang selama ini mereka takuti kini bergelimpangan di tanah dengan kesakitan melainkan karena mereka kini melihat sosok gagah yang semula terlindung di balik jubah panjang.
Sosok itu kini berdiri di tengah tanah halaman dengan segenap pesonanya yang mematikan sementara jubah panjang yang semula menyelubungi tubuhnya tersampir di atas punggung kuda hitam. Rambut hitam dengan sedikit ikatan di atas kepala berhias lempengan berbentuk matahari terlihat bergerak pelan oleh tiupan angin malam sementara bagian anak-anak rambut yang membingkai seraut wajah rupawan tanpa cela melambai lembut membentuk sebuah cetakan rupa yang semakin memabukkan seorang lelaki muda. Hanfu biru indah dengan mantel hanfu berhias ulir tali yang serasi berkibar saat si lelaki muda turun dari ketinggian udara ke permukaan tanah. Ukuran dan bentuk hanfu yang serasi semakin menonjolkan keindahan tubuh lelaki muda tersebut membuat semua mata segera terpusat pada sosok yang telah terlepas dari selubung jubah penutup tersebut. Desah kagum dan jeritan lirih segera terdengar bersahutan. Beberapa tangan wanita bahkan kemudian terlihat terulur ke depan seolah hendak menggapai sosok seindah malaikat yang berdiri di tengah halaman dalam bentuknya yang melenakan.
“Itu!...Itu Tuan Muda Xu putra Jenderal Xu Da!” teriak seorang lelaki penduduk desa seraya menunjuk ke depan. Sepasang matanya membelalak dengan ekspresi takjub.
“Apakah benar? Tuan Muda Xu yang mendapat julukan matahari kecil itukah?” sahut lelaki lain yang berumur lebih tua. Kedua tangannya mengucak-ucak sepasang matanya yang mulai berubah warna keabuan. “Kukira dia itu malaikat yang diutus oleh Thian hingga aku sudah merasa sangat senang jika aku bisa mati malam ini. Mati dan dijemput ooleh malaikat seindah itu benar-benar tak terbayangkan”.
Seorang lelaki bertubuh gemuk tanpa penutup dada melotot ke arah lelaki tua yang barusan bicara.
“Kau mati dijemput malaikat seindah itu? O ho..ho…Pak Tua, apakah kau telah lupa berapa kali kau melepaskan perhatianmu pada keluargamu hanya untuk bermain judi? Jangan bermimpi!...malaikat yang akan  menjemputmu pasti adalah malaikat berbentuk batang kayu judimu itu!”sembur si lelaki gendut dengan nada kesal.
“Oh..aku sudah sadar dan aku sangat menyesali perbuatanku yang dulu” sahut si lelaki tua membela diri. “Kau hanya tidak tahu saja”.
“Dia memang Tuan Muda Xu Changyi…” jerit seorang wanita seraya mengangkat tangannya ke depan seolah dengan demikian ia bisa menyentuh sosok indah yang kini menghisap habis seluruh perhatian semua orang. “Oh Dewa..Oh Thian…betapa indahnya, betapa tampannya”.
Si lelaki gendut mengurungkan kalimat yang hendak diucapkannya pada lelaki tua di sisinya. Kini perhatiannya kembali tertuju ke tengah halaman di mana sosok yang sangat menawan itu tengah berdiri dengan seluruh keanggunan dan kharismanya.
“Tu…Tuan Muda Xu?” desis si lelaki bermata buas seraya berusaha untuk bangkit. Rupanya, ia juga telah mengenali lelaki yang telah menjatuhkannya hanya dengan sentilan sebutir kerikil.
Changyi menatap orang-orang yang bergelimpangan di sekitarnya satu demi satu. Sungguh heran, mengapa ada juga orang-orang yang bersedia hidup dengan menghamba pada seorang yang jahat seperti mereka? Padahal ia sangat yakin apa yang didapat tak akan pernah sesuai dengan beratnya pekerjaan yang mesti dilakukan.
“Apakah sekarang kalian percaya bahwa kami adalah utusan dari Pangeran Zhu Di?” tanya Changyi pada si lelaki bermata buas yang terlihat lebih dulu bangkit berdiri.
Si lelaki bermata buas yang kini telah mengetahui siapa adanya sosok gagah berjubah di atas kuda hitam menjadi jerih. Bagaimanapun ia telah banyak mendengar tentang seorang yang mendapat julukan sebagai matahari kecil itu.
“Tu..Tuan Muda…kami hanya menjalankan tugas dari Tuan Hui” sahut si lelaki bermata buas seraya membungkuk di depan Changyi. Beberapa lelaki lain yang telah bangkit berdiri turut membungkuk dalam jarak satu langkah di depan si mata buas.
“Hmm..aku sudah tahu tentang majikan kalian itu” ucap Changyi. “Dan aku memastikan bahwa dia akan mendapatkan hukuman yang berat atas semua kekejaman yang dilakukannya pada penduduk di desa ini. Seluruh tanah di wilayah Kerajaan Ming adalah milik Yang Mulia Kaisar sehingga tak seharusnya seseorang memiliki tanah melebihi orang lain terlebih dengan jalan melakukan kekejaman seperti majikan kalian itu”.
Si mata buas terlihat pucat mendengar kalimat yang diucapkan oleh Changyi. Tak ada jawaban keluar dari mulutnya selain tubuh yang semakin dalam membungkuk.
“Sekarang kalian pergilah dari desa ini, jangan kembali pada majikan kalian dan carilah kehidupan kalian sendiri yang lebih baik. Jangan pernah mengganggu para penduduk desa lagi” ucap Changyi saat tak ada sahutan dari orang-orang yang terlihat membungkuk di depannya.
“Baik…baik Tuan Muda Xu…kami akan pergi dari desa ini dan kami tidak akan mengganggu para penduduk lagi. Tapi…jangan laporkan kami pada Yang Mulia Kaisar” sahut si mata buas dengan suara penuh harap.
“Kami mohon Tuan Muda Xu!” seru teman-teman si mata buas seraya merapat ke arah teman mereka seolah hendak menguatkan permohonan dan harapan si mata buas.
Changyi menatap kesebelas orang di depannya dan mengangguk.
“Selama kalian memegang janji kalian untuk tidak mengganggu penduduk desa dan siapapun juga, maka akupun berjanji tidak akan melaporkan kalian pada Yang Mulia Kaisar. Tetapi…jika kalian melanggar janji maka aku pasti akan mencari kalian dan membawa kalian ke hadapan Yang Mulia Kaisar” jawab Changyi kemudian. “Sekarang pergilah…cepat!”.
“Baik Tuan Muda!” seru para lelaki di depan Changyi nyaris bersamaan.
Hanya butuh sesaat untuk meninggalkan halaman rumah Keluarga Xiao Jiang. Demikianlah yang dilakukan oleh orang-orang yang merupakan anak buah Tuan Hui si tuan tanah yang sangat ditakuti oleh para penduduk desa. Ketegangan yang seolah hendak berlangsung dengan mencekam mendadak sirna dalam sekejab membuat semua penduduk yang semula hanya berani melihat dari kejauhan segera berlarian mendekat begitu kelompok tukang pukul si tuan tanah pergi. Suasana kembali gaduh meski kini dalam nuansa yang berbeda. Changyi memutar pandangannya menatap ke sekeliling dan melihat beberapa lelaki telah mengangkat Xiao Jiang ke beranda rumah sementara beberapa wanita terlihat menenangkan istri Xiao Jiang yang nampaknya telah tersadar dari pingsannya. Xiao Long telah diletakkan di atas dipan bambu kecil di beranda dan terlihat Kasim Chen yang tengah merawat anak kecil yang malang itu dengan Xiao Ai yang berlutut di sisi adiknya.
Changyi menarik nafas dalam-dalam. Sepertinya keadaan telah terkendali sekarang. Meskipun ia tidak tahu seperti apakah adanya orang yang disebut sebagai Tuan Hui itu, namun ia percaya bahwa dalam beberapa hari kedepan, para penduduk desa akan aman tanpa gangguan. Ia telah mendengar perihal gangguan yang dialami oleh penduduk desa saat mereka baru saja memasuki desa tersebut untuk menjemput gadis bernama Xiao Ai senja tadi. Adalah hal yang sangat kebetulan bahwa anak buah si tuan tanah tengah berusaha untuk membawa gadis yang hendak mereka jemput ke istana tersebut sehingga ia Xiao Chen dan Xu Guanjin dapat menemukan rumah keluarga petani sederhana tersebut dengan mudah. Kekerasan yang terjadi di depan matanya dengan cepat menyulut kemarahan dalam hati Changyi meski ia berusaha untuk mengendalikan dirinya. Terlebih dengan adanya Xu Guanjin di sisinya. Kemarahan yangs sejatinya muncul dari terungkitnya kenangan masa lalu saat ia masih menjalani kehidupan sebagai anak keluarga petani bersama orangtuanya dahulu. Kehidupan sederhana tanpa impian yang muluk namun memberikan rasa bahagia yang bulat dan utuh. Hingga bencana banjir dan wabah penyakit menghancurkan semuanya, merenggut semua kebahagiaannya, mengambil orangtuanya, masa kecilnya dan kemudian melemparkannya ke kehidupan yang tak pernah terbayangkan sedikitpun dalam benak.
Changyi menangkupkan kedua tangannya ke depan dada dan sedikit membungkuk saat ia mendengar suara-suara yang saling bersahutan memanggil namanya. Bibirnya yang berlekuk indah mengurai senyum menawan membuat suara desah dan jerit semakin jelas terdengar. Sudut mata Changyi melirik ke arah sosok dalam selubung jubah yang masih duduk di atas kuda dan sekilas ia menangkap sebuah kilau tajam berkelebat bagaikan sebuah petir mungil yang terang dari sepasang mata di balik penutup kepala jubah. Sebuah petir yang mengisyaratkan kecemburuan membuat sudut bibir Changyi tertarik membentuk sebuah senyum simpul yang memabukkan. Terkesan sinis namun mematikan. Satu tangan mungil sosok berjubah yang semula memegang tali kendali kuda terlihat terangkat ke atas dan mendekap dada membuat tarikan senyum Changyi mengembang menjadi tawa pelan dalam luapan rasa cinta dan gemas yang tertahan di dasar hatinya.
Sesaat suasana masih gaduh oleh suara panggilan dan elu kagum para penduduk desa pada sosok rupawan di tengah halaman rumah Keluarga Xiao Jiang, hingga…saat Changyi mengangkat tangan kanannya ke udara, suasana seketika menjadi senyap. Semua penduduk terdiam menunggu hal yang akan diucapkan oleh sosok bintang istana yang sangat mereka kenal selain Pangeran Keempat tersebut.
“Saudara-saudara semua…pada malam ini kami harus membawa Nona Xiao Ai ke istana atas perintah dari Pangeran Keempat. Karena itu kami mengharapkan saudara semuanya untuk merawat keluarga dari Nona Xiao Ai hingga urusan di istana selesai” ucap Changyi dengan suara tegas dan jelas.
“Tuan Muda Xu…bagaimana dengan orang-orang Tuan Hui itu? Bagaimana jika mereka kembali saat Tuan Muda Xu dan Tuan Chen telah kembali ke istana lalu mereka mengganggu kami?” tanya seorang lelaki penduduk desa dengan nada cemas. Pertanyaan yang segera mendapat sambutan dari para penduduk lain.
Changyi kembali mengangkat tangannya saat suasana kembali gaduh oleh keluhan dan pengaduan para penduduk desa.
“Saudara semua tidak perlu cemas, mereka tisak akan berani untuk penduduk desa ini. Nanti setelah sampai di istana kami akan mengirimkan utusan prajurit untuk menangkap siapapun orang yang telah berbuat curang dan melakukan kekejaman pada para penduduk desa. Karena itu, saudara semua tidak perlu merasa takut dan kembalilah melakukan kegiatan sehari-hari dengan rasa aman” ucap Changyi kemudian saat suasana telah kembali tenang. Kepalanya menoleh saat ia mendengar suara langkah di belakangnya. Xiao Chen telah melangkah ke arah kudanya dan membantu menaikkan Xiao Ai ke atas punggung binatang tersebut. Pandangannya sempat bertumbukan dengan sepasang mata bening Xiao Chen dan menangkap isyarat di sana.
“Saudara-saudara semua, kami akan kembali ke istana sekarang dan kami titipkan keluarga dari Nona Xiao Ai. Jangan pernah takut dengan orang-orang milik Tuan Hui sebab mereka tidak akan mengganggu desa ini lagi” ucap Changyi saat pandangannya kembali pada para penduduk desa.
Terdengar kembali suara berdengung mengalir di udara saat masing-masing orang mengeluarkan suara diselingi suara-suara pekik halus para wanita yang memanggil Tuan Muda Xu.
Changyi menangkupkan kedua tangannya di depan dada saat beberapa gadis berusaha merangsek ke depan seraya terus memanggil namanya. Satu dua di antara gadis muda itu terlihat melinangkan airmata. Tak ada kata meluncur keluar dari bibir Changyi selain sebuah senyum mematikan yang mengiringi tubuh indah berbalut hanfu biru berjalan cepat ke arah kuda hitam yang tegak menunggu kemudian dengan ringan tubuh tinggi dan gagah itu melompat ke atas punggung kuda. Sesaat Changyi menatap ke arah Xiao Ai yang telah duduk di atas kuda milik Xiao Chen.
“Adik Chen, di mana kuda milik Pangeran Zhu Di?” tanya Changyi seraya  menatap adiknya yang berdiri di depan kudanya sambil memegang tali kendali kuda.
“Aku menyembunyikannya di batas desa Kakak, supaya tidak terlalu menarik perhatian” jawab Xiao Chen seraya tersenyum. “Kakak tidak perlu khawatir, aku akan berjalan sampai di batas desa tempat kuda Pangeran Zhu Di berada”.
Tapi Changyi mengangguk. Tidak masalah bagi Xiao Chen untuk berjalan sebab ia yakin, dengan kemampuan meringankan tubuh yang dimiliki oleh adiknya itu, Xiao Chen pasti bisa berjalan sama cepat dengan lari kuda-kuda mereka. Tanpa sedikitpun rasa lelah.
“Baiklah…ayo kita berangkat sekarang, hari sudah semakin malam” ucap Changyi seraya menghela kudanya. Kuda hitam yang besar itu segera berjalan pelan meninggalkan halaman rumah Keluarga Xiao Jiang, diikuti oleh dua kuda lain dan Xiao Chen yang berjalan di sisi kudanya.
Xiao Ai sempat menoleh dan melambai pada semua penduduk desa yang sebagian masih berjalan mengikuti mereka di belakang. Selanjutnya gadis itu lebih banyak tertunduk sementara Xiao Chen menuntun kudanya. Sudut mata Xiao Ai sempat melirik ke arah sosok berjubah yang duduk di atas kuda di sisi kuda hitam Changyi dan bertanya-tanya dalam hati mengapa sosok berjubah tersebut sama sekali tak mengeluarkan sebuah suara sedikitpun. Jubah panjang dan hitam yang menutupi tubuhnya hingga ke bagian kepala menyembunyikan secara keseluruhan sosoknya membuat Xiao Ai tidak tahu apakah sosok berjubah di sisi Changyi itu lelaki ataukah wanita.
Namun, sesuatu yang terasa kuat berdesir dalam hati Xiao Ai saat ia melihat satu tangan Changyi terulur dan mengambil alih kendali  kuda yang semula dipegang oleh sosok berselubung jubah itu kemudian menghela kuda yang menjadi tunggangan sosok misterius tersebut hingga kini kuda berwarna coklat terang itu berjalan tepat di sisi kuda hitam besar seolah keberadaan kuda hitam yang kharismatik itu menjadi pelindung bagi kuda coklat terang.
Bukanlah keberadaan kuda coklat terang yang tiba-tiba terlihat demikian mungil di sisi kuda hitam Changyi yang membuat dada Xiao Ai berdesir, tetapi adanya kekuatan yang tersirat dengan begitu nyata dari apa yang dilihatnya. Kekuatan melindungi yang sangat besar dan hal itu hanya terisyaratkan oleh sebuah cinta yang telak. Cinta yang telah merenggut seluruh bagian dalam diri seorang manusia hingga tak ada bagian untuk hal lain selain cinta itu sendiri.
Cinta paling telak yang membuat Xiao Ai teringat akan kekuatan cinta dalam hatinya sendiri pada pemuda A Seng. Cinta yang membuatnya tak lagi memiliki rasa takut bahkan pada kematian sekalipun. Gadis itu kembali melirik ke depan, pada sosok indah bersinar Xu Changyi yang telah kembali berselubung jubahnya dan sosok berjubah lain yang tak dapat ia lihat wajahnya. Sebuah desir yang semakin kuat terasa meledak di dada Xiao Ai saat ia melihat Changyi menelengkan kepalanya ke arah sosok berjubah lain seolah tengah menanyakan sesuatu. Hal yang tak dapat didengarnya dengan jelas karena jaraknya dengan Changyi dan sosok berjubah yang agak jauh. Ia hanya melihat senyum di wajah Changyi yang tak tertutup oleh jubah. Senyum yang menyiratkan rasa geli namun juga sekaligus…cinta yang teramat besar.
Xiao Ai menarik nafas panjang sementara kenangan akan kekuatan cintanya sendiri terasa membayang tepat di depan mata membuat pandangannya mengabur.
Desa tempat ia dilahirkan semakin jauh tertinggal di belakang…tak ada lagi yang kini tersisa dalam hati Xiao Ai selain sebuah pertanyaan tentang jalan yang akan dilaluinya nantinya. Apakah akan lebih mudah ataukah akan lebih sulit? Apa yang akan dihadapinya di istana nanti? Mengapa Pangeran Keempat menghendaki untuk memanggilnya menghadap ke istana? Apakah hal ini ada hubungannya dengan pemuda A Seng?...Sedangkan tak seorangpun selain dirinya yang tahu siapakah sesungguhnya pemuda A Seng itu. Mungkinkah Pangeran Zhu Di telah mengetahui hal yang hanya diketahuinya sendiri ini?.
Sinar rembulan jauh dilangit mulai menampakkan diri seolahmembawa kabut kehidupan seorang Xiao Ai semakin lekat melekat dengan segala misteri yang tak mampu dikuaknya…
Untuk saat ini…
*************