“Apa…apa yang
terjadi?” seru seorang lelaki bertubuh tinggi menjulang di sisi si lelaki
bermata buas. “Kau lihat pisau itu? bagaimana pisau itu bisa terbenam demikian
dalam? Dan…siapa yang telah melemparnya? Apakah gadis itu?”
Si lelaki bermata
buas menatap Xiao Ai yang terduduk degan wajah pias di atas tanah. Pandangannya
lekat meneliti gadis itu dan sesaat kemudian, kepalanya yang berhias rambut
panjang ikal tersebut menggeleng kuat-kuat.
“Bukan” sahutnya
dengan nada tegas dan yakin. “Bukan gadis itu. dia tidak memiliki kemampuan
apapun”.
“Jika bukan gadis
itu, lalu siapa?” seru seorang lelaki bertubuh gemuk anak buah Tuan Hui yang
lain.
“Mungkinkah salah
satu dari orang-orang yang menonton itu?” si lelaki bermata buas mengedarkan
pandangan matanya ke arah para tetangga yang berdiri dalam jarak jauh dengan
sorot tajam penuh ancaman. “Jika ada yang berani ikut campur, maka aku tak akan
segan-segan untuk membunuhnya saat ini juga”.
“Aku akan memeriksa
mereka” dengus si lelaki bertubuh tinggi menjulang seraya beringsut dari sisi
temannya yang bermata buas. Si lelaki bermata buas mengangguk sementara
temannya mulai melangkah.
Tetapi, belum lagi
beberapa langkah anak buah Tuan Hui yang bertubuh tinggi menjulang itu
meninggalkan tempatnya, mendadak sebuah siuran angin yang keras datang dengan
kuat dan menerpa si lelaki tersebut, tepat telak membuat salah satu anak buah
tuan tanah yang sangat ditakuti tersebut seketika terhempas ke atas tanah. Si
lelaki yang sama sekali tak menduga datangnya serangan itu menggeliat kesakitan
di atas tanah seolah seluruh tulang tubuhnya meremuk.
Semua orang –
terutama anak buah Tuan Hui – kembali menjadi gempar melihat satu teman mereka
terhempas ke tanah dalam keadaan kesakitan. Si lelaki bermata buas menjadi
sangat marah karena merasa dipermainkan. Pandangannya nanar beredar ke
sekeliling, menatap para penduduk yang semakin banyak berkumpul. Leher dan
kening lelaki itu terlihat memerah dengan urat-urat yang bermunculan menandakan
aliran darah yang telah naik ke kepala.
“Hai!” teriak si
lelaki bermata buas dengan garang seraya menatap ke sekeliling. “Siapa yang
berani ikut campur urusan Tuan Hui, cepat keluar!...kalau tidak maka kami akan
menghabisi seluruh penduduk desa ini dan membakar semua rumah yang ada! Cepat
keluar!..atau kami akan…”
Teriakan garang si
lelaki bermata buas terhenti saat mendadak sesosok remaja yang duduk atas
kudanya berjalan masuk ke halaman rumah Keluarga Xiao Jiang. Remaja itu masih
muda dengan sepasang mata yang sejuk dan
wajah teduh. Ikat kepalanya yang putih berkibar tertiup aliran angin
malam membuat wajah yang teduh itu terlihat semakin bening. Sementara tepat di
belakang remaja berwajah teduh tersebut terlihat berjalan masuk pula dua orang
yang juga duduk di atas kuda mereka. Tak terlihat wajah kedua orang yang duduk
di atas kuda tersebut karena sosok mereka yang tersembunyi di balik jubah hitam
panjang, menutup dari kepala hingga di bawah lutut. Salah satu sosok dalam
selubung jubah hitam yang duduk di atas kudanya yang juga berwarna hitam legam
terlihat mendekap sosok Xiao Long yang terkulai pingsan!.
Semua mata kini
tertuju ke arah tiga orang yang baru saja datang dan kini telah berhenti tepat
di tengah halaman, di tengah antara para anak buah Tuan Hui dengan Xiao Ai yang
masih berlutut di tanah di sisi tubuh ayahnya yang terbujur diam. Hanya si
remaja berwajah teduh yang terlihat turun dari kuda lalu berjalan ke arah Xiao Ai
membuat gadis itu sedikit beringsut
dengan ekspresi takut. Namun, saat pandangan gadis itu tertumbuk pada sosok
adiknya yang berada dalam dekapan salah satu sosok berselubung jubah hitam,
gerakan Xiao Ai terhenti dan bahkan kemudian gadis itu bangkit berdiri dengan
airmata berlinang seraya melangkah satu tapak ke depan kuda hitam legam di mana
sosok yang tak terlihat wajahnya itu mendekap adiknya.
“Xiao Long?” panggil
Xiao Ai dengan suara bergetar pilu. Tangannya terangkat ke depan seolah ingin
menyentuh tubuh adiknya namun kemudian, tangan mungil itu terkulai kembali
ketika pandangannya tertumbuk pada sosok berjubah hitam yang mendekap adiknya.
Ada rona takut di wajah cantik gadis yang semakin pias oleh kepedihan hati itu
saat menatap sosok tinggi gagah dalam selubung jubah di atas kuda hitam.
“Nona Xiao Ai…adik
Anda baik-baik saja. Ia hanya pingsan tanpa luka yang parah dalam tubuhnya”
sebuah suara yang halus sopan terdengar mengalun membuat Xiao Ai menoleh dan
menatap arah asal suara.
“Tu…Tuan siapakah?
Apakah Tuan adalah teman-teman dari orang-orang jahat itu?” tanya Xiao Ai pada
remaja berikat kepala putih yang baru saja bicara padanya. Satu tangannya
sesaat menunjuk ke arah si remaja yang telah turun dari atas kuda dan kini
berdiri dalam jarak yang dekat beberapa langkah darinya.
Si remaja
membungkukkan tubuhnya sebagai bentuk penghormatan membuat Xiao Ai terkejut
sekaligus jengah. Hal yang juga dilihat oleh kesebelas lelaki anak buah Tuan
Hui dan seluruh penduduk desa yang menonton dari jarak jauh. Keterkejutan yang
sama turut terasakan dalam hati setiap hati orang. Siapakah remaja yang baru
saja datang bersama dua orang lain yang berselubung jubah itu? Mengapa ia
terlihat demikian menghormati Xiao Ai yang hanya anak seorang petani miskin?.
“Nona Xiao Ai, hamba
Xiao Chen, kasim Pangeran Zhu Di putra keempat Yang Mulia Kaisar Hongwu” jawab
Xiao Chen setelah menegakkan tubuhnya kembali.
Terdengar suara
berdengung yang menandakan keterkejutan semua orang di sekitar tempat itu saat
mendengar jawaban dari remaja di depan Xiao Ai.
Xiao Ai sendiri semakin
terkejut ketika mendengar jawaban remaja di depannya. Hanya sedetik baginya
untuk mengerti dan selanjutnya, gadis berparas cantik itu segera membungkukkan
tubuhnya dalam-dalam di depan kasim dari Pangeran Keempat. Di seluruh penjuru
kerajaan ini, tak ada seorangpun yang tak mendengar tentang seorang kasim kecil
kesayangan dari Pangeran Keempat. Kasim anak-anak yang memiliki kemampuan
memasak melebihi para juru masak paling pandai di istana kaisar. Dan meskipun
ia belum pernah melihat langsung sosok kasim kecil yang sangat terkenal itu,
namun begitu ia mendengar jawaban yang keluar dari mulut remaja berwajah teduh
di depannya hatinya langsung mempercayainya. Terlebih setelah ia melihat
sendiri apa yang terjadi pada pisau dapur yang kini hilang menancap di tiang
rumah sertalelaki bertubuh tinggi anak buah Tuan Hui. Kasim dari seorang
Pangeran Zhu Di pastilah bukan orang biasa.
“Mohon maafkan kami
yang tidak tahu bahwa Tuan Chen telah datang sehingga kami tidak bisa menyambut
Tuan Chen dengan cara yang pantas” ucap Xiao Ai seraya membungkuk dalam.
Xiao Chen segera
bergerak ke depan dan mengulurkan kedua tangannya ke arah Xiao Ai meski tak
benar-benar menyentuhnya.
“Ah Nona Xiao…jangan
membungkuk pada hamba. Justru hambalah yang semestinya meminta maaf karena
tidak memberitahu terlebih dahulu untuk menemui Nona Xiao Ai” sergah Xiao Chen
membuat Xiao Ai kembali berdiri dan menatap kasim remaja di depannya dengan
alis berkerut dalam. Sesaat kemudian, pandangannya beralih pada dua orang di
atas kuda yang tertutup oleh jubah panjang.
“Tidak mengapa Tuan
Chen” jawab Xiao Ai kemudian. Mendadak, jantungnya terasa berdebar. Pangeran
Zhu Di adalah pangeran keempat dari Kaisar Hongwu dan itu berarti adalah adik
dari…. “Tetapi, jika boleh kami tahu, ada apakah Tuan Chen dan Tuan-Tuan berdua
di sana itu datang ke rumah kami yang buruk ini?”.
“Kami datang atas
perintah dari Pangeran Keempat untuk menjemput Nona Xiao Ai” jawab Kasim Chen
membuat wajah Xiao Ai kembali memucat.
Namun, bukan hanya
Xiao Ai saja yang menjadi semakin terkejut mendengar jawaban Kasim Chen,
melainkan juga semua penduduk dan terutama sebelas lelaki anak buah Tuan Hui.
Bagaimanapun para lelaki itu menjadi sedikit takut setelah mengetahui bahwa
orang-orang yang baru saja datang ternyata adalah orang-orang yang merupakan
utusan dari istana, namun rasa harga diri dan lebih lagi rasa takut akan
mendapat hukuman yang sangat berat dari majikan mereka membuat kesebelas lelaki
yang sejak kedatangan tiga orang utusan Pangeran Keempat itu hanya terdiam
seketika menghentak marah. Bahkan kemudian, si lelaki bermata buas maju
selangkah dan membentak dengan suara garang ke arah Xiao Chen.
“Hai anak
muda!...apakah kau pikir bisa membuat kami percaya dengan kata-katamu itu? Kami
sama sekali tak percaya bahwa kau adalah kasim dari Pangeran Zhu Di. Untuk apa
seorang Pangeran Keempat mengutus kasimnya ke desa yang sangat jauh seperti
ini? Kau dan teman-temanmu itu pastilah hanya teman-teman gadis itu untuk
membuat kami takut dengan sandiwara kalian. Tapi kami sama sekali tak akan
tertipu oleh kalian!” teriaknya dengan sepasang mata melotot.
Xiao Chen menatap si
lelaki besar bermata buas dengan tatapan teduh, sama sekali tak terlihat
kilasan rasa takut di mata yang bening itu. Garis bibirnya yang merah segar
membentuk seulas senyum tipis.
“Jadi jika Paman
semua tidak percaya, lalu bagaimana caraku untuk membuktikan bahwa aku memang
kasim Pangeran Zhu Di dan kedatanganku ke desa ini adalah atas perintah dari
Pangeran Keempat?” tanya Xiao Chen kemudian.
“Kenapa kau bertanya
pada kami?” bentak seorang lelaki lain yang berdiri dalam jarak beberapa
langkah dari si lelaki bermata buas. “Itu adalah masalahmu sendiri dan kami
sama sekali tak ingin tahu!. Kami hanya ingin, siapapun dirimu dan
teman-temanmu itu, jangan ikut campur urusan kami dan biarkan kami membawa
gadis itu!”.
Xiao Chen mengerutkan
keningnya mendengar ucapan si lelaki berkumis tebal yang barusan bicara.
Sungguh kalimat yang aneh. Mereka tidak percaya bahwa ia benar-benar kasim
Pangeran Keempat tapi mereka menolak untuk mengetahui buktinya. Jadi harus
bagaimana?. Sudut bibir Xiao Chen tertarik ke samping dengan ekspresi geli.
“Baiklah jika begitu”
sahut Xiao Chen kemudian, masih dengan senyum di kulum. “Tapi aku sungguh menyesal
karena tidak bisa membiarkan Paman semua membawa pergi Nona Xiao Ai sebab
Pangeran Keempat menghendaki Nona Xiao Ai untuk datang menghadap ke istana
malam ini juga”.
Jawaban yang membuat
amarah orang-orang anak buah Tuan Hui seketika meledak. Beberapa dari para
lelaki yang bertubuh tinggi besar itu segera menggerung dengan keras seperti
harimau yang murka sementara beberapa yang lain segera melompat maju ke arah
Xiao Chen dan Xiao Ai.
“Kalau begitu, kau
dan teman-temanmu itu harus mati di tangan kami malam ini juga!” bentak si
lelaki bermata buas mendahului teman-temannya yang lain. Tangannya telah
terangkat ke depan membentuk sebuah pukulan dengan sasaran kepala Xiao Chen
saat lelaki tersebut menerjang dengan cepat dan beringas.
Xiao Chen menoleh ke
arah Xiao Ai yang terlihat gemetar ketakutan.
“Maafkan hamba Nona
Xiao Ai” ucap Xiao Chen seraya menarik lengan Xiao Ai dan kemudian
menyembunyikan gadis yang pucat itu di balik punggungnya. Selanjutnya sang
kasim terlihat berdiri dengan tenang menunggu serangan yang terarah padanya.
Sama sekali tak terlihat gerakan bersiap atau sebuah kuda-kuda pada diri sang
kasim remaja tersebut selain kedua telapan tangan yang terkepal erat di dua
sisi tubuh. Jelas, meskipun keadaan tubuh Xiao Chen terlihat tenang namun kasim
remaja itu telah bersiap untuk benturan yang akan segera akan terjadi.
Namun, belum lagi
benturan yang ditunggu oleh Xiao Chen datang, mendadak sebuah tiupan angin lain
menghembus dan memapar serangan si lelaki bermata buas membuat si lelaki yang
menjadi pemimpin anak buah Tuan Hui itu terjajar surut ke belakang beberapa
langkah dengan ekspresi terkejut yang sangat nyata. Sepasang matanya terbelalak
menatap ke depan, ke arah Xiao Chen, namun apa yang dilihatnya kemudian
hanyalah sosok yang masih berdiri dengan ketenangan sama seperti sebelumnya.
Jelas bahwa angin keras yang menamparnya tadi bukan berasal dari sosok remaja
berwajah teduh itu. Jadi kalau begitu, siapa lagi orang yang telah mengirimkan
angin keras itu?
Dan jawaban yang
dicari oleh si lelaki bermata buas segera muncul.
“Adik Chen…kau
uruslah Nona Xiao Ai dan keluarganya. Biar aku yang menghadapi mereka” sebuah
suara merdu dan jernih terdengar mengalun – jelas suara seorang lelaki muda – disusul
melayangnya tubuh Xiao Long yang dilempar oleh sosok berjubah di atas kuda
hitam. Gerakannya saat melempar tubuh Xiao Long terlihat demikian ringan seolah
anak itu hanyalah sebuah ranting kecil yang telah lapuk. Dan tubuh pingsan anak
yang malang itu segera tertangkap oleh lengan Xiao Chen dengan gerak yang
sangat lembut.
“Baik Kakak, tapi
cepatlah…hari sudah malam dan kita harus segera sampai ke istana” sahut Xiao
Chen seraya memondong Xiao Long dengan kedua lengannya.
Sebuah pemandangan
yang mencengangkan dan seharusnya membuat siapapun yang melihatnya dapat
memahami sebaik apa kemampuan ginkang dan Chi dua orang yang baru saja datang
tersebut. Namun sayang, kemarahan yang datang dari rasa harga diri dan takut
akan mendapat hukuman berat dari majikan membuat kesebelas anak buah Tuan Hui
seperti tak menangkap tanda bahaya yang terkirimkan melalui segala yang terjadi
di depan mata mereka. Karena itu, begitu si lelaki bermata buas mengetahui
siapakah orang yang telah mengirimkan serangan padanya, maka dengan segera ia
kembali menerjang maju. Kali ini serangannya bukan terarah pada Xiao Chen
melainkan pada sosok gagah terlindung jubah di atas kuda hitam.
“Rupanya kaulah biang
keladinya Orang Muda! Matilah!” bentak si lelaki bermata buas seraya melesat ke
arah kuda hitam. Satu kakinya terangkat membentuk sebuah tendangan lurus. Dari
suara angin yang berdesir dapat diduga bahwa tenaga yang menyertai serangan
kaki lelaki itu mengandung ginkang yang lumayan. Sepertinya, dibanding
kesepuluh lelaki lainnya, kemampuan beladiri lelaki bermata buas itu masih jauh
lebih baik.
Tetapi, sesuatu yang
luar biasa kembali terjadi!.
Tinggal satu tombak
lagi tendangan kaki si lelaki bermata buas tiba di tempat sosok gagah berjubah,
mendadak terdengar suara ringkikan keras kuda hitam disusul dua kaki depan
binatang yang tinggi besar itu terangkat ke atas.
Si lelaki bermata
buas yang sama sekali tak memperhitungkan binatang bertubuh besar di depannya
menjadi terkejut dan sesaat ia terpana membuat tenaga serangan mengendur karena
perhatiannya terpecah. Lelaki itu hanya sempat melihat dua kaki kuda yang
terangkat tinggi ke atas jauh melebihi tinggi tubuhnya dan selanjutnya,
bagaikan sebuah badai, dua kaki berladam yang sangat kuat tersebut mendadak
menerjang ke arah si lelaki bermata buas membuat anak buah Tuan Hui yang sangat
ditakuti oleh penduduk desa itu seketika terpelanting jatuh.
Si lelaki bermata
buas meringis saat merasakan satu sisi bahunya terasa seolah remuk akibat
sapuan kaki kuda. Masih beruntung bahwa ia sempat sedikit mengelak sehingga
hentakan kaki kuda itu tidaklah telak menghantam dadanya. Jika tidak, sungguh
mungkin saat ini ia telah tergeletak di tanah dengan dada jebol!.
“Binatang iblis!”
umpat si lelaki bermata buas seraya menatap kuda hitam yang terlihat
bergerak-gerak dengan ekspresi beringas seolah binatang itupun sudah tak sabar
untuk kembali menyerang. Pandangan mata si lelaki bermata buas beralih ke arah
sosok berjubah di atas kuda. ”Apakah kau hanya akan mengandalkan kudamu itu
untuk melawanku? Apakah kau tidak memiliki kemampuan apapun sehingga karena itu
kau hanya berani menyembunyikan dirimu di balik jubahmu itu? Tunjukkan dirimu
dengan gagah pada kami!”.
Tak terdengar jawaban
apapun dari sosok berjubah di atas kuda, namun tangan kanan sosok tersebut
terulur mengusap leher kudanya membuat binatang yang gelisah dalam berangnya
itu kembali tenang dan mengeluarkan suara ringkik halus. Suasana di halaman
rumah Keluarga Xiao Jiang sunyi senyap sementara semua penduduk yang berada
dalam jarak cukup jauh menjadi gelisah karena rasa takut mulai menghinggapi saat
sosok di atas kuda tak juga mengeluarkan sebuah suara. Sungguh mereka berharap
semoga sosok di atas kuda itu adalah seorang baik yang dapat menyelamatkan tetangga
mereka karena jika mereka melihat pada sosok kasim dari Pangeran Zhu Di
tersebut, rasanya sungguh sulit untuk mengalahkan kesebelas anak buah Tuan Hui
yang kejam dan kuat. Remaja yang mengaku sebagai kasim dari istana itu terlihat
lemah dan rapuh, lebih pantas disebut sebagai biksu yang lembut.
Sementara itu,
diamnya sosok berjubah di atas kuda semakin membuat kemarahan lelaki bermata
buas memuncak. Ia sungguh merasa terhina di depan teman-teman yang dipimpinnya,
juga di hadapan semua penduduk desa. Karena itu, disertai dengan suara
menggeram marah, lelaki bertubuh besar itu berpaling ke arah kesepuluh
temannya.
“Cepat! Kita keroyok
saja orang di atas kuda itu. bunuh juga binatang iblis itu!” perintah si lelaki
bermata buas dengan keras lalu mulai menerjang kembali ke depan diikuti oleh
semua lelaki anak buah Tuan Hui yang semula hanya berdiri diam.
Halaman rumah
Keluarga Xiao Jiang kembali menjadi gaduh oleh suara bentakan dan teriakan
setiap lelaki yang kesemuanya kini menyerbu ke arah sosok berjubah di atas kuda
hitam. Gerakan para tukang pukul itu terlihat gesit dan cepat meskipun terkesan
kasar. Semua orang menatap dengan jantung berdebar melihat bagaimana sosok
gagah terselubung jubah di atas kuda hitam diserbu oleh semua anak buah tuan
tanah yang sangat ditakuti. Mampukah sosok yang tak terlihat wajahnya itu
menghadapi orang-orang beringas dan kejam itu?
Xiao Ai yang telah di
tarik ke tepi halaman oleh Kasim Chen menatap sosok berjubah di atas kuda
dengan pandangan cemas bercampur harap. Ia tahu bahwa keselamatan diri dan
keluarganya kini benar-benar bergantung pada sosok gagah dalam selubung jubah
di atas kuda hitam serta Kasim Chen.
Dan jawaban yang
dinantikan oleh Xiao Ai dan seluruh penduduk desa datang hanya beberapa detik
kemudian.
Segalanya berlangsung
demikian cepat.
Dalam beberapa
langkah sebelum orang-orang beringas itu mencapai dirinya, mendadak sosok gagah
di atas kuda melenting tinggi meninggalkan punggung kudanya, kemudian, masih
dengan posisi melayang di udara jemari tangan kanan sosok tersebut terlihat
menjentik beberapa kali. Gerakannya terlihat wajar serupa gerakan orang yang tengah
menjentik sebutir biji kecil namun akibat yang terlihat demikian mencengangkan.
Orang-orang beringas
anak buah tuan tanah bergulingan di tanah dalam waktu nyaris bersamaan dengan
masing-masing memegang bagian tubuh yang membengkak dan benjol akibat timpukan
batu kerikil dari sosok berjubah. Suara mengerang bercampur umpatan kasar
terdengar bersahutan sementara sosok gagah yang melenting meninggalkan punggung
kudanya terlihat berjumpalitan membentuk gerak salto yang indah sebelum
kemudian mendarat di atas permukaan tanah halaman.
Para penduduk desa
yang melihat dari jarak jauh menjadi gaduh. Suara-suara seruan segera terdengar
demikian mereka menatap ke depan, pada sosok yang kini berdiri di tengah
halaman rumah Keluarga Xiao Jiang. Seruan yang bukan lagi bernada cemas ataupun
takut namun telah berganti menjadi seruan kekaguman dan sorak gembira. Dan
bukan seruan kegembiraan karena melihat orang-orang beringas yang selama ini
mereka takuti kini bergelimpangan di tanah dengan kesakitan melainkan karena mereka
kini melihat sosok gagah yang semula terlindung di balik jubah panjang.
Sosok itu kini
berdiri di tengah tanah halaman dengan segenap pesonanya yang mematikan
sementara jubah panjang yang semula menyelubungi tubuhnya tersampir di atas
punggung kuda hitam. Rambut hitam dengan sedikit ikatan di atas kepala berhias
lempengan berbentuk matahari terlihat bergerak pelan oleh tiupan angin malam
sementara bagian anak-anak rambut yang membingkai seraut wajah rupawan tanpa
cela melambai lembut membentuk sebuah cetakan rupa yang semakin memabukkan
seorang lelaki muda. Hanfu biru indah dengan mantel hanfu berhias ulir tali
yang serasi berkibar saat si lelaki muda turun dari ketinggian udara ke
permukaan tanah. Ukuran dan bentuk hanfu yang serasi semakin menonjolkan
keindahan tubuh lelaki muda tersebut membuat semua mata segera terpusat pada
sosok yang telah terlepas dari selubung jubah penutup tersebut. Desah kagum dan
jeritan lirih segera terdengar bersahutan. Beberapa tangan wanita bahkan
kemudian terlihat terulur ke depan seolah hendak menggapai sosok seindah
malaikat yang berdiri di tengah halaman dalam bentuknya yang melenakan.
“Itu!...Itu Tuan Muda
Xu putra Jenderal Xu Da!” teriak seorang lelaki penduduk desa seraya menunjuk
ke depan. Sepasang matanya membelalak dengan ekspresi takjub.
“Apakah benar? Tuan
Muda Xu yang mendapat julukan matahari kecil itukah?” sahut lelaki lain yang
berumur lebih tua. Kedua tangannya mengucak-ucak sepasang matanya yang mulai
berubah warna keabuan. “Kukira dia itu malaikat yang diutus oleh Thian hingga
aku sudah merasa sangat senang jika aku bisa mati malam ini. Mati dan dijemput
ooleh malaikat seindah itu benar-benar tak terbayangkan”.
Seorang lelaki
bertubuh gemuk tanpa penutup dada melotot ke arah lelaki tua yang barusan
bicara.
“Kau mati dijemput
malaikat seindah itu? O ho..ho…Pak Tua, apakah kau telah lupa berapa kali kau
melepaskan perhatianmu pada keluargamu hanya untuk bermain judi? Jangan
bermimpi!...malaikat yang akan
menjemputmu pasti adalah malaikat berbentuk batang kayu judimu
itu!”sembur si lelaki gendut dengan nada kesal.
“Oh..aku sudah sadar
dan aku sangat menyesali perbuatanku yang dulu” sahut si lelaki tua membela
diri. “Kau hanya tidak tahu saja”.
“Dia memang Tuan Muda
Xu Changyi…” jerit seorang wanita seraya mengangkat tangannya ke depan seolah
dengan demikian ia bisa menyentuh sosok indah yang kini menghisap habis seluruh
perhatian semua orang. “Oh Dewa..Oh Thian…betapa indahnya, betapa tampannya”.
Si lelaki gendut
mengurungkan kalimat yang hendak diucapkannya pada lelaki tua di sisinya. Kini
perhatiannya kembali tertuju ke tengah halaman di mana sosok yang sangat
menawan itu tengah berdiri dengan seluruh keanggunan dan kharismanya.
“Tu…Tuan Muda Xu?”
desis si lelaki bermata buas seraya berusaha untuk bangkit. Rupanya, ia juga
telah mengenali lelaki yang telah menjatuhkannya hanya dengan sentilan sebutir
kerikil.
Changyi menatap
orang-orang yang bergelimpangan di sekitarnya satu demi satu. Sungguh heran,
mengapa ada juga orang-orang yang bersedia hidup dengan menghamba pada seorang
yang jahat seperti mereka? Padahal ia sangat yakin apa yang didapat tak akan
pernah sesuai dengan beratnya pekerjaan yang mesti dilakukan.
“Apakah sekarang
kalian percaya bahwa kami adalah utusan dari Pangeran Zhu Di?” tanya Changyi
pada si lelaki bermata buas yang terlihat lebih dulu bangkit berdiri.
Si lelaki bermata
buas yang kini telah mengetahui siapa adanya sosok gagah berjubah di atas kuda
hitam menjadi jerih. Bagaimanapun ia telah banyak mendengar tentang seorang
yang mendapat julukan sebagai matahari kecil itu.
“Tu..Tuan Muda…kami
hanya menjalankan tugas dari Tuan Hui” sahut si lelaki bermata buas seraya
membungkuk di depan Changyi. Beberapa lelaki lain yang telah bangkit berdiri
turut membungkuk dalam jarak satu langkah di depan si mata buas.
“Hmm..aku sudah tahu
tentang majikan kalian itu” ucap Changyi. “Dan aku memastikan bahwa dia akan
mendapatkan hukuman yang berat atas semua kekejaman yang dilakukannya pada
penduduk di desa ini. Seluruh tanah di wilayah Kerajaan Ming adalah milik Yang
Mulia Kaisar sehingga tak seharusnya seseorang memiliki tanah melebihi orang
lain terlebih dengan jalan melakukan kekejaman seperti majikan kalian itu”.
Si mata buas terlihat
pucat mendengar kalimat yang diucapkan oleh Changyi. Tak ada jawaban keluar
dari mulutnya selain tubuh yang semakin dalam membungkuk.
“Sekarang kalian
pergilah dari desa ini, jangan kembali pada majikan kalian dan carilah
kehidupan kalian sendiri yang lebih baik. Jangan pernah mengganggu para
penduduk desa lagi” ucap Changyi saat tak ada sahutan dari orang-orang yang
terlihat membungkuk di depannya.
“Baik…baik Tuan Muda
Xu…kami akan pergi dari desa ini dan kami tidak akan mengganggu para penduduk
lagi. Tapi…jangan laporkan kami pada Yang Mulia Kaisar” sahut si mata buas
dengan suara penuh harap.
“Kami mohon Tuan Muda
Xu!” seru teman-teman si mata buas seraya merapat ke arah teman mereka seolah
hendak menguatkan permohonan dan harapan si mata buas.
Changyi menatap
kesebelas orang di depannya dan mengangguk.
“Selama kalian memegang
janji kalian untuk tidak mengganggu penduduk desa dan siapapun juga, maka
akupun berjanji tidak akan melaporkan kalian pada Yang Mulia Kaisar.
Tetapi…jika kalian melanggar janji maka aku pasti akan mencari kalian dan
membawa kalian ke hadapan Yang Mulia Kaisar” jawab Changyi kemudian. “Sekarang
pergilah…cepat!”.
“Baik Tuan Muda!”
seru para lelaki di depan Changyi nyaris bersamaan.
Hanya butuh sesaat
untuk meninggalkan halaman rumah Keluarga Xiao Jiang. Demikianlah yang
dilakukan oleh orang-orang yang merupakan anak buah Tuan Hui si tuan tanah yang
sangat ditakuti oleh para penduduk desa. Ketegangan yang seolah hendak
berlangsung dengan mencekam mendadak sirna dalam sekejab membuat semua penduduk
yang semula hanya berani melihat dari kejauhan segera berlarian mendekat begitu
kelompok tukang pukul si tuan tanah pergi. Suasana kembali gaduh meski kini
dalam nuansa yang berbeda. Changyi memutar pandangannya menatap ke sekeliling
dan melihat beberapa lelaki telah mengangkat Xiao Jiang ke beranda rumah
sementara beberapa wanita terlihat menenangkan istri Xiao Jiang yang nampaknya
telah tersadar dari pingsannya. Xiao Long telah diletakkan di atas dipan bambu
kecil di beranda dan terlihat Kasim Chen yang tengah merawat anak kecil yang
malang itu dengan Xiao Ai yang berlutut di sisi adiknya.
Changyi menarik nafas
dalam-dalam. Sepertinya keadaan telah terkendali sekarang. Meskipun ia tidak
tahu seperti apakah adanya orang yang disebut sebagai Tuan Hui itu, namun ia
percaya bahwa dalam beberapa hari kedepan, para penduduk desa akan aman tanpa
gangguan. Ia telah mendengar perihal gangguan yang dialami oleh penduduk desa
saat mereka baru saja memasuki desa tersebut untuk menjemput gadis bernama Xiao
Ai senja tadi. Adalah hal yang sangat kebetulan bahwa anak buah si tuan tanah
tengah berusaha untuk membawa gadis yang hendak mereka jemput ke istana
tersebut sehingga ia Xiao Chen dan Xu Guanjin dapat menemukan rumah keluarga
petani sederhana tersebut dengan mudah. Kekerasan yang terjadi di depan matanya
dengan cepat menyulut kemarahan dalam hati Changyi meski ia berusaha untuk
mengendalikan dirinya. Terlebih dengan adanya Xu Guanjin di sisinya. Kemarahan yangs
sejatinya muncul dari terungkitnya kenangan masa lalu saat ia masih menjalani
kehidupan sebagai anak keluarga petani bersama orangtuanya dahulu. Kehidupan sederhana
tanpa impian yang muluk namun memberikan rasa bahagia yang bulat dan utuh. Hingga
bencana banjir dan wabah penyakit menghancurkan semuanya, merenggut semua
kebahagiaannya, mengambil orangtuanya, masa kecilnya dan kemudian
melemparkannya ke kehidupan yang tak pernah terbayangkan sedikitpun dalam
benak.
Changyi menangkupkan
kedua tangannya ke depan dada dan sedikit membungkuk saat ia mendengar
suara-suara yang saling bersahutan memanggil namanya. Bibirnya yang berlekuk
indah mengurai senyum menawan membuat suara desah dan jerit semakin jelas
terdengar. Sudut mata Changyi melirik ke arah sosok dalam selubung jubah yang
masih duduk di atas kuda dan sekilas ia menangkap sebuah kilau tajam berkelebat
bagaikan sebuah petir mungil yang terang dari sepasang mata di balik penutup
kepala jubah. Sebuah petir yang mengisyaratkan kecemburuan membuat sudut bibir
Changyi tertarik membentuk sebuah senyum simpul yang memabukkan. Terkesan sinis
namun mematikan. Satu tangan mungil sosok berjubah yang semula memegang tali
kendali kuda terlihat terangkat ke atas dan mendekap dada membuat tarikan
senyum Changyi mengembang menjadi tawa pelan dalam luapan rasa cinta dan gemas
yang tertahan di dasar hatinya.
Sesaat suasana masih
gaduh oleh suara panggilan dan elu kagum para penduduk desa pada sosok rupawan
di tengah halaman rumah Keluarga Xiao Jiang, hingga…saat Changyi mengangkat
tangan kanannya ke udara, suasana seketika menjadi senyap. Semua penduduk terdiam
menunggu hal yang akan diucapkan oleh sosok bintang istana yang sangat mereka
kenal selain Pangeran Keempat tersebut.
“Saudara-saudara
semua…pada malam ini kami harus membawa Nona Xiao Ai ke istana atas perintah
dari Pangeran Keempat. Karena itu kami mengharapkan saudara semuanya untuk
merawat keluarga dari Nona Xiao Ai hingga urusan di istana selesai” ucap
Changyi dengan suara tegas dan jelas.
“Tuan Muda Xu…bagaimana
dengan orang-orang Tuan Hui itu? Bagaimana jika mereka kembali saat Tuan Muda
Xu dan Tuan Chen telah kembali ke istana lalu mereka mengganggu kami?” tanya
seorang lelaki penduduk desa dengan nada cemas. Pertanyaan yang segera mendapat
sambutan dari para penduduk lain.
Changyi kembali
mengangkat tangannya saat suasana kembali gaduh oleh keluhan dan pengaduan para
penduduk desa.
“Saudara semua tidak
perlu cemas, mereka tisak akan berani untuk penduduk desa ini. Nanti setelah
sampai di istana kami akan mengirimkan utusan prajurit untuk menangkap siapapun
orang yang telah berbuat curang dan melakukan kekejaman pada para penduduk
desa. Karena itu, saudara semua tidak perlu merasa takut dan kembalilah
melakukan kegiatan sehari-hari dengan rasa aman” ucap Changyi kemudian saat
suasana telah kembali tenang. Kepalanya menoleh saat ia mendengar suara langkah
di belakangnya. Xiao Chen telah melangkah ke arah kudanya dan membantu
menaikkan Xiao Ai ke atas punggung binatang tersebut. Pandangannya sempat
bertumbukan dengan sepasang mata bening Xiao Chen dan menangkap isyarat di
sana.
“Saudara-saudara
semua, kami akan kembali ke istana sekarang dan kami titipkan keluarga dari
Nona Xiao Ai. Jangan pernah takut dengan orang-orang milik Tuan Hui sebab
mereka tidak akan mengganggu desa ini lagi” ucap Changyi saat pandangannya
kembali pada para penduduk desa.
Terdengar kembali
suara berdengung mengalir di udara saat masing-masing orang mengeluarkan suara
diselingi suara-suara pekik halus para wanita yang memanggil Tuan Muda Xu.
Changyi menangkupkan
kedua tangannya di depan dada saat beberapa gadis berusaha merangsek ke depan
seraya terus memanggil namanya. Satu dua di antara gadis muda itu terlihat
melinangkan airmata. Tak ada kata meluncur keluar dari bibir Changyi selain
sebuah senyum mematikan yang mengiringi tubuh indah berbalut hanfu biru
berjalan cepat ke arah kuda hitam yang tegak menunggu kemudian dengan ringan
tubuh tinggi dan gagah itu melompat ke atas punggung kuda. Sesaat Changyi
menatap ke arah Xiao Ai yang telah duduk di atas kuda milik Xiao Chen.
“Adik Chen, di mana
kuda milik Pangeran Zhu Di?” tanya Changyi seraya menatap adiknya yang berdiri di depan kudanya
sambil memegang tali kendali kuda.
“Aku
menyembunyikannya di batas desa Kakak, supaya tidak terlalu menarik perhatian”
jawab Xiao Chen seraya tersenyum. “Kakak tidak perlu khawatir, aku akan
berjalan sampai di batas desa tempat kuda Pangeran Zhu Di berada”.
Tapi Changyi
mengangguk. Tidak masalah bagi Xiao Chen untuk berjalan sebab ia yakin, dengan
kemampuan meringankan tubuh yang dimiliki oleh adiknya itu, Xiao Chen pasti
bisa berjalan sama cepat dengan lari kuda-kuda mereka. Tanpa sedikitpun rasa
lelah.
“Baiklah…ayo kita
berangkat sekarang, hari sudah semakin malam” ucap Changyi seraya menghela
kudanya. Kuda hitam yang besar itu segera berjalan pelan meninggalkan halaman
rumah Keluarga Xiao Jiang, diikuti oleh dua kuda lain dan Xiao Chen yang
berjalan di sisi kudanya.
Xiao Ai sempat
menoleh dan melambai pada semua penduduk desa yang sebagian masih berjalan mengikuti
mereka di belakang. Selanjutnya gadis itu lebih banyak tertunduk sementara Xiao
Chen menuntun kudanya. Sudut mata Xiao Ai sempat melirik ke arah sosok berjubah
yang duduk di atas kuda di sisi kuda hitam Changyi dan bertanya-tanya dalam
hati mengapa sosok berjubah tersebut sama sekali tak mengeluarkan sebuah suara
sedikitpun. Jubah panjang dan hitam yang menutupi tubuhnya hingga ke bagian
kepala menyembunyikan secara keseluruhan sosoknya membuat Xiao Ai tidak tahu
apakah sosok berjubah di sisi Changyi itu lelaki ataukah wanita.
Namun, sesuatu yang
terasa kuat berdesir dalam hati Xiao Ai saat ia melihat satu tangan Changyi
terulur dan mengambil alih kendali kuda
yang semula dipegang oleh sosok berselubung jubah itu kemudian menghela kuda
yang menjadi tunggangan sosok misterius tersebut hingga kini kuda berwarna
coklat terang itu berjalan tepat di sisi kuda hitam besar seolah keberadaan
kuda hitam yang kharismatik itu menjadi pelindung bagi kuda coklat terang.
Bukanlah keberadaan
kuda coklat terang yang tiba-tiba terlihat demikian mungil di sisi kuda hitam
Changyi yang membuat dada Xiao Ai berdesir, tetapi adanya kekuatan yang
tersirat dengan begitu nyata dari apa yang dilihatnya. Kekuatan melindungi yang
sangat besar dan hal itu hanya terisyaratkan oleh sebuah cinta yang telak. Cinta
yang telah merenggut seluruh bagian dalam diri seorang manusia hingga tak ada
bagian untuk hal lain selain cinta itu sendiri.
Cinta paling telak yang
membuat Xiao Ai teringat akan kekuatan cinta dalam hatinya sendiri pada pemuda
A Seng. Cinta yang membuatnya tak lagi memiliki rasa takut bahkan pada kematian
sekalipun. Gadis itu kembali melirik ke depan, pada sosok indah bersinar Xu Changyi
yang telah kembali berselubung jubahnya dan sosok berjubah lain yang tak dapat
ia lihat wajahnya. Sebuah desir yang semakin kuat terasa meledak di dada Xiao
Ai saat ia melihat Changyi menelengkan kepalanya ke arah sosok berjubah lain
seolah tengah menanyakan sesuatu. Hal yang tak dapat didengarnya dengan jelas
karena jaraknya dengan Changyi dan sosok berjubah yang agak jauh. Ia hanya
melihat senyum di wajah Changyi yang tak tertutup oleh jubah. Senyum yang
menyiratkan rasa geli namun juga sekaligus…cinta yang teramat besar.
Xiao Ai menarik nafas
panjang sementara kenangan akan kekuatan cintanya sendiri terasa membayang
tepat di depan mata membuat pandangannya mengabur.
Desa tempat ia
dilahirkan semakin jauh tertinggal di belakang…tak ada lagi yang kini tersisa
dalam hati Xiao Ai selain sebuah pertanyaan tentang jalan yang akan dilaluinya
nantinya. Apakah akan lebih mudah ataukah akan lebih sulit? Apa yang akan
dihadapinya di istana nanti? Mengapa Pangeran Keempat menghendaki untuk
memanggilnya menghadap ke istana? Apakah hal ini ada hubungannya dengan pemuda
A Seng?...Sedangkan tak seorangpun selain dirinya yang tahu siapakah sesungguhnya
pemuda A Seng itu. Mungkinkah Pangeran Zhu Di telah mengetahui hal yang hanya
diketahuinya sendiri ini?.
Sinar rembulan jauh
dilangit mulai menampakkan diri seolahmembawa kabut kehidupan seorang Xiao Ai
semakin lekat melekat dengan segala misteri yang tak mampu dikuaknya…
Untuk saat ini…
*************
Tidak ada komentar:
Posting Komentar