Minggu, 24 April 2016

Straight - Episode 6 ( Bagian Delapan )


Yingtian…
Beberapa saat sebelum peristiwa kedatangan Changyi, Xiao Chen dan Xu Guanjin ke rumah Keluarga Xiao Jiang jauh di sebuah desa sebelah utara kotaraja…
“Siapa yang bertugas membawakan bahan makanan ke dapur istana?” sebuah suara berat terdengar berdentam membuat beberapa pelayan dan dayang yang tengah sibuk seketika menghentikan kegiatan mereka dan berbalik, menghadap seorang lelaki bertubuh kekar yang baru saja datang lalu serentak membungkukkan tubuh mereka.
“Hormat kami pada Tuan Hu” seru para pelayan dan dayang bersamaan.
Perdana menteri Hu Weiyong mengangguk sekilas dan menatap guci-guci berisi arak yang tertata rapi di atas sebuah pedati.
“Apakah itu arak untuk pesta perjamuan besok?” tanya Sang Perdana Menteri seraya menunjuk ke arah deretan pedati berisi guci-guci yang tertutup rapat.
“Benar Tuanku…kami telah menata sesuai dengan jenis arak seperti yang Tuan Hu perintahkan. Arak madu, arak bunga, arak akar kayu, arak buah dan arak beras” jawab seorang pelayan.
“Ada berapa semuanya?” tanya Perdana Menteri Hu Weiyong, masih menatap deretan guci di dalam pedati. Pejabat tinggi istana itu kemudian melangkah mendekati satu pedati dan mulai membuka salah satu penutup guci, sejenak mengendus-endus sebelum kemudian menoleh ke arah pelayan yang berdiri beberapa langkah di belakangnya. “Untuk siapa arak bunga ini?”.
“Semuanya ada tiga puluh pedati dengan jumlah arak sebanyak seratus dua puluh guci arak Tuanku. Arak bunga ini untuk Pangeran Zhu Di. Karena Pangeran Keempat sangat menyukai arak bunga, sehingga perintah dari Yang Mulia Ratu yang kami terima adalah agar arak untuk Pangeran Zhu Di besok diambilkan arak bunga” sahut sang pelayan seraya menunjuk pedati berisi empat guci arak bunga.
Perdana Menteri Hu Weiyong kembali mengangguk. Pandangannya kemudian beralih ke arah pedati-pedati lain.
“Kemana saja mereka akan dikirimkan? Jangan melupakan arak yang menjadi kesukaan Yang Mulia Kaisar” ujar Perdana Menteri Hu seraya menunjuk pedati-pedati yang berjajar rapi di depan rumah arak.
“Arak-arak ini akan dikirim ke istana untuk perjamuan besok Tuanku. Arah madu untuk perjamuan agung, arak beras, arak buah dan arak akar kayu kami kirim ke dapur istana untuk bumbu dan sebagai bahan pencampur kue-kue beras. Selain itu kami juga mengirim beberapa guci arak untuk istana Yang Mulia Kaisar, Yang Mulia Ratu, istana para pangeran, para puteri, para selir dan keluarga kaisar. Untuk Yang Mulia Kaisar, kami telah memilihkan arak madu terbaik. Itu di sana kami menempatkan arak untuk Yang Mulia Kaisar” jawab si pelayan seraya menunjuk sebuah pedati yang terletak paling ujung. Terdapat empat buah guci berukuran sedang di dalam pedati dengan tutup bertali kulit yang sangat rapat.
Perdana Menteri Hu Weiyong menatap pedati yang ditunjuk oleh sang pelayan lalu tersenyum.
“Bagus…jika begitu, tidak ada masalah dengan arak untuk perjamuan besok. Jika ada kekurangan atau ada arak yang rusak kau harus segera menghubungi Kepala Dapur Jiu Zhong agar memerintahkan si pembuat arak untuk segera mengganti. Aku sudah mengatakan pada Kepala Dapur agar menyediakan beberapa guci arak sebagai persediaan jika ada kekurangan” sahut Perdana Menteri Hu Weiyong pada pelayan bagian arak di dekatnya.
“Baik Tuanku…setiap arak yang masuk ke dapur utama maupun dapur-dapur keluarga Kaisar akan selalu kami laporkan pada Tuan Jiu Zhong” sahut si pelayan sambil membungkukkan tubuhnya kembali.
“Baiklah, cepat kemasi arak-arak itu. Aku akan memeriksa bagian lain” ucap Perdana Menteri Hu seraya melangkah pergi.
Si pelayan tak sempat mengucapkan sepatah kata saat sang pejabat tinggi kerajaan itu berlalu. Namun lelaki bertubuh kecil kurus itu kembali membungkuk dalam ke arah Perdana Menteri Hu Weiyong yang telah melangkah semakin jauh meninggalkan gudang arak.
Malam baru saja datang. Jika seseorang naik ke atas atap bangunan istana maka niscaya kedua matanya masih akan menangkap sisa-sisa senja dengan semburat jingga mataharinya di batas cakrawala.
Namun, bagi para pelayan, dayang, serta juru masak, waktu yang seolah masih terbilang sore itu telah berjalan dengan kecepatan kilat menuju esok hari di mana pernikahan agung akan dilakukan. Seluruh bangunan istana telah selesai dihias dengan berbagai ornament indah yang semakin menampakkan kharisma dan keanggunan Kaisar Hongwu sebagai seorang raja besar. Cahaya terang dari lampion-lampion indah berpendar di setiap bagian istana membuat bangunan yang telah sangat indah itu kini seolah berubah menjadi sebuah istana cahaya yang hanya ada dalam cerita-cerita tentang negeri impian. Aroma harum bunga, kayu-kayuan, serta dedaunan memenuhi setiap bagian istana dalam takaran yang pas membuat udara terasa sangat nyaman dan lembut untuk dihirup serta membawa rasa bahagia yang kuat ke dalam kalbu setiap orang. Keharuman yang terbawa angin hingga dapat dihirup oleh seluruh rakyat di luar tembok istana dan memberikan kegembiraan dalam irama pesta rakyat yang telah berlangsung sejak beberapa hari sebelumnya.
Kegembiraan yang justru nyaris tak terasakan bagi para juru masak yang bekerja keras di dapur-dapur istana.
Si pelayan dari bagian gudang arak menguap beberapa kali seraya mengucak-ucak matanya. Satu tangannya memegang  gulungan kertas kulit kayu tempat ia mencatat setiap pedati berisi arak yang telah dibawa pergi menuju tempatnya masing-masing. Sesuai dengan perintah yang diberikan oleh Perdana Menteri Hu Weiyong sebelumnya, ia mencatat setiap arak yang dikirim menuju dapur istana untuk keperluan bumbu maupun sebagai minuman dalam perjamuan besok. Laporan yang ia catat saat ini nantinya akan disampaikannya pada Kepala Dapur Jiu Zhong.
Sekali lagi si pelayan bertubuh kecil itu menguap. Ia sudah beberapa hari tidak tidur karena persiapan pernikahan Pangeran Mahkota yang sangat banyak. Membuat arak bukanlah hal yang mudah karena kesalahan sedikit saat memeras buah, bunga, madu maupun beras akan membuat arak kehilangan keharuman dan rasanya. Bahkan bisa jadi arak akan menjadi asam ataupun pahit. Karena itu ia dan teman-temannya di bagian gudang arak bekerja demikian keras hingga tak ada waktu sedikitpun sekedar untuk tidur.
Tinggal dua pedati lagi yang masih menunggu di antar. Itu pedati berisi arak bunga untuk istana Pangeran Keempat dan arak buah untuk istana para puteri. Setelah dua pedati itu diambil, maka tugasnya malam ini selesai. Mungkin ia bisa tidur barang sebentar sebelum mempersiapkan arak-arak baru sebagai persediaan untuk keperluan berikutnya.
Si pelayan menunduk menatap lembar kertas kulit kayunya. Sesaat membaca kembali catatan yang telah ia tuliskan dan mengangguk puas sebelum kemudian menarik nafas dalam-dalam. Udara di awal malam ini benar-benar segar. Aroma harum bunga dan kayu-kayuan terasa lembut memasuki ruang dadanya membuat si pelayan bertubuh kurus sekali lagi menarik nafas dalam-dalam. Kesejukan dan keharuman yang terasakan di dalam udara yang dihirupnya membuat si pelayan memejamkan mata dengan rasa nikmat. Ia merasa seperti melayang dan sesaat si pelayan seperti benar-benar tertidur. Hanya sesaat karena saat berikutnya, lelaki bertubuh kurus yang cekatan itu segera membuka kedua matanya kembali.
Dan segera ia terkejut saat mendapati seorang pelayan lain telah berdiri di sisi pedati yang berisi guci-guci arak untuk istana Pangeran Zhu Di. Si pelayan bertubuh kurus mencoba untuk menatap wajah pelayan lain yang telah bersiap menarik pedati berisi arak bunga tersebut namun pandangannya terasa sangat kabur. Mungkin pengaruh dari rasa kantuk dan tidur sesaat yang ia alami beberapa detik lalu. Satu tangannya terangkat dan kembali mengucak-ucak mata.
“Kau yang akan membawa pedati itu ke istana Pangeran Keempat?” tanya si pelayan bertubuh kurus seraya menatap pelayan lain di depannya. Kedua alis dan keningnya berkerut dalam mencoba menembus kabut tebal yang menghalangi kedua matanya mengenali siapa adanya pelayan yang telah bersiap membawa pedati. Namun, kabut ini seperti terpatri mati di kedua pelupuk matanya membuat rasa kabur tak juga menghilang. Bahkan kemudian, kepalanya terasa sedikit pening dengan rasa lemas menghinggapi tubuh. Si pelayan bertubuh kurus menarik nafas dalam-dalam. Rupanya ia benar-benar kelelahan dan butuh tidur sekarang.
“Benar…hanya tinggal dua pedati lagi. Aku sangat lelah dan aku ingin semuanya segera selesai agar bisa tidur barang sebentar jadi aku akan mengantar arak bunga ini ke dapur istana Pangeran Keempat” jawab pelayan lain seraya bersiap mendorong pedati yang telah dipegangnya.
“Lalu kenapa kau hanya sendiri? Mana yang lain?” tanya si pelayan bertubuh kurus seraya menguap lebar.
“Ada di belakang. Sebentar lagi pasti datang. Baiklah, aku akan segera mengantarkan arak ini sebelum hari benar-benar menjadi malam. Kau sepertinya sangat mengantuk, kupikir kau butuh tidur sekarang” jawab si pelayan lain seraya mulai melangkah pergi.
Si pelayan bertubuh kurus mengangguk.
“Ya..aku memang ingin tidur sekarang. Aku benar-benar mengantuk” gumam si pelayan bertubuh kurus seraya kembali mengucak-ucak kedua matanya. “Ah..kenapa kedua mataku jadi sangat kabur begini? Kantuk benar-benar sudah merusak dua mataku”.
Si pelayan bertubuh kurus menatap ke depan dan melihat bayangan pedati yang membawa guci-guci arak bunga untuk Pangeran Keempat semakin menjauh. Ia tak dapat melihat dengan jelas namun bayangan saat pedati kecil itu menghilang di ujung jalan setapak istana masih dapat ditangkapnya. Tangan kanannya mengangkat kayu tinta sementara gulungan kertas kayu yang dipegangnya dibentangkan. Seraya menguap untuk kesekian kali, lelaki bertubuh kurus itu melangkah ke arah sisi gudang arak di mana terdapat panggung kayu tempat beberapa guci tertata dengan rapi.  Itu adalah guci-guci berisi arak muda yang baru saja dibuat. Dengan gerak lemah karena rasa kantuk yang sangat berat si pelayan kurus melompat ke atas panggung kayu pada bagian yang kosong dari guci arak. Kemudian, demikian ia telah berhasil naik ke atas panggung, segera saja tubuh yang lemah oleh kantuk itu menggelosoh ke atas papan kayu panggung. Kayu tinta di tangan kanannya terlepas tanpa sempat digunakan, demikian juga dengan gulungan kertas kayu. Hanya butuh sekedip mata bagi kedua mata yang telah sangat berat itu untuk menutup rapat dan pelayan kurus itupun terlelap dalam tidur yang sangat pulas.
Demikian pulas hingga ia tak mengetahui saat kedatangan dua orang pelayan yang segera menjadi kebingungan ketika menyadari bahwa salah satu pedati yang mestinya mereka bawa telah hilang satu. Satu pelayan melongok ke sana kemari mencari-cari.
“Aneh sekali, ke mana pedati berisi arak bunga untuk istana Pangeran Keempat?” tanya pelayan pertama seraya menatap ke arah temannya. Kedua matanya menyiratkan kebingungan sekaligus rasa takut. “Bukankah seharusnya ada dua pedati di sini dan kitalah yang bertugas membawanya ke istana Pangeran Keempat dan istana para puteri?”.
Pelayan lain yang bertubuh agak pendek mengangguk. Ia berjalan ke arah jalan setapak istana.
“Kau benar!” katanya kemudian. “Ini hanya satu pedati berisi arak buah untuk istana para puteri, lalu ke mana pedati berisi arak bunga untuk istana Pangeran Zhu Di?”
“Mungkinkah ada pelayan yang telah lebih dulu datang dan mengantar arak untuk istana Pangeran Zhu Di?” tanya pelayan pertama yang bertubuh besar.
“Entahlah” si pelayan bertubuh pendek menggelengkan kepalanya. Kepalanya kembali berpaling menengok ke sana ke mari, lalu pandangannya terhenti pada sosok seorang pelayan yang tengah pulas tertidur di atas panggung guci arak. “Tapi jika memang ada pelayan yang lebih dulu datang dari kita lalu membawa arak untuk istana Pangeran Zhu Di, pasti ada catatannya. Nah..dia pasti tahu ke mana arak untuk istana Pangeran Keempat”.
Pelayan bertubuh besar mengangguk setuju dan dengan langkah cepat segera melangkah menuju panggung kayu di mana teman mereka tengah tertidur dengan pulas. Raut wajahnya sedikit jengkel saat tangannya mulai menggoyang bahu si pelayan kurus yang pulas tersebut.
“Bangun!” serunya dengan suara keras. “Ayo cepat bangunlah. Kenapa kau tidur di sini?”.
Tapi, si pelayan bertubuh kurus itu sama sekali tak bergeming. Suara dengkurnya yang halus terdengar berirama teratur.
“Dia tidur seperti orang pingsan. Mungkin dia benar-benar sangat kelelahan” ujar pelayan bertubuh pendek yang telah turut berdiri di sisi temannya. Pandangannya tertumbuk pada gulungan kertas kayu di sisi si pelayan bertubuh kurus. “Kita lihat saja catatannya itu, pasti ada nama pelayan yang sudah mengantarkan arak bunga untuk istana Pangeran Keempat”.
“Kau benar” sahut pelayan berbadan besar seraya menjumput gulungan kertas kayu di sisi teman mereka yang tertidur pulas kemudian membukanya. “Pasti ada di sini catatannya. Ini lihatlah”.
Si pelayan bertubuh pendek mendekatkan kepalanya ke arah lembaran kertas kayu yang telah membuka dan kemudian membaca. Sejenak keheningan menyelimuti keduanya sementara dua pelayan itu menekuni catatan yang tertulis di atas kertas. Hingga kemudian, sebuah kerut menghiasi wajah kedua pelayan tersebut.
“Aneh sekali, kenapa di sini tercatat bahwa arak bunga untuk istana Pangeran Zhu Di sudah dikirim tapi tidak ada catatan siapa nama pelayan yang mengantarkannya?” gumam pelayan berbadan besar seraya membolak-balik kertas kayu di tangannya. Pandangannya beralih pada pelayan pendek di sisinya. “Tidakkah ini aneh?”.
“Kau benar, ini memang aneh” si pelayan pendek mengangguk membenarkan. “Apakah mungkin dia lupa mencatat nama pelayan yang mengantarkan arak untuk istana Pangeran Zhu Di?”.
Si pelayan berbadan besar mengangkat bahunya.
“Entahlah..” katanya seraya menatap teman mereka yang tertidur pulas. “Hal itu mungkin saja jika dilihat caranya tidur sekarang. dia benar-benar seperti orang mati”.
“Tidakkah sebaiknya kita bangunkandia lalu kita tanyakan padanya siapa pelayan yang membawa arak untuk panegran Keempat?” tanya pelayan bertubuh pendek kembali.
Si pelayan berbadan besar menggelengkan kepalanya berkali-kali dengan rasa heran tergambar jelas di wajahnya.
“Sepertinya itu akan sulit. Kau lihat tadi aku sudah mencoba membangunkannya tapi dia sama sekali tidak bergerak bukan?” ujarnya seraya menggoyang bahu pelayan kurus yang tengah tertidur pulas. Sama seperti sebelumnya, tak terlihat reaksi sedikitpun pada pelayan kurus di atas panggung kayu.
 “Jika begitu, sepertinya kita memang harus menunggu sampai dia bangun” sahut pelayan bertubuh pendek. Tangannya menggulung kembali kertas kayu yang diambilnya dari tangan pelayan berbadan besar. “Catatan ini biar kusimpan saja. Nanti, jika ia bangun, aku akan menanyakan padanya siapa pelayan yang sudah mengantarkan arak untuk Pangeran Keempat”.
“Kau benar” pelayan berbadan besar mengangguk membenarkan. “Lagipula, hari sudah semakin malam, sebaiknya kita antarkan saja arak buah ini ke istana para puteri”.
“Kau yang menarik pedatinya, aku akan mendorong dari belakang” jawab pelayan pendek sambil mulai melangkah ke arah satu-satunya pedati yang tersisa.
Si pelayan bertubuh besar melengak dengan mata melotot.
“Seperti itu lagi?” semburnya seraya melayangkan satu tendangan kaki kanannya ke arah pinggul temannya. Namun pelayan bertubuhpendek telah mengelak dengan gesit seraya tertawa terkekeh. “Kita sudah mengantarkan delapan pedati arak dan selalu aku yang menarik. Kau ini benar-benar curang sekali”.
“Ayolah…buat apa kau memiliki tubuh sebesar itu kalau tidak untuk menolong temanmu yang kecil ini?” sungut pelayan pendek. Rautnya terlihat memelas dengan ekspresi yang dibuat-buat.
“Kecil katamu? Apamu yang kecil? Kau bahkan makan lebih banyak dariku” hujat pelayan berbadan besar. Langkahnya cepat menuju pedati berisi arak buah dan berdiri di bagian belakang. “Kali ini aku tidak mau mengalah lagi. Kau yang harus menariknya agar tubuhnya bisa bertambah tinggi”.
Pelayan bertubuh pendek cemberut, namun lelaki berwajah kocak itu melangkah juga ke arah pedati dan mulai memegang bagian depan pedati.
“Baiklah” katanya. “Tapi aku akan memberitahu istrimu apa yang menjadi rahasiamu”.
Si pelayan berbadan besar kembali terjenggit.
“Apa katamu? Apa yang akan kau katakan pada istriku?” tanya pelayan berbadan besar mendorong tubuhnya mencondong ke arah temannya sementara keduanya mulai berjalan meninggalkan halaman gudang arak. “Kau mau menghancurkan aku. Begitukah? Berani kau lakukan itu padahal kita sudah berteman begitu lama”.
“Kenapa tidak?” jawab si pelayan pendek seraya mencibir. “Aku akan mengatakan pada istrimu bahwa kau…”
“Bahwa aku apa?” cecar pelayanberbadan besar. “ Kenapa kau berhenti? Apa yang akan kau katakan pada istriku? Bahwa aku ini apa?”.
Tapi si pelayan bertubuh pendek masih terdiam dan justru melambatkan langkah kakinya. Kepalanya yang bulat sedikit menengadah dan mulai hidungnya mengeluarkan suara dengusan halus seolah ia sedang mengendus.
“Ssst…diamlah” ujar pelayan pendek seraya mendekatkan jari telunjuknya ke bibir. “Coba kau hirup udara ini. Kenapa wanginya jadi berbeda?”
Alis pelayan berbadan besar berkerut. Namun langkahnya kemudian terhenti sebagaimana pelayan pendek dan ia turut pula mengendus.
“Menurutku udara di istana memang sangat harum karena aroma wewangian yang dipasang di setiap bagian istana. Sejak kemarinpun aku sudah mencium udara yang wangi seperti ini?” sahut pelayan berbadan besar sambil menatap temannya. “Kupikir ini biasa saja”.
“Tidak…ini tidak biasa” sanggah pelayan pendek menggelengkan kepalanya kuat-kuat. “Wanginya sangat berbeda”.
“Berbeda? Di mana letak perbedaannya?” tanya pelayan berbadan besar tidak mengerti. Ia sungguh tidak merasakan hal yang ganjil pada keharuman udara yang mereka hirup saat ini.
“Wanginya terlalu mencolok” jawab pelayan pendek. “Dan berbeda dengan keharuman udara yang kita hirup saat kita berada di sekitar istana Pangeran Mahkota, istana Yang Mulia Kaisar, istana Yang Mulia Ratu dan di manapun. Memang wangi, tapi seperti ada yang berbeda dengan wangi yang kurasakan sekarang. Wanginya seperti membuatku merasa malas”.
Pelayan berbadan besar melepaskan bibir pedati yang semula dipegangnya lalu melangkah cepat ke depan. Kemudian, sebelum si pelayan pendek menyadari, mendadak sebuah pukulan ringan telah melayang dari tangan pelayan berbadan besar dan tepat mengenai kepalanya. Pelayan bertubuh pendek mengaduh seraya memegangi kepalanya.
“Hish!...dasar kau!” kata pelayan berbadan besar. “Katakan saja kau juga ingin tidur. Dasar pemalas! Ayo cepat jalan, kita bisa mendapat hukuman jika sampai terlambat”.
Pelayan bertubuh pendek meringis. Kedua tangannya kembali memegang sisi depan pedati dan mulai menariknya.
“Tapi aku memang mengantuk” gumamnya pelan membuat pelayan berbadan besar di bagian belakang pedati menggelengkan kepalanya. “Udara ini wanginya seperti membuatku mengantuk. Seharusnya kau juga merasakannya”.
“Cepat jalan!” sentak pelayan berbadan besar sambil mendorong pedati yang dipegangnya dengan keras ke arah pinggul temannya membuat si pelayan pendek nyaris terjungkal.
Tetapi tak ada kalimat meluncur keluar dari mulut pelayan bertubuh pendek. Lelaki itu terus melangkah sambil terus mengendus udara. Sesekali, ia menarik nafas dalam-dalam dan kemudian, nyaris tanpa sadar, kedua matanya memejam meski kemudian segera membuka kembali saat merasakan dorongan bibir pedati yang menyenggol keras pinggulnya.
Udara memang aneh…
Dan ia sungguh merasakannya…
**************

Istana Pangeran Keempat…
Kasim Anta berjalan tergopoh-gopoh menuju ke arah Pangeran Zhu Di yang tengah berdiri di sisi taman. Tubuhnya telah membungkuk dalam sementara sang pangeran tampan membalikkan tubuhnya yang indah dan menatap pengasuhnya dengan pandangan tajam. Wajah jernih sang pangeran yang galak membuat Kasim Anta gugup meski sang kasim tua itu berusaha untuk memperlihatkan senyum lebarnya.
“Pangeran…maafkan hamba karena datang terlambat” ucap Kasim Anta saat menegakkan tubuhnya kembali. Senyumnya mengembang menampakkan sederet gigi agak besar namun putih bersih.
Pangeran Zhu Di cemberut melihat senyum lebar di depannya. Sungguhpun ia merasa sangat jengkel namun tetap saja ia tak mampu menjatuhkan tangan kasar pada lelaki yang telah merawatnya sejak ia masih bayi itu. Tetapi, untuk bersikap lembut-pun, sang pangeran merasa malas karena seringnya ia dibuat bosan oleh kelambatan gerak kasim tuanya.
“Kenapa kau terlambat begitu lama?” tanya Pangeran Zhu Di dengan nada jengkel yang jelas terdengar.
“Ampun Pangeran…hamba terlambat karena tadi ada utusan dari dapur utama meminta hamba untuk menemui Kepala Dapur” sahut Kasim Anta seraya membungkuk dalam-dalam.
“Apa!...jadi kau mendahulukan perintah Kepala Dapur Istana daripada perintahku?! Apa kau sudah bosan hidup? Kau minta mati?” bentak Pangeran Zhu Di dengan sepasang mata membelalak marah. Sungguh keterlaluan, ia menunggu kasim pengasuhnya itu sejak awal sore tadi dan si kasim justru pergi menemui kepala dapur istana. Benar-benar meremehkan!.
Kasim Anta terperanjat mendengar bentakan Pangeran Zhu Di. Tubuh sang kasim yang semula membungkuk dalam segera menjatuhkan diri ke atas lantai kayu dan berlutut.
“Ampun Pangeran…hamba tidak bermaksud mendahulukan Kepala Dapur Istana daripada Pangeran. Hanya saja, pesan yang tertulis dalam surat Kepala Dapur untuk hamba menyebutkan bahwa hamba harus segera menemuinya karena ada beberapa bahan makanan untuk Pangeran yang akan dikirim ke istana ini. Hamba berpikir jika hamba tidak ke sana, mungkin saja akan terjadi kesalahan sehingga nanti Pangeran tidak akan menyukainya. Karena itulah hamba memutuskan untuk datang menemui Juru Masak Jiu di dapur utama” tutur Kasim Anta sambil menengadahkan wajahnya menatap sang pangeran yang tengah menatap ke arahnya dengan dua mata menyorot berang.
“Untuk hal semacam itu bukankah kau bisa menyuruh pelayan lain atau dayang? Kenapa harus kau?” tanya Pangeran Zhu Di, masih dengan nada tinggi.
“Karena Kepala Dapur mengatakan bahwa waktu memasak hidangan untuk Pangeran hanya tinggal malam ini saja sementara tidak ada satupun juru masak yang berani memasak hidangan untuk Pangeran. Termasuk memilih bahan-bahan. Semua menunggu Kasim Chen. Apalagi jumlah hidangan yang harus dimasak sangatlah banyak dan harus sama dengan jenis hidangan yang dimasak di dapur istana karena itu adalah perintah dari Yang Mulia Kaisar melalui Yang Mulia Ratu. Itulah sebabnya Kepala Dapur meminta hamba untuk melihat bahan-bahan makanan yang akan dikirim ke mari sekaligus memberikan catatan semua jenis masakan yang akan dihidangkan dalam perjamuan besok. Demikianlah Pangeran…mohon ampuni hamba” sahut Kasim Anta dengan wajah memelas.
Pangeran Zhu Di tertegun mendengar penuturan kasim pengasuhnya. Ia tidak pernah memperhitungkan seberapa penting keberadaan Kasim Chen di antara seluruh pelayan dan juru masak yang ada di istana. Ia telah terbiasa dengan keberadaan Kasim Chen di sisinya sehingga merasa bahwa keberadaan kasim remaja itu sebagai bagian dari dirinya. Dan kini, ketika istana sedang memiliki kepentingan menjamu seluruh tamu kerajaan dalam sebuah upacara agung di mana seluruh pelayan, dayang dan terutama juru masak terlibat langsung di dalamnya, barulah terasa betapa keberadaan Kasim Chen menjadi sebuah kunci bagi juru masak, pelayan dan dayang lainnya karena tak ada seorangpun pelayan, dayang maupun juru masak yang berani memasak untuknya. Tidak karena semua sudah tahu bahwa ia tak bisa memakan masakan juru masak lain selain hidangan yang dimasak oleh Kasim Chen. Satu hal yang kemudian disadari oleh Pangeran Zhu Di sebagai sebuah kebenaran dari kalimat Kasim Anta adalah bahwa waktu untuk memasak hidangan baginya hanya tertinggal malam ini.
Sementara, Kasim Chen belum sampai di istana karena ia telah memerintahkan kasim kesayangannya itu untuk menjemput Xiao Ai. Di sisi lain, ia sendiri merasa gelisah dengan belum adanya kabar mengenai Xu Changyi dan Xu Guanjin yang terjatuh ke dalam jurang karena kesalahannya. Meskipun hati kecilnya membisikkan bahwa semua akan baik-baik saja, tetapi rasa bersalah yang menyengat setiap ia mengingat jatuhnya Xu Guanjin ke dalam jurang karena ia tidak mengindahkan peringatan yang diberikan oleh Changyi benar-benar telah merampas kedamaiannya saat ini. Karena itulah ia tidak dapat tinggal di dalam kamarnya dan hanya duduk di sisi taman sejak kedatangannya ke istana sore tadi untuk menunggu kedatangan Xiao Chen. Dan kegelisahan yang ia rasakan karena adanya tekanan rasa bersalah itulah yang membuatnya tak dapat memikirkan hal lain selain Xiao Chen yang belum juga sampai di istana serta belum adanya kabar tentang Changyi dan Xu Guanjin.
Lalu, mendadak kini ia mengerti satu penting lain yang sebelumnya tak terlintas dalam benaknya. Hal yang terlihat sepele jika dilihat dari sudut pandangnya namun menjadi hal yang sangat penting jika dilihat dari sudut kepentingan istana – dalam hal ini Yang Mulia Kaisar dan Ratu – serta sudut pandang para pelayan, dayang serta juru masak istana yang tengah mempertaruhkan hidup mereka untuk memberikan pelayanan terbaik bagi para tamu kerajaan demi menjaga nama baik Kaisar serta Ratu sebagai tuan rumah.
Dan ia tidak bisa – belum pernah bisa – untuk mengabaikan para pelayan, juru masak dan dayang. Termasuk kasim yang sekarang sedang berlutut di depannya dengan raut wajah memelas.
Pangeran Zhu Di menarik nafas panjang demikian kesadaran menyusup ke dalam benaknya. Kemarahan yang semula telah mencapai titik puncak di ubun-ubunnya dengan cepat menyurut.
“Jadi begitu?” gumamnya kemudian. Rona merah yang semula menghiasi wajah tampan sang pangeran kesayangan Kaisar Hongwu memupus hilang membuat Kasim Anta diam-diam menarik nafas lega.
“Memang demikianlah Pangeran” sahut Kasim Anta seraya tersenyum. Kedua matanya mengedip-kedip dengan ekspresi menghiba membuat Pangeran Zhu Di merasa jengkel sekaligus terharu dalam hati.
“Lalu, apakah bahan makanan yang hendak dikirim sudah sampai?” tanya Pangeran Zhu Di kemudian.
Kasim Anta mengangguk cepat. “Itu benar Pangeran. Baru saja sampai sesaat lalu, termasuk arak bunga untuk Pangeran juga sudah sampai dan sekarang sedang di rawat oleh juru masak, dayang dan pelayan di dapur. Mereka belum melakukan apapun pada bahan makanan dan arak itu karena semua menunggu Kasim Chen”.
“Tapi Adik Chen belum pulang. Aku menyuruhnya untuk menjemput seseorang dan mungkin saja perjalanan ke sana agak sulit” ujar Pangeran Zhu Di seraya mengerutkan alisnya yang tebal bagus.
“Hambapun juga telah mengatakan hal itu pada Juru Masak Jiu Zhong, namun dia mengatakan tidak dapat berbuat apa-apa karena pada kenyataannya Pangeran hanya dapat menyantap hidangan yang dimasak oleh Kasim Chen. Karena itu, Kepala Dapur hanya dapat menyerahkan bahan-bahan makanan ke dapur kita dan untuk selanjutnya semua diserahkan pada Kasim Chen. Demikianlah Pangeran. Karena itu hamba menjadi gelisah sebab jenis hidangan yang harus dimasak oleh Kasim Chen sangatlah banyak sementara malam semakin larut. Hamba tidak tahu kapan Kasim Chen akan sampai di istana dan para pelayan, juru masak serta dayang di dapur tidak ada satupun yang berani memulai memasak tanpa Kasim Chen” tutur Kasim Anta.
“Tunjukkan catatan jenis hidangan yang diberikan oleh Kepala Dapur Jiu padaku” perintah Pangeran Zhu Di dengan kening alis berkerut. Tangannya terulur ke arah kasim pengasuhnya. Sungguh, masalah kecil ini bisa menjadi masalah besar jika tidak segera diselesaikan.
Kasim Anta sedikit tersentak mendengar perintah Pangeran Keempat, namun kemudian, kasim setia itu segera merogoh ke balik hanfu seragam kasimnya dan mengeluarkan segulung kertas kayu.
“Ini Pangeran…inilah catatan yang diberikan oleh Kepala Dapur pada hamba” ujar Kasim Anta seraya mengulurkan gulungan kertas kayu pada Pangeran Zhu Di.
Pangeran Keempat bergumam dengan suara pelan sementara tangannya merenggut cepat gulungan kertas kayu dari tangan Kasim Anta kemudian membukanya. Sepasang matanya sedikit membeliak saat mendapati deretan nama hidangan yang tertulis di atas kertas. Jenis hidangan itu terdiri dari hidangan berbagai jenis kue, buah-buahan kering, buah-buahan segar, buah-buahan yang diolah dengan arak dan dijadikan manisan, berjenis-jenis sayuran dengan bermacam-macam cara olahan, sup buah, sup sayur, sup daging, sup ikan laut, sup madu, nasi bumbu, nasi daging, nasi kacang merah. Dan seolah belum cukup dengan daftar yang telah demikian panjang, masih ditambah dengan jenis hidangan utama yaitu kepiting salju.
Pangeran Zhu Di mendesah seraya menangkupkan gulungan kertas kayu di tangannya lalu menyerahkannya pada Kasim Anta. Jika demikian banyak jenis makanan yang harus dimasak oleh Xiao Chen, maka sehebat apapun kemampuan kasim kesayangannya itu dalam memasak, namun tetap saja tidak akan bisa menyelesaikan semuanya hanya dalam waktu semalam. Sementara jika jenis-jenis hidangan tersebut tidak dimasak, maka hal tersebut justru akan menjadi sebuah masalah besar karena sama artinya ia membangkang terhadap perintah Kaisar dan Ratu. Mungkin saja Ratu tidak akan memarahinya, namun Kaisar jelas akan menjadi murka terutama karena menganggap ia telah mempermalukan Kaisar di depan para tamu kerajaan.
Jadi, jika seperti itu keadaannya, bukankah memang harus ada yang dikorbankan demi kebaikan semuanya?.
“Baiklah…” ujar Pangeran Zhu Di setelah terdiam beberapa saat kemudian. “Adik Chen memang tidak akan bisa memasak semuanya dalam waktu satu malam karena itu, kau pergilah ke dapur dan perintahkan pada semua juru masak, pelayan dan dayang untuk mulai memasak semua jenis masakan kecuali hidangan utamanya. Untuk kepitingnya, biarkan Adik chen yang memasaknya. Kukira, memasak kepiting tidak membutuhkan waktu yang lama”.
Kasim Anta nyaris terlonjak karena gembira sekaligus lega mendengar perintah yang diucapkan oleh Pangeran Zhu Di. Wajahnya berbinar saat menatap pangeran tampan di depannya.
“Sungguhkah demikian Pangeran? Lalu, bagaimana jika besok dalam perjamuan Pangeran tidak dapat menyantap kue-kue dan lainnya selain hidangan utama? Kami semua yang di dapur tentu akan mendapat marah dari Yang Mulia Kaisar dan Ratu” tanya Kasim Anta menyakinkan diri.
“Aku akan tetap mencicipi setiap hidangan yang ada di depanku. Kalian tidak perlu cemas. Meskipun sedikit-sedikit, aku akan tetap akan memakannya. Lagipula, perut siapa yang dapat menampung makanan sebanyak itu?” sahut Pangeran Zhu Di seraya mengerdik ke arah catatan di tangan Kasim Anta.
Sepasang mata Kasim Anta membelalak dengan kegembiraan yang meluap-luap membuat sang kasim pengasuh segera menubruk kaki Pangeran Zhu Di dan memeluknya erat-erat.
Pangeran Keempat terkaget-kaget karena tak menyangka bahwa kasim pengasuhnya akan memeluk kakinya seperti itu.
“Ya!..apa yang kau lakukan!” seru Pangeran Zhu dengan nada membentak meski sesungguhnya hatinya diliputi rasa haru. “Cepat lepaskan kakiku dan pergilah pada para pelayan, dayang dan juru masak di dapur sebelum malam semakin larut”.
Kasim Anta tersenyum lebar dengan wajah penuh rasa bahagia. Kedua tangannya melepaskan kaki Pangeran Zhu Di dan segera bangkit berdiri dari lantai kayu tempatnya berlutut kemudian membungkuk dalam-dalam.
“Baik Pangeran..hamba akan ke dapur sekarang” sahut Kasim Anta penuh semangat.
Pangeran Zhu Di mengangguk. Tidak dapat menahan untuk tidak tersenyum.
“Jangan lupa ambilkan buku-buku yang tadi kuminta padamu” ujar Sang Pangeran membuat gerak tubuh Kasim Anta terhenti dan kembali, kasim pengasuh itu menatap pangeran di depannya.
“Buku-buku?” tanya Kasim Anta dengan alis berkerut bingung.
Pangeran Zhu Di membelalak melihat kebingungan kasim pengasuhnya.
“Bukankah aku menyuruhmu untuk mengambilkan beberapa buku untuk kubaca? Jangan katakan kau lupa dengan perintahku itu” tegur Pangeran Keempat dengan ekspresi wajah siap meledak.
Kasim Anta terperanjat demikian ia mengingat hal itu. Memang semula, ia mendapat perintah untuk mengambilkan beberapa judul buku yang akan dibaca oleh Pangeran Zhu Di sambil duduk di taman. Namun adanya surat dari Kepala Dapur Jiu Zhong membuatnya sama sekali terlupa dengan perintah itu. nyaris tanpa sadar, kasim tua itu menepuk dahinya sendiri.
“Ah…aku benar-benar aku sudah tua” gumam Kasim Anta seraya melirik ke arah Pangeran Keempat dengan ekspresi takut-takut. Namun sedetik kemudian, sang kasim setia segera membungkukkan tubuhnya.
“Hamba mengingatnya Pangeran, dan akan hamba ambilkan sekarang juga” ucap Kasim Anta sambil mulai melangkah dengan tergopoh-gopoh begitu menegakkan tubuhnya kembali.
Pangeran Zhu Di tak mengeluarkan sepatah katapun dan hanya menatap kasim pengasuhnya dengan tajam hingga Kasim Anta menghilang di balik pintu menuju bangunan dapur.
Sejenak, sang pangeran termuda itu masih berdiri termangu sebelum kemudian, tubuhnya yang indah dalam balutan hanfu mewah berwarna ungu berbalik kembali menghadap ke arah taman. Taman yang memperdengarkan suara gemericik air sungai buatan dengan aroma harum bunga yang membubung ke udara. Musim semi masih akan berlangsung hingga dua purnama ke depan. dan bersama keharuman wangi bunga yang memenuhi rongga dadanya, kenangan Sang Pangeran Keempat melayang ke satu wajah seindah bulan purnama yang terlepas dari genggaman jemarinya di bibir jurang. Wajah yang telah merenggut ketenangan jiwanya sejak beberapa waktu lalu hingga kini, membuatnya merasa sangat hidup namun sekaligus mendekap gelisah aneh yang belum dirasakannya sebelum saat ia melihat wajah seindah rembulan itu.
Pangeran Zhu Di mendesah saat jantungnya mendenyutkan rasa sakit yang membisikkan kerinduan. Ia tahu, bahwa segalanya tak pernah sama lagi baginya. Ia tahu bagaimana dirinya dahulu dan ia dapat melihat dengan sangat jelas seperti apa ia sekarang. Kerinduannya pada sang rembulan telah membuatnya mengerti sesakit apa sesungguhnya hati Pangeran Mahkota yang akan melepaskan kesendiriannya besok pagi untuk seorang gadis yang tak pernah dikenali, dikasihi, dirindui serta menepikan satu wajah yang telah mengisi jiwa dengan seluruh kesejukan dan keharuman sosoknya.
Dan pemahaman serta pengertian yang datang itulah yang membuat Pangeran Zhu Di memutuskan untuk memperjuangkan sepotong kecil kebahagiaan bagi kakak sulungnya tersebut.
Sebab ia sendiri akan memperjuangkan cintanya sekuat tenaga. Sebab ia tak akan pernah menyerah hingga satu wajah purnama yang mengikat jiwanya itu menjadi miliknya, dalam rengkuhan hatinya.
Meskipun untuk itu ia harus bertarung melawan seluruh isi semesta.
Ia tak akan mengalah. Pada siapapun meski orang itu adalah saudara atau orang terdekatnya.
Meski orang itu adalah sahabat yang paling dikasihinya.
Sebab bagi Pangeran Zhu Di cinta sejatinya hanya satu dan membawa serta kekuatan hidup dalam jiwanya.
Karena itu ia tak mungkin untuk menyerah.
Atau mengalah.
Sebab jika ia melakukan hal itu, maka itu artinya…
MATI.
Ia akan mati…
“Guanjin-moi…hanya kau yang akan menjadi ratu bagiku. Tak mungkin yang lain, atau aku akan mati” bisik Sang Pangeran Keempat dalam getaran jiwa yang mengalir bersama semilir angin malam yang lembut berhembus. Tangan kanan berjari indah sang pangeran terangkat mendekap satu sisi dadanya seolah hendak menenangkan jantung yang bergolak gelisah dalam hantaman cinta yang mendalam dan semakin dalam…
*************
(For you Uncle Jackie...in your smile I get my spirit ^^)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar