Yingtian…
Beberapa saat sebelum
peristiwa kedatangan Changyi, Xiao Chen dan Xu Guanjin ke rumah Keluarga Xiao
Jiang jauh di sebuah desa sebelah utara kotaraja…
“Siapa yang bertugas
membawakan bahan makanan ke dapur istana?” sebuah suara berat terdengar
berdentam membuat beberapa pelayan dan dayang yang tengah sibuk seketika
menghentikan kegiatan mereka dan berbalik, menghadap seorang lelaki bertubuh
kekar yang baru saja datang lalu serentak membungkukkan tubuh mereka.
“Hormat kami pada
Tuan Hu” seru para pelayan dan dayang bersamaan.
Perdana menteri Hu
Weiyong mengangguk sekilas dan menatap guci-guci berisi arak yang tertata rapi
di atas sebuah pedati.
“Apakah itu arak
untuk pesta perjamuan besok?” tanya Sang Perdana Menteri seraya menunjuk ke
arah deretan pedati berisi guci-guci yang tertutup rapat.
“Benar Tuanku…kami
telah menata sesuai dengan jenis arak seperti yang Tuan Hu perintahkan. Arak
madu, arak bunga, arak akar kayu, arak buah dan arak beras” jawab seorang
pelayan.
“Ada berapa
semuanya?” tanya Perdana Menteri Hu Weiyong, masih menatap deretan guci di
dalam pedati. Pejabat tinggi istana itu kemudian melangkah mendekati satu
pedati dan mulai membuka salah satu penutup guci, sejenak mengendus-endus
sebelum kemudian menoleh ke arah pelayan yang berdiri beberapa langkah di belakangnya.
“Untuk siapa arak bunga ini?”.
“Semuanya ada tiga
puluh pedati dengan jumlah arak sebanyak seratus dua puluh guci arak Tuanku.
Arak bunga ini untuk Pangeran Zhu Di. Karena Pangeran Keempat sangat menyukai
arak bunga, sehingga perintah dari Yang Mulia Ratu yang kami terima adalah agar
arak untuk Pangeran Zhu Di besok diambilkan arak bunga” sahut sang pelayan
seraya menunjuk pedati berisi empat guci arak bunga.
Perdana Menteri Hu
Weiyong kembali mengangguk. Pandangannya kemudian beralih ke arah pedati-pedati
lain.
“Kemana saja mereka
akan dikirimkan? Jangan melupakan arak yang menjadi kesukaan Yang Mulia Kaisar”
ujar Perdana Menteri Hu seraya menunjuk pedati-pedati yang berjajar rapi di
depan rumah arak.
“Arak-arak ini akan
dikirim ke istana untuk perjamuan besok Tuanku. Arah madu untuk perjamuan
agung, arak beras, arak buah dan arak akar kayu kami kirim ke dapur istana
untuk bumbu dan sebagai bahan pencampur kue-kue beras. Selain itu kami juga
mengirim beberapa guci arak untuk istana Yang Mulia Kaisar, Yang Mulia Ratu,
istana para pangeran, para puteri, para selir dan keluarga kaisar. Untuk Yang
Mulia Kaisar, kami telah memilihkan arak madu terbaik. Itu di sana kami
menempatkan arak untuk Yang Mulia Kaisar” jawab si pelayan seraya menunjuk
sebuah pedati yang terletak paling ujung. Terdapat empat buah guci berukuran
sedang di dalam pedati dengan tutup bertali kulit yang sangat rapat.
Perdana Menteri Hu
Weiyong menatap pedati yang ditunjuk oleh sang pelayan lalu tersenyum.
“Bagus…jika begitu,
tidak ada masalah dengan arak untuk perjamuan besok. Jika ada kekurangan atau
ada arak yang rusak kau harus segera menghubungi Kepala Dapur Jiu Zhong agar
memerintahkan si pembuat arak untuk segera mengganti. Aku sudah mengatakan pada
Kepala Dapur agar menyediakan beberapa guci arak sebagai persediaan jika ada
kekurangan” sahut Perdana Menteri Hu Weiyong pada pelayan bagian arak di
dekatnya.
“Baik Tuanku…setiap
arak yang masuk ke dapur utama maupun dapur-dapur keluarga Kaisar akan selalu
kami laporkan pada Tuan Jiu Zhong” sahut si pelayan sambil membungkukkan
tubuhnya kembali.
“Baiklah, cepat
kemasi arak-arak itu. Aku akan memeriksa bagian lain” ucap Perdana Menteri Hu
seraya melangkah pergi.
Si pelayan tak sempat
mengucapkan sepatah kata saat sang pejabat tinggi kerajaan itu berlalu. Namun
lelaki bertubuh kecil kurus itu kembali membungkuk dalam ke arah Perdana
Menteri Hu Weiyong yang telah melangkah semakin jauh meninggalkan gudang arak.
Malam baru saja
datang. Jika seseorang naik ke atas atap bangunan istana maka niscaya kedua
matanya masih akan menangkap sisa-sisa senja dengan semburat jingga mataharinya
di batas cakrawala.
Namun, bagi para
pelayan, dayang, serta juru masak, waktu yang seolah masih terbilang sore itu
telah berjalan dengan kecepatan kilat menuju esok hari di mana pernikahan agung
akan dilakukan. Seluruh bangunan istana telah selesai dihias dengan berbagai
ornament indah yang semakin menampakkan kharisma dan keanggunan Kaisar Hongwu
sebagai seorang raja besar. Cahaya terang dari lampion-lampion indah berpendar
di setiap bagian istana membuat bangunan yang telah sangat indah itu kini
seolah berubah menjadi sebuah istana cahaya yang hanya ada dalam cerita-cerita
tentang negeri impian. Aroma harum bunga, kayu-kayuan, serta dedaunan memenuhi
setiap bagian istana dalam takaran yang pas membuat udara terasa sangat nyaman
dan lembut untuk dihirup serta membawa rasa bahagia yang kuat ke dalam kalbu
setiap orang. Keharuman yang terbawa angin hingga dapat dihirup oleh seluruh
rakyat di luar tembok istana dan memberikan kegembiraan dalam irama pesta
rakyat yang telah berlangsung sejak beberapa hari sebelumnya.
Kegembiraan yang
justru nyaris tak terasakan bagi para juru masak yang bekerja keras di
dapur-dapur istana.
Si pelayan dari
bagian gudang arak menguap beberapa kali seraya mengucak-ucak matanya. Satu
tangannya memegang gulungan kertas kulit
kayu tempat ia mencatat setiap pedati berisi arak yang telah dibawa pergi
menuju tempatnya masing-masing. Sesuai dengan perintah yang diberikan oleh
Perdana Menteri Hu Weiyong sebelumnya, ia mencatat setiap arak yang dikirim
menuju dapur istana untuk keperluan bumbu maupun sebagai minuman dalam
perjamuan besok. Laporan yang ia catat saat ini nantinya akan disampaikannya
pada Kepala Dapur Jiu Zhong.
Sekali lagi si
pelayan bertubuh kecil itu menguap. Ia sudah beberapa hari tidak tidur karena
persiapan pernikahan Pangeran Mahkota yang sangat banyak. Membuat arak bukanlah
hal yang mudah karena kesalahan sedikit saat memeras buah, bunga, madu maupun
beras akan membuat arak kehilangan keharuman dan rasanya. Bahkan bisa jadi arak
akan menjadi asam ataupun pahit. Karena itu ia dan teman-temannya di bagian
gudang arak bekerja demikian keras hingga tak ada waktu sedikitpun sekedar
untuk tidur.
Tinggal dua pedati
lagi yang masih menunggu di antar. Itu pedati berisi arak bunga untuk istana
Pangeran Keempat dan arak buah untuk istana para puteri. Setelah dua pedati itu
diambil, maka tugasnya malam ini selesai. Mungkin ia bisa tidur barang sebentar
sebelum mempersiapkan arak-arak baru sebagai persediaan untuk keperluan
berikutnya.
Si pelayan menunduk
menatap lembar kertas kulit kayunya. Sesaat membaca kembali catatan yang telah
ia tuliskan dan mengangguk puas sebelum kemudian menarik nafas dalam-dalam.
Udara di awal malam ini benar-benar segar. Aroma harum bunga dan kayu-kayuan
terasa lembut memasuki ruang dadanya membuat si pelayan bertubuh kurus sekali
lagi menarik nafas dalam-dalam. Kesejukan dan keharuman yang terasakan di dalam
udara yang dihirupnya membuat si pelayan memejamkan mata dengan rasa nikmat. Ia
merasa seperti melayang dan sesaat si pelayan seperti benar-benar tertidur.
Hanya sesaat karena saat berikutnya, lelaki bertubuh kurus yang cekatan itu
segera membuka kedua matanya kembali.
Dan segera ia
terkejut saat mendapati seorang pelayan lain telah berdiri di sisi pedati yang
berisi guci-guci arak untuk istana Pangeran Zhu Di. Si pelayan bertubuh kurus
mencoba untuk menatap wajah pelayan lain yang telah bersiap menarik pedati
berisi arak bunga tersebut namun pandangannya terasa sangat kabur. Mungkin
pengaruh dari rasa kantuk dan tidur sesaat yang ia alami beberapa detik lalu.
Satu tangannya terangkat dan kembali mengucak-ucak mata.
“Kau yang akan
membawa pedati itu ke istana Pangeran Keempat?” tanya si pelayan bertubuh kurus
seraya menatap pelayan lain di depannya. Kedua alis dan keningnya berkerut
dalam mencoba menembus kabut tebal yang menghalangi kedua matanya mengenali
siapa adanya pelayan yang telah bersiap membawa pedati. Namun, kabut ini
seperti terpatri mati di kedua pelupuk matanya membuat rasa kabur tak juga
menghilang. Bahkan kemudian, kepalanya terasa sedikit pening dengan rasa lemas
menghinggapi tubuh. Si pelayan bertubuh kurus menarik nafas dalam-dalam.
Rupanya ia benar-benar kelelahan dan butuh tidur sekarang.
“Benar…hanya tinggal
dua pedati lagi. Aku sangat lelah dan aku ingin semuanya segera selesai agar
bisa tidur barang sebentar jadi aku akan mengantar arak bunga ini ke dapur
istana Pangeran Keempat” jawab pelayan lain seraya bersiap mendorong pedati
yang telah dipegangnya.
“Lalu kenapa kau
hanya sendiri? Mana yang lain?” tanya si pelayan bertubuh kurus seraya menguap
lebar.
“Ada di belakang.
Sebentar lagi pasti datang. Baiklah, aku akan segera mengantarkan arak ini
sebelum hari benar-benar menjadi malam. Kau sepertinya sangat mengantuk,
kupikir kau butuh tidur sekarang” jawab si pelayan lain seraya mulai melangkah
pergi.
Si pelayan bertubuh
kurus mengangguk.
“Ya..aku memang ingin
tidur sekarang. Aku benar-benar mengantuk” gumam si pelayan bertubuh kurus
seraya kembali mengucak-ucak kedua matanya. “Ah..kenapa kedua mataku jadi
sangat kabur begini? Kantuk benar-benar sudah merusak dua mataku”.
Si pelayan bertubuh
kurus menatap ke depan dan melihat bayangan pedati yang membawa guci-guci arak
bunga untuk Pangeran Keempat semakin menjauh. Ia tak dapat melihat dengan jelas
namun bayangan saat pedati kecil itu menghilang di ujung jalan setapak istana
masih dapat ditangkapnya. Tangan kanannya mengangkat kayu tinta sementara
gulungan kertas kayu yang dipegangnya dibentangkan. Seraya menguap untuk
kesekian kali, lelaki bertubuh kurus itu melangkah ke arah sisi gudang arak di
mana terdapat panggung kayu tempat beberapa guci tertata dengan rapi. Itu adalah guci-guci berisi arak muda yang baru
saja dibuat. Dengan gerak lemah karena rasa kantuk yang sangat berat si pelayan
kurus melompat ke atas panggung kayu pada bagian yang kosong dari guci arak.
Kemudian, demikian ia telah berhasil naik ke atas panggung, segera saja tubuh
yang lemah oleh kantuk itu menggelosoh ke atas papan kayu panggung. Kayu tinta
di tangan kanannya terlepas tanpa sempat digunakan, demikian juga dengan
gulungan kertas kayu. Hanya butuh sekedip mata bagi kedua mata yang telah
sangat berat itu untuk menutup rapat dan pelayan kurus itupun terlelap dalam
tidur yang sangat pulas.
Demikian pulas hingga
ia tak mengetahui saat kedatangan dua orang pelayan yang segera menjadi
kebingungan ketika menyadari bahwa salah satu pedati yang mestinya mereka bawa
telah hilang satu. Satu pelayan melongok ke sana kemari mencari-cari.
“Aneh sekali, ke mana
pedati berisi arak bunga untuk istana Pangeran Keempat?” tanya pelayan pertama
seraya menatap ke arah temannya. Kedua matanya menyiratkan kebingungan
sekaligus rasa takut. “Bukankah seharusnya ada dua pedati di sini dan kitalah
yang bertugas membawanya ke istana Pangeran Keempat dan istana para puteri?”.
Pelayan lain yang
bertubuh agak pendek mengangguk. Ia berjalan ke arah jalan setapak istana.
“Kau benar!” katanya
kemudian. “Ini hanya satu pedati berisi arak buah untuk istana para puteri,
lalu ke mana pedati berisi arak bunga untuk istana Pangeran Zhu Di?”
“Mungkinkah ada
pelayan yang telah lebih dulu datang dan mengantar arak untuk istana Pangeran
Zhu Di?” tanya pelayan pertama yang bertubuh besar.
“Entahlah” si pelayan
bertubuh pendek menggelengkan kepalanya. Kepalanya kembali berpaling menengok
ke sana ke mari, lalu pandangannya terhenti pada sosok seorang pelayan yang
tengah pulas tertidur di atas panggung guci arak. “Tapi jika memang ada pelayan
yang lebih dulu datang dari kita lalu membawa arak untuk istana Pangeran Zhu
Di, pasti ada catatannya. Nah..dia pasti tahu ke mana arak untuk istana
Pangeran Keempat”.
Pelayan bertubuh
besar mengangguk setuju dan dengan langkah cepat segera melangkah menuju
panggung kayu di mana teman mereka tengah tertidur dengan pulas. Raut wajahnya
sedikit jengkel saat tangannya mulai menggoyang bahu si pelayan kurus yang
pulas tersebut.
“Bangun!” serunya
dengan suara keras. “Ayo cepat bangunlah. Kenapa kau tidur di sini?”.
Tapi, si pelayan
bertubuh kurus itu sama sekali tak bergeming. Suara dengkurnya yang halus
terdengar berirama teratur.
“Dia tidur seperti
orang pingsan. Mungkin dia benar-benar sangat kelelahan” ujar pelayan bertubuh
pendek yang telah turut berdiri di sisi temannya. Pandangannya tertumbuk pada
gulungan kertas kayu di sisi si pelayan bertubuh kurus. “Kita lihat saja
catatannya itu, pasti ada nama pelayan yang sudah mengantarkan arak bunga untuk
istana Pangeran Keempat”.
“Kau benar” sahut
pelayan berbadan besar seraya menjumput gulungan kertas kayu di sisi teman
mereka yang tertidur pulas kemudian membukanya. “Pasti ada di sini catatannya.
Ini lihatlah”.
Si pelayan bertubuh
pendek mendekatkan kepalanya ke arah lembaran kertas kayu yang telah membuka
dan kemudian membaca. Sejenak keheningan menyelimuti keduanya sementara dua
pelayan itu menekuni catatan yang tertulis di atas kertas. Hingga kemudian,
sebuah kerut menghiasi wajah kedua pelayan tersebut.
“Aneh sekali, kenapa
di sini tercatat bahwa arak bunga untuk istana Pangeran Zhu Di sudah dikirim
tapi tidak ada catatan siapa nama pelayan yang mengantarkannya?” gumam pelayan
berbadan besar seraya membolak-balik kertas kayu di tangannya. Pandangannya
beralih pada pelayan pendek di sisinya. “Tidakkah ini aneh?”.
“Kau benar, ini
memang aneh” si pelayan pendek mengangguk membenarkan. “Apakah mungkin dia lupa
mencatat nama pelayan yang mengantarkan arak untuk istana Pangeran Zhu Di?”.
Si pelayan berbadan
besar mengangkat bahunya.
“Entahlah..” katanya
seraya menatap teman mereka yang tertidur pulas. “Hal itu mungkin saja jika
dilihat caranya tidur sekarang. dia benar-benar seperti orang mati”.
“Tidakkah sebaiknya
kita bangunkandia lalu kita tanyakan padanya siapa pelayan yang membawa arak
untuk panegran Keempat?” tanya pelayan bertubuh pendek kembali.
Si pelayan berbadan
besar menggelengkan kepalanya berkali-kali dengan rasa heran tergambar jelas di
wajahnya.
“Sepertinya itu akan
sulit. Kau lihat tadi aku sudah mencoba membangunkannya tapi dia sama sekali
tidak bergerak bukan?” ujarnya seraya menggoyang bahu pelayan kurus yang tengah
tertidur pulas. Sama seperti sebelumnya, tak terlihat reaksi sedikitpun pada
pelayan kurus di atas panggung kayu.
“Jika begitu, sepertinya kita memang harus
menunggu sampai dia bangun” sahut pelayan bertubuh pendek. Tangannya menggulung
kembali kertas kayu yang diambilnya dari tangan pelayan berbadan besar.
“Catatan ini biar kusimpan saja. Nanti, jika ia bangun, aku akan menanyakan
padanya siapa pelayan yang sudah mengantarkan arak untuk Pangeran Keempat”.
“Kau benar” pelayan
berbadan besar mengangguk membenarkan. “Lagipula, hari sudah semakin malam,
sebaiknya kita antarkan saja arak buah ini ke istana para puteri”.
“Kau yang menarik
pedatinya, aku akan mendorong dari belakang” jawab pelayan pendek sambil mulai
melangkah ke arah satu-satunya pedati yang tersisa.
Si pelayan bertubuh
besar melengak dengan mata melotot.
“Seperti itu lagi?”
semburnya seraya melayangkan satu tendangan kaki kanannya ke arah pinggul
temannya. Namun pelayan bertubuhpendek telah mengelak dengan gesit seraya
tertawa terkekeh. “Kita sudah mengantarkan delapan pedati arak dan selalu aku
yang menarik. Kau ini benar-benar curang sekali”.
“Ayolah…buat apa kau
memiliki tubuh sebesar itu kalau tidak untuk menolong temanmu yang kecil ini?”
sungut pelayan pendek. Rautnya terlihat memelas dengan ekspresi yang
dibuat-buat.
“Kecil katamu? Apamu
yang kecil? Kau bahkan makan lebih banyak dariku” hujat pelayan berbadan besar.
Langkahnya cepat menuju pedati berisi arak buah dan berdiri di bagian belakang.
“Kali ini aku tidak mau mengalah lagi. Kau yang harus menariknya agar tubuhnya
bisa bertambah tinggi”.
Pelayan bertubuh
pendek cemberut, namun lelaki berwajah kocak itu melangkah juga ke arah pedati
dan mulai memegang bagian depan pedati.
“Baiklah” katanya.
“Tapi aku akan memberitahu istrimu apa yang menjadi rahasiamu”.
Si pelayan berbadan
besar kembali terjenggit.
“Apa katamu? Apa yang
akan kau katakan pada istriku?” tanya pelayan berbadan besar mendorong tubuhnya
mencondong ke arah temannya sementara keduanya mulai berjalan meninggalkan
halaman gudang arak. “Kau mau menghancurkan aku. Begitukah? Berani kau lakukan
itu padahal kita sudah berteman begitu lama”.
“Kenapa tidak?” jawab
si pelayan pendek seraya mencibir. “Aku akan mengatakan pada istrimu bahwa
kau…”
“Bahwa aku apa?”
cecar pelayanberbadan besar. “ Kenapa kau berhenti? Apa yang akan kau katakan
pada istriku? Bahwa aku ini apa?”.
Tapi si pelayan
bertubuh pendek masih terdiam dan justru melambatkan langkah kakinya. Kepalanya
yang bulat sedikit menengadah dan mulai hidungnya mengeluarkan suara dengusan
halus seolah ia sedang mengendus.
“Ssst…diamlah” ujar
pelayan pendek seraya mendekatkan jari telunjuknya ke bibir. “Coba kau hirup
udara ini. Kenapa wanginya jadi berbeda?”
Alis pelayan berbadan
besar berkerut. Namun langkahnya kemudian terhenti sebagaimana pelayan pendek
dan ia turut pula mengendus.
“Menurutku udara di
istana memang sangat harum karena aroma wewangian yang dipasang di setiap
bagian istana. Sejak kemarinpun aku sudah mencium udara yang wangi seperti ini?”
sahut pelayan berbadan besar sambil menatap temannya. “Kupikir ini biasa saja”.
“Tidak…ini tidak
biasa” sanggah pelayan pendek menggelengkan kepalanya kuat-kuat. “Wanginya
sangat berbeda”.
“Berbeda? Di mana
letak perbedaannya?” tanya pelayan berbadan besar tidak mengerti. Ia sungguh
tidak merasakan hal yang ganjil pada keharuman udara yang mereka hirup saat
ini.
“Wanginya terlalu
mencolok” jawab pelayan pendek. “Dan berbeda dengan keharuman udara yang kita
hirup saat kita berada di sekitar istana Pangeran Mahkota, istana Yang Mulia
Kaisar, istana Yang Mulia Ratu dan di manapun. Memang wangi, tapi seperti ada
yang berbeda dengan wangi yang kurasakan sekarang. Wanginya seperti membuatku
merasa malas”.
Pelayan berbadan
besar melepaskan bibir pedati yang semula dipegangnya lalu melangkah cepat ke
depan. Kemudian, sebelum si pelayan pendek menyadari, mendadak sebuah pukulan
ringan telah melayang dari tangan pelayan berbadan besar dan tepat mengenai
kepalanya. Pelayan bertubuh pendek mengaduh seraya memegangi kepalanya.
“Hish!...dasar kau!”
kata pelayan berbadan besar. “Katakan saja kau juga ingin tidur. Dasar pemalas!
Ayo cepat jalan, kita bisa mendapat hukuman jika sampai terlambat”.
Pelayan bertubuh
pendek meringis. Kedua tangannya kembali memegang sisi depan pedati dan mulai
menariknya.
“Tapi aku memang
mengantuk” gumamnya pelan membuat pelayan berbadan besar di bagian belakang
pedati menggelengkan kepalanya. “Udara ini wanginya seperti membuatku
mengantuk. Seharusnya kau juga merasakannya”.
“Cepat jalan!” sentak
pelayan berbadan besar sambil mendorong pedati yang dipegangnya dengan keras ke
arah pinggul temannya membuat si pelayan pendek nyaris terjungkal.
Tetapi tak ada
kalimat meluncur keluar dari mulut pelayan bertubuh pendek. Lelaki itu terus
melangkah sambil terus mengendus udara. Sesekali, ia menarik nafas dalam-dalam
dan kemudian, nyaris tanpa sadar, kedua matanya memejam meski kemudian segera
membuka kembali saat merasakan dorongan bibir pedati yang menyenggol keras
pinggulnya.
Udara memang aneh…
Dan ia sungguh
merasakannya…
**************
Istana Pangeran
Keempat…
Kasim Anta berjalan
tergopoh-gopoh menuju ke arah Pangeran Zhu Di yang tengah berdiri di sisi
taman. Tubuhnya telah membungkuk dalam sementara sang pangeran tampan
membalikkan tubuhnya yang indah dan menatap pengasuhnya dengan pandangan tajam.
Wajah jernih sang pangeran yang galak membuat Kasim Anta gugup meski sang kasim
tua itu berusaha untuk memperlihatkan senyum lebarnya.
“Pangeran…maafkan
hamba karena datang terlambat” ucap Kasim Anta saat menegakkan tubuhnya
kembali. Senyumnya mengembang menampakkan sederet gigi agak besar namun putih
bersih.
Pangeran Zhu Di
cemberut melihat senyum lebar di depannya. Sungguhpun ia merasa sangat jengkel
namun tetap saja ia tak mampu menjatuhkan tangan kasar pada lelaki yang telah
merawatnya sejak ia masih bayi itu. Tetapi, untuk bersikap lembut-pun, sang
pangeran merasa malas karena seringnya ia dibuat bosan oleh kelambatan gerak
kasim tuanya.
“Kenapa kau terlambat
begitu lama?” tanya Pangeran Zhu Di dengan nada jengkel yang jelas terdengar.
“Ampun Pangeran…hamba
terlambat karena tadi ada utusan dari dapur utama meminta hamba untuk menemui
Kepala Dapur” sahut Kasim Anta seraya membungkuk dalam-dalam.
“Apa!...jadi kau
mendahulukan perintah Kepala Dapur Istana daripada perintahku?! Apa kau sudah
bosan hidup? Kau minta mati?” bentak Pangeran Zhu Di dengan sepasang mata
membelalak marah. Sungguh keterlaluan, ia menunggu kasim pengasuhnya itu sejak
awal sore tadi dan si kasim justru pergi menemui kepala dapur istana. Benar-benar
meremehkan!.
Kasim Anta
terperanjat mendengar bentakan Pangeran Zhu Di. Tubuh sang kasim yang semula
membungkuk dalam segera menjatuhkan diri ke atas lantai kayu dan berlutut.
“Ampun Pangeran…hamba
tidak bermaksud mendahulukan Kepala Dapur Istana daripada Pangeran. Hanya saja,
pesan yang tertulis dalam surat Kepala Dapur untuk hamba menyebutkan bahwa
hamba harus segera menemuinya karena ada beberapa bahan makanan untuk Pangeran
yang akan dikirim ke istana ini. Hamba berpikir jika hamba tidak ke sana, mungkin
saja akan terjadi kesalahan sehingga nanti Pangeran tidak akan menyukainya.
Karena itulah hamba memutuskan untuk datang menemui Juru Masak Jiu di dapur
utama” tutur Kasim Anta sambil menengadahkan wajahnya menatap sang pangeran
yang tengah menatap ke arahnya dengan dua mata menyorot berang.
“Untuk hal semacam
itu bukankah kau bisa menyuruh pelayan lain atau dayang? Kenapa harus kau?”
tanya Pangeran Zhu Di, masih dengan nada tinggi.
“Karena Kepala Dapur
mengatakan bahwa waktu memasak hidangan untuk Pangeran hanya tinggal malam ini
saja sementara tidak ada satupun juru masak yang berani memasak hidangan untuk
Pangeran. Termasuk memilih bahan-bahan. Semua menunggu Kasim Chen. Apalagi
jumlah hidangan yang harus dimasak sangatlah banyak dan harus sama dengan jenis
hidangan yang dimasak di dapur istana karena itu adalah perintah dari Yang
Mulia Kaisar melalui Yang Mulia Ratu. Itulah sebabnya Kepala Dapur meminta
hamba untuk melihat bahan-bahan makanan yang akan dikirim ke mari sekaligus
memberikan catatan semua jenis masakan yang akan dihidangkan dalam perjamuan
besok. Demikianlah Pangeran…mohon ampuni hamba” sahut Kasim Anta dengan wajah
memelas.
Pangeran Zhu Di
tertegun mendengar penuturan kasim pengasuhnya. Ia tidak pernah memperhitungkan
seberapa penting keberadaan Kasim Chen di antara seluruh pelayan dan juru masak
yang ada di istana. Ia telah terbiasa dengan keberadaan Kasim Chen di sisinya
sehingga merasa bahwa keberadaan kasim remaja itu sebagai bagian dari dirinya. Dan
kini, ketika istana sedang memiliki kepentingan menjamu seluruh tamu kerajaan
dalam sebuah upacara agung di mana seluruh pelayan, dayang dan terutama juru
masak terlibat langsung di dalamnya, barulah terasa betapa keberadaan Kasim
Chen menjadi sebuah kunci bagi juru masak, pelayan dan dayang lainnya karena
tak ada seorangpun pelayan, dayang maupun juru masak yang berani memasak
untuknya. Tidak karena semua sudah tahu bahwa ia tak bisa memakan masakan juru
masak lain selain hidangan yang dimasak oleh Kasim Chen. Satu hal yang kemudian
disadari oleh Pangeran Zhu Di sebagai sebuah kebenaran dari kalimat Kasim Anta
adalah bahwa waktu untuk memasak hidangan baginya hanya tertinggal malam ini.
Sementara, Kasim Chen
belum sampai di istana karena ia telah memerintahkan kasim kesayangannya itu
untuk menjemput Xiao Ai. Di sisi lain, ia sendiri merasa gelisah dengan belum
adanya kabar mengenai Xu Changyi dan Xu Guanjin yang terjatuh ke dalam jurang
karena kesalahannya. Meskipun hati kecilnya membisikkan bahwa semua akan baik-baik
saja, tetapi rasa bersalah yang menyengat setiap ia mengingat jatuhnya Xu
Guanjin ke dalam jurang karena ia tidak mengindahkan peringatan yang diberikan
oleh Changyi benar-benar telah merampas kedamaiannya saat ini. Karena itulah ia
tidak dapat tinggal di dalam kamarnya dan hanya duduk di sisi taman sejak kedatangannya
ke istana sore tadi untuk menunggu kedatangan Xiao Chen. Dan kegelisahan yang
ia rasakan karena adanya tekanan rasa bersalah itulah yang membuatnya tak dapat
memikirkan hal lain selain Xiao Chen yang belum juga sampai di istana serta
belum adanya kabar tentang Changyi dan Xu Guanjin.
Lalu, mendadak kini
ia mengerti satu penting lain yang sebelumnya tak terlintas dalam benaknya. Hal
yang terlihat sepele jika dilihat dari sudut pandangnya namun menjadi hal yang
sangat penting jika dilihat dari sudut kepentingan istana – dalam hal ini Yang
Mulia Kaisar dan Ratu – serta sudut pandang para pelayan, dayang serta juru
masak istana yang tengah mempertaruhkan hidup mereka untuk memberikan pelayanan
terbaik bagi para tamu kerajaan demi menjaga nama baik Kaisar serta Ratu
sebagai tuan rumah.
Dan ia tidak bisa –
belum pernah bisa – untuk mengabaikan para pelayan, juru masak dan dayang. Termasuk
kasim yang sekarang sedang berlutut di depannya dengan raut wajah memelas.
Pangeran Zhu Di
menarik nafas panjang demikian kesadaran menyusup ke dalam benaknya. Kemarahan
yang semula telah mencapai titik puncak di ubun-ubunnya dengan cepat menyurut.
“Jadi begitu?”
gumamnya kemudian. Rona merah yang semula menghiasi wajah tampan sang pangeran
kesayangan Kaisar Hongwu memupus hilang membuat Kasim Anta diam-diam menarik
nafas lega.
“Memang demikianlah
Pangeran” sahut Kasim Anta seraya tersenyum. Kedua matanya mengedip-kedip
dengan ekspresi menghiba membuat Pangeran Zhu Di merasa jengkel sekaligus
terharu dalam hati.
“Lalu, apakah bahan
makanan yang hendak dikirim sudah sampai?” tanya Pangeran Zhu Di kemudian.
Kasim Anta mengangguk
cepat. “Itu benar Pangeran. Baru saja sampai sesaat lalu, termasuk arak bunga
untuk Pangeran juga sudah sampai dan sekarang sedang di rawat oleh juru masak,
dayang dan pelayan di dapur. Mereka belum melakukan apapun pada bahan makanan
dan arak itu karena semua menunggu Kasim Chen”.
“Tapi Adik Chen belum
pulang. Aku menyuruhnya untuk menjemput seseorang dan mungkin saja perjalanan
ke sana agak sulit” ujar Pangeran Zhu Di seraya mengerutkan alisnya yang tebal
bagus.
“Hambapun juga telah
mengatakan hal itu pada Juru Masak Jiu Zhong, namun dia mengatakan tidak dapat
berbuat apa-apa karena pada kenyataannya Pangeran hanya dapat menyantap
hidangan yang dimasak oleh Kasim Chen. Karena itu, Kepala Dapur hanya dapat
menyerahkan bahan-bahan makanan ke dapur kita dan untuk selanjutnya semua
diserahkan pada Kasim Chen. Demikianlah Pangeran. Karena itu hamba menjadi
gelisah sebab jenis hidangan yang harus dimasak oleh Kasim Chen sangatlah
banyak sementara malam semakin larut. Hamba tidak tahu kapan Kasim Chen akan
sampai di istana dan para pelayan, juru masak serta dayang di dapur tidak ada
satupun yang berani memulai memasak tanpa Kasim Chen” tutur Kasim Anta.
“Tunjukkan catatan
jenis hidangan yang diberikan oleh Kepala Dapur Jiu padaku” perintah Pangeran
Zhu Di dengan kening alis berkerut. Tangannya terulur ke arah kasim
pengasuhnya. Sungguh, masalah kecil ini bisa menjadi masalah besar jika tidak
segera diselesaikan.
Kasim Anta sedikit tersentak
mendengar perintah Pangeran Keempat, namun kemudian, kasim setia itu segera
merogoh ke balik hanfu seragam kasimnya dan mengeluarkan segulung kertas kayu.
“Ini Pangeran…inilah
catatan yang diberikan oleh Kepala Dapur pada hamba” ujar Kasim Anta seraya
mengulurkan gulungan kertas kayu pada Pangeran Zhu Di.
Pangeran Keempat
bergumam dengan suara pelan sementara tangannya merenggut cepat gulungan kertas
kayu dari tangan Kasim Anta kemudian membukanya. Sepasang matanya sedikit
membeliak saat mendapati deretan nama hidangan yang tertulis di atas kertas. Jenis
hidangan itu terdiri dari hidangan berbagai jenis kue, buah-buahan kering,
buah-buahan segar, buah-buahan yang diolah dengan arak dan dijadikan manisan,
berjenis-jenis sayuran dengan bermacam-macam cara olahan, sup buah, sup sayur,
sup daging, sup ikan laut, sup madu, nasi bumbu, nasi daging, nasi kacang
merah. Dan seolah belum cukup dengan daftar yang telah demikian panjang, masih
ditambah dengan jenis hidangan utama yaitu kepiting salju.
Pangeran Zhu Di
mendesah seraya menangkupkan gulungan kertas kayu di tangannya lalu
menyerahkannya pada Kasim Anta. Jika demikian banyak jenis makanan yang harus
dimasak oleh Xiao Chen, maka sehebat apapun kemampuan kasim kesayangannya itu
dalam memasak, namun tetap saja tidak akan bisa menyelesaikan semuanya hanya
dalam waktu semalam. Sementara jika jenis-jenis hidangan tersebut tidak
dimasak, maka hal tersebut justru akan menjadi sebuah masalah besar karena sama
artinya ia membangkang terhadap perintah Kaisar dan Ratu. Mungkin saja Ratu
tidak akan memarahinya, namun Kaisar jelas akan menjadi murka terutama karena
menganggap ia telah mempermalukan Kaisar di depan para tamu kerajaan.
Jadi, jika seperti
itu keadaannya, bukankah memang harus ada yang dikorbankan demi kebaikan semuanya?.
“Baiklah…” ujar
Pangeran Zhu Di setelah terdiam beberapa saat kemudian. “Adik Chen memang tidak
akan bisa memasak semuanya dalam waktu satu malam karena itu, kau pergilah ke
dapur dan perintahkan pada semua juru masak, pelayan dan dayang untuk mulai memasak
semua jenis masakan kecuali hidangan utamanya. Untuk kepitingnya, biarkan Adik
chen yang memasaknya. Kukira, memasak kepiting tidak membutuhkan waktu yang
lama”.
Kasim Anta nyaris
terlonjak karena gembira sekaligus lega mendengar perintah yang diucapkan oleh
Pangeran Zhu Di. Wajahnya berbinar saat menatap pangeran tampan di depannya.
“Sungguhkah demikian
Pangeran? Lalu, bagaimana jika besok dalam perjamuan Pangeran tidak dapat
menyantap kue-kue dan lainnya selain hidangan utama? Kami semua yang di dapur
tentu akan mendapat marah dari Yang Mulia Kaisar dan Ratu” tanya Kasim Anta
menyakinkan diri.
“Aku akan tetap
mencicipi setiap hidangan yang ada di depanku. Kalian tidak perlu cemas.
Meskipun sedikit-sedikit, aku akan tetap akan memakannya. Lagipula, perut siapa
yang dapat menampung makanan sebanyak itu?” sahut Pangeran Zhu Di seraya
mengerdik ke arah catatan di tangan Kasim Anta.
Sepasang mata Kasim
Anta membelalak dengan kegembiraan yang meluap-luap membuat sang kasim pengasuh
segera menubruk kaki Pangeran Zhu Di dan memeluknya erat-erat.
Pangeran Keempat
terkaget-kaget karena tak menyangka bahwa kasim pengasuhnya akan memeluk
kakinya seperti itu.
“Ya!..apa yang kau
lakukan!” seru Pangeran Zhu dengan nada membentak meski sesungguhnya hatinya diliputi
rasa haru. “Cepat lepaskan kakiku dan pergilah pada para pelayan, dayang dan
juru masak di dapur sebelum malam semakin larut”.
Kasim Anta tersenyum
lebar dengan wajah penuh rasa bahagia. Kedua tangannya melepaskan kaki Pangeran
Zhu Di dan segera bangkit berdiri dari lantai kayu tempatnya berlutut kemudian membungkuk
dalam-dalam.
“Baik Pangeran..hamba
akan ke dapur sekarang” sahut Kasim Anta penuh semangat.
Pangeran Zhu Di
mengangguk. Tidak dapat menahan untuk tidak tersenyum.
“Jangan lupa ambilkan
buku-buku yang tadi kuminta padamu” ujar Sang Pangeran membuat gerak tubuh
Kasim Anta terhenti dan kembali, kasim pengasuh itu menatap pangeran di
depannya.
“Buku-buku?” tanya
Kasim Anta dengan alis berkerut bingung.
Pangeran Zhu Di
membelalak melihat kebingungan kasim pengasuhnya.
“Bukankah aku
menyuruhmu untuk mengambilkan beberapa buku untuk kubaca? Jangan katakan kau
lupa dengan perintahku itu” tegur Pangeran Keempat dengan ekspresi wajah siap
meledak.
Kasim Anta
terperanjat demikian ia mengingat hal itu. Memang semula, ia mendapat perintah
untuk mengambilkan beberapa judul buku yang akan dibaca oleh Pangeran Zhu Di
sambil duduk di taman. Namun adanya surat dari Kepala Dapur Jiu Zhong
membuatnya sama sekali terlupa dengan perintah itu. nyaris tanpa sadar, kasim
tua itu menepuk dahinya sendiri.
“Ah…aku benar-benar
aku sudah tua” gumam Kasim Anta seraya melirik ke arah Pangeran Keempat dengan
ekspresi takut-takut. Namun sedetik kemudian, sang kasim setia segera
membungkukkan tubuhnya.
“Hamba mengingatnya
Pangeran, dan akan hamba ambilkan sekarang juga” ucap Kasim Anta sambil mulai
melangkah dengan tergopoh-gopoh begitu menegakkan tubuhnya kembali.
Pangeran Zhu Di tak
mengeluarkan sepatah katapun dan hanya menatap kasim pengasuhnya dengan tajam
hingga Kasim Anta menghilang di balik pintu menuju bangunan dapur.
Sejenak, sang
pangeran termuda itu masih berdiri termangu sebelum kemudian, tubuhnya yang
indah dalam balutan hanfu mewah berwarna ungu berbalik kembali menghadap ke
arah taman. Taman yang memperdengarkan suara gemericik air sungai buatan dengan
aroma harum bunga yang membubung ke udara. Musim semi masih akan berlangsung
hingga dua purnama ke depan. dan bersama keharuman wangi bunga yang memenuhi
rongga dadanya, kenangan Sang Pangeran Keempat melayang ke satu wajah seindah
bulan purnama yang terlepas dari genggaman jemarinya di bibir jurang. Wajah yang
telah merenggut ketenangan jiwanya sejak beberapa waktu lalu hingga kini,
membuatnya merasa sangat hidup namun sekaligus mendekap gelisah aneh yang belum
dirasakannya sebelum saat ia melihat wajah seindah rembulan itu.
Pangeran Zhu Di
mendesah saat jantungnya mendenyutkan rasa sakit yang membisikkan kerinduan. Ia
tahu, bahwa segalanya tak pernah sama lagi baginya. Ia tahu bagaimana dirinya
dahulu dan ia dapat melihat dengan sangat jelas seperti apa ia sekarang. Kerinduannya
pada sang rembulan telah membuatnya mengerti sesakit apa sesungguhnya hati
Pangeran Mahkota yang akan melepaskan kesendiriannya besok pagi untuk seorang gadis
yang tak pernah dikenali, dikasihi, dirindui serta menepikan satu wajah yang
telah mengisi jiwa dengan seluruh kesejukan dan keharuman sosoknya.
Dan pemahaman serta
pengertian yang datang itulah yang membuat Pangeran Zhu Di memutuskan untuk
memperjuangkan sepotong kecil kebahagiaan bagi kakak sulungnya tersebut.
Sebab ia sendiri akan
memperjuangkan cintanya sekuat tenaga. Sebab ia tak akan pernah menyerah hingga
satu wajah purnama yang mengikat jiwanya itu menjadi miliknya, dalam rengkuhan
hatinya.
Meskipun untuk itu ia
harus bertarung melawan seluruh isi semesta.
Ia tak akan mengalah.
Pada siapapun meski orang itu adalah saudara atau orang terdekatnya.
Meski orang itu
adalah sahabat yang paling dikasihinya.
Sebab bagi Pangeran
Zhu Di cinta sejatinya hanya satu dan membawa serta kekuatan hidup dalam
jiwanya.
Karena itu ia tak
mungkin untuk menyerah.
Atau mengalah.
Sebab jika ia
melakukan hal itu, maka itu artinya…
MATI.
Ia akan mati…
“Guanjin-moi…hanya
kau yang akan menjadi ratu bagiku. Tak mungkin yang lain, atau aku akan mati”
bisik Sang Pangeran Keempat dalam getaran jiwa yang mengalir bersama semilir
angin malam yang lembut berhembus. Tangan kanan berjari indah sang pangeran
terangkat mendekap satu sisi dadanya seolah hendak menenangkan jantung yang
bergolak gelisah dalam hantaman cinta yang mendalam dan semakin dalam…
*************
(For you Uncle Jackie...in your smile I get my spirit ^^)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar