♫ I’ve been
searching for you so long
My life’s been
sacrificed
I’ve been
longing for truth
And now I have
found all that in you
Like an angel
you came to me
And now I see
The stranger
in me is finally free
To fel true
love
From heaven I
knew you were born on the wings of love
You were
brought to me I’ve been longing for truth
Journeyed so
far to be with you♫
(Song
by Yngwie Malmsteen)
Rumah Perdana Menteri
Hu Weiyong…
Malam sebelum
pernikahan agung..
“Ayah?” suara bening
seorang anak terdengar berdenting memecah kesunyian, membuat kepala Juru Masak
Jiu Zhong berpaling mendapatkan arah suara. Senyum lebar segera menyeruak
mengusir mendung yang semula sempat menggayut lalu, tangan sang kepala dapur
istana itu terulur meraih puncak kepala anak lelaki berumur lima tahun lebih
yang berdiri tepat disampingnya. Kepala anaknya. Satu-satunya keluarga yang
tersisa setelah sebuah tragedy menghanguskan seluruh kebahagiaannya di desa,
lebih dari lima tahun yang lalu.
“Ada apa Jiu Bao, kau
tidak tidur?” tegur Juru Masak Jiu Zhong dengan suara lembut yang menggambarkan
besarnya kasih sayang pada anak lelakinya yang tersisa.
Sepasang mata jernih
bulat sang anak menatap ajah ayahnya dengan senyum lebar yang menggemaskan.
Kepalanya yang berhias rambut hitam dan sebagian dari rambut itu menegak
berdiri, perlahan menggeleng.
“Ayah kenapa tidak
tidur?” si anak yang bernama Jiu Bao membalik pertanyaan yang diberikan padanya
membuat Juru Masak Jiu Zhong tertawa lalu dengan gemas meraup tubuh anak
lelakinya dan mendudukkan si bocak lelaki di atas pangkuan.
“Kenapa kau selalu
menanyakan apa yang ayahmu tanyakan padamu?” tanya Juru Masak Jiu Zhong di sisi
pipi bocah lelaki dalam pangkuannya.
Jiu Bao memutar kedua
matanya yang bulat jernih dengan ekspresi lucu lalu melingkarkan satu lengannya
yang mungil ke leher ayahnya.
“Karena ayah tidak
melakukan apa yang ayah tanyakan padaku” jawab si bocah sembari
menggeleng-gelengkan kepalanya dengan gerak yang lucu.
Kembali Juru Masak
Jiu Zhong tertawa. Ia selalu merasa sangat bahagia setiap kali berada di sisi
anak lelakinya seolah tak ada lagi hal yang berat dan pedih dalam kehidupannya.
Tidak bahkan meski ia, di akhir-akhir waktu beberapa hari ini selalu merasakan
hal yang sangat menekan hatinya sebagai seorang juru masak baik di rumah Perdana
Menteri Hu Weiyong maupun di dapur istana.
Di awal malam tadi ia
telah menyelesaikan jenis hidangan terakhir yang mesti dibuatnya untuk jamuan
pernikahan Pangeran Mahkota besok pagi. Hanya tinggal menyempurnakan sedikit
kekurangan-kekurangan yang masih terlihat di sana-sini namun selebihnya, ia
merasa sangat puas dengan hasil yang terlihat. Seluruh dayang, pelayan dan juru
masak bekerja dengan penuh semangat dan gembira seolah melebur dalam suasana
bahagia yang memancar dari setiap sudut istana. Demikian pula dengan Juru Masak
Jiu Zhong yang turut larut dalam rasa semangat dan kegembiraan.
Hingga seorang utusan
datang menyampaikan pesan dari Perdana Menteri Hu Weiyong agar ia segera
pulang.
Pulang untuk
melaporkan tentang perintah yang telah diberikan sebelumnya lewat surat.
Surat yang hingga
kini masih saja belum dapat ia pahami sepenuhnya mengenai maksud yang
terkandung di dalamnya. Menyajikan satu jenis hidangan untuk Pangeran Keempat!.
Juru Masak Jiu Zhong
telah mempersiapkan dirinya untuk mendapatkan kemarahan dan hukuman dari Tuan
Hu sebab ia tidak memasak apapun bagi Pangeran Zhu Di. Adalah hal mustahil
dilakukannya sementara lidah Sang Pangeran Kesayangan Kaisar hanya menerima rasa
masakan dari Kasim Chen. Namun, apa yang kemudian diterimanya justru diluar
dugaan. Perdana Menteri Hu Weiyong malah terlihat sangat senang dengan
keputusannya untuk ‘meminjam tangan’ Kasim Chen saat memasak hidangan bagi
Pangeran Zhu Di. Kegembiraan yang tak dimengertinya terlebih setelah itu,
Perdana Menteri Hu Weiyong memintanya untuk tinggal di rumah lebih lama –
sementara demikian banyak hal yang harus ia selesaikan di dapur istana – untuk menemui
Jiu Bao. Sebuah desiran aneh yang sesaat lalu di sore hari sempat dirasakannya
saat menerima dan membaca surat dari tuannya, mendadak kembali muncul.
Apa yang sesungguhnya
tengah direncanakan oleh tuannya itu? Dan mengapa Perdana Menteri Hu Weiyong
memintanya untuk tinggal lebih lama sementara sang pejabat tinggi istana itu
mestinya tahu betapa banyak tugas yang harus diselesaikannya sebagai kepala
dapur istana?
Juru Masak Jiu Zhong
menarik nafas sementara rasa gelisah semakin menguat di dalam hatinya seolah
membisikkan bahwa apapun yang tengah direncanakan oleh Sang Perdana Menteri,
nampaknya bukanlah satu hal yang baik. Dan ia terlibat di dalamnya, tanpa tahu
apa yang sesungguhnya sedang berlangsung dan akan terjadi.
“Ayah?” suara Jiu Bao
serta sebuah guncangan kecil pada bahu membuat Juru Masak Jiu Zhong tersentak
dan kembali pada wajah mungil anak lelakinya. Senyum sang kepala dapur
mengembang.
“Ayah belum mengantuk
Jiu Bao. Ayolah, Ayah akan menemanimu tidur” sahut Juru Masak Jiu Zhong seraya
mengangkat anak lelakinya dan berjalan ke arah ranjang di sudut ruangan.
Bocah kecil Jiu Bao
membiarkan dirinya diletakkan di atas ranjang dan dibungkus dengan selimut
sementara kedua mata bening anak tersebut mengawasi ayahnya hingga Juru Masak
Jiu Zhong merebahkan diri di sisinya.
“Apakah Tuan Hu
meminta Ayah untuk memasak hidangan yang sangat sulit di masak?” tanya Jiu Bao
saat ayahnya telah berbaring di sisinya.
Juru Masak Jiu Zhong
terkejut dan menoleh ke arah bocah kecil yang sangat disayanginya.
“Kenapa kau bertanya
seperti itu Jiu Bao?” Juru Masak Jiu Zhong balik bertanya. Keningnya yang dihiasi
oleh kerut karena kepedihan hidup terlihat semakin mengerut.
“Karena Ayah terlihat
sedih. Setiap kali Tuan Hu menyuruh Ayah mengerjakan sesuatu yang sulit maka
wajah Ayah akan terlihat sedih” sahut Jiu Bao dengan nada polos.
Juru Masak Jiu Zhong
tertegun. Ia bahkan tidak pernah memperhatikan hal tentang perubahan wajahnya setiap ia menerima
perintah yang sulit dari Perdana Menteri Hu Weiyong. Baginya yang telah
mengalami saat yang sangat sulit dan menghancurkan, apa yang ia rasakan sungguh
tak lagi penting seolah perasaannya telah menjadi kebas. Kapan terakhir kali ia
sadar bahwa ia merasa bahagia, atau berduka? Rasa bahagia yang masih bisa
diingatnya adalah saat kelahiran Jiu Bao lebih dari lima tahun lalu, ketika ia duduk di sisi ranjang tempat istri
yang sangat dicintainya dan mencium kening wanita yang telah memberinya tiga
orang anak itu dengan penuh suka cinta dan rasa terima kasih. Lalu duka? Seolah
menjadi bayangan dari rasa bahagia yang baru sesaat dicicipinya, kedukaan yang
sangat dahsyat itu datang pada malam buta saat orang-orang yang tak dikenalinya
datang menyerbu rumahnya, menghabiskan seluruh kebahagiaannya. Dan ia tak mampu
melindungi orang-orang yang sangat dicintainya. Semuanya tewas, kecuali satu
bayi mungil yang tertinggal karena istrinya sempat menyembunyikan bayi mungil
yang masih merah itu di dalam sebuah guci kosong besar di gudang belakang. Jiu
Bao mungil yang tak menyadari bahwa ibu dan seluruh saudaranya tewas di tangan
orang-orang asing dan terus terlelap di dalam guci hingga sang ayah yang
terluka parah menemukannya.
Dan sesudah hari itu,
ia bagai tubuh mati yang berjalan kian kemari, hidup namun hampa, bernafas
namun kosong. Hingga Perdana Menteri Hu Weiyong menemukannya dan mengambilnya
dari kehidupan sebagai pengemis di jalan lalu memberinya kehidupan baru sebagai
juru masak di rumah sang pejabat tersebut. Hingga kini, ia menjadi seorang
kepala dapur istana dan mendapat penghormatan dari banyak orang. Sungguh, jalan
kehidupan yang telah dijalaninya hingga hari ini terasa bagaikan sebuah mimpi. Seperti
sekuntum bunga yang tiba-tiba berubah warna menjadi sebuah warna baru yang sama
sekali berbeda dan tak pernah terbayangkan sebelumnya. Sangat menakjubkan.
Namun, semenakjubkan
apapun warna baru dalam kehidupannya, tapi tetap saja tak bisa mengembalikan
sosok dirinya menjadi seperti dulu. Sisi kosong dan hampa yang tak terobati itu
masih ada dan selalu mengikutinya kemanapun seperti sebuah bayangan hitam yang
menakutkan. Ada kalanya ia merasa lelah dalam pengejaran bayangan hitam itu dan
ingin berhenti, tetapi setiap kali ia menoleh pada wajah bening polos yang
semakin hari semakin menggemaskan di sisinya, maka keinginan untuk berhenti
berlari itu menjadi hilang sama sekali. Lalu, kesadaran bahwa ia kini hidup
hanya untuk satu wajah polos yang sangat dicintainya itu pula yang membuat Juru
Masak Jiu Zhong tak lagi mempedulikan tentang segala rasa termasuk bayangan
hitam kekosongan yang sesungguhnya terus menghantuinya. Ia hanya ingin anak
lelakinya hidup dan memiliki kehidupan yang terbaik, lebih baik darinya. Semangat
yang muncul dalam dirinya itulah yang membuat Juru Masak Jiu Zhong merasa telah
mampu menutupi semua rasa lelah maupun kehampaan yang menggayuti hatinya.
Tetapi, ternyata hal
itu tidak berlaku di depan Jiu Bao!.
Seluruh rasa yang tak
pernah dikenalinya lagi karena deraan kehampaan justru tertangkap oleh sepasang
mata bening anak lelaki yang sangat ingin dilindunginya kepedihannya itu. Untuk
sesaat Juru Masak Jiu Zhong diliputi kebimbangan. Haruskah ia mengatakan hal
yang sesungguhnya menggangu pikirannya pada Jiu Bao? Tetapi, anak itu masih
terlalu kecil dan mungkin tak akan mengerti apa yang sesungguhnya sedang
terjadi.
“Hmm…” Juru Masak Jiu
Zhong menggumam pelan sebelum kemudian mengangguk. “Itu benar Jiu Bao. Tuan Hu
meminta Ayah memasak satu jenis hidangan yang sangat sulit”.
Sepasang mata Jiu Bao
mengerjab. Terlihat puas saat mendapati bahwa tebakannya ternyata tepat.
“Hidangan apa yang
Tuan Hu ingin Ayah memasaknya? Apakah hidangan itu untuk Tuan Hu atau orang
lain?” tanya si bocah kembali seraya memiringkan tubuhnya yang mungil menghadap
ke arah ayahnya.
“Hidangan itu untuk
orang lain Jiu Bao” jawab Juru Masak Jiu Zhong seraya melirik anak lelakinya.
“Jadi, hidangan yang
harus Ayah masak tersebut sangat sulit karena orang lain itu tidak menyukai
masakan Ayah…apakah seperti itu?” tanya Jiu Bao kemudian.
Juru Masak Jiu Zhong
terperanjat mendengar kalimat yang dilontarkan Jiu Bao. Lelaki itu seketika membalik
tubuhnya menghadap ke arah bocah kecil yang tengah berbaring miring menghadap
ke arahnya.
“Bagaimana bisa kau
menyimpulkan hal seperti itu JIu Bao?” tanya Juru Masak Jiu Zhong dengan
ekspresi kaget.
Jiu Bao mengangguk
pelan sebelum kemudian, bibir bocah yang belum genap berumur enam tahu itu
kembali membuka.
“Karena aku tahu tak
ada jenis hidangan yang tak bisa Ayah masak, juga karena aku tahu bahwa tak ada
seorangpun yang tidak menyukai masakan Ayah. Jika ada hidangan yang tak bisa
Ayah masak maka itu pasti bukan karena hidangan itu sangat sulit tapi karena
orang yang akan memakan hidangan itu tidak menyukai masakan Ayah. Seperti itu
saja yang aku pikirkan Ayah” tutur Jiu Bao menjelaskan membuat Juru Masak Jiu
Zhong terdiam karena takjub.
“Jadi…siapakah orang
itu Ayah? Siapa orang yang tidak menyukai masakan Ayah sehingga Ayah sulit memasak
hidangan untuknya?” tanya Jiu Bao lagi saat ayahnya masih saja terdiam.
Juru Masak Jiu Zhong
menghela nafas panjang. Mestinya ia senang memiliki anak yang cerdas seperti
Jiu Bao. Tapi, dengan keadaan yang mereka miliki sekarang dan semua persoalan
yang ia hadapi, maka kecerdasan sang anak kesayangan justru menimbulkan
kegelisahan lain dalam hatinya. Ia tak ingin Jiu Bao terlibat dalam kesulitan
apapun yang sedang dihadapinya karena mungkin saja, apa yang sedang dihadapinya
sekarang ini akan membuat Jiu Bao terluka dan ia tak ingin hal itu terjadi.
Tapi, bisakah ia
menyembunyikannya dari sepasang mata aak lelakinya yang ternyata demikian jeli?
“Orang itu adalah
Pangeran Keempat” jawab Juru Masak Jiu Zhong setelah menarik nafas panjang. “Pangeran
Keempat tidak menyukai masakan Ayah karena ia hanya menyukai masakan dari
kasimnya”.
Sepasang mata bening
Jiu Bao membesar dengan mulut mengerucut. Sungguh, andai saja pikiran Juru
Masak Jiu Zhong tidak sedang dilandai kegelisahan terhadap apa yang tengah
direncanakan oleh Perdana Menteri Hu Weiyong, maka niscaya ia pasti akan sangat
gemas dan tidak bisa menahan diri untuk mencubit pipi putih yang mirip bakpao
di sisinya itu.
“Pangeran Keempat?”
Jiu Bao mengulang nama yang disebut ayahnya. “Maksud Ayah Pangeran Zhu Di?”.
Juru Masak Jiu Zhong
mengangguk dengan senyum mengulum. “Ya Jiu Bao, PangeranKeempat adalah Pangeran
Zhu Di”.
“Tetapi…Pangeran Zhu
Di sepertinya bukan orang yang jahat. Dan juga kasimnya yang selalu memakai
ikat kepala putih itu terlihat sangat baik. Aku bahkan diberi semangkuk buah
kering oleh Kasim Chen. Enak sekali Ayah” jawab Jiu Bao.
Juru Masak Jiu Zhong
bangun dan kemudian duduk di sisi ranjang karena rasa terkejutnya. Kedua matanya
yang agak memerah karena rasa lelah terlihat sedikit membeliak.
“Kau..kau tahu nama
kasim Pangeran Zhu Di itu dan diberi buah kering olehnya? Kenapa kau tidak
pernah menceritakannya pada Ayah?” tanya Juru Masak Jiu Zhong sembari menatap
anak lelakinya.
Jiu Bao turut bangun
dan duduk di depan ayahnya. Kepalanya mengangguk.
“Tentu saja aku tahu
Ayah” sahut si anak lelaki kemudian. “Aku pernah mendengar tentang seorang
kasim yang masih sangat muda tapi sangat baik dan selalu menemani Pangeran Zhu
Di kemanapun. Jadi saat aku mengikuti Ayah ke dapur istana saat itu, lalu aku
merasa bosan dan bermain sendiri, aku bertemu dengan Pangeran Zhu Di yang
sedang berjalan di taman bersama seseorang yang masih sangat muda. Kepalanya memakai
ikat kain berwarna putih. Aku menabrak Pangeran Zhu Di saat itu karena aku
berlari sambil melihat ke belakang untuk melihat apakah Ayah akan mengejarku. Lalu
aku jatuh dan orang dengan ikat kepala putih itu menolongku bangun. Aku melihat
Pangeran Zhu Di tertawa dan bertanya kepadaku kenapa aku bermain sendiri? Di mana
teman-temanku? Lalu aku menjawab bahwa aku tidak mempunyai teman karena semua
anak di istana tidak mau bermain denganku sebab aku hanya anak pelayan. Lalu Pangeran
Zhu Di bertanya padaku siapa nama ayahku dan kujawab nama ayahku adalah Juru
Masak Jiu Zhong. Pangeran Zhu Di mengatakan bahwa seharusnya anak-anak lain di
istana tidak bersikap sombong seperti itu karena semua orang memiliki nilai
yang sama di hadapan Thian hanya sifatnya saja yang membuat seseorang menjadi
lebih buruk atau lebih baik dari orang lain. Lalu Pangeran Zhu Di mengatakan
padaku agar aku belajar dengan baik agar suatu saat nanti aku bisa membuktikan
bahwa anak seorang pelayanpun bisa memiliki kepandaian yang baik tidak kalah
dengan anak-anak pejabat istana. Setelah itu Pangeran Zhu Di memberiku sekeping
uang dan Kasim Chen memberiku semangkuk buah kering. Kasim Chen memintaku agar
tidak bermain terlalu jauh agar Ayah tidak bingung mencariku sebab pekerjaan
Ayah sangatlah banyak jadi aku harus membantu Ayah dengan cara tidak membuat
Ayah sedih atau bingung karena mencariku karena menurut Kasim Chen, aku adalah
hal yang paling membuat Ayah bahagia di dunia ini. Karena itulah aku kemudian
pulang dan menemui Ayah”.
Juru Masak Jiu Zhong
tercenung mendengar penuturan Jiu Bao. Sebuah guncangan menyusup ke dalam
hatinya. Ia, yang selama ini selalu memiliki rasa persaingan dengan Kasim Chen
oleh karena kenyataan bahwa pemenang sesungguhnya sayembara memasak beberapa
tahun lalu adalah Xiao Chen, ia yang selalu merasa penasaran karena penolakan
Pangeran Zhu Di atas masakannya, dan bagaimanapun hal itu membekaskan sebuah
luka dari rasa harga dirinya. Lalu kini ia mendengar lewat mulut yang paling
disayanginya betapa dua orang yang telah memberikan satu kesakitan tersembunyi
tersebut justru memberikan perhatian serta kebaikan pada satu-satunya keluarga
milikinya yang masih tersisa.
Dan ia bukanlah
seorang buta yang tidak dapat merasakan satu hentakan keharuan ataupun rasa
terima kasih. Bahkan pada orang yang telah memberinya luka sekalipun. Dan kenyataan
itu membuatnya seperti berada di ujung jalan berhias dua cabang haluan. Satu kenyataan
bahwa ia telah terlibat dalam sebuah rencana yang tengah disusun oleh tuannya –
entah apapun bentuk rencana itu – sementara di sisi lain, rasa terima kasih
atas kebaikan yang telah diberikan pada anak lelakinya membuatnya ingin
mengingatkan Kasim Chen dan Pangeran Zhu Di terhadap apapun rencana dari
Perdana Menteri Hu Weiyong. Manakah yang harus ia pilih? Jika ia menetapkan
untuk mengikuti rencana Perdana Menteri Hu Weiyong meski ia tak tahu pasti
bagaimana bentuk rencana itu, maka itu artinya ia harus menyiapkan dirinya
untuk menanggung rasa penyesalan dalam hatinya di esok hari. Namun jika ia
memilih untuk memuaskan rasa terima kasihnya pada Pangeran Zhu Di dan Kasim
Chen maka itu artinya ia dan anak lelakinya akan mati karena apa yang
dihadapinya di depan Perdana Menteri Hu Weiyong bukan lagi sebuah kebaikan
ringan melainkan sebuah hutang hidup. Hutang nyawa yang mesti dibayarnya dengan
nyawa pula. Satu lagi beban batin yang kini menumpuk dalam hati juru Masak Jiu
Zhong. Beban batin yang muncul dari kesadaran bahwa sesungguhnya ia masih
mengenal kata terima kasih dan kebaikan namun jalan hidup yang dimilikinya
seolah memaksanya untuk menepikan seluruh cahaya yang mendamaikan dari dalam
hati dan mengikuti jalan gelap yang dapat ia rasakan tengah digiring oleh
tuannya menuju kehidupan dirinya dan Jiu Bao.
“Benarkah itu Jiu
Bao?” Juru masak Jiu Zhong menimpali setelah terdiam selama beberapa saat. “Lalu,
apakah buah kering pemberian Kasim Chen itu masih ada? Kenapa kau tidak
memberikan beberapa potong untuk Ayah?”
Jiu Bao tertawa
dengan ekspresi malu sementara sepasang matanya terlihat berbinar-binar.
“Aku menghabiskannya
Ayah karena hari itu aku sangat lapar” sahut Jiu Bao sembari memperlihatkan
deretan gigi kecilnya yang putih rapi. “Maafkan aku Ayah”.
Juru Masak Jiu Zhong
tertawa dan mengusap puncak kepala anak lelakinya dengan penuh sayang.
“Katakan pada Ayah,
apakah buah kering buatan Kasim chen itu sangat enak? Lebih enak mana dengan
buah kering buatan Ayah?” tanya Juru Masak Jiu Zhong.
Jiu Bao terlihat
menerawang sesaat dengan kepala menengadah menatap langit-langit kamar
sementara kedua matanya berkedip-kedip. Juru Masak Jiu Zhong kembali tertawa
melihat ekspresi anak lelakinya.
“Mmmm…menurutku
enaknya sama, tapi ada bedanya. Buah kering buatan Ayah sangat enak, sedikit
lebih enak dibanding buatan Kasim Chen tapi jika aku memakannya terus menerus
maka aku akan merasa terbiasa dengan rasanya. Buah kering buatan Kasim Chen
rasanya tidak sebaik buah kering buatan Ayah tapi jika aku memakannya terus
menerus maka aku tidak akan pernah bosan. Rasanya seperti ingin memakannya lagi
dan lagi. Karena itulah aku menghabiskan buah kering itu” jawab Jiu Bao dengan jujur.
Juru Masak Jiu Zhong
mengangguk-angguk namun kedua alisnya berkerut. Jadi begitukah? Jika anak
sekecil Jiu Bao bisa menceritakan perbedaan rasa antara masakannya dengan
masakan Kasim Chen, maka hal mana yang tak akan dipercayainya?. Dan kenyataan
bahwa masakannya sangat enak namun membuat orang terbiasa saat terus menerus
memakannya membuat Juru Masak Jiu Zhong semakin digulung oleh rasa penasaran. Bukan
karena rasa sakit hati atas kekalahan terselubung yang dialaminya saat
sayembara memasak dahulu – rasa itu telah mulai terpupus setelah ia mendengar
kebaikan yang diberikanoleh Kasim Chen dan Pangeran Zhu Di pada Jiu Bao –
melainkan karena bagi seorang juru masak, menghasilkan sebuah masakan yang
lezat bukanlah satu-satunya tujuan utama. Apalah artinya mampu menghidangkan
masakan yang sangat lezat namun setelah memakannya sekali atau dua kali maka
orang akan segera bosan dan pergi kemudian melupakan masakannya yang lezat itu?
Hal semacam itu lebih terasa seperti sebuah kesenangan pesta sesaat yang akan
segera lenyap demikian pesta itu usai. Dan bagi seorang juru masak, dilupakan
adalah sebuah malapetaka yang amat buruk. Mendadak ia bisa mengerti mengapa
Pangeran Zhu Di memilih Kasim Chen dan bukan dirinya. Hal itu bukan karena
masakan Kasim Chen lebih lezat dari masakannya namun karena apa yang telah
dimasak oleh Kasim Chen telah mampu mengikat hati Sang Pangeran Keempat membuat
pangeran kesayangan Kaisar Hongwu tersebut tak mampu melupakan rasa masakan
Kasim Chen. Rasa masakan Kasim Chen seperti sebuah pesta yang tak pernah usai,
seperti kesenangan yang tak pernah berakhir. Sekian lama ia mencari jawaban
atas kekalahan terselubungnya dahulu dan kini ia mendapatkan jawabannya.
Dan Jiu Bao, anak lelakinya
sendiri yang telah menunjukkan jawaban yang dicarinya.
“Begitukah? Sayang sekali
Ayah tidak mencicipi buah kering buatan Kasim Chen” ujar Juru Masak Jiu Zhong
seraya tersenyum. Tangannya terulur mendorong tubuh Jiu Bao hingga anak
tersebut rebah kembali ke atas ranjang. Lalu, setelah membenahi letak selimut
di tubuh Jiu Bao, maka sang kepala dapur istana itupun turut merebahkan dirinya
di sisi anak lelakinya.
“Ayah…apakah Ayah
sedih karena tidak bisa membuat Pangeran Zhu Di menyukai masakan Ayah?” tanya
Jiu Bao menatap ayahnya yang mulai memejamkan matanya.
“Hmmm…” gumam Juru
Masak Jiu Zhong dalam kantuknya yang mulai menyerang. “Kasim Chen dan Pangeran
Zhu Di orang-orang yang baik”.
Jiu Bao masih terus
menatap ayahnya. desah nafas yang terdengar teratur membuat anak itu tahu bahwa
ayahnya benar-benar telah terlelap. Si bocah kecil kemudian menelentang dan
menatap langit-langit. Kedua matanya yang bening masih belum sedikitpun berhias
kantuk. Ia tidak mengerti apa sesungguhnya yang tengah dihadapi oleh ayahnya
namun dalam pemahamannya, Jiu Bao hanya tahu bahwa kebaikan berarti adalah
kebahagiaan, kesenangan, kegembiraan dan bukan kesedihan.
“Tapi bagiku yang
baik hanya Ayah” gumam Jiu Bao kemudian dengan suara beningnya yang sendirian. “Karena
Ayah selalu membuatku bahagia dan gembira”.
Suara serangga di
luar rumah terdengar bersahutan membuat malam terasa semakin sunyi. Jiu Bao
kembali memiringkan tubuhnya menghadap ayahnya. Satu tangan mungilnya terulur
dan membelai pipi sang ayah yang terlelap.
“Biarpun Kasim Chen
orang yang baik, tapi bagiku ia tidak baik karena ia sudah membuat Ayah sedih.
Tuan Hu selalu mengatakan hal itu padaku. Dan aku tidak suka orang yang membuat
Ayah sedih karena itu aku berjanji, suatu hari nanti jika aku besar maka aku pasti
akan membalas setiap orang yang telah memberikan kesedihan di hati Ayah. Siapapun
dia, bahkan meskipun itu adalah Pangeran Zhu Di” bisik bibir mungil Jiu Bao.
Bisik halus dari
bibir mungil yang segera membuat suara-suara serangga di luar rumah terdiam dan
malam melangkah melambat dalam kesunyian yang mencekam. Kesunyian yang seolah
mengabarkan akan adanya sebuah api dendam yang terpercik, menyala dalam apinya
yang kecil mungil dan menunggu saat yang tepat untuk membesar, berkobar kemudian menghanguskan segalanya…
**************
Tidak ada komentar:
Posting Komentar