Minggu, 01 Mei 2016

Straight - Episode 7 ( Bagian Satu )

♫ I’ve been searching for you so long
My life’s been sacrificed
I’ve been longing for truth
And now I have found all that in you
Like an angel you came to me
And now I see
The stranger in me is finally free
To fel true love
From heaven I knew you were born on the wings of love
You were brought to me I’ve been longing for truth
Journeyed so far to be with you♫
(Song by Yngwie Malmsteen)

Rumah Perdana Menteri Hu Weiyong…
Malam sebelum pernikahan agung..
“Ayah?” suara bening seorang anak terdengar berdenting memecah kesunyian, membuat kepala Juru Masak Jiu Zhong berpaling mendapatkan arah suara. Senyum lebar segera menyeruak mengusir mendung yang semula sempat menggayut lalu, tangan sang kepala dapur istana itu terulur meraih puncak kepala anak lelaki berumur lima tahun lebih yang berdiri tepat disampingnya. Kepala anaknya. Satu-satunya keluarga yang tersisa setelah sebuah tragedy menghanguskan seluruh kebahagiaannya di desa, lebih dari lima tahun yang lalu.
“Ada apa Jiu Bao, kau tidak tidur?” tegur Juru Masak Jiu Zhong dengan suara lembut yang menggambarkan besarnya kasih sayang pada anak lelakinya yang tersisa.
Sepasang mata jernih bulat sang anak menatap ajah ayahnya dengan senyum lebar yang menggemaskan. Kepalanya yang berhias rambut hitam dan sebagian dari rambut itu menegak berdiri, perlahan menggeleng.
“Ayah kenapa tidak tidur?” si anak yang bernama Jiu Bao membalik pertanyaan yang diberikan padanya membuat Juru Masak Jiu Zhong tertawa lalu dengan gemas meraup tubuh anak lelakinya dan mendudukkan si bocak lelaki di atas pangkuan.
“Kenapa kau selalu menanyakan apa yang ayahmu tanyakan padamu?” tanya Juru Masak Jiu Zhong di sisi pipi bocah lelaki dalam pangkuannya.
Jiu Bao memutar kedua matanya yang bulat jernih dengan ekspresi lucu lalu melingkarkan satu lengannya yang mungil ke leher ayahnya.
“Karena ayah tidak melakukan apa yang ayah tanyakan padaku” jawab si bocah sembari menggeleng-gelengkan kepalanya dengan gerak yang lucu.
Kembali Juru Masak Jiu Zhong tertawa. Ia selalu merasa sangat bahagia setiap kali berada di sisi anak lelakinya seolah tak ada lagi hal yang berat dan pedih dalam kehidupannya. Tidak bahkan meski ia, di akhir-akhir waktu beberapa hari ini selalu merasakan hal yang sangat menekan hatinya sebagai seorang juru masak baik di rumah Perdana Menteri Hu Weiyong maupun di dapur istana.
Di awal malam tadi ia telah menyelesaikan jenis hidangan terakhir yang mesti dibuatnya untuk jamuan pernikahan Pangeran Mahkota besok pagi. Hanya tinggal menyempurnakan sedikit kekurangan-kekurangan yang masih terlihat di sana-sini namun selebihnya, ia merasa sangat puas dengan hasil yang terlihat. Seluruh dayang, pelayan dan juru masak bekerja dengan penuh semangat dan gembira seolah melebur dalam suasana bahagia yang memancar dari setiap sudut istana. Demikian pula dengan Juru Masak Jiu Zhong yang turut larut dalam rasa semangat dan kegembiraan.
Hingga seorang utusan datang menyampaikan pesan dari Perdana Menteri Hu Weiyong agar ia segera pulang.
Pulang untuk melaporkan tentang perintah yang telah diberikan sebelumnya lewat surat.
Surat yang hingga kini masih saja belum dapat ia pahami sepenuhnya mengenai maksud yang terkandung di dalamnya. Menyajikan satu jenis hidangan untuk Pangeran Keempat!.
Juru Masak Jiu Zhong telah mempersiapkan dirinya untuk mendapatkan kemarahan dan hukuman dari Tuan Hu sebab ia tidak memasak apapun bagi Pangeran Zhu Di. Adalah hal mustahil dilakukannya sementara lidah Sang Pangeran Kesayangan Kaisar hanya menerima rasa masakan dari Kasim Chen. Namun, apa yang kemudian diterimanya justru diluar dugaan. Perdana Menteri Hu Weiyong malah terlihat sangat senang dengan keputusannya untuk ‘meminjam tangan’ Kasim Chen saat memasak hidangan bagi Pangeran Zhu Di. Kegembiraan yang tak dimengertinya terlebih setelah itu, Perdana Menteri Hu Weiyong memintanya untuk tinggal di rumah lebih lama – sementara demikian banyak hal yang harus ia selesaikan di dapur istana – untuk menemui Jiu Bao. Sebuah desiran aneh yang sesaat lalu di sore hari sempat dirasakannya saat menerima dan membaca surat dari tuannya, mendadak kembali muncul.
Apa yang sesungguhnya tengah direncanakan oleh tuannya itu? Dan mengapa Perdana Menteri Hu Weiyong memintanya untuk tinggal lebih lama sementara sang pejabat tinggi istana itu mestinya tahu betapa banyak tugas yang harus diselesaikannya sebagai kepala dapur istana?
Juru Masak Jiu Zhong menarik nafas sementara rasa gelisah semakin menguat di dalam hatinya seolah membisikkan bahwa apapun yang tengah direncanakan oleh Sang Perdana Menteri, nampaknya bukanlah satu hal yang baik. Dan ia terlibat di dalamnya, tanpa tahu apa yang sesungguhnya sedang berlangsung dan akan terjadi.
“Ayah?” suara Jiu Bao serta sebuah guncangan kecil pada bahu membuat Juru Masak Jiu Zhong tersentak dan kembali pada wajah mungil anak lelakinya. Senyum sang kepala dapur mengembang.
“Ayah belum mengantuk Jiu Bao. Ayolah, Ayah akan menemanimu tidur” sahut Juru Masak Jiu Zhong seraya mengangkat anak lelakinya dan berjalan ke arah ranjang di sudut ruangan.
Bocah kecil Jiu Bao membiarkan dirinya diletakkan di atas ranjang dan dibungkus dengan selimut sementara kedua mata bening anak tersebut mengawasi ayahnya hingga Juru Masak Jiu Zhong merebahkan diri di sisinya.
“Apakah Tuan Hu meminta Ayah untuk memasak hidangan yang sangat sulit di masak?” tanya Jiu Bao saat ayahnya telah berbaring di sisinya.
Juru Masak Jiu Zhong terkejut dan menoleh ke arah bocah kecil yang sangat disayanginya.
“Kenapa kau bertanya seperti itu Jiu Bao?” Juru Masak Jiu Zhong balik bertanya. Keningnya yang dihiasi oleh kerut karena kepedihan hidup terlihat semakin mengerut.
“Karena Ayah terlihat sedih. Setiap kali Tuan Hu menyuruh Ayah mengerjakan sesuatu yang sulit maka wajah Ayah akan terlihat sedih” sahut Jiu Bao dengan nada polos.
Juru Masak Jiu Zhong tertegun. Ia bahkan tidak pernah memperhatikan hal  tentang perubahan wajahnya setiap ia menerima perintah yang sulit dari Perdana Menteri Hu Weiyong. Baginya yang telah mengalami saat yang sangat sulit dan menghancurkan, apa yang ia rasakan sungguh tak lagi penting seolah perasaannya telah menjadi kebas. Kapan terakhir kali ia sadar bahwa ia merasa bahagia, atau berduka? Rasa bahagia yang masih bisa diingatnya adalah saat kelahiran Jiu Bao lebih dari lima tahun lalu,  ketika ia duduk di sisi ranjang tempat istri yang sangat dicintainya dan mencium kening wanita yang telah memberinya tiga orang anak itu dengan penuh suka cinta dan rasa terima kasih. Lalu duka? Seolah menjadi bayangan dari rasa bahagia yang baru sesaat dicicipinya, kedukaan yang sangat dahsyat itu datang pada malam buta saat orang-orang yang tak dikenalinya datang menyerbu rumahnya, menghabiskan seluruh kebahagiaannya. Dan ia tak mampu melindungi orang-orang yang sangat dicintainya. Semuanya tewas, kecuali satu bayi mungil yang tertinggal karena istrinya sempat menyembunyikan bayi mungil yang masih merah itu di dalam sebuah guci kosong besar di gudang belakang. Jiu Bao mungil yang tak menyadari bahwa ibu dan seluruh saudaranya tewas di tangan orang-orang asing dan terus terlelap di dalam guci hingga sang ayah yang terluka parah menemukannya.
Dan sesudah hari itu, ia bagai tubuh mati yang berjalan kian kemari, hidup namun hampa, bernafas namun kosong. Hingga Perdana Menteri Hu Weiyong menemukannya dan mengambilnya dari kehidupan sebagai pengemis di jalan lalu memberinya kehidupan baru sebagai juru masak di rumah sang pejabat tersebut. Hingga kini, ia menjadi seorang kepala dapur istana dan mendapat penghormatan dari banyak orang. Sungguh, jalan kehidupan yang telah dijalaninya hingga hari ini terasa bagaikan sebuah mimpi. Seperti sekuntum bunga yang tiba-tiba berubah warna menjadi sebuah warna baru yang sama sekali berbeda dan tak pernah terbayangkan sebelumnya. Sangat menakjubkan.
Namun, semenakjubkan apapun warna baru dalam kehidupannya, tapi tetap saja tak bisa mengembalikan sosok dirinya menjadi seperti dulu. Sisi kosong dan hampa yang tak terobati itu masih ada dan selalu mengikutinya kemanapun seperti sebuah bayangan hitam yang menakutkan. Ada kalanya ia merasa lelah dalam pengejaran bayangan hitam itu dan ingin berhenti, tetapi setiap kali ia menoleh pada wajah bening polos yang semakin hari semakin menggemaskan di sisinya, maka keinginan untuk berhenti berlari itu menjadi hilang sama sekali. Lalu, kesadaran bahwa ia kini hidup hanya untuk satu wajah polos yang sangat dicintainya itu pula yang membuat Juru Masak Jiu Zhong tak lagi mempedulikan tentang segala rasa termasuk bayangan hitam kekosongan yang sesungguhnya terus menghantuinya. Ia hanya ingin anak lelakinya hidup dan memiliki kehidupan yang terbaik, lebih baik darinya. Semangat yang muncul dalam dirinya itulah yang membuat Juru Masak Jiu Zhong merasa telah mampu menutupi semua rasa lelah maupun kehampaan yang menggayuti hatinya.
Tetapi, ternyata hal itu tidak berlaku di depan Jiu Bao!.
Seluruh rasa yang tak pernah dikenalinya lagi karena deraan kehampaan justru tertangkap oleh sepasang mata bening anak lelaki yang sangat ingin dilindunginya kepedihannya itu. Untuk sesaat Juru Masak Jiu Zhong diliputi kebimbangan. Haruskah ia mengatakan hal yang sesungguhnya menggangu pikirannya pada Jiu Bao? Tetapi, anak itu masih terlalu kecil dan mungkin tak akan mengerti apa yang sesungguhnya sedang terjadi.
“Hmm…” Juru Masak Jiu Zhong menggumam pelan sebelum kemudian mengangguk. “Itu benar Jiu Bao. Tuan Hu meminta Ayah memasak satu jenis hidangan yang sangat sulit”.
Sepasang mata Jiu Bao mengerjab. Terlihat puas saat mendapati bahwa tebakannya ternyata tepat.
“Hidangan apa yang Tuan Hu ingin Ayah memasaknya? Apakah hidangan itu untuk Tuan Hu atau orang lain?” tanya si bocah kembali seraya memiringkan tubuhnya yang mungil menghadap ke arah ayahnya.
“Hidangan itu untuk orang lain Jiu Bao” jawab Juru Masak Jiu Zhong seraya melirik anak lelakinya.
“Jadi, hidangan yang harus Ayah masak tersebut sangat sulit karena orang lain itu tidak menyukai masakan Ayah…apakah seperti itu?” tanya Jiu Bao kemudian.
Juru Masak Jiu Zhong terperanjat mendengar kalimat yang dilontarkan Jiu Bao. Lelaki itu seketika membalik tubuhnya menghadap ke arah bocah kecil yang tengah berbaring miring menghadap ke arahnya.
“Bagaimana bisa kau menyimpulkan hal seperti itu JIu Bao?” tanya Juru Masak Jiu Zhong dengan ekspresi kaget.
Jiu Bao mengangguk pelan sebelum kemudian, bibir bocah yang belum genap berumur enam tahu itu kembali membuka.
“Karena aku tahu tak ada jenis hidangan yang tak bisa Ayah masak, juga karena aku tahu bahwa tak ada seorangpun yang tidak menyukai masakan Ayah. Jika ada hidangan yang tak bisa Ayah masak maka itu pasti bukan karena hidangan itu sangat sulit tapi karena orang yang akan memakan hidangan itu tidak menyukai masakan Ayah. Seperti itu saja yang aku pikirkan Ayah” tutur Jiu Bao menjelaskan membuat Juru Masak Jiu Zhong terdiam karena takjub.
“Jadi…siapakah orang itu Ayah? Siapa orang yang tidak menyukai masakan Ayah sehingga Ayah sulit memasak hidangan untuknya?” tanya Jiu Bao lagi saat ayahnya masih saja terdiam.
Juru Masak Jiu Zhong menghela nafas panjang. Mestinya ia senang memiliki anak yang cerdas seperti Jiu Bao. Tapi, dengan keadaan yang mereka miliki sekarang dan semua persoalan yang ia hadapi, maka kecerdasan sang anak kesayangan justru menimbulkan kegelisahan lain dalam hatinya. Ia tak ingin Jiu Bao terlibat dalam kesulitan apapun yang sedang dihadapinya karena mungkin saja, apa yang sedang dihadapinya sekarang ini akan membuat Jiu Bao terluka dan ia tak ingin hal itu terjadi.
Tapi, bisakah ia menyembunyikannya dari sepasang mata aak lelakinya yang ternyata demikian jeli?
“Orang itu adalah Pangeran Keempat” jawab Juru Masak Jiu Zhong setelah menarik nafas panjang. “Pangeran Keempat tidak menyukai masakan Ayah karena ia hanya menyukai masakan dari kasimnya”.
Sepasang mata bening Jiu Bao membesar dengan mulut mengerucut. Sungguh, andai saja pikiran Juru Masak Jiu Zhong tidak sedang dilandai kegelisahan terhadap apa yang tengah direncanakan oleh Perdana Menteri Hu Weiyong, maka niscaya ia pasti akan sangat gemas dan tidak bisa menahan diri untuk mencubit pipi putih yang mirip bakpao di sisinya itu.
“Pangeran Keempat?” Jiu Bao mengulang nama yang disebut ayahnya. “Maksud Ayah Pangeran Zhu Di?”.
Juru Masak Jiu Zhong mengangguk dengan senyum mengulum. “Ya Jiu Bao, PangeranKeempat adalah Pangeran Zhu Di”.
“Tetapi…Pangeran Zhu Di sepertinya bukan orang yang jahat. Dan juga kasimnya yang selalu memakai ikat kepala putih itu terlihat sangat baik. Aku bahkan diberi semangkuk buah kering oleh Kasim Chen. Enak sekali Ayah” jawab Jiu Bao.
Juru Masak Jiu Zhong bangun dan kemudian duduk di sisi ranjang karena rasa terkejutnya. Kedua matanya yang agak memerah karena rasa lelah terlihat sedikit membeliak.
“Kau..kau tahu nama kasim Pangeran Zhu Di itu dan diberi buah kering olehnya? Kenapa kau tidak pernah menceritakannya pada Ayah?” tanya Juru Masak Jiu Zhong sembari menatap anak lelakinya.
Jiu Bao turut bangun dan duduk di depan ayahnya. Kepalanya mengangguk.
“Tentu saja aku tahu Ayah” sahut si anak lelaki kemudian. “Aku pernah mendengar tentang seorang kasim yang masih sangat muda tapi sangat baik dan selalu menemani Pangeran Zhu Di kemanapun. Jadi saat aku mengikuti Ayah ke dapur istana saat itu, lalu aku merasa bosan dan bermain sendiri, aku bertemu dengan Pangeran Zhu Di yang sedang berjalan di taman bersama seseorang yang masih sangat muda. Kepalanya memakai ikat kain berwarna putih. Aku menabrak Pangeran Zhu Di saat itu karena aku berlari sambil melihat ke belakang untuk melihat apakah Ayah akan mengejarku. Lalu aku jatuh dan orang dengan ikat kepala putih itu menolongku bangun. Aku melihat Pangeran Zhu Di tertawa dan bertanya kepadaku kenapa aku bermain sendiri? Di mana teman-temanku? Lalu aku menjawab bahwa aku tidak mempunyai teman karena semua anak di istana tidak mau bermain denganku sebab aku hanya anak pelayan. Lalu Pangeran Zhu Di bertanya padaku siapa nama ayahku dan kujawab nama ayahku adalah Juru Masak Jiu Zhong. Pangeran Zhu Di mengatakan bahwa seharusnya anak-anak lain di istana tidak bersikap sombong seperti itu karena semua orang memiliki nilai yang sama di hadapan Thian hanya sifatnya saja yang membuat seseorang menjadi lebih buruk atau lebih baik dari orang lain. Lalu Pangeran Zhu Di mengatakan padaku agar aku belajar dengan baik agar suatu saat nanti aku bisa membuktikan bahwa anak seorang pelayanpun bisa memiliki kepandaian yang baik tidak kalah dengan anak-anak pejabat istana. Setelah itu Pangeran Zhu Di memberiku sekeping uang dan Kasim Chen memberiku semangkuk buah kering. Kasim Chen memintaku agar tidak bermain terlalu jauh agar Ayah tidak bingung mencariku sebab pekerjaan Ayah sangatlah banyak jadi aku harus membantu Ayah dengan cara tidak membuat Ayah sedih atau bingung karena mencariku karena menurut Kasim Chen, aku adalah hal yang paling membuat Ayah bahagia di dunia ini. Karena itulah aku kemudian pulang dan menemui Ayah”.
Juru Masak Jiu Zhong tercenung mendengar penuturan Jiu Bao. Sebuah guncangan menyusup ke dalam hatinya. Ia, yang selama ini selalu memiliki rasa persaingan dengan Kasim Chen oleh karena kenyataan bahwa pemenang sesungguhnya sayembara memasak beberapa tahun lalu adalah Xiao Chen, ia yang selalu merasa penasaran karena penolakan Pangeran Zhu Di atas masakannya, dan bagaimanapun hal itu membekaskan sebuah luka dari rasa harga dirinya. Lalu kini ia mendengar lewat mulut yang paling disayanginya betapa dua orang yang telah memberikan satu kesakitan tersembunyi tersebut justru memberikan perhatian serta kebaikan pada satu-satunya keluarga milikinya yang masih tersisa.
Dan ia bukanlah seorang buta yang tidak dapat merasakan satu hentakan keharuan ataupun rasa terima kasih. Bahkan pada orang yang telah memberinya luka sekalipun. Dan kenyataan itu membuatnya seperti berada di ujung jalan berhias dua cabang haluan. Satu kenyataan bahwa ia telah terlibat dalam sebuah rencana yang tengah disusun oleh tuannya – entah apapun bentuk rencana itu – sementara di sisi lain, rasa terima kasih atas kebaikan yang telah diberikan pada anak lelakinya membuatnya ingin mengingatkan Kasim Chen dan Pangeran Zhu Di terhadap apapun rencana dari Perdana Menteri Hu Weiyong. Manakah yang harus ia pilih? Jika ia menetapkan untuk mengikuti rencana Perdana Menteri Hu Weiyong meski ia tak tahu pasti bagaimana bentuk rencana itu, maka itu artinya ia harus menyiapkan dirinya untuk menanggung rasa penyesalan dalam hatinya di esok hari. Namun jika ia memilih untuk memuaskan rasa terima kasihnya pada Pangeran Zhu Di dan Kasim Chen maka itu artinya ia dan anak lelakinya akan mati karena apa yang dihadapinya di depan Perdana Menteri Hu Weiyong bukan lagi sebuah kebaikan ringan melainkan sebuah hutang hidup. Hutang nyawa yang mesti dibayarnya dengan nyawa pula. Satu lagi beban batin yang kini menumpuk dalam hati juru Masak Jiu Zhong. Beban batin yang muncul dari kesadaran bahwa sesungguhnya ia masih mengenal kata terima kasih dan kebaikan namun jalan hidup yang dimilikinya seolah memaksanya untuk menepikan seluruh cahaya yang mendamaikan dari dalam hati dan mengikuti jalan gelap yang dapat ia rasakan tengah digiring oleh tuannya menuju kehidupan dirinya dan Jiu Bao.
“Benarkah itu Jiu Bao?” Juru masak Jiu Zhong menimpali setelah terdiam selama beberapa saat. “Lalu, apakah buah kering pemberian Kasim Chen itu masih ada? Kenapa kau tidak memberikan beberapa potong untuk Ayah?”
Jiu Bao tertawa dengan ekspresi malu sementara sepasang matanya terlihat berbinar-binar.
“Aku menghabiskannya Ayah karena hari itu aku sangat lapar” sahut Jiu Bao sembari memperlihatkan deretan gigi kecilnya yang putih rapi. “Maafkan aku Ayah”.
Juru Masak Jiu Zhong tertawa dan mengusap puncak kepala anak lelakinya dengan penuh sayang.
“Katakan pada Ayah, apakah buah kering buatan Kasim chen itu sangat enak? Lebih enak mana dengan buah kering buatan Ayah?” tanya Juru Masak Jiu Zhong.
Jiu Bao terlihat menerawang sesaat dengan kepala menengadah menatap langit-langit kamar sementara kedua matanya berkedip-kedip. Juru Masak Jiu Zhong kembali tertawa melihat ekspresi anak lelakinya.
“Mmmm…menurutku enaknya sama, tapi ada bedanya. Buah kering buatan Ayah sangat enak, sedikit lebih enak dibanding buatan Kasim Chen tapi jika aku memakannya terus menerus maka aku akan merasa terbiasa dengan rasanya. Buah kering buatan Kasim Chen rasanya tidak sebaik buah kering buatan Ayah tapi jika aku memakannya terus menerus maka aku tidak akan pernah bosan. Rasanya seperti ingin memakannya lagi dan lagi. Karena itulah aku menghabiskan buah kering itu” jawab Jiu Bao dengan jujur.
Juru Masak Jiu Zhong mengangguk-angguk namun kedua alisnya berkerut. Jadi begitukah? Jika anak sekecil Jiu Bao bisa menceritakan perbedaan rasa antara masakannya dengan masakan Kasim Chen, maka hal mana yang tak akan dipercayainya?. Dan kenyataan bahwa masakannya sangat enak namun membuat orang terbiasa saat terus menerus memakannya membuat Juru Masak Jiu Zhong semakin digulung oleh rasa penasaran. Bukan karena rasa sakit hati atas kekalahan terselubung yang dialaminya saat sayembara memasak dahulu – rasa itu telah mulai terpupus setelah ia mendengar kebaikan yang diberikanoleh Kasim Chen dan Pangeran Zhu Di pada Jiu Bao – melainkan karena bagi seorang juru masak, menghasilkan sebuah masakan yang lezat bukanlah satu-satunya tujuan utama. Apalah artinya mampu menghidangkan masakan yang sangat lezat namun setelah memakannya sekali atau dua kali maka orang akan segera bosan dan pergi kemudian melupakan masakannya yang lezat itu? Hal semacam itu lebih terasa seperti sebuah kesenangan pesta sesaat yang akan segera lenyap demikian pesta itu usai. Dan bagi seorang juru masak, dilupakan adalah sebuah malapetaka yang amat buruk. Mendadak ia bisa mengerti mengapa Pangeran Zhu Di memilih Kasim Chen dan bukan dirinya. Hal itu bukan karena masakan Kasim Chen lebih lezat dari masakannya namun karena apa yang telah dimasak oleh Kasim Chen telah mampu mengikat hati Sang Pangeran Keempat membuat pangeran kesayangan Kaisar Hongwu tersebut tak mampu melupakan rasa masakan Kasim Chen. Rasa masakan Kasim Chen seperti sebuah pesta yang tak pernah usai, seperti kesenangan yang tak pernah berakhir. Sekian lama ia mencari jawaban atas kekalahan terselubungnya dahulu dan kini ia mendapatkan jawabannya.
Dan Jiu Bao, anak lelakinya sendiri yang telah menunjukkan jawaban yang dicarinya.
“Begitukah? Sayang sekali Ayah tidak mencicipi buah kering buatan Kasim Chen” ujar Juru Masak Jiu Zhong seraya tersenyum. Tangannya terulur mendorong tubuh Jiu Bao hingga anak tersebut rebah kembali ke atas ranjang. Lalu, setelah membenahi letak selimut di tubuh Jiu Bao, maka sang kepala dapur istana itupun turut merebahkan dirinya di sisi anak lelakinya.
“Ayah…apakah Ayah sedih karena tidak bisa membuat Pangeran Zhu Di menyukai masakan Ayah?” tanya Jiu Bao menatap ayahnya yang mulai memejamkan matanya.
“Hmmm…” gumam Juru Masak Jiu Zhong dalam kantuknya yang mulai menyerang. “Kasim Chen dan Pangeran Zhu Di orang-orang yang baik”.
Jiu Bao masih terus menatap ayahnya. desah nafas yang terdengar teratur membuat anak itu tahu bahwa ayahnya benar-benar telah terlelap. Si bocah kecil kemudian menelentang dan menatap langit-langit. Kedua matanya yang bening masih belum sedikitpun berhias kantuk. Ia tidak mengerti apa sesungguhnya yang tengah dihadapi oleh ayahnya namun dalam pemahamannya, Jiu Bao hanya tahu bahwa kebaikan berarti adalah kebahagiaan, kesenangan, kegembiraan dan bukan kesedihan.
“Tapi bagiku yang baik hanya Ayah” gumam Jiu Bao kemudian dengan suara beningnya yang sendirian. “Karena Ayah selalu membuatku bahagia dan gembira”.
Suara serangga di luar rumah terdengar bersahutan membuat malam terasa semakin sunyi. Jiu Bao kembali memiringkan tubuhnya menghadap ayahnya. Satu tangan mungilnya terulur dan membelai pipi sang ayah yang terlelap.
“Biarpun Kasim Chen orang yang baik, tapi bagiku ia tidak baik karena ia sudah membuat Ayah sedih. Tuan Hu selalu mengatakan hal itu padaku. Dan aku tidak suka orang yang membuat Ayah sedih karena itu aku berjanji, suatu hari nanti jika aku besar maka aku pasti akan membalas setiap orang yang telah memberikan kesedihan di hati Ayah. Siapapun dia, bahkan meskipun itu adalah Pangeran Zhu Di” bisik bibir mungil Jiu Bao.
Bisik halus dari bibir mungil yang segera membuat suara-suara serangga di luar rumah terdiam dan malam melangkah melambat dalam kesunyian yang mencekam. Kesunyian yang seolah mengabarkan akan adanya sebuah api dendam yang terpercik, menyala dalam apinya yang kecil mungil dan menunggu saat yang tepat untuk membesar, berkobar  kemudian menghanguskan segalanya…
**************

Tidak ada komentar:

Posting Komentar