Senin, 30 Maret 2015

Straight - Episode 3 ( Bagian Dua )

  Dan semenjak hari pertama pertemuan itu, Changyi terus berlatih di depan Pangeran Zhu Di yang juga secara rutin datang ke Taman Maple untuk bertemu dan melihat remaja dari sekolah calon prajurit khusus yang telah menarik perhatiannya. Bahkan, setelah beberapa kali bertemu, pada akhirnya, sang pangeran keempat itupun turut berlatih bersama dengan Changyi sehingga keakraban di antara keduanya menjadi semakin erat.
Namun, dengan seringnya Changyi menghilang dari arena sekolah di saat ada waktu luang pada akhirnya menimbulkan kecurigaan di antara siswa-siswa calon prajurit khusus lainnya sehingga kemudian, pada suatu sore, di saat Changyi tengah duduk di Taman Maple dan menunggu kedatangan Pangeran Zhu Di, mendadak bermunculan siswa-siswa calon prajurit khusus yang ternyata mengikuti gerak Changyi secara diam-diam. Fengyin dan keempat adiknya terlihat turut serta di antara anak-anak remaja yang berjumlah hampir dua puluhan tersebut. Changyi sangat terkejut dan seketika bangkit berdiri.
“Ternyata kau di sini rupanya! Pantas saja kau menghilang setiap kali sore datang. Apa yang kau lakukan di sini? apakah kau sedang merencanakan kecurangan di ujian final seminggu lagi?!” tanya Fengyin dengan nada tajam.
Changyi menatap Fengyin dan saudara-saudaranya dengan alis berkerut. Ia sungguh tidak mengerti, hal apa sebenarnya yang membuat Fengyin membencinya. Ia sama sekali tidak pernah merasa telah melakukan hal-hal yang salah dengan anak yang sangat berkuasa di sekolah calon prajurit khusus itu.
“Aku tidak mengerti apa yang kau katakan” sahut Changyi dengan nada yang tenang. “Aku tidak akan melakukan kecurangan seperti yang selalu di lakukan oleh dua adikmu itu”.
Dingziang dan Baozhai memerah wajah mereka saat merasa ucapan Changyi seperti sebuah sindiran yang tajam. Keduanya segera merangsek mendekati Fengyin.
“Kakak, dia pasti sedang merencanakan kecurangan. Kami tidak mungkin salah!...kalau tidak, bagaimana mungkin dia bisa mendapatkan buku tentang strategi perang yang sealu di bacanya itu? Tidak semua orang bisa mendapatkan buku seperti itu bukan?!” seru Dingziang sambil menunjuk ke arah Changyi.
Fengyi menatap adiknya dengan alis berkerut.
“Buku strategi perang? Apa benar dia memiliki buku seperti itu?” tanya Fengyin dengan wajah memerah. Sebagai anak angkat Jenderal Lan Yu, ia telah beberapa kali menanyakan tentang buku strategi perang pada ayah angkatnya, namun Jenderal Lan Yu belum pernah sekalipun memberikannya dengan berbagai alasan. Dan kini, mendengar bahwa Changyi memiliki buku tersebut membuat Fengyin merasa sungguh panas dan tersaingi.
“Kalau Kakak tidak percaya, geledah saja dia” sahut Baozhai sambil menyikut lengan Fengyin dengan maksud meyakinkan.
“Benar Kakak, geledah saja dia. Buku itu pasti ada bersamanya. Mungkin dia mencurinya dari perpustakaan istana” sambung Dingziang penuh semangat.
Fengyin menatap Changyi tajam. Sementara siswa-siswa lain yang menggabung dengan Fengyin bersaudara saling pandang. Sebagian lain terlihat bingung karena sesungguhnya, hati mereka berpihak pada Changyi, namun teramat takut untuk menentang lima bersaudara yang terlihat sangat berkuasa di sekolah.
“Apa benar kau memiliki seperti itu? Jika benar cepat keluarkan! Buku itu hanya diperuntukkan bagi para pangeran dan bukan untuk pelayan pengurus kuda sepertimu” cetus Fengyin dengan nada tajam. Sepasang matanya berkilat-kilat penuh dengki.
Changyi mengerutkan alisnya yang indah.
“Buku apa yang kalian maksud? Aku tidak pernah mengambil buku apapun yang bukan milikku” sahut Changyi sambil menatap Fengyin. Ia hanya menatap dengan pandangan wajah, namun di mata Fengyin yang hatinya telah memanas, tatapan mata Changyi di rasakan sebagai sebuah sorot yang tajam menusuk.
“Nak Kakak!...lihat dia tidak mau mengakuinya!” teriak Baozhai sambil menunjuk Changyi. “Bukankah semua maling selalu tidak mau mengakui perbuatannya?”
Wajah Changyi memerah sementara Fengyin terlihat semakin terbakar mendengar jawaban Changyi dan seruan adiknya.
“Apakah kau masih tidak mau mengakuinya?” tanya Aiguo sambil tersenyum sinis. “Aku sudah tahu bagaimana masa lalumu sebelum kau menjadi pengurus kuda di rumah Jenderal Xu Da. Kau dan saudaramu hanyalah pencuri beras di rumah penduduk desa. Benar begitu bukan?”
Changyi terkejut mendengar kata-kata Aiguo demikian juga Fengyin dan semua yang ada di Taman Maple tersebut.
“Adik Aiguo, apakah itu benar?” tanya Congmin sambil merangsek ke arah Aiguo. “Bagaimana kau bisa tahu?”
“Ya Kakak, itu memang benar. Aku mendengarnya dari beberapa prajurit ayah angkat yang melihat sendiri saat dia dan saudaranya di kejar oleh penduduk desa karena ketahuan mencuri beras lalu Jenderal Xu Da menyelamatkannya dari kemarahan penduduk desa yang akan menghanyutkan mereka ke Sungai Kuning. Itulah yang kudengar. Bahkan ayah angkat sendiri membenarkan cerita tersebut” jawab Aiguo sambil mencibir sinis.
“Oh…ternyata kau memang hanya seorang pencuri tengik. Jadi sudah jelas kau pasti mencuri buku yang sangat berharga itu” ucap Dingziang dengan nada penuh kemarahan. Kepalanya kemudian berpaling pada Fengyin. “Kakak!, lebih baik kita geledah saja dia sekarang!”.
“Itu benar!...geledah saja dia!” teriak Congmin. Pandangannya beredar pada semua siswa calon sekolah prajurit yang telah berdiri di belakang mereka. “Apa yang kalian tunggu? Cepat rangsek dia dan belenggu agar dia tidak bias bergerak!”.
Fengyin membuka mulutnya siap untuk bicara namun, belasan remaja calon prajurit khusus yang semula berdiri di belakangnya telah menyerbu ke depan, ke arah Changyi yang seketika menjadi waspada. Pemuda berparas rupawan itu mengambil beberapa langkah surut ke belakang. Ia sungguh tidak ingin berkelahi dengan teman-teman satu sekolah calon prajurit karena ia tahu, hal itu menyalahi aturan tata tertib yang pernah di sampaikan oleh guru pengajar pada mereka. Namun kemudian, bongkahan batu taman di belakang Changyi yang semula digunakannya untuk duduk menunggu Pangeran Zhu Di, menghalangi langkahnya untuk terus surut ke belakang, sehingga ia tak bisa menghindar ketika belasan anak-anak calon siswa prajurit berhasil mencapai tempatnya berdiri dan kemudian mereka membelenggunya beramai-ramai. Changyi tahu, ia bisa melepaskan diri dari belenggu teman-temannya tersebut. Tapi, jika ia melakukannya, maka satu atau dua temannya pasti akan terluka sementara ia tahu, mereka semua sesungguhnya tidak bersalah dan hanyalah terpengaruh oleh Fengyin serta adik-adiknya atau karena dorongan rasa takut dan tidak berdaya pada kekuasaan yang ditunjukkan oleh Fengyin bersaudara di sekolah calon prajurit khusus. Karena itu, Changyi memilih menyerah saat teman-temannya membelenggunya di pinggir batu.
“Nah, sekarang geledah dia!” perintah Dingziang dengan suara keras penuh semangat.
“Apa yang kalian lakukan?!” teriak Changyi pada akhirnya saat beberapa anak mulai mengulurkan tangannya menyentuh permukaan bajunya membuat teman-teman Changyi tersebut seketika mengurungkan tangan mereka dengan ekspresi takut dan serba salah. “Kalian tidak punya hak menggeledah tubuhku!. Aku tidak mencuri apapun dari kalian atau dari siapapun!”.
“Jangan dengarkan dia!” bantah Congmin keras. “Cepat geledah pencuri itu!”.
Namun anak-anak yang berada di sekitar Changyi dan memegangi tubuh serta lengan-lengan Changyi hanya diam tak bergerak. Beberapa anak lain yang berdiri di depan Changyi justru kemudian tertunduk dengan ekspresi bingung sekaligus takut. Apa yang mesti mereka lakukan sekarang? mereka sangat takut pada fengyin dan empat adik-adiknya. Namun mereka juga merasa segan pada Changyi. Sesuatu dalam mata remaja yang rupawan itu selalu membuat mereka percaya bahwa Changyi berkata benar.
“Kenapa kalian malah diam?!” bentak Dingziang. Sepasang matanya melotot nyaris keluar dari rongganya saat ia menatap anak-anak yang diam terpaku di sekitar Changyi. “Apa kalian takut padanya? Pada pencuri itu?!”
“Kenapa tidak kau saja yang menggeledah dia? Biar kami yang memeganginya!” jawab salah satu anak yang berada tepat di sisi Changyi. Tangannya yang memegang lengan kiri Changyi terlihat sedikit gemetar sementara ia mencengkeram lengan Changyi kuat-kuat.
Sepasang mata Dingziang semakin melotot sementara raut wajahnya memerah. Ia merasa sedikit malu, namun harga dirinya menolak untuk menunjukkan rasa malu tersebut.
“Berani sekali kau menyuruhku!” bentak Dingziang pada anak yang berada di sisi sebelah kiri Changyi dan baru saja mengucapkan kalimatnya. Tubuh Dingziang telah bersiap untuk menerjang anak tersebut namun sebuah tangan mencengkeram lengannya kuat-kuat membuat Dingziang tersentak dan menoleh ke belakang.
“Kakak?! Biar aku menghajar anak yang tak tahu sopan itu!” protes Dingziang pada Fengyin yang telah mencegahnya untuk menyerang anak yang baru saja menyuruhnya menggeledah Changyi. “Berani sekali dia menyuruhku! Memangnya dia pikir, siapa dia?!”.
Namun Fengyin menggelengkan kepalanya. Sepasang matanya tajam tertuju pada Changyi yang juga tengah menatap ke arahnya.
“Jangan pedulikan si bodoh itu” tukas Fengyin pada Dingziang. “Dia sama sekali tidak penting”.
“Tapi Kakak…?!” protes Dingziang yang merasa malu dan tidak terima.
“Geledah pelayan tukang kuda itu. Aku ingin tahu apakah dia benar-benar telah mengambil buku strategi perang” perintah Fengyin tanpa mendengarkan protes dari Dingziang. Sudut matanya melirik ke arah Aiguo. “Aiguo!...bantu Dingziang menggeledah pelayan itu!”.
“Baik Kakak!” jawab Aiguo mengangguk dan segera melesat ke depan membuat Dingziang mau tak mau mengikuti dibelakangnya.
Changyi menatap Aiguo dengan tajam namun sepertinya Aiguo sengaja menghindari pandangan mata Changyi yang akan membuatnya merasa berdebar dan seolah ingin takluk. Remaja bertubuh tinggi dan sedikit kurus itu segera mengulurkan tangannya ke arah tubuh Changyi, meraba di balik pakaian yang dikenakan oleh Changyi dengan gerak kasar. Changyi menggertakkan giginya menahan marah yang terasa menyengat. Ia harus bersabar demi siswa-siswa lain yang sesungguhnya tidak bersalah dan hanya terpengaruh atau takut pada Fengyin bersaudara. Pandangan mata Changyi justru kemudian tertuju pada Dingziang yang hanya berdiri di belakang Aiguo. Dan sebagaimana Aiguo, Dingziang juga memalingkan wajahnya hingga tidak bertemu mata dengan Changyi.
Hingga sesaat kemudian,
“Aku mendapatkannya!” teriak Aiguo sambil mengacungkan sebuah buku bersampul kulit kayu yang diambilnya dari balik pakaian Changyi di bagian pinggang. “Lihat!...inilah buku strategi perang yang selalu dibacanya!”.
Semua mata yang melihat buku di tangan Aiguo terbelalak. Fengyin menatap Changyi dengan raut wajah kelam membesi oleh amukan rasa iri dan cemburu. Buku strategi perang adalah sebuah buku yang sangat penting dalam bidang keprajuritan. Tidak semua orang bisa mempelajari buku tersebut. Hanya para jenderal dan pangeran saja yang bisa mempelajari buku tersebut karena buku strategi perang mengupas tentang tata perang, tata keprajuritan, mengetahui strategi musuh, sandi-sandi rahasia dalam peperangan, ilmu mata-mata, serta rahasia mengendalikan ribuan prajurit dalam sebuah peperangan. Bisa dikatakan, buku tersebut merupakan nyawa di tubuh pertahanan sebuah negara atau kerajaan. Tidak semua orang bisa mempelajari buku tersebut karena di khawatirkan akan di salah gunakan hingga bisa memicu pemberontakan. Ingat kata pepatah “Jangan beritahu tikus jalan menuju keju agar jebakan tidak perlu digunakan” bukan? Seperti itu pula dalam tata perang dan keprajuritan. Bidak catur  hanya di beri ilmu tentang bidak, jangan diberi ilmu tentang hal lain agar bidak tersebut tidak mengambil jalan yang bukan jalurnya. Karena itu akan merusak tata aturan dan menimbulkan masalah dalam jalannya pemerintahan di dunia catur. Demikianlah.
Lalu, jika dirinya yang anak angkat seorang jenderal besar seperti Jenderal Lan Yu saja tidak diijinkan untuk mempelajari buku tentang strategi perang, kenapa seorang pelayan pengurus kuda justru bisa memiliki buku tersebut dan mempelajarinya? Dada Fengyin serasa hendak meledak karena rasa amarah yang meluap-luap. Serta merta, kakinya melangkah cepat ke arah Aiguo dan merebut buku yang di acungkan oleh adiknya tersebut. Sesaat tangannya membuka lembar demi lembar buku di tangannya dengan gerakan kasar sementara nafasnya memburu karena luapan rasa marah bercampur iri. Hingga kemudian, pandangannya beralih pada Changyi dan menatap remaja di depannya itu dengan sepasang mata yang terlihat seolah hendak menelan Changyi bulat-bulat. Tangannya mengangkat buku di depan muka Changyi.
“Katakan padaku, darimana kau dapat buku ini?” tanya Fengyin dengan suara mendesis tajam. “Ini bukan buku yang diedarkan secara umum. Jadi kau tidak mungkin menemukan buku seperti ini di rumah penyair manapun. Bahkan di rumah para menteripun belum tentu di temukan buku seperti ini. Buku ini hanya untuk para jenderal tinggi dan para pangeran. Katakan! Darimana kau dapatkan buku ini!”
Changyi mendengus. Hatinya mulai terasa panas namun dicobanya untuk mengendalikan kemarahannya.
“Aku mendapatkannya dari guruku” jawab Changyi dengan nada tenang. “Buku itu milik guruku dan diberikan padaku saat aku masuk ke sekolah calon prajurit khusus ini”.
“Guru? Pelayan pengurus kuda punya guru? Memangnya siapa yang mau jadi guru seorang pelayan?!” teriak Dingziang yang disambut tawa dari semua siswa yang memenuhi Taman Maple. Baozhai dan Congmin yang telah mendekat turut tertawa terbahak-bahak bahkan dengan suara yang paling keras dari yang lain. Hanya Fengyin saja yang tidak tertawa. Sepasang matanya masih terus menatap Changyi dengan sorot persaingan sekaligus rasa tidak rela.
“Buku yang hanya milik para jenderal dan pangeran bisa sampai di tangan guru dari seorang pelayan. Menurut kalian semua, siapa guru dari pelayan tukan kuda ini? ha?!” sambung Baozhai tak kalah keras yang segera di sambut tawa yang semakin membahana.
“Mungkin saja, ibunya merayu seorang jenderal disuatu malam lalu saat sang jenderal tidur pulas, ibu pelayan ini mengambil buku yang sangat penting itu. Darimana datangnya pencuri kalau bukan dari ibu yang pencuri juga?!” teriak Congmin keras membuat tawa para siswa semakin sambung menyambung tiada henti.
Namun, gema suara tawa yang susul menyusul sangat keras itu seperti hilang dari pendengaran Changyi. Yang terdengar di telinga remaja berwajah elok rupawan itu hanyalah badai petir yang sangat memekakkan dan seketika menghancurkan segenap kesabaran dalam dadanya saat ia mendengar ucapan Congmin tentang ibunya. Sesaat terbayang wajah seorang wanita yang telah melahirkannya, membesarkannya dengan penuh rasa kasih sayang bahkan di detik-detik terakhir hidup wanita yang luar biasa cantik yang pernah di lihat Changyi tersebut karena serangan wabah penyakit yang melanda desa. Wanita yang sedikitpun tak hilang pesonanya meski nyawanya telah berada di ujung tanduk, yang masih sempat memasak dan menyiapkan pakaiannya dan juga pakaian Chen sebagai bekal ia lari mengungsi bersama dengan Chen setelah orangtua Chen lebih dulu meninggal dan kemudian ayahnya menyusul hanya tujuh hari kemudian. Ingatan tentang ibunya membuat kedua mata Changyi yang indah cemerlang seketika digenangi selaput jernih. Rasa pedih yang tak juga menghilang meski bertahun-tahun telah berlalu setelah kepergian ibunya tersebut, di tambah penghinaan Congmin yang sangat merendahkan martabat seorang wanita membuat wajah Changyi seketika memerah. Merah oleh amarah yang meledak hingga ke ubun-ubun. Gigi-giginya gemeletuk sementara sepasang matanya menatap Congmin dengan penuh kemurkaan.
“Cepat minta maaf!” desis Changyi dengan nada dalam. “Dan aku akan mengampuni nyawamu”.
Namun kata-kata Changyi yang penuh ancaman tersebut justru di sambut dengan gematawayang keras dari Dingziang, Baozhai, Aiguo, Congmin dan sebagian siswa calon prajurit. Hanya sebagian siswa calon prajurit khusus yang merasakan getar di dada mereka mendengar suara Changyi yang berubah dalam dan dingin.
“Hahahaha….dia mengancam kita!...” teriak Baozhai. “Lihat dia mengancam kita! Memangnya apa yang bisa dilakukan seorang pelayan anak seorang pelayan juga? Anaknya pelayan pengurus kuda, ibunya pelayan penghibur jenderal…hahahahaha!”.
“Hahahaha….!” Suara tawa mengakak menyambut ucapan Baozhai.
“Aku akan menghancurkan kalian semua!!!” teriak Changyi penuh kemurkaan.
“Hahahahaha….dia mau menghancurkan kita!” ejek Aiguo sambil mencibirkan bibirnya yang tebal ke depan hingga sejauh tiga senti.
Changyi tak lagi menyahut. Kini tubuhnya mulai bergerak. Kedua lengannya mengibas kuat-kuat berusaha melepaskan diri dari cengkeraman siswa-siswa calon prajurit yang memeganginya. Beberapa siswa terlihat terpental, namun siswa lain segera kembali merangsek ke depan. Sementara suara tawa masih terus berkumandang.
Namun kemudian…
“Diam kalian semuaaaa!” suara Fengyin terdengar menggelegar membuat suara tawa yang memenuhi Taman Maple seketika lenyap dan suasana menjadi sunyi. “Lepaskan dia!”
Dingziang dan siswa-siswa lain terkejut mendengar ucapan Fengyin. Aiguo menatap kakaknya dengan alis berkerut nyaris menyatu.
“Tapi Kakak…kenapa dilepaskan? Bukankah lebih baik jika dia kita bawa dan kita laporkan pada guru pengajar agar dia mendapatkan hukuman seberat-beratnya?” tanya Aiguo.
Fengyin mendengus keras.
“Lepaskan dia! Apa kalian sudah tuli?!” bentak Fengyin membuat siswa-siswa yang masih memegangi lengan-lenganChangyi seketika melepaskan tangan mereka dan bergerak mundur beberapa langkah ke belakang.
Changyi yang telah terlepas segera bergerak menuju ke arah Congmin namun langkahnya terhenti karena Fengyin segera menghadangnya. Sesaat kedua remaja yang sebaya tersebut saling berpandangan dengan sengit. Fengyin menatap Changyi dengan sorot penuh rasa persaingan yang sengit sementara Changyi menatap Fengyin dengan kemarahan karena salah satu anak angkat Jenderal Lan Yu telah menghalangi langkahnya untuk menghajar Congmin yang telah melontarkan penghinaan pada ibunya.
“Minggir kau!” bisik Changyi dengan nada sedingin es. “Aku harus merobek mulut adikmu yang telah menghina ibuku”.
Fengyin tersenyum mengejek.
“Kau pikir aku akan membiarkanmu menghajar adikku?” katanya kemudian.
“Dan itu artinya aku harus menghajarmu lebih dulu” cetus Changyi cepat.
Fengyin mengangguk, masih dengan senyuman penuh ejekan di bibirnya. “Cobalah…aku ingin melihat sejauh mana kau telah mempelajari buku strategi perang ini”.
Changyi tak bersuara lagi. Hal selanjutnya yang terlihat kemudian adalah tubuhnya yang mendadak telah bergerak cepat ke arah Fengyin. Semua siswa termasuk Fengyin sendiri terkejut karena Changyi sama sekali tak memasang kuda-kuda, namun serangannya seketika datang dengan sangat cepat diiringi suara deru angin yang menandai kuatnya tenaga dalam serangan tersebut. Fengyin tak memiliki pilihan karena ia tak sempat mempersiapkan dirinya dalam kuda-kuda yang kokoh sehingga yang dapat dilakukannya kemudian adalah menangkis sambil bergerak mundur ke belakang. Suara berdetak keras terdengar saat serangan yang datang bersama kaki kanan Changyi berbenturan dengan kedua lengan Fengyin yang mengakis serangan tersebut. Changyi sedikitpun tak terpengaruh dengan benturan keras yang diterimanya.
Namun tidak dengan Fengyin.
Tubuhnya terpental beberapa tombak ke belakang dan jatuh terjengkang dengan keras di atas tanah taman yang tidak berumput. Remaja berkulit putih itu terlihat sangat terkejut. Sekejab wajahnya terlihat lebih putih dari warna kulitnya yang sudah putih sebelum kemudian, rona merah merambah dan menguasai raut mukanya oleh rasa malu ketika ia menyadari berpuluh-puluh pasang mata, termasuk mata adik-adiknya yang menyaksikan tubuhnya terpental dan jatuh terjengkang.
Sementara beberapa siswa yang menyaksikan jatuhnya Fengyin menjadi gelisah dan mulai berbisik-bisik. Lalu, dengan mengendap-endap, dua siswa menggeser langkahnya dan meninggalkan Taman Maple, menuju ke sekolah calon prajurit dengan maksud untuk melapor pada guru pengajar tanpa mengetahui bahwa hari itu seorang jenderal besar tengah mengunjungi sekolah calon prajurit khusus yang berada di bawah kewenangan Kementerian Pertahanan.
Di lain tempat, Fengyintelah kembali bersiap. Rasa malu karena terjatuh di depan adik-adiknya membuat fengyin segera mengeluarkan seluruh kekuatannya.
Maka, dengan sekali hentak, Fengyin segera bangkit berdiri. Gerakannya gesit melompat dan kemudian mendarat dengan sepasang kaki menjejak tanah di bawahnya dengan keras. Debu tanah taman segera mengepul dari retakan tanah yang pecah akibat hentakan kaki Fengyin. Sejenak, sepasang matanya menatap Changyi dengan sorot tajam penuh selidik. Kuda-kudanya kokoh terpasang di atas dua kakinya sementara dua tangannya mengepal dengan kekuatan penuh, satu tangan berada di depan tangan yang lain. Satu pintu membuka dan satu pintu menutup. Satu tangan membuka serangan dan satu tangan yang lain menutup serangan. Changyi tahu model kuda-kuda seperti itu yang akan menyerang sekaligus menutup jalan dari bagi datangnya serangan. Seperti prajurit di medan perang yang berlari sambil membawa tombak di tangan kanan dan perisai di tangan kiri. Tombak untuk menyerang sedangkan perisai untuk menutup tubuh dari datangnya serangan. Namun, perisai tersebut dapat seketika berubah menjadi serangan tak terduga yang sulit untuk dielakkan.
Fangyin menyipitkan matanya saat ia melihat Changyi yang berdiri dengan tenang. Sama sekali tak terlihat bentuk kuda-kuda yang menyolok dari remaja didepannya tersebut. Sepasang kaki Changyi berdiri dalam posisi yang wajar dengan dua tangan terletak di kedua sisi tubuh. Kesepuluh jemarinyapun terurai dan tidak membentuk kepalan sebagaimana jemari Fengyin. Satu-satunya perbedaan yang terlihat dalam diri Changyi hanya sorot matanya yang terlihat begitu tajam seolah hendak menembus hingga batas ruang di kepala Fengyin dan membaca seluruh rencana gerak yang akan dilakukannya membuat Fengyin tiba-tiba merasa gugup. Tetapi, adakah waktu untuk merasakan kegugupan itu sementara puluhan pasang mata tengah tertuju pada mereka berdua sekarang?
Karena itu, Fengyin segera melompat ke arah Changyi dengan serangan balasan yang datang bagaikan air bah. Kedua tangannya yang membentuk kepalan terlihat seperti dua buah palu besi yang sangat kuat, terayun keras ke seluruh bagian tubuh Changyi terutama titik vital yang rawan. Sekilas terlihat seolah-olah Changyi pasti akan segera tersungkur oleh amukan Fengyin yang membanjir.
Namun, Changyi hilang bentuk. Tubuhnya seolah telah berubah menjadi bayangan yang bergerak dengan sangat cepat di segala arah hingga serangan Fengyin selalu mengenai tempat yang kosong. Bahkan kemudian, setelah sepeminuman teh berlalu, Fengyin masih belum juga berhasil menyentuh ujung rambut Changyi. Tubuh remaja yang semakin cemerlang di usianya yang keempat belas tahun itu seperti membelah menjadi banyak membuat Fengyi merasa bingung karena dimanapun ia menyerang, selalu mengenai tempat kosong.
Hingga kemudian, mendadak sebuah serangan dari Changyi menyusup, menyelinap di antara serangan pukulan tangan Fengyin yang datang bagaikan bah. Namun, serangan yang menyusup itu segera mengakhiri gerak tubuh Fengyin yang tiba-tiba saja telah terbanting kembali ke tanah dalam posisi miring setengah menelungkup dan satu tangan yang tertekuk melewati keala dan terkunci dalam jepitan tangan Changyi yang mencengkeram bagaikan capit besi. Fengyin mengaduh sebab pangkal lengannya yang tertekuk terasa sangat sakit sementara tangannya yang lain tertindih oleh tubuhnya sendiri. Posisinya benar-benar tidak menguntungkan dan sama sekali tak memungkinkannya untuk menyerang hingga ia hanya bisa melihat dengan ekor matanya saat pukulan tangan kanan Changyi yang bebas terayun dengan deras menuju ke pelipisnya. Sedetik lagi pukulan yang sekuat tenaga karena di landasi oleh rasa marah akibat hinaan Congmin pada ibu Changyi itu akan mendarat di pelipis Fengyin dan menghancurkannya.
Namun…
“Hentikan!!!” sebuah suara yang keras mengguntur terdengar mengguncang seluruh area taman di susul sebuah tendangan telak mendarat di sisi tubuh Changyi sebelah kanan membuat remaja itu seketika terpental jauh dari atas tubuh Fengyin dan jatuh bergulingan di tanah. Changyi meringis menahan sakit sementara sisi kanan tubuhnya bagaikan baru saja di hantam oleh batu seukuran bukit. Ia terbatuk-batuk dan merasakan aliran hangat yang merembes dari mulutnya dengan rasa sedikit asin. Changyi meludahkan cairan yang merembes tersebut dan terkejut saat melihat darah merah segar yang kental di atas tanah. Kepalanya terangkat dan meski pandangannya sedikit berkunang-kunang, namun Changyi masih dapat melihat dengan jelas, sosok tubuh tinggi tegap dan besar berdiri di sisi Fengyin yang telah dibantu berdiri oleh beberapa prajurit. Siswa-siswa calon sekolah khusus terlihat telah berdiri merapat di satu sudut dengan kepala semuanya tertunduk takut. Congmin, Dingziang, Baozhai dan Aiguo telah berdiri di sisi Fengyin dengan sinar mata memancarkan sorot kemenangan. Beberapa guru pengajar di sekolah calon prajurit khusus terlihat juga di belakang sosok tinggi besar yang garang tersebut. Salah satu dari guru pengajar kemudian terlihat berjalan pelan mendekati Changyi dan membantu remaja tersebut untuk berdiri.
“Ada apa ini?!” teriak sosok tinggi besar tersebut. Wajahnya yang sebenarnya tampan terlihat garang dengan sepasang mata yang menyorot sangar. “Kenapa kalian berkelahi?”.
Changyi tidak tahu, pertanyaan itu ditujukan pada siapa. Namun, dilihat dari arah tatapan mata yang menghunjam dari sosok tinggi besar di depannya itu, nampak jelas bahwa arah pertanyaan adalah dirinya.
“Dia menghina ibu saya Tuan” jawab Changyi sambil menunjuk Congmin.
“Bohong!” jerit Congmin membela diri. Pandangannya berpindah-pindah dari Changyi ke wajah lelaki tinggi besar yang berada dua langkah darinya tersebut. “Ayah angkat!...dia berbohong! Dia adalah pencuri dan telah mengambil Buku Strategi Perang. Lihatlah!...itu dia buku yang diambil darinya dan sekarang dipegang oleh Kakak Fengyin!”.
Changyi terkejut mendengar Conngmin menyebut lelaki bertubuh tinggi besar itu dengan sebutan ‘Ayah angkat’. Jika begitu, bukankah itu berarti lelaki tinggi besar yang telah menendangnya dengan keras itu tersebut adalah Jenderal Lan Yu?, orang yang memegang kekuasaan tertinggi di tubuh Kementerian Pertahanan?. Sepasang mata Changyi menatap ke arah Jenderal Lan Yu tanpa berkedip.
Sementara Jenderal Lan Yu sendiri terlihat terkejut saat mendengar ucapan Congmin. Pandangannya sesaat menatap Congmin sebelum kemudian menoleh ke arah Fengyin.
“Benar begitu?” tanya Jenderal Lan Yu pada Fengyin yang berdiri di sisinya.
Fengyin mengangguk. “Benar Ayah”.
“Kalau begitu, tunjukkan padaku buku yang kau ambil darinya itu” ucap Jenderal Lan Yu selanjutnya.
Fengyin terlihat ragu. Sebenarnya, ia sangat menginginkan buku itu dan ia tahu, jika ia memberikannya pada ayah angkatnya, maka buku itu akan segera hilang darinya karena Jenderal Lan Yu pasti akan menyimpannya sendiri. Bukankah ia sebelumnya telah berkali-kali meminta untuk mempelajari buku tersebut namun sang ayah angkat selalu menolaknya?
Tapi, jika ia menolak untuk memberikan buku itu, maka sama saja ia telah membangun masalahnya sendiri. Bukankah ia bisa sampai di istana ini, hidup serba berkecukupan dan dihormati orang karena Jenderal lan Yu mengangkatnya sebagai anak?. Ia tak bisa melupakan hal itu. Tidak sampai kapanpun. Karena itu, meski dengan berat hati, akhirnya tangan Fengyin merogoh ke  balik bajunya dan mengeluarkan buku yang dirampas dari Changyi kemudian menyodorkan buku tersebut pada ayah angkatnya.
“Inilah bukunya Ayah” ucap Fengyin pada Jenderal Lan Yu yang segera mengambil buku tersebut dan membukanya lembar demi lembar.
Berbeda dengan fengyin yang membuka lembar demi lembar buku dengan kasar, Jenderal Lan Yu membuka lembar-lembar Buku Strategi Perang di tangannya dengan sangat hati-hati dan penuh hormat. Meneliti setiap bagiannya sementara sesekali, pandangannya beralih dan menatap ke arah Changyi sesaat sebelum kemudian kembali ke lembar buku di tangannya. Beberapa prajurit yang ikut bersama Jenderal Lan Yu serta guru-guru pengajar di sekolah calon prajurit khusus terlihat diam menunggu. Demikian pula para siswa calon prajurit khusus sehingga suasana di Taman Maple menjadi sunyi.
Hingga sesaat kemudian, mendadak alis Jenderal Lan Yu berkerut dalam saat ia menatap satu baris huruf kecil di bagian bawah pada halaman terakhir buku. Dadanya berdebar dan mendadak, seleret rasa sakit hati yang nyaris telah terlupakan kembali muncul memenuhi jantungnya. Rasa tersisihkan dan terbuang setelah ia berjuang begitu keras untuk membangun Kerajaan Ming. Sepasang mata Jenderal Lan Yu menatap sebaris huruf yang kecil dan rapi itu. Terlalu mengenali bentuk huruf yang sama dengan huruf dalam surat-surat perintah yang diterimanya dari Sang Panglima Tertinggi.  Dua huruf yang segera mengubah pandangannya terhadap remaja berparas rupawan di depannya. Dua huruf yang menggemakan sebuah nama yan akan selalu membuat jantungnya berdegup dalam rasa tidak terima. ‘Xu Da’
Jenderal Lan Yu segera menutup buku yang di pegangnya dan kini, sepasang matanya tajam menatap ke arah Changyi.
“Darimana kau dapatkan buku ini?” tanya Jenderal Lan Yu seolah mengutip pertanyaan Fengyin.
“Saya mendapatkannya dari guru saya Jenderal” jawab Changyi, yang meski ia sangat marah pada Congmin atas penghinaan pada ibunya, namun ia tak bisa untuk tidak menghormati seorang jenderal besar seperti Jenderal Lan Yu.
“Siapa nama gurumu?” tanya Jenderal Lan Yu lagi.
“Guru saya adalah Biksu Tua di Kuil Bulan Merah, Jenderal” jawab Changyi sambil menatap Jenderal Lan Yu dan melihat wajah yang terlihat berpikir itu.
Jenderal Lan Yu berkerut. Ia tidak mengenal Biksu Tua. Dan ia belum pernah sekalipun mendengan Jenderal Xu Da menyebut-nyebut nama Biksu Tua maupun Kuil Bulan Merah. Lalu, darimana seorang biksu tua dari sebuah kuil yang tidak terkenal bisa memiliki sebuah buku yang sangat penting dan jelas-jelas merupakan buku pegangan milik Jenderal Xu Da?.
Kepala Jenderal Lan Yu berpaling pada satu guru pengajar yang berdiri di belakangnya dan menatapnya dengan tajam membuat lelaki berusia separuh baya yang merupakan salah satu sarjana terbaik di Kerajaan Ming tersebut menjadi gugup.
“Katakan padaku, bagaimana anak itu bisa masuk ke sekolah calon prajurit khusus?” tanya Jenderal Lan Yu pada sang guru yang gugup dan takut.
“Ah..ya Jenderal, anak itu masuk karena Jenderal Xu Da membawanya pada hari terakhir pendaftaran” jawab sang guru sambil membungkuk hormat.
Kerut di dahi Jenderal Lan Yu semakin dalam.
“Bagaimana Jenderal Xu Da bisa mengenal anak itu? Apa hubungan anak itu dengan Jenderal Xu Da?” tanya Jenderal Lan Yu kemudian.
Sang guru terlihat lebih gugup dan tubuhnya membungkuk semakin dalam.
“Itu…anak itu adalah…dia….” Terbata-bata ucapan sang guru membuat Jenderal Lan Yu menjadi tak sabar.
“Dia adalah pelayan pengurus kuda di rumah Jenderal Xu Da ayah” sahut Baozhai memotong kalimat sang guru. “Menurut para prajurit yang ikut dalam peperangan di Dadu dua tahun lalu, Jenderal Xu Da mengambilnya dari sebuah desa setelah ia dan saudaranya ketahuan mencuri beras dan para penduduk desa mengejarnya untuk menghanyutkan mereka ke Sungai Kuning. Jenderal Xu Da lalu membawanya pulang dan menjadikannya sebagai pelayan yang bertugas mengurusi kuda-kudanya”.
Jenderal Lan Yu terkejut mendengar penjelasan dari Baozhai dan sepasang matanya menatap ke arah Changyi. Meneliti sosok yang telah tumbuh menjadi remaja itu dengan teliti sementara ingatannya melesat pada peristiwa dua tahun lalu, saat pasukan mereka melewati sebuah desa dan terhenti karena bertemu dengan penduduk desa yang tengah mengejar pencuri beras. Ia yang saat itu berada di bagian belakang barisan sebagai penutup sama sekali tak melihat sosok pencuri yang telah menghentikan sebuah barisan ribuan prajurit. Namun, dari para prajurit yang diperintahkannya untuk melihat ke depan dan melihat apa yang terjadi, ia tahu hal sesungguhnya yang tengah terjadi di depan.
“Jadi, kau adalah salah satu dari dua anak yang dua tahun lalu menerobos barisan prajurit karena para penduduk desa mengejar kalian?” tanya Jenderal Lan Yu kemudian.
Changyi menelan ludah. Bagaimanapun, peristiwa itu adalah sebuah kenangan pahit yang menyedihkan baginya. Namun, apa gunanya berbohong jika kenyataannya memang demikian? Karena itu, Changyi kemudian mengangguk.
“Benar Jenderal” jawab Changyi yang disusul oleh suara tawa tertahan dari Baozhai, Congmin, Dingziang dan Aiguo.
Jenderal Lan Yu menarik nafas sementara ia terus menatap ke arah Changyi. Sepasang mata anak itu lurus menatap ke arahnya. Tanpa takut, namun juga tanpa niat untuk bersikap tidak sopan. Jenderal Lan Yu merasakan dengan sangat jelas sebuah kekuatan yang memaksanya untuk tunduk dan takluk saat ia bersirobok mata dengan remaja di depannya membuat hati sang jenderal berdesir. Mendadak, ia seperti bisa membaca arah langkah Jenderal Xu Da yang menjadi saingannya dan hatinya langsung memberontak.
“Ketika kau masuk ke sekolah ini, apakah kau sudah diberitahu tentang peraturan di sini?” tanya Jenderal Lan Yu pada Changyi kemudian.
Changyi mengangguk.
“Saya tahu Jenderal” jawabnya masih dengan penuh kesopanan.
“Kalau kau tahu, lalu kenapa kau berkelahi? Kenapa kau mempelajari buku yang bukan untukmu? Itu adalah kesalahan besar dan kau harus mempertanggungjawabkannya” ujar Jenderal Lan Yu tajam.
Changyi terkejut. Ia tak menyangka bahwa dirinya yang justru akan disalahkan karena perkelahiannya dengan Fengyin.
“Tapi Jenderal, Congmin telah menghina ibu saya dan dia….
“Sebagai calon prajurit khusus, kalian seharusnya bisa mengendalikan diri dan tidak mudah terpancing oleh kata-kata hinaan maupun caci maki. Tapi kau, hanya karena sedikit kata hinaan telah terpancing dan membuat keributan bahkan berkelahi dengan temanmu sendiri dan itu adalah kesalahan besar yang tidak bisa di maafkan” potong Jenderal Lan Yu dengan cepat.
Changyi menatap Jenderal Lan Yu dengan sepasang mata terbelalak. Mulutnya membuka siap untuk membela diri, namun Jenderal Lan Yu telah berpaling pada prajurit yang berdiri di belakangnya.
“Prajurit!....tangkap dia dan masukkan ke dalam penjara khusus. Kurung dia di sana sampai ada keputusan hukuman untuknya sementara aku akan melaporkan hal ini pada Yang Mulia Kaisar!” perintah Jenderal Lan Yu sambil membalikkan badannya dan mulai melangkah pergi di iringi oleh Fengyin yang menatap Changyi dengan sorot penuh kemenangan, Baozhai yang mencibirkan bibir tebalnya, Dingziang yang tertawa dengan raut penuh ejekan serta Congmin dan Aiguo yang menjulurkan lidah mereka dengan penuh kekanakan.
Siswa-siswa lain mengikuti sementara beberapa mata menatap Changyi dengan penuh rasa iba. Guru-guru pengajar sesaat menatap Changyi dengan kerut penuh rasa sesal namun kemudian turut pula melangkah pergi meninggalkan Changyi dan dua orang prajurit yang segera memegang kedua lengannya dengan kuat dan mengikatnya di belakang punggung begitu perintah dari Jenderal Lan Yu datang.
Changyi merasakan tubuhnya mendingin. Hatinya berteriak dengan keras seperti tak percaya, namun ikatan tali yang sangat kuat pada lengan-lengannya membuatnya terhempas pada kenyataan yang kini ada di depan mata. Maka, ketika dua prajurit yang menangkapnya mendorong tubuhnya dan menggelandangnya untuk melangkah pergi, Changyi hanya bisa menurut dengan langkah kaki terasa kebas oleh ribuan rasa yang berkecamuk dalam hatinya.
Dan Taman Maple kembali sunyi. Hanya daun-daun maple yang bergoyang tertiup angin menjelang malam yang akan segera datang. Suara gemericik air di sungai kecil buatan yang menyimpan segala rahasia.
Rahasia sesosok tubuh mungil di atas tembok yang mendekam diam dan menyaksikan seluruh peristiwa di Taman Maple tersebut tanpa diketahui oleh siapapun termasuk Jenderal Lan Yu. Sosok kecil tampan dengan mahkota pangeran mungil yang menggemaskan, cerdas sekaligus nakal. Sosok yang menatap dengan pandangan mata berkilat-kilat marah saat ia melihat Changyi di gelandang dengan tali-tali yang mengikat lengan dan tubuhnya.
Sosok sang pangeran keempat yang datang untuk melihat latihan Changyi sebagaimana biasanya sekaligus kemudian melatih kemampuan beladirinya sendiri di bawah bimbingan Changyi yang dikaguminya.
Sosok Pangeran Zhu Di, yang segera melompat turun dari atas tembok begitu dua prajurit yang membawa Changyi telah pergi, dan berlari dengan cepat menuju istana.
Bukan istana pangeran dimana Kasim Anta menunggunya dengan raut wajah pucat dan keringat bercucuran karena takut.
Melainkan istana Kaisar Ming Tai Zhu.
*************

Jumat, 27 Maret 2015

Straight - Episode 3 ( Bagian Satu )

Changyi mendapat sebuah kamar asrama besar yang berisi sepuluh orang calon prajurit khusus. Setelah memasukkan Changyi ke sekolah prajurit khusus, Jenderal Xu Da segera berangkat ke Karakorum ke esokan harinya dengan membawa ribuan prajurit. Changyi tidak tahu, kapan ia akan bertemu dengan sang panglima besar yang telah mendapat tempat di hatinya tersebut. Selanjutnya, Changyi berusaha untuk berbaur dengan teman-teman barunya. Anak-anak calon prajurit khusus datang dari berbagai daerah dan bahkan ada yang datang dari pelosok. Namun, semua dari mereka merupakan anak-anak pejabat maupun pedagang kaya.
Dalam satu bulan awal kehidupan Changyi di sekolah prajurit khusus, terlalui dalam ketenangan. Namun, seiring prestasi Changyi yang semakin menyolok di antara siswa-siswa lainnya, maka masalah demi masalah mulai bermunculan. Masalah yang dipicu oleh rasa dengki dari anak-anak lain yang tidak sejalur dengan Changyi. Secara keseluruhan, siswa-siswa calon prajurit khusus terbagi dalam dua kubu besar. Satu kubu dipimpin oleh lima anak remaja tanggung yang merupakan anak-anak angkat Jenderal Lan Yu dan kubu lainnya merupakan kumpulan calon-calon prajurit yang berpihak pada Changyi. Namun, terlihat dengan jelas betapa asal-usul kehidupan setiap calon prajurit menjadi sangat penting di kalangan anak-anak yang menjadi siswa sekolah prajurit khusus tersebut. Karena itu, dengan sendirinya, Changyi seperti tersisih dari pergaulan dengan anak-anak calon prajurit yang berasal dari keluarga pejabat tinggi istana maupun pedagang dan saudagar yang kaya raya. Anak-anak yang berada di sekitar Changyi adalah anak-anak dari keluarga pejabat kecil yang seringkali kehadiran mereka sama sekali tak dihiraukan.
Adalah Aiguo, Baozhai, Congmin, Dingziang dan Fengyin, lima remaja yang merupakan anak-anak angkat dari Jenderal Lan Yu. Kelima remaja tersebut kesemuanya memiliki kemampuan dalam beladiri yang sangat bagus. Masih ditambah dengan popularitas dari Jenderal Lan Yu yang membuat kelimanya memiliki ruang gerak yang sangat bebas di sekolah calon prajurit khusus. Namun sayang bahwa status mereka sebagai anak-anak angkat Jenderal Lan Yu telah membuahkan kesombongan dalam diri mereka. Keberadaan kelima anak remaja tersebut segera mendominasi pergaulan di sekolah. Hampir seluruh siswa di sekolah calon prajurit khusus mendekat kepada kelima remaja yang di pimpin oleh Fengyin sebagai anak tertua. Hanya beberapa siswa yang tidak dapat masuk dalam lingkungan pergaulan yang diciptakan oleh Fengyin dan adik-adiknya. Dan hal tersebut disebabkan karena latar belakang dan asal-usul dari beberapa anak yang tertolak tersebut, yang dianggap tidak sepadan atau setingkat dengan keadaan mereka yang merupakan bagian dari keluarga Jenderal Lan Yu.
Termasuk di antara anak-anak yang tertolak tersebut tentu saja adalah Changyi yang siapapun anak-anak remaja calon prajurit khusus tersebut mengetahui bahwa Changyi hanyalah pelayan pengurus kuda Jenderal Xu Da. Biasanya, anak-anak yang tertolak hanya akan dijauhi dan tidak pernah disertakan dalam kelompok-kelompok latihan yang dilakukan. Namun, prestasi yang ditunjukkan oleh Changyi segera mengubah penolakan tersebut menjadi sebuah kedengkian dan rasa persaingan yang dibumbui oleh kecurangan demi kecurangan. Terlebih sejak awal masuk dan mengikuti ujian demi ujian, Changyi selalu berhasil lulus dengan nilai terbaik.
Maka, penolakan terhadap Changyi mulai di wujudkan dalam bentuk gangguan-gangguan yang semakin lama semakin terlihat dan keras. Dan hal tersebut bagaimanapun terasa memukul perasaan hati Changyi, membuatnya merasa sedih saat malam tiba dimana ia selalu menghabiskan waktu tidurnya di bawah beranda karena Dingziang dan Baozhai yang ditempatkan sekamar dengannya selalu mengunci pintu dan tidak membiarkan dirinya masuk. Apabila secara kebetulan, guru pengajar datang untuk mengecek mereka, maka Changyi akan dibiarkan tinggal di dalam kamar namun Dingziang dan Baozhai telah menyiram seluruh bantal kepala dan selimut Changyi dengan air hingga basah kuyup dan sangat dingin. Dan bila hal tersebut terjadi, maka Changyi akan memilih untuk duduk bersila dalam meditasinya yang dalam sebagaimana yang  di ajarkan oleh Biksu Tua di Kuil Bulan Merah dan sering dilakukannya selama ia tinggal di kuil.
Hal yang justru semakin membuat Fengyin merasakan Changyi sebagai saingan beratnya. Di hari-hari berikutnya, bukan hanya selimut dan bantal Changyi yang disiram dengan air dingin, melainkan juga jatah makan Changyi yang berhias tebaran tanah dan pasir. Dan untuk kali ini, Changyi sungguh-sungguh tidak bisa menghindarinya. Ia harus memakan nasi bercampur tanah dan pasir tersebut sebab hanya dengan memakan nasi tersebut ia bisa bertahan untuk hidup untuk mewujudkan janjinya pada Chen.
Bagaimanapun, keadaan yang benar-benar tak terbayangkan dalam benaknya tersebut telah menggores hati Changyi dan membuahkan kesedihan yang selalu dipendamnya jauh-jauh di lubuk hatinya yang terdalam. Perlakuan-perlakuan yang diterimanya dari kelompok siswa yang dipimpin oleh anak-anak angkat Jenderal Lan Yu seperti hempasan gelombang yang hendak meruntuhkan ketegaran hatinya. Seringkali, Changyi teringat pada kedamaian Kuil Bulan Merah yang telah menaunginya selama dua tahun lamanya. Kesedihan yang juga di rasakannya saat ia memakan nasi bercampur tanah dan pasir. Kesedihan yang muncul saat ia teringat pada setiap butir nasi yang di masak oleh tangan-tangan kecil Chen dan disuguhkan oleh Chen di hadapannya dalam keadaan panas dan harum mewangi. Dan kemudian, ingatan tentang Chen dengan sendirinya membuat Changyi teringat pada janjinya untuk menjemput Chen suatu hari nanti dan melindunginya dengan sebaik-baiknya. Ingatan tentang janji tersebut kemudian menjadi satu-satunya pegangan Changyi hingga ia tetap tegar menjalani hari-harinya yang menyesakkan. Sungguh, andai saja bukan karena keberadaan Chen, maka ia akan menyerah dan lari dari sekolah calon prajurit khusus yang diikutinya dan kembali ke Kuil Bulan Merah yang penuh kedamaian.
Lagipula, bukankah ia punya hutang budi dengan Jenderal Xu Da? Hutang budi yang teramat besar hingga rasanya tak akan bisa dibayar olehnya dan Chen kecuali dengan menyerahkan hidup mereka pada sang panglima besar yang sangat berwibawa namun baik hati tersebut. Untuk saat ini, hal yang bisa dilakukannya hanyalah melaksanakan apa yang diinginkan oleh Jenderal Xu Da untuk menjadikannya sebagai seorang prajurit.
Tetapi, sejak hari ia di bawa oleh Jenderal Xu Da dan dimasukkan ke sekolah calon prajurit khusus ini, ia tak pernah lagi melihat sosok Panglima Besar Dinasti Ming yang sangat dihormatinya tersebut. Bahkan hingga menginjak purnama ketiga seperti saat ini. Ia hanya mendengar kabar-kabar yang dibawa oleh angin lalu bahwa Jenderal Xu Da telah berhasil menguasai Karakorum dan selanjutnya, Jenderal Xu Da telah berangkat ke Transbaikalia yang merupakan wilayah dari Rusia dan berupa tanah-tanah pegunungan. Ada saat dimana Changyi merasa gelisah ketika tak ada lagi kabar kapan Jenderal Xu Da akan kembali ke Yingtian. Atau, apakah Jenderal Xu Da baik-baik saja?.
Dan seluruh kepenatan rasa tersebut pada akhirnya diungkapkan oleh Changyi dengan terus melatih jurus-jurus beladirinya di sebuah taman yang terletak agak jauh di belakang bangunan sekolah calon prajurit khusus. Taman yang hanya di lewati oleh prajurit penjaga dan pelayan istana yang bertugas merawat taman tersebut. Setiap kali terdapat waktu kosong, maka Changyi pasti akan segera menyelinap ke taman tersebut dan mulai melatih jurus-jurus beladirinya.
Atau terkadang, ia hanya akan duduk sambil membaca buku tentang tata peperangan yang diberikan oleh Biksu Tua dan dibawanya serta saat Jenderal Xu Da mengambilnya dari kuil.
Lagipula, keberadaan mereka semua calon prajurit khusus masih akan menghadapi ujian final yang sangat menentukan apakah mereka nantinya akan tetap melanjutkan pelatihan untuk menjadi seorang prajurit khusus pengawal kaisar atau hanya akan dialihkan ke pelatihan prajurit biasa. Dan ujian final tersebut akan dilakukan oleh Kaisar Hongwu sendiri. Changyi berharap ia akan dapat melewati ujian final itu dengan baik demi janjinya pada Chen serta hutang budinya pada Jenderal Xu Da.
Namun saat ini, Changyi sedang tidak memiliki semangat untuk melatih jurus-jurus baladirinya. Ia hanya duduk termenung di batu yang ada di sisi taman samba menatap buku yang telah berulang kali dibacanya dan isinya telah ia hafal di luar kepala. Benaknya melayang ke kuil, pada sosok anak yang pasti saat ini sedang berkutat di dapur kuil. Apakah anak itu juga mengambil kayu bakar ke hutan di sebelah timur kuil? Apakah anak itu juga mengambil air dari sumber mata air di bawah bukit? Setelah ia pergi, siapa yang menggantikan dirinya mengerjakan tugas-tugas tersebut? Changyi telah mengerjakan tugas itu selama hampir dua tahun dan ia telah menemukan cara-cara sendiri untuk mendapatkan kayu bakar dengan cepat. Ia bahkan menemukan jalan rahasia menuju mata air hingga ia bisa pulang pergi mengambil air dengan cepat tanpa merasa lelah. Tapi, ia belum pernah mengatakan pada Chen tentang jalan rahasia itu sehingga jika setelah ia pergi dari kuil, Chen menggantikan semua tugasnya mencari kayu bakar dan air, maka ia yakin, Chen pasti akan melalui jalan biasa yang memutar dan sangat jauh. Dan itu pasti akan sangat melelahkannya.
Dan lagi pula, ada saat dimana ia merindukan Chen.
Changyi menghela nafas panjang. Angin taman meniup pelan menyibak helai-helai rambut di dahi dan bahunya. Rambutnya sudah mulai panjang sekarang dan Changyi hanya mengikatnya secara sederhana dengan sehelai tali dari urat kayu yang di buatnya sendiri di belakang kepala agar rambut tersebut tidak mengganggunya saat ia tengah belajar atau bertarung. Hanya tersisa sedikit rambut di belakang telinga yang menjuntai hingga ke bahu. Waktu istirahat masih lama. Mereka baru akan mulai berlatih lagi menjelang gelap nanti. namun, bagi Changyi, saat menunggu seperti ini terasa sungguh membosankan hingga ia lebih memilih untuk berlatih sendiri di taman yang sepi. Jadi, bukankah lebih baik jika ia mulai berlatih lagi sekarang? Meskipun semangatnya sedikit meredup karena ingatannya pada Chen, namun dengan berlatih, maka kerinduannya pada Chen pasti akan sedikit mencair.
Changyi sudah bersiap untuk bergerak menuju tempat yang lebih lapang di mana ia terbiasa berlatih. Namun, belum lagi setapak langkahnya beranjak, mendadak terdengar suara berdebam pelan, seperti sebuah benda yang berat jatuh ke tanah. Secara otomatis, Changyi segera menyelinap ke balik gerumbul dedaunan pohon maple di dekatnya dan diam menunggu. Kepalanya sedikit meneleng, mengintip ke arah asal suara berdebam tersebut.
Dan sepasang mata Changyi membelalak saat ia melihat apa yang baru saja jatuh ke tanah tersebut.
**************
“Pangeran!....Pangeran Zhu Di?!...Yang Mulia Pangeran Zhu Di?!...hamba mohon keluarlah Pangeran…kasihanilah hamba Pangeran. Bagaimana kalau nanti Yang Mulia Kaisar marah dan hambaa harus menyangga guci lagi? Hamba benar-benar sangat lelah jika harus menyangga guci lagi” teriak seorang lelaki berumur lebih dari empat puluh tahun sambil berlari kebingungan menyusuri selasar di bagian istana yang menghubungkan istana pangeran dengan perpustakaan milik kaisar. Kepalanya menengok ke sana kemari dengan sibuk dan raut memelas bingung. Lelaki tersebut adalah kasim Anta yang bertugas merawat Pangeran Zhu Di.
Sang pangeran sendiri adalah putra keempat Kaisar Hongwu dari Permaisuri Ma Xiuying. Pangeran muda yang memiliki sifat sangat berbeda dengan pangeran-pangeran lainnya. Sang pangeran keempat yang lahir di tahun 1360 tersebut kini telah berusia sepuluh tahun. Bertubuh kuat dan lincah, dengan gerak-gerik yang gesit. Wajahnya tampan dan bersinar-sinar dengan sepasang mata yang penuh semangat dan menunjukkan kecerdasannya. Namun, selain daripada kelebihan-kelebihan tersebut, sang pangeran keempat juga adalah pangeran yang sangat sering memusingkan kasim dan dayang yang melayaninya. Sifatnya yang sangat cerdas namun pemberontak sering menimbulkan masalah yang membuat Kaisar Hongwu marah namun sekaligus semakin sayang. Dalam usianya yang baru menginjak sepuluh tahun, sang pangeran keempat tersebut telah menguasai ilmu-ilmu tentang keprajuritan, tata strategi perang dan ilmu-ilmu beladiri dasar.
Dibanding ketiga kakaknya yang lain, maupun pangeran dari selir-selir Kaisar Hongwu, Pangeran Zhu Di memang terlihat lebih cemerlang. Karena itulah, meskipun ia sering memberontak terhadap aturan istana namun Kaisar Hongwu sangatlah menyayanginya. Namun, kenakalan sang pangeran keempat tersebut seringkali menjadi petaka bagi kasim dan dayang di dekatnya yang tak pernah berhenti merasa cemas dan kalang kabut saat sang pangeran yang sangat lincah tersebut tiba-tiba menghilang dari kamarnya.
Seperti sekarang.
Mestinya, Pangeran Zhu Di hadir memenuhi panggilan Kaisar Hongwu yang menginginkan untuk bersantap dengan para pangeran dan putrinya. Dengan kesibukannya yang semakin bertambah seiring kemenangan-kemenangan yang diraih dalam gerakan ekspedisi-ekspedisi yang dilakukan untuk meluaskan wilayah, sang kaisar semakin tidak memiliki banyak waktu bersama dengan keluarganya sehingga, ketika Kaisar Hongwu memiliki sedikit saja waktu tersisa, maka sang raja besar itu akan segera memanggil permaisuri, selir dan seluruh putra putrinya meski hanya sekedar untuk bersantap bersama.
Dan selalu, semua bisa hadir memenuhi undangan Kaisar Hongwu, kecuali Pangeran Zhu Di.
Dan hal ini selalu mmebuat kasim Anta dan dayang-dayang di istana pangeran keempat mendapatkan kemurkaan dan hukuman dari kaisar meskipun hukuman tersebut bukanlah hukuman fatal dan hanya berupa hukuman ringan seperti berdiri dengan satu kaki sambil menyangga sebuah guci di atas kepala selama setengah hari penuh di tengah halaman istana pangeran yang luas dan panas saat terik matahari siang datang. Kaisar Hongwu mengatakan, bahwa merawat asuhan sma seperti menjaga sebuah guci yang indah. tidak boleh lengah, tidak boleh lelah dan harus selalu waspada agar guci indah tersebut tidak rusak, jatuh apalagi pecah.
Dan Pangeran Zhu Di yang tampan namun nakal tersebut akan selalu menggoda kasimnya yang tengah berdiri di bawah terik matahari sambil menyangga guci di atas kepala dengan suaranya yang jernih dan tawanya yang ceria. Namun, saat sang kasim terlihat kelelahan dengan keringat yang mengalir membasahi sekujur tubuhnya, sang pangeran kecil yang menggemaskan itu akan mengambil air dan diam-diam meminumkannya pada sang kasim setelah lebih dulu memerintahkan semua prajurit penjaga untuk membalikkan tubuh dan memejamkan mata dengan disertai sebuah ancaman bahwa siapapun yang melapor pada kaisar maka sang pangeran kecil tersebut akan kembali sambil membawa pisau dapur dan mencungkil setiap mata prajurit yang berani melapor.
Sungguh, betapapun beratnya mengasuh sang pangeran keempat, namun dengan kebaikan dan ketulusan hati yang di tunjukkan di balik tingkah nakalnya, tetap saja semua orang, kasim, dayang hingga semua prajurit menjadi sangat sayang pada pangeran kecil tersebut.
Kasim Anta masih terus berlari kesana kemari dengan bingung. Beberapa prajurit pada akhirnya turut mencari sang pangeran kecil yang menghilang dari kamarnya. Suara panggilan terdengar bersahut-sahutan di segala penjuru.
Sementara, di sebuah sudut istana, tepat menempel pada tembok pembatas yang cukup tinggi, sesosok tubuh kecil terlihat sedang berusaha untuk naik ke atas tembok tersebut. Tubuhnya yang cukup tinggi untuk ukuran anak seusianya terlihat melenting ke atas tembok dengan ringan dan hingga di bagian pinggir. Pakaiannya yang indah dan gemerlap sama sekali tak menghalangi geraknya yang lincah dan gesit. Sepasang matanya berbinar-binar penuh semangat dan rasa ingin tahu. Sekali, kepalanya yang berhias mahkota pangeran kecil terlihat menengok ke satu arah dengan sikap waspada. Ia bisa mendengar suara kasim pengasuhnya yang sayup-sayup terdengar di kejauhan. Ia juga mendengar suara-suara prajurit yang turut memanggilnya. Bibirnya mencibir dengan raut wajah menyiratkan kemenangan. Senyum kecil menyirat di bibirnya yang merah segar.
“Kalian tidak akan bisa menemukanku” ujar sosok kecil itu perlahan. Mulutnya tertarik membentuk sebuah senyum simpul separo yang terkesan mengejek namun justru semakin menambah ketampanan wajah anak-anaknya. “Ini jalan rahasia yang kutemukan dan kalian tidak akan pernah tahu bahwa aku di sini”.
Lalu, setelah menatap ke arah bayangan kasimnya dan para prajurit yang terus memanggilnya, kepala kecil berhias mahkota pangeran itu kembali berpaling menatap tempat di balik tembok yang di panjatnya. Sebuah taman yang sunyi.
Itu Taman Maple.
Ia tahu karena ia pernah beberapa kali menginjakkan kaki ke taman di balik tembok ini dulu, saat Kaisar Hongwu baru saja naik tahta. Namun, setelah kemajuan-kemajuan yang didapat dalam pemerintahan Kaisar Hongwu selama dua tahun hingga saat ini, maka pembangunan istana terus dilakukan. Perbaikan-perbaikan dan pembangunan istana baru dengan taman-taman yang lebih indah dan luas membuat Taman Maple segera terlupakan.
Sosok kecil di atas tembok tersebut terus menatap ke dalam Taman Maple dengan pandangan mata terlihat mencari-cari. Sepasang alisnya berkerut heran.
“Kemana dia? Kenapa hari ini tidak kelihatan?” gumam sosok kecil itu sambil menelengkan kepalanya agak jauh untuk dapat mencapai tempat-tempat di balik gerumbul daun-daun maple yang lebat. “Seharusnya dia sudah ada di sini sekarang dan sedang berlatih”.
Sosok kecil itu sedikit menggeser tubuhnya ke pinggir tembok agar ia dapat melongok lebih jauh. Terlebih, saat ia melihat beberapa bagian daun-daun maple di sudut taman bergerak-gerak. Satu kakinya kemudian terjuntai dari atas tembok sementara tangan-tangan kecilnya berusaha untuk mencengkeram pinggiran tembok sebagai pegangan. Namun, kaki yang menjuntai tersebut ternyata justru mempengaruhi keseimbangan tubuhnya. Terlebih ketika ia kembali berusaha melongokkan kepalanya agak jauh sambil memikirkan kira-kira benda macam apa yang berada di balik gerumbul dedaunan maple yang terlihat bergerak-gerak tersebut.
 Maka, sosok kecil berwajah tampan menggemaskan itu kemudian merosot dengan cepat ke bawah. Ia berusaha untuk bertahan di atas tembok. Sepasang tangannya menggapai-gapai berusaha meraih pinggiran tembok atau apapun yang bisa digunakannya sebagai pegangan. Namun, tubuhnya seperti di tarik ke bawah dengan kuat hingga hanya dalam dua detik, sosok kecil berwajah tampan ceria itu telah jatuh berdebam di tanah taman. Beruntung bahwa ia jatuh di atas tanah taman yang tertutup oleh hamparan permadani hidup rumput hijau.
Sejenak, sosok kecil yang terjatuh itu menggeliat sambil meringis sakit. Ia sangat terkejut sehingga melupakan seluruh pelajaran tentang ‘Bagaimana cara mendarat di tanah tanpa rasa sakit’. Tubuhnya yang tegap untuk ukuran anak berusia sepuluh tahun terlihat menggeliat sementara sepasang matanya beredar ke sekeliling. Sesaat, satu tangannya naik ke atas kepala, sekedar mengecek mahkotanya dan tersenyum lega saat benda yang indah tersebut masih bertengger di tempatnya, sedikitpun tidak bergeser karena di ikat dengan kuat menggunakan jepit rambut pada sanggulnya. Jika sampai mahkota itu jatuh, maka ia akan mendapat kemarahan yang sangat besar dari Yang Mulia Kaisar dan Ratu. Mahkota adalah sebuah benda yang suci dan diberkati sehingga jika sampai jath dari atas kepala, itu bisa menjadi pertanda yang buruk.
Sosok kecil itu kemudian berdiri. Baiklah…ternyata tidak ada siapapun di Taman Maple ini. Orang yang dicarinya ternyata tidak ada di taman ini. Tempat ini sunyi dan kosong sehingga lebih baik ia…..
“Anda mencari sesuatu Yang Mulia?” sebuah suara mendadak terdengar dari arah belakang punggung pangeran kecil tersebut disusul sebuah tangan yang menyentuh bahunya membuat si pangeran kecil terperanjat bukan kepalang. Seketika, tubuhnya berbalik ke belakang dan menemukan sosok yang dicari-carinya. Berdiri dengan kecemerlangan wajah yang telah membuatnya kagum dan suka.
Bibir pangeran kecil itu tertarik, menyembulkan sebuah senyum simpul yang menawan sementara sepasang matanya menatap pada sosok remaja gagah yang juga tengah menatap ke arahnya.
************
 Changyi mengendap mendekati sosok anak lelaki yang telah bangkit setelah jatuh dari atas tembok. Dari pakaiannya, serta mahkota yang bertengger di atas kepalanya, ia segera tahu bahwa anak lelaki itu adalah salah satu pangeran putra Kaisar Ming Tai Zu. Ia memang belum hafal siapa saja putra dan putri Kaisar Hongwu Ming Tai Zu tersebut karena keberadaannya di istana ini baru tiga bulan hingga saat ini. Namun, ia pernah sekali melihat seorang pangeran yang berjalan tak jauh dari sekolah calon prajurit. Pakaian yang indah dan mahkota di atas kepala sama dengan anak lelaki yang kini ada di depannya, hanya saja, tubuh dan usianya terlihat lebih besar dari pangeran yang baru saja jatuh dari atas tembok.
Changyi berjalan mendekati sang pangeran kecil yang tampak sama sekali tak menyadari keberadaannya. Changyi sedikit merasa geli saat melihat pangeran kecil di depannya mengangkat tangan untuk meraba mahkota yang ada di kepalanya dan kemudian, ia mendengar dengan jelas desah lega dari mulut anak itu.
Saat ia telah berada tepat di belakang sang pangeran kecil, Changyi mengulurkan tangan kanannya menyentuh pundak di depannya.
“Anda mencari sesuatu Yang Mulia?” tanya Changyi dengan nada sopan penuh hormat.
Sungguh di luar dugaan Changyi, si pangeran kecil terlihat sangat terperanjat sambil hampir terlompat dari tempatnya. Sedetik kemudian, tubuh yang membelakanginya itu berbalik dan menatapnya. Rasa terkejut amat sangat segera berganti binar-binar gembira yang sangat jelas terlihat di sepasang mata yang jernih dan ceria. Changyi tertawa dalam hati. Sungguh pangeran yang sangat lucu dan menggemaskan. Namun, saat si pangeran kecil itu telah berdiri d depannya, menghadap ke arahnya, Changyi segera berlutut dengan kepala tertunduk memberi hormat.
“Kau? Kemana saja kau? Aku mencarimu sejak tadi tapi aku tidak melihatmu!....dan juga, kenapa kau berlutut padaku?...angkatlah wajahmu itu, biar aku bisa melihatmu” tanya sang pangeran kecil beruntun.
Changyi mengangkat wajahnya dan menatap wajah sang pangeran kecil yang tengah menatapnya dengan sepasang mata separuh membelalak penuh gembira. Sudut bibir Changyi berkedut-kedut menahan tawa. Mimpi apa dia semalam, bisa bertemu dengan pangeran kecil tampan yang begitu lucu seperti sekarang.
“Hamba tidak ke mana-mana Yang Mulia. Hamba hanya duduk di atas batu di sana dan membaca buku” jawab Changyi sambil menunjuk tempatnya duduk sesaat lalu.
Sang pangeran kecil mengangguk namun, sepasang matanya tidak mengikuti arah telujuk Changyi melainkan terus menatap lurus ke wajah yang tengah berlutut di depannya itu.
“Lalu, kenapa kau berlutut padaku? Kenapa kau tidak berlatih hari ini?” tanya pangeran kecil itu lagi dengan alis berkerut.
Kali ini Changyi tak dapat menahan tawanya. Namun, karena ia tahu bahwa sosok kecil di depannya adalah seorang pangeran, maka Changyi menggunakan tangan kanannya untuk menutup mulutnya yang tertawa.
“Hamba berlutut karena Yang Mulia adalah pangeran putra Yang Mulia Kaisar” jawab Changyi sesaat kemudian. “Dan….”
“Dan kenapa?” tanya sang pangeran saat kata-kata Changyi terputus.
“Maafkan hamba Yang Mulia….jika hamba boleh tahu, bagaimana Yang Mulia tahu bahwa hamba selalu berlatih di sini?” tanya Changyi sambil menatap pangeran kecil di depannya.
Si pangeran kecil menunduk sedetik dengan ekspresi sedikit malu. Namun kemudian, wajahnya kembali terangkat dengan penuh rasa percaya diri dan sedikit rasa sombong yang membuat wajah tampannya menjadi semakin menggemaskan.
“Aku tahu karena aku mengintipmu setiap hari dari atas tembok ini. Kau tidak tahu? Apakah kau tidak pernah menyadari ada aku di atas tembok dan melihatmu?” tanya sang pangeran kecil pada Changyi membuat sepasang alis Changyi yang indah berkerut.
Itu benar. Kenapa ia tidak pernah melihat keberadaan sang pangeran kecil yang melihatnya berlatih? Apakah karena perhatiannya sungguh-sungguh terpusat pada latihannya ataukah karena ia merasa kalut dengan sikap dan perlakuan buruk dari fengyin dan saudara-saudaranya?.
“Maafkan hamba Yang Mulia…hamba sungguh-sungguh tidak tahu jika Yang Mulia datang dan melihat hamba berlatih” jawab Changyi kemudian.
“Itu aneh” ujar si pangeran kecil sambil menatap dirinya sendiri. “Ilmu beladirimu sangat hebat dan membuatku kagum. Tapi kau tidak bisa melihat benda sebesar aku di dekatmu? Apakah kau sedang banyak pikiran?”
Changyi tidak menjawab, namun sepasang matanya menatap sang pangeran kecil di depannya dengan sorot kagum bercampur gemas. Pangeran kecil ini sangat cerdas. Dari kata-katanya yang lugas dan jujur, nampaknya sang pangeran memiliki sedikit sifat usil dalam dirinya, namun jelas terasa warna hati yang putih dan polos. Changyi pernah mendengar adanya satu dari sekian pangeran milik Kaisar Ming Tai Zhu yang mendapat sebutan sebagai mutiara istana karena kecerdasannya serta wajahnya yang tampan. Pangeran yang sangat terkenal di kalangan seluruh penghuni istana maupun di luar istana karena sifatnya yang selalu membuat orang di sekitarnya kalang kabut, namun juga membuat semua orang menyayanginya karena sifat baiknya yang tidak memilih-milih pada siapapun, bahkan pada pelayan istana yang paling rendah jabatannya sekalipun. Apakah pangeran kecil di depannya ini adalah pangeran yang mendapat sebutan sebagai mutiara istana?
“Apakah Yang Mulia adalah Pangeran Zhu Di, pangeran keempat dari Yang Mulia Kaisar Ming Tai Zhu?” tanya Changyi kemudian.
“Sepertinya begitu” jawab sang pangeran kecil sambil mengangkat bahunya. “Kau baru di istana ini? Berapa lama kau tinggal di sini? Apakah kau calon prajurit khusus yang akan mengikuti ujian untuk menjadi prajurit khusus Yang Mulia Kaisar?”.
Changyi tersenyum lalu mengangguk.
“Benar Yang Mulia Pangeran Zhu Di. Hamba baru tiga bulan di sini dan hamba memang bermaksud untuk mengikuti ujian untuk menjadi prajurit” jawab Changyi kemudian.
Pangeran Zhu Di terlihat manggut-manggut. Pandangannya beralih ke arah atap bangunan kokoh yang merupakan gedung sekolah calon prajurit khusus.
“Yang Mulia Kaisar sangat sulit meluluskan seseorang kecuali ia memang benar-benar memiliki kemampuan yang bagus. Kau harus bekerja sangat keras jika memang ingin menjadi prajurit di sini” ujar Pangeran Zhu Di setengah bergumam.
Changyi mengangguk dengan setengah menunduk.
“Hamba mengerti Yang Mulia. Karena itulah hamba berlatih setiap hari di sini karena hamba berharap dapat lulus dalam ujian yang akan diberikan oleh Yang Mulia Kaisar nanti” jawabnya kemudian.
“Kalau begitu mulailah berlatih sekarang” ujar Pangeran Zhu Di. “Di depanku. Agar aku tahu sejauh mana kemampuanmu”.
Changyi tertawa tanpa suara menampakkan deretan giginya yang putih berkilau cemerlang.
“Bukankah Yang Mulia telah melihat latihan hamba setiap hari?” tanya Changyi.
Pangeran Zhu Di menggelengkan kepalanya.
“Itu berbeda” katanya kemudian. “Sebelum hari ini, aku melihatmu dari tempat tersembunyi, jadi itu tidak masuk dalam hitungan. Penilaianku akan di mulai hari ini saat kau berlatih di depanku, karena itu sekarang bangunlah dan mulai berlatih”.
Changyi kembali tertawa. Namun, kakinya terangkat juga dari tanah. Sebuah rasa hangat mengalir di hatinya menatap sosok Pangeran Zhu Di di depannya serta mendengar ucapan-ucapannya yang polos dan lucu, namun juga cerdas. Sebuah tarikan untuk menuruti perintah pangeran kecil di depannya tersebut mendadak muncul. Bukan karena sang pangeran adalah pangeran keempat dari kaisar Ming Tai Zhu melainkan karena rasa hangat aneh yang menyusupi hati Changyi.
“Baiklah Yang Mulia. Hamba akan melaksanakan perintah Yang Mulia” jawab Changyi.
“Hm” Pangeran Zhu Di mengangguk dengan gerakan tegas. Lalu berjalan ke arah sebuah bongkahan batu taman dan duduk di atasnya dengan posisi bersila. “Sekarang mulailah”.
Changyi melangkah ke arah bagian taman yang lapang dengan alas rumput yang hijau dan tebal lembut. Setelah membungkuk untuk memberikan penghormatan pada Pangeran Zhu Di yang duduk tak jauh darinya, tubuh Changyi segera bergerak. Jurus-jurus pembuka yang sederhana dan merupakan cirri khas beladiri dari para biksu mengawali langkahnya. Kemudian, semakin lama, gerak Changyi semakin cepat dan sepenuh tenaga. Suara angin bersiut dan menderu setiap kali kaki dan tangannya bergerak terdengar di telinga Pangeran Zhu Di yang menatap dengan sepasang mata berbinar-binar penuh semangat dan rasa kagum. Bibirnya menyunggingkan sebuah senyum simpul separo yang indah sementara Changyi telah tenggelam dalam jurus-jurus intinya yang indah namun berbahaya. Tubuhnya seolah tak memiliki rasa lelah meski puluhan jurus telah berlalu dan hamparan rumput taman di bawah kakinya telah menjadi rebah seluruhnya oleh tekanan telapak kakinya yang penuh tenaga. Daun-daun maple di sekitar taman bergerak-gerak dengan riuh dan banyak di antaranya yang kemudian jatuh berguguran oleh hempasan angin dari gerak tubuh Changyi.
Hingga sesaat kemudian, gerakan tubuh Changyi melambat dengan kelenturan yang indah sebeum kemudian berhenti sama sekali. Remaja yang rupawan itu berdiri di depan Pangeran Zhu Di sambil membungkukkan tubuhnya sebagai isyarat bahwa jurus-jurusnya telah selesai.
Pangeran Zhu Di bangkit berdiri dari duduknya di atas batu dan bertepuk tangan dengan penuh semangat membuat Changyi terkejut karena tak menduga reaksi dari sang pangeran akan begitu jujur dan terbuka.
“Bagus sekali. Kau banyak memiliki kemajuan dibanding sebelumnya” ujar Pangeran Zhu Di sambil berjalan menuju ke arah Changyi membuat remaja berusia empat belas tahun itu segera berlutut di depan pangeran kecil di depannya.
“Terima kasih atas pujian Yang Mulia Pangeran Zhu Di” jawab Changyi.
“Mulai besok, kau tidak boleh berlatih sebelum aku datang. Apakah kau mengerti?” ujar Pangeran Zhu Di.
Changyi mengertukan dahinya. Tapi, belum tentu ia akan berlatih besok hari bukan? Ia berlatih hanya jika ada waktu luang saja.
“Ini perintah!” sambung Pangeran Zhu Di saat melihat keraguan di wajah Changyi.
Changyi tersenyum dan mengangguk mengerti.
“Baiklah Yang Mulia. Saya akan melaksanakan perintah Yang Mulia” jawab Changyi kemudian.
Pangeran Zhu Di mengangguk puas dengan ekspresi senang.
“Bagus!” katanya kemudian. “Sekarang, bantu aku menaiki tembok itu. Aku harus kembali ke kasimku. Walaupun dia sangat membosankan, tapi aku tetap tidak tega melihatnya dihukum setiap hari oleh Yang Mulia Kaisar”.
Changyi mengangkat wajahnya dan menatap Pangeran Zhu Di. Alisnya berkerut dengan senyum mengembang.
“Yang Mulia, bagaimana cara Yang Mulia naik ke atas tembok sebelumnya?” tanya Changyi sambil menunjuk tembok di mana Pangeran Zhu Di jatuh sebelumnya.
“Aku melompat ke atas” jawab Pangeran Zhu Di dengan jujur.
‘Kalau begitu, bukankah Yang Mulia bisa melompat kembali untuk sampai di atas sana?” tanya Changyi kemudian.
“Aku tahu” jawab Pangeran Zhu Di dengan raut bersungut-sungut. “Tapi karena di balik tembok itu aku hanya sendirian. Kalau sekarang ada kau kenapa aku harus melompat? Jika ada prajurit kenapa aku harus berjaga sendiri?”
Changyi tertawa dengan geli. Sungguh pangeran kecil yang lucu. Pantas begitu banyak orang menyayanginya meski tingkahnya sering membuat orang-orang disekitarnya pusing kepala.
“Kenapa tidak ada kasim dan pelayan…atau prajurit yang membantu Yang Mulia di balik tembok itu?” tanya Changyi lagi.
“Karena aku tidak mau mereka membantuku!” bentak Pangeran Zhu Di. “Sudah kubilang mereka, terutama kasimku itu sangat membosankan. Lagipula, jika mereka tahu, mereka tidak akan mengijinkanku untuk ke sini. Tapi kau beda. Kau tidak membuatku bosan. Dan lagipula, aku menyukaimu. Jadi, aku ingin kau membantuku menaiki tembok itu sekarang. Cepat kerjakan! Jangan banyak tanya…kenapa kau ini cerewet sekali?”.
Changyi terpana sejenak mendengar pengakuan yang sangat jujur dari mulut pangeran kecil di depannya. Pangeran Zhu Di menyukainya? Mimpi apa dia tadi malam?. Namun, sesaat kemudian, kepala Changyi mengangguk dengan senyum melebar dengan rasa geli bercapur heran.
“Baiklah Yang Mulia. Silahkan Yang Mulia naik ke bahu hamba” jawab Changyi kemudian.
“Hm!” Pangeran Zhu Di mengangguk senang lalu berjalan ke arah tembok.
Changyi mengikuti Pangeran Zhu Di dan kemudian, saat ia telah berada tepat di sisi tembok, remaja berwajah elok itu segera berlutu kembali di depan Pangeran Zhu Di. Dengan gerakan sigap, sang pangeran keempat segera naik ke atas bahu Changyi. Changyi sangat bersyukur. Untunglah, ia telah terbiasa membawa beban berat di bahunya saat di kuil. Kayu bakar dalam ikatan besar serta tempayan-tempayan berisi air membuatnya bahu dan kedua kakinya terlatih dengan baik. Nyaris tanpa terasa berat olehnya, Changyi mengangkat tubuhnya dengan Pangeran Zhu Di di atas bahunya hingga pangeran keempat bisa mencapai pinggir atas tembok dan naik dengan mudah. Sang pangeran menoleh ke arah Changyi.
“Ingat apa yang kukatakan?” tanya Pangeran Zhu Di kemudian. “Kau tidak boleh berlatih sebelum aku datang!”.
Changyi mengangguk dengan senyum di kulum.
“Hamba mengerti Yang Mulia. Hamba akan menunggu Yang Mulia” jawabnya tegas dan yakin.
Pangeran Zhu Di mengangguk dan melambaikan tangan kanannya yang mungil sebelum kemudian melompat turun dengan ringan, meninggalkan Changyi yang masih berdiri mematung dengan wajah yang menyiratkan rasa heran.
Sungguh, hari ini ia datang ke taman ini dengan suasana hati yang penuh sesak oleh perlakuan-perlakuan buruk dari Fengyin dan saudara-saudaranya serta kerinduannya pada Chen. Namun, tanpa terduga, ia justru bertemu dengan sang pangeran yang terkenal dengan julukan mutiara istana. Lebih mengejutkan lagi karena ternyata Pangeran Zhu Di telah lama melihatnya berlatih dan ia sama sekali tak menyadarinya. Masih di tambah pengakuan jujur dari Pangeran Zhu Di bahwa sang pangeran menyukainya.
Changyi menarik nafas panjang. Bagaimanapun, pertemuannya dengan Pangeran Zhu Di hari ini telah sangat banyak mengurangi kepenatan hatinya dan bahkan memberinya semangat untuk terus bertahan meski ia mendapatkan perlakuan yang buruk. Sambil menggelengkan kepalanya, Changyi melangkah menuju ke arah bangunan sekolah calon prajurit khusus. Wajahnya terlihat cerah dengan senyum cemerlang yang mempesona.
*************