Jenderal Xu Da melangkah ke arah para biksu yang
berdiri berjajar di depan gerbang. Satu dari para biksu tersebut adalah seorang
biksu yang berusia sekitar tujuh puluh tahun, berwajah dan berkulit sangat
halus. Wajahnya sangat jernih melebihi kejernihan embun di pagi hari. Dialah
Kepala Biksu di Kuil Bulan Merah. Jenderal Xu Da menghampiri lelaki tua yang
terlihat sangat segar di usia tujuh puluh tahun itu dan memberi hormat.
“Selamat datang Jenderal Xu Da” sapa Biksu Tua
sambil membungkuk untuk membalas penghormatan sang panglima besar di depannya.
Sepasang tangannya tertangkup di depan dada.
“Apa kabar Guru?” tanya Jenderal Xu Da membalas
sapaan Biksu Tua.
Biksu Tua tersenyum mengerti. Tubuhnya menegak dan
satu tangannya melambai ke arah kuil.
“Silahkan masuk Jenderal. Changyi sedang mengambil
kayu bakar dan air di bawah bukit sedangkan Chen sedang memasak untuk makan
siang” jawab Biksu Tua membuat Jenderal Xu Da tertawa saat mendengar kalimat
Biksu Tua.
Niat hatinya datang ke Kuil Bulan Merah inipun
ternyata telah terbaca.
“Terima kasih Guru” sahut Jenderal Xu Da sambil
berjalan di sisi Biksu Tua memasuki kuil sementara Tamtama Bohai berjalan di
belakang Jenderal Xu Da bersama beberapa biksu yang lain.
“Apakah mereka belajar dengan baik di sini Guru?”
tanya Jenderal Xu Da setelah keduanya duduk di ruang depan kuil.
Biksu Tua tersenyum.
“Mereka adalah anak-anak yang istimewa Jenderal.
Anda sungguh beruntung karena telah menemuka keduanya. Mereka berdua sangat
cerdas dan belajar dengan sangat cepat meskipun keduanya memiliki jalur yang
berbeda” jawab Biksu Tua.
Jenderal Xu Da mengerutkan alisnya. Kepalanya
menatap Biksu Tua.
“Berbeda jalur? Apa maksud guru dengan berbeda
jalur?” tanya Jenderal Xu Da kemudian.
Biksu Tua mengangguk.
“Berbeda jalur karena bakat-bakat kedua anak itu
ternyata sangat berbeda. Changyi sangat berbakat dalam ilmu beladiri, ilmu
peperangan, menata dan mengatur strategi perang serta ketrampilan menggunakan
berbagai jenis senjata. Sedangkan Chen, meskipun ia memiliki bakat dan
kecerdasan yang sangat baik dalam belajar beladiri, tapi anak tersebut lebih
suka memasak, bercocok tanam, membaca filsafat dan berdoa. Karena itulah, kami
memberi mereka tugas yang berbeda untuk dikerjakan setiap hari. Changyi
bertugas mencari kayu bakar dan mengisi
guci-guci tempat air. Sedangkan Chen mendapat tugas untuk memasak bersama juru
masak kami di dapur, serta merawat kebun sayur miliknya di belakang kuil” jelas
Biksu Tua.
Sepasang mata Jenderal Xu Da terlihat sedikit
membesar. Ini sungguh tak terbayangkan dalam benaknya. Namun, mendengar
penjelasan Biksu Tua tentang bakat-bakat Changyi membuat Jenderal Xu Da merasa
senang. Sejak awal, ia telah melihat bakat tersebut dalam diri Changyi dari
kekuatan dan kelenturan tubuhnya. Namun, ia sama sekali tak menduga bahwa
Changyi akan memiliki kemampuan dalam olah senjata, menata dan mengatur
strategi perang dan bahkan anak itu menyukai ilmu tentang peperangan. Mendadak,
sebuah pemikiran berkelebat dalam benaknya. Datang secepat kilat dan ia merasa
sangat senang dengan pemikiran tersebut.
“Guru, bisakah saya bertemu dengan mereka?” tanya
Jenderal Xu Da. “Ada hal yang ingin saya sampaikan pada mereka”.
“Tentu saja Jenderal. Mohon Jenderal tunggu
sebentar” jawab biksu tua sambil membungkuk hormat sebelum kemudian berdiri
menuju ke salah satu biksu yang duduk menunggu tak jauh dari tempatnya
berbincang dengan Jenderal Xu Da. Sejenak kemudian, biksu setengah baya yang
tampaknya diperintahkan untuk memanggil Changyi dan Chen telah beranjak pergi.
Dan kemudian, ketika Changyi dan Chen telah duduk
menghadap, Jenderal Xu Da segera membenarkan apa yang dikatakan oleh sang biksu
tua. Dua tahun berlalu dan kini, dua anak yang dulu dititipkannya telah berubah
menjadi dua remaja yang kokoh. Tulang-tulang yang bertonjolan di sekitar dada,
rusuk, tangan dan kaki mereka tak lagi terlihat dan berganti dengan tubuh kuat,
liat dan segar. Wajah keduanya juga terlihat semakin berbinar oleh rasa gembira
yang mereka rasakan. Tampaknya, kehidupan di kuil ini telah memberikan hal yang
sungguh-sungguh baik pada keduanya.
Jenderal Xu Da menatap dua remaja yang ada di
depannya dengan seksama dan melihat perbedaan yang nyata di antara Changyi dan
Chen, persis seperti yang diungkapkan oleh Biksu Tua.
Changyi kini telah menjadi remaja yang luar biasa.
Wajahnya bersinar cemerlang dan mengisyaratkan kehidupan yang sungguh-sungguh
hidup. Sepasang matanya terlihat begitu berbinar oleh keceriaan yang tampak
nyata. Sementara tubuhnya kini tinggi dan gagah untuk ukuran remaja seusianya.
Tak ada lagi lengan-lengan kecil yang dulu menaklukkan keberingasan kuda hitamnya.
Yang terlihat kini adalah Changyi dengan sepasang lengan yang kokoh, dengan
otot-otot liat, terlatih dengan baik di balik kulitnya yang halus dan bersih
cemerlang dalam warna yang lebih gelap di banding warna kulit pada umumnya yang
putih bersih. Meskipun, warna kulit Changyi yang lebih gelap tersebut justru
semakin menonjolkan kesempurnaan sosoknya yang rupawan dan maskulin. Jenderal
Xu Da memandang ke arah Changyi dan menemukan sepasang mata remaja tersebut
yang juga tengah memandang ke arahnya. Dan Jenderal Xu Da segera merasakan
sebuah kekuatan yang seolah hendak menundukkannya dari sepasang mata yang
sesungguhnya merupakan mata paling indah yang pernah di lihat oleh Jenderal Xu
Da. Changyi kini bukan hanya tampan namun telah menjelma menjadi seorang remaja
yang elok rupawan seperti sebongkah permata yang utuh sempurna tanpa cela.
Seperti sesosok dewa yang menjelma menjadi manusia tanpa mampu menyamarkan
keelokan aslinya sebagai sang dewa keindahan. Jenderal Xu Da merasa, andai
Changyi keluar dari kuil ini dan masuk ke dunia luar, maka kehadirannya pasti
akan segera menjadi pusat perhatian terutama dari kaum wanita dan gadis-gadis
muda. Keindahan seorang Changyi masih di tambah lagi dengan bibirnya yang merah
segar dan selalu mengembangkan senyum gembira berhias sepasang lesung pipi
serta sepasang mata yang berbinar ceria. Sepertinya, Changyi memang terlahir
dari jelmaan sang matahari pagi.
Kemudian, pandangan Jenderal Xu Da beralih pada
Chen dan sepasang alis sang panglima besar itu berkerut saat menatap ketenangan
di wajah anak tersebut. Meskipun kini tubuh Chen telah pula berkembang menjadi
kokoh dan kuat, namun secara menyeluruh sosoknya sangat berbeda dengan Changyi.
Chen berwajah tampan dengan kulit putih bersih dan agak pucat – berbeda dengan
Changyi yang memiliki kulit gelap namun bersinar cemerlang – namun ketampanan
anak itu diselimuti oleh ketenangan yang teduh. Jenderal Xu Da merasa sangat
sulit untuk menebak hal apa yang tengah dipikirkan oleh anak tersebut sebab
kedua mata Chen seperti sebuah telaga yang sangat dalam. Ia bahkan tak bisa memasatikan, apakah Chen
merasa senang atau tidak dengan kedatangannya ke kuil ini untuk menengok mereka
berdua. Satu-satunya yang terlihat dari wajah Chen hanyalah ketenangan yang
teduh, seperti padang rumput hijau yang tenang, sunyi namun tidak menakutkan.
Seperti malam yang tenang dengan sinar bulan purnama yang lembut dan sejuk.
Seperti sebuah kedalaman yang menghanyutkan namun tidak menghancurkan.
Jenderal Xu Da menarik nafas panjang sebelum
kemudian mulai membuka suara.
“Bagaimana keadaan kalian?” tanya Jenderal Xu Da
membuka kalimatnya.
Changyi dan Chen membungkuk memberi hormat pada
Jenderal Xu Da. Keduanya tersenyum.
“Kami sangat baik Jenderal” sahut Changyi mewakili
dirinya dan Chen. “Terima kasih Jenderal telah datang menengok kami di sini”.
Jenderal Xu Da menggumam pelan tanpa kata.
Kepalanya mengangguk.
“Guru Biksu telah mengatakan padaku tentang
pelajaran bela diri yang telah kalian jalani. Tunjukkan padaku” perintah
Jenderal Xu Da kemudian.
Changyi dan Chen saling pandang sejenak. Terlihat
sedikit keraguan di mata Chen, namun kemudian, ia mengangguk saat Changyi lebih
dulu menganggukkan kepala dengan penuh semangat.
“Baik Jenderal” sahut Changyi dan Chen.
Dan selanjutnya, halaman tengah Kuil Bulan Merah
segera menjadi ramai oleh gerak jurus Changyi dan Chen yang memperagakan
kemampuan beladiri mereka. Jenderal Xu Da memperhatikan dari tempatnya berdiri
bersama dengan sang biksu tua. Sepasang matanya meneliti dengan jeli. Terlihat
kilau senang saat ia melihat bahwa dua remaja itu memiliki gerak yang sangat
gesit, lincah, cepat dengan tenaga pukulan dan tendangan yang kuat. Lagi-lagi,
ada perbedaan antara Changyi dan Chen yang tertangkap dalam pandangan Jenderal
Xu Da. Changyi memiliki gerak yang sangat gesit penuh tenaga. Tubuhnya
berputar, menerjang dan melompat dengan sangat indah seperti sebuah tarian yang
mempesona namun menebar maut. Raut wajahnya yang berbinar penuh cahaya
justru membuat setiap jurus yang
dilakukannya seperti tak mungkin untuk dielakkan.
Sementara Chen terlihat bergerak dengan kelenturan
tubuh yang sangat bagus. Jenderal Xu Da melihat bahwa gerakan Chen sangat
ringan dan terlihat sepele, namun, dari setiap helai daun dan rumput yang
bergeletar oleh tiupan angin yang berhembus dari gerakannya, sang jenderal
besar itu mengerti bahwa setiap gerakan sepele yang dilakukan oleh Chen
sesungguhnya mengandung unsure tenaga yang sangat kuat dan mematikan. Selain dari
itu, gerak tubuh Chen terlihat sangat lambat bila di bandingkan dengan Changyi
yang menderu seperti angin topan. Namun, meski gerakan Chen terlihat lambat,
tetapi gerak jurusnya dapat segera berubah hanya dalam sepersekian detik saja
sehingga, dalam pertarungan yang nyata, lawan akan sulit untuk memperkirakan
jurus-jurus Chen terlebih menghindari atau sekedar menghadangnya.
Hingga beberapa saat Jenderal Xu Da memperhatikan
Changyi dan Chen memperagakan kemampuan beladiri mereka hingga kemudian…
“Tamtama Bohai!” panggil Jenderal Xu Da pada
Tamtama Bohai yang berdiri tak jauh darinya bersama beberapa biksu muda.
Tamtama Bohai segera berlari mendekat pada
Jenderal Xu Da, membungkuk hormat dan berdiri dengan sikap tegak.
“Ya Jenderal!” jawab Tamtama Bohai.
“Uji mereka” perintah Jenderal Xu Da sambil
menunjuk ke arah Changyi dan Chen.
“Baik Jenderal” sahut Tamtama Bohai sambil membungkuk
hormat kemudian melompat ke arah Changyi dan Chen.
Changyi dan Chen terkejut dan sesaat gerakan
mereka terhenti. Reaksi berbeda segera terlihat dari Changyi dan Chen. Changyi
terlihat penuh semangat dan rasa percaya diri. Remaja itu segera menempatkan
diri di depan Tamtama Bohai yang telah berdiri di tengah arena sementara Chen
justru tetap berdiri di tempatnya dan tidak bergerak sama sekali. Jenderal Xu
Da yang melihatnya terlihat berkerut.
“Chen, kenapa kau tidak menempatkan dirimu?” tanya
Jenderal Xu Da pada Chen.
Chen menoleh ke arah Jenderal Xu Da dan kemudian
membungkuk penuh hormat. Sepasang tangannya tertangkup di depan dada.
“Maafkan saya Jenderal, saya sungguh tidak
bermaksud melawan perintah Jenderal. Namun, saya tidak berani melawan Tuan
Prajurit Bohai, karena kemampuan saya masih sedangkal air di genangan parit.
Mohon maafkan saya Jenderal” sahut Chen dengan suara lembut dan santun.
Jenderal Xu Da tercenung sesaat. Meski ia bisa
melihat bahwa sesungguhnya Chen memiliki kemampuan luar biasa dalam gerak
beladirinya yang sedikit aneh, namun ia bisa mengerti bahwa remaja itu mungkin
memang merasa takut. Bukankah sejak ia menemukannya dua tahun yang lalu, Chen
memang adalah anak yang penakut?.
“Baiklah…” ujar Jenderal Xu Da kemudian. “Biar Changyi
yang melawan Tamtama Bohai. Kalian mulailah!”.
Tamtama Bohai dan Changyi membungkuk ke arah
Jenderal Xu Da dan Biksu Tua yang berdiri berdampingan. Dan selanjutnya,
keduanya mulai berlaga. Tamtama Bohai menyerang Changyi perlahan pada saat awal
sekedar untuk menjajagi. Kemudian, ketika dalam jurus-jurus awal pemuda
perparas elok tersebut dapat dengan mudah menghindar, menangkis dan bahkan membalas serangannya, Tamtama Bohai
mulai meningkatkan serangannya, kini semakin cepat dan bertenaga. Changyi
sendiri terlihat bersungguh-sungguh dalam menghadapi setiap serangan dari
Tamtama Bohai. Tubuhnya sesaat melenting tinggi untuk mekmudian turun sambil
menyarang satu tendangan balasan ke arah prajurit kepercayaan Jenderal Xu Da
tersebut. Tamtama Bohai melompat mundur beberapa tapak ke belakang untuk
menghindari tendangan kaki Changyi yang mengarah ubun-ubunnya, namun hanya
sedetik setelah serangan kaki Changyi lewat, tangan kanan prajurit yang gagah
itu telah melesat ke depan mengirimkan satu tusukan keras dan tajam ke arah
sepasang mata Changyi yang indah berkilau. Changyi tidak melompat mundur ke
belakang untuk menghindari serangan
Tamtama Bohai yang dapat memecahkan bola matanya tersebut. Namun
tubuhnya merunduk ke belakang dengan gerakan lentur yang sangat indah hingga
tangan sang prajurit lewat hanya beberapa senti dari ujung hidungnya yang
mancung dan tinggi kemudian, sebelum Tamtama Bohai sempat menarik pulang
tangannya, dua tangan Changyi telah melesat ke atas dan menjerat tangan Tamtama
Bohai dalam satu kuncian yang kuat. Tamtama Bohai terlihat sangat terkejut. Ia
tak bisa menarik tangan kanannya begitu saja karena kuncian jemari Changyi menyekap
tangannya dengan kekuatan yang mencekat seperti capit besi hingga sampai ke
tulang. Jika ia menarik tangannya sebelum Changyi melepaskan kunciannya, maka ia akan mendapatkan lengannya dengan
tulang yang patah dan hancur. Karena itu, Tamtama Bohai tak memiliki pilihan
lain selainmelakukan serangan dengan kakinya dan di arahkan ke sisi rawan tubuh
Changyi di perut bawahnya. Changyi menggunakan kakinya untuk menangkis serangan
sementara tangannya masih menjerat tangan kanan Tamtama Bohai. Kini,
pertarungan jarak dekat dengan kaki terjadi dengan sengit. Lantai halaman yang
terbuat dari lempengan-lempengan batu yang di tata dengan rapi terlihat
berderak dan bahkan kemudian, tepat pada bagian di mana Changyi dan Tamtama
Bohai menghentak dan menjejak dalam pertarungan jarak dekat mereka, lempengan
batu yang berada di bawah mereka telah pecah berkeping-keping, memperlihatkan
tanah terbuka di bawahnya yang segera pula berhamburan oleh hentakan-hentakan
dua pasang kaki yang penuh tenaga dan saling menyerang, saling menangkis dan
mengincar kelemahan lawan. Debu tebal mulai membubung tinggi dari tanah yang berhamburan di bawah Changyi
dan Tamtama Bohai.
“Cukup!!” mendadak terdengar teriakan dari
Jenderal Xu Da membuat Changyi seketika melepaskan jeratan pengunci pada tangan
kanan Tamtama Bohai dan melompat surut ke belakang sementara Tamtama Bohai yang
telah terlepas dari kuncian Changyi segera pula memperbaiki posisi tubuhnya,
berdiri tegak dan siap. Terlihat jelas keringat yang memercik di dahi Changyi
sementara Tamtama Bohai terlihat basah oleh keringat yang mengalir dari leher
dan pelipisnya.
Kedua orang yang gagah itu segera membungkuk
memberi hormat pada Jenderal Xu Da.
“Sudah cukup! Aku sudah melihat sejauh mana
kemampuan Changyi. Prajurit Bohai…kembali ke tempatmu!” perintah Jenderal Xu Da
pada tamtama kepercayaannya. “Dan kau Changyi, kemarilah, aku ingin bicara
denganmu dan Chen”.
“Baik Jenderal” sahut Changyi dan Tamtama Bohai serempak.
Jenderal Xu Da berbalik danmelangkahpergi disertai
oleh Biksu Tuan dan kembali duduk di ruang depan kuil sementara Changyi
menyusul tak lama kemudian. Remaja itu duduk di depan Jenderal XU Da dan Biksu
Tua dengan wajah yang terlihat segar. Sepertinya, Changyi sempat mencuci mukanya
sesaat sebelum menyusul Jenderal Xu Da.
“Di mana Chen?” tanya Jenderal Xu Da saat ia tak
melihat kehadiran Chen di sisi Changyi.
“Chen sedang menyiapkan makanan di dapur Jenderal.
Sekarang sudah saatnya untuk makan siang dan kami berharap Jenderal Xu Da akan
menikmati makan siang bersama dengan
kami. Saya telah menyuruh Chen untuk menyiapkan makan siang bagi Jenderal Xu Da saat
Chanyi dan Prajurit Bohai tengah bertanding” Biksu Tua membuka suara
memberikan penjelasan.
Jenderal Xu Da manggut-manggut. Dan sebelum ia
sempat menanggapi penjelasan dari Biksu Tua, Chen telah muncul di iringi
beberapa biksu muda dengan nampan besar di tangan mereka.
“Nah Jenderal Xu Da, tampaknya makan siang Anda
telah siap” ujar Biksu Tua dengan wajah cerah. Kepalanya menoleh pada Changyi.
“Bantu adikmu menata hidangan untuk Jenderal di atas meja”.
Changyi mengangguk dengan senyum di wajahnya.
“Baik Guru” sahutnya sambil bangkit dari duduknya
dan menerima nampan besar dari dua biksu muda di belakang Chen sementara Chen
dengan cekatan menata mangkuk-mangkuk kayu di atas meja di depan Jenderal Xu
Da.
Sang jenderal kesayangan Kaisar Hongwu menatap
hidangan yang ditata oleh Chen. Terdapat banyak jenis masakan di atas meja
meski kesemuanya merupakan jenis-jenis makanan sederhana yang tidak akan
terhidang di rumah seorang panglima besar seperti Jenderal Xu Da, terlebih di
istana. Tatapan Jenderal Xu Da tertarik pada semangkuk besar nasi yang putih
dan menebarkan aroma yang wangi. Wangi yang sangat berbeda dengan keharuman
nasi yang biasa ia temukan di istana. Nasi yang mengepulkan uap panas tersebut
menebar aroma seolah terdapat bumbu rempah di dalamnya. Namun, tidak terdapat sebutirpun
rempah di antara butir-butir nasi yang putih bersih. Selain dari nasi yang
menebarkan aroma wangi yang berbeda tersebut, hidangan lainnya adalah
bermacam-macam sayuran dalam berbagai bentuk olahan, semangkuk kue kukus dan
kue panggang yang Jenderal Xu Da tak tahu namanya.
“Silahkan Jenderal” Chen mempersilahkan Jenderal
Xu Da begitu ia selesai menata semua hidangan di atas meja. Setelah meletakkan
sepasang sumpit di sisi mangkuk sang jenderal, Chen segera beringsut mundur dan
duduk di sisi Changyi yang telah lebih dulu surut ke belakang dan duduk dengan
tenang.
“Benar Jenderal…silahkan” sambung Biksu Tua sambil
tersenyum
Jenderal Xu Da mengangguk dan membalas senyum
Biksu Tua. Sekali lagi pandangannya beredar pada semua hidangan di atas meja
yang dalam perkiraannya terdapat lebih dari lima belas macam masakan.
“Guru, bagaimana mungkin saya dapat menghabiskan
makanan ini sendiri? Ini begitu banyak” jawab Jenderal Xu Da sambil tertawa
kecil. Kemudian tangannya mengambil sebuah mangkuk kosong lain dan menyodorkan
mangkuk tersebut pada Biksu Tua. “Saya akan memakan hidangan ini bila Guru
menemani saya. Silahkan Guru”.
Sang Biksu Tua tertawa dengan suaranya yang halus.
Namun, kemudian, tangannya mengambil mangkuk kosong yang di sodorkan oleh
Jenderal Xu Da.
“Silahkan Jenderal” jawab Biksu Tua yang kemudian
mengambil sedikit nasi dari dalam mangkuk besar menggunakan sendok kayu yang
telah disediakan oleh Chen.
Jenderal Xu Da mengambil mangkuknya dan bersiap
mengisinya dengan sepotong sawi hijau. Namun, gerakannya terhenti dan kepalanya
menoleh ke arah Changyi dan Chen yang duduk sambil menundukkan wajahnya.
“Chen?” panggil Jenderal Xu Da kemudian.
Chen terkejut dan seketika mengangkat
mukanya untuk menatap sang jenderal besar.
“Ya Jenderal?” jawab Chen.
“Kenapa kau tidak mengambil mangkuk-mangkuk lain
dan kita makan bersama-sama? Berikan juga pada Prajurit Bohai di luar serta
semua biksu. Akan lebih baik jika kita makan bersama-sama” ujar Jenderal Xu Da
memberikan perintahnya pada Chen. “Changyi, bantulah Chen mengambil makanan
untuk semua biksu dan Prajurit Bohai”.
“Baik Jenderal” sahut Chen dan Changyi sebelum
kemudian bangkit berdiri setelah memberi hormat.
Jenderal menyuap nasi putih yang menebarkan aroma
rempah dan alisnya berkerut sesaat. Pandangannya beralih pada Biksu Tua.
“Guru, juru masak di kuil ini memiliki kemampuan
yang sangat baik dalam memasak” ujar Jenderal Xu Da membuat Biksu Tua
mengangkat wajahnya dari mangkuk yang dipegangnya.
“Jenderal, semua hidangan ini, Chen yang
memasaknya. Dulu, saat pertama kali Chen datang ke kuil ini, ia hanya membantu
pekerjaan biksu yang menjadi juru masak di dapur. Tapi, sudah lebih dari
setahun Chen menggantikan tugas sebagai juru masak” sahut Biksu Tua dengan
suara halus.
Jenderal Xu Da tercenung sesaat hingga kemudian,
Changyi kembali duduk di tempatnya bersama dengan Chen setelah memberi hormat
pada sang jenderal. Di depan Changyi telah terdapat sebuah nampan kecil berisi
mangkuk nasi dan tiga mangkuk lain berisi sayuran. Sementara Chen duduk dengan
tenang di sisi Changyi. Tak terlihat sebuah nampan berisi mangkuk nasi maupun
sayuran.
“Chen, di mana makananmu? Mengapa kau tidak
makan?” tegur Jenderal Xu Da.
Chen membungkuk hormat sebelum menjawab.
“Silahkan Jenderal. Saat bagi saya makan masih nanti”
sahut Chen dengan nada yang sopan.
“Kenapa begitu? Bukankah lebih baik jika kau makan
bersama-sama dengan yang lain?” desak Jenderal Xu Da membuat Chen terlihat agak
kikuk.
Changyi melirik ke arah Chen sesaat dan mengangkat
wajahnya ke arah Jenderal Xu Da.
“Jenderal, Adik Chen hanya makan akar” ucap
Changyi membuat Jenderal Xu Da berkerut.
“Makan akar?” tanya Jenderal Xu Da.
Biksu Tua yang telah lebih dulu selesai menyantap
nasi dalam mangkuknya meletakkan mangkuknya yang telah kosong dan menghela
nafas sejenak.
“Itu benar Jenderal. Chen hanya memakan akar-akar
tumbuhan. Karena itu, dia selalu makan paling akhir setelah yang lain. Dia
tidak pernah memakan makanan yang dimasaknya” tutur Biksu Tua sambil tersenyum.
“Sungguh aneh. Kau memasak semua hidangan untuk
orang lain tapi kau tidak memakan hasil masakanmu sendiri” tutur Jenderal Xu Da
yang disambut Chen dengan menundukkan wajahnya.
Selanjutnya, tak banyak lagi pembicaraan di ruang
depan kuil tersebut. Jenderal Xu Da menyantap hidangan di depannya dengan lahap
sementara Chen melayani sang panglima besar itu. Hingga kemudian, saat Jenderal
Xu Da telah selesai bersantap, Chen segera menyisihkan semua mangkuk dan piring
yang kotor kembali ke dapur. Biksu Tua dengan sengaja meninggalkan sang jenderal
bersama dengan Changyi dan Chen seolah mengerti bahwa untuk selanjutnya, apa
yang akan dikatakan oleh Jenderal Besar Xu Da adalah perihal kehidupan dua anak yang
telah menginjak remaja tersebut.
Jenderal Xu Da menunggu hingga Chen kembali dari
dapur dan duduk di sisi Changyi.
“Aku ingin kalian ikut denganku kembali ke
Yingtian” kata Jenderal Xu Da pada Changyi dan Chen.
Changyi dan Chen terlihat terkejut. Sejenak
keduanya saling pandang.
“Kaisar Ming Tai Zhu telah membuat sekolah
prajurit yang mendidik calon-calon prajurit khusus kaisar. Pada saatnya,
prajurit khusus tersebut akan menjadi prajurit penjaga kaisar dan keluarga
kaisar. Aku telah melihat kemampuan kalian berdua dalam beladiri dan karena
itu, aku ingin memasukkan kalian ke sekolah prajurit khusus tersebut. Saat ini,
sekolah tersebut telah memulai menerima calon-calon prajurit baru dan setiap
calon prajurit akan di pilih melalui pengujian terhadap kemampuan baik beladiri
maupun pengetahuan. Aku sangat yakin bahwa kalian akan bisa melalui ujian
tersebut dengan hasil yang baik. Apakah kalian sanggup?” tutur Jenderal Xu Da
memberikan penjelasan dan diakhiri dengan sebuah tanya langsung pada Changyi
dan Chen.
Changyi mengangkat wajahnya yang cemerlang dan
menatap sang jenderal dengan sepasang mata yang berbinar-binar.
“Tentu saja kami sanggup Jenderal!” jawab Changyi
penuh semangat. “Kami akan berusaha sebaik-baiknya agar tidak mengecewakan
Jenderal”.
Jenderal Xu Da mengangguk.
“Kalau begitu bagus. Aku tidak bisa tinggal lama
di sini, karena aku harus pergi ke Karakorum
untuk membawa perintah dari Kaisar. Karena itu, hari ini juga kita akan
berangkat ke Yingtian dan aku akan memasukkan kalian ke sekolah calon prajurit
khusus itu” ujar Jenderal Xu Da lagi dengan nada tegas. “Kalian bersiap-siaplah
sekarang”.
“Baik Jenderal!” jawab Changyi. Tangannya terulur
meraih lengan Chen yang sejak tadi hanya diam tanpa mengeluarkan sepatah
katapun. “Ayo Adik Chen!”.
Namun, mendadak Chen menarik lengannya dari
genggaman tangan Changyi membuat remaja berwajah rupawan itu terkejut. Demikian
pula dnegan Jenderal Xu Da. Changyi menatap Chen dengan alis berkerut.
“Adik Chen…kenapa? Ayolah kita harus segera
bersiap-siap seperti yang diperintahkan oleh Jenderal pada kita” tanya Changyi.
Perlahan kepala Chen menggeleng membuat Changyi
yang telah bangkit dari duduknya dan berlutut di depan Jenderal Xu Da
terbelalak. Dan kemudian, sebelum Changyi sempat mengeluarkan sepatah kata,
Chen telah membungkuk di depan Jenderal Xu Da dengan wajah dipenuhi permohonan.
“Jenderal…saya mohon maafkanlah saya. Saya telah
berhutang budi demikian banyakpada Jenderal namun hari ini, saya tidak bisa
melaksanakan perintah Jenderal untuk ikut ke Yingtian dan menjadi prajurit.
Saya mohon kepada Jenderal, ijinkanlah saya untuk tetap tinggal di kuil ini dan
melayani para biksu. Karena saya sungguh merasa di sinilah tempat saya” ujar
Chen sambil bersujud.
Jenderal Xu Da termenung. Ia sama sekali tak
menyangka bahwa Chen akan mengucapkan penolakan terhadap niatnya membawa anak
tersebut ke Yingtian dan menjadi seorang prajurit. Dan meskipun sesungguhnya,
sejak awal Jenderal Xu Da memang telah merasakan bahwa Chen tidak memiliki
bakat untuk menjadi seorang prajurit dengan jiwa dan hatinya yang sangat halus,
namun melihat betapa Changyi sangat mencintai Chen dan selalu berusaha untuk
meindungi anak tersebut, maka Jenderal Xu Da menawarkan kepada mereka berdua.
Sesungguhnya, bila ia harus berkata jujur, sejak awal mula ia melihat dua anak
tersebut di desa dalam perjalanan pulang dari Kota Dadu dua tahun lalu, rasa
tertarik dalam hati Jenderal Xu Da hanya tertuju pada Changyi. Bilapun ia juga
membawa serta Chen maka itu hanya karena rasa kemanusiaan dalam hatinya melihat
keadaan Chen yang begitu kecil dan sangat kurus. Terlihat begitu lemah bila di
banding dengan Changyi yang meski juga kurus namun tubuhnya terlihat liat,
gesit dan lincah yang menggambarkan kesehatan tubuhnya. Terlebih lagi, sejak
awal pula, ia melihat bagaimana Chen sangat berarti bagi Changyi hingga membuat
anak tersebut rela menyediakan wajahnya di ujung mata pedang yang sangat tajam
demi melindungi Chen. Jika ia hanya mengambil Changyi maka sudah bisa di
pastikan bahwa anak tersebut tidak akan mau turut serta dengannya tanpa Chen.
Dan Jenderal Xu Da bukanlah seorang yang suka menggunakan kekuasaannya untuk
memaksakan kehendaknya.
Dan kini, mendadak Chen mengungkapkan
penolakannya. Jenderal Xu Da sedikit merasa bingung untuk mengungkapkan rasa
hatinya mendengar permohonan dari Chen. Haruskah ia senang? Atau…haruskah ia
kecewa?
“Tapi kenapa Adik Chen? Kenapa kau tidak mau
menjadi prajurit? Ini kesempatan baik untuk kita Adik Chen. Kita akan
mendapatkan pekerjaan yang baik” tanya Changyi sambil menyentuh bahu Chen.
Terlihat ia sedikit mengguncang Chen untuk memberikan keyakinan pada saudara
sehatinya tersebut.
“Kakak…maafkan aku. Tapi, aku sungguh-sungguh
tidak bisa menjadi prajurit. Aku sangat senang berada di sini. Mungkin, di
sinilah tempatku” jawab Chen sambil menatap Changyi dengan sorot sedih.
“Apa kau takut? Apa yang kau takutkan Adik Chen? Bukankah
ada aku? Aku akan melindungimu. Aku telah berkali-kali mengatakan padamu bahwa
aku akan melindungimu selama aku masih hidup. Jadi…kau tak perlu takut pada
apapun. Kau hanya perlu untuk percaya padaku” tutur Changyi masih dengan nada
membujuk.
Namun, Chen kembali menggeleng. Sebuah senyum
mengembang di bibirnya meski sama sekali tak menghilangkan sorot sedih di kedua
matanya.
“Kakak…Kakak pergilah dengan Jenderal dan
belajarlah dengan baik. Aku akan menunggu Kakak di sini. Jika sekarang aku ikut
dengan Kakak ke Yingtian, maka Kakak akan kesulitan untuk melindungiku dan juga
Kakak sendiri. Kakak juga akan sangat sulit untuk bisa belajar karena di sana,
Kakak harus membagi perhatian Kakak untuk melindungi dan terus menerus
memikirkanku. Tapi, jika aku tinggal di sini, maka Kakak akan lebih tenang
karena Bapak Tua dan semua biksu pasti akan melindungiku. Kakak tidak perlu
mencemaskan diriku” tutur Chen yang segera di benarkan oleh Jenderal Xu Da
dalam hatinya.
Changyi terdiam. Ia menyadari kebenaran yang
terkandung dalam kata-kata Chen, namun, bisakah ia berpisah dengan Chen? Mereka
belum pernah berpisah sebelumnya. Dan Changyi sungguh tak dapat membayangkan ia
akan hidup tanpa ada Chen di sisinya. Meski ia seringkali mengatakan bahwa ia
akan melindungi Chen, namun sejujurnya, Changyi merasa bahwa ia-lah yang
berlindung di balik keteduhan wajah Chen. Alasan mengapa ia bisa selalu tertawa
adalah karena setiap kali ia menatap Chen, maka ia mendapatkan ketenangan dan
keteduhan di wajah saudara sehatinya itu. Lalu, jika ia tinggal di Yingtian
sementara Chen di Kuil Bulan Merah, dapatkah ia menjalani hari-harinya?
Chen menatap Changyi sejenak sebelum kemudian
tangannya menyentuh tangan Changyi.
“Kakak…berangkatlah” ujar Chen. Kali ini dengan
nada yang lebih tegas dan yakin. “Aku yakin Kakak akan berhasil menjadi seorang
prajurit yang gagah. Dan saat itu, maka Kakak akan bisa melindungiku”.
“Apakah kau yakin dengan pilihanmu itu Chen?”
suara Jenderal Xu Da terdengar menyela setelah terdiam karena mturut
mendengarkan perbincangan di antara Changyi dan Chen. Sebuah rasa halus terasa
bergetar saat ia melihat sebesar apa kedekatan di antara dua anak yang mulai
menginjak remaja tersebut. Hal yang sangat sulit dirasakannya sebagai seorang
Jenderal besar yang telah kenyang dengan suasana pertempuran.
“Saya yakin Jenderal” jawab Chen pada Jenderal Xu
Da. “Tempat saya memang di sini, bersama para biksu. Tetapi Kakak, ia harus
keluar ke dunia ramai dan menggunakan kepandaiannya bagi orang banyak serta
sebagai pengabdian pada Yang Mulia Kaisar”.
Jenderal Xu Da tersenyum kemudian mengangguk.
Kenyataannya, ia memang tak bisa memaksa Chen untuk ikut dengannya. Ia bisa
melihat tekad di mata anak yang kini berumur dua belas tahun itu.
“Baiklah…jika itu keinginanmu. Belajarlah
sebaik-baiknya di sini karena mungkin suatu saat nanti Kaisar akan membutuhkan
kemampuanmu” ujar Jenderal Xu Da.
Chen membungkukkan tubuhnya dengan penuh hormat.
Terlihat kelegaan di matanya. Lega bahwa ternyata Jenderal Xu Da yang sangat
dihormatinya itu tak memaksakan kehendaknya padanya.
“Terima kasih Jenderal. Saya berjanji saya akan
belajar sebaik-baiknya” jawab Chen dalam sujudnya.
“Nah Changyi” lanjut Jenderal Xu Da beralih pada
Changyi yang tertunduk. “Bersiap-siaplah. Kita harus sudah sampai di Yingtian
sebelum matahari tenggelam”.
“Baik Jenderal” sahut Changyi dengan semangat yang
tak sehebat sebelumnya.
“Aku akan membantu Kakak berbenah” ujar Chen.
“Ayo?”
Kedua anak yang telah menginjak remaja tersebut
memberi hormat pada Jenderal Xu Da sebelum berlalu. Tak banyak barang-barang
yang dimiliki oleh Changyi, sehingga hanya dalam waktu singkat, ia telah siap
dengan satu buntalan berisi beberapa potong pakaian bersih serta sedikit
makanan kering yang dibungkus Chen untuknya. Biksu Tua menepuk bahu Changyi
saat remaja itu berlutut di depannya saat berpamitan. Tangan biksu yang halus
dan sejuk itu mengelus puncak kepala Changyi.
“Belajar dengan baik Changyi. Kau harus memenuhi
takdirmu menjadi seorang prajurit. Jangan pernah meninggalkan darma yang
mengajarkan pada kita tentang kesejatian hidup yang hakiki. Karena dari jalan
darma tersebut, kau akan selalu menemukan jawaban atas semua pertanyaan yang datang padamu, bahkan pertanyaan yang
paling sulit tentang kehidupan yang harus kau jalani. seberat apapun medan yang
harus kau lalui, kau akan selalu bisa melangkah dengan ringan karena darma akan
selalu mengajarkan padamu bahwa tak ada kesulitan apapun melainkan kau akan
mendapatkan kemudahan dengan bobot yang sama” pesan Biksu Tua di atas kepala
Changyi.
“Baik Guru, saya akan selalu mengingat pesan dari
Guru” jawab changyi sebelum kemudian bangkit berdiri.
Selanjutnya, setiap biksu di kuil tersebut tidak
dapat menahan diri untuk memeluk Changyi saat remaja yang sangat elok
tersebut mendekati mereka dan berpamitan. Beberapa biksu muda memeluk Changyi
dengan sepasang mata memerah mengalirkan airmata, hingga kemudian, Changyi
kembali ke hadapan Chen.
“Adik Chen, kau sungguh-sungguh tidak ingin ikut
denganku?” tanya Changyi sekali lagi, mencoba membujuk Chen.
Chen menggeleng, dengan gerakan kuat meski
sepasang matanya mulai memerah. “Kalau aku ikut dengan Kakak sekarang, maka aku
hanya akan memberatkan langkah Kakak. Tetapi, jika aku tinggal di sini, maka
nanti Kakak akan bisa membawaku ke mana saja”.
Changyi menghela nafas panjang untuk menghalau
kabut yang merayapi hatinya. Bibirnya tersenyum dengan ekspresi gembira
menampakkan deretan gigi yang putih cemerlang dan berkilau.
“Kalau begitu, tunggulah aku di sini. Aku tidak
akan lama, dan aku pasti akan kembali untuk menjemputmu. Ingat selalu
kata-kataku ini. Selama aku masih hidup, aku akan selalu melindungimu dan kita
akan selalu bersama, karena kau adalah satu-satunya keluargaku” ujar Changyi.
Chen mengangguk untuk kali ini.
“Aku tahu, aku akan mengingatnya” jawab Chen
pelan. Airmata kini sudah jatuh di pipi anak remaja berusia dua belas tahun
tersebut.
Sementara Jenderal Xu Da dan Tamtama Bohai telah
selesai berpamitan pada Biksu Tua dan semua biksu lain dan kini, sang jenderal
besar tersebut telah berada di sisi kuda hitamnya. Changyi berjalan menuju ke
arah Jenderal Xu Da dan Tamtama Bohai.
“Duduklah di belakangku” perintah Jenderal Xu Da
saat Changyi telah sampai di depannya. Jenderal Xu Da kemudian segera naik ke
atas kuda hitamnya yang sangat besar dan gagah. Sementara Tamtama Bohai segera
menaiki kuda coklatnya yang terlihat takut untuk berada lebih dekat dengan kuda
hitam sang panglima besar. Sejenak,
Changyi menatap kuda hitam yang pernah diurusnya dua tahun lalu. Sepasang mata
kuda hitam yang terlihat sangat galak dan sangar tersebut menatap Changyi
dengan penuh selidik. Sepasang kaki depannya bergerak waspada sementara
hidungnya mengeluarkan suara dengusan keras. Tamtama Bohai menatap dengan
cemas. Jika kuda Jenderal Xu Da yang angker tersebut menolak untuk membawa
Changyi di punggungnya, maka kuda itu pasti akan segera menyerang Changyi
dengan kaki-kakinya yang terkenal karena memiliki kekuatan yang bisa
menjebolkan dinding.
Namun, sesaat berlalu sementara Changyi dan kuda
hitam sang jenderal saling berpandangan. Changyi mengurai senyum dan bibirnya
mengerucut. Kemudian, sebuah siulan kecil dan halus keluar dari bibir Changyi.
Hanya sebuah siulan ringan, namun mendadak, kaki depan kuda yang telah membawa
Jenderal Xu Da di punggungnya itu tak lagi bergerak dengan waspada. Dengusan
keras dari hidung yang menandakan kemarahan sang kuda menghilang dan
selanjutnya, kuda hitam itu meringkik keras, kepalanya yang berhias rambut
panjang bergerak-gerak dengan sibuk, mengibaskan rambutnya ke arah Changyi dan
selanjutnya, ketika Changyi mengulurkan tangan kanannya, sang kuda hitam itu
menjulurkan lidahnya yang panjang dan menjilat telapak tangan Changyi sepasang
telinga dan kepalanya masih bergerak-gerak, namun kini gerakannya terlihat
jenaka dan manja membuat Tamtama Bohai terpana sementara Jenderal Xu Da yang
telah duduk di atas punggung kudanya tersenyum.
“Dia sudah mengingatmu, sekarang naiklah” perintah
Jenderal Xu Da pada Changyi.
Changyi mengangguk. “Baik Jenderal”.
Tak ada kesulitan saat Changyi melompat naik ke
atas punggung kuda hitam sang jenderal. Tubuhnya melenting tinggi hanya dalam
satu kali menjejakkan kakinya ke tanah. Dan selanjutnya, kuda hitam itu mulai
bergerak saat Jenderal Xu Da mengibaskan tali kekang yang dipegangnya. Changyi
menoleh ke belakang, dan melihat Chen berdiri di sisi Biksu Tua sementara para
biksu lainnya berjajar di kiri dan kanan mereka berdua. Dengan jelas ia dapat
aliran air mata di pipi Chen. Changyi mengangkat tangannya dan membalas
lambaian tangan Chen. Ia mencoba tersenyum lebar meski sesungguhnya, Changyi
merasa dadanya seperti penuh oleh beban
yang menyesakkan. Kemudian, saat Jenderal Xu Da mulai memacu si hitam
untuk berlari, Changyi melihat Chen turut berlari meninggalkan gerbang kuil,
berlari dan terus berlari membuat dada Changyi serasa hendak pecah. Hingga
kemudian, pada satu tikungan jalan, Chen berhenti dan hanya berdiri sambil
terus melambai. Changyi menggigit bibir bawahnya sementara kedua matanya terasa
memanas. Pandangannya masih terus menatap ke belakang, pada sosok Chen yang
semakin terlihat mengecil hingga akhirnya sosok Chen menghilang, terhalang oleh
batang-batang pohon yang tinggi.
“Berpeganglah padaku!” perintah Jenderal Xu Da
dengan suara yang keras.
“Baik Jenderal” sahut Changyi sambil memegang
pinggang Jenderal Xu Da, pada ikat pinggangnya yang kuat. Selanjutnya, Jenderal
Xu Da menggebrak kuda hitamnya dengan keras dan kuda besar yang sangat kuat itu
melesat dengan sangat cepat, meninggalkan Tamtama Bohai di atas kuda coklatnya
semakin jauh di belakang. Meninggalkan bukit Bulan Merah dengan kuil yang telah
menaungi Changyi selama dua tahun hingga hari ini. Meninggalkan seorang anak
remaja yang menangis tersedu-sedu di atas jalan tanah berdebu setelah
kehilangan satu-satunya kakak yang selalu melindunginya.
Changyi melihat bayangan pohon-pohon seperti
berlari dengan kecepatan tinggi menuju arah yang berlawanan dengan dirinya.
Daun-daun pohon tak lagi terlihat dengan jelas karena cepatnya si hitam
berlari. Ia telah merawat kuda yang luar biasa tersebut namun belum pernah
sekalipun ia naik ke atas punggungnya, dan kini, untuk pertama kalinya ia merasakan
kehebatan si Hitam saat berlari. Dan seiring angin keras yang menerpa wajahnya
dan menyibak helai-helai rambut di dahinya, Changyi kembali
merasakan semangatnya meledak berkobar-kobar. Rasa sesak di dada yang dirasakannya saat
melihat Chen menangis lenyap dan hilang oleh kekuatan si Hitam yang membawanya
menuju masa kehidupan barunya yang menanti.
Era yang penuh dengan kejayaan….
Dan sekaligus tragedi….
(bersambung ke Episode 3)
(bersambung ke Episode 3)
**************
Tidak ada komentar:
Posting Komentar