Jumat, 20 Maret 2015

Straight - Episode 2 ( Bagian Tujuh )


Jenderal Xu Da melangkah ke arah para biksu yang berdiri berjajar di depan gerbang. Satu dari para biksu tersebut adalah seorang biksu yang berusia sekitar tujuh puluh tahun, berwajah dan berkulit sangat halus. Wajahnya sangat jernih melebihi kejernihan embun di pagi hari. Dialah Kepala Biksu di Kuil Bulan Merah. Jenderal Xu Da menghampiri lelaki tua yang terlihat sangat segar di usia tujuh puluh tahun itu dan memberi hormat.
“Selamat datang Jenderal Xu Da” sapa Biksu Tua sambil membungkuk untuk membalas penghormatan sang panglima besar di depannya. Sepasang tangannya tertangkup di depan dada.
“Apa kabar Guru?” tanya Jenderal Xu Da membalas sapaan Biksu Tua.
Biksu Tua tersenyum mengerti. Tubuhnya menegak dan satu tangannya melambai ke arah kuil.
“Silahkan masuk Jenderal. Changyi sedang mengambil kayu bakar dan air di bawah bukit sedangkan Chen sedang memasak untuk makan siang” jawab Biksu Tua membuat Jenderal Xu Da tertawa saat mendengar kalimat Biksu Tua.
Niat hatinya datang ke Kuil Bulan Merah inipun ternyata telah terbaca.
“Terima kasih Guru” sahut Jenderal Xu Da sambil berjalan di sisi Biksu Tua memasuki kuil sementara Tamtama Bohai berjalan di belakang Jenderal Xu Da bersama beberapa biksu yang lain.
“Apakah mereka belajar dengan baik di sini Guru?” tanya Jenderal Xu Da setelah keduanya duduk di ruang depan kuil.
Biksu Tua tersenyum.
“Mereka adalah anak-anak yang istimewa Jenderal. Anda sungguh beruntung karena telah menemuka keduanya. Mereka berdua sangat cerdas dan belajar dengan sangat cepat meskipun keduanya memiliki jalur yang berbeda” jawab Biksu Tua.
Jenderal Xu Da mengerutkan alisnya. Kepalanya menatap Biksu Tua.
“Berbeda jalur? Apa maksud guru dengan berbeda jalur?” tanya Jenderal Xu Da kemudian.
Biksu Tua mengangguk.
“Berbeda jalur karena bakat-bakat kedua anak itu ternyata sangat berbeda. Changyi sangat berbakat dalam ilmu beladiri, ilmu peperangan, menata dan mengatur strategi perang serta ketrampilan menggunakan berbagai jenis senjata. Sedangkan Chen, meskipun ia memiliki bakat dan kecerdasan yang sangat baik dalam belajar beladiri, tapi anak tersebut lebih suka memasak, bercocok tanam, membaca filsafat dan berdoa. Karena itulah, kami memberi mereka tugas yang berbeda untuk dikerjakan setiap hari. Changyi bertugas mencari kayu bakar dan  mengisi guci-guci tempat air. Sedangkan Chen mendapat tugas untuk memasak bersama juru masak kami di dapur, serta merawat kebun sayur miliknya di belakang kuil” jelas Biksu Tua.
Sepasang mata Jenderal Xu Da terlihat sedikit membesar. Ini sungguh tak terbayangkan dalam benaknya. Namun, mendengar penjelasan Biksu Tua tentang bakat-bakat Changyi membuat Jenderal Xu Da merasa senang. Sejak awal, ia telah melihat bakat tersebut dalam diri Changyi dari kekuatan dan kelenturan tubuhnya. Namun, ia sama sekali tak menduga bahwa Changyi akan memiliki kemampuan dalam olah senjata, menata dan mengatur strategi perang dan bahkan anak itu menyukai ilmu tentang peperangan. Mendadak, sebuah pemikiran berkelebat dalam benaknya. Datang secepat kilat dan ia merasa sangat senang dengan pemikiran tersebut.
“Guru, bisakah saya bertemu dengan mereka?” tanya Jenderal Xu Da. “Ada hal yang ingin saya sampaikan pada mereka”.
“Tentu saja Jenderal. Mohon Jenderal tunggu sebentar” jawab biksu tua sambil membungkuk hormat sebelum kemudian berdiri menuju ke salah satu biksu yang duduk menunggu tak jauh dari tempatnya berbincang dengan Jenderal Xu Da. Sejenak kemudian, biksu setengah baya yang tampaknya diperintahkan untuk memanggil Changyi dan Chen telah beranjak pergi.
Dan kemudian, ketika Changyi dan Chen telah duduk menghadap, Jenderal Xu Da segera membenarkan apa yang dikatakan oleh sang biksu tua. Dua tahun berlalu dan kini, dua anak yang dulu dititipkannya telah berubah menjadi dua remaja yang kokoh. Tulang-tulang yang bertonjolan di sekitar dada, rusuk, tangan dan kaki mereka tak lagi terlihat dan berganti dengan tubuh kuat, liat dan segar. Wajah keduanya juga terlihat semakin berbinar oleh rasa gembira yang mereka rasakan. Tampaknya, kehidupan di kuil ini telah memberikan hal yang sungguh-sungguh baik pada keduanya.
Jenderal Xu Da menatap dua remaja yang ada di depannya dengan seksama dan melihat perbedaan yang nyata di antara Changyi dan Chen, persis seperti yang diungkapkan oleh Biksu Tua.
Changyi kini telah menjadi remaja yang luar biasa. Wajahnya bersinar cemerlang dan mengisyaratkan kehidupan yang sungguh-sungguh hidup. Sepasang matanya terlihat begitu berbinar oleh keceriaan yang tampak nyata. Sementara tubuhnya kini tinggi dan gagah untuk ukuran remaja seusianya. Tak ada lagi lengan-lengan kecil yang dulu menaklukkan keberingasan kuda hitamnya. Yang terlihat kini adalah Changyi dengan sepasang lengan yang kokoh, dengan otot-otot liat, terlatih dengan baik di balik kulitnya yang halus dan bersih cemerlang dalam warna yang lebih gelap di banding warna kulit pada umumnya yang putih bersih. Meskipun, warna kulit Changyi yang lebih gelap tersebut justru semakin menonjolkan kesempurnaan sosoknya yang rupawan dan maskulin. Jenderal Xu Da memandang ke arah Changyi dan menemukan sepasang mata remaja tersebut yang juga tengah memandang ke arahnya. Dan Jenderal Xu Da segera merasakan sebuah kekuatan yang seolah hendak menundukkannya dari sepasang mata yang sesungguhnya merupakan mata paling indah yang pernah di lihat oleh Jenderal Xu Da. Changyi kini bukan hanya tampan namun telah menjelma menjadi seorang remaja yang elok rupawan seperti sebongkah permata yang utuh sempurna tanpa cela. Seperti sesosok dewa yang menjelma menjadi manusia tanpa mampu menyamarkan keelokan aslinya sebagai sang dewa keindahan. Jenderal Xu Da merasa, andai Changyi keluar dari kuil ini dan masuk ke dunia luar, maka kehadirannya pasti akan segera menjadi pusat perhatian terutama dari kaum wanita dan gadis-gadis muda. Keindahan seorang Changyi masih di tambah lagi dengan bibirnya yang merah segar dan selalu mengembangkan senyum gembira berhias sepasang lesung pipi serta sepasang mata yang berbinar ceria. Sepertinya, Changyi memang terlahir dari jelmaan sang matahari pagi.
Kemudian, pandangan Jenderal Xu Da beralih pada Chen dan sepasang alis sang panglima besar itu berkerut saat menatap ketenangan di wajah anak tersebut. Meskipun kini tubuh Chen telah pula berkembang menjadi kokoh dan kuat, namun secara menyeluruh sosoknya sangat berbeda dengan Changyi. Chen berwajah tampan dengan kulit putih bersih dan agak pucat – berbeda dengan Changyi yang memiliki kulit gelap namun bersinar cemerlang – namun ketampanan anak itu diselimuti oleh ketenangan yang teduh. Jenderal Xu Da merasa sangat sulit untuk menebak hal apa yang tengah dipikirkan oleh anak tersebut sebab kedua mata Chen seperti sebuah telaga yang sangat dalam. Ia  bahkan tak bisa memasatikan, apakah Chen merasa senang atau tidak dengan kedatangannya ke kuil ini untuk menengok mereka berdua. Satu-satunya yang terlihat dari wajah Chen hanyalah ketenangan yang teduh, seperti padang rumput hijau yang tenang, sunyi namun tidak menakutkan. Seperti malam yang tenang dengan sinar bulan purnama yang lembut dan sejuk. Seperti sebuah kedalaman yang menghanyutkan namun tidak menghancurkan.
Jenderal Xu Da menarik nafas panjang sebelum kemudian mulai membuka suara.
“Bagaimana keadaan kalian?” tanya Jenderal Xu Da membuka kalimatnya.
Changyi dan Chen membungkuk memberi hormat pada Jenderal Xu Da. Keduanya tersenyum.
“Kami sangat baik Jenderal” sahut Changyi mewakili dirinya dan Chen. “Terima kasih Jenderal telah datang menengok kami di sini”.
Jenderal Xu Da menggumam pelan tanpa kata. Kepalanya mengangguk.
“Guru Biksu telah mengatakan padaku tentang pelajaran bela diri yang telah kalian jalani. Tunjukkan padaku” perintah Jenderal Xu Da kemudian.
Changyi dan Chen saling pandang sejenak. Terlihat sedikit keraguan di mata Chen, namun kemudian, ia mengangguk saat Changyi lebih dulu menganggukkan kepala dengan penuh semangat.
“Baik Jenderal” sahut Changyi dan Chen.
Dan selanjutnya, halaman tengah Kuil Bulan Merah segera menjadi ramai oleh gerak jurus Changyi dan Chen yang memperagakan kemampuan beladiri mereka. Jenderal Xu Da memperhatikan dari tempatnya berdiri bersama dengan sang biksu tua. Sepasang matanya meneliti dengan jeli. Terlihat kilau senang saat ia melihat bahwa dua remaja itu memiliki gerak yang sangat gesit, lincah, cepat dengan tenaga pukulan dan tendangan yang kuat. Lagi-lagi, ada perbedaan antara Changyi dan Chen yang tertangkap dalam pandangan Jenderal Xu Da. Changyi memiliki gerak yang sangat gesit penuh tenaga. Tubuhnya berputar, menerjang dan melompat dengan sangat indah seperti sebuah tarian yang mempesona namun menebar maut. Raut wajahnya yang berbinar penuh cahaya justru  membuat setiap jurus yang dilakukannya seperti tak mungkin untuk dielakkan.
Sementara Chen terlihat bergerak dengan kelenturan tubuh yang sangat bagus. Jenderal Xu Da melihat bahwa gerakan Chen sangat ringan dan terlihat sepele, namun, dari setiap helai daun dan rumput yang bergeletar oleh tiupan angin yang berhembus dari gerakannya, sang jenderal besar itu mengerti bahwa setiap gerakan sepele yang dilakukan oleh Chen sesungguhnya mengandung unsure tenaga yang sangat kuat dan mematikan. Selain dari itu, gerak tubuh Chen terlihat sangat lambat bila di bandingkan dengan Changyi yang menderu seperti angin topan. Namun, meski gerakan Chen terlihat lambat, tetapi gerak jurusnya dapat segera berubah hanya dalam sepersekian detik saja sehingga, dalam pertarungan yang nyata, lawan akan sulit untuk memperkirakan jurus-jurus Chen terlebih menghindari atau sekedar menghadangnya.
Hingga beberapa saat Jenderal Xu Da memperhatikan Changyi dan Chen memperagakan kemampuan beladiri mereka hingga kemudian…
“Tamtama Bohai!” panggil Jenderal Xu Da pada Tamtama Bohai yang berdiri tak jauh darinya bersama beberapa biksu muda.
Tamtama Bohai segera berlari mendekat pada Jenderal Xu Da, membungkuk hormat dan berdiri dengan sikap tegak.
“Ya Jenderal!” jawab Tamtama Bohai.
“Uji mereka” perintah Jenderal Xu Da sambil menunjuk ke arah Changyi dan Chen.
“Baik Jenderal” sahut Tamtama Bohai sambil membungkuk hormat kemudian melompat ke arah Changyi dan Chen.
Changyi dan Chen terkejut dan sesaat gerakan mereka terhenti. Reaksi berbeda segera terlihat dari Changyi dan Chen. Changyi terlihat penuh semangat dan rasa percaya diri. Remaja itu segera menempatkan diri di depan Tamtama Bohai yang telah berdiri di tengah arena sementara Chen justru tetap berdiri di tempatnya dan tidak bergerak sama sekali. Jenderal Xu Da yang melihatnya terlihat berkerut.
“Chen, kenapa kau tidak menempatkan dirimu?” tanya Jenderal Xu Da pada Chen.
Chen menoleh ke arah Jenderal Xu Da dan kemudian membungkuk penuh hormat. Sepasang tangannya tertangkup di depan dada.
“Maafkan saya Jenderal, saya sungguh tidak bermaksud melawan perintah Jenderal. Namun, saya tidak berani melawan Tuan Prajurit Bohai, karena kemampuan saya masih sedangkal air di genangan parit. Mohon maafkan saya Jenderal” sahut Chen dengan suara lembut dan santun.
Jenderal Xu Da tercenung sesaat. Meski ia bisa melihat bahwa sesungguhnya Chen memiliki kemampuan luar biasa dalam gerak beladirinya yang sedikit aneh, namun ia bisa mengerti bahwa remaja itu mungkin memang merasa takut. Bukankah sejak ia menemukannya dua tahun yang lalu, Chen memang adalah anak yang penakut?.
“Baiklah…” ujar Jenderal Xu Da kemudian. “Biar Changyi yang melawan Tamtama Bohai. Kalian mulailah!”.
Tamtama Bohai dan Changyi membungkuk ke arah Jenderal Xu Da dan Biksu Tua yang berdiri berdampingan. Dan selanjutnya, keduanya mulai berlaga. Tamtama Bohai menyerang Changyi perlahan pada saat awal sekedar untuk menjajagi. Kemudian, ketika dalam jurus-jurus awal pemuda perparas elok tersebut dapat dengan mudah menghindar, menangkis dan  bahkan membalas serangannya, Tamtama Bohai mulai meningkatkan serangannya, kini semakin cepat dan bertenaga. Changyi sendiri terlihat bersungguh-sungguh dalam menghadapi setiap serangan dari Tamtama Bohai. Tubuhnya sesaat melenting tinggi untuk mekmudian turun sambil menyarang satu tendangan balasan ke arah prajurit kepercayaan Jenderal Xu Da tersebut. Tamtama Bohai melompat mundur beberapa tapak ke belakang untuk menghindari tendangan kaki Changyi yang mengarah ubun-ubunnya, namun hanya sedetik setelah serangan kaki Changyi lewat, tangan kanan prajurit yang gagah itu telah melesat ke depan mengirimkan satu tusukan keras dan tajam ke arah sepasang mata Changyi yang indah berkilau. Changyi tidak melompat mundur ke belakang untuk menghindari serangan  Tamtama Bohai yang dapat memecahkan bola matanya tersebut. Namun tubuhnya merunduk ke belakang dengan gerakan lentur yang sangat indah hingga tangan sang prajurit lewat hanya beberapa senti dari ujung hidungnya yang mancung dan tinggi kemudian, sebelum Tamtama Bohai sempat menarik pulang tangannya, dua tangan Changyi telah melesat ke atas dan menjerat tangan Tamtama Bohai dalam satu kuncian yang kuat. Tamtama Bohai terlihat sangat terkejut. Ia tak bisa menarik tangan kanannya begitu saja karena kuncian jemari Changyi menyekap tangannya dengan kekuatan yang mencekat seperti capit besi hingga sampai ke tulang. Jika ia menarik tangannya sebelum Changyi melepaskan kunciannya,  maka ia akan mendapatkan lengannya dengan tulang yang patah dan hancur. Karena itu, Tamtama Bohai tak memiliki pilihan lain selainmelakukan serangan dengan kakinya dan di arahkan ke sisi rawan tubuh Changyi di perut bawahnya. Changyi menggunakan kakinya untuk menangkis serangan sementara tangannya masih menjerat tangan kanan Tamtama Bohai. Kini, pertarungan jarak dekat dengan kaki terjadi dengan sengit. Lantai halaman yang terbuat dari lempengan-lempengan batu yang di tata dengan rapi terlihat berderak dan bahkan kemudian, tepat pada bagian di mana Changyi dan Tamtama Bohai menghentak dan menjejak dalam pertarungan jarak dekat mereka, lempengan batu yang berada di bawah mereka telah pecah berkeping-keping, memperlihatkan tanah terbuka di bawahnya yang segera pula berhamburan oleh hentakan-hentakan dua pasang kaki yang penuh tenaga dan saling menyerang, saling menangkis dan mengincar kelemahan lawan. Debu tebal mulai membubung tinggi  dari tanah yang berhamburan di bawah Changyi dan Tamtama Bohai.
“Cukup!!” mendadak terdengar teriakan dari Jenderal Xu Da membuat Changyi seketika melepaskan jeratan pengunci pada tangan kanan Tamtama Bohai dan melompat surut ke belakang sementara Tamtama Bohai yang telah terlepas dari kuncian Changyi segera pula memperbaiki posisi tubuhnya, berdiri tegak dan siap. Terlihat jelas keringat yang memercik di dahi Changyi sementara Tamtama Bohai terlihat basah oleh keringat yang mengalir dari leher dan pelipisnya.
Kedua orang yang gagah itu segera membungkuk memberi hormat pada Jenderal Xu Da.
“Sudah cukup! Aku sudah melihat sejauh mana kemampuan Changyi. Prajurit Bohai…kembali ke tempatmu!” perintah Jenderal Xu Da pada tamtama kepercayaannya. “Dan kau Changyi, kemarilah, aku ingin bicara denganmu dan Chen”.
“Baik Jenderal” sahut Changyi dan  Tamtama Bohai serempak.
Jenderal Xu Da berbalik danmelangkahpergi disertai oleh Biksu Tuan dan kembali duduk di ruang depan kuil sementara Changyi menyusul tak lama kemudian. Remaja itu duduk di depan Jenderal XU Da dan Biksu Tua dengan wajah yang terlihat segar. Sepertinya, Changyi sempat mencuci mukanya sesaat sebelum menyusul Jenderal Xu Da.
“Di mana Chen?” tanya Jenderal Xu Da saat ia tak melihat kehadiran Chen di sisi Changyi.
“Chen sedang menyiapkan makanan di dapur Jenderal. Sekarang sudah saatnya untuk makan siang dan kami berharap Jenderal Xu Da akan menikmati  makan siang bersama dengan kami. Saya telah menyuruh Chen untuk menyiapkan makan siang bagi Jenderal Xu Da saat Chanyi dan Prajurit Bohai tengah bertanding” Biksu Tua membuka suara memberikan penjelasan.
Jenderal Xu Da manggut-manggut. Dan sebelum ia sempat menanggapi penjelasan dari Biksu Tua, Chen telah muncul di iringi beberapa biksu muda dengan nampan besar di tangan mereka.
“Nah Jenderal Xu Da, tampaknya makan siang Anda telah siap” ujar Biksu Tua dengan wajah cerah. Kepalanya menoleh pada Changyi. “Bantu adikmu menata hidangan untuk Jenderal di atas meja”.
Changyi mengangguk dengan senyum di wajahnya.
“Baik Guru” sahutnya sambil bangkit dari duduknya dan menerima nampan besar dari dua biksu muda di belakang Chen sementara Chen dengan cekatan menata mangkuk-mangkuk kayu di atas meja di depan Jenderal Xu Da.
Sang jenderal kesayangan Kaisar Hongwu menatap hidangan yang ditata oleh Chen. Terdapat banyak jenis masakan di atas meja meski kesemuanya merupakan jenis-jenis makanan sederhana yang tidak akan terhidang di rumah seorang panglima besar seperti Jenderal Xu Da, terlebih di istana. Tatapan Jenderal Xu Da tertarik pada semangkuk besar nasi yang putih dan menebarkan aroma yang wangi. Wangi yang sangat berbeda dengan keharuman nasi yang biasa ia temukan di istana. Nasi yang mengepulkan uap panas tersebut menebar aroma seolah terdapat bumbu rempah di dalamnya. Namun, tidak terdapat sebutirpun rempah di antara butir-butir nasi yang putih bersih. Selain dari nasi yang menebarkan aroma wangi yang berbeda tersebut, hidangan lainnya adalah bermacam-macam sayuran dalam berbagai bentuk olahan, semangkuk kue kukus dan kue panggang yang Jenderal Xu Da tak tahu namanya.
“Silahkan Jenderal” Chen mempersilahkan Jenderal Xu Da begitu ia selesai menata semua hidangan di atas meja. Setelah meletakkan sepasang sumpit di sisi mangkuk sang jenderal, Chen segera beringsut mundur dan duduk di sisi Changyi yang telah lebih dulu surut ke belakang dan duduk dengan tenang.
“Benar Jenderal…silahkan” sambung Biksu Tua sambil tersenyum
Jenderal Xu Da mengangguk dan membalas senyum Biksu Tua. Sekali lagi pandangannya beredar pada semua hidangan di atas meja yang dalam perkiraannya terdapat lebih dari lima belas macam masakan.
“Guru, bagaimana mungkin saya dapat menghabiskan makanan ini sendiri? Ini begitu banyak” jawab Jenderal Xu Da sambil tertawa kecil. Kemudian tangannya mengambil sebuah mangkuk kosong lain dan menyodorkan mangkuk tersebut pada Biksu Tua. “Saya akan memakan hidangan ini bila Guru menemani saya. Silahkan Guru”.
Sang Biksu Tua tertawa dengan suaranya yang halus. Namun, kemudian, tangannya mengambil mangkuk kosong yang di sodorkan oleh Jenderal Xu Da.
“Silahkan Jenderal” jawab Biksu Tua yang kemudian mengambil sedikit nasi dari dalam mangkuk besar menggunakan sendok kayu yang telah disediakan oleh Chen.
Jenderal Xu Da mengambil mangkuknya dan bersiap mengisinya dengan sepotong sawi hijau. Namun, gerakannya terhenti dan kepalanya menoleh ke arah Changyi dan Chen yang duduk sambil menundukkan wajahnya.
“Chen?” panggil Jenderal Xu Da kemudian.
Chen terkejut dan seketika mengangkat mukanya untuk menatap sang jenderal besar.
“Ya Jenderal?” jawab Chen.
“Kenapa kau tidak mengambil mangkuk-mangkuk lain dan kita makan bersama-sama? Berikan juga pada Prajurit Bohai di luar serta semua biksu. Akan lebih baik jika kita makan bersama-sama” ujar Jenderal Xu Da memberikan perintahnya pada Chen. “Changyi, bantulah Chen mengambil makanan untuk semua biksu dan Prajurit Bohai”.
“Baik Jenderal” sahut Chen dan Changyi sebelum kemudian bangkit berdiri setelah memberi hormat.
Jenderal menyuap nasi putih yang menebarkan aroma rempah dan alisnya berkerut sesaat. Pandangannya beralih pada Biksu Tua.
“Guru, juru masak di kuil ini memiliki kemampuan yang sangat baik dalam memasak” ujar Jenderal Xu Da membuat Biksu Tua mengangkat wajahnya dari mangkuk yang dipegangnya.
“Jenderal, semua hidangan ini, Chen yang memasaknya. Dulu, saat pertama kali Chen datang ke kuil ini, ia hanya membantu pekerjaan biksu yang menjadi juru masak di dapur. Tapi, sudah lebih dari setahun Chen menggantikan tugas sebagai juru masak” sahut Biksu Tua dengan suara halus.
Jenderal Xu Da tercenung sesaat hingga kemudian, Changyi kembali duduk di tempatnya bersama dengan Chen setelah memberi hormat pada sang jenderal. Di depan Changyi telah terdapat sebuah nampan kecil berisi mangkuk nasi dan tiga mangkuk lain berisi sayuran. Sementara Chen duduk dengan tenang di sisi Changyi. Tak terlihat sebuah nampan berisi mangkuk nasi maupun sayuran.
“Chen, di mana makananmu? Mengapa kau tidak makan?” tegur Jenderal Xu Da.
Chen membungkuk hormat sebelum menjawab.
“Silahkan Jenderal. Saat bagi saya makan masih nanti” sahut Chen dengan nada yang sopan.
“Kenapa begitu? Bukankah lebih baik jika kau makan bersama-sama dengan yang lain?” desak Jenderal Xu Da membuat Chen terlihat agak kikuk.
Changyi melirik ke arah Chen sesaat dan mengangkat wajahnya ke arah Jenderal Xu Da.
“Jenderal, Adik Chen hanya makan akar” ucap Changyi membuat Jenderal Xu Da berkerut.
“Makan akar?” tanya Jenderal Xu Da.
Biksu Tua yang telah lebih dulu selesai menyantap nasi dalam mangkuknya meletakkan mangkuknya yang telah kosong dan menghela nafas sejenak.
“Itu benar Jenderal. Chen hanya memakan akar-akar tumbuhan. Karena itu, dia selalu makan paling akhir setelah yang lain. Dia tidak pernah memakan makanan yang dimasaknya” tutur Biksu Tua sambil tersenyum.
“Sungguh aneh. Kau memasak semua hidangan untuk orang lain tapi kau tidak memakan hasil masakanmu sendiri” tutur Jenderal Xu Da yang disambut Chen dengan menundukkan wajahnya.
Selanjutnya, tak banyak lagi pembicaraan di ruang depan kuil tersebut. Jenderal Xu Da menyantap hidangan di depannya dengan lahap sementara Chen melayani sang panglima besar itu. Hingga kemudian, saat Jenderal Xu Da telah selesai bersantap, Chen segera menyisihkan semua mangkuk dan piring yang kotor kembali ke dapur. Biksu Tua dengan sengaja meninggalkan sang jenderal bersama dengan Changyi dan Chen seolah mengerti bahwa untuk selanjutnya, apa yang akan dikatakan oleh Jenderal Besar Xu Da adalah perihal kehidupan dua anak yang telah menginjak remaja tersebut.
Jenderal Xu Da menunggu hingga Chen kembali dari dapur dan duduk di sisi Changyi.
“Aku ingin kalian ikut denganku kembali ke Yingtian” kata Jenderal Xu Da pada Changyi dan Chen.
Changyi dan Chen terlihat terkejut. Sejenak keduanya saling pandang.
“Kaisar Ming Tai Zhu telah membuat sekolah prajurit yang mendidik calon-calon prajurit khusus kaisar. Pada saatnya, prajurit khusus tersebut akan menjadi prajurit penjaga kaisar dan keluarga kaisar. Aku telah melihat kemampuan kalian berdua dalam beladiri dan karena itu, aku ingin memasukkan kalian ke sekolah prajurit khusus tersebut. Saat ini, sekolah tersebut telah memulai menerima calon-calon prajurit baru dan setiap calon prajurit akan di pilih melalui pengujian terhadap kemampuan baik beladiri maupun pengetahuan. Aku sangat yakin bahwa kalian akan bisa melalui ujian tersebut dengan hasil yang baik. Apakah kalian sanggup?” tutur Jenderal Xu Da memberikan penjelasan dan diakhiri dengan sebuah tanya langsung pada Changyi dan Chen.
Changyi mengangkat wajahnya yang cemerlang dan menatap sang jenderal dengan sepasang mata yang berbinar-binar.
“Tentu saja kami sanggup Jenderal!” jawab Changyi penuh semangat. “Kami akan berusaha sebaik-baiknya agar tidak mengecewakan Jenderal”.
Jenderal Xu Da mengangguk.
“Kalau begitu bagus. Aku tidak bisa tinggal lama di sini, karena aku harus pergi ke Karakorum  untuk membawa perintah dari Kaisar. Karena itu, hari ini juga kita akan berangkat ke Yingtian dan aku akan memasukkan kalian ke sekolah calon prajurit khusus itu” ujar Jenderal Xu Da lagi dengan nada tegas. “Kalian bersiap-siaplah sekarang”.
“Baik Jenderal!” jawab Changyi. Tangannya terulur meraih lengan Chen yang sejak tadi hanya diam tanpa mengeluarkan sepatah katapun. “Ayo Adik Chen!”.
Namun, mendadak Chen menarik lengannya dari genggaman tangan Changyi membuat remaja berwajah rupawan itu terkejut. Demikian pula dnegan Jenderal Xu Da. Changyi menatap Chen dengan alis berkerut.
“Adik Chen…kenapa? Ayolah kita harus segera bersiap-siap seperti yang diperintahkan oleh Jenderal pada kita” tanya Changyi.
Perlahan kepala Chen menggeleng membuat Changyi yang telah bangkit dari duduknya dan berlutut di depan Jenderal Xu Da terbelalak. Dan kemudian, sebelum Changyi sempat mengeluarkan sepatah kata, Chen telah membungkuk di depan Jenderal Xu Da dengan wajah dipenuhi permohonan.
“Jenderal…saya mohon maafkanlah saya. Saya telah berhutang budi demikian banyakpada Jenderal namun hari ini, saya tidak bisa melaksanakan perintah Jenderal untuk ikut ke Yingtian dan menjadi prajurit. Saya mohon kepada Jenderal, ijinkanlah saya untuk tetap tinggal di kuil ini dan melayani para biksu. Karena saya sungguh merasa di sinilah tempat saya” ujar Chen sambil bersujud.
Jenderal Xu Da termenung. Ia sama sekali tak menyangka bahwa Chen akan mengucapkan penolakan terhadap niatnya membawa anak tersebut ke Yingtian dan menjadi seorang prajurit. Dan meskipun sesungguhnya, sejak awal Jenderal Xu Da memang telah merasakan bahwa Chen tidak memiliki bakat untuk menjadi seorang prajurit dengan jiwa dan hatinya yang sangat halus, namun melihat betapa Changyi sangat mencintai Chen dan selalu berusaha untuk meindungi anak tersebut, maka Jenderal Xu Da menawarkan kepada mereka berdua. Sesungguhnya, bila ia harus berkata jujur, sejak awal mula ia melihat dua anak tersebut di desa dalam perjalanan pulang dari Kota Dadu dua tahun lalu, rasa tertarik dalam hati Jenderal Xu Da hanya tertuju pada Changyi. Bilapun ia juga membawa serta Chen maka itu hanya karena rasa kemanusiaan dalam hatinya melihat keadaan Chen yang begitu kecil dan sangat kurus. Terlihat begitu lemah bila di banding dengan Changyi yang meski juga kurus namun tubuhnya terlihat liat, gesit dan lincah yang menggambarkan kesehatan tubuhnya. Terlebih lagi, sejak awal pula, ia melihat bagaimana Chen sangat berarti bagi Changyi hingga membuat anak tersebut rela menyediakan wajahnya di ujung mata pedang yang sangat tajam demi melindungi Chen. Jika ia hanya mengambil Changyi maka sudah bisa di pastikan bahwa anak tersebut tidak akan mau turut serta dengannya tanpa Chen. Dan Jenderal Xu Da bukanlah seorang yang suka menggunakan kekuasaannya untuk memaksakan kehendaknya.
Dan kini, mendadak Chen mengungkapkan penolakannya. Jenderal Xu Da sedikit merasa bingung untuk mengungkapkan rasa hatinya mendengar permohonan dari Chen. Haruskah ia senang? Atau…haruskah ia kecewa?
“Tapi kenapa Adik Chen? Kenapa kau tidak mau menjadi prajurit? Ini kesempatan baik untuk kita Adik Chen. Kita akan mendapatkan pekerjaan yang baik” tanya Changyi sambil menyentuh bahu Chen. Terlihat ia sedikit mengguncang Chen untuk memberikan keyakinan pada saudara sehatinya tersebut.
“Kakak…maafkan aku. Tapi, aku sungguh-sungguh tidak bisa menjadi prajurit. Aku sangat senang berada di sini. Mungkin, di sinilah tempatku” jawab Chen sambil menatap Changyi dengan sorot sedih.
“Apa kau takut? Apa yang kau takutkan Adik Chen? Bukankah ada aku? Aku akan melindungimu. Aku telah berkali-kali mengatakan padamu bahwa aku akan melindungimu selama aku masih hidup. Jadi…kau tak perlu takut pada apapun. Kau hanya perlu untuk percaya padaku” tutur Changyi masih dengan nada membujuk.
Namun, Chen kembali menggeleng. Sebuah senyum mengembang di bibirnya meski sama sekali tak menghilangkan sorot sedih di kedua matanya.
“Kakak…Kakak pergilah dengan Jenderal dan belajarlah dengan baik. Aku akan menunggu Kakak di sini. Jika sekarang aku ikut dengan Kakak ke Yingtian, maka Kakak akan kesulitan untuk melindungiku dan juga Kakak sendiri. Kakak juga akan sangat sulit untuk bisa belajar karena di sana, Kakak harus membagi perhatian Kakak untuk melindungi dan terus menerus memikirkanku. Tapi, jika aku tinggal di sini, maka Kakak akan lebih tenang karena Bapak Tua dan semua biksu pasti akan melindungiku. Kakak tidak perlu mencemaskan diriku” tutur Chen yang segera di benarkan oleh Jenderal Xu Da dalam hatinya.
Changyi terdiam. Ia menyadari kebenaran yang terkandung dalam kata-kata Chen, namun, bisakah ia berpisah dengan Chen? Mereka belum pernah berpisah sebelumnya. Dan Changyi sungguh tak dapat membayangkan ia akan hidup tanpa ada Chen di sisinya. Meski ia seringkali mengatakan bahwa ia akan melindungi Chen, namun sejujurnya, Changyi merasa bahwa ia-lah yang berlindung di balik keteduhan wajah Chen. Alasan mengapa ia bisa selalu tertawa adalah karena setiap kali ia menatap Chen, maka ia mendapatkan ketenangan dan keteduhan di wajah saudara sehatinya itu. Lalu, jika ia tinggal di Yingtian sementara Chen di Kuil Bulan Merah, dapatkah ia menjalani hari-harinya?
Chen menatap Changyi sejenak sebelum kemudian tangannya menyentuh tangan Changyi.
“Kakak…berangkatlah” ujar Chen. Kali ini dengan nada yang lebih tegas dan yakin. “Aku yakin Kakak akan berhasil menjadi seorang prajurit yang gagah. Dan saat itu, maka Kakak akan bisa melindungiku”.
“Apakah kau yakin dengan pilihanmu itu Chen?” suara Jenderal Xu Da terdengar menyela setelah terdiam karena mturut mendengarkan perbincangan di antara Changyi dan Chen. Sebuah rasa halus terasa bergetar saat ia melihat sebesar apa kedekatan di antara dua anak yang mulai menginjak remaja tersebut. Hal yang sangat sulit dirasakannya sebagai seorang Jenderal besar yang telah kenyang dengan suasana pertempuran.
“Saya yakin Jenderal” jawab Chen pada Jenderal Xu Da. “Tempat saya memang di sini, bersama para biksu. Tetapi Kakak, ia harus keluar ke dunia ramai dan menggunakan kepandaiannya bagi orang banyak serta sebagai pengabdian pada Yang Mulia Kaisar”.
Jenderal Xu Da tersenyum kemudian mengangguk. Kenyataannya, ia memang tak bisa memaksa Chen untuk ikut dengannya. Ia bisa melihat tekad di mata anak yang kini berumur dua belas tahun itu.
“Baiklah…jika itu keinginanmu. Belajarlah sebaik-baiknya di sini karena mungkin suatu saat nanti Kaisar akan membutuhkan kemampuanmu” ujar Jenderal Xu Da.
Chen membungkukkan tubuhnya dengan penuh hormat. Terlihat kelegaan di matanya. Lega bahwa ternyata Jenderal Xu Da yang sangat dihormatinya itu tak memaksakan kehendaknya padanya.
“Terima kasih Jenderal. Saya berjanji saya akan belajar sebaik-baiknya” jawab Chen dalam sujudnya.
“Nah Changyi” lanjut Jenderal Xu Da beralih pada Changyi yang tertunduk. “Bersiap-siaplah. Kita harus sudah sampai di Yingtian sebelum matahari tenggelam”.
“Baik Jenderal” sahut Changyi dengan semangat yang tak sehebat sebelumnya.
“Aku akan membantu Kakak berbenah” ujar Chen. “Ayo?”
Kedua anak yang telah menginjak remaja tersebut memberi hormat pada Jenderal Xu Da sebelum berlalu. Tak banyak barang-barang yang dimiliki oleh Changyi, sehingga hanya dalam waktu singkat, ia telah siap dengan satu buntalan berisi beberapa potong pakaian bersih serta sedikit makanan kering yang dibungkus Chen untuknya. Biksu Tua menepuk bahu Changyi saat remaja itu berlutut di depannya saat berpamitan. Tangan biksu yang halus dan sejuk itu mengelus puncak kepala Changyi.
“Belajar dengan baik Changyi. Kau harus memenuhi takdirmu menjadi seorang prajurit. Jangan pernah meninggalkan darma yang mengajarkan pada kita tentang kesejatian hidup yang hakiki. Karena dari jalan darma tersebut, kau akan selalu menemukan jawaban atas semua pertanyaan  yang datang padamu, bahkan pertanyaan yang paling sulit tentang kehidupan yang harus kau jalani. seberat apapun medan yang harus kau lalui, kau akan selalu bisa melangkah dengan ringan karena darma akan selalu mengajarkan padamu bahwa tak ada kesulitan apapun melainkan kau akan mendapatkan kemudahan dengan bobot yang sama” pesan Biksu Tua di atas kepala Changyi.
“Baik Guru, saya akan selalu mengingat pesan dari Guru” jawab changyi sebelum kemudian bangkit berdiri.
Selanjutnya, setiap biksu di kuil tersebut tidak dapat menahan diri untuk memeluk Changyi saat remaja yang sangat elok tersebut mendekati mereka dan berpamitan. Beberapa biksu muda memeluk Changyi dengan sepasang mata memerah mengalirkan airmata, hingga kemudian, Changyi kembali ke hadapan Chen.
“Adik Chen, kau sungguh-sungguh tidak ingin ikut denganku?” tanya Changyi sekali lagi, mencoba membujuk Chen.
Chen menggeleng, dengan gerakan kuat meski sepasang matanya mulai memerah. “Kalau aku ikut dengan Kakak sekarang, maka aku hanya akan memberatkan langkah Kakak. Tetapi, jika aku tinggal di sini, maka nanti Kakak akan bisa membawaku ke mana saja”.
Changyi menghela nafas panjang untuk menghalau kabut yang merayapi hatinya. Bibirnya tersenyum dengan ekspresi gembira menampakkan deretan gigi yang putih cemerlang dan berkilau.
“Kalau begitu, tunggulah aku di sini. Aku tidak akan lama, dan aku pasti akan kembali untuk menjemputmu. Ingat selalu kata-kataku ini. Selama aku masih hidup, aku akan selalu melindungimu dan kita akan selalu bersama, karena kau adalah satu-satunya keluargaku” ujar Changyi.
Chen mengangguk untuk kali ini.
“Aku tahu, aku akan mengingatnya” jawab Chen pelan. Airmata kini sudah jatuh di pipi anak remaja berusia dua belas tahun tersebut.
Sementara Jenderal Xu Da dan Tamtama Bohai telah selesai berpamitan pada Biksu Tua dan semua biksu lain dan kini, sang jenderal besar tersebut telah berada di sisi kuda hitamnya. Changyi berjalan menuju ke arah Jenderal Xu Da dan Tamtama Bohai.
“Duduklah di belakangku” perintah Jenderal Xu Da saat Changyi telah sampai di depannya. Jenderal Xu Da kemudian segera naik ke atas kuda hitamnya yang sangat besar dan gagah. Sementara Tamtama Bohai segera menaiki kuda coklatnya yang terlihat takut untuk berada lebih dekat dengan kuda hitam sang panglima besar.  Sejenak, Changyi menatap kuda hitam yang pernah diurusnya dua tahun lalu. Sepasang mata kuda hitam yang terlihat sangat galak dan sangar tersebut menatap Changyi dengan penuh selidik. Sepasang kaki depannya bergerak waspada sementara hidungnya mengeluarkan suara dengusan keras. Tamtama Bohai menatap dengan cemas. Jika kuda Jenderal Xu Da yang angker tersebut menolak untuk membawa Changyi di punggungnya, maka kuda itu pasti akan segera menyerang Changyi dengan kaki-kakinya yang terkenal karena memiliki kekuatan yang bisa menjebolkan dinding.
Namun, sesaat berlalu sementara Changyi dan kuda hitam sang jenderal saling berpandangan. Changyi mengurai senyum dan bibirnya mengerucut. Kemudian, sebuah siulan kecil dan halus keluar dari bibir Changyi. Hanya sebuah siulan ringan, namun mendadak, kaki depan kuda yang telah membawa Jenderal Xu Da di punggungnya itu tak lagi bergerak dengan waspada. Dengusan keras dari hidung yang menandakan kemarahan sang kuda menghilang dan selanjutnya, kuda hitam itu meringkik keras, kepalanya yang berhias rambut panjang bergerak-gerak dengan sibuk, mengibaskan rambutnya ke arah Changyi dan selanjutnya, ketika Changyi mengulurkan tangan kanannya, sang kuda hitam itu menjulurkan lidahnya yang panjang dan menjilat telapak tangan Changyi sepasang telinga dan kepalanya masih bergerak-gerak, namun kini gerakannya terlihat jenaka dan manja membuat Tamtama Bohai terpana sementara Jenderal Xu Da yang telah duduk di atas punggung kudanya tersenyum.
“Dia sudah mengingatmu, sekarang naiklah” perintah Jenderal Xu Da pada Changyi.
Changyi mengangguk. “Baik Jenderal”.
Tak ada kesulitan saat Changyi melompat naik ke atas punggung kuda hitam sang jenderal. Tubuhnya melenting tinggi hanya dalam satu kali menjejakkan kakinya ke tanah. Dan selanjutnya, kuda hitam itu mulai bergerak saat Jenderal Xu Da mengibaskan tali kekang yang dipegangnya. Changyi menoleh ke belakang, dan melihat Chen berdiri di sisi Biksu Tua sementara para biksu lainnya berjajar di kiri dan kanan mereka berdua. Dengan jelas ia dapat aliran air mata di pipi Chen. Changyi mengangkat tangannya dan membalas lambaian tangan Chen. Ia mencoba tersenyum lebar meski sesungguhnya, Changyi merasa dadanya seperti penuh oleh beban  yang menyesakkan. Kemudian, saat Jenderal Xu Da mulai memacu si hitam untuk berlari, Changyi melihat Chen turut berlari meninggalkan gerbang kuil, berlari dan terus berlari membuat dada Changyi serasa hendak pecah. Hingga kemudian, pada satu tikungan jalan, Chen berhenti dan hanya berdiri sambil terus melambai. Changyi menggigit bibir bawahnya sementara kedua matanya terasa memanas. Pandangannya masih terus menatap ke belakang, pada sosok Chen yang semakin terlihat mengecil hingga akhirnya sosok Chen menghilang, terhalang oleh batang-batang pohon yang tinggi.
“Berpeganglah padaku!” perintah Jenderal Xu Da dengan suara yang keras.
“Baik Jenderal” sahut Changyi sambil memegang pinggang Jenderal Xu Da, pada ikat pinggangnya yang kuat. Selanjutnya, Jenderal Xu Da menggebrak kuda hitamnya dengan keras dan kuda besar yang sangat kuat itu melesat dengan sangat cepat, meninggalkan Tamtama Bohai di atas kuda coklatnya semakin jauh di belakang. Meninggalkan bukit Bulan Merah dengan kuil yang telah menaungi Changyi selama dua tahun hingga hari ini. Meninggalkan seorang anak remaja yang menangis tersedu-sedu di atas jalan tanah berdebu setelah kehilangan satu-satunya kakak yang selalu melindunginya.
Changyi melihat bayangan pohon-pohon seperti berlari dengan kecepatan tinggi menuju arah yang berlawanan dengan dirinya. Daun-daun pohon tak lagi terlihat dengan jelas karena cepatnya si hitam berlari. Ia telah merawat kuda yang luar biasa tersebut namun belum pernah sekalipun ia naik ke atas punggungnya, dan kini, untuk pertama kalinya ia merasakan kehebatan si Hitam saat berlari. Dan seiring angin keras yang menerpa wajahnya dan menyibak helai-helai rambut di dahinya, Changyi kembali merasakan semangatnya meledak berkobar-kobar. Rasa sesak di dada yang dirasakannya saat melihat Chen menangis lenyap dan hilang oleh kekuatan si Hitam yang membawanya menuju masa kehidupan barunya yang menanti.
Era yang penuh dengan kejayaan….
Dan sekaligus tragedi…. 
(bersambung ke Episode 3)
**************

Tidak ada komentar:

Posting Komentar