Minggu, 08 Maret 2015

Straight - Episode 2 ( Bagian Dua )



Bandar Udara Internasional Honolulu, Hawai….
Dalam jarak sembilan belas jam dari Seoul Korea Selatan….
Yoon melangkahkan kakinya perlahan di ruang bandara pada jalur ‘Arrival’. Tas ransel hitam disampirkan di bahu kiri dengan tangan kanan yang menarik tas coklat dari Bok. Sepasang mata Yoon di balik kaca mata hitamnya menyusuri orang-orang yang banyak berlalu lalang dan memenuhi ruang bandara, mencoba menemukan sosok yang dapat dikenalinya. Namun, hingga beberapa saat berlalu, ia tak juga menemukan orang yang dicarinya sementara langkah kakinya telah keluar dari jalur kedatangan dan kini ia berada di area yang lebih lapang dan luas. Banyak orang-orang lain yang baru saja datang ke bandara internasional ini dan tampaknya, dengung festival tahunan di Pulau Oahu telah tersebar luas ke seluruh dunia, dilihat dari jumlah orang-orang yang berdatangan dari negara-negara di luar Kepulauan Hawai. Yoon menoleh ke samping kiri dan kanannya. Semua orang yang ada di sekitarnya adalah orang-orang yang baru saja datang Honolulu. Ternyata, ia tidak sendirian. Yoon tersenyum dan bermaksud untuk melangkahkah kakinya kembali.  Namun mendadak, sebuah teriakan keras membahana di ruang dalam bandara, membuat Yoon dan orang-orang lain terkejut. Di susul kemudian, suara gendang yang ditabuh sekali, dua kali, tiga  kali dan kemudian di pukul dalam irama ritmik yang terkesan aneh namun indah. Lalu, belum lagi hilang rasa terkejut Yoon dan orang-orang yang baru saja datang di bandar Udara Internasional Honolulu, mendadak dari sisi pintu dalam – entah menuju ke mana pintu tersebut, Yoon sendiri tak tahu – keluar serombongan gadis yang berlari dalam gerak gemulai yang seirama dengan irama ritmik yang indah. Suara tepuk tangan riuh segera membahana memenuhi ruang bandara. Yoon bertepuk pelan sambil memperhatikan gadis-gadis yang menari dengan gerak gemulai tersebut. Ada dua belas orang dan kesemuanya memiliki kecantikan yang unik khas gadis-gadis Hawaii, bertubuh seksi dengan balutan busana yang memperlihatkan keindahan perut berhias lingkaran bunga Lei. Rangkaian bunga yang bukan hanya menghias bagian pinggang melainkan juga di kepala, pergelangan tangan dan pergelangan kaki. Sesekali, kedua belas gadis-gadis penari itu berteriak serempak dalam irama yang ceria dan kembali mendapat sambutan tepuk tangan yang gemuruh. Tampaknya, kedua belas penari itu sengaja menari di bandara sebagai sebuah penyambutan bagi semua orang yang datang ke Pulau Hawai melalui Bandar Udara Honolulu.
Untuk sesaat, Yoon masih memperhatikan para penari-penari itu, namun kemudian, pandangannya kembali beredar ke seluruh penjuru bandara.
“Kemana orang itu?” gumam Yoon pada dirinya sendiri. “Haish!....”.
Yoon masih terus mencari-cari hingga tak sadar bila tarian kedua belas gadis-gadis penari telah selesai dan kini, semua gadis menyebar mendekati setiap pengunjung Pulau Hawaii yang datang untuk mengalungkan bunga Lei sebagai ucapan selamat datang.
“Selamat pagi?” sapa satu gadis berkulit coklat membuat Yoon menghentikan langkahnya dan berpaling ke arah gadis tersebut. Yoon dapat melihat, gadis yang kini ada di hadapannya itu memiliki kecantikan yang sedikit lebih menonjol di banding gadis-gadis yang lain dan itu memancar dari keceriaan yang terlihat jelas di matanya.
“Selamat pagi” sahut Yoon sambil tersenyum.
“Selamat datang di Honolulu Tuan” sambung gadis bermata ceria itu sambil mengangsurkan rangkaian bunga Lei ke arah Yoon.
Yoon segera mengerti dan sedikit membungkukkan tubuhnya agar gadis penari di depannya dapat mencapai lehernya dan mengalungkan bunga Lei yang disodorkan padanya.
“Terima kasih” sahut Yoon setelah sang gadis penari selesai mengalungkan bunga di lehernya.
Si gadis tersenyum manis dan mengangguk. “Semoga liburan Anda menyenangkan. Kami akan senang menerima dan melayani Anda”.
“Terima kasih” Yoon mengangguk dan sedikit membungkuk. Masih melempar senyum pada sang gadis penari sebelum kemudian berlalu dan berjalan menuju pintu keluar bandara.
Sang penari berkulit coklat cemerlang tampak masih tertegun menatap pemuda dengan ikat kepala biru di kepalanya yang baru saja berlalu. Kedua matanya terlihat berbinar-binar dan ketika suara gadis-gadis penari lain memanggilnya untuk kembali mengalungkan bunga lei pada pendatang yang lain, maka gadis itu segera melompat dengan gerak riang, nyaris berlari menuju kelompok teman-temannya dan meraih bunga lei dari atas nampan besar. Sejenak kemudian, gadis penari itu telah kembali sibuk dengan orang-orang yang baru saja turun dari pesawatnya.
Sementara Yoon telah keluar dari pintu bandara dan kini berdiri di sisi jalan masuk bandara yang ramai dengan pendatang maupun orang-orang yang hendak meninggalkan Honolulu. Sekali lagi matanya menyusuri jalan di depan bandara, mencari sosok orang yang di tunggunya – atau seharusnya menunggunya – namun, hingga beberapa menit, Yoon tak juga menemukan sosok tersebut.
“Aish!...ke mana si Joong Mun itu? Kenapa masih saja suka terlambat seperti dulu?” gumam Yoon mulai kesal. Tubuhnya sedikit bergeser menepi dari depan gerbang untuk memberi jalan saat beberapa orang yang baru saja keluar dari bandara berdiri di belakangnya sambil membawa tas besar mereka. Kemudian satu tangan Yoon merogoh ke dalam saku belakang jeans dan mengeluarkan dompetnya. Ada alamat Joong Mun yang dicatatnya di dalam dompet. Mestinya Joong Mun menjemputnya. Ia telah memberitahu jam pemberangkatannya dari Incheon Air Port pada Joong Mun, jadi seharusnya ia sudah bertemu bertemu dengan temannya itu sekarang. Tapi kenyataannya, hingga saat ini, teman satu kelas yang lama berpisah itu belum juga terlihat.
Yoon menatap tulisan alamat yang tertera di atas sehelai kertas yang diambilnya dari dalam dompet. Ia belum pernah datang ke Kepulauan Hawai sebelumnya, jadi ia sama sekali tak tahu tentang jalan ataupun tempat yang ada di pulau paling terkenal di dunia ini. Tapi, sopir taksi pasti tahu. Cuma, berapa ongkos taksi nanti ya? Uang yang didapatnya dari penjualan notebooknya memang lumayan. Tapi, lumayan itu bukan berarti banyak sementara ia tak tahu, berapa lama pastinya ia akan tinggal di Pulau Oahu ini. Yoon memperkirakan bahwa ia akan tinggal paling lama satu minggu. Itu jika ia berhasil masuk babak semi final dalam lomba memasak nanti. Karena biasanya, antara babak awal penyisihan sampai babak perdelapan final akan dilakukan secara beruntun. Setelah itu, untuk masuk ke babak semifinal, akan diberikan jeda waktu satu atau dua hari. Hah!...memangnya ini pertandingan sepakbola? Atau…mungkin saja, lomba memasak justru akan berlangsung hanya satu hari. Semua peserta memasak pada hari perlombaan besok dan hasilnya akan langsung diumumkan besok juga. Maka, buat Yoon, itu akan lebih baik. Semakin cepat ia selesai semakin cepat pula ia bisa pulang ke Seoul.
Sebuah taksi terlihat berhenti di depan pintu masuk ruang bandara, disusul turunnya seorang lelaki yang tampak sangat tergesa-gesa hingga tak lagi meminta uang kembalian dari ongkos taksi yang dibayarnya. Yoon melihat taksi yang kosong tersebut dan bersiap untuk mendekat. Secara kebetulan, sopir taksi yang masih muda namun bertubuh tinggi besar khas pemuda-pemuda Hawai itu menoleh dan menatap ke arah Yoon. Sang sopir menunjuk taksinya dengan ibu jari sebagai isyarat untuk Yoon, namun, belum lagi Yoon menjawab isyarat tersebut, dua orang wanita muda telah berlari dari ruang dalam dan segera masuk ke dalam taksi kosong di depan mereka. Untuk sesaat, sopir taksi terlihat bingung, namun kemudian, ia menoleh kembali ke arah Yoon sambil menangkupkan dua telapak tangannya di depan dada sebagai isyarat permintaan maaf. Yoon melambaikan tangannya dengan senyum mengembang. Apa boleh buat, ia harus menunggu sedikit lebih lama untuk mendapatkan taksi kosong yang lain.
“Tuan?” sebuah suara yang ceria membuat Yoon menoleh dan mendapatkan sosok penari yang sesaat lalu mengalungkan bunga Lei ke lehernya. Gadis itu masih mengenakan kostum penari yang menampakkan keindahan tubuhnya. “Apakah Anda ingin menuju ke suatu tempat?”
“Ya…saya sedang menunggu teman” jawab Yoon sambil tersenyum.
Si gadis penari melongokkan kepalanya ke sekeliling dan kemudian, pandangannya kembali ke arah Yoon.
“Dan apakah teman Anda belum datang?” tanyanya dengan nada ceria membuat Yoon merasa bahwa seluruh tubuh gadis itu hanya terbuat dari elemen rasa gembira. “Saya mengenal semua orang yang ada di sekitar bandara ini, dan saya tidak melihat seseorang yang terlihat seperti teman atau sahabat Anda Tuan”.
Yoon tertawa lalu mengangguk. “Yah begitulah…dia sangat suka terlambat”.
Bibir manis gadis penari di depan Yoon terlihat sedikit mencibir. Lalu tawanya turut berderai. “Pastilah teman Anda adalah sahabat lama”.
“Bagaimana Nona bisa tahu?” tanya Yoon sambil tersenyum.
Sesaat si gadis penari terlihat terpaku dan menatap wajah Yoon selama beberapa detik sebelum kemudian menjawab.
“Karena Tuan terlihat sangat mengenal sahabat Tuan” jawabnya.
Yoon mengangkat bahu dan sekali lagi, pandangannya beredar. Kali ini, bukan semata mencari sosok Joong Mun melainkan untuk melihat bila saja ada taksi kosong yang datang. Jika ia bisa berjalan keluar dari area bandara, tentu ia akan dengan mudah menemukan taksi kosong.
“Apakah Tuan ingin saya panggilkan taksi?” tanya sang gadis penari dengan nada sopan. Kepalanya yang berhias mahkota untaian bunga Lei terteleng sedikit ke samping mencari-cari wajah Yoon yang sibuk mengedari area bandara.
“Ah..tidak usah Nona. Sepertinya Nona sendiri sedang sibuk menyambut tamu” tolak Yoon secara halus. Tawaran si gadis penari sebenarnya menggoda. Tapi, Yoon merasa tidak sampai hati untuk merepotkan orang di hari pertama ia menginjakkan kakinya di Pulau Oahu Kepulauan Hawai. Terlebih seorang gadis.
“Benar…saya mendapat tugas untuk menyambut tamu-tamu peserta lomba memasak di festival tahunan kali ini” jawab si gadis penari sambil menengok ke dalam ruang bandara, melihat beberapa temannya yang terlihat mengobrol dengan beberapa tamu yang datang dan telah mendapat untaian bunga Lei dileher mereka. Lalu, sesaat kemudian, si gadis penari tersebut berpaling kembali kepada Yoon. “Apakah Tuan datang untuk mengikuti lomba memasak?”.
Yoon mengangguk. “Benar Nona”.
“Waaah….kalau begitu, saya akan mendukung Anda Tuan. Saya akan menjadi supporter Anda di acara lomba memasak nanti” sahut si gadis penari dengan antusias. Kemudian, tiba-tiba, ia mengulurkan tangannya yang mungil berbalut kulit coklat cemerlang. “Saya Malina Tuan. Jika nanti lomba memasak di mulai, saya akan datang untuk mendukung Tuan”.
“Terima kasih Nona Malina” jawab Yoon sambil tertawa.
“Malina saja Tuan…tidak usah memakai Nona” jawab Malina sambil turut tertawa. Baginya, tawa pemuda berikat kepala scarf biru didepannya adalah tawa paling indah yang pernah di lihatnya. Dan meskipun ia tak bisa melihat sepasang mata yang tersembunyi di balik kaca mata hitam pemuda yang baru saja datang itu, namun Malina dapat melihat bahwa wajah yang kini ada di depannya adalah pancaran keindahan sinar matahari yang terbit di pagi hari. Mendadak, Malina merasakan dirinya sangat bersemangat seolah seluruh tubuhnya di aliri energi baru.
“Bolehkah saya tahu siapa nama Tuan? Agar saya bisa memanggil nama Anda dalam lomba memasak nanti?” tanya Malina sambil tersenyum. Terlihat binar harapan di matanya.
Yoon tersenyum dan mengangguk. Mulutnya membuka untuk menjawab pertanyaan sang penari bernama Malina di depannya. Namun…
“Hoi..Hoi..Hoi!...my bestfriend from Korea!...yaaaa…selamat datang di surga dunia!” suara teriakan yang keras membuat Yoon urung menjawab pertanyaan Malina dan segera berpaling ke arah asal suara. Itu Joong Mun, yang ditunggunya sejak hampir satu jam yang lalu.
Raut wajah Yoon berubah dan sedikit di selimuti oleh rasa kesal.
“Ya, kenapa kau terlambat begitu lama? Apakah pesanku tidak kau baca?” tanya Yoon dalam Bahasa Korea sambil menatap ke arah Joong Mun.
Joong Mun tertawa lebar. “Mianhae….jeepku mogok lagi Yoon-ah”.
“Tapi setidaknya kau bisa meneleponku atau menuliskan pesan untukku” bentak Yoon dengan suara pelan. “Kau kan tahu aku belum pernah ke sini sebelumnya”.
“Mianhae….aku benar-benar tidak bermaksud untuk terlambat” jawab Joong Mun, sambil nyengir.
“Tuan?” Malina menyela membuat Yoon menoleh ke arah gadis penari yang masih berdiri di sisinya dan sejenak dilupakannya karena kedatangan Joong Mun. “Saya rasa, saya harus kembali ke dalam karena teman-teman saya menunggu”.
Joong Mun yang seolah baru saja menyadari keberadaan Malina, menatap sang penari di samping Yoon dengan ekspresi shock. Sementara Yoon mengangguk ke arah Malina, Joong Mun justru masih terpaku dalam rasa terpesonanya.
“Ah ya, terima kasih sudah menemani saya” sahut Yoon sopan sambil tersenyum.
“Oh…Nona, Anda benar-benar cantik. Maafkan saya karena tidak melihat Anda sejak tadi” sela Joong Mun membuat Yoon memutar bola matanya. Bagaimana mungkin Joong Mun bisa tidak melihat sosok sebesar seorang penari di sampingnya? Lalu, apa yang dilihat oleh Joong Mun sejak tadi selain dirinya?
Malina tersenyum dan mengangguk hormat ke arah Joong Mun. “Tidak apa-apa Tuan…”
“Joong Mun….” sahut Joong Mun dengan cepat sambil mengulurkan tangan kanannya ke arah Malina. “Nama saya Park Joong Mun, Nona”.
“Ah ya…tidak apa-apa Tuan Park Joong Mun. Anda berdua baru saja saling bertemu sehingga wajar jika melepaskan rindu setelah lama berpisah” ujar Malina mengulangi kalimatnya yang terputus sambil menyambut tangan Joong Mun. “Silahkan dilanjutkan, saya harus kembali bekerja”.
“Ya..ya..ya silahkan Nona” jawab Joong Mun antusias.
Malina tersenyum dan mengangguk hormat ke arah Joong Mun. Sekilas sepasang matanya menatap Yoon. “Sampai jumpa dalam lomba measak nanti Tuan” katanya pada Yoon.
“Ya…terima kasih Nona” jawab Yoon sambil membungkukkan tubuhnya sebagai sopan santun.
Joong Mun masih menatap punggung Malina dengan ekspresi penuh rasa kagum sampai gadis penari tersebut hilang di antara keriuhan orang-orang yang memenuhi ruang bandara membuat Yoon menggelengkan kepalanya.
“Ya…sampai kapan kita akan berdiri di sini?” tegur Yoon membuat Joong Mun kembali pada sahabatnya yang baru saja datang dari Korea.
“Uh…oke..oke Yoon-ah. Ayo kita pulang” jawab Joong Mun sambil menggaruk kepalanya. “Benar-benar gadis yang cantik. Dan eksotik. Luar biasa. Ah…seandainya dia bisa menjadi milikku Yoon-ah”.
Yoon diam tak menjawab dan menoleh ke dalam ruang bandara. Suara musik ritmik kembali terdengar dan ia melihat gadis penari bernama Malina itu telah bergeerak dengan gemulai bersama sebelas penari yang lain. Sesaat, Malina menoleh ke arahnya dan melempar sebuah senyum. Yoon mengangguk sebagai balasan untuk senyum yang diberikan oleh Malina.
“Kau ini Yoon-ah…” Joong Mun berdiri menatap sahabatnya dengan mulut berdecak. “Belum ada satu jam kau turun dari pesawat dan kau sudah menarik gadis penari. Apa yang kau lakukan pada gadis tadi Yoon-ah? Dia terlihat sangat bersemangat padamu”.
“Tidak ada” jawab Yoon pendek. Kakinya mulai bergerak-gerak tak sabar.
“Ah…seandainya aku bisa tahu siapa namanya..” ujar Joong Mun sambil menatap ke dalam ruang bandara, pada lenggok gemulai Malina.
“Malina” jawab Yoon pendek.
“Malina?!” seru Joong Mun sambil membelalakkan matanya. “Bagaimana kau bisa tahu?”
“Dia yang mengatakannya. Ya, Joong Mun, apakah kita akan menjadi penjaga bandara ini?” tanya Yoon sambil mengedarkan matanya ke sekeliling area bandara. Seluruh tubuhnya kini sudah bergerak dengan gelisah dan tak sabar.
“Aaa….iya..ya..ya. Lewat di sini Yoon-ah. Berikan tas coklatmu itu biar kubawa. Yaaa…..akhirnya kau sampai di Honolulu Yoon-ah” jawab Joong Mun sambil merebut tas coklat yang di tangan kiri Yoon. “Dan kau langsung berkenalan dengan gadis penari yang sangat cantik. Daebak!”.
“Apa kau belum pernah melihat seorang gadis?” tanya Yoon sambil menyandang ransel hitamnya kembali sementara mereka mulai melangkah cepat.
“Sering Yoon-ah” jawab Joong Mun sambil mengangkat bahunya. “Jika kau tinggal di sini, kau akan selalu menemukan bunga-bunga dengan berbagai warna dan keharuman. Sangat indah Yoon-ah. Kau tak perlu makan suplemen untuk menjaga tubuhmu agar awet muda. Cukup dengan mengedarkan mata ke sekelilingmu dan kau akan merasa terberkati”.
“Pfff…” Yoon mencebik mendegar ungkapan Joong Mun yang terkesan terlalu berlebihan.
“Tapi…di antara bunga-bunga yang ada di surga ini Yoon-ah, ada yang memiliki keindahan lebih dari semua yang lain. Seperti sekuntum bunga dari surga. Seperti keindahan yang datang dari masa lalu untuk menjadi berkat di masa kini. Seperti sesosok ratu di antara bunga-bunga lain yang terlihat kusam setiap kali dia ada” ujar Joong Mun sambil menatap langit.
Yoon menoleh ke arah Joong Mun. “Gadis yang tadi maksudmu?”.
Joong Mun menghela nafas. “Bukan Yoon-ah…bukan dia. Gadis tadi sudah sangat cantik bukan? Tapi, yang kumaksud bukan dia. Bahkan dengan kecantikan yang sudah sangat cemerlang seperti itu saja masih terlihat kusam jika si bunga Hawai itu berdiri di sisinya”.
Yoon mengangkat bahu. Ia tak bisa membayangkan adanya sosok yang bisa membuat orang lain terlihat kusam dengan hanya berdiri di sisinya. Lagipula, kedatangannya ke Pulau Oahu Hawai bukan untuk mencari seorang gadis. Ia datang untuk menyelamatkan keluarganya. Ayahnya, adiknya dan toko mereka.
“Baiklah” jawab Yoon kemudian saat mereka akhirnya sampai di dekat jeep hijau Joong Mun . “Apakah rumahmu jauh?”
Joong Mun meletakkan tas coklat Yoon ke jok belakang jeepnya. Lalu bersiap naik ke belakang kemudi sementara Yoon telah lebih dulu melompat ke kursi di sisi kemudi.
“Tidak, hanya sekitar dua puluh menit dari sini. Tapi, aku ingin mengajakmu untuk makan lebih dulu. Kau pasti lapar setelah terbang selama itu kan? Begitu juga dengan…hei!.….Yoon-ah!” kalimat Joong Mun terhenti sementara pandangannya menyapu ke dalam ruang jeepnya lalu menyusur kembali jalan yang telah mereka lalui sejak dari pintu bandara.
“Ada apa?” tanya Yoon berkerut.
“Kenapa aku baru ingat? Di mana Kim Dae ahjussi? Kenapa aku tidak melihatnya dari tadi? Yaaaaa…Yoon-ah, kenapa aku bisa lupa?” sahut Joong Mun sambil menatap Yoon.
“Abeoji tidak bisa datang” jawab Yoon pendek. Pandangannya kembali ke depan.
Joong Mun terperanjat. “Tidak bisa datang bagaimana Yoon-ah?!...apa maksudmu? Lalu, jika Ahjussi tidak bisa datang, bagaimana dengan lomba memasak nanti? Aku sudah mendaftarkan Ahjussi sebagai peserta” jawab Joong Mun dengan nada panik.
“Aku yang akan ikut dalam lomba nanti” jawab Yoon sambil menguap. “Kapan kita berangkat Joong Mun? apakah kita akan menjadi penjaga tempat parkir bandara?”.
“Kau?!” teriak Joong Mun sambil membuka pintu kemudi dan naik ke dalam jeepnya. Menyalakan mesin mobil dan jeep berwarna hijau tentara itu segera bergetar hebat. “Memangnya kau bisa masak Yoon-ah? Setahuku kau hanya excellent di bidang IT. Kau bahkan tidak bisa membuat telur mata sapi kan?”.
Yoon tak menyahut dan mulai menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi yang didudukinya. Satu tangannya terangkat ke atas dan menunjuk ke depan sebagai isyarat pada Joong Mun agar segera berangkat. Kedua matanya sudah mulai memejam saat mulutnya membuka. “Apa kita akan menjadi penjaga…..”
“Tentu saja tidak bodoh!” bentak Joong Mun sambil memindah gigi persneling mobilnya dan menginjak pedal gas. Jeep hijau tentara yang telah meraung itu kemudian menyentak dengan garang seperti singa terluka yang melompat ke depan dengan tenaga penuh membuat Yoon nyaris terjungkal jika saja satu kaki Yoon yang terangkat  dan bersandar pada dashboard tidak menahan tubuhnya. “Lebih aku tidak pernah menyentuh wanita daripada menjadi penunggu bandara”.
Yoon tertawa tanpa suara. Namun kemudian, kedua matanya benar-benar memejam. Udara pantai yang sejuk dan hangat, deru jeep yang menggeru keras di tambah aroma laut yang segar segera mengirimkan sinyal rileks ke seluruh tubuh Yoon, membuat pemuda itu baru merasakan kantuk yang hampir tak menjamahnya sejak beberapa hari sebelumnya di Seoul. Maka, hanya dalam waktu dua menit setelah Joong Mun melajukan jeepnya menyusuri jalan raya di sisi pantai yang indah membentang, pemuda berikat kepala scarf biru itu sudah benar-benar terlelap. Joong Mun menatap sahabatnya sesaat, menggelengkan kepalanya lalu mulai menyanyi dengan suara pelan. Jeep melaju dengan kecepatan statis. 
************

Rumah Mrs. Akela, Waikiki…
“Leia…cepatlah!” seru Mrs. Akela sambil mengenakan sepatunya di depan pintu. “Kenapa kau lambat sekali”
“Ya Omma!” seru Leia Kaili dari dalam di susul suara langkah kaki berlari. Sesaat kemudian, gadis itu telah berdiri di depan ibunya. Satu tangannya memegang sepatu bertangkai rendah sementara tangan lain sibuk menyisir rambutnya yang basah. Blus biru muda berenda melekat dengan pas di tubuh gadis itu berpadu dengan celana jeans ketat berwarna biru tua yang gelap. Sekilas, penampilan sang bunga Hawai terlihat simple, namun justru semakin menonjolkan pesona yang memancar dari dalam diri putri Elder Kaili tersebut.
Mrs. Akela menatap putrinya sejenak. Sepasang matanya terlihat menilai.
“Leia?” panggil Mrs. Akela pada putri tunggalnya.
“Ya Omma?” sahut Leia sambil mengangkat wajahnya.
“Kenapa kau memakai baju yang ini?” tanya Mrs. Akela.
Leia menunduk untuk memperhatikan pakaian yang di kenakannya sebelum kemudian pandangannya kembali ke wajah ibunya. “Kenapa Omma? Apakah ini tidak pantas?”
Mrs. Akela menggeleng dan tersenyum. “Bukan begitu Leia. Hanya saja sangat jarang kau memakai blus berenda ini. Juga celana jeans yang seperti ini. Biasanya, kau selalu memakai pakaian yang lebih sporty. Lalu, sepatumu itu….ada apa dengan sepatu sport-mu sayang?”
Leia memperhatikan sekali lagi penampilan dirinya. Rasanya tidak ada yang salah dengan apa yang ingin dikenakannya hari ini. Gadis itu kemudian mengangkat bahunya dengan sikap sambil lalu. “Sayang jika tak pernah dipakai Omma. Baju dan celana jeans ini sudah sangat lama di lemari tapi belum pernah dipakai sama sekali sejak dibeli. Apakah aku terlihat jelek dengan pakaian ini Omma?”
“Tidak sayang” Mrs. Akela menggelengkan kepalanya kuat-kuat. “Pakaian itu pantas sekali untukmu. Justru, Omma senang kau mengenakan pakaian yang bisa menonjolkan sisi kelembutanmu seperti ini. Bukan hanya pakaian kasual dan sepatu kets seperti biasanya”.
Leia tersenyum dan mengenakan sepatu mungilnya. Sepatu kain berhias miniature kerang mungil pada permukaannya. Berwarna biru dengan garis putih yang menyerupai buih ombak laut yang menggelombang. Sangat serasi dengan pakaiannya yang di dominasi warna biru.
“Terima kasih Omma” cetus Leia sambil berjalan di sisi ibunya.
Hari ini mereka akan pergi ke pasar di arena festival. Ada banyak sekali barang-barang indah yang dijual terutama benda-benda bernilai seni tinggi, kain-kain yang lembut, tas, pernak-pernik perhiasan yang berstyle etnik Polynesia dan beragam makanan kecil. Meskipun Leia telah tinggal di Pulau Oahu sejak pertama kali ia membuka mata hinga usianya sekarang, namun tetap saja, setiap kali festival tahunan Waikiki yang diadakan setiap bulan April datang, maka akan selalu menarik perhatian dan menyenangkan baginya dan Mrs. Akela.
“Jangan berbelanja terlalu banyak sayang” tukas Mrs. Akela sambil melangkah masuk ke dalam mobil tua mereka. Leia telah lebih dulu duduk di belakang kemudi.
“Tidak Omma. Hari ini, aku hanya ingin melihat-lihat saja” jawab Leia sambil memutar kuncinya lalu memindahkan gigi persneling mobil. 
Mrs. Akela menatap putri tunggalnya sesaat dan menebak-nebak hal yang sesungguhnya membuat Leia terlihat begitu cerah di hari ini setelah selama beberapa hari sebelumnya, bahkan kemarin, gadis itu terlihat begitu lesu dan tak bersemangat. Terlebih ia tahu, bahwa Elder Agung telah semakin memperketat pengawasan terhadap Leia membuat Mrs. Akela semakin gelisah. Firasatnya sebagai seorang ibu tak dapat dibohongi bahwa putri tunggalnya akan menjalani permasalahan yang sangat rumit dan berbahaya. Dan hal itu benar-benar membuat Mrs. Akela merasa sangat takut. Ia hanya memiliki satu orang putri dan Leia adalah segalanya bagi Mrs. Akela yang membuatnya dapat menjalani kehidupan yang sangat sulit sebagai istri ketiga Elder Kaili dengan sikap-sikap tak adil yang diberikan padanya. Leo Kai bukan tipe anak yang bisa menerima penolakan. Sebagai anak tertua Sang Elder Agung, Leo Kai telah terbiasa mendapatkan apapun yang diinginkan. Karena itu, jika saja nanti mimpinya menjadi kenyataan, jika pemuda berwajah matahari yang datang dalam mimpinya itu benar-benar muncul di Pulau Oahu ini bersamaan dengan datangnya Festival Waikiki yang di adakan setiap tahun, maka sebuah masalah besar pasti akan segera terjadi. Meskipun dalam hati, Mrs. Akela sangat berharap bahwa mimpinya akan benar-benar menjadi kenyataan – karena ia tahu bagaimana bentuk kehidupan yang akan menghadang putri tunggalnya bila benar-benar menikah dengan Leo Kai, hal yang telah menjadi irama hidupnya sejak masa sebelum kelahiran Leia Kaili hingga kini – namun kecemasan akan keselamatan Leia dan pemuda itu, entah siapapun namanya, benar-benar membuat sang nyonya elder ketiga tersebut seperti hidup di atas hamparan duri yang tajam. Jika saja….pemuda berwajah penuh cahaya matahari terbit itu benar-benar datang, apa yang bisa dilakukannya untuk melindungi keduanya?. Ia tak tahu….sungguh-sungguh tak tahu dan hal itu membuat dada Mrs. Akela terasa sesak.
“Leia…apa kau tidak mau menceritakan pada Omma mengapa kau terlihat sangat gembira hari ini sayang?” tanya Mrs. Akela pada putri tunggalnya yang tengah asyik mengendalikan laju mobil tua mereka. Sebuah senyum mengembang di wajah nyonya elder ketiga, menutupi rasa gelisah yang semakin menguat sejalan dengan laju mobil yang semakin mendekati tempat tujuan mereka.
*************
Yoon tergagap dan bangun saat ia merasakan guncangan pada mobil yang membuat kepalanya terantuk pada sisi jendela jeep. Pemuda itu membuka dua matanya dan terkejut saat menemukan suasana yang begitu ramai di depannya. Pandangannya beredar. Ini terlihat seperti pasar. Sepasang mata Yoon yang masih bersemburat merah karena rasa kantuk berpaling ke arah Joong Mun yang terlihat begitu bersemangat dan terus bersiul-siul sambil berusaha menata parkir jeepnya di antara deretan mobil lain yang telah lebih dulu datang.
“Kenapa kita di sini Joong Mun? ini…pasar bukan?” tanya Yoon sambil kembali mengamati keadaan di sekitarnya.
“Kau tidak lapar?” tanya Joong Mun sambil membuka pintu mobil dan melompat turun. “Aku belum menikah Yoon-ah. Jadi…tidak ada seseorang yang memasak untukku di rumah. Jika kau kubawa pulang sekarang, maka kau tak akan menemukan sesuatu yang bisa kau makan di rumah”.
Yoon menatap Joong Mun dengan satu alis terangkat naik. Namun, pemuda itu turun juga dari dalam jeep setelah menggeliat sesaat. Tak ada salahnya ia melihat-lihat sebelum pertarungan dalam lomba besok pagi bukan? Mungkin saja ada sesuatu yang tidak terlalu mahal untuk Seon.
“Jangan jauh-jauh dariku Yoon-ah…atau kau akan hilang” ujar Joong Mun saat mereka telah mulai masuk ke dalam arena pasar membuat Yoon memutar bola matanya dengan gerakan besar.
“Ya Appa” jawab Yoon sambil mengedarkan pandangannya ke seantero arena pasar. Joong Mun nyengir mendengar jawaban sahabatnya.
Pasar ini sangat mirip dengan pasar di Korea, namun bedanya, pasar ini di desain dengan konsep terbuka di mana antara satu kios dengan kios lainnya terdapat jeda jarak yang memungkinkan setiap pengunjung untuk berjalan di antaranya. Selain dari itu, terdapat kios-kios kecil yang mungkin merupakan pedagang kaki lima di mana barang-barang yang diperdagangkan di gelar di atas satu meja tanpa atap penopang di atasnya. Banyak sekali orang-orang yang datang memenuhi arena pasar ini dan Yoon melihat bahwa mereka semua terdiri dari berbagai etnis seperti Indian, China, Jepang, Polynesia, Eropa, Melayu, hingga Korea sendiri.  
“Kau harus membiasakan dengan suasana pasar seperti ini Yoon-ah. Karena kau akan tinggal di sini selama sepuluh hari ke depan hingga lomba di mulai” ujar Joong Mun sambil mengangkat satu patung terbuat dari kayu, mengamatinya sejenak sebelum kemudian meletakkannya kembali. Namun, kata-kata sambil lalu Joong Mun terdengar seperti suara petir di telinga Yoon yang berjalan di belakangnya.
“Apa?! Sepuluh hari? Bagaimana bisa sepuluh hari? Katamu lomba akan di mulai besok pagi?!” tanya Yoon sambil meraih bahu Joong Mun dan membalikkan tubuh sahabatnya itu hingga menghadap ke arahnya.
“Sorry Yoon-ah….ternyata lombanya di undur sampai sepuluh hari ke depan. Aku baru tahu kemarin sore” jawab Joong Mun dengan ekspresi memelas.
“Dan kau tidak memberitahuku? Kau bisa menelponku atau mengirim pesan padaku kan?!” tanya Yoon sambil membelalak, meskipun kedua matanya yang membesar tak terlihat oleh Joong Mun karena tertutup oleh kacamata hitam yang dikenakannya.
“Aku tahu. Tapi jika aku memberitahumu, maka kau pasti tidak akan jadi berangkat hari ini. Kau pasti akan berangkat sembilan hari dari sekarang. Aku tahu karena itulah sifatmu, padahal aku sudah lama tidak melihat temanku Yoon-ah” jawab Joong Mun.
Yoon menepuk dahinya sendiri dengan ekspresi kesal tapi sekaligus tidak berdaya. Kenapa Joong Mun sangat mirip Bok? Dengan gemas Yoon melepas kacamata hitamnya.
“Memangnya kenapa Yoon-ah? Apakah kau tidak senang berada di sini? Bertemu denganku? Kita kan sudah lama tidak bertemu Yoon-ah. Padahal kita sudah berteman sejak di High School” ujar Joong Mun sambil membalikkan tubuhnya dan mulai berjalan kembali.
Bukan karena ia tidak senang, tapi yang terpenting adalah, semakin lama ia tinggal di sini, maka biaya hidup akan semakin membengkak sementara uang yang dibawanya dari hasil penjualan notebook hanya cukup untuk hidup satu minggu saja.
“Ya…kenapa kau terdengar seperti Seon?” tukas Yoon sambil mulai berjalan mengikuti Joong Mun yang telah melangkah agak jauh di depannya dengan ekspresi merajuk.  
***************
 Restoran itu tidak terlalu besar. Lebih mirip sebuah kedai dengan dekorasi separuh terbuka khas restoran-restoran di daerah wisata pantai. Namun, jumlah pengunjung yang datang ke kedai tersebut sungguh luar biasa. Barisan kursi dan meja tambahan yang di tata di depan kedai mencapai tujuh lapis dan kesemuanya di penuhi pengunjung yang sedang menyantap hidangan mereka. Suasana terlihat meriah dan riuh. Jelas terlihat aura kegembiraan yang membubung tinggi di udara. Wisatawan dari luar Pulau Oahu maupun masyarakat lokal berjubel memenuhi sekeliling kedai dan memesan makanan meski harus sedikit bersabar menunggu karena jumlah antrean yang panjang. Di dapur terlihat kesibukan yang luar biasa. Beberapa koki dan juru masak bekerja bagaikan kincir angin yang berputar cepat. Pria-pria muda dengan tubuh kuat dan gerak cepat hilir mudik dalam balutan baju putih khas chef yang mereka kenakan. Sementara di satu sudut, terlihat seorang pria berumur sekitar lima puluhan tahun. Mengenakan pakaian chef berwarna putih. Kedua tangannya bergerak dengan kecepatan tinggi hingga nyaris tak terlihat sementara beberapa koki muda di sekitarnya terlihat melayani lelaki tersebut dengan patuh dan penuh rasa hormat. Wajah lelaki itu terlihat tenang meski seluruh gerak tubuhnya mengesankan kegesitan yang mengagumkan. Pisau besar di tangan kanannya berkelebat dengan sangat cepat, membelah seekor udang lobster besar berwarna hijau lumut. Mata pisau yang tajam berkilat seolah akan menghancurkan lobster tersebut dalam sekali tebas namun ketika kemudian gerak pisau besar yang jelas sangat tajam itu berhenti, lobster karang berwarna hijau lumut itu telah terkelupas kulit kerasnya di bagian punggung, memanjang dalam gerak yang sangat rapi dan kulit tersebut menggantung pada sisi tubuh, mekar membuka seperti kuntum bunga yang tengah mengembang. Kepala lobster utuh dan sesekali terlihat masih bergerak, sedikitpun tak terlihat luka di bagian kepala maupun sapitnya membuat penampilan binatang karang tersebut terlihat indah. Selanjutnya, lelaki dengan kharisma yang sangat kuat memancar itu menyerahkan lobster yang telah selesai di bukanya pada seorang chef muda yang menunggu di sisinya.
“Berikan bumbunya dan masukkan isiannya. Pan broiling, 10 menit” perintah lelaki berwajah penuh kharisma tersebut.
Lelaki muda bertubuh kekar dalam balutan seragam chef berlengan pendek menerima lobster yang siap di olah sambil membungkukkan tubuhnya.
“Baik Chef” sahutnya sebelum kemudian membawa lobster di atas piring menuju sesi pemasakan sesuai dengan perintah yang diterimanya.
“Next” seru chef penuh kharisma pada lelaki muda lain yang berdiri di sisinya.
“Meja 63, Chef…beef steak special red sauce” sahut chef muda di sisi lelaki penuh kharisma yang segera mengerti. Tangan chef muda mengulurkan sepotong daging ham dalam wadah piring besar pada chef yang terlihat sangat di hormati dan tampaknya merupakan inti dari restoran yang sangat ramai tersebut.
Tanpa banyak bicara, chef penuh kharisma itu segera mengambil daging ham besar dari piring datar dan meletakkannya di atas meja stainless di depannya. Pisau besar yang dipegangnya terangkat dan siap berkelebat. Angin berhembus semilir menghantarkan kesejukan angin laut melalui jendela yang terbuka di sisi dapur, tepat di samping chef penuh kharisma tersebut bekerja dengan seluruh kegesitannya. Satu iris daging ham telah selesai tersayat dengan halus oleh tangan sang chef dan diletakkan di atas piring kayu datar berbentuk oval. Selanjutnya, pisau berkilat yang sangat tajam itu kembali bergerak untuk membuat sayatan berikutnya.
“Ya…apakah kita harus menjejalkan diri di sini? Kau tidak lihat betapa penuhnya tempat ini?” sebuah suara terdengar lolos masuk ke dalam ruang dapur melalui jendela yang terbuka. Suara yang bernada wajar bahkan terkesan rasa lelah yang tersirat dari si pemilik suara tersebut saat mengucapkan kalimatnya.
Namun, suara yang masuk ke dalam ruang dapur dan lolos ke dalam pendengaran sang chef yang tengah mengayunkan pisaunya itu membuat lelaki berwajah teduh tersebut tersentak. Serentak, bagaikan ditarik oleh magnet berkekuatan dahsyat, kepala lelaki penuh kharisma yang semula menunduk di atas potongan daging ham di depannya itu berpaling ke arah darimana suara bernada wajar yang mengisyaratkan kelelahan pemiliknya berasal. Terlupa pada pisau sangat tajam yang telah terayun dan tak sempat dihentikannya. Lalu, ketika pandangannya tertumbuk pada satu sosok tinggi yang berdiri tepat di sisi dapur, di depan jendela yang terbuka, menghadap tepat ke arah dapur, maka wajah sang chef yang semula terlihat sangat tenang itu segera memucat. Sepasang matanya membelalak dengan campuran ekspresi yang tak tergambarkan oleh kata-kata. Seolah tumpukan rasa gembira yang meluap-luap namun sekaligus kesedihan yang sangat dalam dan tak terungkap.
“Chef!...tangan Anda Chef!...tangan Anda terkena pisau! Chef Chen!” teriak chef muda yang berdiri di sisi chef berkharisma yang dipanggil Chef Chen tersebut.
Namun, Chef Chen sama sekali tak bergeming. Sepasang matanya nanar menatap lelaki tinggi berhias scarf biru di kepalanya yang tengah berdiri di sisi luar jendela dalam jarak hanya beberapa meter darinya. Sepasang mata Chef Chen menyusuri wajah di luar jendela itu. Sepasang mata yang berbinar hangat, hidung yang tinggi dan mancung, rambut hitam yang meski tertutup sehelai scarf namun jelas terlihat lebat dan indah, bibir dengan lekuk yang sempurna dan wajah yang memancarkan sinar sang matahari terbit. Wajah yang terlukis mati di dinding jiwanya dan tak pernah terhapus sedikitpun hingga detik ini atau sampai kapanpun.
“Tapi ini adalah restoran terbaik” sahut suara lain yang berasal dari lelaki bertubuh tinggi yang berdiri dalam posisi membelakangi dapur.
“Apakah harus di restoran terbaik? Aku tidak mau berjejal-jejal seperti itu. Kalau kau mau makan di sini, makanlah. Aku mau mencari tempat lain yang bisa memberiku tempat duduk” jawab lelaki muda berscarf biru di kepalanya seraya berbalik dan melangkah pergi.
“Ya!...Yoon-ah!...tunggu!...kita kan bisa menunggu sebentar dan nanti pasti ada tempat duduk yang kosong untuk kita?!...Yoon-ah!...Yoon-ah!” teriak lelaki muda yang berdiri membelakangi dapur seraya berlari mengejar temannya yang telah berjalan cepat meninggalkan sisi dapur restoran yang  sangat ramai tersebut. Meninggalkan Chef Chen yang nanar menatap keluar jendela, pada lelaki muda berscarf biru di kepalanya dan terlihat panik saat melihat pemuda yang telah menghancurkan seluruh ketenangan di matanya itu melangkah cepat meninggalkan sisi jendela.
Maka, bagaikan kehilangan kendali dirinya, Chef Chen melemparkan pisaunya begitu saja dan segera melompat melalui jendela yang terbuka, terlupa pada luka menganga di tangan kirinya yang mengucurkan darah segar dan seluruh kesibukan di restoran yang menyandarkan denyut kehidupan mereka di bahunya.
“Lanjutkan!” desis Chef Chen pada chef muda yang terpana.
“Tapi Chef!....Tapi tangan Anda Chef!...tangan Anda terluka dan darah Anda banyak sekali!” teriak chef muda yang berdiri di sisi Chef Chen.
Namun, Chef Chen telah melesat jauh meninggalkan dapurnya, meninggalkan seluruh staf dapur yang terpana. Apa yang terlihat kemudian hanyalah sebuah bayangan putih yang menjauh dengan cepat menuju arah tempat menghilangnya pemuda berscarf biru yang telah berlalu dan menghilang di antara kerumunan pengunjung pasar festival yang sangat ramai.
******************



Tidak ada komentar:

Posting Komentar