Sementara itu, Yoon melangkah cepat. Ia tak tahu
kemana ia akan menuju karena ini adalah pertama kalinya ia menginjakkan kaki di
pasar festival ini. Karena itu, Yoon hanya sekedar melangkah ke depan,
meninggalkan Joong Mun yang mengejar di belakangnya dengan suara teriakannya
yang melolong-lolong.
“Yoon-ah!...Yoon-ah tunggu!..ya, kenapa kau marah
seperti itu? Yoon-ah!” teriak Joong Mun di belakang Yoon. “Iya
baiklah…baiklah!...kita akan mencari
restoran yang lebih tenang. Tapi kau tak perlu ngambek seperti itu
Yoon-ah!...kalau seperti ini, kau terlihat seperti anak SMU saja”.
Yoon memutar bola matanya mendengar celoteh Joong
Mun. Langkahnya terhenti dan pemuda itu berbalik menghadap ke arah sahabatnya.
Anak SMU? Hah!...lelucon apa pula itu?
“Dengar Joong Mun” ujar Yoon dengan nada sabar
sementara Joong Mun berdiri tepat di depannya dengan sepasang mata
berkedip-kedip. “Aku datang ke Hawaii bukan untuk berlibur. Aku datang untuk
mengikuti lomba memasak dan setelah itu, aku harus segera pulang ke Seoul. Ada
banyak sekali hal penting yang harus kukerjakan. Jadi hentikan candamu dan bawa
aku pulang ke rumahmu. Aku lelah…apa kau mengerti?”.
Joong Mun menatap Yoon sesaat lalu mengangguk.
“Baiklah, kau tidak seperti anak SMU…kau seperti guru kita di SMU dulu”.
“Apa kau mengerti?!” sentak Yoon mulai kesal.
“Ya ya ya…Yoon-ah…Aish!, kau ini benar-benar
serius. Ada apa denganmu hah?! Kenapa tak ada rasa humor sedikitpun di wajahmu
itu? Membuat orang takut saja” sahut Joong Mun sambil mengangkat dua tangannya
untuk menenangkan Kim Yoon Lu yang mulai kehilangan kesabaran.
“Baiklah!..tunggu di sini sebentar. Aku akan membeli beberapa burger dan donat
untuk kita. Lebih baik kita segera pulang sebelum kau membuat orang takut
dengan wajah seriusmu itu”.
“Jangan terlalu lama!” seru Yoon pada Joong Mun
yang telah melangkah pergi dan menyusup
di antara orang-orang yang mengunjungi pasar festival. Tak ada jawaban dari
sahabatnya itu, namun, Yoon dapat melihat sebuah tangan menyembul ke atas di
antara para pengunjung pasar dan mengacungkan sebuah jempol ke arahnya. Itu
jempol Joong Mun.
Yoon menghela nafas panjang dan mulai melangkah
pelan di sekitar tempatnya berdiri. Baiklah, jadi, ia terjebak di Pulau Hawaii
ini sekarang sampai sepuluh hari kedepan hingga lomba memasak selesai. Mungkin
ia kesal pada Joong Mun, namun kenyataannya, ia telah berada di Pulau Oahu
Hawaii, dan itu tak bisa dipungkiri. Karena itu, mungkin memang sebaiknya ia belajar
untuk bersabar dan mulai membiasakan diri dengan suasana di Pulau Oahu ini.
Yoon mengedarkan pandangannya. Ia kini berada
tepat di tengah pasar, di jalan cukup lebar yang memisahkan deretan kios di
sebelah kiri dan kanan jalan. Masih terdapat pedagang-pedagang kaki lima yang
menempatkan mejanya di tengah jalan yang cukup lebar tersebut. Para pedagang
kaki lima yang kebanyakan menawarkan barang-barang dagangan dalam skala kecil
seperti pernak-pernik perhiasan, kalung Lei dari tulang, kuku maupun gigi
binatang, kalung, gelang dan hiasan dari kulit kerang, untaian bunga lei,
Kacang Macadamia, sepatu dan sandal, hingga kain yang di rajut dari rumput.
Suasana sungguh semarak, di dukung oleh cuaca cerah dan angin laut yang
berhembus semilir. Sinar matahari tidak memancar dengan terik membuat siang
menjadi sangat nyaman. Benda-benda bernuansa etnik terlihat menarik dan
mengesankan nilai eksotis Kepulauan Hawaii. Semakin menarik ketika aliran angin
semilir yang bertiup membuat benda-benda tersebut bergoyang-goyang bersama tali-tali yang mengikatnya.
Yoon tersenyum dan melangkah mendekati satu meja
kaki lima yang terlihat paling besar dan paling lengkap. Mungkin saja, ada satu
atau dua benda yang bisa dibawanya pulang untuk Seon nanti.
****************
“Leia?...Omma mau melihat tas di kios Mama Madora.
Kemarin dia mengatakan pada Omma ada tas baru yang bagus. Ayo?” ajak Mrs. Akela
sambil menarik tangan putrinya.
Leia merengut. Ia kenal dengan Mama Madora. Itu
tetangga yang tinggal di dekat rumah Malina. Orangnya sangat cerewet dan senang
berbicara. Jika ibunya pergi ke kios Mama Madora, sudah bisa dipastikan, akan
terjadi obrolan yang sangat panjang dan lama. Dan itu akan sangat
membosankannya.
“Omma…Omma pergi saja sendiri ke sana. Aku ingin
melihat-lihat kalung kerang itu sebentar” sahut Leia sambil merenggut lepas
tangannya dari genggaman Mrs. Akela.
Mrs. Akela menatap Leia dengan kerut di wajahnya
yang cantik. Tapi sesaat kemudian, kepalanya mengangguk juga.
“Baiklah Leia. Tapi ingat, jangan pergi terlalu jauh
dan siapkan ponselmu. Omma akan menelponmu jika Omma sudah selesai dan kau
harus menemui Omma di kios Mama Madora” ujar Mrs. Akela.
“Ya Omma…” sahut Leia sambil tersenyum manis
dengan lagak manja. “Jika Omma sudah selesai, Omma telpon saja dan aku akan ada
tepat di sini, menunggu Omma”.
Mrs. Akela tertegun sejenak, lalu menggelengkan
kepalanya. Ia mengerti, Leia tak pernah menyukai Mama Madora yang banyak bicara
dan suka gossip. Tapi, bahkan menjemput ibunya sendiri di kios Mama Madora
sudah membuat Leia mundur benar-benar membuat Mrs. Akela merasa heran.
“Kau ini….kenapa tidak juga berubah?” desah Mrs.
Akela sambil beranjak dari sisi putri tunggalnya.
“Dah
Omma!...jangan memborong semuanya!” seru Leia sambil melambaikan dua
tangan mungilnya.
Suara orang-orang yang memenuhi arena pasar
terdengar mendengung seperti suara ribuan tawon yang terbang bersama-sama.
Sesekali, suara teriakan keras pedagang yang
menawarkan barang-barang dagangannya terdengar menyembul di antara suara
dengung yang menggaung itu. Semakin siang, suasana pasar semakin ramai oleh
orang-orang yang datang. Leia melihat, bahwa pengunjung pasar kini terlihat
mulai di dominasi oleh wajah-wajah baru yang pertama kali dilihatnya. Mungkin
saja, pengunjung festival dari luar Oahu dan bahkan luar Kepulauan Hawaii telah
banyak yang datang. Besok adalah pembukaan festival yang di tandai dengan
penyalaan ribuan lampion untuk mendokan arwah seluruh kerabat dan tua-tua yang
telah tiada. Dan selanjutnya, hingga satu bulan ke depan, Pulau Oahu akan di
penuhi oleh keramaian dan suasana meriah yang menggembirakan.
Leia menatap orang-orang yang baru pertama
dilihatnya. Apakah sudah datang semuanya?. Sebuah desir halus menyusup di hati
Leia. Mendenyutkan jantungnya untuk berpacu lebih kencang saat ia kembali
teringat pada ramalan nenek tetua adat tentang seseorang yang akan datang
bersama festival. Orang yang akan membawanya pergi dari Oahu. Siapakah dia?
Seperti apakah wajahnya? Apakah dia sudah datang di sini sekarang?. Hari ini,
tiba-tiba ia merasa begitu bersemangat meskipun ia tidak lagi bisa tidur
setelah kedatangan Leo Kai yang mengancam dan menciumnya dengan paksa dua hari
yang lalu. Hari ini, seolah Leia merasakan sebuah energi baru yang mengisi
seluruh sisi-sisi tubuhnya.
Leia menarik nafas panjang sejenak dan menahan
gumpalan besar oksigen di dadanya untuk sesaat agar jantung yang terasa
berdetak lebih cepat saat ia teringat pada ramalan nenek tetua adat, menjadi
lebih tenang. Jika ramalan itu benar, dan orang itu memang ada dan sungguh datang
ke Pulau Oahu ini, maka ia harus siap untuk bertemu dengannya. Di manapun,
kapanpun dan dalam keadaan yang bagaimanapun.
Tapi, jika orang itu sungguh ada dan telah datang
ke pulau ini, bagaimana cara ia mengetahuinya? Bagaimana ia akan tahu bahwa
orang itu adalah orang yang akan membawanya pergi dari pulau ini? sedangkan ia
tidak tahu siapa namanya, bagaimana wajah dan wujudnya atau hal apapun tentang
orang itu. Satu tangan Leia terangkat ke depan dada dan mendekap sesaat dada
itu, nyaris tanpa kesadarannya. Kepalanya menengadah. Di langit itu, yang biru
dan berhias awan seputih kapas itu, pastilah ada jawabannya. Benar bukan?
“Tolonglah” bisik Leia pada bentangan langit biru
dan awan yang memutih salju. “Jika memang orang itu ada, jika memang dia
benar-benar ada dan datang ke pulau ini, maka buatlah agar aku bisa melihatnya.
Buatlah agar hatiku mengenalinya. Agar aku tahu bahwa dialah orangnya”.
Leia menghempaskan nafasnya dengan agak keras.
Baiklah, hari ini sangat indah untuk dinikmati. Jadi, lebih baik ia mulai
menikmatinya sebelum ibunya datang dan membawanya pulang. Ia sudah berdoa, karena
itu…sekarang saatnya untuk bersenang-senang.
“Nah Leia, saatnya berpetualang” ujar Leia pada
dirinya sendiri sambil menatap ke depan.
Ia berada tepat di tengah jalan yang memisahkan
barisan besar kios di sisi kiri dan kanannya. Jalan cukup lebar yang menjadi
tempat para pedagang kaki lima menggelar barang-barang mereka dalam meja-meja
terbuka. Leia menatap barisan meja-meja milik para pedagang kaki lima tersebut
yang terlihat meriah oleh berbagai barang yang umumnya merupakan perhiasan dan
pernak-pernik bernuansa etnik dari alam. Itulah yang ia sukai. Mungkin saja, ia
bisa menemukan seuntai kalung kerang mutiara yang memancarkan bias-bias
pelangi. Ia pernah melihat kalung seperti itu pada Festival Waikiki beberapa
tahun lalu, namun sayang, ada orang lain yang lebih dulu membelinya dan sesudah
itu, ia tak lagi pernah melihatnya. Perlahan, kakinya melangkah mendekati meja
kaki lima yang berada dalam jarak terdekat dengannya. Sebuah meja kaki lima
yang berukuran paling besar dan panjang dengan jumlah barang yang di pajang
paling banyak. Kalung-kalung berjuntaian, di ikat pada palang kayu di atas
meja, bersisihan dengan gelang-gelang, untaian bunga lei, cincin hingga bunga
kepala. Leia tersenyum saat beberapa orang menyapanya. Meja kaki lima yang
paling besar itu terlihat agak padat oleh orang-orang yang melihat benda-benda
yang dipanjang. Namun, ia masih bisa menjejalkan dirinya di antara orang-orang
yang telah lebih dulu datang tersebut.
Maka, setelah terlebih dulu menyapa lelaki berusia
setengah baya pemilik meja kaki lima yang berdiri beberapa langkah darinya,
Leia segera mendekat ke arah meja dan mulai melihat-lihat kalung yang
tergantung di palang kayu.
***********
Chef Chen berlari seperti tak ada orang lain di
tengah-tengah pasar festival di sekitarnya. Tubuhnya melompat tinggi ketika ia
berhadapan dengan meja kaki lima yang menghadang langkahnya. Seluruh geraknya
yang gesit segera menarik perhatian banyak orang yang tengah menkmati suasana
pasar. Baju chef putih yang dipakainya membuat gerak tubuhnya meninggalkan
bayangan putih yang berkelebat dan menyusup di antara keramaian.
Satu kali, tubuh sang chef penuh kharisma itu
menyenggol sebuah nampan bambu yang diletakkan di atas sebuah meja kaki lima
berisi beberapa jenis makanan olahan hasil ikan dalam bungkus-bungkus
tradisional yang indah dan menarik. Akibatnya, nampan tersebut berguling dan
seluruh isinya berhamburan ke lantai jalan di tengah pasar meninggalkan jerit
orang-orang yang terkejut dan teriakan marah si pemilik meja kaki lima.
“Hei!..Pak Tua!...hati-hati kalau berlari! Ini
pasar! Kau membuatku rugi!” teriak wanita pemilik kaki lima sambil berkacak
pinggang.
Namun, Chef Chen tak lagi mendengar suara teriakan
wanita yang marah tersebut. Tidak juga teriakan kaget pengunjung pasar yang
nyaris bertabrakan dengannya. Pandangannya hanya tertuju pada satu titik. Pada
sosok pemuda berscarf biru di kepalanya yang kini berada dalam jarak nyaris
seratus meter di depannya. Sepasang mata yang sebelumnya selalu tenang itu,
kini terlihat dipenuhi oleh gejolak emosi yang berdesakan dengan kekuatan penuh
menuntut pengungkapan. Tubuhnya yang gesit dan seolah tak memiliki rasa lelah
terus bergerak memperpendek jarak dengan lelaki muda berscarf biru yang
terlihat tengah berbicara dengan temannya. Lalu, sesaat kemudian, lelaki muda
berscarf biru itu berjalan pelan menuju sebuah meja kaki lima paling besar di dekatnya
sementara temannya beranjak pergi dan menghilang di balik keramaian pasar.
Chef Chen bergerak mendekat ke arah pemuda yang
mengenakan scarf biru di kepala dan sekarang berdiri dalam posisi
membelakanginya. Tampaknya, pemuda itu tengah melihat-lihat benda yang dipajang
di meja kaki lima yang paling besar dan paling lengkap tersebut. Langkahnya
kini tak lagi cepat melainkan perlahan, seiring gemuruh emosi yang bergejolak
di dadanya.
“Cyou?....Xu Cyou?” panggil Chef Chen dengan suara
berbisik yang rapuh. Sepasang matanya memerah sementara langkahnya tertatih
mendekati punggung yang tengah sibuk memilih dan memilah di antara benda-benda
yang dipajang.
Lelaki muda dengan scarf biru di kepalanya
terlihat asyik dan sama sekali tak menyadari kehadiran Chef Chen yang berada
hanya beberapa langkah di belakangnya. Sesekali, pemuda itu bertanya pada
pemilik kaki lima tentang benda yang dipegangnya dan harga dari benda tersebut.
Hingga kemudian, jemari pemuda itu terulur pada satu titik di antara sekian
banyak kalung-kalung yang di gantung pada palang kayu. Seuntai kalung berwarna
putih mutiara dan berkilau membiaskan warna pelangi ketika cahaya matahari dari
langit memancar dan menimpa tepat pada setiap bagiannya.
Chef Chen bergerak selangkah ke depan saat jemari pemuda
itu telah berhasil mengambil kalung yang berkilau tersebut, memegang dan
mengangkatnya ke depan wajahnya sendiri. Kemudian, sang chef bersiap untuk
melangkah setapak lagi. Namun, semilir angin laut yang berhembus sedikit
kencang membuat langkah lelaki penuh kharisma itu terhenti.
Terhenti dalam ketegangan yang terlihat jelas di
wajahnya. Wajah yang kini terpilin antara bahagia namun juga kesedihan yang
paling menyakitkan. Seolah kesedihan itu telah membelenggu sejak jauh di masa
lalu.
Sepasang mata Chef Chen yang memerah kini
benar-benar berair, mengalir dan titik-titik yang jatuh dari kedua mata
tersebut, segera membaur bersama angin, menciptakan bintik-bintik cahaya halus
yang nyaris tak terlihat oleh mata, terlebih mata orang-orang yang sibuk melihat sekian banyak benda di tengah pasar festival.
Aliran airmata yang tak pernah jatuh ke tanah, karena setiap tetesnya segera
memecah menjadi pendar cahaya yang lembut sebelum kemudian hilang bersama angin
yang bertiup.
Tubuh lelaki itu bergetar sementara sepasang
matanya menatap ke depan, dengan sorot lembut penuh cinta sekaligus luka. Pada wajah
yang terlihat setelah angin pantai yang berhembus menyingkirkan untaian kalung
di palang kayu yang menutupi seraut wajah tersebut, tepat berseberangan dengan
pemuda berscarf biru di depannya.
“Leia? Xiao Feng?” bisik bibir Chef Chen saat
melihat wajah lain yang semula tersembunyi di balik barisan untaian kalung dan
perhiasan yang di gantung. Titik airmata yang segera berpendar menjadi cahaya
semakin deras mengalir dari sepasang mata Chef Chen saat ia menatap kembali
punggung pemuda berscarf biru tepat lima langkah di depannya. “Xu Cyou…”.
***************
Leia tertegun. Segalanya seperti berhenti berputar
tepat di depan matanya. Sedetik lalu, ia masih melihat kerlip kalung yang dicarinya
selama beberapa tahun ini. Dengan sangat jelas ia bisa melihat ujung kalung
kerang mutiara berbias cahaya pelangi di antara kalung-kalung lain yang
bergelantungan pada palang kayu. Leia merasa begitu gembira seolah ia menemukan
sebuah jalan untuk pulang setelah lama tersesat. Tangannya terulur untuk meraih
kalung yang dapat ia lihat ujungnya. Namun, sebuah tiupan angin yang keras
membuat kalung itu seperti bergerak, berpindah, di susul tersibaknya untaian
ratusan kalung di depannya. Menyingkap seperti tirai yang ditarik ke samping
dengan gerakan cepat.
Dan ia melihatnya. Apa yang tersembunyi di balik
tirai kalung di depannya. Hal yang membuat segala kerlip cahaya memudar dengan
sangat cepat. Kalung kerang mutiara yang dicarinya telah hilang, tenggelam
dalam lautan cahaya. Seperti bintang yang seketika lenyap saat matahari
memunculkan dirinya di langit malam. Kalung itu kini hanyalah seuntai benda
mungil di tangan yang telah lebih dulu mengambilnya, jemari indah dan panjang
yang membuat kalung itu menjadi sebentuk benda tak berarti. Terjuntai lepas di
depan wajah yang memancarkan binar kehidupan yang paling hidup, seperti cahaya
matahari pagi yang muncul di ujung malam dan melenyapkan seluruh kegelapan.
Wajah berhias sepasang mata yang tengah menatap seuntai kalung tersebut dengan
penuh minat dan kekaguman, terlupa bahwa seluruh keindahan kalung itu telah
lenyap di hamparan keindahan wajahnya sendiri. Bibir yang tersenyum dalam
kegembiraan, seperti senyum di mulut malaikat penebar cinta. Ujung-ujung scarf
biru yang mengikat kepalanya bergetar dalam godaan angin yang tak henti menari,
menegaskan keindahan siluet rambut-rambut hitam yang menyembul di balik scarf
biru dan menggantung dengan sempurna di tengkuk dan bawah telinga.
Ia tidak mengenalnya. Leia sungguh tak
mengenalnya. Siapa lelaki muda itu? Lelaki muda yang membawa matahari pagi di
wajahnya dan seluruh kehangatan di mata dan senyumnya. Seolah seluruh musim
telah berpihak pada sosok yang berdiri di seberang meja, tepat di depannya itu.
Bagaimana lelaki muda itu bisa berdiri di sana dan ia sama sekali tak melihatnya
sampai angin laut datang di antara mereka?.
Mendadak Leia merasa seluruh bagian dirinya
menghilang. Seperti warna-warna yang menyusut oleh terjangan badai dalam
kecepatan yang sangat tinggi. Lalu, tiba-tiba segalanya berubah menjadi warna
baru.
Tapi, mengapa Leia merasa mengenal warna baru ini?
Mengapa seolah-olah ia telah terbiasa dengan warna ini? Mengapa, meski ia tak
tahu siapa lelaki muda yang tengah mengagumi kalung kerang mutiara itu, namun
Leia merasa seolah, sepanjang hidupnya, lelaki itu telah menjadi sebuah irama
yang menguasai seluruh langkah-langkahnya. Mengisi hingga setiap sudut terjauh
dalam jiwanya, tanpa menyisakan satu bagianpun yang kosong untuk hal lain.
Mengapa ia merasa seolah menjadi cermin dimana bayangan yang terpantul dari
tubuhnya bukanlah dirinya melainkan lelaki itu. Apa yang di rasakannya bukanlah
perasaan yang menjadi miliknya melainkan milik lelaki itu.
Leia merasakan hangat yang menyelimuti kedua
matanya. Rasa hangat yang memberat, berlawanan dengan kesejukan yang ditawarkan
oleh angin semilir yang kini bertiup dengan lembut di sela-sela helai
rambutnya. Rasa hangat yang semakin sulit untuk di tampung oleh kelopak matanya
dan pecah mengalir. Menetes melewati dagu dan jatuh ke atas jalan pasar yang
keras, menyatu bersama debu.
“Leia?” sebuah suara memanggil yang berasal dari
seorang lelaki berwajah teduh dengan pakaian chef yang berdiri beberapa langkah
di belakang lelaki mudayang telah menyedot seluruh kesejatian Leia Kaili.
“Leia!”.
Namun gadis itu tak mendengarkan apapun suara yang
ada di sekitarnya. Tidak ketika dirinya telah benar-benar menghilang dan
menjadi satu warna baru yang sejak sebulan lalu mulai dirasakannya. Warna baru
yang sama sekali tak dikenalinya namun sangat akrab dengannya melebihi dirinya
sendiri. Warna yang hanya di isi oleh lelaki muda berscarf biru itu, yang
terlihat mulai menawar harga kalung ditangannya.
***********
“Anda
menginginkan kalung ini Tuan?” tanya lelaki pemilik meja kaki lima pada Yoon.
Yoon menoleh pada lelaki separuh baya yang berdiri
di sisi meja dan tersenyum. Tangannya masih menimang-nimang kalung kerang
mutiara yang diambilnya. Lalu, kepalanya mengangguk.
“Berapakah harganya?” tanya Yoon sambil
menunjukkan kalung di tangannya. “Apakah mahal?”.
“Ah..tidak Tuan. Tentu saja tidak mahal” jawab
lelaki pemilik kaki lima sambil tertawa. “Kalung ini hanya seharga $ 5.00
saja”.
Lumayan mahal untuk kalung berbahan kulit kerang,
sahut Yoon dalam hati. Namun, kepalanya kemudian mengangguk. Tapi, itu harga
yang pantas untuk sebuah kalung yang indah. Seon, pasti akan sangat menyukai
kalung ini. Karena itu, Yoon segera mengeluarkan dompet dari saku belakang
celana jeansnya dan mengambil uang dalam jumlah yang disebutkan oleh si pemilik
kaki lima. Untungnya, sebelum berangkat, ia telah lebih dulu menukar beberapa
mata uang Won ke dalam dollar, sehingga ia bisa membeli sesuatu di hari
pertamanya ini.
“Ahjussi, ini uangnya. Terimalah” ujar Yoon.
“Terima kasih Tuan” sahut lelaki pemilik kaki lima
sambil menerima uang yang disodorkan oleh Yoon. “Tapi, nama saya bukan Ahjussi
Tuan…tapi Ron”.
Yoon kaget sesaat, dan tawanya meledak dalam tawa
lebar yang lepas.
“Ah ya…maafkan saya Paman Ron. Saya tiba-tiba
teringat pada paman saya” sahut Yoon masih dengan tawanya.
Lelaki pemilik kaki lima yang bernama Ron itu
turut tertawa dan mengulurkan sebuah kotak mungil dari kayu berwarna coklat
tua.
“Itu bagus, paman Anda pastilah orang yang sangat
baik. Silahkan Tuan, ini adalah kotak untuk menyimpan kalung itu” ujar Ron pada
Yoon.
“Terima kasih Paman Ron” sahut Yoon sambil
menerima kotak kayu yang diberikan padanya, kemudian meletakkan kalung yang
telah dibayarnya ke dalam kotak kayu tersebut dan menyimpannya di saku kemeja.
Mulutnya masih menyunggingkan senyum cerah dan gembira, tanpa sedikitpun
menyadari dua pasang mata yang menatap ke arahnya, dalam jarak yang begitu
dekat, dalam linangan airmata. Satu pasang mata yang mengisyaratkan kedalaman
rasa rindu yang tak dapat dimengerti, dan sepasang mata lain yang
mengisyaratkan kebahagiaan, kepedihan, kecemasan sekaligus rasa takut.
Yoon bermaksud untuk melangkah pergi dari meja
kaki lima tersebut sementara lelaki pemilik meja yang bernama Ron segera
mendekati pengunjung mejanya yang lain. Lelaki yang terlihat gembira setelah
satu kalungnya terjual itu melihat ke arah Leia yang masih tertegun di
tempatnya.
“Nona Leia? Ah…Nona terlihat kecewa, Nona Leia ingin
mencari apakah? Katakanlah agar saya bisa membantu Nona Leia mencarinya” seru
Ron saat melihat airmata yang mengalir di pipi Leia Kaili.
Yoon, yang telah berjalan beberapa langkah
mendengar seruan lelaki pemilik meja kaki lima. Sebuah kekuatan terasa menarik
kepala Yoon untuk menoleh ke belakang membuat tubuh pemuda itu perlahan
berbalik.
“Yoon-ah!..Di sini kau rupanya!” seru Joong Mun
yang mendadak muncul dari sisi Kim Yoon Lu dan menepuk bahunya membuat
perhatian Yoon teralihkan dan kekuatan yang menariknya untuk berbalik ke
belakang langsung memudar sebelum tubuhnya benar-benar berpaling untuk melihat
lelaki pemilik kaki lima yang tengah berdiri di sisi Leia Kaili.
“Kau mencariku?” tanya Yoon sambil menatap
sahabatnya yang datang sambil membawa satu bungusan besar. “Padahal kau
menyuruhku untuk menunggumu di sini”.
“Tapi aku tahu bahwa kau biasanya tak mendengarkan
aku” sahut Joong Mun tak mau kalah membuat Yoon memutar bola matanya. Namun
Joong Mun terlihat tak peduli dan justru mengangsurkan bungkusan besar dalam
tas plastik yang dibawanya ke depan wajah Yoon. “Nah lihat Yoon-ah!...lihat apa
yang kubawa! Aku menemukan makanan untuk kita. Sekarang kita bisa pulang…ayo!”.
Yoon mengangkat bahu. Sekilas aroma makanan yang
lolos dari bungkusan yang sodorkan Joong Mun menyambar hidungnya membuat perut
Yoon bergejolak.
“Kalau begitu, ayo cepat!…sebelum aku pingsan
karena kelaparan” sahut Yoon sambil melangkah meninggalkan area meja kaki lima
di sekitar mereka.
“Baiklah….” ujar Joong Mun sambil setengah berlari
menyusul Yoon yang lebih dulu melangkah cepat di depannya. Sekilas, kepala
Joong Mun menoleh ke belakang dan alisnya berkerut saat melihat seorang gadis
yang sangat di kenalnya, dan akan selalu di kenal oleh siapapun di Pulau Oahu
ini, tengah menatap ke arahnya. Dengan airmata di pipinya yang seputih mutiara
sementara di sisinya, lelaki yang tampaknya adalah si pemilik meja kaki lima
terlihat tengah berusaha membujuknya. Sementara, dalam jarak lima atau enam
langkah, di seberang meja, terlihat satu sosok lain dalam balutan baju chef
juga tengah menatap ke arahnya, dengan pipi yang basah pula. Alis Joong Mun
berkerut saat menatap sosok chef yang juga sangat dikenalnya dan juga akan
sangat dikenal oleh siapapun di Pulau Oahu, Pulau Besar dan seluruh Kepulauan
Hawaii ini.
“Leia Kaili?...Chef Chen?” desis Joong Mun. Aneh
sekali, kenapa hari ini ada dua orang yang sangat terkenal di Hawai tiba-tiba
memandang ke arahnya dengan penuh rasa haru?. Joong Mun merasa tersentuh. Ternyata,
dirinya sangat penting sehingga dua manusia paling terkenal di Pulau Oahu
memberikan perhatian yang begitu besar padanya.
“Joong Mun!” teriak Yoon memanggil sahabatnya
membuat Joong Mun tersentak lalu berbalik ke arah Yoon yang telah berdiri
sekitar lima puluh meter darinya. Joong Mun dapat melihat puncak kepala Yoon
yang berhias scarf biru di antara para pengunjung pasar yang berjejal di
depannya dan menghalangi pandangannya dari sahabatnya yang baru datang ke
Hawaii itu.
“Ya Yoon-ah…aku datang!” seru Joong Mun sambil
berlari ke arah Yoon setelah memberikan lambaian tangan ke arah Leia dan Chef
Chen yang masih menatap ke arahnya. Hati Joong Mun mengembang penuh rasa
bahagia. Sesaat Joong Mun menunggu hingga orang-orang pengunjung pasar yang
berdiri tepat di depan Yoon berlalu hingga ia bisa berdiri di depan sahabatnya.
“Baiklah…ayo kita pulang Yoon-ah!”
“Ya…apa yang kau lihat hingga begitu lama?” tanya
Yoon sambil memandang sahabatnya dengan kesal. Kepala Yoon sedikit terteleng ke
samping, berusaha melihat melewati bahu Joong Mun untuk mengetahui hal yang
telah membuat sahabatnya itu tertahan. Namun, sosok Joong Mun yang memiliki
postur tubuh tinggi sama dengannya membuat pandangan Yoon terhalang. Masih di
tambah beberapa pengunjung yang kembali lewat dan bahkan kemudian satu dua di
antara mereka berdiri tepat di belakang punggung Joong Mun untuk melihat
kain-kain di meja kaki lima di sisi mereka.
“Tidak ada…hanya sebuah kenyataan yang baru saja
kumengerti tentang diriku” ujar Joong Mun sambil tersenyum penuh ceria. Lalu,
tangannya meraih bahu Yoon. “Ayo kita pulang”.
Kim Yoon Lu mengangkat satu alisnya ke atas saat melihat
binar bahagia di wajah sahabatnya. Namun, ia segera berbalik dan kembali
melangkah menuju tempat di mana jeep hijau Joong Mun menunggu.
“Makanan apa yang kau beli?” tanya Yoon sambil
menatap bungkusan besar di tangan Joong Mun.
“Sesuatu yang sangat enak. Kau pasti suka” jawab
Joong Mun sambil menyodok lengan Yoon dengan sikunya. Lalu, jarinya menunjuk ke
arah saku kemeja Yoon yang terlihat menonjol. “Apa yang kau beli itu?”.
Yoon meraba kotak kayu mungil di saku bajunya,
lalu mengangkat bahu. “Bukan apa-apa. Hanya mainan kecil untuk adikku”.
**************
Sementara itu…..
“Nona Leia? Ada apa Nona? Kenapa…Nona menangis?”
tanya pemilik meja kaki lima sambil menyentuh bahu Leia Kaili yang masih terus
tertegun menatap ke arah di mana lelaki muda dengan scarf biru di kepalanya itu
lenyap di balik kerumunan pengunjung pasar.
Leia masih terus tertegun seolah suara pemilik
meja kaki lima hanyalah sebuah dengungan halus di kejauhan yang tak tertangkap
di pendengarannya. Leia merasa sangat sunyi. Sunyi yang teramat mencekam dan
semakin mencekam seiring menjauhnya punggung yang membawa serta sinar kehidupan
di wajah itu. Segalanya terasa hilang di mata Leia. Pasar dan semua hiruk
pikunya, benda-benda yang dipajang dalam berbagai warna, bentuk dan corak yang
meriah, hingga dirinya sendiri. Satu-satunya yang tertangkap di mata Leia Kaili
sekarang hanyalah sosok berwajah matahari itu, yang punggungnya menjauh dan
semakin menjauh darinya. Leia merasakan sentakan-sentakan halus di dadanya,
geliat jantung yang menuntutnya untuk berlari ke arah lelaki berscarf biru itu
dan kemudian tinggal di dekatnya. Namun, kakinya seperti tak bertenaga. Seluruh
tubuhnya seperti terpaku pada bumi yang dipijaknya membuat wajah Leia memucat
sementara airmata mengalir seperti sungai yang terlepas dari bendungannya. Alis
Leia berkerut. Kenapa ia menangis? Kenapa ia menangis untuk seseorang yang belum
pernah bertemu dengannya sebelumnya? Kenapa ia merasa sangat membutuhkan lelaki
itu? Mengapa ia merasa bahwa lelaki itu menguasai seluruh irama kehidupannya
meski ini adalah pertama kali ia melihatnya? Dan kenapa…..ia sangat merindukan
lelaki yang bahkan tak diketahuinya, siapa namanya itu?. Sepertinya, Leia akan
terus berdiri di tempatnya tanpa peduli beberapa pasang mata pengunjung pasar
yang mulai tertarik dan menatap ke arahnya. Hingga satu suara lain seperti
menyerap seluruh kesunyian yang melingkupinya, dan membawanya pada kekinian.
Membuat Leia sadar di mana ia berada sekarang.
“Leia?” suara lembut namun mengandung kekuatan
wibawa yang sangat kuat itu mendegung, menyusup masuk ke kedalaman kesadaran
gadis itu membuat Leia memiliki kekuatan untuk berpaling dan perlahan,
kepalanya menoleh ke arah asal suara. Seorang pria berusia sekitar lima puluhan
tahun, berpakaian chef warna putih yang bersih dengan wajah yang sangat teduh
dan lembut. Tersenyum, dan mendadak Leia merasakan ketenangan yang mengaliri
hatinya, mengusir semua perasaan aneh yang semula melingkupinya setelah ia
melihat lelaki muda berwajah matahari terbit itu. Keteduhan di wajah lelaki
berpakaian chef tersebut seperti menghisap seluruh kesedihan, kerinduan dan
penantian aneh yang mencekam dirinya sesaat lalu. Memberikan kelegaan seolah,
Leia kini bisa menarik dan menghirup oksigen yang dibawa oleh semilir angin
laut. Leia mengusap pipinya yang terasa dingin dan merasa heran saat merasakan
airmata di sana, lalu mencoba untuk tersenyum pada lelaki yang membawa kekuatan
menyejukkan hati yang memanggilnya. Ia mengenal lelaki itu yang telah menjadi
chef kesayangan Elder Agung dan mengelola restoran milik Elder Agung yang paling
terkenal dengan kelezatan masakannya di seluruh Kepulauan Hawaii. Sebagai
bagian dari keluarga elder, Leia sudah sangat sering bertemu dengan lelaki berwajah
teduh itu. Bahkan, keakraban di antara dirinya dengan chef yang kemampuan
memasaknya belum pernah tertandingi itu sudah sangat kuat hingga terkadang,
Leia merasa bahwa Chef Chen adalah ayahnya sendiri, melebihi Elder Kaili.
“Paman Chen?” sahut Leia sambil menatap Chef Chen
yang telah berjalan menyeberangi meja dan kini berdiri tepat di sisi kirinya.
Ron membungkuk penuh hormat pada chef yang sangat dikenal di seantero Kepulauan
Hawaii tersebut. Sementara Leia sekilas meneliti chef keluarga elder yang telah
sangat di kenalnya sejak masa ia masih kanak-kanak.
“Paman Chen terluka?” tanya Leia sambil menunjuk
tangan kiri Chef Chen yang berhias guratan merah.
Chef Chen tersenyum manis. Jelas terlihat sorot
kelembutan dan kasih sayang di matanya yang teduh. Hal yang membuat Chef Chen
menempati tempat tertinggi di hati Leia melebihi ayah biologisnya yang sebatas
ingatan terjauh Leia, belum pernah menatapnya dengan sorot penuh cinta seperti
halnya yang ia lihat di mata Chef Chen saat menatapnya. Sorot penuh cinta dan
kelembutan yang membuat Leia selalu merasa tenang seolah semua masalah pasti
akan beres.
“Hanya goresan kecil. Apa yang kau cari?” tanya
Chef Chen dengan nada lembut.
Leia tersenyum dan menggeleng. “Tidak Paman
Chen….saya hanya mencari kalung kerang mutiara tapi sudah ada yang membelinya
lebih dulu”.
Ron si pemilik meja kaki lima terkejut saat
mendengar jawaban Leia.
“Maksud Nona, kalung kerang mutiara yang baru saja
di beli oleh lelaki muda yang memakai ikat kepala biru tadi?” tanya Ron sambil
memandang ke arah Leia dan menunjuk ke arah hilangnya Yoon.
Leia mengangguk dan tersenyum.
“Benar Paman Ron. Tapi tidak apa-apa. Mungkin
belum waktunya saya memiliki kalung itu” jawab Leia.
Chef Chen menatap Leia. Sekilas rasa sedih
menggeliat di hatinya, sebab ia tahu benar bahwa apa yang dikatakan oleh gadis
itu sama sekali tidak benar. Bukan kalung itu yang membuat Leia Kaili menangis.
“Nanti, kau juga akan memiliki kalung itu Leia”
ujar Chef Chen membuat Leia terkejut dan menatap chef di sisinya.
“Kalung itu jarang ada Paman. Kalaupun kelak saya
memilikinya, mungkin akan butuh waktu yang lama” jawab Leia pelan. Kepalanya menggeleng.
Chef Chen tersenyum meskipun sesuatu terlihat
berkilat di matanya. Lalu kepalanya mengangguk.
“Kau datang sendiri ke pasar ini? Sebaiknya kau
pulang Leia. Biar Paman yang mencari kalung itu untukmu” ujar Chef Chen.
Leia tertunduk mendengar ucapan Chef Chen. Saat
ini, kalung itu tak lagi berarti baginya. Tapi, jika ia mengatakan yang
sebenarnya, apakah Chef Chen akan mengerti? Sementara ia sendiripun tak
mengerti apa yang sebenarnya terjadi dengannya. Tapi, apalagi yang bisa
dilakukannya sekarang?. Maka, gadis itu kemudian mengangguk.
“Saya bersama Omma Paman Chen. Dan sekarang Omma
sedang berbelanja di kios Mama Madora” jawab Leia sambil menunjuk arah kios tas
dan sepatu milik Mama Madora di ujung jalan dengan ibu jarinya.
“Baiklah Leia…sebaiknya kau pulang dan istirahat
di rumah. Paman akan mencari kalung itu untukmu” ujar Chef Chen.
“Benar Nona” sambung Ron. “Nona Leia terlihat agak
pucat….kalau nanti ada lagi kalung yang seperti itu, Paman Ron akan
menyimpannya hanya untuk Nona Leia. Tak akan Paman Ron lepaskan untuk yang
lain”.
Leia mengangguk, merasa sedikit terhibur dengan
perhatian dua orang di dekatnya.
“Leia?!....Leia!” suara Mrs. Akela terdengar agak
keras membuat Leia yang hendak menyahut kalimat si pemilik meja kaki lima
menjadi urung dan berbalik ke belakang. Terlihat ibunya berjalan dengan raut
bingung di wajahnya.
“Omma?!” sahut Leia sambil melambaikan tangannya.
“Kau ini!...apa yang kau lakukan sampai Omma
menelponmu berkali-kali dan kau tidak juga mengangkat telpon dari Omma?” tegur
Mrs. Akela saat telah sampai di sisi Leia Kaili. Pandangan Mrs. Akela sesaat
tertuju pada putri tunggalnya sebelum kemudian beralih pada sosok lain yang
juga hadir di tempat itu. Wajah Mrs. Akela yang semula berkerut marah langsung
berubah ramah saat melihat Chef Chen.
“Chef Chen? Anda di sini?” sapa Mrs. Akela dalam
tanyanya.
Chef Chen tersenyum dan membungkuk hormat pada
wanita cantik yang lembut di depannya. Ron, yang berdiri di sisi Chef Chen
turut membungkuk pada istri ketiga Elder Kaili tersebut.
“Benar Nyonya. Kebetulan saja saya lewat lalu saya
melihat Leia sedang mencari-cari sesuatu di sini” jawab Chef Chen.
Mrs. Akela terlihat sedikit kikuk ketika teringat
betapa ia separuh membentak Leia di depan Chef Chen.
“Oh…jadi begitu” sahut Mrs. Akela. Terlihat
semburat memerah di pipinya yang putih mutiara. “Maafkan saya karena berbicara
tidak sopan di depan Anda Chef Chen”.
Chef Chen tersenyum manis dan menatap wanita di
depannya dengan pandangan lembut. “Tidak apa-apa Nyonya. Saya mengerti. Anda
pasti mengkhawatirkan putri Anda”.
Mrs. Akela mengangguk berpaling pada Leia yang
tertunduk. “Nah…apa kau sudah menemukan apa yang kau cari Leia?”.
Leia mengangkat wajahnya dan menatap ibunya.
“Belum Omma” jawab Leia sambil menggelengkan
kepala.
“Ah..Nyonya, sebenarnya Nona Leia mencari seuntai
kalung kulit kerang mutiara. Tadi saya memiliki satu, namun sayangnya karena
saya tidak tahu jika Nona Leia menginginkannya, maka saya terlanjur menjualnya
pada orang lain. Maafkan saya Nyonya Kaili” sahut Ron sambil membungkuk penuh
rasa hormat dan takut.
Mrs. Akela mengerutkan alisnya mendengar penjelasan
si pemilik meja kaki lima.
“Benar begitu Leia?” tanya Mrs. Akela sambil
menatap wajah putrinya. Ia bisa melihat bekas airmata di pipi gadis itu.
“Ya Omma” jawab Leia sambil mengangguk.
“Kalau begitu kau bisa mencari di tempat lain atau
menunggu sampai kalung itu ada. Kenapa kau justru bersikap kekanakan dan
menangis hanya karena kalung? Terlebih kau sampai merepotkan Chef Chen dan
pemilik toko” tegur Mrs. Akela panjang lebar pada putrinya.
Leia mengerutkan keningnya dengan bingung. Sadar
bahwa apapun jawabannya tidak akan bisa diterima saat ini. Terlebih jika ia mengatakan
dengan jujur bahwa sesungguhnya, airmata yang mengalir dari matanya bukan
karena kalung kerang mutiara itu melainkan karena hal lain. Jika ia
mengatakannya, maka hal itu justru akan menjadi sangat memalukan baginya sebab
ia adalah seorang gadis dan putri seorang elder pula.
“Mianhae Omma” gumam Leia nyaris tanpa suara
dengan kepala tertunduk.
“Ah…sebenarnya saya memang menawarkan kepada Leia
untuk mencarikan kalung itu Nyonya” ujar Chef Chen saat melihat Leia yang
tertunduk dengan sedih. “Mungkin saja, saya bisa mendapatkannya. Dan…saya baru
saja meminta Leia untuk pulang dan istirahat. Sepertinya, Leia sedikit lelah”.
Ron yang mendengar penjelasan Chef Chen seperti
tak mau kalah. Lelaki separuh baya yang ramah itu maju selangkah ke depan Mrs.
Akela dan membungkuk hormat membuat Chef Chen menahan senyum karena geli.
“Ah iya Nyonya…Chef Chen sangat benar. Tadipun,
saya juga menawarkan pada Nona Leia untuk mencarikan kalung itu. Dan jika sudah
mendapatkannya, saya pasti akan menyimpannya baik-baik hanya untuk Nona Leia.
Juga…saya pikir, Nona Leia memang akan lebih baik jika beristirahat di rumah
karena tadi, saya lihat wajah Nona Leia sedikit pucat” sahut Ron penuh
semangat. Chef Chen tertawa pelan tanpa suara melihat sikap pemilik meja kaki
lima.
Mrs. Akela terkejut dan meneliti wajah Leia Kaili.
“Kau sakit Leia? Lalu kenapa kau tidak
mengatakannya pada Omma?” tanya Mrs. Akela.
“Tidak Omma…aku tidak apa-apa. Hanya sedikit lelah
saja. Bisakah kita pulang sekarang?” tanya Leia sambil menatap ibunya dengan
sepasang alis berkerut dalam.
Mrs. Akela menjadi cemas saat melihat kebenaran
dalam kata-kata Chef Chen dan Ron bahwa Leia memang terlihat pucat dan lelah.
Wanita berparas anggun dan cantik itu segera mengangguk.
“Baiklah Leia…kita pulang sekarang” sahut Mrs.
Akela sebelum kemudian berpaling ke arah Chef Chen dan membungkuk hormat. “Chef
Chen, terima kasih karena telah menemani Leia. Juga, maafkanlah ia karena telah
merepotkan Anda dan paman pemilik toko. Sebaiknya, kami pulang agar Leia bisa
beristirahat”.
Chef Chen membungkukkan tubuhnya.
“Silahkan Nyonya” jawab Chef Chen pada Mrs. Akela
lalu berpaling pada Leia Kaili. “Ingat yang Paman katakan padamu tadi Leia?”.
Leia menatap Chef Chen dan mengangguk. “Ya Paman
Chen”.
Chef Chen tersenyum. “Pulang dan istirahatlah.
Jangan memikirkan apapun dan serahkan pada Paman”.
Leia tersenyum dan mengangguk. Lalu membalikkan
tubuhnya dan berjalan meninggalkan meja kaki lima yang paling lengkap dan ramai
tersebut. Mrs. Akela berpaling pada Chef Chen dan Ron, membungkuk pada kedua
lelaki yang segera membalasnya sebelum kemudian separuh berlari menyusul Leia
Kaili yang telah sepuluh langkah di depannya.
“Leia!...Leia tunggu Omma!...kenapa kau berjalan
begitu cepat?! Leia!” seru Mrs. Akela.
Sementara Ron masih terpaku di tempatnya, menatap
punggung Mrs. Akela yang semakin menjauh hingga akhirnya hilang di balik para
pengunjung pasar. Kepalanya menggeleng-geleng denngan takjub membuat Chef Chen
berpaling dan menatap sang pemilik meja kaki lima.
“Kenapa?” tanya Chef Chen pada Ron.
“Chef….tidakkah Anda lihat? Betapa cantiknya
Nyonya Akela. Begitu cantik dan lembut” jawab Ron sambil berdecak.
Chef Chen tersenyum dan menatap arah menghilangnya
dua wanita ibu dan anak sesaat lalu.
“Wanita yang baik dan putih hatinya selalu cantik”
gumam Chef Chen pelan namun dapat di dengar dengan jelas oleh Ron.
“Itu benar. Nyonya Akela memang sangat baik.
Betapa bahagianya seandainya saya bisa memilikinya” sahut Ron membuat Chef Chen
menggelengkan kepalanya. Ron masih terus menatap ke arah hilangnya punggung Mrs. Akela hingga tak menyadari saat Chef Chen
beranjak pergi dari sisinya. “Menurut Anda Chef Chen, apakah saya cukup pantas
untuk mendapatkan hati Nyonya Akela? Bagaimana menurut Anda? Banyak orang yang
mengatakan bahwa saya memiliki penampilan yang cukup menarik. Bagaimana menurut
Anda Chef Chen?”.
Sunyi tanpa jawaban dari Chef Chen selain suara
berdengung pengunjung pasar membuat Ron berpaling ke sisinya dan terkejut saat
ia tak lagi menemukan sosok Chef Chen yang semula berdiri di sampingnya. Kepalanya
celingukan mencari sosok lelaki berwajah kharismatik dengan pakaian chef yang
sangat dikenalnya. Namun, keramaian pasar festival seperti menyembunyikan sosok
sang chef bermata teduh itu rapat-rapat….
****************
Tidak ada komentar:
Posting Komentar