Changyi mendapat sebuah kamar asrama besar yang
berisi sepuluh orang calon prajurit khusus. Setelah memasukkan Changyi ke
sekolah prajurit khusus, Jenderal Xu Da segera berangkat ke Karakorum ke esokan
harinya dengan membawa ribuan prajurit. Changyi tidak tahu, kapan ia akan
bertemu dengan sang panglima besar yang telah mendapat tempat di hatinya
tersebut. Selanjutnya, Changyi berusaha untuk berbaur dengan teman-teman
barunya. Anak-anak calon prajurit khusus datang dari berbagai daerah dan bahkan
ada yang datang dari pelosok. Namun, semua dari mereka merupakan anak-anak
pejabat maupun pedagang kaya.
Dalam satu bulan awal kehidupan Changyi di sekolah
prajurit khusus, terlalui dalam ketenangan. Namun, seiring prestasi Changyi
yang semakin menyolok di antara siswa-siswa lainnya, maka masalah demi masalah
mulai bermunculan. Masalah yang dipicu oleh rasa dengki dari anak-anak lain
yang tidak sejalur dengan Changyi. Secara keseluruhan, siswa-siswa calon
prajurit khusus terbagi dalam dua kubu besar. Satu kubu dipimpin oleh lima anak
remaja tanggung yang merupakan anak-anak angkat Jenderal Lan Yu dan kubu
lainnya merupakan kumpulan calon-calon prajurit yang berpihak pada Changyi.
Namun, terlihat dengan jelas betapa asal-usul kehidupan setiap calon prajurit
menjadi sangat penting di kalangan anak-anak yang menjadi siswa sekolah
prajurit khusus tersebut. Karena itu, dengan sendirinya, Changyi seperti
tersisih dari pergaulan dengan anak-anak calon prajurit yang berasal dari
keluarga pejabat tinggi istana maupun pedagang dan saudagar yang kaya raya.
Anak-anak yang berada di sekitar Changyi adalah anak-anak dari keluarga pejabat
kecil yang seringkali kehadiran mereka sama sekali tak dihiraukan.
Adalah Aiguo, Baozhai, Congmin, Dingziang dan
Fengyin, lima remaja yang merupakan anak-anak angkat dari Jenderal Lan Yu.
Kelima remaja tersebut kesemuanya memiliki kemampuan dalam beladiri yang sangat
bagus. Masih ditambah dengan popularitas dari Jenderal Lan Yu yang membuat
kelimanya memiliki ruang gerak yang sangat bebas di sekolah calon prajurit
khusus. Namun sayang bahwa status mereka sebagai anak-anak angkat Jenderal Lan
Yu telah membuahkan kesombongan dalam diri mereka. Keberadaan kelima anak
remaja tersebut segera mendominasi pergaulan di sekolah. Hampir seluruh siswa
di sekolah calon prajurit khusus mendekat kepada kelima remaja yang di pimpin
oleh Fengyin sebagai anak tertua. Hanya beberapa siswa yang tidak dapat masuk
dalam lingkungan pergaulan yang diciptakan oleh Fengyin dan adik-adiknya. Dan
hal tersebut disebabkan karena latar belakang dan asal-usul dari beberapa anak
yang tertolak tersebut, yang dianggap tidak sepadan atau setingkat dengan
keadaan mereka yang merupakan bagian dari keluarga Jenderal Lan Yu.
Termasuk di antara anak-anak yang tertolak tersebut
tentu saja adalah Changyi yang siapapun anak-anak remaja calon prajurit khusus
tersebut mengetahui bahwa Changyi hanyalah pelayan pengurus kuda Jenderal Xu
Da. Biasanya, anak-anak yang tertolak hanya akan dijauhi dan tidak pernah
disertakan dalam kelompok-kelompok latihan yang dilakukan. Namun, prestasi yang
ditunjukkan oleh Changyi segera mengubah penolakan tersebut menjadi sebuah kedengkian
dan rasa persaingan yang dibumbui oleh kecurangan demi kecurangan. Terlebih
sejak awal masuk dan mengikuti ujian demi ujian, Changyi selalu berhasil lulus
dengan nilai terbaik.
Maka, penolakan terhadap Changyi mulai di wujudkan
dalam bentuk gangguan-gangguan yang semakin lama semakin terlihat dan keras.
Dan hal tersebut bagaimanapun terasa memukul perasaan hati Changyi, membuatnya
merasa sedih saat malam tiba dimana ia selalu menghabiskan waktu tidurnya di
bawah beranda karena Dingziang dan Baozhai yang ditempatkan sekamar dengannya
selalu mengunci pintu dan tidak membiarkan dirinya masuk. Apabila secara
kebetulan, guru pengajar datang untuk mengecek mereka, maka Changyi akan
dibiarkan tinggal di dalam kamar namun Dingziang dan Baozhai telah menyiram
seluruh bantal kepala dan selimut Changyi dengan air hingga basah kuyup dan
sangat dingin. Dan bila hal tersebut terjadi, maka Changyi akan memilih untuk
duduk bersila dalam meditasinya yang dalam sebagaimana yang di ajarkan oleh Biksu Tua di Kuil Bulan Merah
dan sering dilakukannya selama ia tinggal di kuil.
Hal yang justru semakin membuat Fengyin merasakan
Changyi sebagai saingan beratnya. Di hari-hari berikutnya, bukan hanya selimut
dan bantal Changyi yang disiram dengan air dingin, melainkan juga jatah makan
Changyi yang berhias tebaran tanah dan pasir. Dan untuk kali ini, Changyi
sungguh-sungguh tidak bisa menghindarinya. Ia harus memakan nasi bercampur
tanah dan pasir tersebut sebab hanya dengan memakan nasi tersebut ia bisa
bertahan untuk hidup untuk mewujudkan janjinya pada Chen.
Bagaimanapun, keadaan yang benar-benar tak
terbayangkan dalam benaknya tersebut telah menggores hati Changyi dan
membuahkan kesedihan yang selalu dipendamnya jauh-jauh di lubuk hatinya yang
terdalam. Perlakuan-perlakuan yang diterimanya dari kelompok siswa yang
dipimpin oleh anak-anak angkat Jenderal Lan Yu seperti hempasan gelombang yang
hendak meruntuhkan ketegaran hatinya. Seringkali, Changyi teringat pada
kedamaian Kuil Bulan Merah yang telah menaunginya selama dua tahun lamanya.
Kesedihan yang juga di rasakannya saat ia memakan nasi bercampur tanah dan
pasir. Kesedihan yang muncul saat ia teringat pada setiap butir nasi yang di
masak oleh tangan-tangan kecil Chen dan disuguhkan oleh Chen di hadapannya
dalam keadaan panas dan harum mewangi. Dan kemudian, ingatan tentang Chen
dengan sendirinya membuat Changyi teringat pada janjinya untuk menjemput Chen
suatu hari nanti dan melindunginya dengan sebaik-baiknya. Ingatan tentang janji
tersebut kemudian menjadi satu-satunya pegangan Changyi hingga ia tetap tegar
menjalani hari-harinya yang menyesakkan. Sungguh, andai saja bukan karena
keberadaan Chen, maka ia akan menyerah dan lari dari sekolah calon prajurit
khusus yang diikutinya dan kembali ke Kuil Bulan Merah yang penuh kedamaian.
Lagipula, bukankah ia punya hutang budi dengan
Jenderal Xu Da? Hutang budi yang teramat besar hingga rasanya tak akan bisa
dibayar olehnya dan Chen kecuali dengan menyerahkan hidup mereka pada sang
panglima besar yang sangat berwibawa namun baik hati tersebut. Untuk saat ini,
hal yang bisa dilakukannya hanyalah melaksanakan apa yang diinginkan oleh
Jenderal Xu Da untuk menjadikannya sebagai seorang prajurit.
Tetapi, sejak hari ia di bawa oleh Jenderal Xu Da
dan dimasukkan ke sekolah calon prajurit khusus ini, ia tak pernah lagi melihat
sosok Panglima Besar Dinasti Ming yang sangat dihormatinya tersebut. Bahkan hingga
menginjak purnama ketiga seperti saat ini. Ia hanya mendengar kabar-kabar yang
dibawa oleh angin lalu bahwa Jenderal Xu Da telah berhasil menguasai Karakorum
dan selanjutnya, Jenderal Xu Da telah berangkat ke Transbaikalia yang merupakan
wilayah dari Rusia dan berupa tanah-tanah pegunungan. Ada saat dimana Changyi
merasa gelisah ketika tak ada lagi kabar kapan Jenderal Xu Da akan kembali ke
Yingtian. Atau, apakah Jenderal Xu Da baik-baik saja?.
Dan seluruh kepenatan rasa tersebut pada akhirnya
diungkapkan oleh Changyi dengan terus melatih jurus-jurus beladirinya di sebuah
taman yang terletak agak jauh di belakang bangunan sekolah calon prajurit
khusus. Taman yang hanya di lewati oleh prajurit penjaga dan pelayan istana
yang bertugas merawat taman tersebut. Setiap kali terdapat waktu kosong, maka
Changyi pasti akan segera menyelinap ke taman tersebut dan mulai melatih
jurus-jurus beladirinya.
Atau terkadang, ia hanya akan duduk sambil membaca
buku tentang tata peperangan yang diberikan oleh Biksu Tua dan dibawanya serta
saat Jenderal Xu Da mengambilnya dari kuil.
Lagipula, keberadaan mereka semua calon prajurit
khusus masih akan menghadapi ujian final yang sangat menentukan apakah mereka
nantinya akan tetap melanjutkan pelatihan untuk menjadi seorang prajurit khusus
pengawal kaisar atau hanya akan dialihkan ke pelatihan prajurit biasa. Dan
ujian final tersebut akan dilakukan oleh Kaisar Hongwu sendiri. Changyi
berharap ia akan dapat melewati ujian final itu dengan baik demi janjinya pada
Chen serta hutang budinya pada Jenderal Xu Da.
Namun saat ini, Changyi sedang tidak memiliki
semangat untuk melatih jurus-jurus baladirinya. Ia hanya duduk termenung di
batu yang ada di sisi taman samba menatap buku yang telah berulang kali
dibacanya dan isinya telah ia hafal di luar kepala. Benaknya melayang ke kuil,
pada sosok anak yang pasti saat ini sedang berkutat di dapur kuil. Apakah anak
itu juga mengambil kayu bakar ke hutan di sebelah timur kuil? Apakah anak itu
juga mengambil air dari sumber mata air di bawah bukit? Setelah ia pergi, siapa
yang menggantikan dirinya mengerjakan tugas-tugas tersebut? Changyi telah
mengerjakan tugas itu selama hampir dua tahun dan ia telah menemukan cara-cara
sendiri untuk mendapatkan kayu bakar dengan cepat. Ia bahkan menemukan jalan
rahasia menuju mata air hingga ia bisa pulang pergi mengambil air dengan cepat
tanpa merasa lelah. Tapi, ia belum pernah mengatakan pada Chen tentang jalan
rahasia itu sehingga jika setelah ia pergi dari kuil, Chen menggantikan semua
tugasnya mencari kayu bakar dan air, maka ia yakin, Chen pasti akan melalui
jalan biasa yang memutar dan sangat jauh. Dan itu pasti akan sangat
melelahkannya.
Dan lagi pula, ada saat dimana ia merindukan Chen.
Changyi menghela nafas panjang. Angin taman meniup
pelan menyibak helai-helai rambut di dahi dan bahunya. Rambutnya sudah mulai
panjang sekarang dan Changyi hanya mengikatnya secara sederhana dengan sehelai
tali dari urat kayu yang di buatnya sendiri di belakang kepala agar rambut
tersebut tidak mengganggunya saat ia tengah belajar atau bertarung. Hanya
tersisa sedikit rambut di belakang telinga yang menjuntai hingga ke bahu. Waktu
istirahat masih lama. Mereka baru akan mulai berlatih lagi menjelang gelap
nanti. namun, bagi Changyi, saat menunggu seperti ini terasa sungguh
membosankan hingga ia lebih memilih untuk berlatih sendiri di taman yang sepi.
Jadi, bukankah lebih baik jika ia mulai berlatih lagi sekarang? Meskipun
semangatnya sedikit meredup karena ingatannya pada Chen, namun dengan berlatih,
maka kerinduannya pada Chen pasti akan sedikit mencair.
Changyi sudah bersiap untuk bergerak menuju tempat
yang lebih lapang di mana ia terbiasa berlatih. Namun, belum lagi setapak
langkahnya beranjak, mendadak terdengar suara berdebam pelan, seperti sebuah
benda yang berat jatuh ke tanah. Secara otomatis, Changyi segera menyelinap ke
balik gerumbul dedaunan pohon maple di dekatnya dan diam menunggu. Kepalanya
sedikit meneleng, mengintip ke arah asal suara berdebam tersebut.
Dan sepasang mata Changyi membelalak saat ia
melihat apa yang baru saja jatuh ke tanah tersebut.
**************
“Pangeran!....Pangeran Zhu Di?!...Yang Mulia
Pangeran Zhu Di?!...hamba mohon keluarlah Pangeran…kasihanilah hamba Pangeran.
Bagaimana kalau nanti Yang Mulia Kaisar marah dan hambaa harus menyangga guci
lagi? Hamba benar-benar sangat lelah jika harus menyangga guci lagi” teriak
seorang lelaki berumur lebih dari empat puluh tahun sambil berlari kebingungan
menyusuri selasar di bagian istana yang menghubungkan istana pangeran dengan
perpustakaan milik kaisar. Kepalanya menengok ke sana kemari dengan sibuk dan
raut memelas bingung. Lelaki tersebut adalah kasim Anta yang bertugas merawat
Pangeran Zhu Di.
Sang pangeran sendiri adalah putra keempat Kaisar
Hongwu dari Permaisuri Ma Xiuying. Pangeran muda yang memiliki sifat sangat
berbeda dengan pangeran-pangeran lainnya. Sang pangeran keempat yang lahir di
tahun 1360 tersebut kini telah berusia sepuluh tahun. Bertubuh kuat dan lincah,
dengan gerak-gerik yang gesit. Wajahnya tampan dan bersinar-sinar dengan sepasang
mata yang penuh semangat dan menunjukkan kecerdasannya. Namun, selain daripada
kelebihan-kelebihan tersebut, sang pangeran keempat juga adalah pangeran yang
sangat sering memusingkan kasim dan dayang yang melayaninya. Sifatnya yang
sangat cerdas namun pemberontak sering menimbulkan masalah yang membuat Kaisar
Hongwu marah namun sekaligus semakin sayang. Dalam usianya yang baru menginjak
sepuluh tahun, sang pangeran keempat tersebut telah menguasai ilmu-ilmu tentang
keprajuritan, tata strategi perang dan ilmu-ilmu beladiri dasar.
Dibanding ketiga kakaknya yang lain, maupun
pangeran dari selir-selir Kaisar Hongwu, Pangeran Zhu Di memang terlihat lebih
cemerlang. Karena itulah, meskipun ia sering memberontak terhadap aturan istana
namun Kaisar Hongwu sangatlah menyayanginya. Namun, kenakalan sang pangeran
keempat tersebut seringkali menjadi petaka bagi kasim dan dayang di dekatnya
yang tak pernah berhenti merasa cemas dan kalang kabut saat sang pangeran yang
sangat lincah tersebut tiba-tiba menghilang dari kamarnya.
Seperti sekarang.
Mestinya, Pangeran Zhu Di hadir memenuhi panggilan
Kaisar Hongwu yang menginginkan untuk bersantap dengan para pangeran dan
putrinya. Dengan kesibukannya yang semakin bertambah seiring
kemenangan-kemenangan yang diraih dalam gerakan ekspedisi-ekspedisi yang
dilakukan untuk meluaskan wilayah, sang kaisar semakin tidak memiliki banyak
waktu bersama dengan keluarganya sehingga, ketika Kaisar Hongwu memiliki
sedikit saja waktu tersisa, maka sang raja besar itu akan segera memanggil
permaisuri, selir dan seluruh putra putrinya meski hanya sekedar untuk
bersantap bersama.
Dan selalu, semua bisa hadir memenuhi undangan
Kaisar Hongwu, kecuali Pangeran Zhu Di.
Dan hal ini selalu mmebuat kasim Anta dan
dayang-dayang di istana pangeran keempat mendapatkan kemurkaan dan hukuman dari
kaisar meskipun hukuman tersebut bukanlah hukuman fatal dan hanya berupa
hukuman ringan seperti berdiri dengan satu kaki sambil menyangga sebuah guci di
atas kepala selama setengah hari penuh di tengah halaman istana pangeran yang
luas dan panas saat terik matahari siang datang. Kaisar Hongwu mengatakan,
bahwa merawat asuhan sma seperti menjaga sebuah guci yang indah. tidak boleh
lengah, tidak boleh lelah dan harus selalu waspada agar guci indah tersebut tidak
rusak, jatuh apalagi pecah.
Dan Pangeran Zhu Di yang tampan namun nakal
tersebut akan selalu menggoda kasimnya yang tengah berdiri di bawah terik
matahari sambil menyangga guci di atas kepala dengan suaranya yang jernih dan
tawanya yang ceria. Namun, saat sang kasim terlihat kelelahan dengan keringat
yang mengalir membasahi sekujur tubuhnya, sang pangeran kecil yang menggemaskan
itu akan mengambil air dan diam-diam meminumkannya pada sang kasim setelah
lebih dulu memerintahkan semua prajurit penjaga untuk membalikkan tubuh dan
memejamkan mata dengan disertai sebuah ancaman bahwa siapapun yang melapor pada
kaisar maka sang pangeran kecil tersebut akan kembali sambil membawa pisau
dapur dan mencungkil setiap mata prajurit yang berani melapor.
Sungguh, betapapun beratnya mengasuh sang pangeran
keempat, namun dengan kebaikan dan ketulusan hati yang di tunjukkan di balik
tingkah nakalnya, tetap saja semua orang, kasim, dayang hingga semua prajurit
menjadi sangat sayang pada pangeran kecil tersebut.
Kasim Anta masih terus berlari kesana kemari
dengan bingung. Beberapa prajurit pada akhirnya turut mencari sang pangeran
kecil yang menghilang dari kamarnya. Suara panggilan terdengar bersahut-sahutan
di segala penjuru.
Sementara, di sebuah sudut istana, tepat menempel
pada tembok pembatas yang cukup tinggi, sesosok tubuh kecil terlihat sedang
berusaha untuk naik ke atas tembok tersebut. Tubuhnya yang cukup tinggi untuk
ukuran anak seusianya terlihat melenting ke atas tembok dengan ringan dan
hingga di bagian pinggir. Pakaiannya yang indah dan gemerlap sama sekali tak
menghalangi geraknya yang lincah dan gesit. Sepasang matanya berbinar-binar
penuh semangat dan rasa ingin tahu. Sekali, kepalanya yang berhias mahkota
pangeran kecil terlihat menengok ke satu arah dengan sikap waspada. Ia bisa
mendengar suara kasim pengasuhnya yang sayup-sayup terdengar di kejauhan. Ia
juga mendengar suara-suara prajurit yang turut memanggilnya. Bibirnya mencibir
dengan raut wajah menyiratkan kemenangan. Senyum kecil menyirat di bibirnya
yang merah segar.
“Kalian tidak akan bisa menemukanku” ujar sosok
kecil itu perlahan. Mulutnya tertarik membentuk sebuah senyum simpul separo
yang terkesan mengejek namun justru semakin menambah ketampanan wajah
anak-anaknya. “Ini jalan rahasia yang kutemukan dan kalian tidak akan pernah
tahu bahwa aku di sini”.
Lalu, setelah menatap ke arah bayangan kasimnya
dan para prajurit yang terus memanggilnya, kepala kecil berhias mahkota
pangeran itu kembali berpaling menatap tempat di balik tembok yang di
panjatnya. Sebuah taman yang sunyi.
Itu Taman Maple.
Ia tahu karena ia pernah beberapa kali
menginjakkan kaki ke taman di balik tembok ini dulu, saat Kaisar Hongwu baru
saja naik tahta. Namun, setelah kemajuan-kemajuan yang didapat dalam
pemerintahan Kaisar Hongwu selama dua tahun hingga saat ini, maka pembangunan
istana terus dilakukan. Perbaikan-perbaikan dan pembangunan istana baru dengan
taman-taman yang lebih indah dan luas membuat Taman Maple segera terlupakan.
Sosok kecil di atas tembok tersebut terus menatap
ke dalam Taman Maple dengan pandangan mata terlihat mencari-cari. Sepasang
alisnya berkerut heran.
“Kemana dia? Kenapa hari ini tidak kelihatan?”
gumam sosok kecil itu sambil menelengkan kepalanya agak jauh untuk dapat
mencapai tempat-tempat di balik gerumbul daun-daun maple yang lebat. “Seharusnya
dia sudah ada di sini sekarang dan sedang berlatih”.
Sosok kecil itu sedikit menggeser tubuhnya ke
pinggir tembok agar ia dapat melongok lebih jauh. Terlebih, saat ia melihat
beberapa bagian daun-daun maple di sudut taman bergerak-gerak. Satu kakinya
kemudian terjuntai dari atas tembok sementara tangan-tangan kecilnya berusaha
untuk mencengkeram pinggiran tembok sebagai pegangan. Namun, kaki yang
menjuntai tersebut ternyata justru mempengaruhi keseimbangan tubuhnya. Terlebih
ketika ia kembali berusaha melongokkan kepalanya agak jauh sambil memikirkan
kira-kira benda macam apa yang berada di balik gerumbul dedaunan maple yang terlihat
bergerak-gerak tersebut.
Maka, sosok
kecil berwajah tampan menggemaskan itu kemudian merosot dengan cepat ke bawah. Ia
berusaha untuk bertahan di atas tembok. Sepasang tangannya menggapai-gapai
berusaha meraih pinggiran tembok atau apapun yang bisa digunakannya sebagai
pegangan. Namun, tubuhnya seperti di tarik ke bawah dengan kuat hingga hanya
dalam dua detik, sosok kecil berwajah tampan ceria itu telah jatuh berdebam di
tanah taman. Beruntung bahwa ia jatuh di atas tanah taman yang tertutup oleh
hamparan permadani hidup rumput hijau.
Sejenak, sosok kecil yang terjatuh itu menggeliat
sambil meringis sakit. Ia sangat terkejut sehingga melupakan seluruh pelajaran
tentang ‘Bagaimana cara mendarat di tanah tanpa rasa sakit’. Tubuhnya yang
tegap untuk ukuran anak berusia sepuluh tahun terlihat menggeliat sementara
sepasang matanya beredar ke sekeliling. Sesaat, satu tangannya naik ke atas
kepala, sekedar mengecek mahkotanya dan tersenyum lega saat benda yang indah
tersebut masih bertengger di tempatnya, sedikitpun tidak bergeser karena di
ikat dengan kuat menggunakan jepit rambut pada sanggulnya. Jika sampai mahkota
itu jatuh, maka ia akan mendapat kemarahan yang sangat besar dari Yang Mulia
Kaisar dan Ratu. Mahkota adalah sebuah benda yang suci dan diberkati sehingga
jika sampai jath dari atas kepala, itu bisa menjadi pertanda yang buruk.
Sosok kecil itu kemudian berdiri. Baiklah…ternyata
tidak ada siapapun di Taman Maple ini. Orang yang dicarinya ternyata tidak ada
di taman ini. Tempat ini sunyi dan kosong sehingga lebih baik ia…..
“Anda mencari sesuatu Yang Mulia?” sebuah suara
mendadak terdengar dari arah belakang punggung pangeran kecil tersebut disusul
sebuah tangan yang menyentuh bahunya membuat si pangeran kecil terperanjat
bukan kepalang. Seketika, tubuhnya berbalik ke belakang dan menemukan sosok
yang dicari-carinya. Berdiri dengan kecemerlangan wajah yang telah membuatnya
kagum dan suka.
Bibir pangeran kecil itu tertarik, menyembulkan
sebuah senyum simpul yang menawan sementara sepasang matanya menatap pada sosok
remaja gagah yang juga tengah menatap ke arahnya.
************
Changyi
mengendap mendekati sosok anak lelaki yang telah bangkit setelah jatuh dari
atas tembok. Dari pakaiannya, serta mahkota yang bertengger di atas kepalanya,
ia segera tahu bahwa anak lelaki itu adalah salah satu pangeran putra Kaisar
Ming Tai Zu. Ia memang belum hafal siapa saja putra dan putri Kaisar Hongwu
Ming Tai Zu tersebut karena keberadaannya di istana ini baru tiga bulan hingga
saat ini. Namun, ia pernah sekali melihat seorang pangeran yang berjalan tak
jauh dari sekolah calon prajurit. Pakaian yang indah dan mahkota di atas kepala
sama dengan anak lelaki yang kini ada di depannya, hanya saja, tubuh dan
usianya terlihat lebih besar dari pangeran yang baru saja jatuh dari atas
tembok.
Changyi berjalan mendekati sang pangeran kecil
yang tampak sama sekali tak menyadari keberadaannya. Changyi sedikit merasa
geli saat melihat pangeran kecil di depannya mengangkat tangan untuk meraba
mahkota yang ada di kepalanya dan kemudian, ia mendengar dengan jelas desah
lega dari mulut anak itu.
Saat ia telah berada tepat di belakang sang
pangeran kecil, Changyi mengulurkan tangan kanannya menyentuh pundak di
depannya.
“Anda mencari sesuatu Yang Mulia?” tanya Changyi
dengan nada sopan penuh hormat.
Sungguh di luar dugaan Changyi, si pangeran kecil
terlihat sangat terperanjat sambil hampir terlompat dari tempatnya. Sedetik
kemudian, tubuh yang membelakanginya itu berbalik dan menatapnya. Rasa terkejut
amat sangat segera berganti binar-binar gembira yang sangat jelas terlihat di
sepasang mata yang jernih dan ceria. Changyi tertawa dalam hati. Sungguh
pangeran yang sangat lucu dan menggemaskan. Namun, saat si pangeran kecil itu
telah berdiri d depannya, menghadap ke arahnya, Changyi segera berlutut dengan
kepala tertunduk memberi hormat.
“Kau? Kemana saja kau? Aku mencarimu sejak tadi
tapi aku tidak melihatmu!....dan juga, kenapa kau berlutut padaku?...angkatlah
wajahmu itu, biar aku bisa melihatmu” tanya sang pangeran kecil beruntun.
Changyi mengangkat wajahnya dan menatap wajah sang
pangeran kecil yang tengah menatapnya dengan sepasang mata separuh membelalak
penuh gembira. Sudut bibir Changyi berkedut-kedut menahan tawa. Mimpi apa dia
semalam, bisa bertemu dengan pangeran kecil tampan yang begitu lucu seperti
sekarang.
“Hamba tidak ke mana-mana Yang Mulia. Hamba hanya
duduk di atas batu di sana dan membaca buku” jawab Changyi sambil menunjuk
tempatnya duduk sesaat lalu.
Sang pangeran kecil mengangguk namun, sepasang
matanya tidak mengikuti arah telujuk Changyi melainkan terus menatap lurus ke
wajah yang tengah berlutut di depannya itu.
“Lalu, kenapa kau berlutut padaku? Kenapa kau
tidak berlatih hari ini?” tanya pangeran kecil itu lagi dengan alis berkerut.
Kali ini Changyi tak dapat menahan tawanya. Namun,
karena ia tahu bahwa sosok kecil di depannya adalah seorang pangeran, maka
Changyi menggunakan tangan kanannya untuk menutup mulutnya yang tertawa.
“Hamba berlutut karena Yang Mulia adalah pangeran
putra Yang Mulia Kaisar” jawab Changyi sesaat kemudian. “Dan….”
“Dan kenapa?” tanya sang pangeran saat kata-kata
Changyi terputus.
“Maafkan hamba Yang Mulia….jika hamba boleh tahu,
bagaimana Yang Mulia tahu bahwa hamba selalu berlatih di sini?” tanya Changyi
sambil menatap pangeran kecil di depannya.
Si pangeran kecil menunduk sedetik dengan ekspresi
sedikit malu. Namun kemudian, wajahnya kembali terangkat dengan penuh rasa
percaya diri dan sedikit rasa sombong yang membuat wajah tampannya menjadi
semakin menggemaskan.
“Aku tahu karena aku mengintipmu setiap hari dari
atas tembok ini. Kau tidak tahu? Apakah kau tidak pernah menyadari ada aku di
atas tembok dan melihatmu?” tanya sang pangeran kecil pada Changyi membuat
sepasang alis Changyi yang indah berkerut.
Itu benar. Kenapa ia tidak pernah melihat
keberadaan sang pangeran kecil yang melihatnya berlatih? Apakah karena
perhatiannya sungguh-sungguh terpusat pada latihannya ataukah karena ia merasa
kalut dengan sikap dan perlakuan buruk dari fengyin dan saudara-saudaranya?.
“Maafkan hamba Yang Mulia…hamba sungguh-sungguh
tidak tahu jika Yang Mulia datang dan melihat hamba berlatih” jawab Changyi
kemudian.
“Itu aneh” ujar si pangeran kecil sambil menatap
dirinya sendiri. “Ilmu beladirimu sangat hebat dan membuatku kagum. Tapi kau
tidak bisa melihat benda sebesar aku di dekatmu? Apakah kau sedang banyak
pikiran?”
Changyi tidak menjawab, namun sepasang matanya
menatap sang pangeran kecil di depannya dengan sorot kagum bercampur gemas.
Pangeran kecil ini sangat cerdas. Dari kata-katanya yang lugas dan jujur,
nampaknya sang pangeran memiliki sedikit sifat usil dalam dirinya, namun jelas
terasa warna hati yang putih dan polos. Changyi pernah mendengar adanya satu
dari sekian pangeran milik Kaisar Ming Tai Zhu yang mendapat sebutan sebagai
mutiara istana karena kecerdasannya serta wajahnya yang tampan. Pangeran yang
sangat terkenal di kalangan seluruh penghuni istana maupun di luar istana
karena sifatnya yang selalu membuat orang di sekitarnya kalang kabut, namun
juga membuat semua orang menyayanginya karena sifat baiknya yang tidak
memilih-milih pada siapapun, bahkan pada pelayan istana yang paling rendah
jabatannya sekalipun. Apakah pangeran kecil di depannya ini adalah pangeran
yang mendapat sebutan sebagai mutiara istana?
“Apakah Yang Mulia adalah Pangeran Zhu Di,
pangeran keempat dari Yang Mulia Kaisar Ming Tai Zhu?” tanya Changyi kemudian.
“Sepertinya begitu” jawab sang pangeran kecil
sambil mengangkat bahunya. “Kau baru di istana ini? Berapa lama kau tinggal di
sini? Apakah kau calon prajurit khusus yang akan mengikuti ujian untuk menjadi
prajurit khusus Yang Mulia Kaisar?”.
Changyi tersenyum lalu mengangguk.
“Benar Yang Mulia Pangeran Zhu Di. Hamba baru tiga
bulan di sini dan hamba memang bermaksud untuk mengikuti ujian untuk menjadi
prajurit” jawab Changyi kemudian.
Pangeran Zhu Di terlihat manggut-manggut.
Pandangannya beralih ke arah atap bangunan kokoh yang merupakan gedung sekolah
calon prajurit khusus.
“Yang Mulia Kaisar sangat sulit meluluskan
seseorang kecuali ia memang benar-benar memiliki kemampuan yang bagus. Kau
harus bekerja sangat keras jika memang ingin menjadi prajurit di sini” ujar
Pangeran Zhu Di setengah bergumam.
Changyi mengangguk dengan setengah menunduk.
“Hamba mengerti Yang Mulia. Karena itulah hamba
berlatih setiap hari di sini karena hamba berharap dapat lulus dalam ujian yang
akan diberikan oleh Yang Mulia Kaisar nanti” jawabnya kemudian.
“Kalau begitu mulailah berlatih sekarang” ujar
Pangeran Zhu Di. “Di depanku. Agar aku tahu sejauh mana kemampuanmu”.
Changyi tertawa tanpa suara menampakkan deretan
giginya yang putih berkilau cemerlang.
“Bukankah Yang Mulia telah melihat latihan hamba
setiap hari?” tanya Changyi.
Pangeran Zhu Di menggelengkan kepalanya.
“Itu berbeda” katanya kemudian. “Sebelum hari ini,
aku melihatmu dari tempat tersembunyi, jadi itu tidak masuk dalam hitungan.
Penilaianku akan di mulai hari ini saat kau berlatih di depanku, karena itu sekarang
bangunlah dan mulai berlatih”.
Changyi kembali tertawa. Namun, kakinya terangkat
juga dari tanah. Sebuah rasa hangat mengalir di hatinya menatap sosok Pangeran
Zhu Di di depannya serta mendengar ucapan-ucapannya yang polos dan lucu, namun
juga cerdas. Sebuah tarikan untuk menuruti perintah pangeran kecil di depannya
tersebut mendadak muncul. Bukan karena sang pangeran adalah pangeran keempat
dari kaisar Ming Tai Zhu melainkan karena rasa hangat aneh yang menyusupi hati
Changyi.
“Baiklah Yang Mulia. Hamba akan melaksanakan
perintah Yang Mulia” jawab Changyi.
“Hm” Pangeran Zhu Di mengangguk dengan gerakan
tegas. Lalu berjalan ke arah sebuah bongkahan batu taman dan duduk di atasnya
dengan posisi bersila. “Sekarang mulailah”.
Changyi melangkah ke arah bagian taman yang lapang
dengan alas rumput yang hijau dan tebal lembut. Setelah membungkuk untuk
memberikan penghormatan pada Pangeran Zhu Di yang duduk tak jauh darinya, tubuh
Changyi segera bergerak. Jurus-jurus pembuka yang sederhana dan merupakan cirri
khas beladiri dari para biksu mengawali langkahnya. Kemudian, semakin lama,
gerak Changyi semakin cepat dan sepenuh tenaga. Suara angin bersiut dan menderu
setiap kali kaki dan tangannya bergerak terdengar di telinga Pangeran Zhu Di
yang menatap dengan sepasang mata berbinar-binar penuh semangat dan rasa kagum.
Bibirnya menyunggingkan sebuah senyum simpul separo yang indah sementara
Changyi telah tenggelam dalam jurus-jurus intinya yang indah namun berbahaya.
Tubuhnya seolah tak memiliki rasa lelah meski puluhan jurus telah berlalu dan
hamparan rumput taman di bawah kakinya telah menjadi rebah seluruhnya oleh
tekanan telapak kakinya yang penuh tenaga. Daun-daun maple di sekitar taman
bergerak-gerak dengan riuh dan banyak di antaranya yang kemudian jatuh
berguguran oleh hempasan angin dari gerak tubuh Changyi.
Hingga sesaat kemudian, gerakan tubuh Changyi
melambat dengan kelenturan yang indah sebeum kemudian berhenti sama sekali.
Remaja yang rupawan itu berdiri di depan Pangeran Zhu Di sambil membungkukkan
tubuhnya sebagai isyarat bahwa jurus-jurusnya telah selesai.
Pangeran Zhu Di bangkit berdiri dari duduknya di
atas batu dan bertepuk tangan dengan penuh semangat membuat Changyi terkejut
karena tak menduga reaksi dari sang pangeran akan begitu jujur dan terbuka.
“Bagus sekali. Kau banyak memiliki kemajuan
dibanding sebelumnya” ujar Pangeran Zhu Di sambil berjalan menuju ke arah
Changyi membuat remaja berusia empat belas tahun itu segera berlutut di depan
pangeran kecil di depannya.
“Terima kasih atas pujian Yang Mulia Pangeran Zhu
Di” jawab Changyi.
“Mulai besok, kau tidak boleh berlatih sebelum aku
datang. Apakah kau mengerti?” ujar Pangeran Zhu Di.
Changyi mengertukan dahinya. Tapi, belum tentu ia
akan berlatih besok hari bukan? Ia berlatih hanya jika ada waktu luang saja.
“Ini perintah!” sambung Pangeran Zhu Di saat
melihat keraguan di wajah Changyi.
Changyi tersenyum dan mengangguk mengerti.
“Baiklah Yang Mulia. Saya akan melaksanakan
perintah Yang Mulia” jawab Changyi kemudian.
Pangeran Zhu Di mengangguk puas dengan ekspresi
senang.
“Bagus!” katanya kemudian. “Sekarang, bantu aku
menaiki tembok itu. Aku harus kembali ke kasimku. Walaupun dia sangat
membosankan, tapi aku tetap tidak tega melihatnya dihukum setiap hari oleh Yang
Mulia Kaisar”.
Changyi mengangkat wajahnya dan menatap Pangeran
Zhu Di. Alisnya berkerut dengan senyum mengembang.
“Yang Mulia, bagaimana cara Yang Mulia naik ke
atas tembok sebelumnya?” tanya Changyi sambil menunjuk tembok di mana Pangeran
Zhu Di jatuh sebelumnya.
“Aku melompat ke atas” jawab Pangeran Zhu Di
dengan jujur.
‘Kalau begitu, bukankah Yang Mulia bisa melompat
kembali untuk sampai di atas sana?” tanya Changyi kemudian.
“Aku tahu” jawab Pangeran Zhu Di dengan raut
bersungut-sungut. “Tapi karena di balik tembok itu aku hanya sendirian. Kalau
sekarang ada kau kenapa aku harus melompat? Jika ada prajurit kenapa aku harus
berjaga sendiri?”
Changyi tertawa dengan geli. Sungguh pangeran
kecil yang lucu. Pantas begitu banyak orang menyayanginya meski tingkahnya
sering membuat orang-orang disekitarnya pusing kepala.
“Kenapa tidak ada kasim dan pelayan…atau prajurit
yang membantu Yang Mulia di balik tembok itu?” tanya Changyi lagi.
“Karena aku tidak mau mereka membantuku!” bentak
Pangeran Zhu Di. “Sudah kubilang mereka, terutama kasimku itu sangat
membosankan. Lagipula, jika mereka tahu, mereka tidak akan mengijinkanku untuk
ke sini. Tapi kau beda. Kau tidak membuatku bosan. Dan lagipula, aku
menyukaimu. Jadi, aku ingin kau membantuku menaiki tembok itu sekarang. Cepat
kerjakan! Jangan banyak tanya…kenapa kau ini cerewet sekali?”.
Changyi terpana sejenak mendengar pengakuan yang
sangat jujur dari mulut pangeran kecil di depannya. Pangeran Zhu Di
menyukainya? Mimpi apa dia tadi malam?. Namun, sesaat kemudian, kepala Changyi
mengangguk dengan senyum melebar dengan rasa geli bercapur heran.
“Baiklah Yang Mulia. Silahkan Yang Mulia naik ke
bahu hamba” jawab Changyi kemudian.
“Hm!” Pangeran Zhu Di mengangguk senang lalu
berjalan ke arah tembok.
Changyi mengikuti Pangeran Zhu Di dan kemudian,
saat ia telah berada tepat di sisi tembok, remaja berwajah elok itu segera
berlutu kembali di depan Pangeran Zhu Di. Dengan gerakan sigap, sang pangeran
keempat segera naik ke atas bahu Changyi. Changyi sangat bersyukur. Untunglah, ia
telah terbiasa membawa beban berat di bahunya saat di kuil. Kayu bakar dalam
ikatan besar serta tempayan-tempayan berisi air membuatnya bahu dan kedua
kakinya terlatih dengan baik. Nyaris tanpa terasa berat olehnya, Changyi
mengangkat tubuhnya dengan Pangeran Zhu Di di atas bahunya hingga pangeran
keempat bisa mencapai pinggir atas tembok dan naik dengan mudah. Sang pangeran
menoleh ke arah Changyi.
“Ingat apa yang kukatakan?” tanya Pangeran Zhu Di
kemudian. “Kau tidak boleh berlatih sebelum aku datang!”.
Changyi mengangguk dengan senyum di kulum.
“Hamba mengerti Yang Mulia. Hamba akan menunggu
Yang Mulia” jawabnya tegas dan yakin.
Pangeran Zhu Di mengangguk dan melambaikan tangan
kanannya yang mungil sebelum kemudian melompat turun dengan ringan, meninggalkan
Changyi yang masih berdiri mematung dengan wajah yang menyiratkan rasa heran.
Sungguh, hari ini ia datang ke taman ini dengan
suasana hati yang penuh sesak oleh perlakuan-perlakuan buruk dari Fengyin dan
saudara-saudaranya serta kerinduannya pada Chen. Namun, tanpa terduga, ia
justru bertemu dengan sang pangeran yang terkenal dengan julukan mutiara
istana. Lebih mengejutkan lagi karena ternyata Pangeran Zhu Di telah lama
melihatnya berlatih dan ia sama sekali tak menyadarinya. Masih di tambah pengakuan
jujur dari Pangeran Zhu Di bahwa sang pangeran menyukainya.
Changyi menarik nafas panjang. Bagaimanapun,
pertemuannya dengan Pangeran Zhu Di hari ini telah sangat banyak mengurangi
kepenatan hatinya dan bahkan memberinya semangat untuk terus bertahan meski ia
mendapatkan perlakuan yang buruk. Sambil menggelengkan kepalanya, Changyi
melangkah menuju ke arah bangunan sekolah calon prajurit khusus. Wajahnya
terlihat cerah dengan senyum cemerlang yang mempesona.
*************
Tidak ada komentar:
Posting Komentar