Jumat, 27 Maret 2015

Straight - Episode 3 ( Bagian Satu )

Changyi mendapat sebuah kamar asrama besar yang berisi sepuluh orang calon prajurit khusus. Setelah memasukkan Changyi ke sekolah prajurit khusus, Jenderal Xu Da segera berangkat ke Karakorum ke esokan harinya dengan membawa ribuan prajurit. Changyi tidak tahu, kapan ia akan bertemu dengan sang panglima besar yang telah mendapat tempat di hatinya tersebut. Selanjutnya, Changyi berusaha untuk berbaur dengan teman-teman barunya. Anak-anak calon prajurit khusus datang dari berbagai daerah dan bahkan ada yang datang dari pelosok. Namun, semua dari mereka merupakan anak-anak pejabat maupun pedagang kaya.
Dalam satu bulan awal kehidupan Changyi di sekolah prajurit khusus, terlalui dalam ketenangan. Namun, seiring prestasi Changyi yang semakin menyolok di antara siswa-siswa lainnya, maka masalah demi masalah mulai bermunculan. Masalah yang dipicu oleh rasa dengki dari anak-anak lain yang tidak sejalur dengan Changyi. Secara keseluruhan, siswa-siswa calon prajurit khusus terbagi dalam dua kubu besar. Satu kubu dipimpin oleh lima anak remaja tanggung yang merupakan anak-anak angkat Jenderal Lan Yu dan kubu lainnya merupakan kumpulan calon-calon prajurit yang berpihak pada Changyi. Namun, terlihat dengan jelas betapa asal-usul kehidupan setiap calon prajurit menjadi sangat penting di kalangan anak-anak yang menjadi siswa sekolah prajurit khusus tersebut. Karena itu, dengan sendirinya, Changyi seperti tersisih dari pergaulan dengan anak-anak calon prajurit yang berasal dari keluarga pejabat tinggi istana maupun pedagang dan saudagar yang kaya raya. Anak-anak yang berada di sekitar Changyi adalah anak-anak dari keluarga pejabat kecil yang seringkali kehadiran mereka sama sekali tak dihiraukan.
Adalah Aiguo, Baozhai, Congmin, Dingziang dan Fengyin, lima remaja yang merupakan anak-anak angkat dari Jenderal Lan Yu. Kelima remaja tersebut kesemuanya memiliki kemampuan dalam beladiri yang sangat bagus. Masih ditambah dengan popularitas dari Jenderal Lan Yu yang membuat kelimanya memiliki ruang gerak yang sangat bebas di sekolah calon prajurit khusus. Namun sayang bahwa status mereka sebagai anak-anak angkat Jenderal Lan Yu telah membuahkan kesombongan dalam diri mereka. Keberadaan kelima anak remaja tersebut segera mendominasi pergaulan di sekolah. Hampir seluruh siswa di sekolah calon prajurit khusus mendekat kepada kelima remaja yang di pimpin oleh Fengyin sebagai anak tertua. Hanya beberapa siswa yang tidak dapat masuk dalam lingkungan pergaulan yang diciptakan oleh Fengyin dan adik-adiknya. Dan hal tersebut disebabkan karena latar belakang dan asal-usul dari beberapa anak yang tertolak tersebut, yang dianggap tidak sepadan atau setingkat dengan keadaan mereka yang merupakan bagian dari keluarga Jenderal Lan Yu.
Termasuk di antara anak-anak yang tertolak tersebut tentu saja adalah Changyi yang siapapun anak-anak remaja calon prajurit khusus tersebut mengetahui bahwa Changyi hanyalah pelayan pengurus kuda Jenderal Xu Da. Biasanya, anak-anak yang tertolak hanya akan dijauhi dan tidak pernah disertakan dalam kelompok-kelompok latihan yang dilakukan. Namun, prestasi yang ditunjukkan oleh Changyi segera mengubah penolakan tersebut menjadi sebuah kedengkian dan rasa persaingan yang dibumbui oleh kecurangan demi kecurangan. Terlebih sejak awal masuk dan mengikuti ujian demi ujian, Changyi selalu berhasil lulus dengan nilai terbaik.
Maka, penolakan terhadap Changyi mulai di wujudkan dalam bentuk gangguan-gangguan yang semakin lama semakin terlihat dan keras. Dan hal tersebut bagaimanapun terasa memukul perasaan hati Changyi, membuatnya merasa sedih saat malam tiba dimana ia selalu menghabiskan waktu tidurnya di bawah beranda karena Dingziang dan Baozhai yang ditempatkan sekamar dengannya selalu mengunci pintu dan tidak membiarkan dirinya masuk. Apabila secara kebetulan, guru pengajar datang untuk mengecek mereka, maka Changyi akan dibiarkan tinggal di dalam kamar namun Dingziang dan Baozhai telah menyiram seluruh bantal kepala dan selimut Changyi dengan air hingga basah kuyup dan sangat dingin. Dan bila hal tersebut terjadi, maka Changyi akan memilih untuk duduk bersila dalam meditasinya yang dalam sebagaimana yang  di ajarkan oleh Biksu Tua di Kuil Bulan Merah dan sering dilakukannya selama ia tinggal di kuil.
Hal yang justru semakin membuat Fengyin merasakan Changyi sebagai saingan beratnya. Di hari-hari berikutnya, bukan hanya selimut dan bantal Changyi yang disiram dengan air dingin, melainkan juga jatah makan Changyi yang berhias tebaran tanah dan pasir. Dan untuk kali ini, Changyi sungguh-sungguh tidak bisa menghindarinya. Ia harus memakan nasi bercampur tanah dan pasir tersebut sebab hanya dengan memakan nasi tersebut ia bisa bertahan untuk hidup untuk mewujudkan janjinya pada Chen.
Bagaimanapun, keadaan yang benar-benar tak terbayangkan dalam benaknya tersebut telah menggores hati Changyi dan membuahkan kesedihan yang selalu dipendamnya jauh-jauh di lubuk hatinya yang terdalam. Perlakuan-perlakuan yang diterimanya dari kelompok siswa yang dipimpin oleh anak-anak angkat Jenderal Lan Yu seperti hempasan gelombang yang hendak meruntuhkan ketegaran hatinya. Seringkali, Changyi teringat pada kedamaian Kuil Bulan Merah yang telah menaunginya selama dua tahun lamanya. Kesedihan yang juga di rasakannya saat ia memakan nasi bercampur tanah dan pasir. Kesedihan yang muncul saat ia teringat pada setiap butir nasi yang di masak oleh tangan-tangan kecil Chen dan disuguhkan oleh Chen di hadapannya dalam keadaan panas dan harum mewangi. Dan kemudian, ingatan tentang Chen dengan sendirinya membuat Changyi teringat pada janjinya untuk menjemput Chen suatu hari nanti dan melindunginya dengan sebaik-baiknya. Ingatan tentang janji tersebut kemudian menjadi satu-satunya pegangan Changyi hingga ia tetap tegar menjalani hari-harinya yang menyesakkan. Sungguh, andai saja bukan karena keberadaan Chen, maka ia akan menyerah dan lari dari sekolah calon prajurit khusus yang diikutinya dan kembali ke Kuil Bulan Merah yang penuh kedamaian.
Lagipula, bukankah ia punya hutang budi dengan Jenderal Xu Da? Hutang budi yang teramat besar hingga rasanya tak akan bisa dibayar olehnya dan Chen kecuali dengan menyerahkan hidup mereka pada sang panglima besar yang sangat berwibawa namun baik hati tersebut. Untuk saat ini, hal yang bisa dilakukannya hanyalah melaksanakan apa yang diinginkan oleh Jenderal Xu Da untuk menjadikannya sebagai seorang prajurit.
Tetapi, sejak hari ia di bawa oleh Jenderal Xu Da dan dimasukkan ke sekolah calon prajurit khusus ini, ia tak pernah lagi melihat sosok Panglima Besar Dinasti Ming yang sangat dihormatinya tersebut. Bahkan hingga menginjak purnama ketiga seperti saat ini. Ia hanya mendengar kabar-kabar yang dibawa oleh angin lalu bahwa Jenderal Xu Da telah berhasil menguasai Karakorum dan selanjutnya, Jenderal Xu Da telah berangkat ke Transbaikalia yang merupakan wilayah dari Rusia dan berupa tanah-tanah pegunungan. Ada saat dimana Changyi merasa gelisah ketika tak ada lagi kabar kapan Jenderal Xu Da akan kembali ke Yingtian. Atau, apakah Jenderal Xu Da baik-baik saja?.
Dan seluruh kepenatan rasa tersebut pada akhirnya diungkapkan oleh Changyi dengan terus melatih jurus-jurus beladirinya di sebuah taman yang terletak agak jauh di belakang bangunan sekolah calon prajurit khusus. Taman yang hanya di lewati oleh prajurit penjaga dan pelayan istana yang bertugas merawat taman tersebut. Setiap kali terdapat waktu kosong, maka Changyi pasti akan segera menyelinap ke taman tersebut dan mulai melatih jurus-jurus beladirinya.
Atau terkadang, ia hanya akan duduk sambil membaca buku tentang tata peperangan yang diberikan oleh Biksu Tua dan dibawanya serta saat Jenderal Xu Da mengambilnya dari kuil.
Lagipula, keberadaan mereka semua calon prajurit khusus masih akan menghadapi ujian final yang sangat menentukan apakah mereka nantinya akan tetap melanjutkan pelatihan untuk menjadi seorang prajurit khusus pengawal kaisar atau hanya akan dialihkan ke pelatihan prajurit biasa. Dan ujian final tersebut akan dilakukan oleh Kaisar Hongwu sendiri. Changyi berharap ia akan dapat melewati ujian final itu dengan baik demi janjinya pada Chen serta hutang budinya pada Jenderal Xu Da.
Namun saat ini, Changyi sedang tidak memiliki semangat untuk melatih jurus-jurus baladirinya. Ia hanya duduk termenung di batu yang ada di sisi taman samba menatap buku yang telah berulang kali dibacanya dan isinya telah ia hafal di luar kepala. Benaknya melayang ke kuil, pada sosok anak yang pasti saat ini sedang berkutat di dapur kuil. Apakah anak itu juga mengambil kayu bakar ke hutan di sebelah timur kuil? Apakah anak itu juga mengambil air dari sumber mata air di bawah bukit? Setelah ia pergi, siapa yang menggantikan dirinya mengerjakan tugas-tugas tersebut? Changyi telah mengerjakan tugas itu selama hampir dua tahun dan ia telah menemukan cara-cara sendiri untuk mendapatkan kayu bakar dengan cepat. Ia bahkan menemukan jalan rahasia menuju mata air hingga ia bisa pulang pergi mengambil air dengan cepat tanpa merasa lelah. Tapi, ia belum pernah mengatakan pada Chen tentang jalan rahasia itu sehingga jika setelah ia pergi dari kuil, Chen menggantikan semua tugasnya mencari kayu bakar dan air, maka ia yakin, Chen pasti akan melalui jalan biasa yang memutar dan sangat jauh. Dan itu pasti akan sangat melelahkannya.
Dan lagi pula, ada saat dimana ia merindukan Chen.
Changyi menghela nafas panjang. Angin taman meniup pelan menyibak helai-helai rambut di dahi dan bahunya. Rambutnya sudah mulai panjang sekarang dan Changyi hanya mengikatnya secara sederhana dengan sehelai tali dari urat kayu yang di buatnya sendiri di belakang kepala agar rambut tersebut tidak mengganggunya saat ia tengah belajar atau bertarung. Hanya tersisa sedikit rambut di belakang telinga yang menjuntai hingga ke bahu. Waktu istirahat masih lama. Mereka baru akan mulai berlatih lagi menjelang gelap nanti. namun, bagi Changyi, saat menunggu seperti ini terasa sungguh membosankan hingga ia lebih memilih untuk berlatih sendiri di taman yang sepi. Jadi, bukankah lebih baik jika ia mulai berlatih lagi sekarang? Meskipun semangatnya sedikit meredup karena ingatannya pada Chen, namun dengan berlatih, maka kerinduannya pada Chen pasti akan sedikit mencair.
Changyi sudah bersiap untuk bergerak menuju tempat yang lebih lapang di mana ia terbiasa berlatih. Namun, belum lagi setapak langkahnya beranjak, mendadak terdengar suara berdebam pelan, seperti sebuah benda yang berat jatuh ke tanah. Secara otomatis, Changyi segera menyelinap ke balik gerumbul dedaunan pohon maple di dekatnya dan diam menunggu. Kepalanya sedikit meneleng, mengintip ke arah asal suara berdebam tersebut.
Dan sepasang mata Changyi membelalak saat ia melihat apa yang baru saja jatuh ke tanah tersebut.
**************
“Pangeran!....Pangeran Zhu Di?!...Yang Mulia Pangeran Zhu Di?!...hamba mohon keluarlah Pangeran…kasihanilah hamba Pangeran. Bagaimana kalau nanti Yang Mulia Kaisar marah dan hambaa harus menyangga guci lagi? Hamba benar-benar sangat lelah jika harus menyangga guci lagi” teriak seorang lelaki berumur lebih dari empat puluh tahun sambil berlari kebingungan menyusuri selasar di bagian istana yang menghubungkan istana pangeran dengan perpustakaan milik kaisar. Kepalanya menengok ke sana kemari dengan sibuk dan raut memelas bingung. Lelaki tersebut adalah kasim Anta yang bertugas merawat Pangeran Zhu Di.
Sang pangeran sendiri adalah putra keempat Kaisar Hongwu dari Permaisuri Ma Xiuying. Pangeran muda yang memiliki sifat sangat berbeda dengan pangeran-pangeran lainnya. Sang pangeran keempat yang lahir di tahun 1360 tersebut kini telah berusia sepuluh tahun. Bertubuh kuat dan lincah, dengan gerak-gerik yang gesit. Wajahnya tampan dan bersinar-sinar dengan sepasang mata yang penuh semangat dan menunjukkan kecerdasannya. Namun, selain daripada kelebihan-kelebihan tersebut, sang pangeran keempat juga adalah pangeran yang sangat sering memusingkan kasim dan dayang yang melayaninya. Sifatnya yang sangat cerdas namun pemberontak sering menimbulkan masalah yang membuat Kaisar Hongwu marah namun sekaligus semakin sayang. Dalam usianya yang baru menginjak sepuluh tahun, sang pangeran keempat tersebut telah menguasai ilmu-ilmu tentang keprajuritan, tata strategi perang dan ilmu-ilmu beladiri dasar.
Dibanding ketiga kakaknya yang lain, maupun pangeran dari selir-selir Kaisar Hongwu, Pangeran Zhu Di memang terlihat lebih cemerlang. Karena itulah, meskipun ia sering memberontak terhadap aturan istana namun Kaisar Hongwu sangatlah menyayanginya. Namun, kenakalan sang pangeran keempat tersebut seringkali menjadi petaka bagi kasim dan dayang di dekatnya yang tak pernah berhenti merasa cemas dan kalang kabut saat sang pangeran yang sangat lincah tersebut tiba-tiba menghilang dari kamarnya.
Seperti sekarang.
Mestinya, Pangeran Zhu Di hadir memenuhi panggilan Kaisar Hongwu yang menginginkan untuk bersantap dengan para pangeran dan putrinya. Dengan kesibukannya yang semakin bertambah seiring kemenangan-kemenangan yang diraih dalam gerakan ekspedisi-ekspedisi yang dilakukan untuk meluaskan wilayah, sang kaisar semakin tidak memiliki banyak waktu bersama dengan keluarganya sehingga, ketika Kaisar Hongwu memiliki sedikit saja waktu tersisa, maka sang raja besar itu akan segera memanggil permaisuri, selir dan seluruh putra putrinya meski hanya sekedar untuk bersantap bersama.
Dan selalu, semua bisa hadir memenuhi undangan Kaisar Hongwu, kecuali Pangeran Zhu Di.
Dan hal ini selalu mmebuat kasim Anta dan dayang-dayang di istana pangeran keempat mendapatkan kemurkaan dan hukuman dari kaisar meskipun hukuman tersebut bukanlah hukuman fatal dan hanya berupa hukuman ringan seperti berdiri dengan satu kaki sambil menyangga sebuah guci di atas kepala selama setengah hari penuh di tengah halaman istana pangeran yang luas dan panas saat terik matahari siang datang. Kaisar Hongwu mengatakan, bahwa merawat asuhan sma seperti menjaga sebuah guci yang indah. tidak boleh lengah, tidak boleh lelah dan harus selalu waspada agar guci indah tersebut tidak rusak, jatuh apalagi pecah.
Dan Pangeran Zhu Di yang tampan namun nakal tersebut akan selalu menggoda kasimnya yang tengah berdiri di bawah terik matahari sambil menyangga guci di atas kepala dengan suaranya yang jernih dan tawanya yang ceria. Namun, saat sang kasim terlihat kelelahan dengan keringat yang mengalir membasahi sekujur tubuhnya, sang pangeran kecil yang menggemaskan itu akan mengambil air dan diam-diam meminumkannya pada sang kasim setelah lebih dulu memerintahkan semua prajurit penjaga untuk membalikkan tubuh dan memejamkan mata dengan disertai sebuah ancaman bahwa siapapun yang melapor pada kaisar maka sang pangeran kecil tersebut akan kembali sambil membawa pisau dapur dan mencungkil setiap mata prajurit yang berani melapor.
Sungguh, betapapun beratnya mengasuh sang pangeran keempat, namun dengan kebaikan dan ketulusan hati yang di tunjukkan di balik tingkah nakalnya, tetap saja semua orang, kasim, dayang hingga semua prajurit menjadi sangat sayang pada pangeran kecil tersebut.
Kasim Anta masih terus berlari kesana kemari dengan bingung. Beberapa prajurit pada akhirnya turut mencari sang pangeran kecil yang menghilang dari kamarnya. Suara panggilan terdengar bersahut-sahutan di segala penjuru.
Sementara, di sebuah sudut istana, tepat menempel pada tembok pembatas yang cukup tinggi, sesosok tubuh kecil terlihat sedang berusaha untuk naik ke atas tembok tersebut. Tubuhnya yang cukup tinggi untuk ukuran anak seusianya terlihat melenting ke atas tembok dengan ringan dan hingga di bagian pinggir. Pakaiannya yang indah dan gemerlap sama sekali tak menghalangi geraknya yang lincah dan gesit. Sepasang matanya berbinar-binar penuh semangat dan rasa ingin tahu. Sekali, kepalanya yang berhias mahkota pangeran kecil terlihat menengok ke satu arah dengan sikap waspada. Ia bisa mendengar suara kasim pengasuhnya yang sayup-sayup terdengar di kejauhan. Ia juga mendengar suara-suara prajurit yang turut memanggilnya. Bibirnya mencibir dengan raut wajah menyiratkan kemenangan. Senyum kecil menyirat di bibirnya yang merah segar.
“Kalian tidak akan bisa menemukanku” ujar sosok kecil itu perlahan. Mulutnya tertarik membentuk sebuah senyum simpul separo yang terkesan mengejek namun justru semakin menambah ketampanan wajah anak-anaknya. “Ini jalan rahasia yang kutemukan dan kalian tidak akan pernah tahu bahwa aku di sini”.
Lalu, setelah menatap ke arah bayangan kasimnya dan para prajurit yang terus memanggilnya, kepala kecil berhias mahkota pangeran itu kembali berpaling menatap tempat di balik tembok yang di panjatnya. Sebuah taman yang sunyi.
Itu Taman Maple.
Ia tahu karena ia pernah beberapa kali menginjakkan kaki ke taman di balik tembok ini dulu, saat Kaisar Hongwu baru saja naik tahta. Namun, setelah kemajuan-kemajuan yang didapat dalam pemerintahan Kaisar Hongwu selama dua tahun hingga saat ini, maka pembangunan istana terus dilakukan. Perbaikan-perbaikan dan pembangunan istana baru dengan taman-taman yang lebih indah dan luas membuat Taman Maple segera terlupakan.
Sosok kecil di atas tembok tersebut terus menatap ke dalam Taman Maple dengan pandangan mata terlihat mencari-cari. Sepasang alisnya berkerut heran.
“Kemana dia? Kenapa hari ini tidak kelihatan?” gumam sosok kecil itu sambil menelengkan kepalanya agak jauh untuk dapat mencapai tempat-tempat di balik gerumbul daun-daun maple yang lebat. “Seharusnya dia sudah ada di sini sekarang dan sedang berlatih”.
Sosok kecil itu sedikit menggeser tubuhnya ke pinggir tembok agar ia dapat melongok lebih jauh. Terlebih, saat ia melihat beberapa bagian daun-daun maple di sudut taman bergerak-gerak. Satu kakinya kemudian terjuntai dari atas tembok sementara tangan-tangan kecilnya berusaha untuk mencengkeram pinggiran tembok sebagai pegangan. Namun, kaki yang menjuntai tersebut ternyata justru mempengaruhi keseimbangan tubuhnya. Terlebih ketika ia kembali berusaha melongokkan kepalanya agak jauh sambil memikirkan kira-kira benda macam apa yang berada di balik gerumbul dedaunan maple yang terlihat bergerak-gerak tersebut.
 Maka, sosok kecil berwajah tampan menggemaskan itu kemudian merosot dengan cepat ke bawah. Ia berusaha untuk bertahan di atas tembok. Sepasang tangannya menggapai-gapai berusaha meraih pinggiran tembok atau apapun yang bisa digunakannya sebagai pegangan. Namun, tubuhnya seperti di tarik ke bawah dengan kuat hingga hanya dalam dua detik, sosok kecil berwajah tampan ceria itu telah jatuh berdebam di tanah taman. Beruntung bahwa ia jatuh di atas tanah taman yang tertutup oleh hamparan permadani hidup rumput hijau.
Sejenak, sosok kecil yang terjatuh itu menggeliat sambil meringis sakit. Ia sangat terkejut sehingga melupakan seluruh pelajaran tentang ‘Bagaimana cara mendarat di tanah tanpa rasa sakit’. Tubuhnya yang tegap untuk ukuran anak berusia sepuluh tahun terlihat menggeliat sementara sepasang matanya beredar ke sekeliling. Sesaat, satu tangannya naik ke atas kepala, sekedar mengecek mahkotanya dan tersenyum lega saat benda yang indah tersebut masih bertengger di tempatnya, sedikitpun tidak bergeser karena di ikat dengan kuat menggunakan jepit rambut pada sanggulnya. Jika sampai mahkota itu jatuh, maka ia akan mendapat kemarahan yang sangat besar dari Yang Mulia Kaisar dan Ratu. Mahkota adalah sebuah benda yang suci dan diberkati sehingga jika sampai jath dari atas kepala, itu bisa menjadi pertanda yang buruk.
Sosok kecil itu kemudian berdiri. Baiklah…ternyata tidak ada siapapun di Taman Maple ini. Orang yang dicarinya ternyata tidak ada di taman ini. Tempat ini sunyi dan kosong sehingga lebih baik ia…..
“Anda mencari sesuatu Yang Mulia?” sebuah suara mendadak terdengar dari arah belakang punggung pangeran kecil tersebut disusul sebuah tangan yang menyentuh bahunya membuat si pangeran kecil terperanjat bukan kepalang. Seketika, tubuhnya berbalik ke belakang dan menemukan sosok yang dicari-carinya. Berdiri dengan kecemerlangan wajah yang telah membuatnya kagum dan suka.
Bibir pangeran kecil itu tertarik, menyembulkan sebuah senyum simpul yang menawan sementara sepasang matanya menatap pada sosok remaja gagah yang juga tengah menatap ke arahnya.
************
 Changyi mengendap mendekati sosok anak lelaki yang telah bangkit setelah jatuh dari atas tembok. Dari pakaiannya, serta mahkota yang bertengger di atas kepalanya, ia segera tahu bahwa anak lelaki itu adalah salah satu pangeran putra Kaisar Ming Tai Zu. Ia memang belum hafal siapa saja putra dan putri Kaisar Hongwu Ming Tai Zu tersebut karena keberadaannya di istana ini baru tiga bulan hingga saat ini. Namun, ia pernah sekali melihat seorang pangeran yang berjalan tak jauh dari sekolah calon prajurit. Pakaian yang indah dan mahkota di atas kepala sama dengan anak lelaki yang kini ada di depannya, hanya saja, tubuh dan usianya terlihat lebih besar dari pangeran yang baru saja jatuh dari atas tembok.
Changyi berjalan mendekati sang pangeran kecil yang tampak sama sekali tak menyadari keberadaannya. Changyi sedikit merasa geli saat melihat pangeran kecil di depannya mengangkat tangan untuk meraba mahkota yang ada di kepalanya dan kemudian, ia mendengar dengan jelas desah lega dari mulut anak itu.
Saat ia telah berada tepat di belakang sang pangeran kecil, Changyi mengulurkan tangan kanannya menyentuh pundak di depannya.
“Anda mencari sesuatu Yang Mulia?” tanya Changyi dengan nada sopan penuh hormat.
Sungguh di luar dugaan Changyi, si pangeran kecil terlihat sangat terperanjat sambil hampir terlompat dari tempatnya. Sedetik kemudian, tubuh yang membelakanginya itu berbalik dan menatapnya. Rasa terkejut amat sangat segera berganti binar-binar gembira yang sangat jelas terlihat di sepasang mata yang jernih dan ceria. Changyi tertawa dalam hati. Sungguh pangeran yang sangat lucu dan menggemaskan. Namun, saat si pangeran kecil itu telah berdiri d depannya, menghadap ke arahnya, Changyi segera berlutut dengan kepala tertunduk memberi hormat.
“Kau? Kemana saja kau? Aku mencarimu sejak tadi tapi aku tidak melihatmu!....dan juga, kenapa kau berlutut padaku?...angkatlah wajahmu itu, biar aku bisa melihatmu” tanya sang pangeran kecil beruntun.
Changyi mengangkat wajahnya dan menatap wajah sang pangeran kecil yang tengah menatapnya dengan sepasang mata separuh membelalak penuh gembira. Sudut bibir Changyi berkedut-kedut menahan tawa. Mimpi apa dia semalam, bisa bertemu dengan pangeran kecil tampan yang begitu lucu seperti sekarang.
“Hamba tidak ke mana-mana Yang Mulia. Hamba hanya duduk di atas batu di sana dan membaca buku” jawab Changyi sambil menunjuk tempatnya duduk sesaat lalu.
Sang pangeran kecil mengangguk namun, sepasang matanya tidak mengikuti arah telujuk Changyi melainkan terus menatap lurus ke wajah yang tengah berlutut di depannya itu.
“Lalu, kenapa kau berlutut padaku? Kenapa kau tidak berlatih hari ini?” tanya pangeran kecil itu lagi dengan alis berkerut.
Kali ini Changyi tak dapat menahan tawanya. Namun, karena ia tahu bahwa sosok kecil di depannya adalah seorang pangeran, maka Changyi menggunakan tangan kanannya untuk menutup mulutnya yang tertawa.
“Hamba berlutut karena Yang Mulia adalah pangeran putra Yang Mulia Kaisar” jawab Changyi sesaat kemudian. “Dan….”
“Dan kenapa?” tanya sang pangeran saat kata-kata Changyi terputus.
“Maafkan hamba Yang Mulia….jika hamba boleh tahu, bagaimana Yang Mulia tahu bahwa hamba selalu berlatih di sini?” tanya Changyi sambil menatap pangeran kecil di depannya.
Si pangeran kecil menunduk sedetik dengan ekspresi sedikit malu. Namun kemudian, wajahnya kembali terangkat dengan penuh rasa percaya diri dan sedikit rasa sombong yang membuat wajah tampannya menjadi semakin menggemaskan.
“Aku tahu karena aku mengintipmu setiap hari dari atas tembok ini. Kau tidak tahu? Apakah kau tidak pernah menyadari ada aku di atas tembok dan melihatmu?” tanya sang pangeran kecil pada Changyi membuat sepasang alis Changyi yang indah berkerut.
Itu benar. Kenapa ia tidak pernah melihat keberadaan sang pangeran kecil yang melihatnya berlatih? Apakah karena perhatiannya sungguh-sungguh terpusat pada latihannya ataukah karena ia merasa kalut dengan sikap dan perlakuan buruk dari fengyin dan saudara-saudaranya?.
“Maafkan hamba Yang Mulia…hamba sungguh-sungguh tidak tahu jika Yang Mulia datang dan melihat hamba berlatih” jawab Changyi kemudian.
“Itu aneh” ujar si pangeran kecil sambil menatap dirinya sendiri. “Ilmu beladirimu sangat hebat dan membuatku kagum. Tapi kau tidak bisa melihat benda sebesar aku di dekatmu? Apakah kau sedang banyak pikiran?”
Changyi tidak menjawab, namun sepasang matanya menatap sang pangeran kecil di depannya dengan sorot kagum bercampur gemas. Pangeran kecil ini sangat cerdas. Dari kata-katanya yang lugas dan jujur, nampaknya sang pangeran memiliki sedikit sifat usil dalam dirinya, namun jelas terasa warna hati yang putih dan polos. Changyi pernah mendengar adanya satu dari sekian pangeran milik Kaisar Ming Tai Zhu yang mendapat sebutan sebagai mutiara istana karena kecerdasannya serta wajahnya yang tampan. Pangeran yang sangat terkenal di kalangan seluruh penghuni istana maupun di luar istana karena sifatnya yang selalu membuat orang di sekitarnya kalang kabut, namun juga membuat semua orang menyayanginya karena sifat baiknya yang tidak memilih-milih pada siapapun, bahkan pada pelayan istana yang paling rendah jabatannya sekalipun. Apakah pangeran kecil di depannya ini adalah pangeran yang mendapat sebutan sebagai mutiara istana?
“Apakah Yang Mulia adalah Pangeran Zhu Di, pangeran keempat dari Yang Mulia Kaisar Ming Tai Zhu?” tanya Changyi kemudian.
“Sepertinya begitu” jawab sang pangeran kecil sambil mengangkat bahunya. “Kau baru di istana ini? Berapa lama kau tinggal di sini? Apakah kau calon prajurit khusus yang akan mengikuti ujian untuk menjadi prajurit khusus Yang Mulia Kaisar?”.
Changyi tersenyum lalu mengangguk.
“Benar Yang Mulia Pangeran Zhu Di. Hamba baru tiga bulan di sini dan hamba memang bermaksud untuk mengikuti ujian untuk menjadi prajurit” jawab Changyi kemudian.
Pangeran Zhu Di terlihat manggut-manggut. Pandangannya beralih ke arah atap bangunan kokoh yang merupakan gedung sekolah calon prajurit khusus.
“Yang Mulia Kaisar sangat sulit meluluskan seseorang kecuali ia memang benar-benar memiliki kemampuan yang bagus. Kau harus bekerja sangat keras jika memang ingin menjadi prajurit di sini” ujar Pangeran Zhu Di setengah bergumam.
Changyi mengangguk dengan setengah menunduk.
“Hamba mengerti Yang Mulia. Karena itulah hamba berlatih setiap hari di sini karena hamba berharap dapat lulus dalam ujian yang akan diberikan oleh Yang Mulia Kaisar nanti” jawabnya kemudian.
“Kalau begitu mulailah berlatih sekarang” ujar Pangeran Zhu Di. “Di depanku. Agar aku tahu sejauh mana kemampuanmu”.
Changyi tertawa tanpa suara menampakkan deretan giginya yang putih berkilau cemerlang.
“Bukankah Yang Mulia telah melihat latihan hamba setiap hari?” tanya Changyi.
Pangeran Zhu Di menggelengkan kepalanya.
“Itu berbeda” katanya kemudian. “Sebelum hari ini, aku melihatmu dari tempat tersembunyi, jadi itu tidak masuk dalam hitungan. Penilaianku akan di mulai hari ini saat kau berlatih di depanku, karena itu sekarang bangunlah dan mulai berlatih”.
Changyi kembali tertawa. Namun, kakinya terangkat juga dari tanah. Sebuah rasa hangat mengalir di hatinya menatap sosok Pangeran Zhu Di di depannya serta mendengar ucapan-ucapannya yang polos dan lucu, namun juga cerdas. Sebuah tarikan untuk menuruti perintah pangeran kecil di depannya tersebut mendadak muncul. Bukan karena sang pangeran adalah pangeran keempat dari kaisar Ming Tai Zhu melainkan karena rasa hangat aneh yang menyusupi hati Changyi.
“Baiklah Yang Mulia. Hamba akan melaksanakan perintah Yang Mulia” jawab Changyi.
“Hm” Pangeran Zhu Di mengangguk dengan gerakan tegas. Lalu berjalan ke arah sebuah bongkahan batu taman dan duduk di atasnya dengan posisi bersila. “Sekarang mulailah”.
Changyi melangkah ke arah bagian taman yang lapang dengan alas rumput yang hijau dan tebal lembut. Setelah membungkuk untuk memberikan penghormatan pada Pangeran Zhu Di yang duduk tak jauh darinya, tubuh Changyi segera bergerak. Jurus-jurus pembuka yang sederhana dan merupakan cirri khas beladiri dari para biksu mengawali langkahnya. Kemudian, semakin lama, gerak Changyi semakin cepat dan sepenuh tenaga. Suara angin bersiut dan menderu setiap kali kaki dan tangannya bergerak terdengar di telinga Pangeran Zhu Di yang menatap dengan sepasang mata berbinar-binar penuh semangat dan rasa kagum. Bibirnya menyunggingkan sebuah senyum simpul separo yang indah sementara Changyi telah tenggelam dalam jurus-jurus intinya yang indah namun berbahaya. Tubuhnya seolah tak memiliki rasa lelah meski puluhan jurus telah berlalu dan hamparan rumput taman di bawah kakinya telah menjadi rebah seluruhnya oleh tekanan telapak kakinya yang penuh tenaga. Daun-daun maple di sekitar taman bergerak-gerak dengan riuh dan banyak di antaranya yang kemudian jatuh berguguran oleh hempasan angin dari gerak tubuh Changyi.
Hingga sesaat kemudian, gerakan tubuh Changyi melambat dengan kelenturan yang indah sebeum kemudian berhenti sama sekali. Remaja yang rupawan itu berdiri di depan Pangeran Zhu Di sambil membungkukkan tubuhnya sebagai isyarat bahwa jurus-jurusnya telah selesai.
Pangeran Zhu Di bangkit berdiri dari duduknya di atas batu dan bertepuk tangan dengan penuh semangat membuat Changyi terkejut karena tak menduga reaksi dari sang pangeran akan begitu jujur dan terbuka.
“Bagus sekali. Kau banyak memiliki kemajuan dibanding sebelumnya” ujar Pangeran Zhu Di sambil berjalan menuju ke arah Changyi membuat remaja berusia empat belas tahun itu segera berlutut di depan pangeran kecil di depannya.
“Terima kasih atas pujian Yang Mulia Pangeran Zhu Di” jawab Changyi.
“Mulai besok, kau tidak boleh berlatih sebelum aku datang. Apakah kau mengerti?” ujar Pangeran Zhu Di.
Changyi mengertukan dahinya. Tapi, belum tentu ia akan berlatih besok hari bukan? Ia berlatih hanya jika ada waktu luang saja.
“Ini perintah!” sambung Pangeran Zhu Di saat melihat keraguan di wajah Changyi.
Changyi tersenyum dan mengangguk mengerti.
“Baiklah Yang Mulia. Saya akan melaksanakan perintah Yang Mulia” jawab Changyi kemudian.
Pangeran Zhu Di mengangguk puas dengan ekspresi senang.
“Bagus!” katanya kemudian. “Sekarang, bantu aku menaiki tembok itu. Aku harus kembali ke kasimku. Walaupun dia sangat membosankan, tapi aku tetap tidak tega melihatnya dihukum setiap hari oleh Yang Mulia Kaisar”.
Changyi mengangkat wajahnya dan menatap Pangeran Zhu Di. Alisnya berkerut dengan senyum mengembang.
“Yang Mulia, bagaimana cara Yang Mulia naik ke atas tembok sebelumnya?” tanya Changyi sambil menunjuk tembok di mana Pangeran Zhu Di jatuh sebelumnya.
“Aku melompat ke atas” jawab Pangeran Zhu Di dengan jujur.
‘Kalau begitu, bukankah Yang Mulia bisa melompat kembali untuk sampai di atas sana?” tanya Changyi kemudian.
“Aku tahu” jawab Pangeran Zhu Di dengan raut bersungut-sungut. “Tapi karena di balik tembok itu aku hanya sendirian. Kalau sekarang ada kau kenapa aku harus melompat? Jika ada prajurit kenapa aku harus berjaga sendiri?”
Changyi tertawa dengan geli. Sungguh pangeran kecil yang lucu. Pantas begitu banyak orang menyayanginya meski tingkahnya sering membuat orang-orang disekitarnya pusing kepala.
“Kenapa tidak ada kasim dan pelayan…atau prajurit yang membantu Yang Mulia di balik tembok itu?” tanya Changyi lagi.
“Karena aku tidak mau mereka membantuku!” bentak Pangeran Zhu Di. “Sudah kubilang mereka, terutama kasimku itu sangat membosankan. Lagipula, jika mereka tahu, mereka tidak akan mengijinkanku untuk ke sini. Tapi kau beda. Kau tidak membuatku bosan. Dan lagipula, aku menyukaimu. Jadi, aku ingin kau membantuku menaiki tembok itu sekarang. Cepat kerjakan! Jangan banyak tanya…kenapa kau ini cerewet sekali?”.
Changyi terpana sejenak mendengar pengakuan yang sangat jujur dari mulut pangeran kecil di depannya. Pangeran Zhu Di menyukainya? Mimpi apa dia tadi malam?. Namun, sesaat kemudian, kepala Changyi mengangguk dengan senyum melebar dengan rasa geli bercapur heran.
“Baiklah Yang Mulia. Silahkan Yang Mulia naik ke bahu hamba” jawab Changyi kemudian.
“Hm!” Pangeran Zhu Di mengangguk senang lalu berjalan ke arah tembok.
Changyi mengikuti Pangeran Zhu Di dan kemudian, saat ia telah berada tepat di sisi tembok, remaja berwajah elok itu segera berlutu kembali di depan Pangeran Zhu Di. Dengan gerakan sigap, sang pangeran keempat segera naik ke atas bahu Changyi. Changyi sangat bersyukur. Untunglah, ia telah terbiasa membawa beban berat di bahunya saat di kuil. Kayu bakar dalam ikatan besar serta tempayan-tempayan berisi air membuatnya bahu dan kedua kakinya terlatih dengan baik. Nyaris tanpa terasa berat olehnya, Changyi mengangkat tubuhnya dengan Pangeran Zhu Di di atas bahunya hingga pangeran keempat bisa mencapai pinggir atas tembok dan naik dengan mudah. Sang pangeran menoleh ke arah Changyi.
“Ingat apa yang kukatakan?” tanya Pangeran Zhu Di kemudian. “Kau tidak boleh berlatih sebelum aku datang!”.
Changyi mengangguk dengan senyum di kulum.
“Hamba mengerti Yang Mulia. Hamba akan menunggu Yang Mulia” jawabnya tegas dan yakin.
Pangeran Zhu Di mengangguk dan melambaikan tangan kanannya yang mungil sebelum kemudian melompat turun dengan ringan, meninggalkan Changyi yang masih berdiri mematung dengan wajah yang menyiratkan rasa heran.
Sungguh, hari ini ia datang ke taman ini dengan suasana hati yang penuh sesak oleh perlakuan-perlakuan buruk dari Fengyin dan saudara-saudaranya serta kerinduannya pada Chen. Namun, tanpa terduga, ia justru bertemu dengan sang pangeran yang terkenal dengan julukan mutiara istana. Lebih mengejutkan lagi karena ternyata Pangeran Zhu Di telah lama melihatnya berlatih dan ia sama sekali tak menyadarinya. Masih di tambah pengakuan jujur dari Pangeran Zhu Di bahwa sang pangeran menyukainya.
Changyi menarik nafas panjang. Bagaimanapun, pertemuannya dengan Pangeran Zhu Di hari ini telah sangat banyak mengurangi kepenatan hatinya dan bahkan memberinya semangat untuk terus bertahan meski ia mendapatkan perlakuan yang buruk. Sambil menggelengkan kepalanya, Changyi melangkah menuju ke arah bangunan sekolah calon prajurit khusus. Wajahnya terlihat cerah dengan senyum cemerlang yang mempesona.
*************

Tidak ada komentar:

Posting Komentar