Sabtu, 14 Maret 2015

Straight - Episode 2 ( Bagian Lima )

Daratan Tiongkok….
Tahun 1368…..
Akhir masa Dinasti Yuan diwarnai dengan pemerintahan yang sangat buruk. Tingginya angka korupsi di kalangan pejabat pemerintahan dan tingkat inflasi, serta tingkah laku bangsawan Mongol yang sewenang-wenang menjadi irama kehidupan pemerintahan Dinasti Yuan. Kaisar Yuan mengganti mata uang yang telah beredar sejak masa Kubilai Khan dengan mata uang baru dan mencetak mata uang tersebut secara besar-besaran sehingga menyebabkan terjadinya hiperinflasi. Akibat nyata yang kemudian terjadi adalah ambruknya perekonomian rakyat. Kelaparan merebak di mana-mana.
Pada tahun1351, terjadi bencana banjir akibat Sungai Kuning yang meluap. Bencana ini semakin memperparah kondisi rakyat yang sudah lebih dulu di hantam dengan bencana kelaparan. Keadaan yang sudah sangat buruk tersebut masih ditambah adanya perintah kerja paksa dari Kaisar Yuan pada ribuan petani dan tentara untuk memperbaiki bendungan Sungai Kuning yang jebol. Banyak rakyat yang meninggal karena kelaparan, datangnya wabah penyakit akibat banjir yang meluap, serangan hama tikus yang menyebabkan gagal panen, serta kematian para petani yang menjadi pekerja paksa di Sungai Kuning. Rakyat yang masih mampu bertahan hidup berjuang dengan segala kemampuan yang dimiliki tanpa mempedulikan lagi nilai norma dan hukum. Angka kejahatan meningkat seiring banyaknya rakyat yang kehilangan tempat tinggal, anak-anak yang kehilangan orangtua mereka, wanita-wanita yang kehilangan suaminya hingga hilangnya tanah-tanah sawah pertanian tempat rakyat menggantungkan kehidupannya.
Pada sekitar Bulan Mei tahun 1351, pecah pemberontakan rakyat yang tidak mampu lagi menahan penderitaan atas buruknya sistem pemerintahan Kaisar Yuan. Pemberontakan yang dikenal dengan nama Pemberontakan Sorban Merah di bawah pimpinan Jenderal Guo Zixing tersebut  berhasil menguasai wilayah Haozhou (sekarang Kabupaten Fengyang, Anhui). Diantara prajurit yang terlibat dalam Pemberontakan Sorban Merah terdapat seorang pemuda bernama Zhu Yuanzhang yang merupakan salah satu pemuda berbangsa Han dan berasal dari sebuah keluarga petani miskin. Sebagaimana banyak rakyat lainnya, Zhu Yuanzhang telah kehilangan keluarganya dalam bencana kelaparan dan banjir besar Sungai Kuning. Dalam beberapa pertempuran, Zhu Yuanzhang menunjukkan jasa yang besar hingga menyenangkan hati Jenderal Guo Zixing dan memutuskan untuk menikahkan Zhu Yuanzhang dengan putri angkatnya sendiri. Setelah menikah, Zhu Yuanzhang pergi meninggalkan Haozhou dan belajar menghimpun kekuatannya sendiri ditemani oleh sahabatnya yang lebih dulu bergabung dengan pasukan Sorban Merah dan berpangkat sebagai Jenderal Junior bernama Xu Da. Pada tahun 1356, Zhu Yuanzhang berhasil menaklukkan wilayah Jiqing dan menggantinya dengan nama Yingtian (sekarang Nanjing, Jiangsu).
Setelah berhasil menaklukkan Yingtian, Zhu Yuanzhang kemudian memutuskan untuk menetap di kota ini dan menjadikannya sebagai basis militernya untuk menghimpun kekuatan demi kekuatan guna mempersatukan daratan Tiongkok seperti yang diimpikannya. Zhu Yuanzhang yang saat itu masih berpangkat sebagai panglima perang menggantikan Guo Zixing menyadari bahwa wilayah Yingtian sesungguhnya sangat tidak strategis sebagai tempat untuk menyusun kekuatan sehingga kemudian ia memutuskan untuk meningkatkan pertahanan terutama dengan memperbaiki kemampuan logistiknya di wilayah Yingtian.
Dan ternyata keputusan Zhu Yuanzhang tersebut sangatlah tepat karena dengan perbaikan logistic yang dilakukannya, ia dapat menghimpun kekuatan dalam waktu singkat. Pada tahun 1360, Zhu Yuanzhang bersama dengan Jenderal Xu Da menyerang pemberontak Chen Youliang dan berhasil memukul Chen Youliang ke wilayah Jiangzhou yang terletak di wilayah pesisir sebelah timur Yingtian. Melalui peperangan dan pengejaran selama tiga tahun, pada akhirnya Zhu Yuanzhang berhasil menghancurkan kekuatan Chen Youliang.
Pada tahun 1367, Zhu Yuanzhang kembali menyerang kekuatan pemberontak Zhang Shincheng dan berhasil menguasai daerah Pingjiang (sekarang Suzhou, Jiangsu). Masih pada tahun yang sama, pasukan Zhu Yuangzhang juga berhasil menghancurkan kekuatan Fang Guozhen yang menguasai wilayah pesisir Zhejiang.
Setelah kemenangan demi kemenangan dapat di raih, Zhu Yuanzhang mulai mendapatkan simpati dari rakyat dan memiliki kekuatan yang besar dan kokoh sehingga kemudian, pada tahun 1368, Zhu Yuanzhang mengangkat dirinya sebagai kaisar pertama yang menandai berdirinya Dinasti Ming dengan nama Kaisar Min Tai Zu. Hongwu ditetapkan sebagai tahun pemerintahan sehingga kemudian rakyat mengenal Kaisar Ming Tai Zu sebagai Kaisar Hongwu.
Pada tahun itu juga, Kaisar Hongwu memerintahkan kekuatan militernya untuk memulai ekpedisi ke utara guna mempersatukan daratan Tiongkok di bawah bendera Ming. Kekaisaran Yuan yang tersisa dan masih bertahan di kota Dadu (sekarang Beijing) tidak dapat menahan kekuatan tentara Ming di bawah pimpinan Jenderal besar Xu Da, Jenderal Lan Yu dan Jenderal Chang Yu Chun. Kota yang merupakan jantung pemerintahan Dinasti Yuan tersebut kemudian di bumi hanguskan atas perintah Kaisar Hongwu untuk kemudian di bangun kembali sebagai bagian dari daerah kekuasaan Dinasti Ming. Sisa-sisa pengikut Dinasti Yuan melarikan diri ke wilayah Mongol. Jatuhnya kota Dadu menjadi sebuah kemenangan besar bagi Jenderal Xu Da dan pasukannya. Maka, setelah mengejar sisa-sisa pasukan Yuan sampai di perbatasan Mongol, Jenderal Xu Da memerintahkan pasukannya untuk pulang kembali ke Yingtian dan melaporkan kemenangan yang telah mereka raih.
Kemenangan-kemenangan yang di raih oleh pasukan militer Ming dengan nyata telah merebut kekuatan moral dari rakyat. Jenderal Xu Da dapat merasakannya dengan jelas sepanjang perjalanan mereka kembali ke Yingtian. Rakyat yang selalu berusaha untuk sekedar berdiri di pinggir jalan berdebu dan memberi hormat dengan sikap tunduk dan takluk tanpa cekaman ketakutan seperti yang terlihat pada masa pemerintahan Dinasti Yuan menjadi gambaran bahwa keberadaan pemerintahan Ming dengan cepat telah mendapat tempat di hati rakyat.
Mereka telah jauh meninggalkan kota Dadu dan kini jalan yang di susuri merupakan jalanan besar yang biasa dilalui oleh para pedagang dengan pedati atau kereta kuda. Sekarang bukanlah musim kemarau, namun setelah beberapa hari langit cerah, maka jalan besar itu menjadi kering dan mulai menebarkan debu ketika bala tentara Ming menapak di atasnya dengan ribuan kuda mereka. Jenderal Xu Da berada di barisan depan bersama dengan Jenderal Chang Yu Chun sementara Jenderal Lan Yu memimpin barisan pasukan yang berada di lapis kedua, agak jauh di belakang. Kiri kanan jalan merupakan lahan pertanian yang mulai menumbuh meskipun perekonomian belum sepenuhnya pulih setelah hantaman banjir Sungai Kuning, serbuan wabah tikus, serta kelaparan akibat tingkat korupsi dan inflasi yang tinggi hasil peninggalan Dinasti Yuan. Nampaknya, petani di daerah yang sekarang mereka lewati baru saja memanen tanaman padi mereka dan bersiap untuk masa tanam selanjutnya. Agak jauh di batas pandang yang dilingkupi warna hijau rindang pepohonan, Jenderal Xu Da dapat melihat atap-atap rumah penduduk yang terbuat dari anyaman jerami. Samar-samar liuk asap tipis berwarna putih abu-abu membubung dari atap-atap jerami tersebut yang menunjukkan denyut kehidupan manusia yang tinggal di dalamnya. Di batas tanah pesawahan ini pastilah sebuah desa.
Sekilas, Jenderal Xu Da melirik ke arah Jenderal Chang Yu Chun yang duduk di atas kuda di sampingnya. Jenderal yang beberapa tahun lebih muda itu terlihat sedikit mengantuk dan menunduk. Baju besi yang dikenakan seolah bukan halangan bagi jenderal yang sangat dekat dengannya itu untuk menikmati kantuknya. Sejenak, Jenderal Xu Da menoleh ke arah prajurit-prajurit di sekililingnya. Rasa bangga segera menyergap hati sang jenderal saat menatap wajah-wajah tegar dan segar para prajurit meski mereka baru saja menjalani peperangan terus menerus di Kota Dadu dan pengejaran hingga ke perbatasan Mongolia. Lalu, mata Jenderal Besar Dinasti Ming itu beredar dan menatap batas areal tanah pesawahan jauh di bawah rerimbunan pohon-pohon di mana sebuah desa terlihat tengah mendenyutkan nadi kehidupannya. Samar, pandangan mata Jenderal Xu Da menangkap gerakan di batas pertanian tersebut. Terlihat seperti sosok manusia yang tengah berlari. Sepertinya, jumlah penduduk di desa itu lumayan banyak. Jenderal Xu Da bersiap kembali menatap ke depan, pada jalan berdebu yang tengah mereka lalui ketika mendadak ia menangkap gerakan manusia yang tengah berlari itu bukan hanya satu melainkan dua…tiga…beberapa orang…dan…alis Jenderal Xu Da berkerut saat akhirnya ia bisa melihat dengan jelas bahwa manusia-manusia yang tengah berlari agak jauh di batas pesawahan tersebut ternyata berjumlah sangat banyak. Kesemua manusia yang jelas terlihat sebagai penduduk desa itu berlari sambil mengacung-acungkan berbagai senjata yang mereka miliki diiringi suara teriakan dan bentakan pada….dua orang anak yang berlari di depan orang-orang desa. Agak jauh di depan penduduk desa yang mengejar, dua anak terlihat melompati parit dan masuk ke areal pesawahan. Satu anak yang bertubuh lebih besar terlihat berlari sambil memondong satu buntalan kain putih di punggungnya sementara tangan kanannya menggandeng dan menarik tangan anak lainnya yang bertubuh lebih kecil.
Para penduduk yang terlihat kalap itu turut melompati parit dan masuk ke areal sawah saat melihat dua orang anak yang mereka kejar kini berlari di tanah sawah yang telah kosong karena baru saja di panen. Suara teriakan samar terdengar sampai di telinga Jenderal Xu Da dan para prajurit yang tengah menyusuri jalan besar. Suara gumaman para prajurit yang juga melihat para penduduk desa yang tengah mengejar dua orang anak kecil terdengar mendengung beberapa prajurit bahkan menunjuk-nunjuk ke arah peristiwa pengejaran yang tengah berlangsung di depan mata mereka. Sekali, anak yang bertubuh lebih kecil jatuh terjungkal di sawah yang masih menyisakan lumpur hingga seluruh tubuh dan mukanya berlumuran tanah liat berwarna hitam abu-abu. Mestinya anak tersebut berhenti, namun anak lain yang bertubuh lebih besar menarik tangannya dan kemudian berusaha untuk menggendongnya meski di punggungnya sendiri telah terdapat satu buntalan kain besar yang terlihat cukup berat. Jenderal Xu Da menatap kedua anak yang terus berlari dalam pengejaran para penduduk desa. Ia tak tahu, apa kesalahan yan telah di lakukan oleh dua anak tersebut hingga penduduk desa terlihat sangat marah pada keduanya.
Lalu mendadak, anak yang bertubuh lebih besar menghentikan larinya dan menatap ke arah rombongan ribuan tentara yang tengah melintas di jalan besar tak jauh dari tempatnya berdiri. Kemudian, tanpa terduga sama sekali, mendadak anak bertubuh lebih besar menarik tangan anak lain yang takpernah sekalipun dilepaskannya dan berlari….menuju ke arah ribbuan prajurit yang tengah melintas di jalan besar. Tubuh anak yang lebih besar tersebut terlihat sangat gesit dan lincah seolah rasa lelah tak sedikitpun menggayutinya meski ia berlari sambil memondong buntalan kain yang berat di punggungnya serta sesekali menggendong anak yang lebih kecil. Penduduk desa yang melihat dua buruan mereka mengubah arah larinya segera turut pula melompati parit, keluar dari areal pesawahan dan berlari di jalan besar, dalam arah yang menyongsong ribuan prajurit di bawah pimpinan Jenderal Xu Da.
Sungguh lucu, bahwa dalam keadaan biasa, keberadaan para prajurit selalu memberikan decak kagum bercampur sedikit rasa takut di hati para penduduk di sepanjang jalan yang di lewati sehingga para penduduk tersebut selalu menyisih memberikan jalan bagi para parjurit yang lewat. Namun, saat ini, ketika penduduk desa yang berlari mengejar dua anak kecil di depan mereka tersebut sedang dikuasai oleh kemurkaan, maka mereka seperti lupa bahwa di depan mereka terdapat serombongan besar ribuan prajurit dengan pakaian perang lengkap, dengan umbul-umbul yang gagah dan di bawah pimpinan seorang jenderal besar penuh wibawa. Sementara dua anak yang berlari menuju ke arah rombongan prajurit Ming telah semakin dekat membuat Jenderal Xu Da secara tak sadar menghentikan gerak kuda yang di tungganginya. Berhentinya Jenderal Xu Da secara langsung membuat Jenderal Chang Yu Chun dan para prajurit di sekitar jenderal besar tersebut turut berhenti pula. Dan hal itu, dengan sendirinya juga membuat para prajurit di bagian belakang secara berturut-turut mengikuti berhenti bergerak.
“Hai!...dasar pencuri!...berhenti kalian!...anak-anak tak tahu diri! Kembali kalian!” teriak penduduk yang marah dan terus mengejar dua anak yang kini hanya tinggal beberapa meter dari barisan prajurit dan Jenderal Xu Da.
Tetapi, dua anak yang hanya mengenakan secuil pakaian kumal di bagian pinggang hingga sebatas lutut mereka itu sama sekali tak mempedulikan teriakan para penduduk yang marah. Keduanya terus berlari, bahkan hingga kemudian, kedua anak itu telah mencapai barisan prajurit yang sangat banyak di depan mereka. Keduanya menyusup, tepat melalui sisi Jenderal Xu Da dan Jenderal Chang Yu Chun, membuat sang jenderal besar dari Ming tersebut terkejut dan sedikit menyisihkan kudanya. Beberapa prajurit yang juga terkejut terdengar membentak dua anak yang berlari menembus barisan dan hilang di belakang, entah di bagian mana dari barisan prajurit Ming yang sangat banyak tersebut.
Sementara para penduduk desa yang mengejar dua anak yang telah menghilang di balik barisan para prajurit telah sampai tepat di depan Jenderal Xu Da. Dan ampaknya, mereka baru menyadari keberadaan para prajurit dan perwira tinggi yang kini ada di hadapan mereka. Wajah-wajah pucat yang menunjukkan rasa takut segera terlihat. Namun, banyak pula dari mereka, yang meskipun terlihat takut namun masih berusaha mencari-cari keberadaan dua anak yang menghilang dari pandangan mata , tertutupi oleh banyaknya prajurit dan umbul-umbul symbol kekuatan Dinasti Ming.
“Siapa kalian?” tanya Jenderal Chang Yu Chun pada para penduduk desa. “Dan mengapa kalian mengejar dua anak kecil yang sama sekali tak sepadan dengan kalian?”
Para penduduk desa terlihat saling pandang satu sama lain. Wajah memucat karena rasa takut semakin bertambah sementara, jawaban atas pertanyaan Jenderal Chang Yu Chun tidak juga datang karena para penduduk desa saling mendorong untuk maju ke depan dan berbicara mewakili mereka.
“Kenapa kalian tidak menjawab!” bentak prajurit tamtama yang berada di sisi Jenderal Xu Da. “Apa kalian tidak tahu sekarang berhadapan dengan siapa?!”
Para penduduk semakin menciut, namun kemudian, salah satu penduduk desa terlihat maju ke depan. Tubuhnya membungkuk penuh hormat ke arah Jenderal Xu Da dan Jenderal Chang Yu Chun.
“Ma…maafkan kami Tuan. Kami adalah penduduk di desa itu, yang atapnya terlihat dari sini. Kami…kami mengejar dua anak tadi karena mereka telah banyak mencuri beras dari kami” jawab si lelaki penduduk desa yang memberanikan diri angkat bicara.
Jenderal Xu Da mengerutkan alisnya yang tebal dan tegas. Mencuri? Meski hanya sekilas, ia dapat melihat bahwa dua anak yang sekarang telah menyusup masuk ke dalam barisan prajurit dan entah berada di mana, memiliki wajah-wajah yang bersih. Terutama anak yang bertubuh lebih besar. Terlihat bahwa dua anak itu, entah siapapun orangtua mereka, telah di didik dengan baik perihal budi pekerti.
“Mencuri? Bagaimana bisa dua anak kecil seperti mereka mencuri beras dari kalian? Di mana orangtua mereka?” tanya Jenderal Chang Yu Chun sambil menatap lelaki penduduk desa dengan tajam membuat lelaki muda bertubuh kurus dan tinggi itu tertunduk dengan takut.
“Itu benar Tuan Jenderal….mereka memang mencuri beras kami. Bukan hanya sekali, melainkan telah berkali-kali dan membuat kami rugi. Kami tidak tahu di mana orangtua mereka. Mereka bukan berasal dari desa kami” lelaki itu memberi penjelasan sambil tetap tertunduk.
Jenderal Chang Yu Chun bergumam tanpa kalimat yang jelas. Namun pandangannya beralih pada Jenderal Xu Da di sisinya yang terlihat mencermati situasi yang menghadang perjalanan mereka. Jenderal Chang Yu Chun merasa bahwa mereka bisa saja mengabaikan permasalah dua anak yang mencuri beras dari penduduk desa dan melanjutkan perjalanan mereka menuju ke kota kerajaan di Yingtian. Namun, ia tahu bahwa dengan watak Jenderal Xu Da yang tak pernah mengabaikan permasalahan di depan mata, maka jenderal tertinggi yang sangat dihormati itu tak akan memberi perintah untuk melanjutkan perjalanan tanpa menyelesaikan permasalahan yang menghadang di depan mata.
“Bawa dua anak itu ke mari” perintah Jenderal Xu Da dengan suara pelan pada seorang prajurit di belakangnya.
“Baik Jenderal!” sahut prajurit berpangkat tamtama itu dengan suara tegas lalu keluar dari barisan dan menggebrak kudanya menuju belakang barisan.
Entah di bagian mana dua anak yang berlari menembus barisan prajurit Ming tersebut bersembunyi. Namun, dari jeda waktu yang di butuhkan oleh tamtama yang berlari ke belakang untuk mencari dan membawa dua anak yang menembus barisan mereka, tampaknya dua anak tersebut berlari cukup jauh. Samar - samar, Jenderal Xu Da dan Jenderal Chang Yu Chun mendengar suara ribut jauh di  belakang. Beberapa prajurit terdengar membentak dengan suara keras di susul jeritan seorang anak, tangisan takut dan bahkan suara kuda yang meringkik. Namun, di antara suara-suara yang bising dan campur aduk itu, telinga Jenderal Xu Da mendengar satu suara lain yang segera membuat alisnya kembali berkerut.
“Lepaskan dia Tuan! Kami akan ke depan menghadap Tuan Jenderal!” tegas suara yang membuat kepala Jenderal Xu Da berpaling ke belakang dan menyipitkan dua matanya untuk melihat hal yang tengah berlangsung. Namun, ia tak bisa melihat apapun selain kumpulan para prajurit dan umbul-umbul yang semarak penuh wibawa.
Suara itu khas suara anak-anak. Dari nada bicaranya dan susunan kata-katanya yang urut beraturan, Jenderal Xu Da memperkirakan usia anak itu mungkin sekitar dua atau tiga belas tahun. Namun, hal yang membuat perhatian Jenderal Xu da tergelitik adalah adanya kekuatan dalam suara kecil itu yang seolah hendak memaksa orang lain untuk menuruti kehendaknya. Bahkan, ia sendiri baru saja tergoyahkan dan berpaling ke belakang karena suara itu bukan?.
Sesaat menunggu, lalu, mendadak dari arah belakang terlihat berlari dua sosok anak kecil yang sebelumnya menembus barisan prajurit Ming. Prajurit tamtama yang di perintahkan oleh Jenderal Xu Da untuk membawa dua anak tersebut terlihat mengiringi di belakang dengan kudanya. Penduduk yang semula tertunduk takut seketika berubah beringas dan mulai berteriak marah saat dua anak yang mereka kejar kini berdiri di depan mereka. Beberapa dari lelaki penduduk desa bahkan mulai mengangkat kembali senjata mereka dan mengacungkannya pada dua anak di depan mereka.
“Nah! Kemari kalian! Dasar pencuri kecil! Kalian seharusnya di hanyutkan di Sungai Kuning!” teriak seorang lelaki sambil membeliak penuh amarah.
Ucapan lelaki yang keras itu langsung mendapat sambutan dari penduduk lainnya. Suasana seketika berubah menjadi bising penuh teriakan dan sumpah serapah dari penduduk desa sementara dua anak yang kini berdiri di antara penduduk desa dan barisan prajurit hanya diam. Jenderal Xu Da menatap dua anak yang kini berada di depannya dengan seksama. Dua anak itu bertubuh kurus. Terlihat jelas tulang-tulang yang bertonjolan di dada mereka yang tak tertutup kain. Kaki-kaki mereka telanjang tanpa alas kaki dan kotor penuh lumpur sementara satu-satunya kain yang menutupi tubuh mereka hanyalah sehelai kain kumal yang membungkus pinggang mereka hingga ke lutut. Namun, sang jenderal besar dari Dinasti Ming itu berkerut saat menatap wajah dua anak yang berdiri di depannya tersebut. Wajah dua anak itu terlihat bersinar. Sangat berlawanan dengan pakaian mereka yang kumal dan kaki-kaki mereka yang kotor penuh lumpur, wajah dua anak tersebut justru sangat bersih dan bening. Seperti embun pagi yang menetes di awal hari. Satu anak yang bertubuh lebih kecil terlihat takut dan bersembunyi di balik punggung anak lain yang lebih  besar. Masih tersisa isak tangisnya yang halus sementara anak yang bertubuh lebih besar berdiri teguh di depan anak kecil yang tampaknya sangat di lindunginya. Jenderal Xu Da menatap anak yang berdiri tegak tak bergeming di depannya dan terkejut saat melihat cahaya terang yang memancar dari wajah anak itu. Bukan hanya bersih dan bening, namun anak yang bertubuh lebih  besar itu juga memiliki kekuatan menaklukkan di sepasang mata kanak-kanaknya yang polos. Sepasang mata yang menatap langsung ke arahnya tanpa sedikitpun rasa takut, berbinar-binar dalam kilau cerdas. Sepasang bibir yang terkatup rapat namun membentuk garis senyum yang indah. Jenderal Xu Da menelengkan kepalanya ke samping saat mendadak ia teringat pada cahaya matahari di pagi hari ketika ia menatap wajah anak bertubuh lebih besar yang berdiri sambil menatap langsung padanya. Sebuah rasa tertarik yang aneh mendadak muncul di hati sang jenderal besar tersebut.
“Hei kalian pencuri tengik! Kemari kalian! Kembalikan beras-beras kami! Atau kalian akan kami hanyutkan ke Sungai Kuning!” panggil salah satu penduduk sambil mengacungkan sabitnya yang panjang berkilat.
“Benar! Kalian memang sudah seharusnya di hanyutkan di Sungai Kuning atau di buang di hutan agar kalian tidak mengganggu kehidupan kami!” sambung yang lain.
“Bunuh saja!”
“Buang saja!”
“Seret saja!”
Suasana sangat bising membuat membuat semua prajurit yang berada di bagian depan mengerenyitkan wajah dan terlihat mulai kesal. Jenderal Xu Da memberi isyarat pada tamtama yang sesaat lalu diperintahkannya untuk membawa dua anak yang dikejar para penduduk ke depan.
“Kemari kalian!...kalian harus mengembalikan beras-beras yang kalian ambil!” teriak lelaki kurus yang menjadi wakil para penduduk menjawab pertanyaan dari Jenderal Chang Yu Chun.
“Lebih baik kita seret mereka sekarang!” sahut yang lain.
“Benar! Seret saja!” teriak yang lain lagi.
“Seret!”
“Seret!”
“Seret!”
“DIAAAAAAAMMM!!!!!!!!!” sebuah suara mengguntur mendadak terdengar, mengatasi suara teriakan para penduduk yang marah dan seketika membungkam semua mulut yang dilanda kemarahan. Seorang tamtama bertubuh tinggi besar dan berwajah gagah kini telah berdiri di depan barisan prajurit Ming. Sepasang matanya membeliak garang ke arah para penduduk membuat orang-orang desa itu seketika menjadi gentar. Terlebih, sang tamtama berdiri sambil menyandang sebuah pedang besar di tangan kanannya.
“Kalian bersikap tidak sopan di depan Jenderal Xu Da, apa kalian semua ingin mati?!” bentak prajurit tamtama keras membuat nyali para penduduk semakin ciut.
“Maafkan kami Tuan” sahut si lelaki kurus yang sejak semula mewakili orang-orang desa lain.
Si prajurit tamtama mendengus keras. Tapi, ia tidak membentak lagi dan berbalik ke arah Jenderal Xu Da dan Jenderal Chang Yu Chun. Tubuhnya membungkuk.
“Jenderal…silahkan” ujar prajurit tamtama.
Jenderal Xu Da mengangguk sekilas lalu menatap para penduduk desa yang kini diam menunggu.
“Apakah kalian menemukan bukti bahwa dua anak ini mencuri beras kalian?” tanya Jenderal Xu Da.
Para penduduk desa mengangkat kepala mereka yang semula tertunduk. Semua saling berbisik satu sama lain menciptakan suara dengung yang halus.
“Jawab!” bentak prajurit tamtama. “Jenderal Xu Da bertanya pada kalian!”.
“Yyya!…Ya Tuan Jenderal!...banyak dari kami yang telah melihat sendiri dua anak itu mencuri beras dari kami…..dan…dan buntalan yang di bawa oleh anak itu, itu adalah bukti bahwa mereka memang mencuri beras dari kami” jawab lelaki kurus yang sejak semula menjadi wakil dari para penduduk desa.
Jenderal Xu Da berpaling dan menatap dua anak yang berdiri di depannya. Si anak yang bertubuh lebih kecil terlihat takut dan terus bersembunyi di balik punggung anak yang lebih besar. Jenderal Xu Da menatap anak itu, yang juga tengah menatapnya.
“Apa itu benar? Apakah kalian mencuri beras dari mereka?” tanya Jenderal Xu Da sambil menunjuk para penduduk desa. Sepasang matanya tajam menatap langsung ke dalam mata anak yang tengah menatapnya dengan sepasang matanya yang sangat jernih, lalu, ia mulai mengukur kekuatan hati anak tersebut.
Jenderal Chang Yu Chun menatap anak yang bertubuh lebih besar pula dan dalam hati mulai menebak-nebak. Apakah anak tersebut akan ketakutan? Apakah dia akan mulai menangis? Jenderal Xu Da adalah seorang jenderal besar yang hidup dari satu pertempuran ke pertempuran yang lain sehingga memiliki kekuatan batin yang sangat besar. Tak banyak orang yang bisa bertatap mata langsung dengan sang jenderal kesayangan Kaisar Ming Tai Zhu tersebut. Sementara itu, beberapa prajurit yang berada di barisan depan turut pula menunggu reaksi dari anak yang kini berhadapan langsung dengan jenderal yang sangat mereka segani. Beberapa prajurit mulai berbisik pelan dan menebak-nebak. Anak itu, pasti akan menolak tuduhan dan berusaha membela diri, mungkin disertai dengan tangis sebagaimana halnya anak-anak lain.
Namun ternyata, apa yang diduga oleh Jenderal Chang Yu Chun dan para prajurit sangat jauh dari kenyataan.
“Benar Jenderal!” sahut anak bertubuh lebih besar itu dengan suara yang tegas, disertai anggukan kepala yang kuat dan pasti membuat suasana menjadi ramai oleh dengung amarah penduduk desa serta gumaman heran para prajurit. “Saya mengambil beras dari mereka”.
Jenderal Chang Yu Chun menatap anak yang baru saja memberi jawaban tegas tersebut dengan alis berkerut. Anak itu memiliki keberanian dalam dirinya. Lebih lagi, anak yang bertubuh lebih besar itu hanya menyebut dirinya sebagai si pelaku pencurian beras milik penduduk desa tanpa menyebut anak bertubuh kecil di belakang punggungnya. Seolah, anak dengan wajah cemerlang dan sepasang mata yang tajam bersinar itu dengan sengaja ingin melindungi saudaranya.
“Hmm” Jenderal Xu Da bergumam pelan. Pandangannya tak berkedip menatap anak yang juga menatap lurus ke arahnya. Tak ada niat melawan ataupun sikap kurang ajar dan tidak sopan dalam pandangan yang lurus itu. Apa yang terlihat dan tertangkap oleh matanya hanya sinar keberanian yang murni, tulus dan polos. “Katakan kenapa kau mencuri beras dari mereka? Di mana orangtua kalian?”.
“Saya mencuri beras mereka karena mereka tidak membayar upah kami Jenderal. Kami sudah membantu mereka menanam padi saat musim tanam yang lalu, sehari kami menanam padi sepuluh petak, tapi setelah selesai, upah kami tidak diberikan. Saya dan adik saya harus makan, jadi, saya mengambil beras mereka sebagai upah kami. Orangtua kami sudah meninggal karena wabah yang menyerang desa kami di wilayah selatan” jawab si anak bertubuh lebih besar dengan suara jernih dan lantang namun memberikan akibat yang luar biasa. Beberapa penduduk terlihat salah tingkah dan mulai takut sementara suara dengungan halus kini terdengar di barisan para prajurit.
Jenderal Chang Yu Chun terkejut. Menanam padi sebanyak sepuluh petak dan tidak mendapat upah? Sungguh keterlaluan sementara tenaga yang di gunakan hanyalah tenaga dua anak kecil.
Sepasang mata Jenderal Xu Da menyipit saat mendengar penjelasan anak di depannya. Pandangannya beralih ke arah para penduduk desa.
“Benarkah apa yang di katakan anak ini? Siapa dari kalian yang telah menggunakan tenaga dua anak ini untuk menanam padi tapi tidak membayar upahnya?” tanya Jenderal Xu Da dengan suara tegas penuh wibawa.
Para penduduk desa menjadi sangat gelisah. Beberapa lelaki terlihat memundurkan dirinya, masuk ke balik punggung teman mereka dengan kepala tertunduk pucat. Tubuh-tubuh para penduduk desa terlihat bergerak-gerak dengan bingung dan gelisah.
“Jawab!” bentak prajurit tamtama yang masih berdiri di sisi kuda Jenderal Xu Da. “Siapa dari kalian yang telah menggunakan tenaga dua anak itu tanpa membayar upah mereka?!”.
Lelaki kurus yang menjadi juru bicara penduduk desa menengok ke arah teman-temannya dengan ekspresi takut.
“Mengaku saja” pintanya dengan wajah memelas. “Atau Jenderal akan memberi hukuman yang lebih berat”.
“Sudah kubilang, kau juga yang salah” gerutu yang lain sambil menyikut satu lelaki yang terlihat pucat.
“Cepat jawab!” bentak prajurit tamtama dengan suara lebih menggelegar. “Atau aku akan menyeret kalian semua!”.
“Hai anak kecil!” panggil Jenderal Xu Da pada anak yang bertubuh lebih besar. “Kau masih ingat siapa yang telah menggunakan tenagamu untuk menanam padi tapi tidak membayar upahmu? Tunjukkan padaku sekarang!”.
“Masih Jenderal” jawab anak kecil bertubuh lebih  besar kemudian berbalik ke arah penduduk desa di belakangnya. Sepasang matanya yang jernih menatap berkeliling lalu tangannya terangkat, menunjuk ke depan. “Dia…dia…dia dan dia”.
Empat lelaki yang di tunjuk oleh anak kecil berwajah cemerlang tersebut terlihat berwajah seputih mayat. Tubuh mereka gemetar hebat. Dan sebelum Jenderal Xu Da maupun prajurit tamtama berbicara, empat lelaki yang di tunjuk telah melompat ke depan Jenderal Xu Da dan berlutut di tanah. Satu di antara mereka bahkan menangis tersedu-sedu.
“Ampun Jenderal. Kami mengaku  bersalah….jangan menghukum kami Tuan Jenderal…” ratap lelaki berperut membusung sambil bersujud di tanah.
Jenderal Xu Da menatap empat lelaki di depannya dengan tajam.
“Kalian manusia yang lebih tidak beradab daripada anak-anak itu. Perbuatan kalian sangat jahat. Seharusnya kalian mendapat hukuman yang sangat berat” kata Jenderal Xu Da. Meskipun nada bicaranya datar, namun ketegasan dalam kalimat yang diucapkan oleh jenderal bertubuh tinggi dan gagah itu benar-benar telah meruntuhkan nyali ke empat lelaki penduduk desa yang berlutut di tanah.
“Ampun Jenderal…ampuni kami Jenderal….jangan hukum mati kami Jenderal” lelaki berperut besar akhirnya turut menangis.
“Karena itu kalian harus membayar upah dua anak yang belum kalian bayar!” sahut Jenderal Xu Da, kali ini dengan nada tinggi. “Atau pemerintah kerajaan akan menyita seluruh harta benda kalian sebagai pajak negara!”.
Empat lelaki yang telah sangat ketakutan itu seketika mengangguk-angguk dan bersujud.
“Baik Jenderal!...kami akan membayar upah mereka. Ampuni kami Jenderal…ampuni kami” sahut lelaki berperut besar sambil bersujud.
“Ampuni kami Jenderal!” sahut tiga lelaki yang lain.
“Cepat lakukan!” tegas Jenderal Xu Da pada empat lelaki di depannya.
Serentak, keempat lelaki penduduk desa segera bangkit dari sujud mereka dan merogoh ke balik pakaian mereka masing-masing mengeluarkan kantong-kantong kain berisi uang lalu mengumpulkannya menjadi satu di tangan lelaki berperut besar. Si Lelaki berperut besar berjalan mendekat ke arah Jenderal Xu Da dan mengangkat kantung uang di tangannya.
“Tuan Jenderal, ini…ini adalah uang yang ada pada kami saat ini. Ini sebagai upah mereka…dan jika masih kurang, maka kami akan mengambil di rumah kami” ujar lelaki berperut gendut dengan tangan yang gemetar memegang empat kantung uang.
Jenderal Xu Da mengangguk. “Berikan pada dua anak itu”.
“Baik Tuan Jenderal” sahut lelaki berperut gendut lalu beranjak kearah dua anak lelaki yang berdiri tak jauh darinya.
Namun….
“Jenderal….kami tidak bisa menerima uang itu” ujar si anak yang bertubuh lebih besar membuat Jenderal Xu Da, Jenderal Chang Y Chun dan semua orang yang ada di tempat itu terkejut. Demikian pula dengan empat lelaki yang telah memberikan uang mereka sebagai bayaran upah dua anak kecil di dekat mereka.
Jenderal Xu Da menatap anak yang bertubuh lebih besar dengan alis berkerut heran.
“Kenapa kau tidak bisa menerima uang itu anak kecil? Bukankah kau tadi mengatakan bahwa mereka telah menggunakan tenagamu untuk menanam padi sebanyak sepuluh petak tapi tidak membayar upahmu?” tanya Jenderal Xu Da.
“Benar Jenderal” sahut anak yang bertubuh lebih besar sambil mengangguk tegas. “Tapi, kami sudah mengambil beras orang-orang itu sebanyak dua puluh kali. Hari ini, adalah hari terakhir saya bermaksud mengambil beras dari mereka”.
Kepala Jenderal Xu Da terteleng ke samping mendengar jawaban si anak.
“Hari ini terahir kali kau akan mengambil beras dari mereka? Kenapa? Apakah karena hari ini kau tertangkap oleh mereka?” tanya Jenderal Xu Da.
“Bukan begitu Jenderal. Tapi, hari ini adalah hitungan terakhir jumlah upah yang mereka janjikan pada kami. Mereka berempat menjanjikan akan memberi upah pada kami empat kantung beras. Satu kantung berisi lima mangkuk besar penuh beras. Setiap dua hari sekali, saya mengambil beras mereka sebanyak satu mangkuk. Sehingga untuk mendapat empat kantung beras, saya harus mengambil beras mereka sebanyak dua puluh kali. Karena hari ini adalah mangkuk ke dua puluh, maka upah yang mereka janjikan sudah lunas Jenderal. Karena itu, kami tidak bisa menerima uang mereka lagi” jawab si anak membuat banyak prajurit terpana.
Jenderal Chang Yu Chun menatap si anak dengan sinar mata memancarkan rasa kagum. Anak tersebut bukan hanya berwajah cemerlang, namun ternyata juga sangat cerdas. Mendadak, menyusup rasa tertarik dalam hati Jenderal Chang Yu Chun pada anak yang berdiri di depan mereka tersebut. Seandainya anak itu dididik dengan baik dalam olah keprajuritan, maka ia yakin, anak tersebut akan menjadi seorang prajurit tangguh yang sangat cerdas dan sangat berguna bagi kejayaan Dinasti Ming. Tadipun, ia telah melihat saat anak tersebut berlari sambil memanggul buntalan kain yang ternyata berisi beras di punggungnya serta menggendong anak yang bertubuh lebih kecil di belakangnya. Tubuhnya terlihat berlari dengan lincah, gesit dengan hentakan kaki yang kuat, dan sedikitpun tak menampakkan rasa lelah meski ia berlari sambil membawa beban berat di bahu dan punggungnya. Sekilas sudut mata Jenderal Chang Yu Chun melirik ke arah Jenderal Xu Da dan mencoba menebak apa yang sedang dipikirkan oleh sahabat yang sudah terasa sebagai kakak baginya itu. Dalam hati, Jenderal Chang Yu Chun berharap semoga Jenderal Xu Da tidak memiliki rasa tertarik pada anak kecil yang cerdas itu sebagaimana dirinya.
Sementara Jenderal Xu Da sendiri terlihat manggut-manggut mendengar jawaban si anak. Tak terlihat reaksi apapun di wajahnya yang penuh wibawa dan sangat tegas. Sesaat jenderal besar yang sangat terkenal itu terdiam sebelum kemudian ia berpaling pada empat lelaki yang berdiri diam menunggu.
“Nah!...kalian dengar?! Anak yang sangat ingin kalian hanyutkan di Sungai Kuning ini menolak untuk menerima uang yang mestinya menjadi upah mereka karena mereka telah mengambil beras kalian. Dan anak ini hanya mengambil sejumlah yang telah kalian janjikan pada mereka. Seharusnya kalian malu!” suara keras Jenderal Xu Da terdengar tegas membuat semua penduduk tertunduk. Beberapa lelaki terlihat menatap dua anak yang berdiri di depan mereka dengan tatapan menyorotkan rasa penyesalan.
“Karena anak ini tidak mau menerima uang kalian, maka kalian harus mendapatkan hukuman karena perbuatan kalian. Mengejar dua orang anak kecil dengan senjata di tangan tanpa melihat permasalahan yang sebenarnya adalah salah! Lebih buruk lagi karena kalian berniat menghanyutkan dua anak ini di Sungai Kuning! Kalian benar-benar tidak memiliki rasa malu!” kata Jenderal Xu Da membuat para penduduk desa seketika berhamburan mendekat dan kemudian berlutut di depan Jenderal Xu Da.
“Ampuni kami Tuan Jenderal!...ampuni kami!” ratap para penduduk desa penuh rasa takut.
“Setiap kesalahan harus mendapatkan hukuman. Prajurit Bohai!” sahut Jenderal Xu Da yang kemudian memanggil prajurit tamtama yang berdiri di sisinya. “Pukul tangan dan kaki mereka masing-masing seratus kali!”
“Baik Jenderal!” sahut prajurit tamtama Bohai tegas. Lalu, sang tamtama yang  gesit itu memanggil beberapa prajurit di dalam barisan. Selanjutnya, suasana menjadi hiruk pikuk oleh teriakan, bentakan dan jerit tangis para penduduk yang di gelandang oleh para prajurit yang bertubuh kuat.
Sementara dua anak yang berdiri di sisi arena yang menjadi sangat gaduh itu terlihat bingung. Lalu, tanpa terduga, si anak yang bertubuh lebih besar maju mendekati Jenderal Xu Da. Tangannya menangkup di depan dada.
“Jenderal!” panggil si anak dengan suara agak keras untuk mengatasi suasana yang gaduh di sekitar mereka.
Jenderal Xu Da yang tengah memperhatikan para prajuritnya, berpaling dan menatap yang kini berdiri di sisinya.
“Ada apa?” tanya Jenderal Xu Da. “Kau ingin mereka mendapat hukuman yang lain? Membayar denda padamu?”.
Si anak berwajah cemerlang menggeleng.
“Bukan Jenderal” jawabnya. “Saya ingin memohon pada Jenderal untuk mengampuni mereka semua. Tolong jangan menghukum mereka Jenderal” pinta si anak membuat sang jenderal sangat terkejut.
Dan bukan hanya Jenderal Xu Da yang terkejut namun juga Jenderal Chang Yu Chun, para prajurit dan para penduduk yang tengah meratap ketakutan.
Jenderal Xu Da mengangkat tangannya sebagai isyarat membuat para prajurit berhenti menggelandang para penduduk desa. Semua perhatian kini tertuju pada anak yang berdiri di sisi Jenderal Xu Da yang duduk di atas kuda hitamnya yang sangat gagah dan besar. Sementara sang jenderal sendiri menatap anak di bawahnya dengan pandangan yang memancarkan rasa heran.
“Kenapa kau meminta hal itu? Mereka semua telah melakukan kesalahan dan setiap kesalahan harus di hapus dengan hukuman” tanya Jenderal Xu Da pada si anak.
“Ya Jenderal, tapi…mereka mengejar saya dan adik saya karena mereka kehilangan beras mereka. Semua orang pasti marah jika kehilangan harta bendanya karena di curi orang. Jika mereka bersalah, maka saya juga bersalah. Karena saya telah mencuri beras. Meskipun hal itu saya lakukan karena mereka tidak membayar upah yang mereka janjikan, tapi, mengambil barang tanpa ijin dari pemiliknya tetaplah sebuah kesalahan dan bukan perbuatan yang baik” jawab si anak membuat Jenderal Chang Yu Chun terpana sementara Jenderal Xu Da sendiri tertegun.
Sepasang mata Jenderal Xu Da menyipit. Benaknya berputar saat ia melihat anak yang berdiri di dekatnnya itu. Lalu, kepalanya mengangguk-angguk mengerti.
“Itu artinya, jika aku menghukum mereka, maka seharusnya aku juga menghukum dirimu dan adikmu itu? Apakah seperti itu yang kau maksud?” tanya Jenderal Xu Da.
Si anak mengangguk. “Benar Jenderal. Karena saya juga melakukan kesalahan. Namun, jika saya tidak mendapat hukuman, maka seharusnya mereka juga tidak di hukum”.
Mendadak Jenderal Xu Da tertawa.
“Hai nak…kau masih sekecil ini dan sudah berani memberiku tawaran? Baiklah…aku tidak bisa membebaskan mereka karena bagaimanapun mereka bersalah. Tetapi, menghukum seorang anak dengan seratus pukulan juga bukan hal yang dibenarkan. Karena itu, untuk penduduk desa yang tidak memberikan upah kalian, mereka akan di hukum dengan memberi beras pada penduduk yang miskin dan tidak memiliki ladang untuk menanam padi masing-masing lima kantung beras. Sedangkan untukmu dan adikmu, kalian kuhukum dengan bekerja padaku sebagai pengurus kuda. Apakah kau bersedia?” tanya Jenderal Xu Da.
Jenderal Chang Yu Chun menoleh ke arah Jenderal Xu Da. Ada seleret rasa kecewa dalam hatinya. Ternyata dugaannya benar. Jenderal besar yang sudah seperti kakak baginya itu, ternyata juga memiliki rasa tertarik pada anak berwajah cemerlang yang sangat cerdas itu. Namun, rasa persahabatan yang kuat dalam hati Jenderal Chang Yu Chun membuat rasa kecewa itu segera menguap pergi. Terlebih saat ia melihat sang jenderal besar yang hidup dari satu perang ke peperangan yang lain tersebut tertawa dengan lebar.
Sementara si anak berwajah cemerlang menatap jenderal yang duduk di atas kuda di depannya. Sepasang mata anak tersebut tampak berbinar namun, sikapnya terlihat menunggu sementara kepalanya menoleh pada anak lain yang bertubuh lebih kecil darinya yang masih terlihat takut dengan air mata yang tak henti mengalir di pipi. Sejenak, dua anak tersebut terlihat saling berpandangan hingga kemudian, si anak yang bertubuh lebih besar kembali pada Jenderal Xu Da dan mengangguk dengan tegas.
“Baiklah Jenderal…kami  bersedia untuk bekerja pada Jenderal” jawab si anak.
Jenderal Xu Da terlihat mengangguk. Kemudian pandangannya beralih pada tamtama dan para prajurit yang tengah menggelandang para penduduk.
“Hentikan hukuman!” seru Jenderal Xu Da dengan suara yang keras dan tegas membuat seluruh perhatian kini tertuju pada sang jenderal. “Kalian dengar apa yang di katakan anak ini? Dia mengakui kesalahannya telah mengambil beras tanpa seijin kalian dan karena itu, dia meminta agar dirinya diberi hukuman sama seperti kalian. Oleh karena itu aku menghukum kalian semua termasuk anak ini. Untuk kalian yang telah mengambil tenaga anak ini tanpa mengupahnya, kalian harus memberikan beras sebanyak lima kantung pada setiap penduduk di desa kalian yang miskin dan tidak memiliki ladang untuk menanam padi. Untuk kalian yang turut mengejar dua anak ini tanpa mengetahui permasalahan yang sesungguhnya, maka kalian harus memberikan dua kantung beras pada setiap penduduk yang miskin dan tidak memiliki ladang untuk bertanam padi. Sedangkan untuk dua anak ini, aku memberi mereka hukuman mengurus kudaku tanpa bayaran upah!”.
Terdengar kembali suara gaduh. Namun kali ini kegaduhan itu berasal dari teriakan lega dan gembira dari penduduk desa yang lepas dari hukuman pukul sebanyak seratus kali. Serentak, para penduduk desa itu berlarian ke arah Jenderal Xu Da dan berlutut di tanah dengan wajah penuh kelegaan.
“Terima kasih Tuan Jenderal!...Terima kasih karena telah mengampuni kami” teriak para penduduk sambil bersujud.
“Kalian harus melakukan hukuman kalian. Aku akan meninggalkan beberapa prajurit untuk mengawasi kalian sampai kalian melaksanakan apa yang menjadi hukuman kalian. Jika kalian tidak melaksanakan apa yang aku perintahkan, maka aku akan kembali untuk memberi hukuman yang jauh lebih berat!” kata Jenderal Xu Da dengan suara tegas.
“Baik Jenderal!...kami pasti akan melaksanakan perintah Jenderal!” sahut penduduk desa.
“Terima kasih Jenderal!” sambung yang lain secara serempak.
“Cukup!” kata Jenderal Xu Da. “Sekarang kalian pulanglah dan laksanakan hukuman kalian!”.
“Baik Jenderal” Para penduduk desa segera bangkit dari sujud mereka, memberi hormat pada Jenderal Xu Da dan kemudian dengan tergesa-gesa beranjak pergi dari jalan utama tersebut.
Jenderal Xu Da sejenak menatap para penduduk yang telah beranjak pergi sebelum kemudian berpaling pada prajurit tamtama.
“Prajurit Bohai!” panggil Jenderal Xu Da pada tamtamanya yang tampaknya cukup dekat dengan sang jenderal.
Tamtama Bohai segera berdiri tegak dan membungkuk hormat pada Jenderal Xu Da.
“Ya Jenderal!” sahut Tamtama Bohai tegas.
“Perintahkan beberapa prajurit untuk mengikuti para penduduk itu pulang ke desa mereka dan pastikan bahwa mereka telah melaksanakan hukuman yang aku berikan!” perintah Jenderal Xu Da.
“Baik Jenderal” jawab Tamtama Bohai sambil membungkuk hormat. Kemudian, tanpa menunggu lebih lama, sang prajurit yang terlihat cekatan dan gesit itu segera memanggil beberapa prajurit dan memberikan perintah singkat yang diucapkan dengan suara tegas dan keras.
Kemudian, segera setelah mendapatkan perintah, para prajurit yang ditunjuk memacu kuda mereka setelah memberi hormat pada Jenderal Xu da dan Jenderal Chang Yu Chun, menyusul para penduduk desa yang telah jauh meninggalkan jalan utama dan kembali melintasi tanah pertanian yang telah kosong karena baru saja dipanen. Jenderal Xu Da masih menatap ke arah para prajurit yang terlihat telah berhasil menyusul para penduduk desa. Lalu, sejenak kemudian, pandangannya beralih pada dua anak di depannya. Si anak yang bertubuh lebih besar telah kembali pada anak lain yang bertubuh lebih kecil.
“Siapa namamu?” tanya Jenderal Xu Da sambil menatap anak berwajah cemerlang yang juga tengah menatap ke arahnya.
Si anak membungkuk sesaat memberi hormat. Jenderal Xu Da tersenyum dalam hati. Sebelumnya, anak tersebut tidak membungkuk padanya sebagai bentuk penghormatan. Namun kini, ketika ia memanggilnya kembali, anak tersebut telah memberi penghormatan dalam tata cara yang sama dengan yang dilakukan oleh Tamtama Bohai dan para prajurit lain. Anak berwajah cemerlang itu belajar dengan cepat hanya beberapa saat setelah ia melihat Tamtama Bohai dan para prajurit melakukan penghormatan.
“Saya Changyi Jenderal” sahut si anak berwajah cemerlang dengan suara tegas. Itu juga tampaknya merupakan hasil belajar dari cara Tamtama Bohai saat menjawab setiap panggilan dan peritah dari Jenderal Xu Da.
Jenderal menahan senyumnya.
“Changyi?...baiklah. Lalu siapa namamu?” tanya Jenderal Xu Da sambil menunjuk anak yang bertubuh lebih kecil di belakang punggung anak bernama Changyi.
Si anak yang ditunjuk oleh Jenderal Xu Da tidak menajwab dan justru terlihat semakin ketakutan. Tubuhnya kini bersembunyi penuh di belakang Changyi dan tangisnya yang semula telah berhenti kembali pecah. Changyi terlihat berusaha menenangkan anak yang bersembunyi di belakang punggungnya. Namun hingga beberapa saat, anak yang menangis itu tak juga menyebutkan namanya dan masih saja terus menangis sambil memegang lengan Changyi.
“Cepat jawab!” tegur Jenderal Xu Da dengan nada tegas.
Changyi maju selangkah ke depan. Anak yang bersembunyi di belakang punggungnya turut melangkah di belakang Changyi. “Jenderal, namanya adalah…”.
“Diam!” potong Jenderal Xu Da saat Changyi hendak menyebutkan nama anak bertubuh kecil dan kurus di belakang punggungnya. “Aku bertanya padanya. Jadi biarkan dia yang menjawab!”.
Changyi terdiam namun satu tangannya memegang tangan anak kecil di belakang punggungnya. Jelas terlihat gerakan Changyi yang lembut. “Jawablah…tidak apa-apa. Jawablah…”.
Si anak kecil masih terus menangis namun kini, kepalanya sedikit menyembul dari balik bahu Changyi dan mengintip ke depan, ke arah Jenderal Xu Da dan seluruh barisan prajurit Ming.
Jenderal Xu Da menjadi tak sabar. Tangan kanannya terulur ke arah Tamtama Bohai “Prajurit Bohai!...berikan pedangmu!”.
“Baik Jenderal!” sahut Tamtama Bohai sambil maju ke depan dan menyerahkan pedangnya pada Jenderal Xu Da.
Jenderal Xu Da menerima pedang Tamtama Bohai dan segera menghunus pedang panjang yang terlihat sangat tajam tersebut. Kemudian, tanpa terduga, sang jenderal kesayangan Kaisar Hongwu tersebut mengarahkan mata pedangnya ke arah anak yang berdiri di depannya. Tepat ke arah anak kecil yang terus menangis di belakang punggung Changyi. Seluruh prajurit yang melihat hal itu tersentak. Demikian pula dengan Jenderal Chang Yu Chun.
Seolah di luar kesadarannya, Changyi mendadak menggeser tubuhnya menutupi anak di belakang punggungnya secara penuh hingga kemudian, mata pedang yang semula mengarah ke wajah anak kecil yang terus menangis tersebut kini berganti mengarah tepat di wajahnya yang elok cemerlang membuat Jenderal Xu Da dan Jenderal Chang Yu Chun bagaimanapun terkejut melihatnya.
“Jenderal?” Changyi memanggil Jenderal Xu Da. Tak terlihat kilasan rasa takut di matanya meski sebuah pedang yang sangat tajam tengah terarah tepat ke wajahnya. Sepasang matanya yang sangat jernih terlihat berkilat oleh harapan untuk keselamatan anak di belakang punggungnya.
Tapi tampaknya, Jenderal Xu Da sama sekali tak menghiraukan harapan di mata bening Changyi.
“Berhentilah menangis!” bentak Jenderal Xu Da pada anak kecil yang terus menangis. “Dan cepat jawab atau pedang ini akan menembus kepala kakakmu dan aku akan memotong lidahmu!”.
Anak yang bersembunyi di belakang punggung Changyi tergagap dan sepasang matanya membelalak. Namun, ancaman Jenderal Xu Da ternyata berhasil. Tangis anak bertubuh kecil dan kurus itu langsung berhenti. Terdengar suara cegukan keras saat ia berusaha untuk menelan kembali isaknya sementara tubuhnya perlahan bergeser ke samping Changyi. Tidak sepenuhnya berdiri di samping Changyi karena separuh tubuhnya masih tertutup oleh lengan dan bahu saudaranya itu. Namun kini, Jenderal Xu Da dapat melihat dengan jelas perawakan anak kecil itu. Tubuhnya terlihat lemah dengan tulang-tulang yang menonjol di bagian bahu, dada dan rusuk. Tangan anak itu kecil dan sangat kurus seperti ranting demikian pula dengan sepasang kakinya yang berlumuran lumpur basah. Wajah anak itu sebenarnya tampan, namun tangis yang lama dan raut ketakutan yang jelas terlihat membuat wajahnya terlihat pucat dan kuyu. Kini, setelah melihat keadaan anak tersebut dengan seksama, Jenderal Xu Da mulai mengerti kenapa anak bernama Changyi itu sangat melindungi anak di belakang punggungnya. Tetapi, alis Jenderal Xu Da berkerut saat ia melihat perbedaan besar di wajah dua anak yang ada di depannya. Meskipun anak yang terus menangis itu juga memiliki wajah yang tampan, namun tak secemerlang wajah anak bernama Changyi. Garis wajah mereka, termasuk bentuk hidung, mulut dan bibir juga berbeda. Melihat anak berwajah cemerlang yang bernama Changyi membuat Jenderal Xu Da teringat pada binar cahaya matahari yang hangat di pagi hari. Sedangkan anak yang terus menangis itu, seandainya wajahnya tidak dikeruhkan oleh tangis dan rasa takut, memiliki cahaya yang lembut dengan sepasang mata yang bening teduh seperti bulan di malam yang tenang.
“Ss-saya…saya Chen T-Tuan Jenderal” sahut anak yang telah berhenti menangis itu dengan suara tergagap.
“Chen? Bagus! Ternyata kau punya suara” ujar Jenderal Xu Da di sambut suara tawa pelan Jenderal Chang Yu Chun. “Nah…kau dengar Chen! Karena kalian telah bersalah mencuri beras dari para penduduk desa, aku menghukum kalian dengan bekerja mengurusi kudaku tanpa bayaran upah. Dan selama bekerja padaku, aku tidak mengijinkanmu untuk menangis di depanku. Jika sampai aku melihatmu menangis, maka aku akan mencongkel dua matamu dan memotong lidahmu. Kau mengerti?!”.
Chen tergagap kembali dengan wajah memucat. Namun, kepalanya yang kecil mengangguk-angguk dengan gerakan keras.
“S-saya mengerti T-Tuan Jenderal. Saya..tidak akan menangis lagi” janji Chen terbata-bata.
“Bagus!” sahut Jenderal Xu Da sebelum kemudian berpaling pada Changyi. “Apakah Chen adalah adikmu?”.
Changyi mengangguk dengan tegas. “Benar Jenderal”.
“Kau bohong!” sentak Jenderal Xu Da. “Jangan mencoba untuk membohongiku. Wajah kalian sama sekali tidak mirip sehingga aku yakin bahwa kalian tidak berasal dari satu orangtua”.
Changyi menatap sekilas Chen yang berdiri tertunduk di sisinya lalu kembali pandangannya beralih pada Jenderal Xu Da.
“Benar Jenderal. Orangtua kami memang berbeda. Adik Chen adalah anak dari sahabat orangtua saya. Tapi, bagi saya, Adik Chen adalah adik saya karena untuk menjadi adik, tidak harus karena satu orangtua” jawab Changyi membuat Jenderal Chang Yu Chun kembali terkejut lalu menggeleng. Bagaimana anak sekecil Changyi tahu tentang falsafah persaudaraan seperti itu?.
Jenderal Xu Da mengangguk-angguk. Terdengar gumaman pelan yang tak jelas dari mulutnya.
“Baiklah. Sekarang kalian harus ikut denganku ke Yingtian di mana kalian akan melaksanakan hukuman kalian di rumahku” ujar Jenderal Xu Da.
Changyi membungkuk hormat. Chen yang berdiri di sisinya dengan gugup dan gerakan kaku menirukan apa yang dilakukan oleh Changyi.
“Baik Jenderal. Kami akan melaksanakan hukuman kami” jawab Changyi kemudian.
“Prajurit Bohai!” panggil Jenderal Xu Da kemudian.
“Ya Jenderal!” jawab Tamtama Bohai sambil melangkah mendekat ke depan Jenderal Xu Da.
“Bawa mereka dan kita lanjutkan perjalanan!’ perintah Jenderal Xu Da sambil memutar kudanya kembali ke sisi jenderal Chang Yu Chun.
“Baik Jenderal!” sahut Tamtama Bohai sebelum kemudian menoleh ke arah Changyi dan Chen setelah Jenderal Xu Da kembali di tempatnya semula di dalam barisan. “Kalian! Ikut denganku sekarang!”.
Changyi tidak menjawab namun tubuhnya membungkuk ke arah Tamtama Bohai diikuti oleh Chen. Lalu, kedua anak tersebut setengah berlari mengikuti Tamtama Bohai, masuk ke dalam barisan dan dinaikkan ke atas kuda Tamtama Bohai. Selanjutnya, Tamtama Bohai berteriak keras memberi aba-aba agar barisan prajurit segera berjalan kembali.
Jenderal Chang Yu Chun menoleh ke arah Jenderal Xu Da. Sepasang matanya terlihat sedikit menyelidik.
“Kakak…apakah Kakak bermaksud untuk mengambil mereka sebagai anak asuh?” tanya Jenderal Chang Yu Chun pada Jenderal Xu Da di sisinya.
Jenderal Xu Da menggeleng. “Tidak. Kenapa kau menanyakan hal itu?”.
“Tidak apa-apa Kakak. Aku hanya bertanya saja, karena sekarang banyak pejabat yang mengambil anak asuh. Termasuk Jenderal Lan Yu yang memiliki banyak anak asuh” jawab Jenderal Chang Yu Chun.
“Hmm” Jenderal Xu Da bergumam pelan. “Aku hanya ingin menolong mereka agar tidak berkeliaran di jalan. Lagipula, tidak ada satu orangpun pelayanku yang bisa merawat kudaku ini”.
Jenderal Chang Yu Chun menunjuk kuda hitam yang di tunggangi Jenderal Xu Da.
“Tapi Kakak…kuda ini sangat liar pada siapapun selain Kakak. Jika dua anak itu merawat kuda ini, apakah tidak berbahaya bagi keselamatan mereka?” tanya Jenderal Chang Yu Chun.
“Aku yakin tidak” jawab Jenderal Xu Da pendek dan penuh keyakinan. Sebuah senyum sekilas terukir di bibirnya. Lalu, untuk pertama kalinya sejak mereka mulai berjalan kembali, pandangan Jenderal Xu Da beralih pada Jenderal Chang Yu Chun. “Di mana Jenderal Lan Yu?”
Jenderal Chang Yu Chun mengerdikkan bahunya.
“Jenderal Lan Yu di barisan belakang. Jauh di belakang. Menurut prajurit yang membawa perintah untuk berhenti tadi, Jenderal Lan Yu saat ini tepat berada di ujung barisan, menjadi penutup” jawab Jenderal Chang Yu Chun.
Jenderal Xu Da mengangguk. Ia tahu, Jenderal Lan Yu adalah seorang jenderal yang sangat cerdas dan penuh prestasi, namun juga sangat ambisius. Tentu, berjalan di tengah barisan akan menjadi sesuatu yang sangat meyesakkan baginya.
“Baiklah…sekarang kita bisa pulang” sahut Jenderal Xu Da pelan namun tegas.
**************

Tidak ada komentar:

Posting Komentar