Daratan Tiongkok….
Tahun 1368…..
Akhir masa Dinasti Yuan diwarnai dengan
pemerintahan yang sangat buruk. Tingginya angka korupsi di kalangan pejabat
pemerintahan dan tingkat inflasi, serta tingkah laku bangsawan Mongol yang
sewenang-wenang menjadi irama kehidupan pemerintahan Dinasti Yuan. Kaisar Yuan
mengganti mata uang yang telah beredar sejak masa Kubilai Khan dengan mata uang
baru dan mencetak mata uang tersebut secara besar-besaran sehingga menyebabkan
terjadinya hiperinflasi. Akibat nyata yang kemudian terjadi adalah ambruknya
perekonomian rakyat. Kelaparan merebak di mana-mana.
Pada tahun1351, terjadi bencana banjir akibat
Sungai Kuning yang meluap. Bencana ini semakin memperparah kondisi rakyat yang
sudah lebih dulu di hantam dengan bencana kelaparan. Keadaan yang sudah sangat
buruk tersebut masih ditambah adanya perintah kerja paksa dari Kaisar Yuan pada
ribuan petani dan tentara untuk memperbaiki bendungan Sungai Kuning yang jebol.
Banyak rakyat yang meninggal karena kelaparan, datangnya wabah penyakit akibat
banjir yang meluap, serangan hama tikus yang menyebabkan gagal panen, serta
kematian para petani yang menjadi pekerja paksa di Sungai Kuning. Rakyat yang masih
mampu bertahan hidup berjuang dengan segala kemampuan yang dimiliki tanpa
mempedulikan lagi nilai norma dan hukum. Angka kejahatan meningkat seiring
banyaknya rakyat yang kehilangan tempat tinggal, anak-anak yang kehilangan
orangtua mereka, wanita-wanita yang kehilangan suaminya hingga hilangnya
tanah-tanah sawah pertanian tempat rakyat menggantungkan kehidupannya.
Pada sekitar Bulan Mei tahun 1351, pecah
pemberontakan rakyat yang tidak mampu lagi menahan penderitaan atas buruknya sistem
pemerintahan Kaisar Yuan. Pemberontakan yang dikenal dengan nama Pemberontakan
Sorban Merah di bawah pimpinan Jenderal Guo Zixing tersebut berhasil menguasai wilayah Haozhou (sekarang
Kabupaten Fengyang, Anhui). Diantara prajurit yang terlibat dalam Pemberontakan
Sorban Merah terdapat seorang pemuda bernama Zhu Yuanzhang yang merupakan salah
satu pemuda berbangsa Han dan berasal dari sebuah keluarga petani miskin.
Sebagaimana banyak rakyat lainnya, Zhu Yuanzhang telah kehilangan keluarganya
dalam bencana kelaparan dan banjir besar Sungai Kuning. Dalam beberapa
pertempuran, Zhu Yuanzhang menunjukkan jasa yang besar hingga menyenangkan hati
Jenderal Guo Zixing dan memutuskan untuk menikahkan Zhu Yuanzhang dengan putri
angkatnya sendiri. Setelah menikah, Zhu Yuanzhang pergi meninggalkan Haozhou
dan belajar menghimpun kekuatannya sendiri ditemani oleh sahabatnya yang lebih
dulu bergabung dengan pasukan Sorban Merah dan berpangkat sebagai Jenderal
Junior bernama Xu Da. Pada tahun 1356, Zhu Yuanzhang berhasil menaklukkan
wilayah Jiqing dan menggantinya dengan nama Yingtian (sekarang Nanjing,
Jiangsu).
Setelah berhasil menaklukkan Yingtian, Zhu
Yuanzhang kemudian memutuskan untuk menetap di kota ini dan menjadikannya
sebagai basis militernya untuk menghimpun kekuatan demi kekuatan guna
mempersatukan daratan Tiongkok seperti yang diimpikannya. Zhu Yuanzhang yang
saat itu masih berpangkat sebagai panglima perang menggantikan Guo Zixing
menyadari bahwa wilayah Yingtian sesungguhnya sangat tidak strategis sebagai
tempat untuk menyusun kekuatan sehingga kemudian ia memutuskan untuk
meningkatkan pertahanan terutama dengan memperbaiki kemampuan logistiknya di
wilayah Yingtian.
Dan ternyata keputusan Zhu Yuanzhang tersebut
sangatlah tepat karena dengan perbaikan logistic yang dilakukannya, ia dapat
menghimpun kekuatan dalam waktu singkat. Pada tahun 1360, Zhu Yuanzhang bersama
dengan Jenderal Xu Da menyerang pemberontak Chen Youliang dan berhasil memukul
Chen Youliang ke wilayah Jiangzhou yang terletak di wilayah pesisir sebelah
timur Yingtian. Melalui peperangan dan pengejaran selama tiga tahun, pada
akhirnya Zhu Yuanzhang berhasil menghancurkan kekuatan Chen Youliang.
Pada tahun 1367, Zhu Yuanzhang kembali menyerang
kekuatan pemberontak Zhang Shincheng dan berhasil menguasai daerah Pingjiang (sekarang
Suzhou, Jiangsu). Masih pada tahun yang sama, pasukan Zhu Yuangzhang juga
berhasil menghancurkan kekuatan Fang Guozhen yang menguasai wilayah pesisir
Zhejiang.
Setelah kemenangan demi kemenangan dapat di raih,
Zhu Yuanzhang mulai mendapatkan simpati dari rakyat dan memiliki kekuatan yang
besar dan kokoh sehingga kemudian, pada tahun 1368, Zhu Yuanzhang mengangkat
dirinya sebagai kaisar pertama yang menandai berdirinya Dinasti Ming dengan
nama Kaisar Min Tai Zu. Hongwu ditetapkan sebagai tahun pemerintahan sehingga
kemudian rakyat mengenal Kaisar Ming Tai Zu sebagai Kaisar Hongwu.
Pada tahun itu juga, Kaisar Hongwu memerintahkan
kekuatan militernya untuk memulai ekpedisi ke utara guna mempersatukan daratan
Tiongkok di bawah bendera Ming. Kekaisaran Yuan yang tersisa dan masih bertahan
di kota Dadu (sekarang Beijing) tidak dapat menahan kekuatan tentara Ming di
bawah pimpinan Jenderal besar Xu Da, Jenderal Lan Yu dan Jenderal Chang Yu
Chun. Kota yang merupakan jantung pemerintahan Dinasti Yuan tersebut kemudian
di bumi hanguskan atas perintah Kaisar Hongwu untuk kemudian di bangun kembali
sebagai bagian dari daerah kekuasaan Dinasti Ming. Sisa-sisa pengikut Dinasti
Yuan melarikan diri ke wilayah Mongol. Jatuhnya kota Dadu menjadi sebuah
kemenangan besar bagi Jenderal Xu Da dan pasukannya. Maka, setelah mengejar
sisa-sisa pasukan Yuan sampai di perbatasan Mongol, Jenderal Xu Da
memerintahkan pasukannya untuk pulang kembali ke Yingtian dan melaporkan
kemenangan yang telah mereka raih.
Kemenangan-kemenangan yang di raih oleh pasukan
militer Ming dengan nyata telah merebut kekuatan moral dari rakyat. Jenderal Xu
Da dapat merasakannya dengan jelas sepanjang perjalanan mereka kembali ke
Yingtian. Rakyat yang selalu berusaha untuk sekedar berdiri di pinggir jalan
berdebu dan memberi hormat dengan sikap tunduk dan takluk tanpa cekaman ketakutan
seperti yang terlihat pada masa pemerintahan Dinasti Yuan menjadi gambaran
bahwa keberadaan pemerintahan Ming dengan cepat telah mendapat tempat di hati
rakyat.
Mereka telah jauh meninggalkan kota Dadu dan kini
jalan yang di susuri merupakan jalanan besar yang biasa dilalui oleh para
pedagang dengan pedati atau kereta kuda. Sekarang bukanlah musim kemarau, namun
setelah beberapa hari langit cerah, maka jalan besar itu menjadi kering dan
mulai menebarkan debu ketika bala tentara Ming menapak di atasnya dengan ribuan
kuda mereka. Jenderal Xu Da berada di barisan depan bersama dengan Jenderal
Chang Yu Chun sementara Jenderal Lan Yu memimpin barisan pasukan yang berada di
lapis kedua, agak jauh di belakang. Kiri kanan jalan merupakan lahan pertanian
yang mulai menumbuh meskipun perekonomian belum sepenuhnya pulih setelah
hantaman banjir Sungai Kuning, serbuan wabah tikus, serta kelaparan akibat
tingkat korupsi dan inflasi yang tinggi hasil peninggalan Dinasti Yuan.
Nampaknya, petani di daerah yang sekarang mereka lewati baru saja memanen
tanaman padi mereka dan bersiap untuk masa tanam selanjutnya. Agak jauh di
batas pandang yang dilingkupi warna hijau rindang pepohonan, Jenderal Xu Da
dapat melihat atap-atap rumah penduduk yang terbuat dari anyaman jerami.
Samar-samar liuk asap tipis berwarna putih abu-abu membubung dari atap-atap
jerami tersebut yang menunjukkan denyut kehidupan manusia yang tinggal di
dalamnya. Di batas tanah pesawahan ini pastilah sebuah desa.
Sekilas, Jenderal Xu Da melirik ke arah Jenderal
Chang Yu Chun yang duduk di atas kuda di sampingnya. Jenderal yang beberapa
tahun lebih muda itu terlihat sedikit mengantuk dan menunduk. Baju besi yang
dikenakan seolah bukan halangan bagi jenderal yang sangat dekat dengannya itu
untuk menikmati kantuknya. Sejenak, Jenderal Xu Da menoleh ke arah
prajurit-prajurit di sekililingnya. Rasa bangga segera menyergap hati sang
jenderal saat menatap wajah-wajah tegar dan segar para prajurit meski mereka
baru saja menjalani peperangan terus menerus di Kota Dadu dan pengejaran hingga
ke perbatasan Mongolia. Lalu, mata Jenderal Besar Dinasti Ming itu beredar dan
menatap batas areal tanah pesawahan jauh di bawah rerimbunan pohon-pohon di
mana sebuah desa terlihat tengah mendenyutkan nadi kehidupannya. Samar,
pandangan mata Jenderal Xu Da menangkap gerakan di batas pertanian tersebut.
Terlihat seperti sosok manusia yang tengah berlari. Sepertinya, jumlah penduduk
di desa itu lumayan banyak. Jenderal Xu Da bersiap kembali menatap ke depan,
pada jalan berdebu yang tengah mereka lalui ketika mendadak ia menangkap
gerakan manusia yang tengah berlari itu bukan hanya satu melainkan
dua…tiga…beberapa orang…dan…alis Jenderal Xu Da berkerut saat akhirnya ia bisa
melihat dengan jelas bahwa manusia-manusia yang tengah berlari agak jauh di
batas pesawahan tersebut ternyata berjumlah sangat banyak. Kesemua manusia yang
jelas terlihat sebagai penduduk desa itu berlari sambil mengacung-acungkan
berbagai senjata yang mereka miliki diiringi suara teriakan dan bentakan
pada….dua orang anak yang berlari di depan orang-orang desa. Agak jauh di depan
penduduk desa yang mengejar, dua anak terlihat melompati parit dan masuk ke
areal pesawahan. Satu anak yang bertubuh lebih besar terlihat berlari sambil
memondong satu buntalan kain putih di punggungnya sementara tangan kanannya
menggandeng dan menarik tangan anak lainnya yang bertubuh lebih kecil.
Para penduduk yang terlihat kalap itu turut
melompati parit dan masuk ke areal sawah saat melihat dua orang anak yang
mereka kejar kini berlari di tanah sawah yang telah kosong karena baru saja di
panen. Suara teriakan samar terdengar sampai di telinga Jenderal Xu Da dan para
prajurit yang tengah menyusuri jalan besar. Suara gumaman para prajurit yang
juga melihat para penduduk desa yang tengah mengejar dua orang anak kecil
terdengar mendengung beberapa prajurit bahkan menunjuk-nunjuk ke arah peristiwa
pengejaran yang tengah berlangsung di depan mata mereka. Sekali, anak yang
bertubuh lebih kecil jatuh terjungkal di sawah yang masih menyisakan lumpur
hingga seluruh tubuh dan mukanya berlumuran tanah liat berwarna hitam abu-abu.
Mestinya anak tersebut berhenti, namun anak lain yang bertubuh lebih besar
menarik tangannya dan kemudian berusaha untuk menggendongnya meski di
punggungnya sendiri telah terdapat satu buntalan kain besar yang terlihat cukup
berat. Jenderal Xu Da menatap kedua anak yang terus berlari dalam pengejaran
para penduduk desa. Ia tak tahu, apa kesalahan yan telah di lakukan oleh dua
anak tersebut hingga penduduk desa terlihat sangat marah pada keduanya.
Lalu mendadak, anak yang bertubuh lebih besar
menghentikan larinya dan menatap ke arah rombongan ribuan tentara yang tengah
melintas di jalan besar tak jauh dari tempatnya berdiri. Kemudian, tanpa
terduga sama sekali, mendadak anak bertubuh lebih besar menarik tangan anak
lain yang takpernah sekalipun dilepaskannya dan berlari….menuju ke arah ribbuan
prajurit yang tengah melintas di jalan besar. Tubuh anak yang lebih besar
tersebut terlihat sangat gesit dan lincah seolah rasa lelah tak sedikitpun
menggayutinya meski ia berlari sambil memondong buntalan kain yang berat di
punggungnya serta sesekali menggendong anak yang lebih kecil. Penduduk desa
yang melihat dua buruan mereka mengubah arah larinya segera turut pula
melompati parit, keluar dari areal pesawahan dan berlari di jalan besar, dalam
arah yang menyongsong ribuan prajurit di bawah pimpinan Jenderal Xu Da.
Sungguh lucu, bahwa dalam keadaan biasa, keberadaan
para prajurit selalu memberikan decak kagum bercampur sedikit rasa takut di
hati para penduduk di sepanjang jalan yang di lewati sehingga para penduduk
tersebut selalu menyisih memberikan jalan bagi para parjurit yang lewat. Namun,
saat ini, ketika penduduk desa yang berlari mengejar dua anak kecil di depan
mereka tersebut sedang dikuasai oleh kemurkaan, maka mereka seperti lupa bahwa
di depan mereka terdapat serombongan besar ribuan prajurit dengan pakaian
perang lengkap, dengan umbul-umbul yang gagah dan di bawah pimpinan seorang
jenderal besar penuh wibawa. Sementara dua anak yang berlari menuju ke arah
rombongan prajurit Ming telah semakin dekat membuat Jenderal Xu Da secara tak
sadar menghentikan gerak kuda yang di tungganginya. Berhentinya Jenderal Xu Da
secara langsung membuat Jenderal Chang Yu Chun dan para prajurit di sekitar
jenderal besar tersebut turut berhenti pula. Dan hal itu, dengan sendirinya
juga membuat para prajurit di bagian belakang secara berturut-turut mengikuti
berhenti bergerak.
“Hai!...dasar pencuri!...berhenti
kalian!...anak-anak tak tahu diri! Kembali kalian!” teriak penduduk yang marah
dan terus mengejar dua anak yang kini hanya tinggal beberapa meter dari barisan
prajurit dan Jenderal Xu Da.
Tetapi, dua anak yang hanya mengenakan secuil
pakaian kumal di bagian pinggang hingga sebatas lutut mereka itu sama sekali
tak mempedulikan teriakan para penduduk yang marah. Keduanya terus berlari,
bahkan hingga kemudian, kedua anak itu telah mencapai barisan prajurit yang
sangat banyak di depan mereka. Keduanya menyusup, tepat melalui sisi Jenderal
Xu Da dan Jenderal Chang Yu Chun, membuat sang jenderal besar dari Ming
tersebut terkejut dan sedikit menyisihkan kudanya. Beberapa prajurit yang juga
terkejut terdengar membentak dua anak yang berlari menembus barisan dan hilang
di belakang, entah di bagian mana dari barisan prajurit Ming yang sangat banyak
tersebut.
Sementara para penduduk desa yang mengejar dua
anak yang telah menghilang di balik barisan para prajurit telah sampai tepat di
depan Jenderal Xu Da. Dan ampaknya, mereka baru menyadari keberadaan para
prajurit dan perwira tinggi yang kini ada di hadapan mereka. Wajah-wajah pucat
yang menunjukkan rasa takut segera terlihat. Namun, banyak pula dari mereka,
yang meskipun terlihat takut namun masih berusaha mencari-cari keberadaan dua
anak yang menghilang dari pandangan mata , tertutupi oleh banyaknya prajurit
dan umbul-umbul symbol kekuatan Dinasti Ming.
“Siapa kalian?” tanya Jenderal Chang Yu Chun pada
para penduduk desa. “Dan mengapa kalian mengejar dua anak kecil yang sama
sekali tak sepadan dengan kalian?”
Para penduduk desa terlihat saling pandang satu
sama lain. Wajah memucat karena rasa takut semakin bertambah sementara, jawaban
atas pertanyaan Jenderal Chang Yu Chun tidak juga datang karena para penduduk
desa saling mendorong untuk maju ke depan dan berbicara mewakili mereka.
“Kenapa kalian tidak menjawab!” bentak prajurit
tamtama yang berada di sisi Jenderal Xu Da. “Apa kalian tidak tahu sekarang
berhadapan dengan siapa?!”
Para penduduk semakin menciut, namun kemudian,
salah satu penduduk desa terlihat maju ke depan. Tubuhnya membungkuk penuh
hormat ke arah Jenderal Xu Da dan Jenderal Chang Yu Chun.
“Ma…maafkan kami Tuan. Kami adalah penduduk di
desa itu, yang atapnya terlihat dari sini. Kami…kami mengejar dua anak tadi
karena mereka telah banyak mencuri beras dari kami” jawab si lelaki penduduk
desa yang memberanikan diri angkat bicara.
Jenderal Xu Da mengerutkan alisnya yang tebal dan
tegas. Mencuri? Meski hanya sekilas, ia dapat melihat bahwa dua anak yang
sekarang telah menyusup masuk ke dalam barisan prajurit dan entah berada di
mana, memiliki wajah-wajah yang bersih. Terutama anak yang bertubuh lebih
besar. Terlihat bahwa dua anak itu, entah siapapun orangtua mereka, telah di
didik dengan baik perihal budi pekerti.
“Mencuri? Bagaimana bisa dua anak kecil seperti
mereka mencuri beras dari kalian? Di mana orangtua mereka?” tanya Jenderal
Chang Yu Chun sambil menatap lelaki penduduk desa dengan tajam membuat lelaki
muda bertubuh kurus dan tinggi itu tertunduk dengan takut.
“Itu benar Tuan Jenderal….mereka memang mencuri
beras kami. Bukan hanya sekali, melainkan telah berkali-kali dan membuat kami
rugi. Kami tidak tahu di mana orangtua mereka. Mereka bukan berasal dari desa
kami” lelaki itu memberi penjelasan sambil tetap tertunduk.
Jenderal Chang Yu Chun bergumam tanpa kalimat yang
jelas. Namun pandangannya beralih pada Jenderal Xu Da di sisinya yang terlihat
mencermati situasi yang menghadang perjalanan mereka. Jenderal Chang Yu Chun
merasa bahwa mereka bisa saja mengabaikan permasalah dua anak yang mencuri
beras dari penduduk desa dan melanjutkan perjalanan mereka menuju ke kota
kerajaan di Yingtian. Namun, ia tahu bahwa dengan watak Jenderal Xu Da yang tak
pernah mengabaikan permasalahan di depan mata, maka jenderal tertinggi yang
sangat dihormati itu tak akan memberi perintah untuk melanjutkan perjalanan
tanpa menyelesaikan permasalahan yang menghadang di depan mata.
“Bawa dua anak itu ke mari” perintah Jenderal Xu
Da dengan suara pelan pada seorang prajurit di belakangnya.
“Baik Jenderal!” sahut prajurit berpangkat tamtama
itu dengan suara tegas lalu keluar dari barisan dan menggebrak kudanya menuju
belakang barisan.
Entah di bagian mana dua anak yang berlari
menembus barisan prajurit Ming tersebut bersembunyi. Namun, dari jeda waktu
yang di butuhkan oleh tamtama yang berlari ke belakang untuk mencari dan
membawa dua anak yang menembus barisan mereka, tampaknya dua anak tersebut
berlari cukup jauh. Samar - samar, Jenderal Xu Da dan Jenderal Chang Yu Chun
mendengar suara ribut jauh di belakang.
Beberapa prajurit terdengar membentak dengan suara keras di susul jeritan
seorang anak, tangisan takut dan bahkan suara kuda yang meringkik. Namun, di
antara suara-suara yang bising dan campur aduk itu, telinga Jenderal Xu Da
mendengar satu suara lain yang segera membuat alisnya kembali berkerut.
“Lepaskan dia Tuan! Kami akan ke depan menghadap
Tuan Jenderal!” tegas suara yang membuat kepala Jenderal Xu Da berpaling ke
belakang dan menyipitkan dua matanya untuk melihat hal yang tengah berlangsung.
Namun, ia tak bisa melihat apapun selain kumpulan para prajurit dan umbul-umbul
yang semarak penuh wibawa.
Suara itu khas suara anak-anak. Dari nada
bicaranya dan susunan kata-katanya yang urut beraturan, Jenderal Xu Da
memperkirakan usia anak itu mungkin sekitar dua atau tiga belas tahun. Namun,
hal yang membuat perhatian Jenderal Xu da tergelitik adalah adanya kekuatan
dalam suara kecil itu yang seolah hendak memaksa orang lain untuk menuruti
kehendaknya. Bahkan, ia sendiri baru saja tergoyahkan dan berpaling ke belakang
karena suara itu bukan?.
Sesaat menunggu, lalu, mendadak dari arah belakang
terlihat berlari dua sosok anak kecil yang sebelumnya menembus barisan prajurit
Ming. Prajurit tamtama yang di perintahkan oleh Jenderal Xu Da untuk membawa
dua anak tersebut terlihat mengiringi di belakang dengan kudanya. Penduduk yang
semula tertunduk takut seketika berubah beringas dan mulai berteriak marah saat
dua anak yang mereka kejar kini berdiri di depan mereka. Beberapa dari lelaki
penduduk desa bahkan mulai mengangkat kembali senjata mereka dan
mengacungkannya pada dua anak di depan mereka.
“Nah! Kemari kalian! Dasar pencuri kecil! Kalian
seharusnya di hanyutkan di Sungai Kuning!” teriak seorang lelaki sambil
membeliak penuh amarah.
Ucapan lelaki yang keras itu langsung mendapat
sambutan dari penduduk lainnya. Suasana seketika berubah menjadi bising penuh
teriakan dan sumpah serapah dari penduduk desa sementara dua anak yang kini
berdiri di antara penduduk desa dan barisan prajurit hanya diam. Jenderal Xu Da
menatap dua anak yang kini berada di depannya dengan seksama. Dua anak itu
bertubuh kurus. Terlihat jelas tulang-tulang yang bertonjolan di dada mereka
yang tak tertutup kain. Kaki-kaki mereka telanjang tanpa alas kaki dan kotor
penuh lumpur sementara satu-satunya kain yang menutupi tubuh mereka hanyalah
sehelai kain kumal yang membungkus pinggang mereka hingga ke lutut. Namun, sang
jenderal besar dari Dinasti Ming itu berkerut saat menatap wajah dua anak yang
berdiri di depannya tersebut. Wajah dua anak itu terlihat bersinar. Sangat
berlawanan dengan pakaian mereka yang kumal dan kaki-kaki mereka yang kotor
penuh lumpur, wajah dua anak tersebut justru sangat bersih dan bening. Seperti
embun pagi yang menetes di awal hari. Satu anak yang bertubuh lebih kecil
terlihat takut dan bersembunyi di balik punggung anak lain yang lebih besar. Masih tersisa isak tangisnya yang
halus sementara anak yang bertubuh lebih besar berdiri teguh di depan anak
kecil yang tampaknya sangat di lindunginya. Jenderal Xu Da menatap anak yang
berdiri tegak tak bergeming di depannya dan terkejut saat melihat cahaya terang
yang memancar dari wajah anak itu. Bukan hanya bersih dan bening, namun anak
yang bertubuh lebih besar itu juga memiliki
kekuatan menaklukkan di sepasang mata kanak-kanaknya yang polos. Sepasang mata
yang menatap langsung ke arahnya tanpa sedikitpun rasa takut, berbinar-binar
dalam kilau cerdas. Sepasang bibir yang terkatup rapat namun membentuk garis
senyum yang indah. Jenderal Xu Da menelengkan kepalanya ke samping saat
mendadak ia teringat pada cahaya matahari di pagi hari ketika ia menatap wajah
anak bertubuh lebih besar yang berdiri sambil menatap langsung padanya. Sebuah
rasa tertarik yang aneh mendadak muncul di hati sang jenderal besar tersebut.
“Hei kalian pencuri tengik! Kemari kalian!
Kembalikan beras-beras kami! Atau kalian akan kami hanyutkan ke Sungai Kuning!”
panggil salah satu penduduk sambil mengacungkan sabitnya yang panjang berkilat.
“Benar! Kalian memang sudah seharusnya di
hanyutkan di Sungai Kuning atau di buang di hutan agar kalian tidak mengganggu
kehidupan kami!” sambung yang lain.
“Bunuh saja!”
“Buang saja!”
“Seret saja!”
Suasana sangat bising membuat membuat semua
prajurit yang berada di bagian depan mengerenyitkan wajah dan terlihat mulai
kesal. Jenderal Xu Da memberi isyarat pada tamtama yang sesaat lalu
diperintahkannya untuk membawa dua anak yang dikejar para penduduk ke depan.
“Kemari kalian!...kalian harus mengembalikan
beras-beras yang kalian ambil!” teriak lelaki kurus yang menjadi wakil para
penduduk menjawab pertanyaan dari Jenderal Chang Yu Chun.
“Lebih baik kita seret mereka sekarang!” sahut
yang lain.
“Benar! Seret saja!” teriak yang lain lagi.
“Seret!”
“Seret!”
“Seret!”
“DIAAAAAAAMMM!!!!!!!!!” sebuah suara mengguntur
mendadak terdengar, mengatasi suara teriakan para penduduk yang marah dan
seketika membungkam semua mulut yang dilanda kemarahan. Seorang tamtama
bertubuh tinggi besar dan berwajah gagah kini telah berdiri di depan barisan
prajurit Ming. Sepasang matanya membeliak garang ke arah para penduduk membuat
orang-orang desa itu seketika menjadi gentar. Terlebih, sang tamtama berdiri
sambil menyandang sebuah pedang besar di tangan kanannya.
“Kalian bersikap tidak sopan di depan Jenderal Xu
Da, apa kalian semua ingin mati?!” bentak prajurit tamtama keras membuat nyali
para penduduk semakin ciut.
“Maafkan kami Tuan” sahut si lelaki kurus yang
sejak semula mewakili orang-orang desa lain.
Si prajurit tamtama mendengus keras. Tapi, ia tidak
membentak lagi dan berbalik ke arah Jenderal Xu Da dan Jenderal Chang Yu Chun.
Tubuhnya membungkuk.
“Jenderal…silahkan” ujar prajurit tamtama.
Jenderal Xu Da mengangguk sekilas lalu menatap
para penduduk desa yang kini diam menunggu.
“Apakah kalian menemukan bukti bahwa dua anak ini
mencuri beras kalian?” tanya Jenderal Xu Da.
Para penduduk desa mengangkat kepala mereka yang
semula tertunduk. Semua saling berbisik satu sama lain menciptakan suara
dengung yang halus.
“Jawab!” bentak prajurit tamtama. “Jenderal Xu Da
bertanya pada kalian!”.
“Yyya!…Ya Tuan Jenderal!...banyak dari kami yang
telah melihat sendiri dua anak itu mencuri beras dari kami…..dan…dan buntalan
yang di bawa oleh anak itu, itu adalah bukti bahwa mereka memang mencuri beras
dari kami” jawab lelaki kurus yang sejak semula menjadi wakil dari para
penduduk desa.
Jenderal Xu Da berpaling dan menatap dua anak yang
berdiri di depannya. Si anak yang bertubuh lebih kecil terlihat takut dan terus
bersembunyi di balik punggung anak yang lebih besar. Jenderal Xu Da menatap
anak itu, yang juga tengah menatapnya.
“Apa itu benar? Apakah kalian mencuri beras dari
mereka?” tanya Jenderal Xu Da sambil menunjuk para penduduk desa. Sepasang
matanya tajam menatap langsung ke dalam mata anak yang tengah menatapnya dengan
sepasang matanya yang sangat jernih, lalu, ia mulai mengukur kekuatan hati anak
tersebut.
Jenderal Chang Yu Chun menatap anak yang bertubuh
lebih besar pula dan dalam hati mulai menebak-nebak. Apakah anak tersebut akan
ketakutan? Apakah dia akan mulai menangis? Jenderal Xu Da adalah seorang
jenderal besar yang hidup dari satu pertempuran ke pertempuran yang lain
sehingga memiliki kekuatan batin yang sangat besar. Tak banyak orang yang bisa
bertatap mata langsung dengan sang jenderal kesayangan Kaisar Ming Tai Zhu
tersebut. Sementara itu, beberapa prajurit yang berada di barisan depan turut
pula menunggu reaksi dari anak yang kini berhadapan langsung dengan jenderal
yang sangat mereka segani. Beberapa prajurit mulai berbisik pelan dan menebak-nebak.
Anak itu, pasti akan menolak tuduhan dan berusaha membela diri, mungkin
disertai dengan tangis sebagaimana halnya anak-anak lain.
Namun ternyata, apa yang diduga oleh Jenderal
Chang Yu Chun dan para prajurit sangat jauh dari kenyataan.
“Benar Jenderal!” sahut anak bertubuh lebih besar
itu dengan suara yang tegas, disertai anggukan kepala yang kuat dan pasti
membuat suasana menjadi ramai oleh dengung amarah penduduk desa serta gumaman
heran para prajurit. “Saya mengambil beras dari mereka”.
Jenderal Chang Yu Chun menatap anak yang baru saja
memberi jawaban tegas tersebut dengan alis berkerut. Anak itu memiliki
keberanian dalam dirinya. Lebih lagi, anak yang bertubuh lebih besar itu hanya
menyebut dirinya sebagai si pelaku pencurian beras milik penduduk desa tanpa
menyebut anak bertubuh kecil di belakang punggungnya. Seolah, anak dengan wajah
cemerlang dan sepasang mata yang tajam bersinar itu dengan sengaja ingin
melindungi saudaranya.
“Hmm” Jenderal Xu Da bergumam pelan. Pandangannya
tak berkedip menatap anak yang juga menatap lurus ke arahnya. Tak ada niat
melawan ataupun sikap kurang ajar dan tidak sopan dalam pandangan yang lurus
itu. Apa yang terlihat dan tertangkap oleh matanya hanya sinar keberanian yang
murni, tulus dan polos. “Katakan kenapa kau mencuri beras dari mereka? Di mana
orangtua kalian?”.
“Saya mencuri beras mereka karena mereka tidak
membayar upah kami Jenderal. Kami sudah membantu mereka menanam padi saat musim
tanam yang lalu, sehari kami menanam padi sepuluh petak, tapi setelah selesai,
upah kami tidak diberikan. Saya dan adik saya harus makan, jadi, saya mengambil
beras mereka sebagai upah kami. Orangtua kami sudah meninggal karena wabah yang
menyerang desa kami di wilayah selatan” jawab si anak bertubuh lebih besar
dengan suara jernih dan lantang namun memberikan akibat yang luar biasa.
Beberapa penduduk terlihat salah tingkah dan mulai takut sementara suara
dengungan halus kini terdengar di barisan para prajurit.
Jenderal Chang Yu Chun terkejut. Menanam padi
sebanyak sepuluh petak dan tidak mendapat upah? Sungguh keterlaluan sementara
tenaga yang di gunakan hanyalah tenaga dua anak kecil.
Sepasang mata Jenderal Xu Da menyipit saat
mendengar penjelasan anak di depannya. Pandangannya beralih ke arah para
penduduk desa.
“Benarkah apa yang di katakan anak ini? Siapa dari
kalian yang telah menggunakan tenaga dua anak ini untuk menanam padi tapi tidak
membayar upahnya?” tanya Jenderal Xu Da dengan suara tegas penuh wibawa.
Para penduduk desa menjadi sangat gelisah.
Beberapa lelaki terlihat memundurkan dirinya, masuk ke balik punggung teman
mereka dengan kepala tertunduk pucat. Tubuh-tubuh para penduduk desa terlihat
bergerak-gerak dengan bingung dan gelisah.
“Jawab!” bentak prajurit tamtama yang masih
berdiri di sisi kuda Jenderal Xu Da. “Siapa dari kalian yang telah menggunakan
tenaga dua anak itu tanpa membayar upah mereka?!”.
Lelaki kurus yang menjadi juru bicara penduduk
desa menengok ke arah teman-temannya dengan ekspresi takut.
“Mengaku saja” pintanya dengan wajah memelas.
“Atau Jenderal akan memberi hukuman yang lebih berat”.
“Sudah kubilang, kau juga yang salah” gerutu yang
lain sambil menyikut satu lelaki yang terlihat pucat.
“Cepat jawab!” bentak prajurit tamtama dengan
suara lebih menggelegar. “Atau aku akan menyeret kalian semua!”.
“Hai anak kecil!” panggil Jenderal Xu Da pada anak
yang bertubuh lebih besar. “Kau masih ingat siapa yang telah menggunakan
tenagamu untuk menanam padi tapi tidak membayar upahmu? Tunjukkan padaku
sekarang!”.
“Masih Jenderal” jawab anak kecil bertubuh lebih besar kemudian berbalik ke arah penduduk desa
di belakangnya. Sepasang matanya yang jernih menatap berkeliling lalu tangannya
terangkat, menunjuk ke depan. “Dia…dia…dia dan dia”.
Empat lelaki yang di tunjuk oleh anak kecil
berwajah cemerlang tersebut terlihat berwajah seputih mayat. Tubuh mereka
gemetar hebat. Dan sebelum Jenderal Xu Da maupun prajurit tamtama berbicara,
empat lelaki yang di tunjuk telah melompat ke depan Jenderal Xu Da dan berlutut
di tanah. Satu di antara mereka bahkan menangis tersedu-sedu.
“Ampun Jenderal. Kami mengaku bersalah….jangan menghukum kami Tuan
Jenderal…” ratap lelaki berperut membusung sambil bersujud di tanah.
Jenderal Xu Da menatap empat lelaki di depannya
dengan tajam.
“Kalian manusia yang lebih tidak beradab daripada
anak-anak itu. Perbuatan kalian sangat jahat. Seharusnya kalian mendapat
hukuman yang sangat berat” kata Jenderal Xu Da. Meskipun nada bicaranya datar,
namun ketegasan dalam kalimat yang diucapkan oleh jenderal bertubuh tinggi dan
gagah itu benar-benar telah meruntuhkan nyali ke empat lelaki penduduk desa
yang berlutut di tanah.
“Ampun Jenderal…ampuni kami Jenderal….jangan hukum
mati kami Jenderal” lelaki berperut besar akhirnya turut menangis.
“Karena itu kalian harus membayar upah dua anak
yang belum kalian bayar!” sahut Jenderal Xu Da, kali ini dengan nada tinggi.
“Atau pemerintah kerajaan akan menyita seluruh harta benda kalian sebagai pajak
negara!”.
Empat lelaki yang telah sangat ketakutan itu
seketika mengangguk-angguk dan bersujud.
“Baik Jenderal!...kami akan membayar upah mereka.
Ampuni kami Jenderal…ampuni kami” sahut lelaki berperut besar sambil bersujud.
“Ampuni kami Jenderal!” sahut tiga lelaki yang
lain.
“Cepat lakukan!” tegas Jenderal Xu Da pada empat
lelaki di depannya.
Serentak, keempat lelaki penduduk desa segera
bangkit dari sujud mereka dan merogoh ke balik pakaian mereka masing-masing
mengeluarkan kantong-kantong kain berisi uang lalu mengumpulkannya menjadi satu
di tangan lelaki berperut besar. Si Lelaki berperut besar berjalan mendekat ke
arah Jenderal Xu Da dan mengangkat kantung uang di tangannya.
“Tuan Jenderal, ini…ini adalah uang yang ada pada
kami saat ini. Ini sebagai upah mereka…dan jika masih kurang, maka kami akan
mengambil di rumah kami” ujar lelaki berperut gendut dengan tangan yang gemetar
memegang empat kantung uang.
Jenderal Xu Da mengangguk. “Berikan pada dua anak
itu”.
“Baik Tuan Jenderal” sahut lelaki berperut gendut
lalu beranjak kearah dua anak lelaki yang berdiri tak jauh darinya.
Namun….
“Jenderal….kami tidak bisa menerima uang itu” ujar
si anak yang bertubuh lebih besar membuat Jenderal Xu Da, Jenderal Chang Y Chun
dan semua orang yang ada di tempat itu terkejut. Demikian pula dengan empat
lelaki yang telah memberikan uang mereka sebagai bayaran upah dua anak kecil di
dekat mereka.
Jenderal Xu Da menatap anak yang bertubuh lebih
besar dengan alis berkerut heran.
“Kenapa kau tidak bisa menerima uang itu anak
kecil? Bukankah kau tadi mengatakan bahwa mereka telah menggunakan tenagamu
untuk menanam padi sebanyak sepuluh petak tapi tidak membayar upahmu?” tanya
Jenderal Xu Da.
“Benar Jenderal” sahut anak yang bertubuh lebih
besar sambil mengangguk tegas. “Tapi, kami sudah mengambil beras orang-orang
itu sebanyak dua puluh kali. Hari ini, adalah hari terakhir saya bermaksud
mengambil beras dari mereka”.
Kepala Jenderal Xu Da terteleng ke samping
mendengar jawaban si anak.
“Hari ini terahir kali kau akan mengambil beras
dari mereka? Kenapa? Apakah karena hari ini kau tertangkap oleh mereka?” tanya
Jenderal Xu Da.
“Bukan begitu Jenderal. Tapi, hari ini adalah
hitungan terakhir jumlah upah yang mereka janjikan pada kami. Mereka berempat
menjanjikan akan memberi upah pada kami empat kantung beras. Satu kantung
berisi lima mangkuk besar penuh beras. Setiap dua hari sekali, saya mengambil
beras mereka sebanyak satu mangkuk. Sehingga untuk mendapat empat kantung
beras, saya harus mengambil beras mereka sebanyak dua puluh kali. Karena hari
ini adalah mangkuk ke dua puluh, maka upah yang mereka janjikan sudah lunas
Jenderal. Karena itu, kami tidak bisa menerima uang mereka lagi” jawab si anak
membuat banyak prajurit terpana.
Jenderal Chang Yu Chun menatap si anak dengan
sinar mata memancarkan rasa kagum. Anak tersebut bukan hanya berwajah
cemerlang, namun ternyata juga sangat cerdas. Mendadak, menyusup rasa tertarik
dalam hati Jenderal Chang Yu Chun pada anak yang berdiri di depan mereka
tersebut. Seandainya anak itu dididik dengan baik dalam olah keprajuritan, maka
ia yakin, anak tersebut akan menjadi seorang prajurit tangguh yang sangat
cerdas dan sangat berguna bagi kejayaan Dinasti Ming. Tadipun, ia telah melihat
saat anak tersebut berlari sambil memanggul buntalan kain yang ternyata berisi
beras di punggungnya serta menggendong anak yang bertubuh lebih kecil di
belakangnya. Tubuhnya terlihat berlari dengan lincah, gesit dengan hentakan
kaki yang kuat, dan sedikitpun tak menampakkan rasa lelah meski ia berlari
sambil membawa beban berat di bahu dan punggungnya. Sekilas sudut mata Jenderal
Chang Yu Chun melirik ke arah Jenderal Xu Da dan mencoba menebak apa yang
sedang dipikirkan oleh sahabat yang sudah terasa sebagai kakak baginya itu.
Dalam hati, Jenderal Chang Yu Chun berharap semoga Jenderal Xu Da tidak
memiliki rasa tertarik pada anak kecil yang cerdas itu sebagaimana dirinya.
Sementara Jenderal Xu Da sendiri terlihat
manggut-manggut mendengar jawaban si anak. Tak terlihat reaksi apapun di
wajahnya yang penuh wibawa dan sangat tegas. Sesaat jenderal besar yang sangat
terkenal itu terdiam sebelum kemudian ia berpaling pada empat lelaki yang
berdiri diam menunggu.
“Nah!...kalian dengar?! Anak yang sangat ingin
kalian hanyutkan di Sungai Kuning ini menolak untuk menerima uang yang mestinya
menjadi upah mereka karena mereka telah mengambil beras kalian. Dan anak ini
hanya mengambil sejumlah yang telah kalian janjikan pada mereka. Seharusnya
kalian malu!” suara keras Jenderal Xu Da terdengar tegas membuat semua penduduk
tertunduk. Beberapa lelaki terlihat menatap dua anak yang berdiri di depan
mereka dengan tatapan menyorotkan rasa penyesalan.
“Karena anak ini tidak mau menerima uang kalian,
maka kalian harus mendapatkan hukuman karena perbuatan kalian. Mengejar dua
orang anak kecil dengan senjata di tangan tanpa melihat permasalahan yang
sebenarnya adalah salah! Lebih buruk lagi karena kalian berniat menghanyutkan
dua anak ini di Sungai Kuning! Kalian benar-benar tidak memiliki rasa malu!”
kata Jenderal Xu Da membuat para penduduk desa seketika berhamburan mendekat
dan kemudian berlutut di depan Jenderal Xu Da.
“Ampuni kami Tuan Jenderal!...ampuni kami!” ratap
para penduduk desa penuh rasa takut.
“Setiap kesalahan harus mendapatkan hukuman.
Prajurit Bohai!” sahut Jenderal Xu Da yang kemudian memanggil prajurit tamtama
yang berdiri di sisinya. “Pukul tangan dan kaki mereka masing-masing seratus
kali!”
“Baik Jenderal!” sahut prajurit tamtama Bohai
tegas. Lalu, sang tamtama yang gesit itu
memanggil beberapa prajurit di dalam barisan. Selanjutnya, suasana menjadi
hiruk pikuk oleh teriakan, bentakan dan jerit tangis para penduduk yang di
gelandang oleh para prajurit yang bertubuh kuat.
Sementara dua anak yang berdiri di sisi arena yang
menjadi sangat gaduh itu terlihat bingung. Lalu, tanpa terduga, si anak yang
bertubuh lebih besar maju mendekati Jenderal Xu Da. Tangannya menangkup di
depan dada.
“Jenderal!” panggil si anak dengan suara agak
keras untuk mengatasi suasana yang gaduh di sekitar mereka.
Jenderal Xu Da yang tengah memperhatikan para
prajuritnya, berpaling dan menatap yang kini berdiri di sisinya.
“Ada apa?” tanya Jenderal Xu Da. “Kau ingin mereka
mendapat hukuman yang lain? Membayar denda padamu?”.
Si anak berwajah cemerlang menggeleng.
“Bukan Jenderal” jawabnya. “Saya ingin memohon
pada Jenderal untuk mengampuni mereka semua. Tolong jangan menghukum mereka
Jenderal” pinta si anak membuat sang jenderal sangat terkejut.
Dan bukan hanya Jenderal Xu Da yang terkejut namun
juga Jenderal Chang Yu Chun, para prajurit dan para penduduk yang tengah
meratap ketakutan.
Jenderal Xu Da mengangkat tangannya sebagai
isyarat membuat para prajurit berhenti menggelandang para penduduk desa. Semua
perhatian kini tertuju pada anak yang berdiri di sisi Jenderal Xu Da yang duduk
di atas kuda hitamnya yang sangat gagah dan besar. Sementara sang jenderal
sendiri menatap anak di bawahnya dengan pandangan yang memancarkan rasa heran.
“Kenapa kau meminta hal itu? Mereka semua telah
melakukan kesalahan dan setiap kesalahan harus di hapus dengan hukuman” tanya
Jenderal Xu Da pada si anak.
“Ya Jenderal, tapi…mereka mengejar saya dan adik
saya karena mereka kehilangan beras mereka. Semua orang pasti marah jika
kehilangan harta bendanya karena di curi orang. Jika mereka bersalah, maka saya
juga bersalah. Karena saya telah mencuri beras. Meskipun hal itu saya lakukan
karena mereka tidak membayar upah yang mereka janjikan, tapi, mengambil barang
tanpa ijin dari pemiliknya tetaplah sebuah kesalahan dan bukan perbuatan yang
baik” jawab si anak membuat Jenderal Chang Yu Chun terpana sementara Jenderal
Xu Da sendiri tertegun.
Sepasang mata Jenderal Xu Da menyipit. Benaknya
berputar saat ia melihat anak yang berdiri di dekatnnya itu. Lalu, kepalanya
mengangguk-angguk mengerti.
“Itu artinya, jika aku menghukum mereka, maka
seharusnya aku juga menghukum dirimu dan adikmu itu? Apakah seperti itu yang
kau maksud?” tanya Jenderal Xu Da.
Si anak mengangguk. “Benar Jenderal. Karena saya
juga melakukan kesalahan. Namun, jika saya tidak mendapat hukuman, maka
seharusnya mereka juga tidak di hukum”.
Mendadak Jenderal Xu Da tertawa.
“Hai nak…kau masih sekecil ini dan sudah berani
memberiku tawaran? Baiklah…aku tidak bisa membebaskan mereka karena
bagaimanapun mereka bersalah. Tetapi, menghukum seorang anak dengan seratus
pukulan juga bukan hal yang dibenarkan. Karena itu, untuk penduduk desa yang
tidak memberikan upah kalian, mereka akan di hukum dengan memberi beras pada
penduduk yang miskin dan tidak memiliki ladang untuk menanam padi masing-masing
lima kantung beras. Sedangkan untukmu dan adikmu, kalian kuhukum dengan bekerja
padaku sebagai pengurus kuda. Apakah kau bersedia?” tanya Jenderal Xu Da.
Jenderal Chang Yu Chun menoleh ke arah Jenderal Xu
Da. Ada seleret rasa kecewa dalam hatinya. Ternyata dugaannya benar. Jenderal
besar yang sudah seperti kakak baginya itu, ternyata juga memiliki rasa
tertarik pada anak berwajah cemerlang yang sangat cerdas itu. Namun, rasa
persahabatan yang kuat dalam hati Jenderal Chang Yu Chun membuat rasa kecewa
itu segera menguap pergi. Terlebih saat ia melihat sang jenderal besar yang
hidup dari satu perang ke peperangan yang lain tersebut tertawa dengan lebar.
Sementara si anak berwajah cemerlang menatap
jenderal yang duduk di atas kuda di depannya. Sepasang mata anak tersebut
tampak berbinar namun, sikapnya terlihat menunggu sementara kepalanya menoleh
pada anak lain yang bertubuh lebih kecil darinya yang masih terlihat takut
dengan air mata yang tak henti mengalir di pipi. Sejenak, dua anak tersebut
terlihat saling berpandangan hingga kemudian, si anak yang bertubuh lebih besar
kembali pada Jenderal Xu Da dan mengangguk dengan tegas.
“Baiklah Jenderal…kami bersedia untuk bekerja pada Jenderal” jawab si
anak.
Jenderal Xu Da terlihat mengangguk. Kemudian
pandangannya beralih pada tamtama dan para prajurit yang tengah menggelandang
para penduduk.
“Hentikan hukuman!” seru Jenderal Xu Da dengan
suara yang keras dan tegas membuat seluruh perhatian kini tertuju pada sang
jenderal. “Kalian dengar apa yang di katakan anak ini? Dia mengakui
kesalahannya telah mengambil beras tanpa seijin kalian dan karena itu, dia
meminta agar dirinya diberi hukuman sama seperti kalian. Oleh karena itu aku
menghukum kalian semua termasuk anak ini. Untuk kalian yang telah mengambil
tenaga anak ini tanpa mengupahnya, kalian harus memberikan beras sebanyak lima
kantung pada setiap penduduk di desa kalian yang miskin dan tidak memiliki ladang
untuk menanam padi. Untuk kalian yang turut mengejar dua anak ini tanpa
mengetahui permasalahan yang sesungguhnya, maka kalian harus memberikan dua
kantung beras pada setiap penduduk yang miskin dan tidak memiliki ladang untuk
bertanam padi. Sedangkan untuk dua anak ini, aku memberi mereka hukuman
mengurus kudaku tanpa bayaran upah!”.
Terdengar kembali suara gaduh. Namun kali ini
kegaduhan itu berasal dari teriakan lega dan gembira dari penduduk desa yang
lepas dari hukuman pukul sebanyak seratus kali. Serentak, para penduduk desa
itu berlarian ke arah Jenderal Xu Da dan berlutut di tanah dengan wajah penuh
kelegaan.
“Terima kasih Tuan Jenderal!...Terima kasih karena
telah mengampuni kami” teriak para penduduk sambil bersujud.
“Kalian harus melakukan hukuman kalian. Aku akan
meninggalkan beberapa prajurit untuk mengawasi kalian sampai kalian
melaksanakan apa yang menjadi hukuman kalian. Jika kalian tidak melaksanakan
apa yang aku perintahkan, maka aku akan kembali untuk memberi hukuman yang jauh
lebih berat!” kata Jenderal Xu Da dengan suara tegas.
“Baik Jenderal!...kami pasti akan melaksanakan
perintah Jenderal!” sahut penduduk desa.
“Terima kasih Jenderal!” sambung yang lain secara
serempak.
“Cukup!” kata Jenderal Xu Da. “Sekarang kalian
pulanglah dan laksanakan hukuman kalian!”.
“Baik Jenderal” Para penduduk desa segera bangkit
dari sujud mereka, memberi hormat pada Jenderal Xu Da dan kemudian dengan
tergesa-gesa beranjak pergi dari jalan utama tersebut.
Jenderal Xu Da sejenak menatap para penduduk yang
telah beranjak pergi sebelum kemudian berpaling pada prajurit tamtama.
“Prajurit Bohai!” panggil Jenderal Xu Da pada
tamtamanya yang tampaknya cukup dekat dengan sang jenderal.
Tamtama Bohai segera berdiri tegak dan membungkuk
hormat pada Jenderal Xu Da.
“Ya Jenderal!” sahut Tamtama Bohai tegas.
“Perintahkan beberapa prajurit untuk mengikuti
para penduduk itu pulang ke desa mereka dan pastikan bahwa mereka telah
melaksanakan hukuman yang aku berikan!” perintah Jenderal Xu Da.
“Baik Jenderal” jawab Tamtama Bohai sambil
membungkuk hormat. Kemudian, tanpa menunggu lebih lama, sang prajurit yang
terlihat cekatan dan gesit itu segera memanggil beberapa prajurit dan
memberikan perintah singkat yang diucapkan dengan suara tegas dan keras.
Kemudian, segera setelah mendapatkan perintah, para
prajurit yang ditunjuk memacu kuda mereka setelah memberi hormat pada Jenderal
Xu da dan Jenderal Chang Yu Chun, menyusul para penduduk desa yang telah jauh
meninggalkan jalan utama dan kembali melintasi tanah pertanian yang telah
kosong karena baru saja dipanen. Jenderal Xu Da masih menatap ke arah para
prajurit yang terlihat telah berhasil menyusul para penduduk desa. Lalu,
sejenak kemudian, pandangannya beralih pada dua anak di depannya. Si anak yang
bertubuh lebih besar telah kembali pada anak lain yang bertubuh lebih kecil.
“Siapa namamu?” tanya Jenderal Xu Da sambil
menatap anak berwajah cemerlang yang juga tengah menatap ke arahnya.
Si anak membungkuk sesaat memberi hormat. Jenderal
Xu Da tersenyum dalam hati. Sebelumnya, anak tersebut tidak membungkuk padanya
sebagai bentuk penghormatan. Namun kini, ketika ia memanggilnya kembali, anak
tersebut telah memberi penghormatan dalam tata cara yang sama dengan yang
dilakukan oleh Tamtama Bohai dan para prajurit lain. Anak berwajah cemerlang
itu belajar dengan cepat hanya beberapa saat setelah ia melihat Tamtama Bohai
dan para prajurit melakukan penghormatan.
“Saya Changyi Jenderal” sahut si anak berwajah
cemerlang dengan suara tegas. Itu juga tampaknya merupakan hasil belajar dari
cara Tamtama Bohai saat menjawab setiap panggilan dan peritah dari Jenderal Xu
Da.
Jenderal menahan senyumnya.
“Changyi?...baiklah. Lalu siapa namamu?” tanya
Jenderal Xu Da sambil menunjuk anak yang bertubuh lebih kecil di belakang
punggung anak bernama Changyi.
Si anak yang ditunjuk oleh Jenderal Xu Da tidak
menajwab dan justru terlihat semakin ketakutan. Tubuhnya kini bersembunyi penuh
di belakang Changyi dan tangisnya yang semula telah berhenti kembali pecah.
Changyi terlihat berusaha menenangkan anak yang bersembunyi di belakang
punggungnya. Namun hingga beberapa saat, anak yang menangis itu tak juga
menyebutkan namanya dan masih saja terus menangis sambil memegang lengan
Changyi.
“Cepat jawab!” tegur Jenderal Xu Da dengan nada
tegas.
Changyi maju selangkah ke depan. Anak yang
bersembunyi di belakang punggungnya turut melangkah di belakang Changyi.
“Jenderal, namanya adalah…”.
“Diam!” potong Jenderal Xu Da saat Changyi hendak
menyebutkan nama anak bertubuh kecil dan kurus di belakang punggungnya. “Aku
bertanya padanya. Jadi biarkan dia yang menjawab!”.
Changyi terdiam namun satu tangannya memegang
tangan anak kecil di belakang punggungnya. Jelas terlihat gerakan Changyi yang
lembut. “Jawablah…tidak apa-apa. Jawablah…”.
Si anak kecil masih terus menangis namun kini,
kepalanya sedikit menyembul dari balik bahu Changyi dan mengintip ke depan, ke
arah Jenderal Xu Da dan seluruh barisan prajurit Ming.
Jenderal Xu Da menjadi tak sabar. Tangan kanannya
terulur ke arah Tamtama Bohai “Prajurit Bohai!...berikan pedangmu!”.
“Baik Jenderal!” sahut Tamtama Bohai sambil maju
ke depan dan menyerahkan pedangnya pada Jenderal Xu Da.
Jenderal Xu Da menerima pedang Tamtama Bohai dan
segera menghunus pedang panjang yang terlihat sangat tajam tersebut. Kemudian,
tanpa terduga, sang jenderal kesayangan Kaisar Hongwu tersebut mengarahkan mata
pedangnya ke arah anak yang berdiri di depannya. Tepat ke arah anak kecil yang
terus menangis di belakang punggung Changyi. Seluruh prajurit yang melihat hal
itu tersentak. Demikian pula dengan Jenderal Chang Yu Chun.
Seolah di luar kesadarannya, Changyi mendadak
menggeser tubuhnya menutupi anak di belakang punggungnya secara penuh hingga
kemudian, mata pedang yang semula mengarah ke wajah anak kecil yang terus
menangis tersebut kini berganti mengarah tepat di wajahnya yang elok cemerlang
membuat Jenderal Xu Da dan Jenderal Chang Yu Chun bagaimanapun terkejut
melihatnya.
“Jenderal?” Changyi memanggil Jenderal Xu Da. Tak
terlihat kilasan rasa takut di matanya meski sebuah pedang yang sangat tajam
tengah terarah tepat ke wajahnya. Sepasang matanya yang sangat jernih terlihat
berkilat oleh harapan untuk keselamatan anak di belakang punggungnya.
Tapi tampaknya, Jenderal Xu Da sama sekali tak
menghiraukan harapan di mata bening Changyi.
“Berhentilah menangis!” bentak Jenderal Xu Da pada
anak kecil yang terus menangis. “Dan cepat jawab atau pedang ini akan menembus
kepala kakakmu dan aku akan memotong lidahmu!”.
Anak yang bersembunyi di belakang punggung Changyi
tergagap dan sepasang matanya membelalak. Namun, ancaman Jenderal Xu Da
ternyata berhasil. Tangis anak bertubuh kecil dan kurus itu langsung berhenti.
Terdengar suara cegukan keras saat ia berusaha untuk menelan kembali isaknya
sementara tubuhnya perlahan bergeser ke samping Changyi. Tidak sepenuhnya
berdiri di samping Changyi karena separuh tubuhnya masih tertutup oleh lengan
dan bahu saudaranya itu. Namun kini, Jenderal Xu Da dapat melihat dengan jelas
perawakan anak kecil itu. Tubuhnya terlihat lemah dengan tulang-tulang yang
menonjol di bagian bahu, dada dan rusuk. Tangan anak itu kecil dan sangat kurus
seperti ranting demikian pula dengan sepasang kakinya yang berlumuran lumpur
basah. Wajah anak itu sebenarnya tampan, namun tangis yang lama dan raut
ketakutan yang jelas terlihat membuat wajahnya terlihat pucat dan kuyu. Kini,
setelah melihat keadaan anak tersebut dengan seksama, Jenderal Xu Da mulai
mengerti kenapa anak bernama Changyi itu sangat melindungi anak di belakang
punggungnya. Tetapi, alis Jenderal Xu Da berkerut saat ia melihat perbedaan
besar di wajah dua anak yang ada di depannya. Meskipun anak yang terus menangis
itu juga memiliki wajah yang tampan, namun tak secemerlang wajah anak bernama
Changyi. Garis wajah mereka, termasuk bentuk hidung, mulut dan bibir juga
berbeda. Melihat anak berwajah cemerlang yang bernama Changyi membuat Jenderal
Xu Da teringat pada binar cahaya matahari yang hangat di pagi hari. Sedangkan
anak yang terus menangis itu, seandainya wajahnya tidak dikeruhkan oleh tangis
dan rasa takut, memiliki cahaya yang lembut dengan sepasang mata yang bening
teduh seperti bulan di malam yang tenang.
“Ss-saya…saya Chen T-Tuan Jenderal” sahut anak
yang telah berhenti menangis itu dengan suara tergagap.
“Chen? Bagus! Ternyata kau punya suara” ujar
Jenderal Xu Da di sambut suara tawa pelan Jenderal Chang Yu Chun. “Nah…kau
dengar Chen! Karena kalian telah bersalah mencuri beras dari para penduduk
desa, aku menghukum kalian dengan bekerja mengurusi kudaku tanpa bayaran upah.
Dan selama bekerja padaku, aku tidak mengijinkanmu untuk menangis di depanku.
Jika sampai aku melihatmu menangis, maka aku akan mencongkel dua matamu dan
memotong lidahmu. Kau mengerti?!”.
Chen tergagap kembali dengan wajah memucat. Namun,
kepalanya yang kecil mengangguk-angguk dengan gerakan keras.
“S-saya mengerti T-Tuan Jenderal. Saya..tidak akan
menangis lagi” janji Chen terbata-bata.
“Bagus!” sahut Jenderal Xu Da sebelum kemudian
berpaling pada Changyi. “Apakah Chen adalah adikmu?”.
Changyi mengangguk dengan tegas. “Benar Jenderal”.
“Kau bohong!” sentak Jenderal Xu Da. “Jangan
mencoba untuk membohongiku. Wajah kalian sama sekali tidak mirip sehingga aku
yakin bahwa kalian tidak berasal dari satu orangtua”.
Changyi menatap sekilas Chen yang berdiri
tertunduk di sisinya lalu kembali pandangannya beralih pada Jenderal Xu Da.
“Benar Jenderal. Orangtua kami memang berbeda.
Adik Chen adalah anak dari sahabat orangtua saya. Tapi, bagi saya, Adik Chen
adalah adik saya karena untuk menjadi adik, tidak harus karena satu orangtua”
jawab Changyi membuat Jenderal Chang Yu Chun kembali terkejut lalu menggeleng.
Bagaimana anak sekecil Changyi tahu tentang falsafah persaudaraan seperti itu?.
Jenderal Xu Da mengangguk-angguk. Terdengar
gumaman pelan yang tak jelas dari mulutnya.
“Baiklah. Sekarang kalian harus ikut denganku ke
Yingtian di mana kalian akan melaksanakan hukuman kalian di rumahku” ujar
Jenderal Xu Da.
Changyi membungkuk hormat. Chen yang berdiri di
sisinya dengan gugup dan gerakan kaku menirukan apa yang dilakukan oleh
Changyi.
“Baik Jenderal. Kami akan melaksanakan hukuman
kami” jawab Changyi kemudian.
“Prajurit Bohai!” panggil Jenderal Xu Da kemudian.
“Ya Jenderal!” jawab Tamtama Bohai sambil
melangkah mendekat ke depan Jenderal Xu Da.
“Bawa mereka dan kita lanjutkan perjalanan!’
perintah Jenderal Xu Da sambil memutar kudanya kembali ke sisi jenderal Chang
Yu Chun.
“Baik Jenderal!” sahut Tamtama Bohai sebelum
kemudian menoleh ke arah Changyi dan Chen setelah Jenderal Xu Da kembali di
tempatnya semula di dalam barisan. “Kalian! Ikut denganku sekarang!”.
Changyi tidak menjawab namun tubuhnya membungkuk
ke arah Tamtama Bohai diikuti oleh Chen. Lalu, kedua anak tersebut setengah
berlari mengikuti Tamtama Bohai, masuk ke dalam barisan dan dinaikkan ke atas
kuda Tamtama Bohai. Selanjutnya, Tamtama Bohai berteriak keras memberi aba-aba
agar barisan prajurit segera berjalan kembali.
Jenderal Chang Yu Chun menoleh ke arah Jenderal Xu
Da. Sepasang matanya terlihat sedikit menyelidik.
“Kakak…apakah Kakak bermaksud untuk mengambil
mereka sebagai anak asuh?” tanya Jenderal Chang Yu Chun pada Jenderal Xu Da di
sisinya.
Jenderal Xu Da menggeleng. “Tidak. Kenapa kau
menanyakan hal itu?”.
“Tidak apa-apa Kakak. Aku hanya bertanya saja,
karena sekarang banyak pejabat yang mengambil anak asuh. Termasuk Jenderal Lan
Yu yang memiliki banyak anak asuh” jawab Jenderal Chang Yu Chun.
“Hmm” Jenderal Xu Da bergumam pelan. “Aku hanya
ingin menolong mereka agar tidak berkeliaran di jalan. Lagipula, tidak ada satu
orangpun pelayanku yang bisa merawat kudaku ini”.
Jenderal Chang Yu Chun menunjuk kuda hitam yang di
tunggangi Jenderal Xu Da.
“Tapi Kakak…kuda ini sangat liar pada siapapun
selain Kakak. Jika dua anak itu merawat kuda ini, apakah tidak berbahaya bagi
keselamatan mereka?” tanya Jenderal Chang Yu Chun.
“Aku yakin tidak” jawab Jenderal Xu Da pendek dan
penuh keyakinan. Sebuah senyum sekilas terukir di bibirnya. Lalu, untuk pertama
kalinya sejak mereka mulai berjalan kembali, pandangan Jenderal Xu Da beralih
pada Jenderal Chang Yu Chun. “Di mana Jenderal Lan Yu?”
Jenderal Chang Yu Chun mengerdikkan bahunya.
“Jenderal Lan Yu di barisan belakang. Jauh di
belakang. Menurut prajurit yang membawa perintah untuk berhenti tadi, Jenderal
Lan Yu saat ini tepat berada di ujung barisan, menjadi penutup” jawab Jenderal
Chang Yu Chun.
Jenderal Xu Da mengangguk. Ia tahu, Jenderal Lan
Yu adalah seorang jenderal yang sangat cerdas dan penuh prestasi, namun juga
sangat ambisius. Tentu, berjalan di tengah barisan akan menjadi sesuatu yang
sangat meyesakkan baginya.
“Baiklah…sekarang kita bisa pulang” sahut Jenderal
Xu Da pelan namun tegas.
**************
Tidak ada komentar:
Posting Komentar