“Cepat katakan
padaku!” sentak Pangeran Zhu Di seraya memegang bahu Kasim Anta, dengan gerakan
nyaris kasar.
Kasim Anta
terperanjat dan seketika mengangguk – hal yang dengan segera sangat
disesalinya, namun kini ia tak bisa mundur lagi – seraya menatap Pangeran
Keempat.
“It..itu memang benar
Pangeran” jawab Kasim Anta dengan gugup. “Kasim Chen saat ini ada di penjara”.
Sepasang mata
Pangeran Zhu Di semakin lebar membelalak. Tangannya yang mencengkeram bahu
Kasim Anta mengerut keras membuat kasim tua itu mulai meringis kesakitan.
“Di penjara mana Adik
Chen di tempatkan? Katakan padaku cepat!” sentak Pangeran Zhu Di kemudian.
“Di penjara bawah
tanah Pangeran, di ruang paling ujung” sahut Kasim Anta. Wajahnya memucat namun
sepasang mata kasim tua itu terlihat menyiratkan kesedihan.
Kedua tangan Pangeran
Zhu Di terkulai sementara sepasang matanya nanar menatap melalui bahu Kasim
Anta dan jatuh pada dinding di ujung kamar. Ruang penjara bawah tanah adalah
tempat yang sangat buruk dan hanya digunakan untuk menempatkan orang-orang dengan
kejahatan yang sangat besar. Terlebih ruang penjara yang terletak paling ujung.
Ruang tersebut dibuat tanpa jendela, dengan pintu yang sangat sempit dan
keadaan di dalamnya sangat gelap tanpa penerangan apapun. Hanya penjahat yang
akan dihukum mati saja yang ditempatkan di dalam ruang paling ujung itu.
Dan sekarang kasim
kesayangannya tengah berada di ruang yang sangat mengerikan itu. Tak ada hal
lain yang bisa disimpulkan selain bahwa…
Xiao Chen akan segera
menghadapi hukuman mati!.
Secepat kesadaran itu
muncul dalam benak Pangeran Zhu Di, secepat itu pula sang pangeran muda yang
terkenal lincah itu bergerak dari ranjangnya. Tangannya merenggut lepas selimut
yang semula membungkusnya dan tubuh gagah yang indah itu bersiap melompat dari atas
ranjang andai saja Kasim Anta tidak segera memeluk tubuh yang sesungguhnya
masih lemah itu agar tidak meninggalkan pembaringannya.
Pangeran Zhu Di
memberontak dengan marah saat menyadari lengan-lengan Kasim Anta yang
membelenggu tubuhnya hingga membuatnya tak bisa bergerak. Sambil berteriak
marah, Pangeran Zhu Di menggeliatkan bahunya dengan gerak tangan menyentak.
Sayang sekali bahwa tubuhnya yang lemah bagaimanapun membuat tenaganya tak bisa
banyak membantu sehingga, meski Pangeran Zhu Di merasa telah mengeluarkan
seluruh kekuatannya, namun hasilnya sangatlah mengecewakan. Tubuh Kasim Anta
hanya bergeser sedikit tetapi lengan-lengan yang membelenggu itu tetap melekat
dengan kuat.
“Lepaskan aku!...aku
harus menemui Yang Mulia Kaisar!. Yang Mulia Kaisar tidak bisa melakukan hal
itu pada Adik Chen! Aku tahu Adik Chen sama sekali tidak bersalah! Lepaskan
aku!...cepat lepaskan aku!” teriak Pangeran Zhu Di seraya terus memberontak.
“Pangeran…hamba mohon
bersabarlah!” ujar Kasim Anta balas berteriak. Tubuhnya mulai berguncang dengan
keras akibat daya berontak dari Pangeran Zhu Di. “Saat ini Yang Mulia Kaisar
sedang sangat murka…tak ada satu orangpun yang bisa membujuknya bahkan Yang
Mulia Ratu”.
“Karena itu aku harus
bertemu dengan Yang Mulia Kaisar sekarang! Lepaskan aku!..Cepat lepaskan aku
atau aku akan membunuhmu!..Aku tidak bisa kehilangan Adik Chen! Yang Mulia
Kaisar tidak boleh melakukan hal ini padaku!” teriak Pangeran Zhu Di dalam
bentaknya. Sepasang matanya terlihat merah nanar menunjukkan kemarahan
sekaligus kesedihan yang nampak nyata.
Tetapi, getaran
kesedihan ternyata lebih dahsyat lagi mengguncang batin Kasim Anta saat ia
mendengar kalimat Pangeran Zhu Di. Satu kenyataan yang sesungguhnya sangat mengganggunya
selama ini sejak keberadaan Kasim Chen di sisi pangeran termuda yang sangat
disayanginya. Kenyataan yang selalu ia tepiskan dengan penalarannya sebagai
orangtua, dengan segala prasangka baik yang ia miliki setelah belasan tahun
memberikan seluruh waktu dan hatinya untuk mengasuh dan merawat Pangeran
Keempat tersebut. Namun, jika boleh jujur, sesungguhnya bagaimanapun besarnya
usaha yang ia keluarkan untuk menepis kenyataan pahit yang terbentang di depan
matanya, namun tetap saja hal yang menyedihkan itu selalu mengikutinya,
mengganggunya, dan membayangi setiap langkahnya, membuatnya seolah tak lagi
memiliki sebuah ruang yang lapang sekedar untuk bernafas dengan lega.
Bagaimana bisa ia
mengingkari bahwa sesungguhnya, tempatnya di sisi Pangeran Zhu Di telah hilang
sejak kehadiran Kasim Chen?
Bagaimana ia bisa
menepiskan kenyataan bahwa sesungguhnya ia merasa sangat kehilangan semenjak
Pangeran Zhu Di selalu menempatkan segala urusannya pada Kasim Chen sehingga ia
nyaris tak pernah lagi mendapat peran apapun di depan Pangeran Keempat.
Andaikan pun ada satu atau dua hal yang bisa ia lakukan untuk pangeran yang
sangat dicintainya itu, maka selalu hal tersebut terjadi karena Kasim Chen
sedang menjalankan tugas lain hingga tak ada siapapun di sisi Pangeran Zhu Di
selain dirinya.
Dan kini, dalam
kekalutannya, Pangeran Zhu Di mengeluarkan kalimat yang semakin memperjelas
kenyataan pahit yang mesti dihadapinya.
Bahwa Pangeran Zhu Di
tak bisa hidup dengan menanggung kehilangan Kasim Chen!.
Bahwa Pangeran Zhu Di
mampu untuk membunuhnya demi agar bisa lepas keluar dari kamar ini dan
menyelamatkan Kasim Chen!
Sepasang mata Kasim
Anta mengerjab saat rasa panas dengan cepat menyeruak memenuhi pelupuk kemudian
menyembulkan sebuah aliran hangat menuruni dua pipinya.
Kepedihan yang
menyengat sampai ke jantung membuat Kasim Anta sesaat terlena hingga saat
Pangeran Zhu Di menyentak sekali lagi dengan kedua lengannya, maka kasim tua
itu terpelanting dan jatuh terduduk ke atas lantai.
Kesempatan yang tak
disia-siakan oleh Pangeran Zhu Di untuk melompat ke arah pintu. Kemudian, meski
dengan gerakan lemah dan tubuh terhuyung nyaris jatuh, sang pangeran muda yang
tampan itu mengulurkan tangannya berusaha meraih lembar daun pintu di depannya.
Kasim Anta yang melihatnya terlihat sangat panik dan berusaha mengayunkan
tangannya meraih ujung hanfu Pangeran Zhu Di namun gagal. Kasim tua yang telah
lama mengabdi pada Kaisar Hongwu itu bangkit dari lantai dan berlari ke arah
pangeran asuhannya tepat disaat jemari tangan Pangeran Zhu Di telah berhasil
meraih pintu dan menariknya. Sepasang mata Kasim Anta membelalak dengan rasa
takut yang besar. Ia tahu, bahwa keluarnya Pangeran Zhu Di dari kamarnya untuk
menemui Kaisar Hongwu pasti akan menjadikan kemurkaan sang kaisar justru
semakin besar. Dan hal tersebut bukanlah sesuatu yang baik untuk semua orang
termasuk Pangeran Zhu Di sendiri. Karena itu, begitu ia tahu tak akan bisa
mencegah pangeran kesayangannya tetap bertahan di dalam kamar, maka sang kasim
setia itu segera mengeluarkan seluruh tenaganya.
“Prajurit!...tahan
Pangeran Zhu Di!...perintah dari Yang Mulia Kaisar agar Pangeran Zhu Di tetap
di dalam kamar sampai benar-benar sembuh!” teriak Kasim Anta lantang membuat
bukan saja para prajurit yang tengah berjaga di luar kamar namun juga Pangeran
Zhu Di yang tengah bersiap melangkah keluar dari kamar menjadi kaget.
Seketika, langkah kaki
Pangeran Zhu Di terhenti dan pemuda tampan itu menoleh ke arah kasim tua yang
telah lama bersamanya. Pandangan matanya menyiratkan rasa heran sekaligus marah
yang mengaduk menjadi satu. Keheranan saat ia melihat kepanikan yang bukanlah
sebuah kepura-puraan di wajah kasimnya. Kepanikan berbungkus air mata yang
mengalir deras di pipi Kasim Anta membuat Pangeran Zhu Di tertegun. Kapan
terakhir kali ia melihat kasim yang seringkali membuatnya jengkel itu
menitikkan airmata? Rasanya, seumur hidup hingga detik sekarang ini, belum
pernah sekalipun ia melihat Kasim Anta menangis meski sesedih apapun hati
lelaki yang mengasuhnya sejak ia lahir ke dunia itu.
Lalu, hari ini ia melihat
lelaki yang telah menjelang usia tuanya itu menangis. Bukan hanya setitik dua
titik air mata melainkan linangan air mata yang mengalir deras di kedua pipi.
Bagaimanapun juga, sebesar apapun kemarahan Pangeran Zhu Di pada kasimnya,
melihat air mata yang mengalir deras serta gurat kesedihan yang nampak sangat
nyata di kedua mata yang mulai berhias warna keabu-abuan itu, tak urung membuat
hatinya tergetar juga hingga sang pangeran bertubuh gagah itu tak menyadari
saat beberapa prajurit telah berdiri di sekitarnya sementara beberapa prajurit
lain berjaga di depan pintu kamar yang terbuka lebar. Pandangan mata Pangeran
Zhu Di baru teralih dari wajah Kasim Anta saat ia mendengar suara yang sangat dikenalnya disertai sentuhan
lembut pada bahu.
“Adik Zhu Di…Anda mau
kemanakah? Yang Mulia Kaisar melarang Anda untuk meninggalkan kamar hingga Anda
benar-benar sembuh” tegur suara yang sangat akrab di telinga Pangeran Zhu Di
tersebut.
“Kakak Xu…” jawab
Pangeran Zhu Di seraya menatap sosok yang berdiri tepat di sisi kanannya. Sekilas
ia menatap ke sekeliling dan melihat para prajurit yang berdiri dalam kondisi
siaga. “Aku ingin menemui Yang Mulia Kaisar. Adik Chen tidak bersalah, aku tahu
benar hal itu. Yang Mulia Kaisar tidak boleh menjatuhkan tangan kejam pada Adik
Chen tanpa menyelidiki lebih dulu. Aku tidak bisa kehilangan Adik Chen. Kakak
Xu tahu itu bukan? Tolong jangan halangi aku Kakak Xu. Aku harus bertemu dengan
Yang Mulia Kaisar sekarang karena…”
Kalimat Pangeran Zhu
Di terputus saat mendadak ia merasakan sebuah sapuan halus pada bahu atas dan
tengkuknya. Sapuan tangan yang membawa hawa sejuk namun dengan segera membuat
tubuhnya melemas seolah tak satupun tulang masih tertinggal di balik kulit
daging dan menyangga kekuatannya. Tubuh Pangeran Zhu Di merubuh tepat ke arah
sosok gagah lain yang segera menyambutnya.
Kasim Anta berlari
mendekat dan menatap Pangeran Zhu Di dengan pandangan cemas. Tatapannya
kemudian beralih ke arah sosok mempesona yang menopang tubuh Pangeran Zhu Di di
bahunya.
“Tuan Muda Xu
Changyi, ada apa dengan Pangeran Zhu Di?” tanya Kasim Anta pada pemuda rupawan
di depannya.
“Tidak apa-apa Paman
Anta…tolong Paman panggilkan tabib, aku akan membawa Pangeran Zhu Di ke
pembaringannya” kata Xu Changyi.
“Baik Tuan Muda Xu” jawab
Kasim Anta segera mengangguk. Tanpa menunggu lebih lama, setelah membungkukkan
tubuhnya pada Changyi, kasim setia itu segera berlari keluar. Sekilas,
lengannya terangkat dan menyapu kedua pipinya yang basah.
Sementara itu,
Changyi yang telah meletakkan kembali Pangeran Zhu Di di atas ranjangnya,
terlihat kembali menyapukan tangannya ke balik punggung pangeran keempat. Hanya
sesaat sesudahnya, terlihat Pangeran Zhu Di bergerak dan menggeliatkan
tubuhnya. Kedua matanya mencari-cari dan terhenti pada sosok yang duduk di sisi
ranjangnya, di atas sebuah kursi yang ditarik mendekat.
“Kakak Xu…kenapa kau
melumpuhkan aku? Memangnya apa salahku padamu” tanya Pangeran Zhu Di dengan
sepasang alis berkerut membuat Changyi seketika tertawa.
Pangeran Zhu Di
langsung cemberut melihat tawa Changyi.
“Kakak Xu bahkan
menertawakan aku” sungut Pangeran Zhu Di seraya menghembuskan nafas kesal.
Pandangannya lurus menatap atap ranjangnya yang berukir indah. Hanya sesaat,
karena kemudian sepasang mata yang jernih dan berbinar cerdas itu segera
beralih pada sosok sahabatnya yang masih duduk di atas kursi di sisi ranjang
dengan sisa tawanya. “Apakah Kakak Xu sudah tahu apa yang terjadi dengan Adik
Chen?” tanyanya kemudian.
Tawa Changyi melenyap
dan berganti dengan seulas senyum. Pangeran Zhu Di bersumpah bahwa meski senyum
sahabatnya itu terlihat sangat indah seperti biasanya, namun di balik senyum
yang diam-diam membuatnya iri itu tersembunyi sebuah gurat kedukaan yang sangat
dalam.
“Ya Adik Zhu Di, saya
tahu apa yang terjadi dengan Adik Chen” jawab Changyi sembari mengangguk.
“Jika begitu, kenapa
Kakak Xu terlihat sangat tenang? Kenapa Kakak justru mencegahku untuk menemui
Yang Mulia Kaisar?” sepasang alis tebal bagus Pangeran Zhu Di berkerut
sementara aliran pertanyaan meluncur dari bibirnya yang masih memucat.
Changyi menarik nafas
panjang. Senyum masih bertahan di bibirnya.
“Karena Adik Zhu Di…”
jawabnya kemudian. “Keadaan Yang Mulia Kaisar saat ini sedang sangat murka.
Tidak ada seorangpun lagi yang bisa mengatakan sesuatu dan Yang Mulia Kaisar
akan mendengarnya”.
“Bahkan seandainya
orang itu adalah aku?” tanya Pangeran Zhu Di dengan nada sedikit meninggi.
Changyi mengangguk
tegas membuat kerut di alis Pangeran Zhu Di semakin mendalam.
“Ah…aku tidak
percaya!” dengus Pangeran Zhu Di seraya berusaha bangkit duduk. Changyi
mengulurkan tangannya dan membantu pangeran termuda itu untuk bersandar pada
kepala ranjang kemudian kembali ke atas kursinya sementara Pangeran Zhu Di
menatap sahabatnya. “Yang Mulia Kaisar belum pernah tidak mendengarkan aku jadi
mustahil kali ini kata-kataku tidak akan didengarnya. Lagipula, Yang Mulia
Kaisar marah karena ada orang yang meletakkan racun ke dalam makananku bukan?”
“Adik Zhu Di, saya
kira hal sesungguhnya yang membuat Yang Mulia Kaisar murka bukanlah semata adanya
racun dalam hidangan anda melainkan karena bagaimanapun, perbuatan itu
dilakukan di depan Yang Mulia Kaisar dan Yang Mulia Ratu serta demikian banyak
tamu kerajaan. Sama saja, apa yang dilakukan oleh orang yang meletakkan racun
ke dalam hidangan Adik Zhu Di sesungguhnya bukan hanya bermaksud mencelakakan
anda melainkan juga mempermalukan Yang Mulia Kaisar dan Ratu sebagai tuan
rumah. Saya kira, siapapun orangnya yang mengalami hal sebagaimana Yang Mulia
Kaisar pastilah akan sangat murka. Saya berharap, anda bisa memahami hal ini
Adik Zhu Di” tutur Changyi membuat Pangeran Zhu Di terdiam.
Sejenak ruang kamar
menjadi hening sementara Pangeran Zhu Di tertunduk. Benaknya mencerna dan
mengurai setiap untaian kata-kata yang didengarnya dari mulut Changyi. Dan
dalam sekejab, ia memang menemukan kebenarannya. Kebenaran tentang alasan
sesungguhnya hingga Kaisar Hongwu sangatlah marah dan tak lagi mau mendengarkan
siapapun. Kebenaran yang dapat dirasakannya saat ia mencoba menempatkan dirinya
pada posisi Kaisar Hongwu saat ini.
Bahwa sesungguhnya –
andai ia berdiri sebagai Kaisar Hongwu – hal paling menyakitkan bukanlah bila
ia melihat putra kesayangannya menggeliat kesakitan tepat di depan matanya
melainkan bahwa kejahatan itu dilakukan justru di hadapan seluruh tamu kerajaan
di mana ia berdiri sebagai tuan rumah. Peristiwa yang terjadi di ruang aula itu
lebih terasakan sebagai sebuah tamparan yang sangat keras bukan saja bagi
kehormatan sang kaisar sendiri melainkan bagi Kerajaan Ming. Pastilah kini,
peristiwa yang terjadi di ruang aula itu akan berdengung di seluruh penjuru
mata angin, di kerajaan-kerajaan lain baik kerajaan sahabat maupun kerajaan
yang menjadi pesaing dan bahkan lawan.
Lalu, apakah lagi yang lebih memalukan bagi Kaisar Hongwu selain
anggapan bahwa ia tak memiliki kekuatan hingga sebuah kejahatan terhadap
anggota keluarga kerajaan bisa terjadi di depan mata dan di hadapan sekian
banyak orang?.
Pangeran Zhu Di
menghela nafas panjang manakala sebuah pengertian merasuk ke dalam batinnya dan
mulai mengiris rasa iba terhadap sang kaisar. Bahkan kepedihan Kaisar Hongwu
sebagai ayah kandungnya sendiri yang harus melihat putra termudanya menggeliat
sekarat mungkin telah jauh-jauh tertepis oleh besarnya rasa malu yang
menghantam di depan sekian banyak tamu.
Andai ia berada di
posisi ayahnya itu saat ini, bisakah ia meredam kemarahan? Rasanya akan sangat
sulit sekali.
Lalu, ketika
pemahaman yang merasuk ke dalam penalaran itu mulai meresap di lubuk hatinya,
mendadak Pangeran Zhu Di merasakan kesedihan ganda yang membuatnya tidak
berdaya. Kesedihan karena ia sungguh yakin bahwa Xiao Chen tidak bersalah atas
keberadaan racun dalam hidangan yang disantapnya – meski ia belum memiliki
apapun untuk membuktikan keyakinannya itu – serta pemahaman akan hal
sesungguhnya yang menjadi beban dalam hati ayahnya hingga sang kaisar yang
sangat berkharisma itu benar-benar murka.
“Jadi…apa yang bisa
kita lakukan sekarang Kakak Xu?” tanya Pangeran Zhu Di saat akhirnya ia membuka
suara. Kepalanya tertunduk menekuni ujung jemari yang tertumpu di pangkuan
memberikan kesan rapuh dan tak berdaya.
Changyi menatap sosok
yang telah seperti adik baginya tersebut. Seulas senyum mengembang saat ia
menangkap kerapuhan yang sangat jarang terlihat dalam diri seorang Pangeran Zhu
Di. Kerapuhan yang menumbuhkan rasa iba dalam hatinya. Sejenak Changyi menghela
nafas sebelum mulai membuka suara.
“Saat ini, sedang
dilakukan beberapa penyelidikan tentang asal racun itu Adik Zhu Di. Ayah Xu Da
telah memohon pada Yang Mulia Kaisar agar menunda pelaksanaan hukuman mati
untuk Adik Chen. Saya berharap semoga siapapun orang yang sesungguhnya bersalah
bisa segera kita ketahui agar Adik Chen terlepas dari hukuman mati” jawab
Changyi membuat Pangeran Zhu Di kembali mengangkat kepalanya dan menatap
sahabatnya. Kali ini, sebuah kerut halus menghilas dahinya.
“Apakah ada titik
terang Kakak Xu? Adakah petunjuk? Aku sangat yakin bukan Adik Chen yang
melakukan kejahatan padaku. Aku sangat mengenalnya. Adik Chen tidak pernah bisa
menyakiti siapapun apakah itu tumbuhan, binatang ataupun manusia. Terlebih
padaku” ujar Pangeran Zhu Di dengan nada sedikit berbisik.
“Ya Adik Zhu Di…”
Changyi mengangguk halus. “Ada sedikit petunjuk yang didapat, namun petunjuk
itu sama sekali belum cukup kuat untuk bisa membebaskan Adik Chen dari hukuman
mati”.
Kerut di sepasang
alis Pangeran Zhu Di berubah menjadi sebuah ekspresi kecewa.
“Padahal ayahku bukan
orang yang suka menunggu lama” Suara Pangeran Zhu Di nyaris sehalus angin saat
mulai membuka suara membuat Changyi semakin merasakan ketidak berdayaan
pangeran muda yang biasa ceria dan lincah tersebut. Sepasang mata Xu Changyi
melembut ketika ia menatap sosok yang duduk di atas ranjang di depannya
tersebut. “Berapa lama Paman Xu Da bisa membuat Yang Mulia Kaisar menunda
pelaksanaan hukuman mati untuk Adik Chen?”
Changyi menarik nafas
panjang dan menggeleng.
“Saya juga tidak tahu
Adik Zhu Di. Tadi malam, Ayah Xu Da mengatakan bahwa nampaknya pelaksanaan
hukuman mati tidak bisa ditunda lebih lama lagi. Tapi, setidaknya kita masih
memiliki waktu hingga beberapa hari yang akan datang untuk mengumpulkan bukti”
ujar Changyi membuat Pangeran Zhu Di kembali menggeliat dan bergerak hendak
turun dari atas ranjangnya.
“Karena itu biarkan
aku mencobanya Kakak Xu…biarkan aku menghadap Yang Mulia Kaisar sekarang” kata
Pangeran Zhu Di yang segera disambut gelengan kepala yang kuat dari Changyi.
Sang Pangeran Keempat mendesah. Ia bisa saja membangkang terhadap perintah
kaisar namun di hadapan Changyi, ia selalu merasa tak memiliki kekuatan untuk
melawan seolah ia benar-benar berhadapan dengan kakak tertua yang sangat
dihormatinya. Hal aneh yang justru tak dirasakannya saat ia berhadapan dengan
Pangeran Zhu Biao maupun pangeran lain yang sungguh-sungguh merupakan saudara sedarah
dan sedaging meski dalam hati ia tetap merasakan kasih sayang terhadap
kakak-kakaknya tersebut.
“Jadi apa yang harus
kulakukan sekarang Kakak Xu?” tanya Pangeran Zhu Di. Sepasang matanya yang
jernih mengerjab. “Aku tidak bisa kehilangan Adik Chen. Aku bisa kehilangan
siapapun kasim di seluruh istana ini tapi tidak dengan Adik Chen”.
“Adik Zhu Di…”
“Yang Mulia Pangeran
Zhu Di…Tuan Muda Xu Changyi…hamba Kasim Anta datang menghadap bersama tabib”
sebuah suara di depan pintu mendadak terdengar membuat kalimat Changyi
terputus.
Changyi menoleh ke
arah pintu sementara Pangeran Zhu Di terlihat sama sekali tak peduli. Wajah
sang pangeran muda itu masih berkerut-kerut dalam campuran cemas dan kecewa
saat Changyi memerintahkan Kasim Anta dan tabib untuk masuk.
“Periksa Pangeran Zhu
Di dan berikan obat agar Pangeran bisa segera pulih” kata Changyi pada tabib
yang berdiri beberapa langkah darinya. Sang tabib yang masih terlihat segar
dalam usianya yang menjelang tua itu membungkukkan tubuhnya.
“Baik Tuan Muda Xu”
jawab si tabib seraya melangkah mendekat
ke arah ranjang begitu Changyi bangkit dari kursinya dan menjauh.
“Kakak Xu mau ke manakah?”
tanya Pangeran Zhu Di saat melihat Changyi berjalan menjauhi ranjang. “Tetaplah
di sini Kakak Xu, jangan pergi”.
Changyi tersenyum dan
menggeleng. “Tidak Adik Zhu Di” jawabnya kemudian. “Saya ada di luar kamar ini.
Anda bisa memerintahkan Paman Anta untuk memanggil jika membutuhkan saya”.
Pangeran Zhu Di masih
menatap Changyi selama beberapa detik seolah mencari kepastian kesungguhan di
wajah Changyi sebelum kemudian mengangguk.
“Baiklah Kakak
Xu…tapi jangan jauh-jauh” ujarnya sesaat kemudian membuat Changyi tertawa namun
segera menganggukkan kepala membuat Pangeran Zhu Di menarik nafas lega.
“Paman Anta, jaga
Pangeran Zhu Di, aku ada di luar kamar ini. Beritahu aku jika ada apa-apa” kata
Changyi saat mengalihkan pandangannya ke arah Kasim Anta yang berdiri dua
langkah di sisinya.
“Baik Tuan Muda Xu”
jawab Kasim Anta seraya membungkukkan tubuhnya.
Changyi merasa
sedikit jengah saat mendapatkan penghormatan dari kasim tua yang sesungguhnya
sangat dihormatinya itu. Bagi Changyi, Kasim Anta lebih terasa seperti orangtua
setelah tahun-tahun yang ia lalui di istana ini. Terlebih, setiap kali ia
mendapatkan kesedihan di awal kehidupannya di istana, Kasim Anta adalah satu
dari sangat sedikit orang yang menunjukkan perhatian padanya dan hal itu
bagaimanapun tak bisa ia lupakan. Karenanya, pemuda rupawan tersebut kemudian
mengulurkan tangan dan menepuk bahu kasim yang mulai memasuki usia tua itu.
Selanjutnya, ruang
luas yang mewah itu menjadi tenang sementara Changyi melangkah ke arah pintu
dan perlahan keluar dari dalam kamar. Hanya tersengar suara pelan dan halus
tabib yang mengucapkan beberapa kalimat tanya pada Pangeran Zhu Di dan segera
dijawab oleh sang pangeran dengan suara ketus.
************
Hari ini cuaca
sangatlah cerah. Andai saja tak ada hal menyedihkan yang menggayuti hati.
Langit nyaris hanya dihiasi warna biru. Meski udara sedikit terasa dingin,
namun semilirnya membawa kesejukan. Changyi menarik nafas dan mencoba
memasukkan semilir angin yang sejuk dingin itu ke ruang dadanya sebanyak
mungkin sambil berharap bahwa rasa dingin dan sejuk itu akan dapat mengurai
beban hatinya. Sejenak, saat ia berada di dalam kamar bersama Pangeran Zhu Di,
rasa sedih yang menyengat itu nyaris tak terasa, tertutup oleh kecemasan yang
jelas dapat dilihatnya di wajah pangeran muda itu.
Namun kini, saat ia
telah berdiri seorang diri di sisi taman maka rasa sedih yang sempat tertekan
selama beberapa saat itu kembali memunculkan diri dan mencengkeram jantungnya
dengan kuat.
Ia masih memiliki
waktu beberapa hari untuk mengumpulkan bukti bahwa Xiao Chen sama sekali tidak
bersalah. Dan Changyi sangat ingin menemukan bukti itu secepatnya. Ia tahu,
pasti ada sesuatu – atau seseorang – yang bisa menjadi bukti bahwa Xiao Chen
tidak bersalah. Dan bukti itu ada di istana ini. Nalurinya mengatakan hal
tersebut dengan sangat jelas. Ia hanya perlu mengaduk sedikit lebih teliti lagi
dan waktu yang hanya beberapa hari ini, akan lebih dari cukup untuknya.
Andai saja ia
mendapat ijin untuk melakukannya!.
Tapi sayang,
keberadaannya sebagai putra dari panglima tertinggi kerajaan membuatnya tak
bisa bergerak untuk saat ini. Tidak tanpa perintah dari Jenderal Xu Da. Tidak
jika ia tak ingin membuka siapa sebenarnya Xiao Chen baginya dan bagaimana
saudaranya itu bisa masuk ke dalam istana dulu melalui sayembara memasak.
Sesuatu rahasia kecil yang sederhana dan sungguh ia tak peduli jika orang akan
mengetahuinya. Namun, rahasia kecil itu menjadi hal besar saat ia memikirkan
sosok ayah angkat yang telah memberikan perlindungan padanya – dan juga pada
Xiao Chen – serta memberinya sebuah keluarga yang utuh. Terbukanya rahasia kecil
yang sederhana itu disaat seperti sekarang, saat Kaisar Hongwu kehilangan
kejernihan penalarannya, hanya akan membuat keadaan menjadi semakin rumit dan
sulit. Sungguh membuatnya merasa tidak berdaya.
Dan Changyi sangat
benci dengan rasa tidak berdaya seperti ini!.
“Tuan Muda Xu?”
sebuah suara terdengar dari arah belakang membuat Changyi seketika menoleh dan
langsung mengenalinya. Itu suara seorang prajurit. Bukan prajurit penjaga di
istana Pangeran Keempat ini melainkan prajurit dari kesatuan yang dipimpin oleh
Perwira Bohai.
“Ada apa?” tanya Changyi
menatap si prajurit.
“Ada pesan dari Tuan
Jenderal Xu Da untuk Tuan Muda Xu” jawab si prajurit setelah membungkukkan
tubuhnya.
Kening Changyi
berkerut. Pesan?. Mendadak, sebuah dugaan masuk ke dalam benaknya membuat pemuda
rupawan itu segera menyahut.
“Cepat katakan
padaku!”.
“Baik Tuan Muda”
jawab si prajurit. “Pesan dari Tuan Jenderal Xu Da bahwa pelaksanaan hukuman
mati untuk Kasim Chen akan dilaksanakan besok”.
Sepasang mata Changyi
terbelalak. Besok? Jadi benar apa yang baru sesaat lalu dikatakan oleh Pangeran
Zhu Di bahwa Kaisar Hongwu memang bukan jenis orang yang suka menunggu!.
Jantung Changyi
serasa diremas dalam kepanikan sekaligus rasa cemas. Apa yang akan dilakukannya
sekarang? Apalagi yang bisa mereka lakukan sekarang untuk menyelamatkan Xiao
Chen? Ayahnya tidak mengatakan agar ia segera pulang ke rumah saat ini namun di
balik pesan yang dibawa oleh prajurit itu, Changyi dapat merasakan bahwa
Jenderal Xu Da menunggunya untuk segera tiba di rumah.
“Kau kembalilah!”
perintah Changyi pada sang prajurit. Kepalanya menoleh sejenak ke arah bangunan
di mana kamar Pangeran Zhu Di berada dan terkejut saat mendapati sesosok tubuh
lain berdiri di sisi taman dalam jarak beberapa langkah darinya. Kasim Anta!.
“Paman Anta?” tegur
Changyi pada sosok yang terlihat berdiri dalam rona memucat. Perhatiannya yang
langsung tertuju pada kasim setia dari istana pangeran keempat itu membuat
Changyi tak lagi memperhatikan saat si prajurit membungkuk ke arahnya dan pergi
meninggalkan taman.
“Tuan Muda Xu…” sahut
Kasim Anta seraya melangkah mendekat.
“Apa yang Paman Anta
lakukan di sini? Kenapa Paman meninggalkan Adik Zhu Di?” tanya Changyi dengan
sepasang alis berkerut saat melihat rona pucat di wajah sang kasim. Apakah
terjadi sesuatu pada Pangeran Keempat?
“Hamba datang untuk
menemui Tuan Muda Xu…” jawab Kasim Anta menatap Changyi. Tatapan mata yang
mengingatkan Changyi pada sebuah lukisan penuh dengan warna buram. Buram oleh
kesedihan. “Pangeran Zhu Di saat ini sedang tidur pulas dan tabib terus
menungguinya”.
Sesaat Changyi
terdiam dan memperhatikan kasim setia yang telah lama dikenalnya itu,
menebak-nebak hal yang membuat warna dalam kedua mata Kasim Anta terlihat
demikian kelabu.
“Apakah Paman
mendengar apa yang dikatakan oleh prajurit tadi?” tanya Changyi kemudian saat
ia menemukan satu dugaan.
Kasim Anta tertunduk
dan perlahan mengangguk sebelum kemudian mengangkat wajahnya kembali dan
menatap ke arah Changyi.
“Apakah itu benar
Tuan Muda Xu?” tanya Kasim Anta dalam gaung yang terdengar jauh dan rapuh.
Changyi menarik
nafas, mencoba mengurai kepanikannya sendiri sementara ia melihat hal lain yang
tentu akan berbahaya bilamana terjadi.
“Itu benar Paman
Anta…” jawab Changyi sambil mengangguk. “Dan karena Paman sudah terlanjur
mendengarnya, aku mohon pada Paman untuk menyimpan hal ini. Jangan sampai Adik
Zhu Di mengetahuinya karena hal itu tidak akan baik untuk kesembuhan Adik Zhu
Di. Apakah Paman Anta mengerti?”.
Kasim Anta terlihat
berusaha menelan ludah dengan susah payah. Tetapi, sesaat kemudian, kepala yang
mulai berhias rambut putih itu mengangguk. “Baik Tuan Muda Xu, hamba mengerti”
sahutnya.
Changyi balas
mengangguk, tanpa senyum yang selama ini selalu ada untuk si kasim tua.
“Bagus, jika begitu
sekarang aku mohon Paman Anta untuk kembali ke dalam kamar dan jagalah Adik Zhu
Di. Mungkin saja pelayan atau prajurit di sini telah pula mendengar berita itu
sehingga aku ingin Paman Anta untuk menjaga agar jangan sampai Adik Zhu Di
mendengarnya. Kelak, biar aku sendiri yang akan memberitahukannya” ujar Changyi.
Kasim Anta tak
menjawab dalam untaian kalimat. Hanya sebuah anggukan samar yang terlihat
sementara sepasang mata yang buram oleh kesedihan itu terus memperhatikan
pemuda yang berdiri di depannya.
“Aku harus pergi
sekarang Paman” kata Changyi lagi seraya menatap ke arah tembok pembatas taman. “Ayah Xu
Da pasti sedang menungguku di rumah”.
Kembali tak ada
jawaban dari mulut Kasim Anta. Kembali pula hanya sebuah anggukan yang
terlihat, namun Changyi tak lagi melihatnya. Kepanikan dan gemuruh rasa sedih
dalam batinnya sendiri telah membuatnya segera melompat dalam gerak yang sangat
cepat. Hanya beberapa detik dan Kasim Anta tak lagi melihat sosok penuh pesona
dalam balutan hanfu berwarna hijau giok tersebut. Apa yang terlihat di mata
sang kasim kemudian hanyalah seleret warna hijau melintas cepat di atas taman
yang luas, melompati tembok pembatas dan kemudian menghilang lenyap,
meninggalkan kesunyian yang membungkus Kasim Anta dalam cekam yang pekat.
Kesunyian yang
membuat waktu seolah terhenti.
Andai saja waktu yang
terhenti ini berada pada titik yang membawa kebahagiaan maka keindahan hari
yang terlukis dalam rona warna-warni taman dan langit pasti akan terhirup dalam
setiap helaan nafas jiwanya.
Namun kini waktu
terhenti pada titik yang paling buram dan menyedihkan. Titik di mana ia tak
bisa melihat satupun jalan lain yang memungkinkan bagi pangeran muda yang
sangat dikasihinya untuk keluar dan kembali pada keceriaan yang sangat
disukainya.
Tak ada jalan lain…
Tak ada pilihan…
Seolah apa yang ada
di depannya dan harus terjadi sesaat lagi adalah sebuah kalimat takdir yang
telah diputuskan dengan mutlak dan di ketok dengan palu sebesar gunung, membuat
Kasim Anta perlahan membalikkan tubuhnya dan berjalan dengan langkah gontai
menuju ke arah kamar Pangeran Zhu Di…
Setidaknya, ia ingin
menatap wajah tampan yang telah diasuhnya sejak masih berwujud bayi merah itu,
dan menyimpan sebanyak-banyaknya dalam ruang kenangan di setiap dinding
jiwanya…
*************