Minggu, 31 Juli 2016

Straight - Episode 7 ( Bagian Sembilan )

“Cepat katakan padaku!” sentak Pangeran Zhu Di seraya memegang bahu Kasim Anta, dengan gerakan nyaris kasar.
Kasim Anta terperanjat dan seketika mengangguk – hal yang dengan segera sangat disesalinya, namun kini ia tak bisa mundur lagi – seraya menatap Pangeran Keempat.
“It..itu memang benar Pangeran” jawab Kasim Anta dengan gugup. “Kasim Chen saat ini ada di penjara”.
Sepasang mata Pangeran Zhu Di semakin lebar membelalak. Tangannya yang mencengkeram bahu Kasim Anta mengerut keras membuat kasim tua itu mulai meringis kesakitan.
“Di penjara mana Adik Chen di tempatkan? Katakan padaku cepat!” sentak Pangeran Zhu Di kemudian.
“Di penjara bawah tanah Pangeran, di ruang paling ujung” sahut Kasim Anta. Wajahnya memucat namun sepasang mata kasim tua itu terlihat menyiratkan kesedihan.
Kedua tangan Pangeran Zhu Di terkulai sementara sepasang matanya nanar menatap melalui bahu Kasim Anta dan jatuh pada dinding di ujung kamar. Ruang penjara bawah tanah adalah tempat yang sangat buruk dan hanya digunakan untuk menempatkan orang-orang dengan kejahatan yang sangat besar. Terlebih ruang penjara yang terletak paling ujung. Ruang tersebut dibuat tanpa jendela, dengan pintu yang sangat sempit dan keadaan di dalamnya sangat gelap tanpa penerangan apapun. Hanya penjahat yang akan dihukum mati saja yang ditempatkan di dalam ruang paling ujung itu.
Dan sekarang kasim kesayangannya tengah berada di ruang yang sangat mengerikan itu. Tak ada hal lain yang bisa disimpulkan selain bahwa…
Xiao Chen akan segera menghadapi hukuman mati!.
Secepat kesadaran itu muncul dalam benak Pangeran Zhu Di, secepat itu pula sang pangeran muda yang terkenal lincah itu bergerak dari ranjangnya. Tangannya merenggut lepas selimut yang semula membungkusnya dan tubuh gagah yang indah itu bersiap melompat dari atas ranjang andai saja Kasim Anta tidak segera memeluk tubuh yang sesungguhnya masih lemah itu agar tidak meninggalkan pembaringannya.
Pangeran Zhu Di memberontak dengan marah saat menyadari lengan-lengan Kasim Anta yang membelenggu tubuhnya hingga membuatnya tak bisa bergerak. Sambil berteriak marah, Pangeran Zhu Di menggeliatkan bahunya dengan gerak tangan menyentak. Sayang sekali bahwa tubuhnya yang lemah bagaimanapun membuat tenaganya tak bisa banyak membantu sehingga, meski Pangeran Zhu Di merasa telah mengeluarkan seluruh kekuatannya, namun hasilnya sangatlah mengecewakan. Tubuh Kasim Anta hanya bergeser sedikit tetapi lengan-lengan yang membelenggu itu tetap melekat dengan kuat.
“Lepaskan aku!...aku harus menemui Yang Mulia Kaisar!. Yang Mulia Kaisar tidak bisa melakukan hal itu pada Adik Chen! Aku tahu Adik Chen sama sekali tidak bersalah! Lepaskan aku!...cepat lepaskan aku!” teriak Pangeran Zhu Di seraya terus memberontak.
“Pangeran…hamba mohon bersabarlah!” ujar Kasim Anta balas berteriak. Tubuhnya mulai berguncang dengan keras akibat daya berontak dari Pangeran Zhu Di. “Saat ini Yang Mulia Kaisar sedang sangat murka…tak ada satu orangpun yang bisa membujuknya bahkan Yang Mulia Ratu”.
“Karena itu aku harus bertemu dengan Yang Mulia Kaisar sekarang! Lepaskan aku!..Cepat lepaskan aku atau aku akan membunuhmu!..Aku tidak bisa kehilangan Adik Chen! Yang Mulia Kaisar tidak boleh melakukan hal ini padaku!” teriak Pangeran Zhu Di dalam bentaknya. Sepasang matanya terlihat merah nanar menunjukkan kemarahan sekaligus kesedihan yang nampak nyata.
Tetapi, getaran kesedihan ternyata lebih dahsyat lagi mengguncang batin Kasim Anta saat ia mendengar kalimat Pangeran Zhu Di. Satu kenyataan yang sesungguhnya sangat mengganggunya selama ini sejak keberadaan Kasim Chen di sisi pangeran termuda yang sangat disayanginya. Kenyataan yang selalu ia tepiskan dengan penalarannya sebagai orangtua, dengan segala prasangka baik yang ia miliki setelah belasan tahun memberikan seluruh waktu dan hatinya untuk mengasuh dan merawat Pangeran Keempat tersebut. Namun, jika boleh jujur, sesungguhnya bagaimanapun besarnya usaha yang ia keluarkan untuk menepis kenyataan pahit yang terbentang di depan matanya, namun tetap saja hal yang menyedihkan itu selalu mengikutinya, mengganggunya, dan membayangi setiap langkahnya, membuatnya seolah tak lagi memiliki sebuah ruang yang lapang sekedar untuk bernafas dengan lega.
Bagaimana bisa ia mengingkari bahwa sesungguhnya, tempatnya di sisi Pangeran Zhu Di telah hilang sejak kehadiran Kasim Chen?
Bagaimana ia bisa menepiskan kenyataan bahwa sesungguhnya ia merasa sangat kehilangan semenjak Pangeran Zhu Di selalu menempatkan segala urusannya pada Kasim Chen sehingga ia nyaris tak pernah lagi mendapat peran apapun di depan Pangeran Keempat. Andaikan pun ada satu atau dua hal yang bisa ia lakukan untuk pangeran yang sangat dicintainya itu, maka selalu hal tersebut terjadi karena Kasim Chen sedang menjalankan tugas lain hingga tak ada siapapun di sisi Pangeran Zhu Di selain dirinya.
Dan kini, dalam kekalutannya, Pangeran Zhu Di mengeluarkan kalimat yang semakin memperjelas kenyataan pahit yang mesti dihadapinya.
Bahwa Pangeran Zhu Di tak bisa hidup dengan menanggung kehilangan Kasim Chen!.
Bahwa Pangeran Zhu Di mampu untuk membunuhnya demi agar bisa lepas keluar dari kamar ini dan menyelamatkan Kasim Chen!
Sepasang mata Kasim Anta mengerjab saat rasa panas dengan cepat menyeruak memenuhi pelupuk kemudian menyembulkan sebuah aliran hangat menuruni dua pipinya.
Kepedihan yang menyengat sampai ke jantung membuat Kasim Anta sesaat terlena hingga saat Pangeran Zhu Di menyentak sekali lagi dengan kedua lengannya, maka kasim tua itu terpelanting dan jatuh terduduk ke atas lantai.
Kesempatan yang tak disia-siakan oleh Pangeran Zhu Di untuk melompat ke arah pintu. Kemudian, meski dengan gerakan lemah dan tubuh terhuyung nyaris jatuh, sang pangeran muda yang tampan itu mengulurkan tangannya berusaha meraih lembar daun pintu di depannya. Kasim Anta yang melihatnya terlihat sangat panik dan berusaha mengayunkan tangannya meraih ujung hanfu Pangeran Zhu Di namun gagal. Kasim tua yang telah lama mengabdi pada Kaisar Hongwu itu bangkit dari lantai dan berlari ke arah pangeran asuhannya tepat disaat jemari tangan Pangeran Zhu Di telah berhasil meraih pintu dan menariknya. Sepasang mata Kasim Anta membelalak dengan rasa takut yang besar. Ia tahu, bahwa keluarnya Pangeran Zhu Di dari kamarnya untuk menemui Kaisar Hongwu pasti akan menjadikan kemurkaan sang kaisar justru semakin besar. Dan hal tersebut bukanlah sesuatu yang baik untuk semua orang termasuk Pangeran Zhu Di sendiri. Karena itu, begitu ia tahu tak akan bisa mencegah pangeran kesayangannya tetap bertahan di dalam kamar, maka sang kasim setia itu segera mengeluarkan seluruh tenaganya.
“Prajurit!...tahan Pangeran Zhu Di!...perintah dari Yang Mulia Kaisar agar Pangeran Zhu Di tetap di dalam kamar sampai benar-benar sembuh!” teriak Kasim Anta lantang membuat bukan saja para prajurit yang tengah berjaga di luar kamar namun juga Pangeran Zhu Di yang tengah bersiap melangkah keluar dari kamar menjadi kaget.
Seketika, langkah kaki Pangeran Zhu Di terhenti dan pemuda tampan itu menoleh ke arah kasim tua yang telah lama bersamanya. Pandangan matanya menyiratkan rasa heran sekaligus marah yang mengaduk menjadi satu. Keheranan saat ia melihat kepanikan yang bukanlah sebuah kepura-puraan di wajah kasimnya. Kepanikan berbungkus air mata yang mengalir deras di pipi Kasim Anta membuat Pangeran Zhu Di tertegun. Kapan terakhir kali ia melihat kasim yang seringkali membuatnya jengkel itu menitikkan airmata? Rasanya, seumur hidup hingga detik sekarang ini, belum pernah sekalipun ia melihat Kasim Anta menangis meski sesedih apapun hati lelaki yang mengasuhnya sejak ia lahir ke dunia itu.
Lalu, hari ini ia melihat lelaki yang telah menjelang usia tuanya itu menangis. Bukan hanya setitik dua titik air mata melainkan linangan air mata yang mengalir deras di kedua pipi. Bagaimanapun juga, sebesar apapun kemarahan Pangeran Zhu Di pada kasimnya, melihat air mata yang mengalir deras serta gurat kesedihan yang nampak sangat nyata di kedua mata yang mulai berhias warna keabu-abuan itu, tak urung membuat hatinya tergetar juga hingga sang pangeran bertubuh gagah itu tak menyadari saat beberapa prajurit telah berdiri di sekitarnya sementara beberapa prajurit lain berjaga di depan pintu kamar yang terbuka lebar. Pandangan mata Pangeran Zhu Di baru teralih dari wajah Kasim Anta saat ia mendengar suara  yang sangat dikenalnya disertai sentuhan lembut pada bahu.
“Adik Zhu Di…Anda mau kemanakah? Yang Mulia Kaisar melarang Anda untuk meninggalkan kamar hingga Anda benar-benar sembuh” tegur suara yang sangat akrab di telinga Pangeran Zhu Di tersebut.
“Kakak Xu…” jawab Pangeran Zhu Di seraya menatap sosok yang berdiri tepat di sisi kanannya. Sekilas ia menatap ke sekeliling dan melihat para prajurit yang berdiri dalam kondisi siaga. “Aku ingin menemui Yang Mulia Kaisar. Adik Chen tidak bersalah, aku tahu benar hal itu. Yang Mulia Kaisar tidak boleh menjatuhkan tangan kejam pada Adik Chen tanpa menyelidiki lebih dulu. Aku tidak bisa kehilangan Adik Chen. Kakak Xu tahu itu bukan? Tolong jangan halangi aku Kakak Xu. Aku harus bertemu dengan Yang Mulia Kaisar sekarang karena…”
Kalimat Pangeran Zhu Di terputus saat mendadak ia merasakan sebuah sapuan halus pada bahu atas dan tengkuknya. Sapuan tangan yang membawa hawa sejuk namun dengan segera membuat tubuhnya melemas seolah tak satupun tulang masih tertinggal di balik kulit daging dan menyangga kekuatannya. Tubuh Pangeran Zhu Di merubuh tepat ke arah sosok gagah lain yang segera menyambutnya.
Kasim Anta berlari mendekat dan menatap Pangeran Zhu Di dengan pandangan cemas. Tatapannya kemudian beralih ke arah sosok mempesona yang menopang tubuh Pangeran Zhu Di di bahunya.
“Tuan Muda Xu Changyi, ada apa dengan Pangeran Zhu Di?” tanya Kasim Anta pada pemuda rupawan di depannya.
“Tidak apa-apa Paman Anta…tolong Paman panggilkan tabib, aku akan membawa Pangeran Zhu Di ke pembaringannya” kata Xu Changyi.
“Baik Tuan Muda Xu” jawab Kasim Anta segera mengangguk. Tanpa menunggu lebih lama, setelah membungkukkan tubuhnya pada Changyi, kasim setia itu segera berlari keluar. Sekilas, lengannya terangkat dan menyapu kedua pipinya yang basah.
Sementara itu, Changyi yang telah meletakkan kembali Pangeran Zhu Di di atas ranjangnya, terlihat kembali menyapukan tangannya ke balik punggung pangeran keempat. Hanya sesaat sesudahnya, terlihat Pangeran Zhu Di bergerak dan menggeliatkan tubuhnya. Kedua matanya mencari-cari dan terhenti pada sosok yang duduk di sisi ranjangnya, di atas sebuah kursi yang ditarik mendekat.
“Kakak Xu…kenapa kau melumpuhkan aku? Memangnya apa salahku padamu” tanya Pangeran Zhu Di dengan sepasang alis berkerut membuat Changyi seketika tertawa.
Pangeran Zhu Di langsung cemberut melihat tawa Changyi.
“Kakak Xu bahkan menertawakan aku” sungut Pangeran Zhu Di seraya menghembuskan nafas kesal. Pandangannya lurus menatap atap ranjangnya yang berukir indah. Hanya sesaat, karena kemudian sepasang mata yang jernih dan berbinar cerdas itu segera beralih pada sosok sahabatnya yang masih duduk di atas kursi di sisi ranjang dengan sisa tawanya. “Apakah Kakak Xu sudah tahu apa yang terjadi dengan Adik Chen?” tanyanya kemudian.
Tawa Changyi melenyap dan berganti dengan seulas senyum. Pangeran Zhu Di bersumpah bahwa meski senyum sahabatnya itu terlihat sangat indah seperti biasanya, namun di balik senyum yang diam-diam membuatnya iri itu tersembunyi sebuah gurat kedukaan yang sangat dalam.
“Ya Adik Zhu Di, saya tahu apa yang terjadi dengan Adik Chen” jawab Changyi sembari mengangguk.
“Jika begitu, kenapa Kakak Xu terlihat sangat tenang? Kenapa Kakak justru mencegahku untuk menemui Yang Mulia Kaisar?” sepasang alis tebal bagus Pangeran Zhu Di berkerut sementara aliran pertanyaan meluncur dari bibirnya yang masih memucat.
Changyi menarik nafas panjang. Senyum masih bertahan di bibirnya.
“Karena Adik Zhu Di…” jawabnya kemudian. “Keadaan Yang Mulia Kaisar saat ini sedang sangat murka. Tidak ada seorangpun lagi yang bisa mengatakan sesuatu dan Yang Mulia Kaisar akan mendengarnya”.
“Bahkan seandainya orang itu adalah aku?” tanya Pangeran Zhu Di dengan nada sedikit meninggi.
Changyi mengangguk tegas membuat kerut di alis Pangeran Zhu Di semakin mendalam.
“Ah…aku tidak percaya!” dengus Pangeran Zhu Di seraya berusaha bangkit duduk. Changyi mengulurkan tangannya dan membantu pangeran termuda itu untuk bersandar pada kepala ranjang kemudian kembali ke atas kursinya sementara Pangeran Zhu Di menatap sahabatnya. “Yang Mulia Kaisar belum pernah tidak mendengarkan aku jadi mustahil kali ini kata-kataku tidak akan didengarnya. Lagipula, Yang Mulia Kaisar marah karena ada orang yang meletakkan racun ke dalam makananku bukan?”
“Adik Zhu Di, saya kira hal sesungguhnya yang membuat Yang Mulia Kaisar murka bukanlah semata adanya racun dalam hidangan anda melainkan karena bagaimanapun, perbuatan itu dilakukan di depan Yang Mulia Kaisar dan Yang Mulia Ratu serta demikian banyak tamu kerajaan. Sama saja, apa yang dilakukan oleh orang yang meletakkan racun ke dalam hidangan Adik Zhu Di sesungguhnya bukan hanya bermaksud mencelakakan anda melainkan juga mempermalukan Yang Mulia Kaisar dan Ratu sebagai tuan rumah. Saya kira, siapapun orangnya yang mengalami hal sebagaimana Yang Mulia Kaisar pastilah akan sangat murka. Saya berharap, anda bisa memahami hal ini Adik Zhu Di” tutur Changyi membuat Pangeran Zhu Di terdiam.
Sejenak ruang kamar menjadi hening sementara Pangeran Zhu Di tertunduk. Benaknya mencerna dan mengurai setiap untaian kata-kata yang didengarnya dari mulut Changyi. Dan dalam sekejab, ia memang menemukan kebenarannya. Kebenaran tentang alasan sesungguhnya hingga Kaisar Hongwu sangatlah marah dan tak lagi mau mendengarkan siapapun. Kebenaran yang dapat dirasakannya saat ia mencoba menempatkan dirinya pada posisi Kaisar Hongwu saat ini.
Bahwa sesungguhnya – andai ia berdiri sebagai Kaisar Hongwu – hal paling menyakitkan bukanlah bila ia melihat putra kesayangannya menggeliat kesakitan tepat di depan matanya melainkan bahwa kejahatan itu dilakukan justru di hadapan seluruh tamu kerajaan di mana ia berdiri sebagai tuan rumah. Peristiwa yang terjadi di ruang aula itu lebih terasakan sebagai sebuah tamparan yang sangat keras bukan saja bagi kehormatan sang kaisar sendiri melainkan bagi Kerajaan Ming. Pastilah kini, peristiwa yang terjadi di ruang aula itu akan berdengung di seluruh penjuru mata angin, di kerajaan-kerajaan lain baik kerajaan sahabat maupun kerajaan yang menjadi pesaing dan bahkan lawan.  Lalu, apakah lagi yang lebih memalukan bagi Kaisar Hongwu selain anggapan bahwa ia tak memiliki kekuatan hingga sebuah kejahatan terhadap anggota keluarga kerajaan bisa terjadi di depan mata dan di hadapan sekian banyak orang?.
Pangeran Zhu Di menghela nafas panjang manakala sebuah pengertian merasuk ke dalam batinnya dan mulai mengiris rasa iba terhadap sang kaisar. Bahkan kepedihan Kaisar Hongwu sebagai ayah kandungnya sendiri yang harus melihat putra termudanya menggeliat sekarat mungkin telah jauh-jauh tertepis oleh besarnya rasa malu yang menghantam di depan sekian banyak tamu.
Andai ia berada di posisi ayahnya itu saat ini, bisakah ia meredam kemarahan? Rasanya akan sangat sulit sekali.
Lalu, ketika pemahaman yang merasuk ke dalam penalaran itu mulai meresap di lubuk hatinya, mendadak Pangeran Zhu Di merasakan kesedihan ganda yang membuatnya tidak berdaya. Kesedihan karena ia sungguh yakin bahwa Xiao Chen tidak bersalah atas keberadaan racun dalam hidangan yang disantapnya – meski ia belum memiliki apapun untuk membuktikan keyakinannya itu – serta pemahaman akan hal sesungguhnya yang menjadi beban dalam hati ayahnya hingga sang kaisar yang sangat berkharisma itu benar-benar murka.
“Jadi…apa yang bisa kita lakukan sekarang Kakak Xu?” tanya Pangeran Zhu Di saat akhirnya ia membuka suara. Kepalanya tertunduk menekuni ujung jemari yang tertumpu di pangkuan memberikan kesan rapuh dan tak berdaya.
Changyi menatap sosok yang telah seperti adik baginya tersebut. Seulas senyum mengembang saat ia menangkap kerapuhan yang sangat jarang terlihat dalam diri seorang Pangeran Zhu Di. Kerapuhan yang menumbuhkan rasa iba dalam hatinya. Sejenak Changyi menghela nafas sebelum mulai membuka suara.
“Saat ini, sedang dilakukan beberapa penyelidikan tentang asal racun itu Adik Zhu Di. Ayah Xu Da telah memohon pada Yang Mulia Kaisar agar menunda pelaksanaan hukuman mati untuk Adik Chen. Saya berharap semoga siapapun orang yang sesungguhnya bersalah bisa segera kita ketahui agar Adik Chen terlepas dari hukuman mati” jawab Changyi membuat Pangeran Zhu Di kembali mengangkat kepalanya dan menatap sahabatnya. Kali ini, sebuah kerut halus menghilas dahinya.
“Apakah ada titik terang Kakak Xu? Adakah petunjuk? Aku sangat yakin bukan Adik Chen yang melakukan kejahatan padaku. Aku sangat mengenalnya. Adik Chen tidak pernah bisa menyakiti siapapun apakah itu tumbuhan, binatang ataupun manusia. Terlebih padaku” ujar Pangeran Zhu Di dengan nada sedikit berbisik.
“Ya Adik Zhu Di…” Changyi mengangguk halus. “Ada sedikit petunjuk yang didapat, namun petunjuk itu sama sekali belum cukup kuat untuk bisa membebaskan Adik Chen dari hukuman mati”.
Kerut di sepasang alis Pangeran Zhu Di berubah menjadi sebuah ekspresi kecewa.
“Padahal ayahku bukan orang yang suka menunggu lama” Suara Pangeran Zhu Di nyaris sehalus angin saat mulai membuka suara membuat Changyi semakin merasakan ketidak berdayaan pangeran muda yang biasa ceria dan lincah tersebut. Sepasang mata Xu Changyi melembut ketika ia menatap sosok yang duduk di atas ranjang di depannya tersebut. “Berapa lama Paman Xu Da bisa membuat Yang Mulia Kaisar menunda pelaksanaan hukuman mati untuk Adik Chen?”
Changyi menarik nafas panjang dan menggeleng.
“Saya juga tidak tahu Adik Zhu Di. Tadi malam, Ayah Xu Da mengatakan bahwa nampaknya pelaksanaan hukuman mati tidak bisa ditunda lebih lama lagi. Tapi, setidaknya kita masih memiliki waktu hingga beberapa hari yang akan datang untuk mengumpulkan bukti” ujar Changyi membuat Pangeran Zhu Di kembali menggeliat dan bergerak hendak turun dari atas ranjangnya.
“Karena itu biarkan aku mencobanya Kakak Xu…biarkan aku menghadap Yang Mulia Kaisar sekarang” kata Pangeran Zhu Di yang segera disambut gelengan kepala yang kuat dari Changyi. Sang Pangeran Keempat mendesah. Ia bisa saja membangkang terhadap perintah kaisar namun di hadapan Changyi, ia selalu merasa tak memiliki kekuatan untuk melawan seolah ia benar-benar berhadapan dengan kakak tertua yang sangat dihormatinya. Hal aneh yang justru tak dirasakannya saat ia berhadapan dengan Pangeran Zhu Biao maupun pangeran lain yang sungguh-sungguh merupakan saudara sedarah dan sedaging meski dalam hati ia tetap merasakan kasih sayang terhadap kakak-kakaknya tersebut.
“Jadi apa yang harus kulakukan sekarang Kakak Xu?” tanya Pangeran Zhu Di. Sepasang matanya yang jernih mengerjab. “Aku tidak bisa kehilangan Adik Chen. Aku bisa kehilangan siapapun kasim di seluruh istana ini tapi tidak dengan Adik Chen”.
“Adik Zhu Di…”
“Yang Mulia Pangeran Zhu Di…Tuan Muda Xu Changyi…hamba Kasim Anta datang menghadap bersama tabib” sebuah suara di depan pintu mendadak terdengar membuat kalimat Changyi terputus.
Changyi menoleh ke arah pintu sementara Pangeran Zhu Di terlihat sama sekali tak peduli. Wajah sang pangeran muda itu masih berkerut-kerut dalam campuran cemas dan kecewa saat Changyi memerintahkan Kasim Anta dan tabib untuk masuk.
“Periksa Pangeran Zhu Di dan berikan obat agar Pangeran bisa segera pulih” kata Changyi pada tabib yang berdiri beberapa langkah darinya. Sang tabib yang masih terlihat segar dalam usianya yang menjelang tua itu membungkukkan tubuhnya.
“Baik Tuan Muda Xu” jawab si tabib  seraya melangkah mendekat ke arah ranjang begitu Changyi bangkit dari kursinya dan menjauh.
“Kakak Xu mau ke manakah?” tanya Pangeran Zhu Di saat melihat Changyi berjalan menjauhi ranjang. “Tetaplah di sini Kakak Xu, jangan pergi”.
Changyi tersenyum dan menggeleng. “Tidak Adik Zhu Di” jawabnya kemudian. “Saya ada di luar kamar ini. Anda bisa memerintahkan Paman Anta untuk memanggil jika membutuhkan saya”.
Pangeran Zhu Di masih menatap Changyi selama beberapa detik seolah mencari kepastian kesungguhan di wajah Changyi sebelum kemudian mengangguk.
“Baiklah Kakak Xu…tapi jangan jauh-jauh” ujarnya sesaat kemudian membuat Changyi tertawa namun segera menganggukkan kepala membuat Pangeran Zhu Di menarik nafas lega.
“Paman Anta, jaga Pangeran Zhu Di, aku ada di luar kamar ini. Beritahu aku jika ada apa-apa” kata Changyi saat mengalihkan pandangannya ke arah Kasim Anta yang berdiri dua langkah di sisinya.
“Baik Tuan Muda Xu” jawab Kasim Anta seraya membungkukkan tubuhnya.
Changyi merasa sedikit jengah saat mendapatkan penghormatan dari kasim tua yang sesungguhnya sangat dihormatinya itu. Bagi Changyi, Kasim Anta lebih terasa seperti orangtua setelah tahun-tahun yang ia lalui di istana ini. Terlebih, setiap kali ia mendapatkan kesedihan di awal kehidupannya di istana, Kasim Anta adalah satu dari sangat sedikit orang yang menunjukkan perhatian padanya dan hal itu bagaimanapun tak bisa ia lupakan. Karenanya, pemuda rupawan tersebut kemudian mengulurkan tangan dan menepuk bahu kasim yang mulai memasuki usia tua itu.
Selanjutnya, ruang luas yang mewah itu menjadi tenang sementara Changyi melangkah ke arah pintu dan perlahan keluar dari dalam kamar. Hanya tersengar suara pelan dan halus tabib yang mengucapkan beberapa kalimat tanya pada Pangeran Zhu Di dan segera dijawab oleh sang pangeran dengan suara ketus.
************
Hari ini cuaca sangatlah cerah. Andai saja tak ada hal menyedihkan yang menggayuti hati. Langit nyaris hanya dihiasi warna biru. Meski udara sedikit terasa dingin, namun semilirnya membawa kesejukan. Changyi menarik nafas dan mencoba memasukkan semilir angin yang sejuk dingin itu ke ruang dadanya sebanyak mungkin sambil berharap bahwa rasa dingin dan sejuk itu akan dapat mengurai beban hatinya. Sejenak, saat ia berada di dalam kamar bersama Pangeran Zhu Di, rasa sedih yang menyengat itu nyaris tak terasa, tertutup oleh kecemasan yang jelas dapat dilihatnya di wajah pangeran muda itu.
Namun kini, saat ia telah berdiri seorang diri di sisi taman maka rasa sedih yang sempat tertekan selama beberapa saat itu kembali memunculkan diri dan mencengkeram jantungnya dengan kuat.
Ia masih memiliki waktu beberapa hari untuk mengumpulkan bukti bahwa Xiao Chen sama sekali tidak bersalah. Dan Changyi sangat ingin menemukan bukti itu secepatnya. Ia tahu, pasti ada sesuatu – atau seseorang – yang bisa menjadi bukti bahwa Xiao Chen tidak bersalah. Dan bukti itu ada di istana ini. Nalurinya mengatakan hal tersebut dengan sangat jelas. Ia hanya perlu mengaduk sedikit lebih teliti lagi dan waktu yang hanya beberapa hari ini, akan lebih dari cukup untuknya.
Andai saja ia mendapat ijin untuk melakukannya!.
Tapi sayang, keberadaannya sebagai putra dari panglima tertinggi kerajaan membuatnya tak bisa bergerak untuk saat ini. Tidak tanpa perintah dari Jenderal Xu Da. Tidak jika ia tak ingin membuka siapa sebenarnya Xiao Chen baginya dan bagaimana saudaranya itu bisa masuk ke dalam istana dulu melalui sayembara memasak. Sesuatu rahasia kecil yang sederhana dan sungguh ia tak peduli jika orang akan mengetahuinya. Namun, rahasia kecil itu menjadi hal besar saat ia memikirkan sosok ayah angkat yang telah memberikan perlindungan padanya – dan juga pada Xiao Chen – serta memberinya sebuah keluarga yang utuh. Terbukanya rahasia kecil yang sederhana itu disaat seperti sekarang, saat Kaisar Hongwu kehilangan kejernihan penalarannya, hanya akan membuat keadaan menjadi semakin rumit dan sulit. Sungguh membuatnya merasa tidak berdaya.
Dan Changyi sangat benci dengan rasa tidak berdaya seperti ini!.
“Tuan Muda Xu?” sebuah suara terdengar dari arah belakang membuat Changyi seketika menoleh dan langsung mengenalinya. Itu suara seorang prajurit. Bukan prajurit penjaga di istana Pangeran Keempat ini melainkan prajurit dari kesatuan yang dipimpin oleh Perwira Bohai.
“Ada apa?” tanya Changyi menatap si prajurit.
“Ada pesan dari Tuan Jenderal Xu Da untuk Tuan Muda Xu” jawab si prajurit setelah membungkukkan tubuhnya.
Kening Changyi berkerut. Pesan?. Mendadak, sebuah dugaan masuk ke dalam benaknya membuat pemuda rupawan itu segera menyahut.
“Cepat katakan padaku!”.
“Baik Tuan Muda” jawab si prajurit. “Pesan dari Tuan Jenderal Xu Da bahwa pelaksanaan hukuman mati untuk Kasim Chen akan dilaksanakan besok”.
Sepasang mata Changyi terbelalak. Besok? Jadi benar apa yang baru sesaat lalu dikatakan oleh Pangeran Zhu Di bahwa Kaisar Hongwu memang bukan jenis orang yang suka menunggu!.
Jantung Changyi serasa diremas dalam kepanikan sekaligus rasa cemas. Apa yang akan dilakukannya sekarang? Apalagi yang bisa mereka lakukan sekarang untuk menyelamatkan Xiao Chen? Ayahnya tidak mengatakan agar ia segera pulang ke rumah saat ini namun di balik pesan yang dibawa oleh prajurit itu, Changyi dapat merasakan bahwa Jenderal Xu Da menunggunya untuk segera tiba di rumah.
“Kau kembalilah!” perintah Changyi pada sang prajurit. Kepalanya menoleh sejenak ke arah bangunan di mana kamar Pangeran Zhu Di berada dan terkejut saat mendapati sesosok tubuh lain berdiri di sisi taman dalam jarak beberapa langkah darinya. Kasim Anta!.
“Paman Anta?” tegur Changyi pada sosok yang terlihat berdiri dalam rona memucat. Perhatiannya yang langsung tertuju pada kasim setia dari istana pangeran keempat itu membuat Changyi tak lagi memperhatikan saat si prajurit membungkuk ke arahnya dan pergi meninggalkan taman.
“Tuan Muda Xu…” sahut Kasim Anta seraya melangkah mendekat.
“Apa yang Paman Anta lakukan di sini? Kenapa Paman meninggalkan Adik Zhu Di?” tanya Changyi dengan sepasang alis berkerut saat melihat rona pucat di wajah sang kasim. Apakah terjadi sesuatu pada Pangeran Keempat?
“Hamba datang untuk menemui Tuan Muda Xu…” jawab Kasim Anta menatap Changyi. Tatapan mata yang mengingatkan Changyi pada sebuah lukisan penuh dengan warna buram. Buram oleh kesedihan. “Pangeran Zhu Di saat ini sedang tidur pulas dan tabib terus menungguinya”.
Sesaat Changyi terdiam dan memperhatikan kasim setia yang telah lama dikenalnya itu, menebak-nebak hal yang membuat warna dalam kedua mata Kasim Anta terlihat demikian kelabu.
“Apakah Paman mendengar apa yang dikatakan oleh prajurit tadi?” tanya Changyi kemudian saat ia menemukan satu dugaan.
Kasim Anta tertunduk dan perlahan mengangguk sebelum kemudian mengangkat wajahnya kembali dan menatap ke arah Changyi.
“Apakah itu benar Tuan Muda Xu?” tanya Kasim Anta dalam gaung yang terdengar jauh dan rapuh.
Changyi menarik nafas, mencoba mengurai kepanikannya sendiri sementara ia melihat hal lain yang tentu akan berbahaya bilamana terjadi.
“Itu benar Paman Anta…” jawab Changyi sambil mengangguk. “Dan karena Paman sudah terlanjur mendengarnya, aku mohon pada Paman untuk menyimpan hal ini. Jangan sampai Adik Zhu Di mengetahuinya karena hal itu tidak akan baik untuk kesembuhan Adik Zhu Di. Apakah Paman Anta mengerti?”.
Kasim Anta terlihat berusaha menelan ludah dengan susah payah. Tetapi, sesaat kemudian, kepala yang mulai berhias rambut putih itu mengangguk. “Baik Tuan Muda Xu, hamba mengerti” sahutnya.
Changyi balas mengangguk, tanpa senyum yang selama ini selalu ada untuk si kasim tua.
“Bagus, jika begitu sekarang aku mohon Paman Anta untuk kembali ke dalam kamar dan jagalah Adik Zhu Di. Mungkin saja pelayan atau prajurit di sini telah pula mendengar berita itu sehingga aku ingin Paman Anta untuk menjaga agar jangan sampai Adik Zhu Di mendengarnya. Kelak, biar aku sendiri yang akan memberitahukannya” ujar Changyi.
Kasim Anta tak menjawab dalam untaian kalimat. Hanya sebuah anggukan samar yang terlihat sementara sepasang mata yang buram oleh kesedihan itu terus memperhatikan pemuda yang berdiri di depannya.
“Aku harus pergi sekarang Paman” kata Changyi lagi seraya  menatap ke arah tembok pembatas taman. “Ayah Xu Da pasti sedang menungguku di rumah”.
Kembali tak ada jawaban dari mulut Kasim Anta. Kembali pula hanya sebuah anggukan yang terlihat, namun Changyi tak lagi melihatnya. Kepanikan dan gemuruh rasa sedih dalam batinnya sendiri telah membuatnya segera melompat dalam gerak yang sangat cepat. Hanya beberapa detik dan Kasim Anta tak lagi melihat sosok penuh pesona dalam balutan hanfu berwarna hijau giok tersebut. Apa yang terlihat di mata sang kasim kemudian hanyalah seleret warna hijau melintas cepat di atas taman yang luas, melompati tembok pembatas dan kemudian menghilang lenyap, meninggalkan kesunyian yang membungkus Kasim Anta dalam cekam yang pekat.
Kesunyian yang membuat waktu seolah terhenti.
Andai saja waktu yang terhenti ini berada pada titik yang membawa kebahagiaan maka keindahan hari yang terlukis dalam rona warna-warni taman dan langit pasti akan terhirup dalam setiap helaan nafas jiwanya.
Namun kini waktu terhenti pada titik yang paling buram dan menyedihkan. Titik di mana ia tak bisa melihat satupun jalan lain yang memungkinkan bagi pangeran muda yang sangat dikasihinya untuk keluar dan kembali pada keceriaan yang sangat disukainya.
Tak ada jalan lain…
Tak ada pilihan…
Seolah apa yang ada di depannya dan harus terjadi sesaat lagi adalah sebuah kalimat takdir yang telah diputuskan dengan mutlak dan di ketok dengan palu sebesar gunung, membuat Kasim Anta perlahan membalikkan tubuhnya dan berjalan dengan langkah gontai menuju ke arah kamar Pangeran Zhu Di…
Setidaknya, ia ingin menatap wajah tampan yang telah diasuhnya sejak masih berwujud bayi merah itu, dan menyimpan sebanyak-banyaknya dalam ruang kenangan di setiap dinding jiwanya…
*************

Minggu, 24 Juli 2016

Straight - Episode 7 ( Bagian Delapan )

“Pergi kalian!...sudah kukatakan jangan ganggu aku!” teriak Putri Mingxia seraya melemparkan sebuah mangkuk ke arah beberapa dayang di depannya. Wajahnya yang jelita terlihat pias oleh airmata.
Sementara, dayang-dayang yang berdiri di depan sang putri mahkota tersebut terlihat ketakutan. Rasa takut yang berbaur dalam kecemasan melihat kekalutan dalam diri putri yang baru saja menjadi bagian dari keluarga kaisar itu semakin besar dan nampaknya semakin tak mampu lagi dikendalikan oleh kesantunan Putri Mingxia sebagai seorang calon pewaris tahta.
Namun, sebesar apapun kecemasan mereka melihat Putri Mahkota, pada kenyataannya tak ada lagi yang bisa mereka lakukan. Tidak sebab kekuasaan mereka tak lebih dari kekuatan para dayang istana.
Tetapi…mereka juga mengerti hal apa sesungguhnya yang menyebabkan kekalutan di wajah Putri Mingxia yang mestinya tengah diliputi kebahagiaan setelah kini resmi menjadi istri dari Pangeran Zhu Biao tersebut..
Lima hari berlalu sejak ditangkapnya Kasim Chen..
Pangeran Zhu Di yang masih harus melawan sisa-sisa racun dalam tubuhnya telah terbangun dari ketidaksadarannya. Kabar tersebut menghembus melalui para tabib yang merawat Sang Pangeran Keempat dan menjadi satu kabar gembira yang disambut dengan penuh kegembiraan bukan hanya oleh Kaisar Hongwu dan Permaisuri Ma namun juga seluruh keluarga kaisar, termasuk Pangeran Mahkota Zhu Biao.
Pangeran Zhu Biao yang memutuskan untuk tinggal di istana Pangeran Zhu Di, menepiskan malam pengantinnya bersama Putri Mingxia yang telah diatur oleh cenayang istana sebagai malam baik untuk mendapatkan keturunan. Dan penolakan dari Pangeran Mahkota tersebut menjadi hal lain yang hangat diperbincangkan selain sakitnya Pangeran Zhu Di. Bukan hanya karena keputusan Sang Putra Mahkota itu merupakan hal pertama yang terjadi di istana, namun juga berhembus kabar bahwa enggannya Pangeran Zhu Biao untuk menyatu dengan Putri Mingxia adalah karena kehadiran selir persembahan Pangeran Zhu Di. Rupanya, bukan hanya Kaisar Hongwu dan Putri Mingxia saja yang menangkap binar kebahagiaan di mata Pangeran Zhu Biao saat Pangeran Keempat mempersembahkan satu selir dalam tandu tertutup di ruang aula, namun juga puluhan pasang mata lain yang hadir dalam ruang aula. Hal yang segera menjadi api yang menyulut berhembusnya kabar tak sedap saat mendadak Pangeran Zhu Biao menolak malam pengantinya dengan Putri Mingxia, bahkan setelah berhari-hari kemudian sejak upacara pernikahan selesai dilakukan.
Dan sesungguhnya, hal itulah yang menyebabkan kekalutan dalam hati Putri Mingxia saat ini. Rasa cemburu yang telah mulai memercik dalam hatinya sejak ia melihat binar bahagia di kedalaman mata Pangeran Zhu Biao kini benar-benar berkobar menjadi nyala api yang menghanguskan kesadaran penalarannya sebagai seorang putri bangsawan yang semestinya menunjukkan kebesaran hati dan sopan santun. Ia, yang telah lama memendam rasa cinta pada putra tertua Kaisar Hongwu sejak masa kanak-kanak, menanti masa hingga ia memiliki kesempatan untuk berdiri di sisi sosok yang dipujanya dalam harap bercampur kecemasan, kini harus menerima kekalahan dalam sekejab mata. Oleh sosok yang bahkan belum ia lihat bagaimana wujudnya karena selir persembahan itu tertutup di dalam tandu bertirai rapat. Dalam kecamuk kecewa, cemburu dan kepedihan rasa tertolak, hati Puteri Mingxia masih pula diguncang oleh keinginan yang sangat besar untuk  mengetahui siapa adanya orang yang tersembunyi di balik tirai tandu itu.
Siapa dia?
Darimana asalnya?
Apakah ia juga seorang gadis bangsawan sebagaimana dirinya? Jika benar, apakah jabatan keluarganya? Lebih tinggi manakah dengan kedudukan ayahnya?
Lalu, apakah gadis itu berparas cantik? Apakah kecantikannya melebihi dirinya?
Jika sampai Pangeran Zhu Biao bisa demikian jatuh hati pada gadis dalam tandu itu, maka siapapun adanya ia, pastilah memiliki kecantikan yang luar biasa.
Dan adanya dugaan itu semakin mengobarkan kepedihan dan luka dalam hati Puteri Mingxia. Kepedihan yang kemudian bercampur dengan kemarahan manakala ia mengingat pada Pangeran Zhu Di yang dianggapnya sebagai penyebab semua kehancuran justru disaat ia telah berada demikian dekat dengan kebahagiaan yang lama diimpikannya.
Karena itu, adanya berita bahwa Pangeran Zhu Di telah terbangun dari tidurnya sama sekali tidak mendapat perhatian dari Sang Puteri Mahkota yang tengah patah hati tersebut dan malah justru semakin mengobarkan kebenciannya pada pangeran termuda tersebut. Lebih benci lagi saat ia mendengar bahwa Pangeran Mahkota yang tak pernah sekalipun mengunjunginya sejak hari pernikahan mereka itu, ternyata memilih untuk tinggal di istana Pangeran Zhu Di, tempat sama di mana selir persembahan dari Pangeran Keempat itu disimpan sebelum Pangeran Zhu Biao memutuskan tempat tinggal bagi selirnya.
Apa yang dilakukan oleh Pangeran Mahkota di kediaman Pangeran Zhu Di?
Benarkah apa yang didengarnya, bahwa sang selir itu teramat cantik hingga mengalahkan keindahan bunga lotus?
Lalu, jika selir yang belum sempat dilihatnya itu demikian cantik hingga setangkai bunga lotus yang tengah mekarpun terlihat buruk di sisinya, maka bisakah Pangeran Mahkota yang telah merebut hatinya sejak masa kanak-kanak itu menahan diri untuk tak mendekatinya?
Dan kemudian memberikan malam yang seharusnya menjadi miliknya?
Sementara ia menunggu-nunggu seperti seekor pungguk yang merindukan bulannya, selir itu justru telah memetik keindahan purnama yang menjadi impiannya sejak lama.
Menunggui Pangeran Zhu Di, itu adalah satu-satunya jawaban yang ia terima saat ia menanyakan perihal keberadaan Pangeran Zhu Biao pada Sang Ratu.
Bahkan Ratu Ma-pun berpihak pada selir Pangeran Mahkota! Dan Sang Ratu berpihak pada selir yang tak ia ketahui namanya itu karena sangat jelas terlihat betapa bahagia Pangeran Zhu Biao saat menerima persembahan dari adiknya. Ia sangat yakin dengan hal itu sebab hanya itu alasan yang masuk akal.
“Yang Mulia…” terdengar suara pelan penuh nada hati-hati dari balik tirai kamar. Itu suara dayang pendamping yang selalu setia mendampinginya. Dayang yang ia bawa dari rumah ayahnya dan telah merawatnya semenjak ia masih kanak-kanak.
Dan hanya dayang pendamping yang telah mulai tua itu saja yang peduli padanya saat ini.
Tak ada yang lain!.
Tidak Yang Mulia Kaisar, Yang Mulia Ratu Ma, apalagi Pangeran Zhu Biao yang ia puja puji sepenuh hati dan jiwa.
Semuanya hanya mempedulikan kesehatan Pangeran Keempat!
Semuanya hanya memikirkan keadaan Pangeran Zhu Di, pangeran termuda yang menjadi permata di hati semua orang di istana ini!.
Sementara dirinya, yang mestinya menjadi sosok yang dipuja sebagai seorang putri mahkota, hanya memiliki satu orang dayang tua!.
Betapa malang dirinya!.
Betapa kasihannya…
 Dan saat pemikiran itu merasuk ke dalam hatinya, tangis Putri Mingxia meledak menjadi jerit sedu sedan yang menggema hingga ke balik dinding kamar membuat para dayang dan prajurit yang berjaga di luar saling berpandangan dengan raut cemas.
“Yang Mulia Putri Mingxia…hamba mohon ijinkan hamba untuk masuk” suara dayang pendamping kembali terdengar, kini dengan getaran yang menandakan menghebatnya kecemasan dalam hati si dayang.
“Pergi kau!...” jerit Putri Mingxia seraya melemparkan satu vas bunga mungil yang masih bisa diraihnya ke arah tirai kamar. Terdengar suara berderak pecah ketika vas bunga dari tanah liat yang indah itu menabrak sesuatu entah apa. “Pergilah pada pangeran manja itu seperti semua orang!...aku tidak membutuhkanmu!...aku tidak membutuhkan siapapun! Tidak ada seorangpun yang peduli padaku!”.
“Tidak Yang Mulia…hamba tidak akan pergi. Lebih baik hamba mati daripada meninggalkan Yang Mulia Putri Mahkota” jawab dayang pendamping, kini dengan isak pula.
Tak terdengar suara dari Putri Mingxia selain desah isak tangis yang terus menggema berhias isak tertahan sang dayang pendamping, memberikan getaran halus pada setiap sisi dinding istana Putri Mahkota…
Getaran yang menyimpan harapan berselimut kemarahan dan rasa cemburu dari sang putri, menggeliat dan menumbuh menjadi benih-benih dendam yang menguncup dan terus menumbuh menjadi api panas membara yang menunggu saat untuk membakar mengungkapkan kesumatnya!.
**********
Pangeran Zhu Di mengulurkan mangkuk obat yang telah ia teguk habis isinya pada seorang tabib kemudian kembali merebahkan  tubuhnya. Sungguh ia sangat benci dengan keadaannya saat ini. Ia sangat ingin keluar dari kamar dan mengetahui apapun yang telah tertinggal dari pengamatannya sejak ia kehilangan kesadaran di ruang aula. Bagaimana keadaan Xiao Ai sekarang? meskipun ia telah mendapat kepastian dari Kasim Anta bahwa kakaknya telah menerima persembahan darinya, namun ia tak lagi mengetahui perkembangan yang terjadi setelah itu. Di manakah Pangeran Mahkota akan menempatkan selirnya? Ia tahu, dengan kekuatan cinta yang sangat kuat di antara kakak tertuanya dengan Xiao Ai, maka seharusnya Xiao Ai akan mendapatkan tempat yang sangat layak di istana ini.
Ia telah mendengar dari Ratu Ma Xiuying bahwa Pangeran Zhu Biao terus menungguinya selama ia terlelap dalam ketidaksadaran. Ia juga mendengar bahwa Xu Changyi terus menjaganya setiap hari, dan bahkan Yang Mulia Kaisar telah memutuskan untuk menarik sahabatnya itu dari distrik pelatihan prajurit agar bisa terus berada di dekatnya.
Dan kabar terakhir itu sungguh membuat hatinya senang.
Namun, ada satu wajah yang tak lagi ia lihat sejak ia mulai membuka mata dua hari lalu dan Pangeran Zhu Di terus memikirkannya.
Wajah yang telah sangat lekat dengannya sejak beberapa tahun ini dan menghilangnya wajah itu mendesirkan satu hal aneh yang membuat Pangeran Keempat merasa ingin melompat seketika dari pembaringannya dan berlari keluar. Andai saja tubuhnya yang lemah dan terasa sangat lemas ini tidak mengikatnya!.
“Di mana Adik Chen?” tanya Pangeran Zhu Di pada Kasim Anta saat tabib yang mengirimkan obat telah berlalu dari dalam kamar.
Kasim Anta terlihat tersentak. Sejenak suasana sunyi sementara Pangeran Zhu Di menunggu dengan kesabaran yang semakin menipis.
“Kau tidak mendengar apa yang kutanyakan?” tanya Pangeran Zhu Di kembali saat Kasim Anta tak juga mengeluarkan sepatah kata. “Di mana Adik Chen? Kenapa aku tidak pernah melihatnya sejak dua hari lalu? Bukankah seharusnya ia ada di sini dan melayaniku?”.
Kasim Anta meletakkan piring kecil berisi potongan buah pir manis ke atas meja kemudian menoleh ke arah Pangeran Keempat. Sejenak termangu sebelum kemudian kasim tua itu menebarkan senyum manis, membungkukkan tubuhnya dan perlahan berjalan mendekat ke arah pembaringan di mana Pangeran Zhu Di berada dan tengah menatapnya.
“Pangeran…buahnya telah hamba potong. Apakah Pangeran ingin menyantapnya sekarang?” tanya Kasim Anta saat telah sampai di sisi ranjang.
Pangeran Zhu Di mengerutkan alisnya yang tebal bagus.
“Jangan mengalihkan perhatianku...” sentaknya dengan suara lemah. Tenaga tubuh yang belum kembali membuat Pangeran Zhu Di merasa sangat lemah hingga sebuah bentakan keras-pun terdengar sebagai sebuah bisikan. Hanya sepasang matanya yang jernih mengeluarkan cahaya tajam berkelebat menunjukkan kemarahan membuat Kasim Anta seketika tertunduk. “Katakan saja, di mana Adik Chen!...kenapa aku tidak melihatnya sejak aku bangun? Juga…semua makanan yang kusantap, tak satupun adalah masakan Adik Chen!”.
“Pangeran…Anda masih sangat lemah…”
“Kalau begitu cepat jawab!” teriak Pangeran Zhu Di dengan suara lemah. Sepasang matanya kini membeliak penuh kemurkaan. “Aku tidak akan menjadi kuat sampai Adik Chen ada di sampingku dan merawatku!...aku tidak akan sembuh sampai Adik Chen memasak untukku!. Kau tahu itu kan?!”
Kasim Anta menghela nafas panjang dan perlahan mengangkat wajahnya, menatap pangeran termuda yang sangat dikasihinya dan kini tengah menatapnya dengan tatapan mata penuh kemurkaan.
“Pangeran…Kasim Chen saat ini tengah ada di penjara” jawab Kasim Anta dengan suara pelan nyaris berbisik.
Namun, suara bisikan halus Kasim Anta terdengar sebagai sebuah petir di telinga Pangeran Zhu Di membuat pemuda berparas tampan itu seketika tersentak dan berusaha untuk bangkit dari ranjangnya. Kasim Anta yang melihat usaha dari pangeran asuhannya segera mengulurkan tangannya menahan tubuh gagah yang lemah di atas ranjang agar tak terguling jatuh ke lantai.
“Pangeran…hamba mohon jangan bangun dulu, Anda masih sangat lemah” ujar Kasim Anta seraya memegang lengan Pangeran Zhu Di.
Pangeran Zhu Di mengibaskan lengannya dari genggaman Kasim Anta. Pandangannya menatap kasim tua di sisinya. Masih dengan kemurkaan yang menyala-nyala, meski kini berselimut tanya. Alis tebal yang menaungi sepasang mata jernih tajam semakin dalam berkerut.
“Jangan menyentuhku dan jawab saja pertanyaanku!...Kenapa Adik Chen dipenjara? Apa yang dilakukan oleh Adik Chen hingga Yang Mulia Kaisar memenjarakannya?” tanya Pangeran Zhu Di dengan nada tajam.
“Pangeran…sebenarnya…”
“Sebenarnya apa? Katakan padaku apa yang terjadi selama aku tidak sadar!” potong Pangeran Zhu Di cepat. “Terakhir kali aku melihat Adik Chen di ruang aula. Saat itu aku sangat kesakitan lalu Kakak Xu dan Adik Chen mengeluarkan racun dari dalam perutku. Setelah itu, aku mendengar suara beberapa orang bicara pada Yang Mulia…juga kepala dapur istana. Setelah itu…setelah itu…”
Kasim Anta tertunduk sementara Pangeran Keempat terlihat mengerutkan dahinya yang halus dengan ekspresi mengingat-ingat.
“Setelah itu…sebelum kegelapan menutupiku…” bisik Pangeran Zhu Di sementara ruang kenangan dalam benaknya memutar kembali peristiwa di aula saat pernikahan Pangeran Mahkota. Kasim Anta menatap Pangeran Keempat dengan ekspresi cemas membayang di wajahnya.
“Pangeran…hamba mohon…”
Pangeran Zhu Di mengangkat tangannya membuat kalimat Kasim Anta seketika terhenti. Sunyi melingkupi ruang mewah kamar Pangeran Keempat. Kesunyian yang membuat kecemasan Kasim Anta semakin keras menggema, menggedor dengan kekuatan yang meningkat cepat membuat kasim tua tersebut mulai bergerak-gerak dengan gelisah.
Hingga kemudian…mendadak Pangeran Zhu Di tersentak. Bukan hanya sebuah sentakan halus namun sebuah guncangan keras yang membuat wajah tampan pangeran termuda itu seketika memucat.
“Adik Chen!...apakah…apakah…ia ditangkap dan dipenjara karena Yang Mulia Kaisar menyalahkan Adik Chen atas masuknya racun ke dalam tubuhku? Demikiankah hal sesungguhnya yang terjadi?” tanya Pangeran Zhu Di dengan sepasang mata membelalak menatap Kasim Anta.
Kasim Anta menelan ludah. Apa yang ia takutkan kini telah terjadi. Meskipun sejak awal mula ia sudah tahu bahwa sungguh mustahil untuk menutupi hal sesungguhnya dari kecerdasan Pangeran Zhu Di, namun ia sungguh berharap agar kebenaran tentang peristiwa yang tengah terjadi ini bisa terungkap di saat pangeran yang sangat dikasihinya itu telah dalam keadaan yang lebih kuat dan sehat.
Sebab ia tahu seberat apa guncangan yang akan dialami oleh Pangeran Zhu Di jika mengetahui hal yang tengah terjadi tentang kasim muda kesayangannya.
Sebab ia tahu, sedekat apa hubungan antara Pangeran Zhu Di dengan Kasim Chen meskipun pangeran asuhannya itu tak pernah mengatakan apapun tentang hal yang dirasakannya.
Dan yang paling telak adalah…
Sebab ia tahu, sebesar apa rasa sayang dan rasa membutuhkan Pangeran Zhu Di terhadap Xiao Chen!. 
                                       *************