Minggu, 02 Agustus 2015

Straight - Episode 5 ( Bagian Dua )


Nampaknya, jika melihat posisi Pangeran Zhu Di yang menjadi kesayangan Sang Kaisar, maka apa yang menjadi permintaan Pangeran Keempat mengenai hadiah untuk Xiao Chen sepertinya akan dengan mudah terwujud.
Namun ternyata, kenyataan yang kemudian muncul di depan mata justru menjadi sangat bertentangan dengan apa yang diduga oleh sebagian besar penghuni istana. Lebih dari itu, hal yang menjadi perkiraan Jenderal Xu Da-lah yang kemudian menjelma dalam sebuah kebenaran.
Setelah bertemu dengan Jenderal Lan Yu serta beberapa pejabat dari Kementerian Pertahanan, akhirnya Kaisar Ming Tai Zhu menolak permintaan Pangeran Keempat untuk memasukkan Xiao Chen ke sekolah prajurit khusus. Sebagai gantinya, Kaisar Ming mengangkat Xiao Chen sebagai juru masak dan kasim kecil khusus bagi Pangeran Keempat. Hal yang menjadi dasar pertimbangan bagi Sang Kaisar adalah kenyataan bahwa Kasim Anta telah semakin tua sehingga pastilah tak akan mampu bertahan untuk merawat dan melayani Pangeran Zhu Di dalam waktu yang lebih lama lagi.
Pengangkatan Xiao Chen sebagai juru masak dan kasim kecil khusus bagi Pangeran Keempat segera diumumkan secara luas di seluruh penjuru istana dan bahkan, pengumunan tersebut ditempelkan di tempat-tempat umum sehingga bisa dibaca oleh seluruh rakyat banyak.
Pemberitahuan tentang keputusan Sang Kaisar disampaikan pada Pangeran Zhu Di melalui utusan yang diterima oleh Kasim Anta dan membacakan langsung di hadapan Sang Pangeran Keempat yang terlihat sangat terkejut hingga sekejab wajahnya memucat sebelum kemudian berubah memerah di kejab yang lain. Hingga, begitu Kasim Anta telah selesai membacakan keputusan yang diambil oleh Kaisar Ming, Pangeran Zhu Di telah melompat melewati Kasim Anta yang terperanjat dan tak sempat lagi mencegah pangeran kecil yang jelas terlihat marah dan kecewa itu melesat menuju istana kaisar. Prajurit yang berjaga di depan istana pangeran kesemuanya terkejut dan saling pandang sementara Kasim Anta yang telah pulih dari rasa terkejutnya segera berlari di belakang Pangeran Keempat sambil meneriakkan nama Sang Pangeran yang terus berlari dengan cepat bagaikan anak panah kecil yang lepas dari busurnya.
Dan sebagaimana para prajurit penjaga di istana pangeran, para prajurit yang berjaga di istana kaisar-pun hanya saling pandang dan tak satupun memiliki keberanian untuk mencegah saat Pangeran Zhu Di menerobos melewati mereka semua dan tanpa kata-kata yang terucap dari mulutnya yang mungil. Hanya sepasang mata yang memancarkan kilau tajam pertanda kemarahan dan kekecewaan hati atas apa yang baru saja diputuskan oleh Sang Kaisar. Dan gerak tubuh Pangeran Zhu Di tak berhenti hingga ia membuka pintu ruang kaisar dan menemukan ayahnya itu sedang duduk sambil membaca sebuah buku di kursinya yang indah.
Kaisar Ming Tai Zhu terlihat terkejut saat melihat Pangeran Keempat yang menerobos masuk tanpa ada pemberitahuan dari prajurit penjaga yang berdiri di depan pintu. Keningnya berkerut sementara jari tangannya yang berhias sebuah cincin giok berhenti bergerak di atas lembaran buku di depannya.
“Zhu Di…kenapa kau masuk tanpa mengetuk pintu lebih dahulu? Apakah kau telah melupakan aturan sopan santun saat ingin masuk ke kamar orangtuamu?” tanya Kaisar Ming Tai Zhu dengan nada menegur.
Pangeran Zhu Di menarik nafas sekedar untuk menenangkan jantungnya yang berdegub lebih cepat. Tubuhnya membungkuk di depan Kaisar meski hal itu sama sekali tak mengurangi kekeruhan yang tercipta di wajah tampannya.
“Maafkan hamba Yang Mulia” sahut Pangeran Zhu Di membuat Kaisar Ming mengangkat satu alisnya saat mendengar kalimat putranya yang formal. Pangeran Zhu Di selalu menggunakan kalimat formal saat berbicara dengannya jika hati Sang Pangeran kecil itu tengah kalut atau kecewa akan sesuatu hal. Dan Kaisar Ming Tai Zhu sangat hafal dengan kebiasaan putra keempatnya itu.
“Ada apa? Kau pasti memiliki sesuatu yang penting untuk kau katakan pada ayahmu sehingga kau harus berlari menembus para prajurit dan datang tanpa memberitahu lebih dulu” ujar Kaisar Ming Tai Zhu. Jarinya kembali bergerak di atas lembar buku dan bersiap membalik lembaran yang telah selesai dibacanya itu.
“Yang Mulia, kenapa Yang Mulia menjadikan Xiao Chen sebagai juru masak dan kasim untuk hamba? Bukan seperti itu hadiah yang ingin hamba berikan padanya” tanya Pangeran Zhu Di menjawab pertanyaan ayahnya. Kalimatnya yang langsung pada pokok masalah tanpa basa-basi membuat Kaisar Ming kembali terkejut. Terlebih lagi, cara Sang Pangeran mengucapkan kalimatnya dengan nada tegas yang mengesankan kemarahan.
Kaisar Ming kembali menatap Pangeran Zhu Di. Jarinya yang bersiap membalik lembaran buku terhenti dan bahkan kemudian, buku yang sedang dibacanya itu ditutupnya sama sekali dan digeser ke samping, pada sisi tumpukan buku lain di atas meja. Pandangan mata Kaisar Ming lurus menatap ke arah Pangeran Zhu Di yang juga tengah menatap ke arahnya. Tanpa berkedip, menuntut jawaban secepatnya. Sejelas-jelasnya.
“Karena itulah yang terbaik bagimu Zhu Di. Kau sakit dan Pelayan Chen-lah yang menyembuhkanmu. Anak itu akan lebih berguna bagimu jika ia tinggal di sisimu sebagai juru masak dan kasim yang secara khusus melayanimu. Aku tidak ingin ada hal lain yang terjadi pada kesehatanmu hanya karena kau tidak menyukai masakan juru masak istana. Kakakmu Zhu Biao sudah sering jatuh sakit dan itu sangat memusingkanku karena itu aku ingin memastikan bahwa kesehatanmu terpelihara dengan baik. Lagipula, Kasim Anta semakin tua dan jelas ia tidak akan bisa melayanimu dengan baik untuk waktu yang lama, terlebih dengan gerakmu yang terlalu cepat baginya” jelas Kaisar Ming Tai Zhu dengan suara melambat seolah sengaja ditekankan agar Pangeran Zhu Di dapat memahami maksud yang ingin disampaikannya meski hanya dengan sekali dengar.
Namun tampaknya, menembus hati yang telah dirundung kecewa dan marah dari singa kecil yang berdiri dengan garang di depan sang raja bukanlah hal yang mudah. Pangeran Zhu Di memang segera mengerti dengan penjelasan yang diberikan oleh ayahnya. Tetapi, semakin ia mengerti apa yang diinginkan oleh Kaisar Ming, justru semakin membuat kemarahannya memuncak. Maka sepasang mata yang jernih itu kini terlihat berkilauan seolah ribuan kilat tengah bertarung di dalamnya. Meskipun Sang Pangeran Keempat tetap dalam sikapnya yang menunjukkan rasa hormat di depan Kaisar Ming, namun Sang Kaisar dapat dengan jelas merasakan gelombang kekecewaan yang menyala dalam hati putranya.
“Yang Mulia, sungguh hamba sangat berterima kasih atas perhatian demikian besar yang diberikan pada hamba. Namun begitu, tidakkah Yang Mulia mengerti bahwa hamba memiliki pemikiran dan alasan yang membuat hamba memilih hadiah hamba pada Pelayan Chen?” tanya Pangeran Zhu Di. Nada bicaranya terdengar halus dan sopan namun ketegasan yang ditekankan pada titik-titik kalimatnya membuat Sang Kaisar semakin memahami sejauh apa kemarahan pangeran kecil di depannya.
Kaisar Ming Tai Zhu mengangguk-angguk. Kedua alisnya berkerut sesaat sebelum sehela nafas panjang menyeruak menyertai kalimatnya yang meluncur dalam intonasi yang tenang dan anggun.
“Baiklah Zhu Di” jawab Kaisar Ming Tai Zhu. Sepasang matanya masih terus menatap putranya. “Aku mengerti bahwa kau pasti memiliki alasan hingga kau memilih hadiah untuk anak bernama Xiao Chen seperti yang kau katakan di arena sayembara kemarin. Tetapi, hal yang ingin kuketahui adalah apakah alasanmu itu memiliki kepentingan terhadap orang banyak di sekitarmu ataukah hanya merupakan kepentinganmu dan sahabatmu itu saja? Di arena sayembara kemarin, kau telah mengatakan bahwa kau akan mematuhi apapun keputusan yang diambil setelah aku bertemu dengan Jenderal Lan Yu dan pejabat-pejabat dari Kementerian Pertahanan. Namun, hari ini kau terlihat marah dan kecewa setelah keputusan diambil. Untuk hal ini, aku ingin kau menjawabnya dengan jujur Zhu Di”.
Pangeran Zhu Di terkejut saat mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh ayahnya. Ia bahkan belum pernah mengungkapkan tentang apa yang menjadi maksud hatinya namun, bagaimana mungkin Kaisar telah dapat menebak isi hatinya?
“Bagaimana Yang Mulia bisa mengetahui bahwa alasan hamba adalah mengenai hamba dan Kakak Xu Changyi?” Pangeran Zhu Di balik bertanya. Sepasang matanya mengerjab. Sedikit rasa gugup menghinggapi hatinya.
Kaisar Ming Tai Zhu tertawa dengan suara pelan.
“Jadi benar alasanmu memberi hadiah seperti yang kau pillih itu adalah karena rasa persahabatanmu dengan sahabatmu? Karena anak bernama Xiao Chen itu, meskipun ia sesungguhnya adalah pelayan tapi ia juga adalah teman dari sahabatmu karena mereka telah bersama sejak masih kanak-kanak. Benarkah begitu?” desak Kaisar Ming membuat Pangeran Zhu Di semakin gugup.
Ada satu hal yang selalu dikagumi Pangeran Zhu Di dari sosok ayahnya. Dan itu adalah kecerdasannya yang terlihat dalam setiap pemikiran-pemikirannya. Seringkali, Sang Kaisar seolah telah dapat menebak apa yang ada dalam hatinya. Meskipun Pangeran Zhu Di tidak tahu apakah Kaisar Ming juga dapat menebak isi hati para pejabat istana dan menteri sebagaimana Sang Kaisar selalu tepat saat menebak isi hatinya.
Dan kali ini, sekali lagi Kaisar Ming berhasil menebak dengan tepat isi hatinya membuat kemarahan Pangeran Zhu Di yang semula menyala-nyala seketika berubah, bercampur kegugupan sekaligus rasa heran. Kegugupan yang mendesak kepala Sang Pangeran Keempat untuk mengangguk dengan kejujuran.
“Benar Yang Mulia” desis Pangeran Zhu Di. “Memang demikianlah alasan hamba yang sesungguhnya. Hamba tak ingin memisahkan Kakak Changyi dengan Xiao Chen karena bagaimanapun mereka telah bersama demikian lama. Karena itu, meskipun hamba membutuhkan Xiao Chen untuk memasak bagi hamba, namun hamba juga ingin agar hal itu tidak akan menghalangi Kakak Changyi dan Adik Chen untuk bersama. Apakah salah jika hamba memiliki maksud seperti itu?”.
Kaisar Ming Tai Zhu mendengus. Sepasang matanya yang menatap putranya kini terlihat sedikit berkilat.
“Kau bahkan memanggil Pelayan Chen dengan sebutan ‘adik’. Sebenarnya, sejauh apa hubunganmu dengan anak itu? Dan sejauh apa hubungan Changyi dengan anak bernama Chen itu?” tanya Sang Kaisar tak menghiraukan pertanyaan Pangeran Zhu Di.
Hati Pangeran Zhu Di tersentak. Itu pertanyaan berbahaya. Jika ia menjawab secara apa adanya, maka kenyataan bahwa sesungguhnya Chen bukanlah pelayan di rumah Keluarga Xu akan terbongkar. Dan itu sangat tidak boleh terjadi karena, jika sampai Kaisar Ming Tai Zhu mengetahui bahwa sesungguhnya Chen bukanlah pelayan di rumah Jenderal Xu Da maka dengan sendirinya Sang Kaisar juga akan mengetahui kebohongan-kebohongan yang lain. Termasuk bahwa sesungguhnya Chen tidak boleh mengikuti sayembara, bahwa sesungguhnya Chen adalah bagian dari para biksu di Kuil Bulan Merah meskipun Chen belum menjadi salah satu biksu di kuil tersebut, bahwa adanya Chen dalam sayembara memasak adalah karena ia dan Changyi yang menyusupkannya secara diam-diam pada malam sebelum sayembara dimulai. Lebih buruk lagi, Kaisar Ming Tai Zhu akan tahu bahwa Jenderal Xu Da telah berbohong juga dengan mengatakan bahwa Chen adalah pelayan di rumahnya – meskipun hal itu dilakukan oleh Jenderal Xu Da pastilah demi untuk melindungi Changyi dan juga dirinya dari kemurkaan Kaisar – dan Pangeran Zhu Di tahu seberapa baik hubungan Kaisar dengan Jenderal Xu Da yang seolah telah seperti saudara sehingga jika sampai Kaisar tahu bahwa jenderal yang sangat dipercayainya telah membohonginya, maka Kaisar pastilah akan sangat kecewa. Jadi, Pangeran Zhu Di tahu dengan pasti bahwa untuk pertanyaan yang dilontarkan oleh ayahnya itu, ia tak boleh menjawab dengan sejujurnya. Bahkan jika ia memang harus dihukum berat karena telah berbohong pada orangtua yang sangat dihormatinya itu.
“Karena Kakak Changyi bukan hanya sahabat bagi hamba melainkan saudara hamba Yang Mulia. Sementara Pelayan Chen bagi Kakak Changyi bukan hanya pelayan tapi sudah seperti keluarga karena mereka telah bersama sejak kecil, sehingga saat Kakak Changyi memanggil Pelayan Chen dengan sebutan ‘adik’ maka dengan sendirinya hamba ikut memanggil Pelayan Chen dengan sebutan ‘adik’ pula. Hamba melakukan hal itu karena, bagi hamba, saudara Kakak Changyi adalah juga saudara hamba. Demikianlah Yang Mulia” jawab Pangeran Zhu Di setelah selama dua detik memikirkan jawaban yang paling tepat untuk pertanyaan Sang Kaisar.
Kaisar Ming Tai Zhu menatap Pangeran Zhu Di lekat-lekat seperti sedang mengukur kejujuran putranya itu. Kemudian, setelah menghela nafas sejenak, Sang Kaisar menganggukkan kepalanya. Ia menyadari adanya hal yang masuk akal dalam jawaban Pangeran Keempat. Bukankah ia dan Jenderal Xu Da juga dipersaudarakan oleh kebersamaan terutama di waktu-waktu sulit yang mereka lalui di masa peperangan dan perjuangan melawan kekuasaan Yuan?. Ia bahkan juga memanggil Panglima Tertinggi Kerajaan tersebut dengan sebutan ‘Kakak’…
“Hmm…baiklah” sahut Kaisar Ming kemudian. Kepalanya masih mengangguk sekali lagi sebelum ia melanjutkan kata-katanya. “Tetapi, meskipun begitu, kau juga harus menyadari bahwa kau hidup di lingkungan istana. Lebih dari itu, kau harus sungguh-sungguh menyadari keadaanmu sebagai seorang pangeran. Karena itu, kau tidak bisa melakukan segala hal sesuai kehendak hatimu dan mengabaikan aturan-aturan yang ada. Jika kau sebagai putraku, melakukan apapun yang kau mau maka rakyat di luar sana tidak akan lagi mempercayai aturan-aturan yang dibuat oleh istana. Ingatlah Zhu Di, rakyat di luar tembok istana ini tampak sebagai orang-orang yang bodoh dan tidak mengerti apa-apa. Namun sesungguhnya, mereka adalah titik kekuatanmu yang utama jika kau ingin membuat negaramu menjadi negara yang besar. Rakyat di luar sana adalah para pengikutmu yang sebenar-benarnya. Sebagai seorang pangeran, kau harus menunjukkan dirimu sebagai orang yang lebih mampu mematuhi aturan kerajaan sehingga rakyat dapat mencontohmu. Jika kau bisa menjadi contoh bagi pengikutmu, maka sesungguhnya kau telah memegang kepercayaan mereka padamu. Dan kepercayaan para pengikutmu adalah modal utama bagimu untuk membesarkan negaramu. Kehancuran sebuah negara selalu dimulai dari adanya rasa tidak percaya rakyat pada pemimpin mereka”.
Pangeran Zhu Di menunduk. Sinar matanya tak lagi segarang saat ia menerobos masuk ke ruang Kaisar Ming. Apa yang diucapkan oleh ayahnyalah yang membuat kepala berhias wajah tampan itu akhirnya tertunduk. Ia dapat menemukan kebenaran dalam kalimat yang diucapkan oleh Kaisar Ming. Tetapi, tidak bisakah dibuat satu pengecualian saja? Untuknya? Sekali ini saja?
“Yang Mulia, tidak bisakah Yang Mulia membuat satu pengecualian bagi hamba? Sekali ini saja?” tanya Pangeran Zhu Di menyuarakan isi kepalanya.
Kaisar Ming tertawa hingga menampakkan deretan giginya yang rapi.
“Jika kau meminta sebuah pengecualian lalu aku mengabulkan permintaanmu itu, maka besok akan datang lagi seseorang yang meminta pengecualian padaku dan aku harus mengabulkannya karena aku telah mengabulkan permintaanmu. Jika tidak maka orang itu akan berkata ‘Kaisar telah mengabulkan permintaan pengecualian dari putranya tapi menolak mengabulkan permintaan pengecualian dari pengikutnya’. Lalu, berita itu akan tersebar dan selanjutnya, orang banyak akan melihat bahwa aku sebagai seorang raja hanya bisa membuat aturan-aturan bagi rakyat tapi tak mampu memberi contoh bagaimana mentaati aturan yang telah dibuat dan disepakati bersama. Lalu, kepercayaan banyak orang padaku akan menyusut sedikit demi sedikit sebelum akhirnya hilang dan hal itu berarti hancurnya kerajaan ini. Lain halnya jika aku mengabulkan permintaan pengecualian dari orang itu, maka orang itu akan menceritakan kepada banyak orang bahwa aku bisa membuat pengecualian bagi siapapun yang memintanya padaku. Lalu, satu demi satu orang-orang akan berdatangan padaku untuk meminta pengecualian dari aturan-aturan kerajaan yang telah dibuat, sebelum akhirnya, semua orang, seluruh rakyat akan datang pada raja mereka dan meminta pengecualian. Akhirnya, aturan-aturan kerajaan yang dibuat hanya akan menjadi kalimat-kalimat kosong yang sama sekali tak memiliki arti dan kekuatan. Dan kerajaan yang kita bangun dengan segenap usaha dan susah payah, dengan pengorbanan nyawa dari prajurit yang telah gugur akan hancur dalam sekejab karena setiap orang akan berjalan sesuai kehendak hatinya sendiri. Apakah hal seperti itu yang kau inginkan untuk terjadi di kerajaanmu ini Zhu Di?”.
Sunyi senyap. Pangeran Zhu Di menelan ludah saat ia mendengar pertanyaan Kaisar Ming Tai Zhu tersebut.
Itu adalah pertanyaan di titik akhir. Artinya, apa yang akan ia katakan sebagai jawaban akan menimbulkan akibat dan apapun akibat itu, ia harus memikul tanggungjawab terhadapnya.
Pangeran Zhu Di sungguh tidak suka setiap kali ia dihadapkan pada pertanyaan di titik akhir seperti itu sebab, pertanyaan seperti itu selalu membawa dua atau lebih pilihan di depannya dan ia tak bisa tidak untuk memilih satu dari pilihan-pilihan tersebut. Seringkali, ia memutuskan untuk memilih satu dari beberapa pilihan yang ada di depannya bukan dengan pertimbangan karena ia menyukainya melainkan karena pertimbangan demi kepentingan orang banyak. Dan hanya ada satu alasan mengapa ia harus melakukan hal itu. Yaitu selalu mendahulukan kepentingan orang banyak dibanding hal-hal yang menjadi kesenangan atau kebahagiaannya sendiri. Dan alasan itu adalah karena ia seorang pangeran. Putra dari Kaisar Ming Tai Zhu yang semua tingkah laku, sikap dan ucapannya akan menjadi sorotan dari seluruh rakyat baik yang ada di lingkungan istana maupun yang ada di luar tembok istana. Mengingat akan hal itu, selalu membuat Pangeran Keempat menjadi mengerti dan memahami mengapa Pangeran Zhu Biao, Sang Pangeran Pertama yang menjadi putra mahkota justru lebih suka menghabiskan waktunya di luar tembok istana dan bergaul dengan rakyat biasa. Pastilah, alasan dari kakak tertuanya itu bukan semata-mata karena ketidakcocokan dengan Kaisar seperti yang selama ini dimengerti oleh banyak orang melainkan juga adanya beban sebagai seorang putra raja yang harus selalu berhati-hati dan nyaris sulit untuk memikirkan kesenangannya sendiri.
“Bagaimana Zhu Di?” kejar Kaisar Ming Tai Zhu saat putra keempatnya hanya diam tertunduk. “Jika kau memang menginginkan hadiah seperti yang kau ucapkan untuk Pelayan Xiao Chen itu, maka aku akan mengabulkan permintaanmu. Tetapi, kau harus mau dan sanggup untuk memikul tanggungjawab dari permintaanmu itu. Apakah kau sungguh-sungguh telah membulatkan tekadmu?”.
Jika Kaisar Ming mengabulkan hadiah yang diminta oleh Pangeran Zhu Di untuk Xiao Chen, maka esok pagi ia, Chen dan Changyi pasti sudah berada dalam satu kamar di barak calon prajurit khusus, belajar dan bergembira bersama-sama. Namun, bersamaan dengan hal itu, maka rakyat akan segera tahu bahwa Kaisar memiliki pengecualian terhadap aturan-aturan yang dibuatnya sendiri dan kemudian, kesenangan yang dirasakannya bersama dengan Chen dan Changyi akan harus dibayar  mahal dengan jatuhnya wibawa Kaisar Ming di depan rakyatnya sendiri. Dan sungguh, meski sepahit apapun kenyataan sedih yang kini disadarinya dan – akhirnya – dipahaminya sebagai penyebab kemurungan dan mendung di wajah sahabatnya, namun Pangeran Zhu Di tak melihat pilihan lain lagi. Pada akhirnya, semua mesti berjalan seperti seharusnya. Kemarahan Xu Changyi padanya pada malam sebelum pelaksanaan sayembara itu, kini dimengertinya dengan hati berkabut oleh gulungan rasa bersalah yang semakin membesar.
Kaisar Ming Tai Zhu menatap putra keempatnya yang terus tertunduk tanpa suara. Tetapi sebuah gelengan yang lemah dengan jelas tertangkap dalam pandangan Sang Kaisar membuatnya mengerti bahwa Pangeran Zhu Di telah menjawab pertanyaan yang dilontarkannya dan menetapkan pilihan. Seulas senyum merekah di bibir Kaisar Ming Tai Zhu.
Pilihan yang diambil oleh Pangeran Zhu Di, tepat seperti yang diharapkannya.
**********

  Berita pengangkatan Xiao Chen sebagai kasim kecil dan juru masak khusus Pangeran Keempat segera menyebar ke seluruh negeri. Merambat dengan sangat cepat seperti asap yang dibawa oleh angin kencang hingga dalam waktu singkat, nama Xiao Chen telah di dengar dan dikenal oleh seluruh rakyat tak terkecuali para biksu di Kuil Bulan Merah yang menyambut kabar tersebut dengan riang gembira sebagaimana kebanyakan rakyat yang lain. Adanya seorang juru masak anak-anak yang mampu membuat Pangeran Keempat sembuh dari sakit anehnya dianggap sebagai sebuah keajaiban dari para dewa di langit yang membuat rakyat cepat menerima kehadiran Xiao Chen sebagai bagian dari istana dengan penuh rasa suka cita.
Namun, tidak semua orang merasa gembira dengan pengangkatan Xiao Chen sebagai juru masak khusus dan sekaligus kasim kecil bagi Pangeran Keempat. Setidaknya, ada beberapa  hati yang jelas-jelas tidak sejalan dengan kegembiraan rakyat atas kesembuhan Pangeran Keempat dan pengangkatan Xiao Chen sebagai kasim kecil dan juru masak khusus Sang Pangeran. Hari menjelang sore. Desau angin di sela dedaunan bambu menyisipkan pesan bahwa malam sebentar lagi akan datang. Chen baru saja selesai memasak untuk makan malam Pangeran Keempat dan bersiap membawanya ke kamar Sang Pangeran ketika mendadak pintu dapur istana pangeran terbuka lalu, sesosok bayangan berkelebat cepat masuk ke ruang dapur dalam balutan kain hitam yang menutup wajahnya hingga hanya menampakkan sepasang mata yang mencorong tajam. Sosok yang memiliki gerakan sangat gesit dan segera menyambar pergelangan tangan Chen kemudian menariknya keluar dari ruang dapur, melesat melewati gerumbul bunga di tepi kolam besar berisi ikan-ikan merah di sisi luar dapur  yang memisahkan ruangan tempat para juru masak istana pangeran yang telah dibebaskan dari penjara melaksanakan aktivitas mereka bersama dengan Xiao Chen dengan ruang baca Pangeran Zhu Di. Begitu cepat gerakan sesosok tubuh tersebut hingga ketika Xiao Chen terseret keluar, para juru masak lain hanya mampu menatapnya dengan ekspresi terpana. Hingga kemudian, saat kekagetan para juru masak tersebut telah pulij, Xiao Chen telah hilang dari hadapan mereka bersama dengan sosok berselubung kain hitam yang menyeretnya. Meninggalkan desah angin dan kecipak gerak ekor ikan merah di kolam yang turut melihat kepergian dua sosok tubuh yang melompati semak bunga, naik ke atas genting atap istana pangeran untuk kemudian hilang lenyap tanpa bekas!.
Suasana kemudian menjadi sangat gaduh saat setiap juru masak tersebut berteriak keras memanggil Xiao Chen yang meski masih anak-anak namun sangat dihormati di kalangan para juru masak istana pangeran karena dianggap sebagai penyelamat mereka semua dari ancaman  hukuman mati Kaisar Ming Tai Zhu. Dayang-dayang menjerit keras dan dalam sekejab, puluhan prajurit khusus pengawal keluarga kaisar berdatangan dengan senjata lengkap, tak terkecuali Pangeran Zhu Di sendiri yang tengah duduk membaca buku di ruang bacanya. Dalam keremangan senja, istana Pangeran Keempat menjadi gempar atas masuknya sesosok manusia yang mampu bergerak demikian cepat hingga hanya menyerupai sebuah bayangan dan dalam beberapa detik telah menculik Juru Masak Xiao Chen!.
Sementara laporan hilangnya Juru Masak dan kasim kecil Xiao Chen telah sampai ke telinga Kaisar Ming, di suatu tempat, jauh di sudut taman istana yang dikenal dengan nama Taman Maple yang nyaris di lupakan orang, dua sosok tubuh berdiri saling berhadap-hadapan. Gelapnya malam yang mulai turun tak menghalangi keduanya untuk saling mengenali satu sama lain….
 “Adik Chen!...pergilah dari istana! Ayo kita pergi dari sini. Kita akan pergi jauh dari sini ke tempat di mana mereka semua tidak bisa menemukan kita. Kita akan hidup di tempat aman seperti dulu” suara Changyi nyaris berteriak dalam nada setengah membujuk setengah memohon di depan wajah Chen yang diam terpaku, sementara kedua tangan Changyi mengguncang bahu Chen kuat-kuat.
  Satu orang yang sulit menahan kesedihan hatinya atas pengangkatan Chen sebagai juru masak sekaligus kasim kecil Pangeran Keempat adalah Changyi. Meskipun ia telah mengira akan hal tersebut sejak awal mula Pangeran Zhu Di mengabarkan adanya sayembara memasak yang diadakan oleh Kaisar Ming, namun tetap saja, saat akhirnya perkiraan itu menjadi kenyataan, Changyi merasa dirinya seperti dilemparkan ke dasar jurang yang sangat dalam. Jurang yang berisi kesedihan dan rasa sakit. Rasa sedih dan sakit yang menyatu dan menggumpal, menggulungnya tanpa ampun, membuat rasa takut dalam diri Changyi justru menghilang dan berganti dengan kebutaan. Kebutaan terhadap penalaran yang baik dan hanya menurutkan perasaan belaka.
“Kakak?...Kenapa Kakak begini? Kalau kita pergi, lalu bagaimana kita akan hidup? Apakah Kakak akan mencuri beras lagi?” tanya Chen sambil menatap Changyi. Sepasang alisnya berkerut melihat gelombang kekalutan di kedalaman mata Changyi yang selama ini dikenalnya sebagai sosok yang ceria.
“Aku akan melakukan apa saja agar kita tidak kelaparan!...Aku tidak akan mencuri beras lagi Adik Chen, percayalah padaku!...aku akan bekerja apa saja agar kita bisa hidup. Yang penting kita bisa pergi dari sini!” jawab Changyi dengan nada tegas dan berapi-api. Satu tangan Changyi kini memegang kuat-kuat pergelangan tangan Chen kembali bersiap menariknya pergi.
Perlahan Chen menarik tangannya dari cengkeraman jemari Changyi. Gerakannya terlihat sangat lembut dan lemah namun, jepitan jemari Changyi yang sangat kuat dapat terlepas dengan sangat mudah membuat Changyi terkejut. Raut wajah Changyi yang rupawan berubah.
“Adik Chen…kau…kau tidak mau pergi denganku? Kau ingin tinggal di sini? di istana ini?” tanya Changyi dengan rasa kecewa yang menyeruak dengan cepat. Sekejab wajahnya sedikit memucat sebelum kemudian kembali memerah.
“Kakak Changyi…sungguh ini bukan dirimu. Kau tak seharusnya seperti ini” jawab Chen lirih namun jelas terdengar membuat sepasang mata Changyi terasa menggelap.
“Kenapa kau tidak percaya padaku!!...Adik Chen, ini aku kakakmu…saudaramu!!. Jika kita masih di istana ini kita akan hidup terpisah. Kau harus tinggal sebagai pelayan dan aku…aku akan berdiri sebagai tuan bagimu. Apa kau bisa melalui hal itu? hah? Bisa kau melalui hal seperti itu?” Changyi berteriak dengan suaranya yang bergetar. Sepasang matanya membelalak.
Chen menelan ludah. Namun sedetik kemudian, kepalanya terangguk membuat tubuh Changyi terasa melemas seketika. Kedua tangan Changyi jatuh ke sisi tubuh dengan lunglai sementara tubuhnya beranjak mundur selangkah. Pandangannya menatap Chen dengan eskpresi tak percaya. Selubung kain hitam yang semula menutupi wajahnya dan tergantung di kedua bahunya melayang jatuh dan tergeletak di tanah yang lembab oleh embun malam yang mulai turun.
“Kakak…bagiku itu tidak apa-apa. Tidak masalah jika Kakak menjadi tuan bagiku selama kita tinggal di istana. Aku akan selalu menyayangi Kakak dan Kakak tetaplah Kakakku, saudaraku, keluargaku…kita masih bisa…
“Kau sama sekali tidak mengerti tentang perasaanku!!” potong Changyi dengan bentakan keras. “ Kau sama sekali tidak mengerti apa artinya jika kita hidup dalam satu atap tak bisa saling bicara!...Kau sama sekali tak tahu apa-apa Adik Chen!”
Xiao Chen terhenyak. Changyi membentaknya, sungguh-sungguh membentaknya. Ini pertama kalinya Changyi membentaknya setelah mereka melalui waktu bersama. Sebelumnya, betapapun ia melakukan kesalahan atau merepotkan Changyi dengan kelemahannya, namun saudaranya itu selalu tersenyum dan tertawa padanya. Diam-diam, seleret rasa sedih menyusup dalam hati Chen. Changyi, benarkah saudaranya itu telah berubah? Ataukah karena kenyataan pedih yang mereka hadapi sekarang ini?
“Kakak…aku tidak bisa meninggalkan istana ini” sahut Chen dengan suara nyaris hilang. Rasa sedih atas bentakan Changyi seperti menelan kekuatannya.
“Kenapa? Kenapa kau tidak bisa pergi dari istana ini Adik Chen? bukankah dulu, kau sangat ingin pergi dari rumah Jenderal Xu Da? Kau bahkan menolak saat Jenderal Xu Da datang ke kuil dan ingin mengajak kita ke istana untuk belajar di sekolah calon prajurit khusus! Apa kau sudah lupa semua itu Adik Chen?!” serbu Changyi masih dengan nada keras dalam kecewa dan marahnya.
“Tentu saja aku ingat” jawab Chen pelan. Sesaat kepalanya tertunduk sebelum kemudian kembali terangkat dan menatap Changyi. “Tapi Kakak…sekarang ini, situasinya berbeda…”
“Apa bedanya?!..katakan padaku apa bedanya?!” teriak Changyi kembali memotong kalimat Chen.
“Pesan dari Bapak Tua di kuil…tidakkah Kakak mengingatnya? Apakah Kakak telah melupakannya? Atau ingin melupakannya?” sahut Chen nyaris menangis saat ia menemukan luka yang teramat dalam di sepasang mata Changyi ketika mendengar jawabannya. Dan ia sungguh tidak suka melihat kepedihan dan luka di kedua mata cemerlang yang sangat dikaguminya itu.
“Pesan dari Guru?...” ulang bibir Changyi separuh tercenung. Benaknya seketika memutar kembali kenangan terakhir pertemuannya dengan Biksu Tua sebelum ia dan Chen berangkat menuju Yingtian untuk menyembuhkan Pangeran Zhu Di dan menolong para juru masak istana pangeran yang terancam hukuman mati. Terngiang-ngiang kembali setiap kata-kata Biksu Tua yang jelas diucapkan di sisi telinganya. “Jaga sang kaisar di sisimu Changyi, karena kejayaan negara ini akan berawal dari kedua tangannya dan kedua tangan sang raja besar itu hanya terulur padamu. Kau yang akan ada di sisinya dan memberi warna dalam jiwanya” …Mendadak Changyi merasa dadanya menyesak. Jelas-jelas pesan itu mengharuskannya untuk tetap tinggal di istana meskipun ia masih belum sepenuhnya mengerti mengapa ia harus terus berada di sisi Kaisar? Bukankah Kaisar Hongwu telah memiliki banyak penjaga yang sangat tangguh di sekitarnya dan salah satunya adalah ayah angkatnya sendiri? Ia bahkan tidak pernah merasa bahwa sepasang tangan Sang Kaisar tengah tertuju padanya meskipun ia diijinkan untuk berteman dengan Pangeran Keempat dan persahabatannya dengan Pangeran Zhu Di telah semakin erat dari hari ke hari. Bahkan guru yang sangat dihormatinya pun tidak mengijinkannya untuk pergi dari istana.  Bisakah ia menepis pesan dari guru yang sangat dihormatinya? Bisakah ia melupakan keinginan dari gurunya demi rasa pedih dan kecewa yang tengah menggulungnya saat ini?
“Guru?...Guru!...Guruuuuu!” jerit Changyi ketika benaknya menjadi penuh dan tak lagi mampu melihat dalam kejernihan. Lalu, sebelum Chen sempat mencegah, mendadak tubuh Changyi telah melompat dan melesat menembus gelapnya malam. Hanya dalam beberapa detik, tubuh Changyi telah berhasil melompati tembok tinggi pembatas istana dan kemudian hilang dari pandangan Xiao Chen.
“Kakak!...Kakak Changyi!...Kakak hendak kemana?” teriak Chen seraya bersiap menyusul ke arah hilangnya Changyi.
Namun gerak Xiao Chen terhenti saat sebuah tangan besar dan kuat mendadak meraih bahunya membuat kakinya kembali terpaku di tanah taman yang berselimut rumput tebal dan halus. Dengan terkejut, Chen menoleh dan segera mengenali siapa adanya sosok tinggi besar yang menahan geraknya. Dengan agak gugup, Chen segera membungkuk ke arah sosok tinggi besar di depannya.
“Tuan Jenderal Xu Da…hormat saya Tuan Jenderal” suara Chen dalam penghormatannya.
Jenderal Xu Da mengangguk sekilas sebelum kemudian berkata.
“Biar aku yang menyusul Changyi” ujarnya dengan suara yang besar dan berat penuh kharisma. “Kau kembalilah ke istana Pangeran Zhu Di, saat ini semua orang sedang mencarimu”.
Chen menelan ludah namun mengangguk juga dengan patuh. Sepasang matanya merebak merah dalam keremangan cahaya bulan yang jauh di langit.
“Baik Tuan Jenderal, perintah Tuan Jenderal akan saya laksanakan” sahut Chen sambil membungkuk kembali.
Tak terdengar suara sahutan Jenderal Xu Da. Hanya hening dan sunyi yang melingkupi Chen di sudut Taman Maple. Namun, sekilas saat membungkuk untuk memberi hormat pada Panglima Tertinggi milik Kaisar Hongwu tersebut, Chen sempat merasakan sebuah kilasan angin yang tajam melewati dirinya dan saat ia mengangkat tubuhnya untuk kembali pada posisi berdiri, Jenderal Xu Da telah lenyap dan hanya menyisakan gerak halus pucuk-pucuk daun Maple yang mulai menguning, di arah hilangnya Changyi…
**********

Selasa, 14 Juli 2015

Straight - Episode 5 ( Bagian Satu )

Semua orang di taman belakang dapur istana memperhatikan Chen dengan rasa ingin tahu yang sama. Keingintahuan yang bergumpal menjadi bermacam tanya yang sama pula.
Bisakah anak bernama Chen itu memasak? Apakah yang akan dimasaknya? Apakah Pangeran Keempat akan menyukai masakan anak itu? hadiah apa yang akan diberikan oleh Pangeran Keempat pada pelayan kecil itu andai ia bisa membuat selera makan Pangeran Keempat kembali?
Setiap jantung yang berdetak di taman itu menanti dengan ketegangan yang sama. Berpuluh pasang mata yang menatap nyaris tak berkedip mengawasi setiap gerak tubuh Chen. Kecuali sepasang mata Changyi yang menatap sosok adiknya dengan airmata yang kini jelas menggantung di pelupuknya. Bahkan kemudian, dua butir airmata jatuh dengan cepat yang segera dihapus oleh gerak sekilas tangan kanan Changyi.
Tak ada hal apapun yang dicemaskan oleh Changyi jika hal itu tentang masakan Chen. Satu-satunya kecemasan yang terasa sangat berat menggayuti benaknya hanyalah tentang bagaimana kehidupan adiknya itu setelah sayembara ini selesai. Bagaimana mereka mesti menjalani hari-hari dalam status yang sama sekali berbeda bukan lagi sebagai kakak dan adik melainkan sebagai tuan dan pelayan?.
Sementara itu Chen dengan sigap mengeluarkan sesuatu dari dalam buntalan kecil yang diikatkan di pinggangnya. Ia telah selesai mencuci beras dan kini, beras yang putih itu ditempatkannya dalam sebuah mangkuk kayu. Satu tungku telah menyala dengan sebuah periuk berisi daging sapi yang telah disayatnya. Air dalam periuk telah mendidih menghantarkan aroma sedap air kaldu khas daging sapi. Terdapat aroma rempah dalam keharuman kaldu tersebut. Rempah yang tidak menyengat dan kekuatan aromanya justru semakin menegaskan keharuman daging sapi yang tengah mengamuk di sekitar area taman belakang dapur istana membuat rasa lapar bagaikan gejolak badai yang memenuhi perut setiap orang di taman tersebut.
Kaisar Ming Tai Zhu mengerutkan keningnya seraya memperhatikan pelayan kecil yang terlihat sibuk membuka buntalan kecil yang diambilnya dari ikatan di pinggangnya lalu mengeluarkan beberapa potong bambu berwarna hijau segar yang telah pula dipotong dan terlihat bersih. Kerut di alis Sang Kaisar semakin dalam saat ia melihat Chen mengambil beberapa kuntum bunga berwarna putih kekuningan yang sangat indah dari dalam buntalan kainnya dan kemudian menyatukan beberapa kuntum bunga tersebut menjadi satu dan menggunakannya sebagai penutup pada salah satu ujung bambu. Hal sama ia lakukan pada potongan bambu-bambu yang lain. Semua orang melihat Chen menutup ujung bambu dengan kuntum-kuntum bunga berwarna kuning lembut tersebut. Banyak dari mereka yang tidak mengerti mengapa pelayan kecil yang bernama Xiao Chen itu menyumpal salah satu ujung bambu dengan kuntum-kuntum bunga yang sangat cantik itu. Suara tawa sekilas terdengar meningkahi dengung bisik yang kembali mengalir memenuhi udara, untuk kesekian kalinya. Sesekali, kalimat-kalimat bernada ejekan ataupun justru seruan heran naik ke udara dan terbang dibawa oleh angin.
Kecuali sepasang mata yang terlihat menyipit saat melihat Chen mulai menyatukan kuntum-kuntum bunga kuning dan menggunakannya sebagai tutup salah satu ujung bambu.
“Anak cerdik” desis Juru Masak Jiu Zhong sambil menatap Chen lekat-lekat. Apa yang semula diduganya seketika gugur saat ia mulai bisa menebak masakan apa yang akan dibuat oleh pelayan kecil Xiao Chen.
“Cerdik? Apa maksudmu Saudara Jiu?” tanya Juru Masak Wang yang kebetulan berdiri di sisi Juru Masak Jiu Zhong. Kini, semua juru masak yang telah mengikuti sayembara kembali berdiri di tempat semula sebelum sayembara di mulai yaitu di sisi luar taman, tepat di bawah atap beranda.
“Anak itu menggunakan Bunga Ba Jiao sebagai penutup bambu. Itulah kecerdikannya” sahut Juru Masak jiu Zhong sambil berbisik.
“Daun…Ba Jiao?” tanya Juru Masak Wang dengan alis berkerut.
“Bunga Ba Jiao. Kau belum pernah mendengar tentang pohon Ba Jiao itu Saudara Wang?” Juru Masak Jiu Zhong berbalik bertanya sambil melirik ke arah juru masak di sisinya sekilas.
Juru Masak Wang menggeleng, nyaris tanpa sadar.
“Ya..tapi, aku tidak mengerti” sahutnya kemudian. “Aku tahu tentang Pohon Ba Jiao, tapi aku benar-benar tak mengerti bagaimana bunga dari tanaman itu bisa disatukan dengan bahan makanan yang akan di masak”.
Sudut bibir Juru Masak Jiu Zhong tertarik ke samping menunjukkan seulas senyum tipis.
“Akupun belum lama mengetahuinya Saudara Wang. Aku hanya pernah membaca dalam kitab pengobatan tentang jenis-jenis tanaman yang berkhasiat sebagai obat dan juga dapat digunakan sebagai bumbu. Salah satunya adalah tanaman Ba Jiao. Aku pernah mencoba menggunakan bagian-bagian dari tanaman tersebut, tapi belum menemukan takaran dan jenis masakan yang pas dengan Ba Jiao” sahut Juru Masak Jiu Zhong.
Juru Masak Wang memicingkan sepasang matanya. Terlihat sedikit semburat rasa iri dalam kilat yang keluar saat ia kembali menatap pelayan Chen. Anak itu kini tengah memasukkan beras yang telah di cuci bersih ke dalam bambu dengan menggunakan sebuah sendok kayu.
“Lalu, bagaimana anak itu bisa mengetahui tentang tanaman Ba Jiao?” tanya Juru Masak Wang nyaris ditujukan pada dirinya sendiri.
Juru Masak Jiu Zhong menoleh sekilas ke arah juru masak di sampingnya.
“Aku juga tidak tahu. Mungkin saja ia mengetahui tentang Ba Jiao dari kedua orangtuanya. Bukankah ia mengatakan bahwa orangtuanya adalah juga pelayan di keluarga Tuan Muda Xu sebelum menjadi putra angkat Jenderal Xu Da? Hanya itu penjelasan yang masuk akal buatku” jawab Juru Masak Jiu Zhong.
“Tetapi, hal itu sekaligus menunjukkan bahwa siapapun orangtua anak bernama Chen itu, mereka pastilah juru masak yang hebat” gumam Juru Masak Wang.
Juru Masak Jiu tak menjawab, namun sebuah anggukan jelas terlihat saat ia mendengar kalimat juru masak di sisinya.
Sementara itu, Chen yang telah selesai mengisi potongan bambu dengan beras segera menutup ujung bambu yang masih terbuka. Lagi-lagi dengan kuntum-kuntum bunga Ba Jiao. Kemudian, ketika ia telah selesai dengan bambu-bambunya, dengan gesit Chen segera mengambil sebuah periuk keramik yang cukup besar, menuangkan air kaldu dari daging sapi ke dalam periuk keramik dan menempatkan periuk tersebut ke atas tungku menyala. Kemudian, satu demi satu bambu berisi beras dimasukkan ke dalam periuk yang berisi air kaldu dan menutup periuk keramik tersebut dengan tutupnya.
Selanjutnya, seolah tanpa menunggu jeda waktu hingga beras dalam bambu menjadi matang, Chen kembali bergerak. Kali ini tangannya mengambil sebuah sumpit besar dari bambu yang terlihat licin. Nampaknya, sumpit itu telah biasa digunakan hingga mengubah warna aslinya menjadi hitam berkilat. Dengan sumpit besar yang ada di tangannya, Chen mulai mengambil beberapa potong daging sapi. Kemudian dengan gerak gesit, Chen mencacah daging tersebut menggunakan pisau besar di atas sebuah talenan kayu yang tebal. Suara ketukan yang ritmis dan berirama cepat terdengar nyaring saat mata pisau yang tajam dan besar menyentuh permukaan talenan kayu dengan tekanan yang kuat. Suara yang terdengar seperti sebuah mantra sihir dan melenyapkan dengung bisik dan tawa yang sesaat lalu terdengar membubung di udara. Kini, area taman itu menjadi sunyi. Sementara tangan Chen seperti tak henti bergerak. Daging sapi yang telah menjadi lembut dipindahkannya ke dalam sebuah mangkuk porselin dan kini, giliran tunas bambu yang tercacah dibawah kelebat pisau besar di tangannya. Tunas bambu yang muda dan berwarna putih itu segera pula menjadi potongan berbentuk tipis dan lembut. Berbeda dengan daging yang telah dicacah dan ditempatkan dalam mangkuk, Chen mengambil sebuah mangkuk yang berukuran cukup besar, mengisinya dengan air kemudian menaburkan sedikit garam ke dalam mangkuk dan memasukkan potongan tunas bambu ke dalamnya. Selanjutnya, mangkuk berisi potongan tunas bambu  muda tersebut diletakkan dalam sebuah periuk yang telah berada di atas tungku, bersebelahan dengan periuk yang digunakan untuk memasak beras dalam bambu.
Dan semua yang dikerjakan oleh Chen sedikitpun tak lepas dari pengamatan Juru Masak Jiu Zhong. Bahkan kemudian, sang juru masak yang sangat terkenal itu tak lagi mempedulikan sekitarnya maupun pertanyaan-pertanyaan dari Juru Masak Wang di sebelahnya. Alisnya berkerut dalam saat ia melihat Chen memasukkan potongan tunas bambu dalam periuk dan memasaknya.
“Kenapa ia memasak rebung itu? Jika ia memang hendak mencampurnya dengan daging yang telah dicincang, mestinya ia bisa langsung melakukannya. Dan itu akan membuat rasa rebung menjadi lebih lezat” gumam Juru Masak Jiu Zhong pelan.
Juru Masak Wang yang mendengar gumaman Juru Masak Jiu Zhong seketika menoleh ke arah lelaki berpakaian rapi di sebelahnya.
“Aku juga berpikir begitu Saudara Jiu. Kenapa rebung itu harus direbus lebih dulu? Setahuku, rebung itu akan lebih enak bila digunakan dalam keadaan segar” sahut Juru Masak Wang. Sebuah senyum mendadak terlukis di bibirnya yang sedikit tebal. “Atau mungkin anak itu belum tahu bagaimana cara memasak rebung? Mungkin itulah yang telah ia pelajari dari orangtuanya”.
“Tidak” sahut Juru Masak Jiu Zhong cepat. “Anak itu tahu apa yang dilakukannya”.
Juru Masak Wang mengerutkan alisnya mendengar sanggahan dari Juru Masak Jiu Zong. Pandangannya kembali ke depan, pada Chen yang terlihat mengambil mangkuk berisi potongan tunas bambu dari dalam periuk lalu memindahkan potongan-potongan tunas bambu yang kini terlihat berubah warna menjadi putih agak gelap ke dalam mangkuk lain yang lebih bersih. Hal yang kemudian dilakukan oleh Pelayan Chen adalah mengambil semangkuk tepung berwarna putih, mencampurnya dengan sedikit air dan mulai mengaduknya menggunakan sebuah sendok kayu hingga beberapa saat. Tampaknya, adonan tepung dan air itu cukup berat untuk terus diaduk dengan sendok kayu karena Chen kemudian melepaskan sendok kayunya dan mengambil adonan tepung dari dalam mangkuk, meletakkannya di atas nampan bersih dan melanjutkan mengadon tepung tersebut dengan tangannya sendiri hingga menjadi kalis.
“Kenapa anak itu menutup adonan tepung itu dengan kain?” tanya Juru Masak Wang sambil menunjuk ke arah Chen yang meninggalkan adonan tepung dalam wadah mangkuk dengan sehelai kain basah menutup rapat di atasnya.
“Agar lebih lembut saat di masak nantinya” jawab Juru Masak Jiu Zhong.
“Benarkah?” Juru Masak Wang menoleh ke arah Juru masak Jiu dengan wajah berkerut. “Kupikir kelembutan adonan tepung ditentukan oleh kehalusan tepung yang dibuat”.
Juru Masak Jiu Zhong menggelengkan kepalanya. “Kau harus mencobanya lain kali. Menutup adonan tepung sebelum memasaknya juga akan membuatnya lebih mengembang”.
“Anak itu…kenapa ia bisa mengetahui hal-hal semacam itu sementara usianya masih begitu muda?” desis Juru Masak Wang dengan kepala menggeleng-geleng heran.
“Karena itu aku katakan bahwa anak itu cerdik. Sepertinya, ia memang memiliki kemampuan yang cukup baik sebagai juru masak” jawab Juru Masak Jiu Zhong.
“Jadi Saudara Li Xiang benar. Anak itu memang tidak bisa diremehkan” gumam Juru Masak Wang kemudian.
Juru Masak Jiu Zhong mendengus pelan, namun kepalanya mengangguk mendengar kalimat Juru Masak Wang di sisinya.
Waktu terus berjalan. Matahari telah naik sepenuhnya di atas kepala dan bahkan sesaat lagi, mulai bergulir ke arah ufuk yang menyeret malam menggantikan terang benderangnya siang. Chen terus bergerak. Daging sapi cincang telah dicampur dengan potongan tunas bambu yang telah direbusnya sebentar. Kemudian, anak itu memasukkan beberapa bahan yang tampaknya merupakan bumbu-bumbu tambahan ke dalam campuran daging sapi dan rebung muda. Gerakan tangannya yang sangat cepat membuat Juru Masak Jiu Zhong tak dapat melihat dengan jelas, bumbu apa saja yang dimasukkan oleh anak itu ke dalam campuran rebung dan daging sapi yang telah dicacahnya. Hanya saja, ia dapat mencium samar bau pala, kecap, dan jahe di antara bumbu-bumbu yang diambil oleh Chen. Aroma tersebut terbawa oleh angin semilir yang bertiup ke arahnya.
Sementara, dengan cekatan tangan Chen mulai mengambil campuran daging sapi dan rebung muda ke dalam lembaran adonan tepung yang telah ditipiskannya menggunakan penggiling kayu dan mulai membentuknya menjadi kuncup-kuncup bunga lotus berukuran kecil. Semuanya dilakukan Chen menggunakan sepasang sumpit bambu yang bergerak dengan demikian cepat hingga hanya dalam beberapa saat, kuncup-kuncup bunga lotus telah tertata rapi di atas sebuah mangkuk datar yang terbuat dari anyaman bambu. Selanjutnya, anak itu memasukkan mangkuk bambu datar tersebut ke dalam sebuah periuk pengukus dan menutupnya dengan rapat.
Suara berdengung terus menguar di udara sekitar area taman belakang dapur istana. Suara yang berasal dari bisik-bisik semua orang di arena sayembara. Masing-masing terlihat mulai penasaran terhadap jenis makanan yang tengah dimasak oleh Chen dan tampaknya telah mendekati tahap akhir terlihat dari kesibukan pelayan kecil dari rumah panglima tertinggi kerajaan tersebut menata masakannya di atas beberapa mangkok giok yang indah. Terlebih, udara di atas taman belakang dapur istana itu kini dipenuhi oleh aroma sedap yang berbeda. Terasa alami, tidak menyengat namun menggoda rasa lapar di perut yang segera memberontak dengan keras.
Jenderal Xu Da menatap Chen dengan sorot tenang. Namun, jauh di dalam hati, sang panglima tertinggi itu mengerti bahwa sayembara yang diadakan hari ini sesungguhnya hanya memiliki satu orang pemenang saja. Dan itu sudah jelas siapa orangnya. Alis Sang Jenderal berkerut dalam. Ia bukan tak melihat masalah yang segera akan menanti jika anak bernama Chen itu telah dipilih oleh Pangeran Zhu Di. Raut wajah Changyi yang diselimuti mendung telah memberikan petunjuk yang sangat jelas baginya. Dan ia sangat memahaminya.
“Yang Mulia…pelayan Chen telah menyelesaikan masakannya!” seru Kasim Liu pada Kaisar Ming.
Sang Kaisar mengangguk.
“Bagus, suruh anak itu untuk menyajikannya pada Pangeran Zhu Di dan kita akan melihat hasilnya” jawab Kaisar Ming kemudian. 
Suara berbisik sedikit bergema saat mendengar perintah dari Kaisar Ming. Inilah saatnya. Babak yang akan menentukan apakah pelayan kecil bernama Chen itu bisa membuat Pangeran Zhu Di menyantap hidangan yang dimasaknya. Juru Masak Jiu Zhong menghela nafas. Pandangannya lurus menatap ke arah Chen sementara pelayan kecil itu telah mulai melangkah ke arah rumah panggung di mana Pangeran Zhu Di menunggu dengan sepasang mata berbinar-binar. Tak ada Kepala Dayang Song yang menyertai Chen saat anak itu melangkah ke rumah panggung sebagaimana yang terjadi pada juru masak-juru masak sebelumnya. Namun, entah kenapa, perbedaan kecil itu justru membuat hati Juru Masak Jiu membisikkan sesuatu. Terlihat jelas ketegangan di wajah Juru Masak Jiu. Sungguh, ia bukanlah seorang peramal. Namun, hatinya berbisik bahwa anak dengan penampilan yang sangat sederhana dan terlihat rapuh itu akan menjadi seseorang yang banyak terlibat dalam kehidupannya. Dalam arti yang tidak disukainya.
Sementara itu, semua mata mengikuti gerak Chen yang telah sampai di hadapan Pangeran Zhu Di dan meletakkan nampan yang dibawanya sebelum kemudian melakukan sujud pada sang pangeran. Tak terkecuali sepasang mata Changyi, yang menyadari bahwa perjalanan takdir telah dimulai. Takdir yang akan memisahkan antara dirinya dengan Chen, dalam jalur yang berbeda. Begitu dekat di hatinya, namun akan sangat jauh dalam pandangan matanya. Seperti bulan yang bulat sempurna di langit.
Beberapa menteri seolah tanpa sadar menggeser posisi duduk mereka hingga mencondong ke arah rumah panggung sambil masing-masing mempertajam pendengaran telinga. Menanti dengan tegang hal selanjutnya yang akan terjadi saat mereka melihat Chen telah mengangkat nampannya dan meletakkannya di atas meja di hadapan Pangeran Zhu Di.
“Silahkan Yang Mulia” terdengar suara Chen mempersilahkan Pangeran Zhu Di sambil mengangsurkan sepasang sumpit ke depan sang pangeran. Kasim Anta mengambil sebuah mangkuk kecil kosong lalu membuka tutup mangkuk besar dan mulai hendak mengisinya sementara Chen menjelaskan satu demi satu makanan yang dimasaknya. Aroma masakan membubung dari dalam mangkuk yang dibuka oleh Kasim Anta, memenuhi seluruh ruangan dalam rumah panggung membuat Kaisar Ming, Permaisuri Ma dan tiga pangeran lain dapat menghirupnya pada saat yang sama dengan Pangeran Zhu Di. Itu bukan aroma lezat seperti yang sebelumnya mereka hirup dari masakan Juru Masak Jiu Zhong. Aroma yang keluar dari masakan anak bernama Chen itu terasa lebih lembut, terkesan sedap bukan lezat membuat Kaisar Ming membayangkan masakan khas pedesaan yang merupakan sebuah tradisi. Menghirup aroma makanan yang menguap dari dalam mangkuk yang terbuka tutupnya itu membawa kenangan Sang Kaisar melayang pada kehidupan masa kecilnya. Bukan kehidupan masa kecil saat kelaparan dalam kemiskinan membuat keluarganya nyaris musnah namun kehidupan masa kecil saat ia belum tahu tentang arti kesulitan hidup. Saat ia hanya mengerti kegembiraan, bermain di tepi sungai kecil dengan airnya yang bergemericik, ikan-ikan kecil berenang menyapa ujung-ujung kakinya yang telanjang, sementara suara angin mendesah dalam bisik-bisik halus di antara helai daun-daun bambu. Kehangatan sinar matahari menyapa permukaan kulit wajahnya memberikan rasa damai yang membahagiakan.
Kaisar Ming Tai Zhu menoleh ke arah Chen dan menatap anak tersebut. Tak ada yang tahu, berubahnya kilau di mata Sang Kaisar yang melembut saat aroma masakan yang dibawa oleh pelayan bertubuh kurus itu telah menyentuh kenangan terindah di hati Penguasa Tertinggi Kerajaan Ming. Sinar mata yang lembut yang tak pernah lagi terlihat sebelumnya di mata Sang Kaisar Hongwu setelah tempaan peperangan dan berbagai kesulitan membuat secuil kebahagiaan masa kecilnya terkubur dalam-dalam jauh di dasar hati yang nyaris mustahil untuk digali. Namun kini, kenangan indah yang sangat jauh terpendam itu telah muncul kembali. Dan keajaiban itu dibawa oleh anak kecil yang kini tengah duduk bersimpuh di depan putra keempatnya.
Mendadak Kaisar Ming Tai Zhu mengerti. Meski tanpa penjelasan yang keluar dari mulut Pangeran Zhu Di, ia kini mengerti makna kegelisahan Sang Pangeran Keempat saat menanyakan kehadiran Jenderal Xu Da dalam sayembara. Bukan Xu Changyi yang sesungguhnya ditunggu oleh putra kecilnya melainkan pelayan dari keluarga Xu-lah yang sesungguhnya sedang dinanti. Dan melihat persahabatan di antara Pangeran Zhu Di dengan Xu Changyi, maka adalah sangat masuk akal jika Sang Pangeran Keempat dengan sendirinya mengenal pelayan kecil itu dan bahkan mencicipi masakannya. Dan mungkin saja, Sang Pangeran Keempat jatuh hati pada masakan pelayan kecil dari rumah Keluarga Xu namun terlalu takut untuk berterus terang padanya sehingga membuat putra keempatnya menolak seluruh masakan yang dihidangkan oleh juru masak istana. Seulas senyum lebar tersungging di bibir Kaisar Ming. Jika hanya seperti itu, seharusnya Pangeran Zhu Di tak perlu menyembunyikannya. Jika saja Pangeran Keempat berterus terang, maka ia akan mengambil pelayan kecil itu dan menempatkannya di istana Pangeran Zhu Di. Kaisar Ming yakin bahwa Jenderal Xu Da pasti akan mengijinkannya, bukan karena kedudukannya sebagai kaisar melainkan karena persahabatan mereka yang telah begitu dalam. Kemudian, masalah sakitnya Pangeran Zhu Di akan selesai dengan mudah dan sayembara ini tidak perlu diadakan. Karena sudah jelas siapa sesungguhnya yang dikehendaki oleh Pangeran Zhu Di.
Pandangan mata Kaisar Ming tertuju pada putra keempatnya yang terlihat berbinar-binar. Dan respon yang tampak dari wajah pangeran kecilnya itu dengan sendirinya semakin menguatkan apa yang baru saja disimpulkannya tentang keadaan yang sesungguhnya terjadi. Sambil menghela nafas, Kaisar Ming memalingkan wajahnya, menatap keseluruh penjuru taman di mana semua orang terlihat begitu tegang menanti apa yang akan segera terjadi. Pandangan mata Sang Kaisar menyapu satu demi satu wajah juru masak yang ikut sayembara hingga, ketika ia sampai pada wajah Juru Masak Jiu Zhong, terkejutlah Sang Kaisar. Seketika, pandangannya kembali teralih ke arah Pelayan Chen dan kemudian kembali pada Juru Masak Jiu yang terlihat berdiri dengan gelisah. Dan satu lagi hal yang dimengerti oleh Sang Kaisar Ming. Bahwa sebuah masalah akan segera terjadi. Meski jarak antara rumah panggung dengan tempat di mana Juru Masak Jiu Zhong yang telah diangkatnya sebagai Kepala Dapur Istana yang baru terpaut cukup jauh, namun, dengan jelas ia dapat melihat sinar mata yang memancarkan rasa persaingan di mata juru masak dari rumah Perdana Menteri Hu Weiyong tersebut. Dan Kaisar Ming tidak mengerti, mengapa seorang juru masak yang terkenal dengan kehebatannya dalam memasak itu justru terlihat seolah baru saja menemukan lawan yang sesungguhnya. Pada diri seorang pelayan anak-anak yang kurus dan sama sekali tak dikenal oleh siapapun selain dalam lingkungan keluarga Xu tempatnya bernaung. Hal yang tak pernah terlihat sebelumnya. 
“Yang Mulia Pangeran” terdengar suara Chen berkata sementara Kasim Anta mengambil sepotong makanan berbentuk kuncup Bunga Lotus dari dalam mangkuk besar. “Hamba  memasak dua jenis hidangan dan satu jenis minuman untuk Yang Mulia Pangeran. Hidangan pertama adalah…”
“Berikan padaku” potong Pangeran Zhu Di cepat sambil merebut mangkuk kecil dari tangan Kasim Anta diiringi sebuah lirikan tajam ke arah kasimnya tersebut. “Kau ini kenapa lambat sekali? Apa tidak bisa lebih cepat?!”.
Kasim Anta terkejut, demikian pula Chen, Permaisuri Ma, tiga pangeran yang duduk tak jauh dari Pangeran Zhu Di, Kaisar Ming dan semua orang yang hadir di seluruh taman. Juru Masak Jiu Zhong merasakan dadanya berdesir membuat sepasang tangannya terkepal kuat tanpa disadarinya. Jawaban yang sangat jelas telah diberikan oleh Pangeran Zhu Di. Bukan dengan kalimatnya sebagaimana yang diberikan oleh pangeran kecil itu pada masakan yang dihidangkannya sesaat lalu, namun dengan ekspresinya yang terlihat jelas, sangat jujur dan tak terbantahkan yang justru terdengar lebih lantang dari kalimat yang diucapkan dengan keras. Sepasang mata Juru Masak Jiu Zhong menyipit sambil menatap ke arah Xiao Chen. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Ia telah ditunjuk sebagai Kepala Dapur Istana yang baru setelah Pangeran Zhu Di menunjuknya sebagai pemenang. Dan baik Kaisar Ming maupun Pangeran Zhu Di telah berjanji tidak akan mengalihkan kemenangan yang telah diberikan untuknya pada Pelayan Chen jika anak tersebut berhasil mengembalikan selera makan Sang Pangeran Keempat, namun entah mengapa, melihat reaksi Pangeran Zhu Di yang demikian jelas itu, Juru Masak Jiu merasa sungguh tidak nyaman. Seolah-olah, pemenang sayembara yang sebenarnya bukanlah dirinya melainkan pelayan bernama Xiao Chen itu.
“Pangeran?” bisik Chen sambil menatap Pangeran Zhu Di yang tengah sibuk mengambil potongan-potongan kuncup Bunga Lotus dari dalam mangkuk lalu melahapnya dengan cepat. “Makanlah perlahan-lahan agar tidak tersedak”
“Adik Chen, apa kau tidak tahu betapa laparnya aku?” jawab Pangeran Zhu Di balas berbisik dengan mulut penuh. Sepasang matanya yang jernih terlihat sedikit membelalak.
“Yang Mulia Pangeran, jangan terlalu diperlihatkan, saat ini banyak menteri yang tengah menatap ke arah Yang Mulia Pangeran Zhu Di” bisik Kasim Anta sambil mencondongkan tubuhnya ke arah Pangeran Keempat.
“Ssst!...diam kau!” bentak Pangeran Zhu Di, masih dengan bisiknya membuat sang kasim yang setia itu tergagap dan segera kembali pada posisinya, duduk dengan kepala tertunduk. Kini, giliran Pangeran Zhu Di yang mencondongkan tubuhnya ke arah Kasim Anta. “Setelah acara ini selesai kau harus benar-benar memberikan kakimu padaku. Kau dengar?!”
“Ya Yang Mulia. Hamba akan memberikan kedua kaki hamba pada Yang Mulia Pangeran Zhu Di setelah acara ini selesai” jawab Kasim Anta mengangguk dengan ekspresi pasrah.
Xiao Chen menatap Pangeran Zhu Di. Ada rasa geli terselip di hatinya melihat percakapan di antara Pangeran Keempat dengan pelayannya. Meskipun seolah Pangeran Zhu Di tampak marah pada kasimnya, namun dalam pandangan Chen, apa yang terlihat justru sebaliknya, yaitu sebuah ikatan kasih sayang yang kuat antara tuan dengan pelayannya.
Sementara Pangeran Zhu Di masih terus melahap hidangan di depannya. Kini ia telah merambah pada nasi yang semula dimasak oleh Chen dalam bambu dan dihidangkan dalam potongan-potongan tipis berbentuk bulat. Nasi tersebut masih mengepulkan uap hangat dengan aroma khas daging sapi, bercampur keharuman rempah yang lembut.
“Nasi ini enak sekali. Aku merasa seperti sedang memakan potongan daging yang sangat lembut dan manis dalam mulutku” ujar Pangeran Zhu Di, kali ini tanpa berbisik membuat semua orang di taman belakang dapur istana itu dapat mendengar suaranya dengan jelas.
Dengung suara bisik kembali terdengar. Berbagai reaksi terlihat dari wajah-wajah yang menunggu dengan ketegangan yang nyata. Permaisuri Ma tersenyum bahagia, lebih terlihat bahagia saat ia melihat bagaimana pangeran kecil yang sangat disayanginya makan dengan begitu lahap. Kaisar Ming mengangguk-angguk dengan wajah puas. Perdana Menteri Hu Weiyong menghela nafas. Pandangannya beralih pada juru masaknya. Sepasang bibirnya mengurai senyum. Baginya, tidak masalah jika pelayan kecil bernama Chen tersebut bisa memenangkan sayembara dan berhasil mengembalikan selera makan Sang Pangeran karena yang terpenting baginya, hadiah yang dijanjikan oleh Kaisar telah berada di pundak juru masaknya dan itu berarti, dapur istana telah berada dalam genggaman tangannya. Karena itu, dengan wajah cerah, Perdana Menteri Hu Weiyong segera bertepuk tangan yang membuat para menteri dan pejabat lain menoleh ke arahnya.
“Terpujilah seluruh Dewa dan Dewi di langit dan di bumi” seru Perdana Menteri Hu Weiyong sambil menjatuhkan diri berlutut ke arah Kaisar Ming. “Sungguh sangat membahagiakan melihat Yang Mulia Pangeran Keempat telah sembuh dari sakit dan menyantap hidangan dengan lahap. Semoga Yang Mulia Kaisar, Yang Mulia Permaisuri, yang Mulia Pangeran Zhu Di, Yang Mulia Pangeran Zhu Biao, Yang Mulia Pangeran Zhu Gang, Yang Mulia Pangeran Zhu Shuang dan seluruh keluarga Kaisar diberkati dengan umur panjang dan kesehatan selamanya”
Kata-kata Perdana Menteri Hu Weiyong segera mendapat sambutan dari seluruh menteri dan pejabat yang hadir. Serempak, seluruh pejabat, termasuk Jenderal Xu Da bangkit dari duduk mereka dan berlutut ke arah panggung.
“Semoga Yang Mulia Kaisar dan seluruh keluarga diberkati selamanya” sahut seluruh pejabat kerajaan menyambut kata-kata Perdana Menteri Hu Weiyong.
Sahutan serupa juga terdengar di seluruh penjuru taman yang berasal dari para juru masak yang mengikuti sayembara dan turut berlutut ke arah Sang Kaisar.
Kaisar Ming mengangguk-angguk dengan ekspresi gembira. Senyum cerah tersungging di bibirnya. Satu tangannya terangkat ke arah para pejabat istana dan para juru masak yang berlutut memberi hormat.
“Terima kasih atas doa kalian padaku dan keluargaku. Dan seperti yang kalian semua lihat sendiri, bahwa Pelayan Chen telah berhasil menyembuhkan putraku Pangeran Zhu Di. Karena itu, sesuai dengan apa yang telah aku katakan sebelumnya, maka hadiah untuk Pelayan Chen akan diberikan secara langsung oleh putraku Pangeran Zhu Di. Nah…Zhu Di, hadiah apa yang akan kau berikan pada Pelayan Chen yang telah memberikan kesembuhan padamu?” tanya Kaisar Ming pada Pangeran Keempat setelah menerima penghormatan para pejabat istana dan seluruh juru masak.
Pangeran Zhu Di sedikit terkejut namun segera tersenyum. Mangkuknya telah kosong dan diletakkan kembali ke atas nampan oleh Kasim Anta. Sejenak pandangannya tertuju ke arah Chen yang duduk dengan kepala menunduk di depannya sebelum kemudian, sebuah lirikan terlempar ke arah Changyi yang duduk dengan gelisah. Ia dapat melihat kepala sahabatnya yang terus tertunduk selama Chen memasak hingga akhirnya ia selesai menyantap seluruh hidangan di depannya. Hanya sekali ia melihat Changyi mengangkat wajahnya dan menatap ke arah dirinya dan Chen. Namun meski hanya sekali dan sekejab, tapi sudah cukup baginya untuk dapat membaca kesedihan yang tersimpan di hati sahabatnya itu. Kesedihan yang memancar dari sorot mata Changyi. Sungguh, ia tak membutuhkan kalimat lebih untuk bisa mengerti karena apa yang terbaca dari sepasang mata sahabatnya itu telah mewakili seluruh kalimat yang tak terucapkan oleh bibirnya yang mengatup dengan rapat. Sesaat Pangeran Zhu Di menghela nafas, lalu, pandangannya teralih dari wajah Changyi pada Sang Kaisar yang tengah menunggu jawabannya.
“Ya Yang Mulia, hamba telah menentukan hadiah yang akan hamba berikan pada Pelayan Chen atas jasanya menyembuhkan hamba” jawab Pangeran Zhu Di sambil mengangguk. Senyumnya mengembang sementara kalimatnya yang terucapkan dalam bahasa formal terdengar menggema hingga ke sudut-sudut taman.
“Bagus, sekarang katakan apa hadiah yang akan kau berikan pada Pelayan Chen” kata Kaisar Ming begitu mendengar jawaban Pangeran Zhu Di.
“Hadiah yang akan hamba berikan adalah memberikan kesempatan pada Pelayan Chen untuk menjalani pelatihan prajurit bersama dengan hamba di sekolah prajurit khusus, tinggal dalam satu kamar dengan hamba dan Kakak Xu Changyi di barak calon prajurit dan belajar bersama-sama” jawab Pangeran Zhu Di dengan suara yang lantang membuat semua orang kembali terkejut tak terkecuali Chen dan Changyi.
Changyi mengangkat wajahnya dan menatap Pangeran Zhu Di. Alisnya berkerut setelah mendengar jawaban yang keluar dari mulut sang pangeran.
“Adik Zhu Di” desis Changyi berbisik. Hatinya bergetar saat ia menangkap maksud dari hadiah yang diberikan oleh Pangeran Zhu Di pada Chen. Dan hal itu justru terasa semakin menyudutkan hatinya pada tubir kesedihan. Pangeran Keempat menangkap kekalutan hatinya. Sang Pangeran juga mengerti apa akibat yang akan timbul jika Chen memenangkan sayembara pada kehidupannya dan Chen selanjutnya. Pangeran Zhu Di memahami semuanya meski ia tak mengatakannya. Hati Changyi terasa seperti diremas. 
Sementara Chen yang masih duduk di depan Pangeran Keempat bahkan mencondongkan tubuhnya ke depan. Sepasang matanya melebar dengan ekspresi tidak percaya.
“Yang Mulia? Kenapa Yang Mulia memberikan hadiah seperti itu?” bisik Chen pada Pangeran Zhu Di.
Pangeran Zhu Di menatap Chen sesaat dan tersenyum namun tak ada jawaban yang keluar dari mulutnya. Pandangannya kemudian justru teralih pada Kaisar Ming.
“Apakah Yang Mulia menyetujui hadiah yang telah hamba pilih ini?” tanya Pangeran Zhu Di pada ayahnya yang terlihat masih tertegun.
Kaisar Ming menghela nafas. Terlihat sedikit ragu sebelum kemudian membuka suara.
“Dengar Zhu Di, apa yang kau inginkan itu sungguh suatu hal yang baik. Namun, kau harus mengerti bahwa segala sesuatu di istana dan juga di kerajaan ini telah ditata dalam aturan-aturan yang harus dipatuhi oleh siapapun tanpa kecuali. Termasuk olehmu. Mengenai sekolah untuk calon prajurit khusus aku telah memberikan wewenang pada Kementerian Pertahanan karena itu sudah seharusnya jika kau meminta persetujuan dari Jenderal Lan Yu karena dialah yang bertanggungjawab terhadap seluruh kegiatan di sekolah calon prajurit khusus. Karena itu, setelah sayembara ini selesai, aku akan membicarakan mengenai hadiah yang ingin kau berikan pada Pelayan Chen itu. Dan kuharap, apapun keputusan yang akan diambil nanti, kau akan menghormatinya. Apakah kau mengerti Zhu Di?” sahut Kaisar Ming panjang lebar menjawab pertanyaan putranya.
Beberapa menteri dan pejabat kerajaan terlihat mengangguk-angguk setuju dengan jawaban yang diberikan oleh Kaisar Ming. Sementara Pangeran Zhu Di terdiam. Sesaat masih menatap Sang Kaisar sebelum kemudian menunduk. Ia sudah menduganya. Ayahnya adalah seorang yang sangat menghargai sebuah peraturan bahkan meskipun peraturan itu Sang Kaisar sendiri yang membuatnya. Tetapi, apalagi yang bisa dilakukannya untuk menghilangkan kesedihan di wajah sahabatnya di bawah sana? Sesungguhnya, hal yang membuat Pangeran Zhu Di memutuskan hadiahnya adalah saat ia mengerti makna kesedihan yang dengan jelas dapat ditangkapnya di wajah Changyi.
Sementara itu, Jenderal Xu Da terlihat melirik ke arah Jenderal Lan Yu dan menangkap kerut di wajah perwira tinggi yang tak pernah sejalan dengannya itu. Ia tidak tahu alasan di balik hadiah yang dipilih oleh Pangeran Zhu Di untuk Chen, namun apapun alasan itu, Jenderal Xu Da mengerti bahwa Sang Pangeran Keempat yang sangat cerdas itu sedang berusaha melakukan sesuatu yang dianggapnya baik bukan hanya bagi dirinya sendiri namun juga bagi satu-satunya sahabat terdekatnya. Dan menilik wajah Jenderal Lan Yu yang mengeruh saat mendengar Pangeran Zhu Di menyebutkan hadiahnya untuk Chen, nampaknya apa yang menjadi keinginan Sang Pangeran kesayangan seluruh penghuni istana itu tak akan bisa dengan mudah terwujud.
“Hamba mengerti Yang Mulia” jawab Pangeran Zhu Di kemudian. Kepalanya mengangguk. “Dan hamba akan mematuhi apapun keputusan yang diambil nantinya”.
Kaisar Ming Tai Zhu mengangguk-angguk senang. Pandangannya beralih ke arah seluruh pejabat istana dan juru masak yang memenuhi ruang taman sebelum kemudian berseru. “Bagus, jika begitu, maka sayembara ini kunyatakan selesai. Kalian semua, kembalilah pada tugas masing-masing dan aku ingin, semua orang menerima dan menghormati hasil dari sayembara ini”.
**********