Minggu, 28 Februari 2016

Straight - Episode 5 ( Bagian Tujuh )


 Istana Pangeran Zhu Biao, satu hari menjelang pernikahan…
Sang Putra Mahkota menggerakkan kuas tinta yang dipegangnya dengan cepat di atas lembaran kertas. Jemarinya yang halus bergerak dengan luwes menorehkan ujung kuasnya sementara di depannya, Pangeran Zhu Di menatap sang kakak dengan ekspresi senang.
Sejak tiga hari lalu, keadaan Pangeran Zhu Biao berangsur-angsur membaik. Tubuh sang pangeran yang lemah menguat dan bahkan putra mahkota tersebut telah mampu melakukan kegiatannya sebagaimana sebelum jatuh sakit. Wajahnya yang lembut dan tampan terlihat berbinar dengan sepasang pipi yang merona. Perkembangan yang sangat baik tersebut tentu saja sangat membahagiakan semua orang terutama Kaisar dan Permaisuri Ma yang juga semakin membaik kesehatannya. Hal lain selain kesehatan Pangeran Zhu Biao yang menjadi perhatian adalah adanya peran Perdana Menteri Hu Weiyong yang telah membawa beberapa ahli herbal untuk membantu meramu obat bagi putra mahkota. Dalam sesaat, pamor sang perdana menteri segera mencuat dan menjadi buah bibir di lingkungan istana. Namun, di atas seluruh pembicaraan tentang obat yang sangat manjur dari ahli herbal milik Perdana Menteri Hu Weiyong, tetap saja kesembuhan Pangeran Zhu Biao yang paling memberikan sinar kebahagiaan bagi seluruh istana.
Dan hari ini, Pangeran Zhu Di kembali datang untuk menengok kakak tertuanya tersebut.
“Nah Adik Zhu Di, coba lihat ini” Pangeran Zhu Biao mengangkat kertasnya agak tinggi dan mengarahkannya pada sang adik yang duduk di depannya. “Apa pendapatmu tentang kaligrafiku ini? Tidakkah ini lumayan?”.
Pangeran Zhu Di tersenyum dan mengangguk.
“Kakak Zhu Biao…goresan tinta Kakak Zhu sangatlah halus dan indah. Menurut hamba, kaligrafi itu bukan hanya lumayan melainkan sangat mengagumkan” jawab Pangeran Zhu Di seraya menunjuk ke arah goresan huruf indah di atas kertas.
Pangeran Zhu Biao tertawa dengan nada riang. Sepasang matanya berbinar menatap hasil karyanya.
“Benarkah? Kuharap begitu. Aku sangat ingin membuat satu lukisan yang indah untuk Ibu Ratu, satu kaligrafi untukmu, untuk Adik Zhu Gang serta Adik Zhu Shuang. Anggap saja sebagai hadiah dariku sebelum hari pernikahanku besok” ujar Pangeran Zhu Biao dengan nada ringan.
“Terima kasih Kakak Zhu. Tapi…tidakkah membuat karya sebanyak itu akan membuat tubuh Kakak Zhu menjadi lelah? Hamba khawatir jika Kakak Zhu akan jatuh sakit lagi karena semua orang bahkan rakyat di luar tembok istana akan sangat mencemaskan Kakak Zhu” jawab Pangeran Zhu Di.
“Jangan Khawatir Adik Zhu Di. Aku sudah memiliki obat yang manjur dan aku menyukainya karena itu tidak akan terjadi apa-apa padaku” kata Pangeran Zhu Biao sambil meletakkan kertas kaligrafinya ke atas meja kembali.
“Baiklah jika begitu…hamba menjadi tenang. Apakah Kakak Zhu merasa bahagia dengan pernikahan besok?” tanya Pangeran Zhu Di dengan nada hati-hati.
Mendadak Pangeran Zhu Biao tertawa. Sepasang matanya yang jernih menatap adiknya dengan ekspresi geli.
“Tentu saja aku bahagia Adik Zhu Di. Besok aku akan menikah dan memiliki seorang istri yang cantik lalu kenapa aku tidak bahagia?” jawab Pangeran Zhu Biao.
“Tapi…apakah Kakak Zhu mengenal putri yang akan menikah dengan Kakak Zhu besok?” tanya Pangeran Zhu Di, masih mempertahankan kehati-hatian dalam suaranya.
Pangeran Zhu Biao menarik nafas. Seleret senyum indah bergulir dari wajahnya yang tampan dan lembut.
“Aku tidak mengenalnya secara langsung” jawabnya kemudian. “Tapi aku tahu sedikit tentang dirinya. Aku pernah melihatnya saat ia dibawa ke istana beberapa tahun lalu. Saat itu, ia masih seorang gadis kecil dan aku sendiri tak pernah berpikir bahwa suatu hari kami akan menikah dan ia menjadi istriku. Saat itu aku hanya melihatnya sebagai seorang gadis yang periang namun sopan. Ajaran tata karma nampaknya telah dipelajarinya dengan sangat baik. Jika kuingat kembali ke masa itu, kupikir tak ada salahnya aku menikah dengannya. Ia pasti bisa menjadi istri yang baik”.
Pangeran Zhu Di sedikit tercenung mendengar penuturan kakaknya. Namun, sesaat kemudian, bibir merah segar pangeran tampan tersebut segera merekahkan sebuah senyum indah.
“Itu sangat indah Kakak Zhu. Hamba sungguh sulit membayangkan sebuah pernikahan dengan seseorang yang sama sekali tidak kita kenal. Namun, mendengar apa yang Kakak Zhu katakan pada hamba tadi, tampaknya hal itu sama sekali tidaklah menakutkan” jawab Pangeran Zhu Di kemudian.
Pangeran Zhu Biao menatap adik bungsunya dengan ekspresi geli. Bibirnya berkedut menahan tawa.
“Tentu saja kau belum bisa membayangkan tentang pernikahan untuk saat ini Adik Zhu Di. Tapi, suatu hari nanti, jika saatnya tiba bagimu untuk menikah maka kau akan mengerti” jawab Pangeran Zhu Biao sambil tertawa kecil.
“Hamba percaya apa yang Kakak Zhu katakan. Hanya saja, hamba berharap jika kelak tiba saatnya bagi hamba untuk menikah, maka hamba akan menikah dengan seorang gadis yang hamba kenal dengan baik dan hamba cintai dengan sepenuh hati” sahut Pangeran Zhu Di sambil turut menyunggingkan senyumnya yang indah.
Pangeran Zhu Biao tertawa semakin lebar mendengar kata-kata adiknya.
“Ho..ho..ho…ternyata adikku yang kecil ini sudah mulai mengenal cinta” seloroh Sang Putra Mahkota membuat wajah Pangeran Zhu Di memerah. “Katakan padaku, apa yang kau tahu tentang cinta Adik Zhu Di? Dan darimana kau mengenal cinta dalam hati manusia?”
“Ah..sebenarnya hamba tidak terlalu mengerti tentang cinta Kakak Zhu. Hanya saja, hamba pernah membaca dalam buku-buku sastra di istana Yang Mulia Kaisar dan dari sanalah hamba memahami bahwa dalam hati manusia terdapat suatu rasa yang disebut dengan cinta. Di buku-buku yang hamba baca itu, cinta adalah sebuah keindahan rasa yang diberikan oleh Thian pada manusia dan membuat dunia menjadi penuh warna. Karena itulah, hamba berharap jika nanti hamba menikah, maka hamba akan menikah dengan seorang gadis yang hamba cintai” sahut Pangeran Zhu Di, masih dengan wajah memerah karena malu.
Pangeran Zhu Biao tersenyum.
“Cinta memang indah Adik Zhu Di. Tapi apakah kau mengerti bahwa cinta bukan sekedar rasa menyukai seseorang, melainkan lebih dari itu, cinta adalah sebuah keinginan yang sangat kuat untuk memberi, membahagiakan, dan melindungi orang yang kita cintai? Cinta ada banyak sekali jenisnya. Cinta yang kau rasakan pada sahabatmu, cinta yang kau rasakan pada Yang Mulia Kaisar dan Ibu Ratu, cinta yang kau rasakan padaku dan kakakmu yang lain, cinta yang kau rasakan pada kasim kecilmu itu, semua itu juga merupakan sebuah cinta. Dan cinta yang seperti itu sifatnya putih dan tulus karena kau tidak pernah memiliki hal lain selain kebaikan bagi kami semua yang kau cintai. Akan beda halnya jika kau mencintai seorang gadis maka di dalam hatimu mulai akan dihiasi oleh keinginan-keinginan untuk kesenangan dirimu, kebahagiaan hatimu, juga rasa takut, kemarahan dan kecemburuan. Kau akan memiliki keinginan untuk memiliki gadis itu untuk dirimu, kau akan memiliki rasa takut jika ternyata gadis yang cintai ternyata tidak memiliki rasa cinta padamu sebagaimana yang kau rasakan padanya, kau akan marah dan kecewa jika gadis yang cintai ternyata memilih orang lain selain dirimu dan juga, kau akan merakan kecemburuan jika melihat gadis yang kau cintai berdekatan dengan orang lain selain dirimu. Cinta pada seorang gadis sesungguhnya adalah sebuah rasa yang sangat berat yang jika kau tidak bisa menyikapinya dengan kejernihan hati, jiwa dan pikiranmu, maka cinta seperti itu akan membawamu pada jurang kehancuran. Bukan hanya kehancuran dirimu, tapi juga pada gadis yang kau cintai, bahkan pada orang-orang terdekat di sekitarmu. Apakah kau sanggup menanggung sebuah rasa sebesar itu Adikku?”
Pangeran Zhu Di menatap kakak tertuanya. Hatinya dipenuhi oleh rasa kagum. Sejak dulu ia telah mengenali Pangeran Zhu Biao sebagai seorang yang berhati lembut. Ia bisa melihat bahwa seluruh kelembutan dan kebijaksanaan Sang Permaisuri Ma Xiuying telah menurun pada Pangeran Pertama membuat Pangeran Zhu Di sangat menyayangi kakaknya tersebut, meskipun dalam banyak sekali kesempatan, seringkali Pangeran Zhu Biao justru menegurnya dengan kalimat penuh kemarahan saat ia membuat para pelayan, kasim dan dayang pontang-panting karena ulahnya. Namun hari ini, ia baru mengerti betapa dalamnya hati dan jiwa kakak tertua yang tak pernah sejalan dengan ayah mereka tersebut. Dan ingatan akan hal itu mendadak menumbuhkan rasa sedih dalam hati Pangeran Zhu Di.
“Jadi…bagaimanakah sesungguhnya cinta pada seorang gadis yang benar itu Kakak Zhu?” tanya Pangeran Zhu Di kemudian.
“Cinta yang sesungguhnya hanyalah sebuah rasa sejati tanpa beban keinginan untuk kepentingan diri Adik Zhu Di. Cinta yang sesungguhnya datang dari Thian adalah sebuah rasa cinta tanpa syarat apapun, tanpa keinginan apapun selain kebaikan, kebahagiaan, keselamatan dan segala hal baik untuk orang yang kita cinta, karena cinta yang sejati merupakan petikan dari cinta Thian Yang Maha Cinta. Cinta yang sejati tak pernah mengenal marah, sedih, ataupun cemburu karena ia berjalan pada ketenangan jiwa dan kejernihan hati yang paling bening. Bahkan jika orang dicintai diambil kembali oleh Thian, maka hal itu tetap bukanlah satu alasan untuk hilangnya cinta ataupun jatuh dalam kehancuran karena kesedihan serta rasa merana kehilangan sebab cinta yang sejati tak mengenal ruang dan waktu. Seperti matahari dan rembulan yang meski tak pernah bersatu, namun sesungguhnya tetaplah satu. Rembulan tak pernah ada tanpa matahari yang menghidupkan sang rembulan dengan sinarnya, dan matahari tak akan mampu membantu umat manusia di malam hari tanpa raut wajah rembulan yang menerima cahaya sang matahari dengan segenap jiwanya. Matahari dan rembulan, selalu berkejaran melintasi waktu yang sangat panjang dan sedikitpun tak pernah lelah meski seolah mereka tak akan pernah bertemu. Sebuah rasa cinta sejati, akan selalu menjadi sebuah cinta tanpa halangan nafsu, tidak akan pernah berubah meski waktu menyeret segenap perubahan di wujud sang semesta alam seperti Thian yang tak pernah berubah dari awal hingga akhir kehidupan yang merupakan sebuah awal baru. Cinta yang seperti itu, akan memberikan kedamaian, kebahagiaan, dan ketenangan bukan hanya dalam hati dan jiwa orang itu, orang yang dicintai oleh orang itu bahkan pada orang-orang di sekitar orang itu serta alam semesta karena cinta sejati hanya memberikan keharmonisan dan bukan pertentangan. Dan ketika keharmonisan terjadi, maka segala hal di alam semesta akan berjalan dalam keindahan sebagaimana Thian yang selalu indah di setiap waktu” bisik Pangeran Zhu Biao seraya kembali menyapukan ujung kuasnya pada selembar kertas yang baru.
“Apakah…Kakak Zhu memiliki seseorang yang Kakak Zhu cintai dengan rasa cinta yang seperti itu?” tanya Pangeran Zhu Di kemudian. Sungguh, betapa sulit baginya untuk memahami kesejatian rasa cinta sebagaimana gambaran yang dituturkan oleh kakaknya.
Sapuan kuas diujung jemari Pangeran Zhu Biao mendadak terhenti. Sang pangeran berparas lembut dan tampan itu terlihat menerawang membuat Pangeran Zhu Di tiba-tiba menyesali pertanyaan yang baru saja diucapkannya.
“Ah..Kakak Zhu..maafkan hamba. Hamba tidak bermaksud untuk lancang menanyakan hal yang…”
“Namanya Xiao Ai” potong Pangeran Zhu Biao dengan sorot mata melembut, namun membuat Pangeran Zhu Di terperanjat. “Dia hanyalah gadis biasa, anak seorang petani. Aku mengenalnya saat aku mengikuti pesta rakyat setelah masa panen tiba, Xiao Ai menari bersama gadis-gadis desa lainnya. Xiao Ai, tak ada seorangpun yang akan memandangnya dua kali karena ia hanyalah gadis dari kelas sosial yang rendah, namun saat aku melihat ke dalam kedua matanya, aku melihat keindahan seisi alam tersimpan dalam jiwanya. Xiao Ai, ia tak pernah memandangku sebagai seorang pangeran yang harus mentaati setiap aturan entah aku suka ataupun tidak. Ia hanya memandangku sebagai diriku, dengan harapanku, cita-citaku, dan hakikat diriku. Setiap aku berada di depannya, aku selalu merasa menjadi seorang yang sangat merdeka dan aku tahu itu karena Xiao Ai. Ia yang memberiku kemerdekaan yang tak pernah kudapatkan dalam istana ini”.
Kening Pangeran Zhu Di berkerut dalam. Kenapa ia tak pernah tahu hal ini?. Dan bagaimana kakaknya bisa menyembunyikan hal yang sedalam ini tanpa siapapun mengetahuinya?
“Apakah…Kakak Zhu merasa sedih karena Kakak akan menikah dengan gadis yang lain?” tanya Pangeran Zhu kemudian. Suaranya kini sehalus angin saat bayangan kesedihan tercetak kuat dalam benaknya. Bayangan rasa kecewa dan patah hati karena harus kehilangan seseorang yang paling berarti. Jika hal seperti itu terjadi padanya, maka apa yang akan dilakukannya untuk menghadapi rasa sesedih itu?.
Namun Pangeran Zhu Biao justru kembali tertawa kecil membuat Sang Pangeran Keempat kembali terkejut.
“Tidak Adik Zhu Di…aku tidak bersedih” jawab Pangeran Zhu Biao dengan nada lembut. Dan pandangan mata yang jernih itu jatuh pada sosok adik termuda yang tengah menatap ke arahnya dengan sorot mata tidak mengerti.
“Kenapa…kenapa Kakak Zhu tidak bersedih? Bukankah seharusnya kita akan bersedih jika orang yang sangat kita cintai ternyata tidak bisa menjadi milik kita?” tanya Pangeran Zhu Di dengan alis berkerut.
“Karena jika aku bersedih, maka Xiao Ai akan lebih bersedih lagi” jawab Pangeran Zhu Biao pelan. “Dan jika Xiao Ai bersedih, maka sebagian dari diriku akan mati bersama kesedihannya”.
Pangeran Zhu Di tertunduk. Sungguh, cinta macam apa yang didengarnya hari ini? Bisakah ia memiliki cinta yang seperti itu? dan kebahagiaan seperti apa yang akan ia dapatkan dari cinta yang terdengar tidak masuk akal seperti itu? Baginya, sebuah kebahagiaan harus diraih dengan usaha dan kerja keras dan bukan sekedar dinantikan tanpa melakukan apa-apa. Lagipula, bukankah setiap orang memiliki hak untuk bahagia?. Kepala Pangeran Zhu Di menggeleng dengan ekspresi pusing membuat Sang Putra Mahkota tersenyum saat melihatnya.
“Jangan kau pikirkan Adik Zhu Di, karena logikamu tidak akan bisa memahaminya. Cinta seperti itu hanya bisa kau tampung dengan kedalaman jiwa dan kejernihan hatimu” ujar Pangeran Zhu Biao dengan nada lembut.
Pangeran Zhu Di mengangguk meski benaknya masih juga tak menemukan sebuah pemahaman yang masuk akal tentang gambaran cinta seperti yang dituturkan oleh kakaknya. Sebuah senyum indah segera tersungging di bibirnya yang merah segar.
“Ya Kakak…hamba mengerti” jawab Pangeran Zhu Di kemudian. Sebuah suara halus di balik pintu terdengar membuat Pangeran Zhu Di teringat sesuatu membuat kedua matanya berbinar gembira. “Kakak Zhu, sebenarnya hamba membawa beberapa buah persik untuk Kakak Zhu”.
Pangeran Zhu Biao mengangkat wajahnya dari lembaran kertas di depannya dan menatap adiknya. Senyumnya mengembang.
“Benarkah? Terima kasih Adik Zhu Di. Bawalah kemari, aku sangat menyukai buah persik” kata Pangeran Zhu Biao dengan nada penuh semangat.
“Baik Kakak…” sahut Pangeran Zhu Di yang kemudian sedikit menoleh ke arah pintu kamar dan menepukkan tangannya dua kali seraya berseru pada sosok yang ada di balik pintu. “Adik Chen..bawa masuk buah persik untuk kakakku”.
“Baik Pangeran” terdengar suara halus menyahut dari balik pintu kamar yang tertutup.
Dan sesaat kemudian, ketika Kasim Chen telah berdiri di belakang Pangeran Zhu Di sambil membawa sebuah mangkuk besar berisi buah-buah persik yang ranum dan harum, Sang Putra Mahkota terlihat demikian gembira. Segera saja tangannya melambai ke arah Kasim Chen agar mendekat.
“Ah Adik Zhu Di…buah-buah itu terlihat sangat lezat. Kasim Kecil, cepat bawa kemari buah persik dari adikku agar aku bisa memakannya” seru Pangeran Zhu Biao dengan senyum lebar mengembang.
“Baik Pangeran” Xiao Chen membungkukkan tubuhnya dan mulai bergerak mendekat kemudian mangkuk besar berisi buah persik yang dibawanya diletakkan di atas meja tepat di depan Pangeran Zhu Di sementara Pangeran Zhu Biao beranjak dari mejanya sendiri yang penuh dengan kertas dan kuas tulis.
“Silahkan Kakak Zhu” kata Pangeran Zhu Di mempersilahkan kakaknya saat Pangeran Zhu Biao telah duduk di kursi yang ada di sisinya.
Pangeran Zhu Biao tersenyum lebar dan mengulurkan tangannya meraih sebutir buah persik lalu bersiap menggigitnya saat tiba-tiba…
“Yang Mulia Pangeran Zhu Biao…tabib peramu mohon menghadap. Saatnya bagi Pangeran untuk meminum obat” terdengar seruan keras prajurit penjaga di depan pintu membuat Pangeran Zhu Biao meletakkan kembali buah persik yang dipegangnya ke atas mangkuk besar.
“Masuklah!” jawab Pangeran Zhu Biao dengan suara agak keras.
“Baik Pangeran” suara prajurit penjaga menjawab di depan pintu.
Pangeran Zhu Di menoleh saat seorang tabib peramu obat masuk ke dalam ruangan sambil membawa nampan. Di atas nampan tersebut terdapat dua buah mangkuk bertutup. Xiao Chen yang berdiri tepat di belakang Pangeran Zhu Di sedikit menepi untuk memberi jalan pada tabib peramu obat mendekat ke arah Pangeran Zhu Biao.
“Hormat saya untuk Pangeran Zhu Biao dan Pangeran Zhu Di” ucap Tabib Peramu Obat sambil membungkuk penuh hormat.
Pangeran Zhu Biao mengangguk. Seleret senyum menghias bibirnya.
“Letakkan obatnya di meja, aku akan meminumnya nanti” ujar Sang Pangeran Pertama pada tabib peramu obat.
“Baik Pangeran” sahut Tabib Peramu Obat seraya meletakkan nampannya ke atas meja di depan Pangeran Zhu Biao dan Pangeran Zhu Di.
“Sekarang pergilah, aku masih ingin berbincang dengan adikku” kata Pangeran Zhu Biao pada tabib peramu obat yang masih berdiri di tempatnya.
“Ampun Pangeran, Tuan Tabib mengatakan bahwa Pangeran Zhu Biao harus segera meminum obat ini selagi masih hangat” jawab tabib peramu obat.
“Aku tahu…aku akan segera meminumnya kau tidak perlu cemas. Sekarang keluarlah, aku masih ingin berbincang dengan adikku” ucap Pangeran Zhu Biao mengulang perintahnya.
Sang tabib peramu obat terlihat bingung. Kedua matanya yang kcil mengerjab-kerjab gugup.
“Ampun Pangeran…tidak bisakah Pangeran meminumnya sekarang agar hamba bisa membawa nampannya kembali bersama hamba?” tanya tabib peramu obat dengan ekspresi cemas.
Pangeran Zhu Biao tertawa sementara Pangeran Zhu Di membelalakkan matanya. Sepasang mata Pangeran Keempat mengerling ke arah tabib peramu obat dengan tajam dan galak membuat sang tabib bertubuh kurus itu semakin gugup dan mulai terlihat takut.
“Jadi kau takut aku tidak akan mengembalikan mangkuk dan nampanmu? Jangan khawatir Tabib, aku pasti akan mengembalikannya. Nanti Kasim Chen akan mengembalikan mangkuk dan nampan ini padamu. Bukankah begitu Kasim Chen?” ujar Pangeran Zhu Biao menatap ke arah Xiao Chen.
Xiao Chen segera membungkuk penuh hormat pada Pangeran Zhu Biao.
“Hamba Pangeran” jawab sang kasim kecil di belakang Pangeran Zhu Di seraya membungkukkan tubuhnya.
“Nah…sekarang pergilah” perintah Pangeran Zhu Biao dengan suara halus pada sang tabib.
“Tapi…Pangeran harus meminum obatnya sekarang karena…
Brakk!!
Mendadak sebuah suara keras terdengar dan mengejutkan semua orang termasuk Pangeran Zhu Biao yang segera menatap adiknya yang tengah memandang tabib peramu obat dengan ekspresi sangat marah. Rupanya suara keras tersebut berasal dari tangan Pangeran Zhu Di yang menggebrak meja.
“Apa kau tidak mendengar perintah Kakakku, Tabib?! Apa telingamu sudah tuli?!” bentak Pangeran Zhu Di dengan mata membeliak marah.
Tabib peramu obat gemetar ketakutan. Siapapun sudah mengetahui bahwa Sang Pangeran Keempat sangat menakutkan bila marah. Bisa dikatakan, Sang Pangeran Keempat adalah sosok kedua yang paling ditakuti setelah Kaisar Hongwu ketika sedang marah. Tentu saja dengan mengesampingkan para jenderal militer yang memang sudah menakutkan bahkan ketika tidak sedang marah sekalipun.
“Am..ampun Pangeran” suara tabib peramu obat yang gemetar.
“Cepat pergi!...atau kupanggil prajurit penjaga untuk menyeretmu!” sentak Pangeran Zhu Di dengan nada tinggi.
“Baik…baik Pangeran” sahut tabib peramu obat sambil membungkuk dalam pada Pangeran Zhu Biao dan Pangeran Zhu Di penuh rasa takut kemudian dengan tergesa-gesa segera melangkah ke arah pintu.
Pangeran Zhu Biao menggelengkan kepala sambil menatap adiknya ketika tabib peramu obat telah berlalu dari dalam kamar dan pintu tertutup rapat kembali.
“Adik Zhu Di…kau tidak perlu sekeras itu. Tabib peramu obat hanya ingin memperhatikan diriku” ujar Pangeran Zhu Biao pada adiknya tanpa maksud menegur.
“Kakak Zhu Biao…hamba tidak ingin bersikap keras pada siapapun termasuk pelayan dan dayang. Namun, apabila mereka tidak mentaati perintah, maka itu adalah kesalahan karena salah satu tugas mereka adalah melaksanakan perintah yang diberikan pada mereka. Itu adalah aturan yang sudah sangat jelas dan berlaku bagi siapapun” jawab Pangeran Zhu Di sambil tersenyum. Semburat merah yang sempat mewarnai wajahnya karena kemarahan pada tabib peramu obat telah lenyap sama sekali dan wajah tampan yang ceria itu kembali berbinar menatap sang kakak.
Pangeran Zhu Biao menggelengkan kepalanya. Tangannya terulur ke arah mangkuk obat yang diletakkan oleh tabib peramu obat dan menariknya mendekat.
“Kau ini semakin lama semakin mirip dengan Yang Mulia Kaisar. Kini aku mengerti kenapa Yang Mulia Kaisar sangat memujamu” gumam Pangeran Zhu Biao seraya membuka tutup mangkuk obat.
Uap hangat obat dari dalam mangkuk segera menguar sementara jemari tangan Pangeran Zhu Biao mulai mengangkat mangkuknya.
“Ah…hamba kira Kakak Zhu telah salah menduga. Menurut hamba, Yang Mulia Kaisar sangat menyayangi Kakak Zhu dan juga kakak-kakak yang lain. Saat Kakak Zhu sakit, Yang Mulia Kaisar sangatlah cemas dan bahkan…”
“Pangeran Zhu Biao…mohon jangan minum dulu obat itu” seru Xiao Chen yang berdiri di belakang Pangeran Zhu Di membuat kalimat Pangeran Keempat terpotong dan gerakan Pangeran Zhu Biao yang bersiap mendekatkan mangkuk obat ke bibirnya seketika terhenti.
Pangeran Zhu Di yang tersentak kaget menoleh ke belakang dan menatap kasimnya dengan alisnya berkerut.
“Adik Chen? Ada apa? Kenapa kau melarang Kakak Zhu meminum obatnya?” tanya Sang Pangeran Keempat tanpa maksud menegur.
Xiao Chen membungkuk dalam ke arah dua pangeran di depannya yang tengah menatapnya dengan pandangan tidak mengerti. Kemudian, kasim kecil itu melangkah ke depan melewati Pangeran Zhu Di dan berdiri tepat di sisi Pangeran Zhu Biao.
“Ada apa Kasim Chen? Kenapa aku tidak boleh meminum obat ini?” tanya Pangeran Zhu Biao sambil menatap isi mangkuknya kemudian kembali memandang ke arah Xiao Chen.
“Ampun Pangeran, hamba mohon ijinkan hamba untuk mencicipi sedikit obat dalam mangkuk itu” jawab Xiao Chen sambil menunjuk ke arah mangkuk di tangan Pangeran Mahkota.
Kening Pangeran Zhu Biao berkerut dalam sementara Pangeran Zhu Di justru terlihat sangat terkejut.
“Jadi, kau merasa curiga bahwa tabib peramu obat sedang berusaha meracuni aku? Aku sudah berkali-kali meminum obat seperti ini dan aku tidak mati ataupun kesakitan. Justru aku merasa tubuhku sangat sehat dan segar” ujar Pangeran Zhu Biao. Kali ini terdengar nada menegur dalam suaranya yang halus.
Xiao Chen menggelengkan kepalanya.
“Tidak Pangeran…hamba tidak menduga demikian. Hamba hanya sekedar memastikan saja sebab hamba merasa mengenal aroma obat itu” sahut Sang Kasim Kecil sambil membungkukkan tubuhnya kembali.
Pangeran Zhu Biao menatap Xiao Chen dengan ekspresi sedikit tersinggung membuat Pangeran Zhu Di mengulurkan tangannya dan menyentuh tangan kakaknya.
“Kakak Zhu…hamba kira tak ada salahnya. Kasim hamba ini sangat peka dalam penciumannya. Hamba mohon ijinkan kasim hamba untuk sedikit mencicipi obat Kakak Zhu. Lagipula, bukankah hal semacam ini sudah biasa dilakukan oleh dayang pencicip saat waktu makan tiba?” kata Pangeran Zhu Di dengan nada membujuk membuat Pangeran Zhu Biao menghela nafas panjang dan perlahan meletakkan mangkuk obatnya ke atas meja.
“Baiklah…” kata Pangeran Zhu Biao pada Xiao Chen. “Cicipilah obat itu jika kau merasa mencurigai sesuatu”.
Sekali lagi Xiao Chen membungkuk ke arah Pangeran Zhu Biao sebelum kemudian merogoh ke balik hanfunya dan mengeluarkan sebuah piring kecil terbuat dari batu berwarna hitam. Selanjutnya, kasim kecil itu mengambil sedikit obat dari dalam mangkuk Pangeran Pertama.
Pangeran Zhu Biao dan Pangeran Zhu Di menatap Xiao Chen nyaris tanpa berkedip saat kasim kecil itu mendekatkan obat dalam piring kecilnya ke hidunng lalu menghisap aromanya perlahan. Sesaat, sepasang mata Kasim Chen terlihat memejam sementara keningnya yang putih halus terlihat sedikit kerutan. Kemudian, saat sepasang mata bening sang kasim kecil itu membuka kembali, jemari tangan Xiao Chen membawa piring kecilnya ke arah mulut dan perlahan meneguk obat di dalam piring. Tak terdengar suara tegukan saat Kasim Chen mengallirkan cairan obat Pangeran Zhu Biao ke kerongkongannya. Suasana kamar sunyi dan hening.
“Adik Chen…apa ada sesuatu dengan obat Kakak Zhu?” tanya Pangeran Zhu Di memecah kesunyian kamar saat detak jantungnya semakin keras oleh debar rasa ingin tahu.
“Benar Kasim Chen…katakan padaku apakah kau menemukan sesuatu di dalam obatku? Apakah dugaanmu bahwa tabib peramu obat telah meracuniku benar adanya?” tanya Pangeran Zhu Biao menyusul pertanyaan adiknya.
Xiao Chen memasukkan piring kecilnya kembali ke balik hanfunya kemudian membungkuk ke arah dua pangeran di depannya.
“Hamba tidak menemukan racun di dalam obat itu Pangeran…hanya saja…”
“Sudah kuduga!” dengus Pangeran Zhu Biao dengan nada agak kesal membuat kalimat Kasim Chen terpotong. Tangannya kembali meraih mangkuk obatnya dan mendekatkannya ke mulut. Kemudian, dengan gerak cepat Sang Pangeran Pewaris Tahta tersebut meneguk habis obat di dalam mangkuk hingga habis tak bersisa. Suara tegukan halus terdengar jelas saat cairan obat yang hangat itu tertelan oleh Pangeran Zhu Biao disusul kemudian suara berdetak mangkuk porselin yang diletakkan kembali di atas meja. 
Pangeran Zhu Di menatap kakaknya sejenak lalu berpaling ke arah kasimnya yang terlihat menunduk. Alis tebal bagus Sang Pangeran Keempat mengerut saat ia melihat kilau cemas di mata Kasim Chen.
“Kakak Zhu, maafkan kasim hamba jika membuat Kakak Zhu tidak suka” kata Pangeran Zhu Di pada Pangeran Zhu Biao yang masih terlihat kesal.
Pangeran Zhu Biao menarik nafas panjang. Senyum yang terurai indah dari bibir Sang Pangeran Keempat bagaimanapun membuat kekesalannya pada Kasim Chen menyusut.
“Sudahlah tidak apa-apa Adik Zhu Di…aku bisa mengerti” jawab Pangeran Zhu Biao.
Pangeran Zhu Di kembali mengurai senyumnya sementara satu tangannya memberi isyarat pada Xiao Chen agar kembali ke belakangnya. Untuk beberapa saat kedua pangeran itu masih berbincang hingga sesaat kemudian…
“Kakak Zhu…sepertinya Kakak Zhu mengantuk. Lebih baik Kakak Zhu istirahat karena besok adalah hari yang sangat panjang untuk kita semua” ujar Pangeran Zhu Di seraya bangkit dari tempat duduknya dan mendekati kakak sulungnya. Kemudian dengan gerakan ringan, Sang Pangeran Keempat tersebut memapah Pangeran Zhu Biao yang tampak sangat mengantuk menuju ke arah ranjang.
“Adik Zhu Di… aku masih ingin berbicara denganmu…kita sagat jarang bisa berbicara seperti ini…aku igin berbicara denganmu…” gumam Pangeran Zhu Biao di bahu adiknya.
“Masih banyak waktu Kakak Zhu. Hamba akan selalu menemani Kakak Zhu berbincang tentang apapun dan kapanpun. Namun yang penting sekarang adalah Kakak Zhuharus istirahat” sahut Pangeran Zhu Di seraya membaringkan Pangeran Mahkota ke atas ranjangnya.
Dan sesudahnya, ruang kamar yang mewah itu kembali diliputi ketenangan. Hanya desah halus nafas Pangeran Zhu Biao yang dengan cepat terlelap dalam tidurnya yang sangat pulas.
***********

“Adik Chen…kau mengetahui sesuatu bukan? Katakan padaku, ada apa dengan obat Kakak Zhu Biao?” tanya Pangeran Zhu Di pada kasimnya sementara keduanya berjalan cepat di atas jalan batu.
Udara sejuk menghembus menghantarkan keharuman wangi bunga-bunga yang bermekaran di taman luas yang melingkupi mereka. Kesibukan jelas terasa untuk menyambut pernikahan kerajaan yang akan diadakan besok. Dayang dan pelayan terlihat berlalu lalang dalam kesibukan tugas mereka masing-masing sementara para pejabat kerajaan tak kalah sibuk. Suara-suara yang terdengar membuat lingkungan istana terdengar lebih ramai daripada biasanya. Berbagai hiasan telah dipasang membuat wajah istana terlihat lebih semarak dan indah.
Xiao Chen berjalan di sisi Pangeran Zhu Di dengan kepala menunduk. Beberapa kali keduanya berpapasan dengan pelayan, dayang, prajurit maupun pejabat istana. Suara sapa dan penghormatan yang diberikan oleh orang-orang pada Pangeran Zhu Di saat berpapasan dengan keduanya membuat sang pangeran termuda putra Kaisar Ming itu sedikit gusar terlebih karena banyaknya orang-orang yang berpapasan dengan mereka membuat kasimnya tak juga membuka mulut. Maka, pada satu sudut yang agak sepi, mendadak Pangeran Keempat menghentikan langkahnya lalu tangan kanannya mencekal lengan Kasim Chen.
“Adik Chen…kau pasti menemukan sesuatu dalam obat Kakak Zhu. Cepat katakan padaku…ada apa dengan obat itu? Apakah obat itu…”
“Pangeran…bisakah kita membicarakan hal ini nanti setelah sampai di istana Pangeran?” potong Xiao Chen dengan nada berbisik membuat kedua mata Pangeran Zhu Di membesar. Sepasang alis sang pangeran yang tebal bagus mengerut, separuh karena cemas separuh karena rasa penasaran.
“Kalau begitu ayo cepat kita pulang!” Pangeran Zhu Di menarik lengan Xiao Chen dan keduanya mulai berjalan kembali. Kali ini dengan langkah yang lebih cepat.
Xiao Chen menurut saat lengannya ditarik oleh Pangeran Zhu Di. Diliriknya wajah sang pangeran yang terlihat tegang. Tak ada lagi kata yang meluncur keluar dari bibir Pangeran Keempat. Bahkan sapa dan penghormatan dari semua orang yang berpapasan dengan merekapun kemudian sama sekali diacuhkan oleh pangeran kesayangan kerajaan tersebut.
Hingga kemudian, saat keduanya nyaris sampai di istana Pangeran Keempat, mendadak Pangeran Zhu Di kembali berhenti. Pandangannya lurus menatap ke arah sebuah bangunan yang sangat megah. Itu istana Kaisar Hongwu.
“Ada apa dengan Yang Mulia Kaisar? Kenapa begitu banyak orang berkerumun di jalan depan istana?” tanya Pangeran Zhu Di sambil menatap istana tempat di mana ayahnya tinggal.
Xiao Chen turut memandang ke arah istana kaisar. Memang benar, istana kaisar terlihat ramai. Meskipun adalah hal biasa jika istana Kaisar Ming ramai dan dipenui penjaga karena banyaknya pejabat yang datang dan pergi untuk menghadap kaisar, namun hal biasa itu menjadi tidak biasa jika yang banyak berkerumun di depan istana kaisar adalah…
“Mereka para gadis dan dayang istana” lanjut Pangeran Zhu Di.
“Mungkin para gadis itu sedang menantikan untuk melihat para tamu kerajaan, Pangeran. Dan para dayang itu adalah pelayan dari para gadis tersebut” jawab Xiao Chen di sisi Pangeran Zhu Di.
“Ho…tamu kerajaan seperti apa yang bisa membuat para gadis meninggalkan kamar mereka dan berdiri di depan istana kaisar? Bahkan banyak di antara mereka adalah putri-putri para pejabat istana. Kecuali jika tamu yang sedang menghadap Yang Mulia Kaisar itu seindah malaikat, sangat mustahil bisa mengumpulkan seluruh gadis dan dayang istana seperti ini” gumam Pangeran Zhu Di mendengar jawaban kasimnya.
Sementara Xiao Chen sendiri justru tercekat. Mendadak dadanya berdetak oleh rasa bahagia dan rindu yang mengguncang saat benaknya dapat menebak hal yang sedang terjadi. Hal yang membuat para gadis istana dan dayang berkumpul di depan istana kaisar. Jawaban yang justru membuat bibir Xiao Chen mengatup sementara sepasang matanya merebak merah.
Tiba-tiba Pangeran Zhu Di melangkah cepat ke arah beberapa dayang yang berdiri dalam jarak paling dekat dengannya. Para dayang yang berdiri menghadap ke arah istana kaisar sama sekali tak mengetahui kedatangan Pangeran Keempat sehingga, saat sang pangeran dengan suara agak keras memanggil para dayang tersebut, mereka terlihat kaget dan seketika menjadi ketakutan. Para dayang istana berusia muda tersebut segera membungkukkan tubuh mereka dalam-dalam ke arah Pangeran Zhu Di.
“Apa yang terjadi dengan kalian semua? Mengapa kalian berkumpul di depan istana kaisar?” tanya Pangeran Zhu Di dengan nada yang galak membuat para dayang di depannya semakin mengkerut.
“Ampun Pangeran…kami di sini hanya mengantar Nona-Nona kami” jawab satu dayang bertubuh tinggi.
“Aku tahu kalian mengantar nona kalian. Yang kutanyakan adalah mengapa kalian semua berkumpul di depan istana kaisar? Apa yang terjadi sampai nona-nona kalian semua meninggalkan kamar mereka?” tanya Pangeran Zhu Di dengan nada semakin galak.
“Kami…Nona kami…berkumpul di depan istana kaisar ini karena Nona kami sangat ingin melihat Tuan Muda Xu…demikianlah Pangeran” jawab seorang dayang bertubuh agak gemuk dengan suara gemetar.
Namun, jawaban yang diberikan oleh dayang tersebut justru membuat Pangeran Zhu Di terlonjak kaget dan wajah yang semula terlihat galak mendadak berubah berseri-seri.
“Kakak Xu? Maksud kalian Kakak Xu Changyi?!” seru Pangeran Zhu Di sementara Xiao Chen menunduk. Tebakannya benar.
“Kakak…kau pulang” bisik Xiao Chen dengan bibir bergetar.
“Benar Pangeran” jawab dayang lain. Wajah berbinar sang pangeran sedikit mengurangi ketakutan mereka. “Tuan Muda Xu Changyi telah datang ke istana Yang Mulia Kaisar bersama Jenderal Xu Da dan banyak pejabat tinggi lain. Hal itulah yang membuat Nona kami berkumpul di sini untuk melihat Tuan Muda Xu”
“Benar Pangeran” sambung dayang yang lain. “Tuan Muda Xu sudah lama pergi dan tiba-tiba kembali ke istana. Dan semakin rupawan. Hal itulah yang menyebabkan kami…eh…Nona kami datang untuk melihat Tuan Muda Xu”.
“Apakah gadis yang di sana itu Nona-mu?” tanya Pangeran Zhu Di sambil menunjuk ke arah seorang gadis berpakaian hanfu indah yang berdiri bersama beberapa gadis lain.
Dayang bertubuh gemuk segera membungkuk penuh hormat ke arah Pangeran Zhu Di.
“Benar Pangeran…Nona itu adalah Nona hamba” jawab sang dayang gemuk.
Pangeran Zhu Di mendengus.
“Katakan pada Nona-mu agar menghapus air liurnya. Juga gadis yang berdiri di ujung sana itu. Kenapa ia menatap ke arah istana kaisar dengan airmata membanjir seperti itu? Apakah seluruh kotak perhiasannya telah lenyap?” kata Pangeran Zhu Di seraya mengalihkan pandangannya dari para dayang di depannya ke arah istana, tepat di saat serombongan pria keluar dari pintu paling depan istana kaisar dan para gadis di depan istana bagai disentakkan oleh sebuah tenaga tak kasat mata, membuat para gadis yang semula tenang tersebut mulai berbisik, semakin lama semakin keras hingga akhirnya sebuah jeritan keluar.
“Tuan Muda Xu..!” jerit seorang gadis yang tak lagi mampu menahan sentakan tenaga dalam hatinya seraya mengulurkan tangannya ke arah satu sosok tubuh tinggi dan gagah dalam hanfu berwarna biru yang indah dan rapi. Sosok cemerlang yang dengan cepat segera mengambil alih keindahan matahari di langit. Dan jeritan pertama tersebut segera mendapat sambutan dari para gadis lain yang turut pula menjerit. Suara di depan istana kaisar mendadak menjadi riuh oleh suara jerit para gadis – dan dayang – yang memanggil ke arah sosok cemerlang di atas tangga istana kaisar, di antara para pejabat tinggi istana. Dan suara jeritan itu semakin keras saat sosok seindah malaikat di atas tangga istana tersebut menyunggingkan senyum menawan di bibirnya yang berlekuk sempurna seraya sedikit membungkukkan tubuhnya yang gagah dan indah.
“Kakak Xu!” seolah tanpa sadar Pangeran Zhu Di turut memanggil ke arah sosok cemerlang yang berdiri di atas tangga istana kaisar. Tubuhnya sudah nyaris berlari ke arah istana, namun sebuah tangan dengan cepat memegang lengan sang pangeran membuat Pangeran Keempat berpaling ke arah kasimnya. “Ada apa Adik Chen? Aku ingin bertemu dengan Kakak Xu…aku rindu sekali padanya”.
“Pangeran…Kakak Changyi sedang bersama dengan Jenderal Xu Da dan para pejabat tinggi istana. Sepertinya saat ini mereka tengah membicarakan hal yang sangat penting. Dan lihatlah para gadis itu, juga dayang-dayang mereka. Semuanya terlihat seperti telah kehilangan akal mereka. Jika Pangeran ke sana sekarang maka kerinduan Pangeran pada Kakak Changyi tidak akan tersampaikan karena keadaan Kakak Changyi tidak memungkinkan untuk bisa leluasa berbicara dengan Pangeran” jawab Xiao Chen membuat Pangeran Zhu Di segera terhenti saat ia dapat menerima kebenaran dalam kata-kata kasim kesayangannya.
“Baiklah…kalau begitu, kita ke rumah Paman Xu Da sekarang. Kakak Xu dan Paman Xu Da pasti akan segera pulang ke rumah. Ayo Adik Chen! Kita tunggu Kakak Xu di rumah Paman Xu Da” kata Pangeran Zhu Di seraya membalikkan tubuhnya dan mulai berlari cepat meninggalkan jalan berbatu hitam yang ditata dengan indah.
Sekilas Xiao Chen menatap ke arah tangga istana di mana sosok kakak yang sangat dirindukannya masih berdiri bersama para pejabat tinggi lainnya. Suasana yang semula riuh oleh jerit para gadis dan dayang memanggil ke arah Changyi mendadak senyap saat sesosok tubuh lain keluar dari pintu depan istana kaisar. Sosok penuh kharisma dalam penampilannya gagah dan tinggi besar di balik seragam militernya yang lengkap sebagai Panglima Tertinggi Kerajaan. Sosok penuh kharisma berpakaian militer tersebut menatap ke arah para gadis dan dayang membuat jerit panggil yang semula terdengar seketika menghilang sementara sosok penuh kharisma Sang Panglima Tertinggi Kerajaan itu segera berdiri di sisi putranya yang seindah malaikat.
Xiao Chen menghela nafas menahan beban kerinduannya sendiri sebelum kemudian, tubuh kasim kecil tersebut berbalik dan dengan gerak sangat ringan segera melesat menyusul Pangeran Zhu Di.
***********
“Adik Zhu Di…sebenarnya Anda ingin membawa kami semua ke mana?” tanya Changyi pada Pangeran Keempat yang berkuda di sisinya. Sekilas, kepala Changyi menoleh ke belakang mereka dan menatap sosok Xiao Chen yang berkuda di sisi Xu Guanjin. Sebuah pancaran lembut cahaya memancar dari sepasang mata indah pemuda tersebut saat menatap dua sosok yang  berkuda dengan tenang di belakangnya. Dua sosok yang juga tengah menatapnya dengan pancaran mata yang mengisyaratkan hal berbeda. Sepasang mata Xiao Chen yang terus merebak merah oleh pancaran kerinduan yang dapat dengan jelas dibacanya membuat hati Changyi diliputi rasa haru sebab sesungguhnya iapun merasakan kerinduan yang sama pada Xiao Chen. Lalu, sepasang mata lain yang juga tengah menatapnya dengan binar yang membuat hati Changyi terasa berdegub dengan keras. Kenapa Xu Guanjin menatapnya dengan cara seperti itu? Seolah ada dua butir bintang paling jernih di langit yang telah tenggelam di kedalaman mata gadis yang sangat jelita tersebut. Dan di dalam pancaran kejernihan cahaya itu Changyi dapat merasakan adanya berbagai rasa…rindu…dan…mungkinkah itu…cinta? Sepasang alis Xu Changyi berkerut saat benaknya membawa kembali kenangan pada ucapan sahabatnya di distrik pelatihan prajurit bahwa seorang gadis sedang berusaha mengungkapkan rasa sukanya pada sang matahari. Dan bahwa sang matahari itu adalah…dirinya. Seulas senyum terukir di bibir Changyi pada gadis yang selalu membawa keharuman wangi musim semi itu. Senyum yang sesungguhnya adalah sebuah topeng untuk menutupi suara jantung pemuda tersebut yang terasa mulai lebih keras berdetak.
“Aku ingin membawa Kakak Xu, Adik Chen dan Guanjin-moi ke suatu tempat yang sangat indah. Aku menemukan tempat tersebut beberapa waktu yang lalu saat aku mengikuti kegiatan berburu Yang Mulia Kaisar. Aku sangat yakin tempat itu akan semakin indah di musim semi seperti sekarang” jawab Pangeran Zhu Di dengan senyum merekah ceria.
Changyi tertawa kecil mendengar jawaban Pangeran Zhu Di. Ia baru saja sampai di Ibukota Yingtian tadi malam setelah menghadang kapal pembawa wanita-wanita yang hendak dijual di Beiping. Tamtama Bohai yang datang menyusulnya banyak membantu dalam menangkap seluruh awak kapal dalam penyamaran yang sempurna dan membawa kembali para wanita yang ternyata berasal dari berbagai desa di sekitar kotaraja. Dan begitu tiba di rumah, ia dan Tamtama Bohai langsung melaporkan segala hal yang telah ditemukannya termasuk menyerahkan semua awak kapal pada ayahnya yang telah menunggu bersama Jenderal Chang Yu Chun. Kemudian pagi ini, ia bersama ayahnya menghadap Kaisar di istana. Changyi sungguh tidak menduga bahwa hari pertamanya di kotaraja setelah kepergiannya beberapa purnama lalu akan penuh dengan kejutan. Mulai dari para gadis dan dayang yang menyambutnya di depan istana kaisar, keramahan dan penerimaan kaisar yang terus memujinya di depan para pejabat tinggi istana hingga membuatnya merasa sedikit jengah dan kini, begitu ia tiba di rumah, ia disambut oleh Pangeran Zhu Di yang telah bersiap untuk membawanya pergi. Lebih mengejutkan lagi adalah keikut sertaan Xu Guanjin yang dengan jujur menyampaikan keinginannya turut pergi. Nyonya Xu Da tidak dapat menolak saat Pangeran Keempat meminta ijin untuk membawa serta gadis yang kini sering membuat jantungnya kehilangan kedamaian itu.
Mereka terus berkuda hingga melewati batas gerbang kotaraja dan jalanan yang dilalui mulai menanjak menaiki sebuah bukit yang tinggi. Udara yang sangat sejuk dan kehijauan alam yang sangat indah segera menyambut membuat Changyi segera mengakui bahwa bukit yang tinggi ini memang sangat indah. Terlebih, beberapa kali terdengar seruan kekaguman Xu Guanjin saat melihat berbagai jenis burung, kupu-kupu dan rusa yang melintas di antara gerumbul semak bunga perdu. Hingga kemudian, saat jalan yang mesti di tempuh tak lagi memungkinkan untuk dilalui dengan kuda, keempat remaja itu segera turun dari atas kuda mereka lalu mulai mendaki sedikit lagi ke atas dan baru berhenti saat tiba di puncak bukit yang ternyata berupa sebuah tanah lapang kecil dengan hamparan rumput penuh bunga berbagai warna. Bagaikan seekor burung hong kecil yang telah lama dikurung lalu tiba-tiba mendapatkan kembali kebebasannya, Xu Guanjin segera berlari menyambut ribuan kuntum bunga di padang rumput kecil membuat ketiga pemuda di belakangnya tertawa. Pangeran Zhu Di menoleh ke arah Changyi dan melangkah mendekat.
“Kakak Xu…apakah Kakak Xu sudah membaca suratku yang ketiga?” bisik Pangeran Zhu Di di sisi Changyi membuat pemuda itu tersentak dan rasa gelisah seketika kembali meliputi hatinya.
“Ya Adik Zhu Di…saya telah membacanya” sahut Changyi. Keindahan senyum di bibir Changyi membuat seluruh kegelisahan hati pemuda tersebut tak terkilas sedikitpun di wajahnya yang rupawan.
“Lantas? Menurut Kakak Xu, apa yang sebenarnya telah terjadi padaku? Dan…apa yang harus kulakukan?” tanya Pangeran Zhu Di seraya menatap ke arah Xu Guanjin yang tengah sibuk dengan ribuan kuntum bunga di sekitarnya.
Changyi tertawa. Sungguh ia sendiri tak tahu hal apa yang telah terjadi pada dirinya, lalu bagaimana ia bisa menjawab pertanyaan dari Pangeran Zhu Di? Namun, sebuah jawaban tetap harus ia berikan pada sahabatnya ini.
“Menurut saya, apa yang Anda rasakan adalah hal yang wajar Adik Zhu Di. Setiap orang, siapapun dia, pada akhirnya akan mengalami hal seperti yang Anda alami sekarang” jawab Changyi seraya menatap sang pangeran di sisinya.
“Tapi aku benar-benar bingung Kakak Xu. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan dan aku sangat takut akan membuat kesalahan di depan Xu Guanjin-moi…” kata Pangeran Zhu Di dengan nada murung. Sesaat wajah tampan ceria Pangeran Keempat itu menunduk dalam liputan mendung sebelum kemudian, ia kembali menatap ke arah sahabatnya. “Aku belum pernah memiliki perasaan seperti ini pada seorang gadis. Dan rasanya sangat berat. Rasanya seperti membuatku tersiksa tapi aku juga tak ingin melepasnya”.
Changyi memandang hingga jauh ke dalam sepasang mata Pangeran Keempat. Dalam kegelisahannya sendiri, ia masih dapat melihat jalan jernih yang mesti ditempuhnya hingga ia tak kehilangan arah karena kehadiran seorang gadis. Namun, di kedalaman mata Sang Pangeran Keempat, ia hanya menemukan kekalutan seolah jiwa Sang Pangeran Keempat telah sepenuhnya diambil alih oleh sosok baru yang ditemukannya. Dan rasa kasih sayang yang telah tercipta di antara dirinya dengan Pangeran Zhu Di membuat hati Changyi tersentuh oleh rasa iba seolah yang kini berdiri di depannya bukanlah seorang pangeran yang cerdas dan merupakan kesayangan kaisar melainkan adik kecilnya yang merapuh oleh cinta pertama.
“Adik Zhu Di…menurut saya, tak ada yang harus Anda lakukan. Anda hanya perlu mengikuti irama hati Anda dan jangan mengingkarinya karena pada akhirnya, hati Anda akan membawa kaki Anda menuju jalan yang tepat” sahut Changyi kemudian.
Pangeran Zhu Di terlihat merenung. Dua pasang mata Pangeran Zhu Di dan Changyi menatap ke arah Xu Guanjin di tengah padang bunga. Hingga, sebuah suara halus yang terdengar membuat Changyi menoleh ke belakang.
“Adik Chen” panggil Changyi saat melihat Xiao Chen yang perlahan mendekat ke arah mereka.
Pangeran Zhu Di menoleh ke arah kasim kecilnya. Sebuah pengertian menyusup ke dalam benaknya membuat sang pangeran tersenyum.
“Ah..Adik Chen…maafkan aku karena telah melupakanmu. Aku tahu, kau pasti sangat merindukan Kakak Xu juga sebagaimana diriku. Baiklah…kalian berdua berbincanglah. Aku akan menemani Guanjin-moi melihat bunga-bunga” kata Pangeran Zhu Di sambil menatap Xiao Chen dan Changyi berganti-ganti. Senyum cerianya kembali menebar.
“Terima kasih Pangeran” sahut Xiao Chen seraya membungkuk ke arah Sang Pangeran Keempat.
Pangeran Zhu Di mengangguk. Pandangannya kemudian beralih pada Changyi.
“Kakak Xu…aku akan menemani Guanjin-moi sebentar. Nanti kita bicara lagi” kata sang pangeran seraya menunjuk ke arah Xu Guanjin di tengah padang.
Changyi tersenyum dan mengangguk. “Terima kasih Adik Zhu Di…” sahutnya kemudian. “Dan jangan terlalu jauh. Saya kira, di ujung padang kecil ini adalah tebing yang sangat tinggi. Saya bisa merasakan hembusan angin yang sangat keras dari arah ujung padang”.
“Baik Kakak Xu…kalian berdua berbincanglah” seru Pangeran Zhu Di seraya mulai berlari ke arah tengah padang menyusul Xu Guanjin.
Xiao Chen menatap Changyi yang berdiri tepat di depannya. Sepasang matanya yang telah sejak beberapa waktu lalu bersemburat merah kini benar-benar penuh oleh air yang segera mengalir jatuh ke pipi membuat Changyi seketika tertawa saat menyadari bahwa adiknya sedikitpun tak berubah bahkan setelah mereka dipisahkan oleh kedudukan yang berbeda di istana. Hal yang mendadak menyusupkan rasa lega dalam hatinya. Lega saat ia akhirnya menyadari bahwa sesungguhnya, meski bagaimanapun keadaan yang kini mereka hadapi namun Xiao Chen tetaplah adiknya.
“Kakak…maafkan aku karena tidak mengantarmu saat hendak berangkat ke wilayah timur. Aku…”
Kalimat Chen terhenti saat Changyi mengulurkan tangannya dan kemudian memeluknya membuat airmata Xiao Chen semakin deras mengalir.
“Tidak apa-apa Adik Chen” jawab Changyi di sisi telinga Xiao Chen. “Maafkan aku yang terlambat menyadari semuanya dan terlalu terbawa perasaanku. Aku senang saat melihatmu sehat. Sepertinya, Pangeran Keempat sangat memperhatikan dirimu”.
“Ya Kakak…Pangeran Zhu Di sangat baik padaku” sahut Xiao Chen mengangguk. Tangannya bergerak mengusap kedua pipinya saat akhirnya Changyi melepaskan pelukannya. Chen menatap kakaknya. “Dan aku sangat bahagia karena Kakak sekarang semakin luar biasa”.
Changyi tertawa lebar hingga deretan giginya jelas terlihat.
“Ah…ha..ha..apanya diriku yang luar biasa Adik Chen? Aku tetap seperti dulu. Masih kakakmu” sahut Changyi dalam tawanya.
Xiao Chen turut tertawa. Sepasang mata jernih kasim kecil itu berbinar-binar gembira. “Aku sudah mendengar semua tentang Kakak. Juga tentang prestasi Kakak di wilayah timur. Seluruh istana mendengarnya bahkan Yang Mulia Kaisar. Aku mendengar Kakak telah turut serta mengamankan daerah-daerah perbatasan bersama dengan pasukan Jenderal Chang Yu Chun. Dan bahkan, aku juga mendengar bahwa Kakak sekarang telah dipercaya untuk memimpin satu pasukan Kakak sendiri. Itu benar-benar luar biasa. Aku sangat bangga padamu Kakak Changyi”.
“Aku hanya berharap bisa melakukan hal terbaik yang dapat kulakukan Adik Chen. Karena aku sudah berjanji padamu. Kau ingat? Saat kita masih harus mencuri beras untuk bertahan hidup, suatu malam kau menangis dan bertanya padaku bagaimana jika aku tertangkap saat mencuri beras dan penduduk desa membunuhku. Lalu kukatakan bahwa aku akan selalu melakukan yang terbaik yang bisa kulakukan untukmu. Kau ingat?” tutur Changyi dengan senyum lebarnya membuat tawa Xiao Chen kembali meledak namun kini bercampur airmata yang berulir lagi di pipi putih kasim kecil itu.
“Tentu saja aku ingat Kakak. Dan sesudahnya, keesokan harinya saat Kakak Changyi pergi ke desa untuk mencuri beras lagi, aku memutuskan untuk ikut denganmu. Siapa sangka, karena aku ikut denganmu, justru membuat gerak Kakak menjadi tidak bebas dan akhirnya kita ketahuan oleh penduduk desa yang mengejar kita hingga Jenderal Xu Da menyelamatkan kita dari amukan para penduduk” sambung Xiao Chen.
“Aku merindukanmu Adik Chen. Kuharap kau bisa mengerti apa yang kuinginkan untukmu, untuk kita berdua. Hanya kau keluargaku yang sesungguhnya. Kuharap kau akan selalu percaya padaku. Aku pasti akan melindungimu seperti yang telah kujanjikan di depan ayah, ibu, paman dan bibi dahulu” ujar Changyi membuat airmata Xiao Chen semakin deras mengalir dan kasim kecil itu segera menghambur memeluk pemuda di depannya. Changyi menyambut pelukan adiknya dengan hangat. Senyumnya mengembang lebar dan bahagia.
“Aku percaya padamu Kakak…maafkan aku karena telah memberikan kesedihan padamu” jawab Xiao Chen di antara uraian airmatanya.
“Mulai sekarang kau jangan menjauh dariku Adik Chen, jangan mengambil jalanmu sendiri agar aku tidak kehilangan jejakmu. Kapanpun kau ingin bertemu denganku, bicaralah pada Adik Zhu Di karena ia pasti memberikan ijin untukmu. Aku tahu karena Pangeran Keempat adalah sahabat terbaikku”.
“Aku tahu…dan aku akan menuruti apa yang Kakak katakan..” Xiao Chen mengangguk.
“Kakak Xu!...Kakak Xu!!” suara teriakan keras Pangeran Zhu Di menyentakkan Changyi dan Xiao Chen membuat keduanya serentak menoleh ke arah sudut padang kecil dan seketika, baik Changyi maupun Xiao Chen terperanjat saat melihat Pangeran Zhu Di tengah berusaha bertahan di sebatang pohon kecil sementara sosok Xu Guanjin tak lagi terlihat meski Changyi dan Xiao Chen masih bisa mendengar jeritan gadis itu.
“Adik Zhu Di!...Xu-moi!” teriak Changyi sambil melesat ke arah ujung padang diikuti oleh Xiao Chen. Gerak kedua bersaudara tersebut terlihat sangat cepat dan ringan menunjukkan kemampuan keduanya dalam ilmu meringankan tubuh yang telah mencapai tataran tinggi.
“Changyi-ko!” jerit Xu Guanjin yang tergantung di tangan kiri Pangeran Zhu Di. Wajah gadis jelita itu terlihat pias oleh ketakutan, terlebih saat ia bisa merasakan betapa tangannya yang berada dalam genggaman tangan kiri Pangeran Zhu Di perlahan terlepas karena keringat yang menyebabkan tangan keduanya menjadi licin.
“Pangeran!” teriak Xiao Chen saat melihat pohon yang menyangga tubuh Pangeran Zhu Di dan Xu Guanjin pada akhirnya patah tepat di tengah.
Changyi dan Xiao Chen dapat melihat dengan jelas saat tubuh Pangeran Zhu Di dan Xu Guanjin melayang dengan deras ke dalam jurang yang sangat dalam dan curam. Changyi melesat semakin cepat hingga tubuhnya melenyap dan berubah menjadi sebuah bayangan berwarna biru mendahului Xiao Chen yang segera melesatkan tubuhnya pula menyusul kakaknya menuju ke jurang yang menganga di depan mereka.
“Adik Chen…selamatkan Pangeran!…aku akan menolong Xu Guanjin-moi!” suara Changyi yang berteriak keras terdengar berkumandang sementara bayangan biru tubuhnya telah lenyap, meluncur dengan sangat cepat ke dalam jurang menyusul tubuh Xu Guanjin yang melayang dengan deras menuju dasar jurang.
“Baik Kakak!” jawab Xiao Chen yang telah meluncur pula ke dalam jurang menuju ke arah tubuh Pangeran Zhu Di. Kasim kecil itu sekilas melihat sehelai akar hitam yang menyembul di dinding jurang. Ia tak tahu apakah akar tersebut akan kuat untuk menyangga tubuhnya, namun ia hanya membutuhkan sedikit pijakan untuk melentingkan tubuhnya dengan gingkangnya agar ia bisa melewati Pangeran Keempat dan meraih tubuh sang pangeran. Karena itu, dalam sekali kelebat cepat, Xiao Chen segera menyambar ujung akar hitam tersebut, meminjamkan tenaga dalamnya pada akar untuk kemudian mengambilnya kembali dalam bentuk tenaga lentingan yang melontarkan tubuhnya ke arah Pangeran Zhu Di. Hanya dalam beberapa detik, tubuh Kasim kecil itu telah melewati tubuh Pangeran Zhu Di. Xiao Chen tahu bahwa kesempatannya untuk meraih  tubuh Pangeran Keempat sangatlah singkat, karena itu, begitu lengan Pangeran Zhu Di telah melewatinya, maka tangan Xiao Chen segera terulur dan dalam setengah detik, sang pangeran telah berhasil ditangkapnya.
“Adik Chen!” seru Pangeran Zhu Di dalam dekapan Xiao Chen sementara tubuh keduanya masih meluncur deras ke bawah. Wajah tampan Pangeran Keempat terlihat pucat.
“Tenanglah Pangeran, kita pasti akan keluar dari jurang ini” jawab Xiao Chen seraya mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
Tak ada akar maupun sulur pepohonan di dalam jurang tersebut. Dinding jurang hanya berhias batuan terjal dan rumpun belukar yang bersemi. Dan Xiao Chen tahu bahwa ia tak akan bisa menggantungkan tubuh mereka pada akar rumpun muda yang baru menguncupkan daun-daunnya di musim semi tersebut. Satu-satunya yang dapat dilakukannya untuk bisa selamat dari dasar jurang yang bahkan belum terlihat karena tertutup oleh arakan awan-awan putih hanyalah dengan seutas tali. Maka tanpa menunggu lebih lama, sang kasim tersebut segera mengurai kain pengikat rambutnya dengan satu tangannya sementara tangan lain memeluk tubuh Pangeran Zhu Di dengan erat. Kemudian, dengan satu kali sentak, tali kain yang tak lebih panjang dari dua tombak itu telah melesat menuju dinding jurang. Dalam dekapan kasimnya, Pangeran Zhu Di dapat melihat betapa tali yang sangat lentur itu seolah telah berubah menjadi sebatang besi yang sangat kuat dan tajam. Sepasang mata Pangeran Zhu Di terbelalak saat ia melihat betapa ujung tali kain yang dilemparkan oleh Xiao Chen dengan sangat mudah menembus dinding jurang yang keras oleh batuan padas seolah batu-batu dinding jurang itu selembut kue beras. Kemudian, ujung tali yang telah terbenam ke dalam dinding jurang tersebut terlihat bergerak seperti benda hidup yang memiliki nyawa, menggeliat dan melibat batuan dinding jurang dengan sangat kuat.
Detik selanjutnya, Pangeran Zhu Di merasa keduanya bagaikan disentakkan menuju dinding jurang yang sangat keras. Ia nyaris mengira bahwa ia dan kasimnya pasti akan menabrak dinding batu jurang, namun dugaannya ternyata keliru karena satu jengkal lagi mereka sampai ke dinding batu, mendadak Xiao Chen telah lebih dulu menjejakkan kakinya ke batuan yang keras dan melenting ke atas. Gerakannya yang sangat cepat dan gesit seolah tanpa beban tubuh Pangeran Zhu Di di lengannya membuat keduanya dalam sekejab telah sampai di atas.
Pangeran Zhu Di  berdiri di sisi kasimnya, masih separuh bersandar karena tubuhnya yang gemetar sementara mereka kini telah berhasil keluar dari dasar jurang dan berdiri di tepian yang kuat. Wajah Pangeran Zhu Di terlihat kalut, sedih, penuh rasa sesal saat ia melongokkan kepalanya ke dasar jurang.
“Adik Chen!...bagaimana dengan Kakak Xu dan Guanji-moi?” seru Pangeran Zhu Di dengan nada panik penuh rasa cemas. Ia tak melihat apapun di kedalaman jurang yang sangat dalam itu. Tak terlihat sedikitpun bayangan tubuh Xu Changyi maupun Xu Guanjin di dalam jurang. Apa yang dapat dilihat olehnya hanyalah hamparan awan putih yang berarak menutupi dasar jurang, memberikan kesan misteri tak tersentuh.
“Pangeran…hamba mohon jangan terlalu cemas. Kakak Changyi pasti bisa menyelamatkan Nona Xu. Kita tunggu saja mereka di sini” jawab Xiao Chen saat ia melihat kecemasan di wajah Pangeran Keempat.
Namun, Pangeran Zhu Di seolah tak lagi mampu mengendalikan dirinya hingga beberapa saat kemudian, saat ia tak juga menemukan titik bayangan yang menandakan kembalinya Xu Changyi maupun Xu Guanjin, maka airmata mulai merebak di sepasang mata bening sang pangeran. Tangan kanan Pangeran Keempat mengepal erat, dan memukul tanah tempatnya berpijak sementara airmata mulai jatuh di pipinya membuat Xiao Chen terkejut sebab inilah pertama kalinya ia melihat seorang Pangeran Zhu Di menangis.
“Kakak Xuuu!...Guanjin-mooiiii!” teriak Pangeran Zhu Di di bibir jurang.
Suara teriakan pedih dan cemas, bercampur sesal yang segera dipantulkan kembali oleh dinding jurang, memberi kesan sunyi tanpa jawaban membuat airmata Pangeran Zhu Di semakin deras mengalir.
***********
(Bersambung ke episode 6)