Istana Pangeran Zhu Biao, satu hari menjelang
pernikahan…
Sang Putra Mahkota
menggerakkan kuas tinta yang dipegangnya dengan cepat di atas lembaran kertas.
Jemarinya yang halus bergerak dengan luwes menorehkan ujung kuasnya sementara
di depannya, Pangeran Zhu Di menatap sang kakak dengan ekspresi senang.
Sejak tiga hari lalu,
keadaan Pangeran Zhu Biao berangsur-angsur membaik. Tubuh sang pangeran yang
lemah menguat dan bahkan putra mahkota tersebut telah mampu melakukan
kegiatannya sebagaimana sebelum jatuh sakit. Wajahnya yang lembut dan tampan
terlihat berbinar dengan sepasang pipi yang merona. Perkembangan yang sangat
baik tersebut tentu saja sangat membahagiakan semua orang terutama Kaisar dan
Permaisuri Ma yang juga semakin membaik kesehatannya. Hal lain selain kesehatan
Pangeran Zhu Biao yang menjadi perhatian adalah adanya peran Perdana Menteri Hu
Weiyong yang telah membawa beberapa ahli herbal untuk membantu meramu obat bagi
putra mahkota. Dalam sesaat, pamor sang perdana menteri segera mencuat dan
menjadi buah bibir di lingkungan istana. Namun, di atas seluruh pembicaraan
tentang obat yang sangat manjur dari ahli herbal milik Perdana Menteri Hu
Weiyong, tetap saja kesembuhan Pangeran Zhu Biao yang paling memberikan sinar
kebahagiaan bagi seluruh istana.
Dan hari ini,
Pangeran Zhu Di kembali datang untuk menengok kakak tertuanya tersebut.
“Nah Adik Zhu Di,
coba lihat ini” Pangeran Zhu Biao mengangkat kertasnya agak tinggi dan
mengarahkannya pada sang adik yang duduk di depannya. “Apa pendapatmu tentang kaligrafiku
ini? Tidakkah ini lumayan?”.
Pangeran Zhu Di
tersenyum dan mengangguk.
“Kakak Zhu
Biao…goresan tinta Kakak Zhu sangatlah halus dan indah. Menurut hamba,
kaligrafi itu bukan hanya lumayan melainkan sangat mengagumkan” jawab Pangeran
Zhu Di seraya menunjuk ke arah goresan huruf indah di atas kertas.
Pangeran Zhu Biao
tertawa dengan nada riang. Sepasang matanya berbinar menatap hasil karyanya.
“Benarkah? Kuharap
begitu. Aku sangat ingin membuat satu lukisan yang indah untuk Ibu Ratu, satu
kaligrafi untukmu, untuk Adik Zhu Gang serta Adik Zhu Shuang. Anggap saja
sebagai hadiah dariku sebelum hari pernikahanku besok” ujar Pangeran Zhu Biao
dengan nada ringan.
“Terima kasih Kakak
Zhu. Tapi…tidakkah membuat karya sebanyak itu akan membuat tubuh Kakak Zhu
menjadi lelah? Hamba khawatir jika Kakak Zhu akan jatuh sakit lagi karena semua
orang bahkan rakyat di luar tembok istana akan sangat mencemaskan Kakak Zhu”
jawab Pangeran Zhu Di.
“Jangan Khawatir Adik
Zhu Di. Aku sudah memiliki obat yang manjur dan aku menyukainya karena itu
tidak akan terjadi apa-apa padaku” kata Pangeran Zhu Biao sambil meletakkan
kertas kaligrafinya ke atas meja kembali.
“Baiklah jika
begitu…hamba menjadi tenang. Apakah Kakak Zhu merasa bahagia dengan pernikahan
besok?” tanya Pangeran Zhu Di dengan nada hati-hati.
Mendadak Pangeran Zhu
Biao tertawa. Sepasang matanya yang jernih menatap adiknya dengan ekspresi
geli.
“Tentu saja aku
bahagia Adik Zhu Di. Besok aku akan menikah dan memiliki seorang istri yang
cantik lalu kenapa aku tidak bahagia?” jawab Pangeran Zhu Biao.
“Tapi…apakah Kakak
Zhu mengenal putri yang akan menikah dengan Kakak Zhu besok?” tanya Pangeran
Zhu Di, masih mempertahankan kehati-hatian dalam suaranya.
Pangeran Zhu Biao
menarik nafas. Seleret senyum indah bergulir dari wajahnya yang tampan dan
lembut.
“Aku tidak
mengenalnya secara langsung” jawabnya kemudian. “Tapi aku tahu sedikit tentang
dirinya. Aku pernah melihatnya saat ia dibawa ke istana beberapa tahun lalu.
Saat itu, ia masih seorang gadis kecil dan aku sendiri tak pernah berpikir
bahwa suatu hari kami akan menikah dan ia menjadi istriku. Saat itu aku hanya
melihatnya sebagai seorang gadis yang periang namun sopan. Ajaran tata karma
nampaknya telah dipelajarinya dengan sangat baik. Jika kuingat kembali ke masa
itu, kupikir tak ada salahnya aku menikah dengannya. Ia pasti bisa menjadi
istri yang baik”.
Pangeran Zhu Di
sedikit tercenung mendengar penuturan kakaknya. Namun, sesaat kemudian, bibir
merah segar pangeran tampan tersebut segera merekahkan sebuah senyum indah.
“Itu sangat indah
Kakak Zhu. Hamba sungguh sulit membayangkan sebuah pernikahan dengan seseorang
yang sama sekali tidak kita kenal. Namun, mendengar apa yang Kakak Zhu katakan
pada hamba tadi, tampaknya hal itu sama sekali tidaklah menakutkan” jawab
Pangeran Zhu Di kemudian.
Pangeran Zhu Biao
menatap adik bungsunya dengan ekspresi geli. Bibirnya berkedut menahan tawa.
“Tentu saja kau belum
bisa membayangkan tentang pernikahan untuk saat ini Adik Zhu Di. Tapi, suatu
hari nanti, jika saatnya tiba bagimu untuk menikah maka kau akan mengerti”
jawab Pangeran Zhu Biao sambil tertawa kecil.
“Hamba percaya apa
yang Kakak Zhu katakan. Hanya saja, hamba berharap jika kelak tiba saatnya bagi
hamba untuk menikah, maka hamba akan menikah dengan seorang gadis yang hamba
kenal dengan baik dan hamba cintai dengan sepenuh hati” sahut Pangeran Zhu Di
sambil turut menyunggingkan senyumnya yang indah.
Pangeran Zhu Biao
tertawa semakin lebar mendengar kata-kata adiknya.
“Ho..ho..ho…ternyata
adikku yang kecil ini sudah mulai mengenal cinta” seloroh Sang Putra Mahkota
membuat wajah Pangeran Zhu Di memerah. “Katakan padaku, apa yang kau tahu
tentang cinta Adik Zhu Di? Dan darimana kau mengenal cinta dalam hati manusia?”
“Ah..sebenarnya hamba
tidak terlalu mengerti tentang cinta Kakak Zhu. Hanya saja, hamba pernah
membaca dalam buku-buku sastra di istana Yang Mulia Kaisar dan dari sanalah
hamba memahami bahwa dalam hati manusia terdapat suatu rasa yang disebut dengan
cinta. Di buku-buku yang hamba baca itu, cinta adalah sebuah keindahan rasa
yang diberikan oleh Thian pada manusia dan membuat dunia menjadi penuh warna.
Karena itulah, hamba berharap jika nanti hamba menikah, maka hamba akan menikah
dengan seorang gadis yang hamba cintai” sahut Pangeran Zhu Di, masih dengan
wajah memerah karena malu.
Pangeran Zhu Biao
tersenyum.
“Cinta memang indah
Adik Zhu Di. Tapi apakah kau mengerti bahwa cinta bukan sekedar rasa menyukai
seseorang, melainkan lebih dari itu, cinta adalah sebuah keinginan yang sangat
kuat untuk memberi, membahagiakan, dan melindungi orang yang kita cintai? Cinta
ada banyak sekali jenisnya. Cinta yang kau rasakan pada sahabatmu, cinta yang
kau rasakan pada Yang Mulia Kaisar dan Ibu Ratu, cinta yang kau rasakan padaku
dan kakakmu yang lain, cinta yang kau rasakan pada kasim kecilmu itu, semua itu
juga merupakan sebuah cinta. Dan cinta yang seperti itu sifatnya putih dan
tulus karena kau tidak pernah memiliki hal lain selain kebaikan bagi kami semua
yang kau cintai. Akan beda halnya jika kau mencintai seorang gadis maka di dalam
hatimu mulai akan dihiasi oleh keinginan-keinginan untuk kesenangan dirimu,
kebahagiaan hatimu, juga rasa takut, kemarahan dan kecemburuan. Kau akan
memiliki keinginan untuk memiliki gadis itu untuk dirimu, kau akan memiliki
rasa takut jika ternyata gadis yang cintai ternyata tidak memiliki rasa cinta
padamu sebagaimana yang kau rasakan padanya, kau akan marah dan kecewa jika
gadis yang cintai ternyata memilih orang lain selain dirimu dan juga, kau akan
merakan kecemburuan jika melihat gadis yang kau cintai berdekatan dengan orang
lain selain dirimu. Cinta pada seorang gadis sesungguhnya adalah sebuah rasa
yang sangat berat yang jika kau tidak bisa menyikapinya dengan kejernihan hati,
jiwa dan pikiranmu, maka cinta seperti itu akan membawamu pada jurang kehancuran.
Bukan hanya kehancuran dirimu, tapi juga pada gadis yang kau cintai, bahkan
pada orang-orang terdekat di sekitarmu. Apakah kau sanggup menanggung sebuah
rasa sebesar itu Adikku?”
Pangeran Zhu Di
menatap kakak tertuanya. Hatinya dipenuhi oleh rasa kagum. Sejak dulu ia telah
mengenali Pangeran Zhu Biao sebagai seorang yang berhati lembut. Ia bisa
melihat bahwa seluruh kelembutan dan kebijaksanaan Sang Permaisuri Ma Xiuying
telah menurun pada Pangeran Pertama membuat Pangeran Zhu Di sangat menyayangi
kakaknya tersebut, meskipun dalam banyak sekali kesempatan, seringkali Pangeran
Zhu Biao justru menegurnya dengan kalimat penuh kemarahan saat ia membuat para
pelayan, kasim dan dayang pontang-panting karena ulahnya. Namun hari ini, ia
baru mengerti betapa dalamnya hati dan jiwa kakak tertua yang tak pernah
sejalan dengan ayah mereka tersebut. Dan ingatan akan hal itu mendadak
menumbuhkan rasa sedih dalam hati Pangeran Zhu Di.
“Jadi…bagaimanakah
sesungguhnya cinta pada seorang gadis yang benar itu Kakak Zhu?” tanya Pangeran
Zhu Di kemudian.
“Cinta yang
sesungguhnya hanyalah sebuah rasa sejati tanpa beban keinginan untuk
kepentingan diri Adik Zhu Di. Cinta yang sesungguhnya datang dari Thian adalah
sebuah rasa cinta tanpa syarat apapun, tanpa keinginan apapun selain kebaikan,
kebahagiaan, keselamatan dan segala hal baik untuk orang yang kita cinta,
karena cinta yang sejati merupakan petikan dari cinta Thian Yang Maha Cinta.
Cinta yang sejati tak pernah mengenal marah, sedih, ataupun cemburu karena ia
berjalan pada ketenangan jiwa dan kejernihan hati yang paling bening. Bahkan
jika orang dicintai diambil kembali oleh Thian, maka hal itu tetap bukanlah
satu alasan untuk hilangnya cinta ataupun jatuh dalam kehancuran karena
kesedihan serta rasa merana kehilangan sebab cinta yang sejati tak mengenal
ruang dan waktu. Seperti matahari dan rembulan yang meski tak pernah bersatu,
namun sesungguhnya tetaplah satu. Rembulan tak pernah ada tanpa matahari yang
menghidupkan sang rembulan dengan sinarnya, dan matahari tak akan mampu
membantu umat manusia di malam hari tanpa raut wajah rembulan yang menerima
cahaya sang matahari dengan segenap jiwanya. Matahari dan rembulan, selalu
berkejaran melintasi waktu yang sangat panjang dan sedikitpun tak pernah lelah
meski seolah mereka tak akan pernah bertemu. Sebuah rasa cinta sejati, akan
selalu menjadi sebuah cinta tanpa halangan nafsu, tidak akan pernah berubah
meski waktu menyeret segenap perubahan di wujud sang semesta alam seperti Thian
yang tak pernah berubah dari awal hingga akhir kehidupan yang merupakan sebuah awal
baru. Cinta yang seperti itu, akan memberikan kedamaian, kebahagiaan, dan
ketenangan bukan hanya dalam hati dan jiwa orang itu, orang yang dicintai oleh
orang itu bahkan pada orang-orang di sekitar orang itu serta alam semesta
karena cinta sejati hanya memberikan keharmonisan dan bukan pertentangan. Dan
ketika keharmonisan terjadi, maka segala hal di alam semesta akan berjalan
dalam keindahan sebagaimana Thian yang selalu indah di setiap waktu” bisik
Pangeran Zhu Biao seraya kembali menyapukan ujung kuasnya pada selembar kertas
yang baru.
“Apakah…Kakak Zhu
memiliki seseorang yang Kakak Zhu cintai dengan rasa cinta yang seperti itu?”
tanya Pangeran Zhu Di kemudian. Sungguh, betapa sulit baginya untuk memahami
kesejatian rasa cinta sebagaimana gambaran yang dituturkan oleh kakaknya.
Sapuan kuas diujung
jemari Pangeran Zhu Biao mendadak terhenti. Sang pangeran berparas lembut dan
tampan itu terlihat menerawang membuat Pangeran Zhu Di tiba-tiba menyesali
pertanyaan yang baru saja diucapkannya.
“Ah..Kakak
Zhu..maafkan hamba. Hamba tidak bermaksud untuk lancang menanyakan hal yang…”
“Namanya Xiao Ai”
potong Pangeran Zhu Biao dengan sorot mata melembut, namun membuat Pangeran Zhu
Di terperanjat. “Dia hanyalah gadis biasa, anak seorang petani. Aku mengenalnya
saat aku mengikuti pesta rakyat setelah masa panen tiba, Xiao Ai menari bersama
gadis-gadis desa lainnya. Xiao Ai, tak ada seorangpun yang akan memandangnya
dua kali karena ia hanyalah gadis dari kelas sosial yang rendah, namun saat aku
melihat ke dalam kedua matanya, aku melihat keindahan seisi alam tersimpan
dalam jiwanya. Xiao Ai, ia tak pernah memandangku sebagai seorang pangeran yang
harus mentaati setiap aturan entah aku suka ataupun tidak. Ia hanya memandangku
sebagai diriku, dengan harapanku, cita-citaku, dan hakikat diriku. Setiap aku
berada di depannya, aku selalu merasa menjadi seorang yang sangat merdeka dan aku
tahu itu karena Xiao Ai. Ia yang memberiku kemerdekaan yang tak pernah
kudapatkan dalam istana ini”.
Kening Pangeran Zhu
Di berkerut dalam. Kenapa ia tak pernah tahu hal ini?. Dan bagaimana kakaknya
bisa menyembunyikan hal yang sedalam ini tanpa siapapun mengetahuinya?
“Apakah…Kakak Zhu
merasa sedih karena Kakak akan menikah dengan gadis yang lain?” tanya Pangeran
Zhu kemudian. Suaranya kini sehalus angin saat bayangan kesedihan tercetak kuat
dalam benaknya. Bayangan rasa kecewa dan patah hati karena harus kehilangan
seseorang yang paling berarti. Jika hal seperti itu terjadi padanya, maka apa
yang akan dilakukannya untuk menghadapi rasa sesedih itu?.
Namun Pangeran Zhu
Biao justru kembali tertawa kecil membuat Sang Pangeran Keempat kembali
terkejut.
“Tidak Adik Zhu
Di…aku tidak bersedih” jawab Pangeran Zhu Biao dengan nada lembut. Dan
pandangan mata yang jernih itu jatuh pada sosok adik termuda yang tengah
menatap ke arahnya dengan sorot mata tidak mengerti.
“Kenapa…kenapa Kakak
Zhu tidak bersedih? Bukankah seharusnya kita akan bersedih jika orang yang
sangat kita cintai ternyata tidak bisa menjadi milik kita?” tanya Pangeran Zhu
Di dengan alis berkerut.
“Karena jika aku
bersedih, maka Xiao Ai akan lebih bersedih lagi” jawab Pangeran Zhu Biao pelan.
“Dan jika Xiao Ai bersedih, maka sebagian dari diriku akan mati bersama
kesedihannya”.
Pangeran Zhu Di tertunduk.
Sungguh, cinta macam apa yang didengarnya hari ini? Bisakah ia memiliki cinta
yang seperti itu? dan kebahagiaan seperti apa yang akan ia dapatkan dari cinta
yang terdengar tidak masuk akal seperti itu? Baginya, sebuah kebahagiaan harus
diraih dengan usaha dan kerja keras dan bukan sekedar dinantikan tanpa
melakukan apa-apa. Lagipula, bukankah setiap orang memiliki hak untuk bahagia?.
Kepala Pangeran Zhu Di menggeleng dengan ekspresi pusing membuat Sang Putra
Mahkota tersenyum saat melihatnya.
“Jangan kau pikirkan
Adik Zhu Di, karena logikamu tidak akan bisa memahaminya. Cinta seperti itu
hanya bisa kau tampung dengan kedalaman jiwa dan kejernihan hatimu” ujar
Pangeran Zhu Biao dengan nada lembut.
Pangeran Zhu Di
mengangguk meski benaknya masih juga tak menemukan sebuah pemahaman yang masuk
akal tentang gambaran cinta seperti yang dituturkan oleh kakaknya. Sebuah
senyum indah segera tersungging di bibirnya yang merah segar.
“Ya Kakak…hamba
mengerti” jawab Pangeran Zhu Di kemudian. Sebuah suara halus di balik pintu
terdengar membuat Pangeran Zhu Di teringat sesuatu membuat kedua matanya
berbinar gembira. “Kakak Zhu, sebenarnya hamba membawa beberapa buah persik
untuk Kakak Zhu”.
Pangeran Zhu Biao
mengangkat wajahnya dari lembaran kertas di depannya dan menatap adiknya.
Senyumnya mengembang.
“Benarkah? Terima
kasih Adik Zhu Di. Bawalah kemari, aku sangat menyukai buah persik” kata
Pangeran Zhu Biao dengan nada penuh semangat.
“Baik Kakak…” sahut
Pangeran Zhu Di yang kemudian sedikit menoleh ke arah pintu kamar dan
menepukkan tangannya dua kali seraya berseru pada sosok yang ada di balik
pintu. “Adik Chen..bawa masuk buah persik untuk kakakku”.
“Baik Pangeran”
terdengar suara halus menyahut dari balik pintu kamar yang tertutup.
Dan sesaat kemudian,
ketika Kasim Chen telah berdiri di belakang Pangeran Zhu Di sambil membawa
sebuah mangkuk besar berisi buah-buah persik yang ranum dan harum, Sang Putra
Mahkota terlihat demikian gembira. Segera saja tangannya melambai ke arah Kasim
Chen agar mendekat.
“Ah Adik Zhu Di…buah-buah
itu terlihat sangat lezat. Kasim Kecil, cepat bawa kemari buah persik dari
adikku agar aku bisa memakannya” seru Pangeran Zhu Biao dengan senyum lebar
mengembang.
“Baik Pangeran” Xiao
Chen membungkukkan tubuhnya dan mulai bergerak mendekat kemudian mangkuk besar
berisi buah persik yang dibawanya diletakkan di atas meja tepat di depan
Pangeran Zhu Di sementara Pangeran Zhu Biao beranjak dari mejanya sendiri yang
penuh dengan kertas dan kuas tulis.
“Silahkan Kakak Zhu”
kata Pangeran Zhu Di mempersilahkan kakaknya saat Pangeran Zhu Biao telah duduk
di kursi yang ada di sisinya.
Pangeran Zhu Biao
tersenyum lebar dan mengulurkan tangannya meraih sebutir buah persik lalu
bersiap menggigitnya saat tiba-tiba…
“Yang Mulia Pangeran
Zhu Biao…tabib peramu mohon menghadap. Saatnya bagi Pangeran untuk meminum
obat” terdengar seruan keras prajurit penjaga di depan pintu membuat Pangeran
Zhu Biao meletakkan kembali buah persik yang dipegangnya ke atas mangkuk besar.
“Masuklah!” jawab
Pangeran Zhu Biao dengan suara agak keras.
“Baik Pangeran” suara
prajurit penjaga menjawab di depan pintu.
Pangeran Zhu Di
menoleh saat seorang tabib peramu obat masuk ke dalam ruangan sambil membawa
nampan. Di atas nampan tersebut terdapat dua buah mangkuk bertutup. Xiao Chen
yang berdiri tepat di belakang Pangeran Zhu Di sedikit menepi untuk memberi
jalan pada tabib peramu obat mendekat ke arah Pangeran Zhu Biao.
“Hormat saya untuk
Pangeran Zhu Biao dan Pangeran Zhu Di” ucap Tabib Peramu Obat sambil membungkuk
penuh hormat.
Pangeran Zhu Biao
mengangguk. Seleret senyum menghias bibirnya.
“Letakkan obatnya di
meja, aku akan meminumnya nanti” ujar Sang Pangeran Pertama pada tabib peramu
obat.
“Baik Pangeran” sahut
Tabib Peramu Obat seraya meletakkan nampannya ke atas meja di depan Pangeran
Zhu Biao dan Pangeran Zhu Di.
“Sekarang pergilah,
aku masih ingin berbincang dengan adikku” kata Pangeran Zhu Biao pada tabib
peramu obat yang masih berdiri di tempatnya.
“Ampun Pangeran, Tuan
Tabib mengatakan bahwa Pangeran Zhu Biao harus segera meminum obat ini selagi
masih hangat” jawab tabib peramu obat.
“Aku tahu…aku akan
segera meminumnya kau tidak perlu cemas. Sekarang keluarlah, aku masih ingin
berbincang dengan adikku” ucap Pangeran Zhu Biao mengulang perintahnya.
Sang tabib peramu
obat terlihat bingung. Kedua matanya yang kcil mengerjab-kerjab gugup.
“Ampun Pangeran…tidak
bisakah Pangeran meminumnya sekarang agar hamba bisa membawa nampannya kembali
bersama hamba?” tanya tabib peramu obat dengan ekspresi cemas.
Pangeran Zhu Biao
tertawa sementara Pangeran Zhu Di membelalakkan matanya. Sepasang mata Pangeran
Keempat mengerling ke arah tabib peramu obat dengan tajam dan galak membuat
sang tabib bertubuh kurus itu semakin gugup dan mulai terlihat takut.
“Jadi kau takut aku
tidak akan mengembalikan mangkuk dan nampanmu? Jangan khawatir Tabib, aku pasti
akan mengembalikannya. Nanti Kasim Chen akan mengembalikan mangkuk dan nampan
ini padamu. Bukankah begitu Kasim Chen?” ujar Pangeran Zhu Biao menatap ke arah
Xiao Chen.
Xiao Chen segera
membungkuk penuh hormat pada Pangeran Zhu Biao.
“Hamba Pangeran”
jawab sang kasim kecil di belakang Pangeran Zhu Di seraya membungkukkan
tubuhnya.
“Nah…sekarang
pergilah” perintah Pangeran Zhu Biao dengan suara halus pada sang tabib.
“Tapi…Pangeran harus
meminum obatnya sekarang karena…
Brakk!!
Mendadak sebuah suara
keras terdengar dan mengejutkan semua orang termasuk Pangeran Zhu Biao yang
segera menatap adiknya yang tengah memandang tabib peramu obat dengan ekspresi
sangat marah. Rupanya suara keras tersebut berasal dari tangan Pangeran Zhu Di
yang menggebrak meja.
“Apa kau tidak
mendengar perintah Kakakku, Tabib?! Apa telingamu sudah tuli?!” bentak Pangeran
Zhu Di dengan mata membeliak marah.
Tabib peramu obat
gemetar ketakutan. Siapapun sudah mengetahui bahwa Sang Pangeran Keempat sangat
menakutkan bila marah. Bisa dikatakan, Sang Pangeran Keempat adalah sosok kedua
yang paling ditakuti setelah Kaisar Hongwu ketika sedang marah. Tentu saja
dengan mengesampingkan para jenderal militer yang memang sudah menakutkan bahkan
ketika tidak sedang marah sekalipun.
“Am..ampun Pangeran”
suara tabib peramu obat yang gemetar.
“Cepat pergi!...atau
kupanggil prajurit penjaga untuk menyeretmu!” sentak Pangeran Zhu Di dengan
nada tinggi.
“Baik…baik Pangeran”
sahut tabib peramu obat sambil membungkuk dalam pada Pangeran Zhu Biao dan
Pangeran Zhu Di penuh rasa takut kemudian dengan tergesa-gesa segera melangkah
ke arah pintu.
Pangeran Zhu Biao
menggelengkan kepala sambil menatap adiknya ketika tabib peramu obat telah
berlalu dari dalam kamar dan pintu tertutup rapat kembali.
“Adik Zhu Di…kau tidak
perlu sekeras itu. Tabib peramu obat hanya ingin memperhatikan diriku” ujar
Pangeran Zhu Biao pada adiknya tanpa maksud menegur.
“Kakak Zhu Biao…hamba
tidak ingin bersikap keras pada siapapun termasuk pelayan dan dayang. Namun,
apabila mereka tidak mentaati perintah, maka itu adalah kesalahan karena salah
satu tugas mereka adalah melaksanakan perintah yang diberikan pada mereka. Itu
adalah aturan yang sudah sangat jelas dan berlaku bagi siapapun” jawab Pangeran
Zhu Di sambil tersenyum. Semburat merah yang sempat mewarnai wajahnya karena
kemarahan pada tabib peramu obat telah lenyap sama sekali dan wajah tampan yang
ceria itu kembali berbinar menatap sang kakak.
Pangeran Zhu Biao
menggelengkan kepalanya. Tangannya terulur ke arah mangkuk obat yang diletakkan
oleh tabib peramu obat dan menariknya mendekat.
“Kau ini semakin lama
semakin mirip dengan Yang Mulia Kaisar. Kini aku mengerti kenapa Yang Mulia
Kaisar sangat memujamu” gumam Pangeran Zhu Biao seraya membuka tutup mangkuk
obat.
Uap hangat obat dari
dalam mangkuk segera menguar sementara jemari tangan Pangeran Zhu Biao mulai
mengangkat mangkuknya.
“Ah…hamba kira Kakak
Zhu telah salah menduga. Menurut hamba, Yang Mulia Kaisar sangat menyayangi Kakak
Zhu dan juga kakak-kakak yang lain. Saat Kakak Zhu sakit, Yang Mulia Kaisar
sangatlah cemas dan bahkan…”
“Pangeran Zhu
Biao…mohon jangan minum dulu obat itu” seru Xiao Chen yang berdiri di belakang
Pangeran Zhu Di membuat kalimat Pangeran Keempat terpotong dan gerakan Pangeran
Zhu Biao yang bersiap mendekatkan mangkuk obat ke bibirnya seketika terhenti.
Pangeran Zhu Di yang
tersentak kaget menoleh ke belakang dan menatap kasimnya dengan alisnya
berkerut.
“Adik Chen? Ada apa?
Kenapa kau melarang Kakak Zhu meminum obatnya?” tanya Sang Pangeran Keempat
tanpa maksud menegur.
Xiao Chen membungkuk
dalam ke arah dua pangeran di depannya yang tengah menatapnya dengan pandangan
tidak mengerti. Kemudian, kasim kecil itu melangkah ke depan melewati Pangeran
Zhu Di dan berdiri tepat di sisi Pangeran Zhu Biao.
“Ada apa Kasim Chen?
Kenapa aku tidak boleh meminum obat ini?” tanya Pangeran Zhu Biao sambil
menatap isi mangkuknya kemudian kembali memandang ke arah Xiao Chen.
“Ampun Pangeran,
hamba mohon ijinkan hamba untuk mencicipi sedikit obat dalam mangkuk itu” jawab
Xiao Chen sambil menunjuk ke arah mangkuk di tangan Pangeran Mahkota.
Kening Pangeran Zhu
Biao berkerut dalam sementara Pangeran Zhu Di justru terlihat sangat terkejut.
“Jadi, kau merasa
curiga bahwa tabib peramu obat sedang berusaha meracuni aku? Aku sudah
berkali-kali meminum obat seperti ini dan aku tidak mati ataupun kesakitan.
Justru aku merasa tubuhku sangat sehat dan segar” ujar Pangeran Zhu Biao. Kali
ini terdengar nada menegur dalam suaranya yang halus.
Xiao Chen
menggelengkan kepalanya.
“Tidak Pangeran…hamba
tidak menduga demikian. Hamba hanya sekedar memastikan saja sebab hamba merasa
mengenal aroma obat itu” sahut Sang Kasim Kecil sambil membungkukkan tubuhnya
kembali.
Pangeran Zhu Biao
menatap Xiao Chen dengan ekspresi sedikit tersinggung membuat Pangeran Zhu Di
mengulurkan tangannya dan menyentuh tangan kakaknya.
“Kakak Zhu…hamba kira
tak ada salahnya. Kasim hamba ini sangat peka dalam penciumannya. Hamba mohon
ijinkan kasim hamba untuk sedikit mencicipi obat Kakak Zhu. Lagipula, bukankah
hal semacam ini sudah biasa dilakukan oleh dayang pencicip saat waktu makan
tiba?” kata Pangeran Zhu Di dengan nada membujuk membuat Pangeran Zhu Biao
menghela nafas panjang dan perlahan meletakkan mangkuk obatnya ke atas meja.
“Baiklah…” kata
Pangeran Zhu Biao pada Xiao Chen. “Cicipilah obat itu jika kau merasa
mencurigai sesuatu”.
Sekali lagi Xiao Chen
membungkuk ke arah Pangeran Zhu Biao sebelum kemudian merogoh ke balik hanfunya
dan mengeluarkan sebuah piring kecil terbuat dari batu berwarna hitam.
Selanjutnya, kasim kecil itu mengambil sedikit obat dari dalam mangkuk Pangeran
Pertama.
Pangeran Zhu Biao dan
Pangeran Zhu Di menatap Xiao Chen nyaris tanpa berkedip saat kasim kecil itu
mendekatkan obat dalam piring kecilnya ke hidunng lalu menghisap aromanya
perlahan. Sesaat, sepasang mata Kasim Chen terlihat memejam sementara keningnya
yang putih halus terlihat sedikit kerutan. Kemudian, saat sepasang mata bening
sang kasim kecil itu membuka kembali, jemari tangan Xiao Chen membawa piring
kecilnya ke arah mulut dan perlahan meneguk obat di dalam piring. Tak terdengar
suara tegukan saat Kasim Chen mengallirkan cairan obat Pangeran Zhu Biao ke
kerongkongannya. Suasana kamar sunyi dan hening.
“Adik Chen…apa ada
sesuatu dengan obat Kakak Zhu?” tanya Pangeran Zhu Di memecah kesunyian kamar
saat detak jantungnya semakin keras oleh debar rasa ingin tahu.
“Benar Kasim
Chen…katakan padaku apakah kau menemukan sesuatu di dalam obatku? Apakah
dugaanmu bahwa tabib peramu obat telah meracuniku benar adanya?” tanya Pangeran
Zhu Biao menyusul pertanyaan adiknya.
Xiao Chen memasukkan
piring kecilnya kembali ke balik hanfunya kemudian membungkuk ke arah dua
pangeran di depannya.
“Hamba tidak
menemukan racun di dalam obat itu Pangeran…hanya saja…”
“Sudah kuduga!”
dengus Pangeran Zhu Biao dengan nada agak kesal membuat kalimat Kasim Chen
terpotong. Tangannya kembali meraih mangkuk obatnya dan mendekatkannya ke
mulut. Kemudian, dengan gerak cepat Sang Pangeran Pewaris Tahta tersebut meneguk
habis obat di dalam mangkuk hingga habis tak bersisa. Suara tegukan halus
terdengar jelas saat cairan obat yang hangat itu tertelan oleh Pangeran Zhu
Biao disusul kemudian suara berdetak mangkuk porselin yang diletakkan kembali
di atas meja.
Pangeran Zhu Di
menatap kakaknya sejenak lalu berpaling ke arah kasimnya yang terlihat
menunduk. Alis tebal bagus Sang Pangeran Keempat mengerut saat ia melihat kilau
cemas di mata Kasim Chen.
“Kakak Zhu, maafkan
kasim hamba jika membuat Kakak Zhu tidak suka” kata Pangeran Zhu Di pada
Pangeran Zhu Biao yang masih terlihat kesal.
Pangeran Zhu Biao
menarik nafas panjang. Senyum yang terurai indah dari bibir Sang Pangeran
Keempat bagaimanapun membuat kekesalannya pada Kasim Chen menyusut.
“Sudahlah tidak
apa-apa Adik Zhu Di…aku bisa mengerti” jawab Pangeran Zhu Biao.
Pangeran Zhu Di
kembali mengurai senyumnya sementara satu tangannya memberi isyarat pada Xiao
Chen agar kembali ke belakangnya. Untuk beberapa saat kedua pangeran itu masih
berbincang hingga sesaat kemudian…
“Kakak Zhu…sepertinya
Kakak Zhu mengantuk. Lebih baik Kakak Zhu istirahat karena besok adalah hari
yang sangat panjang untuk kita semua” ujar Pangeran Zhu Di seraya bangkit dari
tempat duduknya dan mendekati kakak sulungnya. Kemudian dengan gerakan ringan,
Sang Pangeran Keempat tersebut memapah Pangeran Zhu Biao yang tampak sangat
mengantuk menuju ke arah ranjang.
“Adik Zhu Di… aku
masih ingin berbicara denganmu…kita sagat jarang bisa berbicara seperti ini…aku
igin berbicara denganmu…” gumam Pangeran Zhu Biao di bahu adiknya.
“Masih banyak waktu
Kakak Zhu. Hamba akan selalu menemani Kakak Zhu berbincang tentang apapun dan
kapanpun. Namun yang penting sekarang adalah Kakak Zhuharus istirahat” sahut
Pangeran Zhu Di seraya membaringkan Pangeran Mahkota ke atas ranjangnya.
Dan sesudahnya, ruang
kamar yang mewah itu kembali diliputi ketenangan. Hanya desah halus nafas
Pangeran Zhu Biao yang dengan cepat terlelap dalam tidurnya yang sangat pulas.
***********
“Adik Chen…kau
mengetahui sesuatu bukan? Katakan padaku, ada apa dengan obat Kakak Zhu Biao?”
tanya Pangeran Zhu Di pada kasimnya sementara keduanya berjalan cepat di atas
jalan batu.
Udara sejuk
menghembus menghantarkan keharuman wangi bunga-bunga yang bermekaran di taman
luas yang melingkupi mereka. Kesibukan jelas terasa untuk menyambut pernikahan
kerajaan yang akan diadakan besok. Dayang dan pelayan terlihat berlalu lalang
dalam kesibukan tugas mereka masing-masing sementara para pejabat kerajaan tak
kalah sibuk. Suara-suara yang terdengar membuat lingkungan istana terdengar
lebih ramai daripada biasanya. Berbagai hiasan telah dipasang membuat wajah
istana terlihat lebih semarak dan indah.
Xiao Chen berjalan di
sisi Pangeran Zhu Di dengan kepala menunduk. Beberapa kali keduanya berpapasan
dengan pelayan, dayang, prajurit maupun pejabat istana. Suara sapa dan
penghormatan yang diberikan oleh orang-orang pada Pangeran Zhu Di saat
berpapasan dengan keduanya membuat sang pangeran termuda putra Kaisar Ming itu
sedikit gusar terlebih karena banyaknya orang-orang yang berpapasan dengan
mereka membuat kasimnya tak juga membuka mulut. Maka, pada satu sudut yang agak
sepi, mendadak Pangeran Keempat menghentikan langkahnya lalu tangan kanannya
mencekal lengan Kasim Chen.
“Adik Chen…kau pasti
menemukan sesuatu dalam obat Kakak Zhu. Cepat katakan padaku…ada apa dengan
obat itu? Apakah obat itu…”
“Pangeran…bisakah
kita membicarakan hal ini nanti setelah sampai di istana Pangeran?” potong Xiao
Chen dengan nada berbisik membuat kedua mata Pangeran Zhu Di membesar. Sepasang
alis sang pangeran yang tebal bagus mengerut, separuh karena cemas separuh
karena rasa penasaran.
“Kalau begitu ayo
cepat kita pulang!” Pangeran Zhu Di menarik lengan Xiao Chen dan keduanya mulai
berjalan kembali. Kali ini dengan langkah yang lebih cepat.
Xiao Chen menurut
saat lengannya ditarik oleh Pangeran Zhu Di. Diliriknya wajah sang pangeran
yang terlihat tegang. Tak ada lagi kata yang meluncur keluar dari bibir
Pangeran Keempat. Bahkan sapa dan penghormatan dari semua orang yang berpapasan
dengan merekapun kemudian sama sekali diacuhkan oleh pangeran kesayangan
kerajaan tersebut.
Hingga kemudian, saat
keduanya nyaris sampai di istana Pangeran Keempat, mendadak Pangeran Zhu Di
kembali berhenti. Pandangannya lurus menatap ke arah sebuah bangunan yang
sangat megah. Itu istana Kaisar Hongwu.
“Ada apa dengan Yang
Mulia Kaisar? Kenapa begitu banyak orang berkerumun di jalan depan istana?”
tanya Pangeran Zhu Di sambil menatap istana tempat di mana ayahnya tinggal.
Xiao Chen turut memandang
ke arah istana kaisar. Memang benar, istana kaisar terlihat ramai. Meskipun adalah
hal biasa jika istana Kaisar Ming ramai dan dipenui penjaga karena banyaknya
pejabat yang datang dan pergi untuk menghadap kaisar, namun hal biasa itu
menjadi tidak biasa jika yang banyak berkerumun di depan istana kaisar adalah…
“Mereka para gadis
dan dayang istana” lanjut Pangeran Zhu Di.
“Mungkin para gadis
itu sedang menantikan untuk melihat para tamu kerajaan, Pangeran. Dan para
dayang itu adalah pelayan dari para gadis tersebut” jawab Xiao Chen di sisi
Pangeran Zhu Di.
“Ho…tamu kerajaan
seperti apa yang bisa membuat para gadis meninggalkan kamar mereka dan berdiri
di depan istana kaisar? Bahkan banyak di antara mereka adalah putri-putri para
pejabat istana. Kecuali jika tamu yang sedang menghadap Yang Mulia Kaisar itu
seindah malaikat, sangat mustahil bisa mengumpulkan seluruh gadis dan dayang
istana seperti ini” gumam Pangeran Zhu Di mendengar jawaban kasimnya.
Sementara Xiao Chen
sendiri justru tercekat. Mendadak dadanya berdetak oleh rasa bahagia dan rindu
yang mengguncang saat benaknya dapat menebak hal yang sedang terjadi. Hal yang
membuat para gadis istana dan dayang berkumpul di depan istana kaisar. Jawaban
yang justru membuat bibir Xiao Chen mengatup sementara sepasang matanya merebak
merah.
Tiba-tiba Pangeran
Zhu Di melangkah cepat ke arah beberapa dayang yang berdiri dalam jarak paling
dekat dengannya. Para dayang yang berdiri menghadap ke arah istana kaisar sama
sekali tak mengetahui kedatangan Pangeran Keempat sehingga, saat sang pangeran
dengan suara agak keras memanggil para dayang tersebut, mereka terlihat kaget
dan seketika menjadi ketakutan. Para dayang istana berusia muda tersebut segera
membungkukkan tubuh mereka dalam-dalam ke arah Pangeran Zhu Di.
“Apa yang terjadi
dengan kalian semua? Mengapa kalian berkumpul di depan istana kaisar?” tanya
Pangeran Zhu Di dengan nada yang galak membuat para dayang di depannya semakin
mengkerut.
“Ampun Pangeran…kami
di sini hanya mengantar Nona-Nona kami” jawab satu dayang bertubuh tinggi.
“Aku tahu kalian
mengantar nona kalian. Yang kutanyakan adalah mengapa kalian semua berkumpul di
depan istana kaisar? Apa yang terjadi sampai nona-nona kalian semua
meninggalkan kamar mereka?” tanya Pangeran Zhu Di dengan nada semakin galak.
“Kami…Nona
kami…berkumpul di depan istana kaisar ini karena Nona kami sangat ingin melihat
Tuan Muda Xu…demikianlah Pangeran” jawab seorang dayang bertubuh agak gemuk
dengan suara gemetar.
Namun, jawaban yang
diberikan oleh dayang tersebut justru membuat Pangeran Zhu Di terlonjak kaget
dan wajah yang semula terlihat galak mendadak berubah berseri-seri.
“Kakak Xu? Maksud
kalian Kakak Xu Changyi?!” seru Pangeran Zhu Di sementara Xiao Chen menunduk.
Tebakannya benar.
“Kakak…kau pulang”
bisik Xiao Chen dengan bibir bergetar.
“Benar Pangeran”
jawab dayang lain. Wajah berbinar sang pangeran sedikit mengurangi ketakutan
mereka. “Tuan Muda Xu Changyi telah datang ke istana Yang Mulia Kaisar bersama
Jenderal Xu Da dan banyak pejabat tinggi lain. Hal itulah yang membuat Nona
kami berkumpul di sini untuk melihat Tuan Muda Xu”
“Benar Pangeran”
sambung dayang yang lain. “Tuan Muda Xu sudah lama pergi dan tiba-tiba kembali
ke istana. Dan semakin rupawan. Hal itulah yang menyebabkan kami…eh…Nona kami
datang untuk melihat Tuan Muda Xu”.
“Apakah gadis yang di
sana itu Nona-mu?” tanya Pangeran Zhu Di sambil menunjuk ke arah seorang gadis
berpakaian hanfu indah yang berdiri bersama beberapa gadis lain.
Dayang bertubuh gemuk
segera membungkuk penuh hormat ke arah Pangeran Zhu Di.
“Benar Pangeran…Nona
itu adalah Nona hamba” jawab sang dayang gemuk.
Pangeran Zhu Di
mendengus.
“Katakan pada Nona-mu
agar menghapus air liurnya. Juga gadis yang berdiri di ujung sana itu. Kenapa
ia menatap ke arah istana kaisar dengan airmata membanjir seperti itu? Apakah
seluruh kotak perhiasannya telah lenyap?” kata Pangeran Zhu Di seraya mengalihkan
pandangannya dari para dayang di depannya ke arah istana, tepat di saat
serombongan pria keluar dari pintu paling depan istana kaisar dan para gadis di
depan istana bagai disentakkan oleh sebuah tenaga tak kasat mata, membuat para
gadis yang semula tenang tersebut mulai berbisik, semakin lama semakin keras
hingga akhirnya sebuah jeritan keluar.
“Tuan Muda Xu..!”
jerit seorang gadis yang tak lagi mampu menahan sentakan tenaga dalam hatinya
seraya mengulurkan tangannya ke arah satu sosok tubuh tinggi dan gagah dalam
hanfu berwarna biru yang indah dan rapi. Sosok cemerlang yang dengan cepat
segera mengambil alih keindahan matahari di langit. Dan jeritan pertama
tersebut segera mendapat sambutan dari para gadis lain yang turut pula
menjerit. Suara di depan istana kaisar mendadak menjadi riuh oleh suara jerit
para gadis – dan dayang – yang memanggil ke arah sosok cemerlang di atas tangga
istana kaisar, di antara para pejabat tinggi istana. Dan suara jeritan itu semakin
keras saat sosok seindah malaikat di atas tangga istana tersebut menyunggingkan
senyum menawan di bibirnya yang berlekuk sempurna seraya sedikit membungkukkan
tubuhnya yang gagah dan indah.
“Kakak Xu!” seolah
tanpa sadar Pangeran Zhu Di turut memanggil ke arah sosok cemerlang yang
berdiri di atas tangga istana kaisar. Tubuhnya sudah nyaris berlari ke arah
istana, namun sebuah tangan dengan cepat memegang lengan sang pangeran membuat
Pangeran Keempat berpaling ke arah kasimnya. “Ada apa Adik Chen? Aku ingin
bertemu dengan Kakak Xu…aku rindu sekali padanya”.
“Pangeran…Kakak
Changyi sedang bersama dengan Jenderal Xu Da dan para pejabat tinggi istana.
Sepertinya saat ini mereka tengah membicarakan hal yang sangat penting. Dan
lihatlah para gadis itu, juga dayang-dayang mereka. Semuanya terlihat seperti
telah kehilangan akal mereka. Jika Pangeran ke sana sekarang maka kerinduan
Pangeran pada Kakak Changyi tidak akan tersampaikan karena keadaan Kakak
Changyi tidak memungkinkan untuk bisa leluasa berbicara dengan Pangeran” jawab
Xiao Chen membuat Pangeran Zhu Di segera terhenti saat ia dapat menerima
kebenaran dalam kata-kata kasim kesayangannya.
“Baiklah…kalau
begitu, kita ke rumah Paman Xu Da sekarang. Kakak Xu dan Paman Xu Da pasti akan
segera pulang ke rumah. Ayo Adik Chen! Kita tunggu Kakak Xu di rumah Paman Xu
Da” kata Pangeran Zhu Di seraya membalikkan tubuhnya dan mulai berlari cepat
meninggalkan jalan berbatu hitam yang ditata dengan indah.
Sekilas Xiao Chen
menatap ke arah tangga istana di mana sosok kakak yang sangat dirindukannya
masih berdiri bersama para pejabat tinggi lainnya. Suasana yang semula riuh
oleh jerit para gadis dan dayang memanggil ke arah Changyi mendadak senyap saat
sesosok tubuh lain keluar dari pintu depan istana kaisar. Sosok penuh kharisma
dalam penampilannya gagah dan tinggi besar di balik seragam militernya yang
lengkap sebagai Panglima Tertinggi Kerajaan. Sosok penuh kharisma berpakaian
militer tersebut menatap ke arah para gadis dan dayang membuat jerit panggil
yang semula terdengar seketika menghilang sementara sosok penuh kharisma Sang
Panglima Tertinggi Kerajaan itu segera berdiri di sisi putranya yang seindah
malaikat.
Xiao Chen menghela
nafas menahan beban kerinduannya sendiri sebelum kemudian, tubuh kasim kecil
tersebut berbalik dan dengan gerak sangat ringan segera melesat menyusul
Pangeran Zhu Di.
***********
“Adik Zhu
Di…sebenarnya Anda ingin membawa kami semua ke mana?” tanya Changyi pada
Pangeran Keempat yang berkuda di sisinya. Sekilas, kepala Changyi menoleh ke belakang
mereka dan menatap sosok Xiao Chen yang berkuda di sisi Xu Guanjin. Sebuah
pancaran lembut cahaya memancar dari sepasang mata indah pemuda tersebut saat
menatap dua sosok yang berkuda dengan
tenang di belakangnya. Dua sosok yang juga tengah menatapnya dengan pancaran
mata yang mengisyaratkan hal berbeda. Sepasang mata Xiao Chen yang terus
merebak merah oleh pancaran kerinduan yang dapat dengan jelas dibacanya membuat
hati Changyi diliputi rasa haru sebab sesungguhnya iapun merasakan kerinduan
yang sama pada Xiao Chen. Lalu, sepasang mata lain yang juga tengah menatapnya
dengan binar yang membuat hati Changyi terasa berdegub dengan keras. Kenapa Xu
Guanjin menatapnya dengan cara seperti itu? Seolah ada dua butir bintang paling
jernih di langit yang telah tenggelam di kedalaman mata gadis yang sangat
jelita tersebut. Dan di dalam pancaran kejernihan cahaya itu Changyi dapat
merasakan adanya berbagai rasa…rindu…dan…mungkinkah itu…cinta? Sepasang alis Xu
Changyi berkerut saat benaknya membawa kembali kenangan pada ucapan sahabatnya
di distrik pelatihan prajurit bahwa seorang gadis sedang berusaha mengungkapkan
rasa sukanya pada sang matahari. Dan bahwa sang matahari itu adalah…dirinya.
Seulas senyum terukir di bibir Changyi pada gadis yang selalu membawa keharuman
wangi musim semi itu. Senyum yang sesungguhnya adalah sebuah topeng untuk
menutupi suara jantung pemuda tersebut yang terasa mulai lebih keras berdetak.
“Aku ingin membawa
Kakak Xu, Adik Chen dan Guanjin-moi ke suatu tempat yang sangat indah. Aku menemukan
tempat tersebut beberapa waktu yang lalu saat aku mengikuti kegiatan berburu
Yang Mulia Kaisar. Aku sangat yakin tempat itu akan semakin indah di musim semi
seperti sekarang” jawab Pangeran Zhu Di dengan senyum merekah ceria.
Changyi tertawa kecil
mendengar jawaban Pangeran Zhu Di. Ia baru saja sampai di Ibukota Yingtian tadi
malam setelah menghadang kapal pembawa wanita-wanita yang hendak dijual di
Beiping. Tamtama Bohai yang datang menyusulnya banyak membantu dalam menangkap
seluruh awak kapal dalam penyamaran yang sempurna dan membawa kembali para
wanita yang ternyata berasal dari berbagai desa di sekitar kotaraja. Dan begitu
tiba di rumah, ia dan Tamtama Bohai langsung melaporkan segala hal yang telah
ditemukannya termasuk menyerahkan semua awak kapal pada ayahnya yang telah
menunggu bersama Jenderal Chang Yu Chun. Kemudian pagi ini, ia bersama ayahnya
menghadap Kaisar di istana. Changyi sungguh tidak menduga bahwa hari pertamanya
di kotaraja setelah kepergiannya beberapa purnama lalu akan penuh dengan
kejutan. Mulai dari para gadis dan dayang yang menyambutnya di depan istana
kaisar, keramahan dan penerimaan kaisar yang terus memujinya di depan para
pejabat tinggi istana hingga membuatnya merasa sedikit jengah dan kini, begitu
ia tiba di rumah, ia disambut oleh Pangeran Zhu Di yang telah bersiap untuk
membawanya pergi. Lebih mengejutkan lagi adalah keikut sertaan Xu Guanjin yang
dengan jujur menyampaikan keinginannya turut pergi. Nyonya Xu Da tidak dapat
menolak saat Pangeran Keempat meminta ijin untuk membawa serta gadis yang kini
sering membuat jantungnya kehilangan kedamaian itu.
Mereka terus berkuda
hingga melewati batas gerbang kotaraja dan jalanan yang dilalui mulai menanjak menaiki
sebuah bukit yang tinggi. Udara yang sangat sejuk dan kehijauan alam yang
sangat indah segera menyambut membuat Changyi segera mengakui bahwa bukit yang
tinggi ini memang sangat indah. Terlebih, beberapa kali terdengar seruan
kekaguman Xu Guanjin saat melihat berbagai jenis burung, kupu-kupu dan rusa yang
melintas di antara gerumbul semak bunga perdu. Hingga kemudian, saat jalan yang
mesti di tempuh tak lagi memungkinkan untuk dilalui dengan kuda, keempat remaja
itu segera turun dari atas kuda mereka lalu mulai mendaki sedikit lagi ke atas
dan baru berhenti saat tiba di puncak bukit yang ternyata berupa sebuah tanah
lapang kecil dengan hamparan rumput penuh bunga berbagai warna. Bagaikan seekor
burung hong kecil yang telah lama dikurung lalu tiba-tiba mendapatkan kembali
kebebasannya, Xu Guanjin segera berlari menyambut ribuan kuntum bunga di padang
rumput kecil membuat ketiga pemuda di belakangnya tertawa. Pangeran Zhu Di
menoleh ke arah Changyi dan melangkah mendekat.
“Kakak Xu…apakah
Kakak Xu sudah membaca suratku yang ketiga?” bisik Pangeran Zhu Di di sisi
Changyi membuat pemuda itu tersentak dan rasa gelisah seketika kembali meliputi
hatinya.
“Ya Adik Zhu Di…saya
telah membacanya” sahut Changyi. Keindahan senyum di bibir Changyi membuat
seluruh kegelisahan hati pemuda tersebut tak terkilas sedikitpun di wajahnya
yang rupawan.
“Lantas? Menurut Kakak
Xu, apa yang sebenarnya telah terjadi padaku? Dan…apa yang harus kulakukan?”
tanya Pangeran Zhu Di seraya menatap ke arah Xu Guanjin yang tengah sibuk
dengan ribuan kuntum bunga di sekitarnya.
Changyi tertawa. Sungguh
ia sendiri tak tahu hal apa yang telah terjadi pada dirinya, lalu bagaimana ia
bisa menjawab pertanyaan dari Pangeran Zhu Di? Namun, sebuah jawaban tetap
harus ia berikan pada sahabatnya ini.
“Menurut saya, apa
yang Anda rasakan adalah hal yang wajar Adik Zhu Di. Setiap orang, siapapun dia,
pada akhirnya akan mengalami hal seperti yang Anda alami sekarang” jawab
Changyi seraya menatap sang pangeran di sisinya.
“Tapi aku benar-benar
bingung Kakak Xu. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan dan aku sangat takut
akan membuat kesalahan di depan Xu Guanjin-moi…” kata Pangeran Zhu Di dengan
nada murung. Sesaat wajah tampan ceria Pangeran Keempat itu menunduk dalam
liputan mendung sebelum kemudian, ia kembali menatap ke arah sahabatnya. “Aku
belum pernah memiliki perasaan seperti ini pada seorang gadis. Dan rasanya sangat
berat. Rasanya seperti membuatku tersiksa tapi aku juga tak ingin melepasnya”.
Changyi memandang
hingga jauh ke dalam sepasang mata Pangeran Keempat. Dalam kegelisahannya
sendiri, ia masih dapat melihat jalan jernih yang mesti ditempuhnya hingga ia
tak kehilangan arah karena kehadiran seorang gadis. Namun, di kedalaman mata
Sang Pangeran Keempat, ia hanya menemukan kekalutan seolah jiwa Sang Pangeran
Keempat telah sepenuhnya diambil alih oleh sosok baru yang ditemukannya. Dan rasa
kasih sayang yang telah tercipta di antara dirinya dengan Pangeran Zhu Di
membuat hati Changyi tersentuh oleh rasa iba seolah yang kini berdiri di depannya
bukanlah seorang pangeran yang cerdas dan merupakan kesayangan kaisar melainkan
adik kecilnya yang merapuh oleh cinta pertama.
“Adik Zhu Di…menurut
saya, tak ada yang harus Anda lakukan. Anda hanya perlu mengikuti irama hati
Anda dan jangan mengingkarinya karena pada akhirnya, hati Anda akan membawa
kaki Anda menuju jalan yang tepat” sahut Changyi kemudian.
Pangeran Zhu Di
terlihat merenung. Dua pasang mata Pangeran Zhu Di dan Changyi menatap ke arah
Xu Guanjin di tengah padang bunga. Hingga, sebuah suara halus yang terdengar
membuat Changyi menoleh ke belakang.
“Adik Chen” panggil
Changyi saat melihat Xiao Chen yang perlahan mendekat ke arah mereka.
Pangeran Zhu Di
menoleh ke arah kasim kecilnya. Sebuah pengertian menyusup ke dalam benaknya
membuat sang pangeran tersenyum.
“Ah..Adik Chen…maafkan
aku karena telah melupakanmu. Aku tahu, kau pasti sangat merindukan Kakak Xu
juga sebagaimana diriku. Baiklah…kalian berdua berbincanglah. Aku akan menemani
Guanjin-moi melihat bunga-bunga” kata Pangeran Zhu Di sambil menatap Xiao Chen
dan Changyi berganti-ganti. Senyum cerianya kembali menebar.
“Terima kasih
Pangeran” sahut Xiao Chen seraya membungkuk ke arah Sang Pangeran Keempat.
Pangeran Zhu Di
mengangguk. Pandangannya kemudian beralih pada Changyi.
“Kakak Xu…aku akan
menemani Guanjin-moi sebentar. Nanti kita bicara lagi” kata sang pangeran
seraya menunjuk ke arah Xu Guanjin di tengah padang.
Changyi tersenyum dan
mengangguk. “Terima kasih Adik Zhu Di…” sahutnya kemudian. “Dan jangan terlalu
jauh. Saya kira, di ujung padang kecil ini adalah tebing yang sangat tinggi. Saya
bisa merasakan hembusan angin yang sangat keras dari arah ujung padang”.
“Baik Kakak Xu…kalian
berdua berbincanglah” seru Pangeran Zhu Di seraya mulai berlari ke arah tengah
padang menyusul Xu Guanjin.
Xiao Chen menatap
Changyi yang berdiri tepat di depannya. Sepasang matanya yang telah sejak
beberapa waktu lalu bersemburat merah kini benar-benar penuh oleh air yang
segera mengalir jatuh ke pipi membuat Changyi seketika tertawa saat menyadari
bahwa adiknya sedikitpun tak berubah bahkan setelah mereka dipisahkan oleh
kedudukan yang berbeda di istana. Hal yang mendadak menyusupkan rasa lega dalam
hatinya. Lega saat ia akhirnya menyadari bahwa sesungguhnya, meski bagaimanapun
keadaan yang kini mereka hadapi namun Xiao Chen tetaplah adiknya.
“Kakak…maafkan aku
karena tidak mengantarmu saat hendak berangkat ke wilayah timur. Aku…”
Kalimat Chen terhenti
saat Changyi mengulurkan tangannya dan kemudian memeluknya membuat airmata Xiao
Chen semakin deras mengalir.
“Tidak apa-apa Adik
Chen” jawab Changyi di sisi telinga Xiao Chen. “Maafkan aku yang terlambat
menyadari semuanya dan terlalu terbawa perasaanku. Aku senang saat melihatmu
sehat. Sepertinya, Pangeran Keempat sangat memperhatikan dirimu”.
“Ya Kakak…Pangeran
Zhu Di sangat baik padaku” sahut Xiao Chen mengangguk. Tangannya bergerak
mengusap kedua pipinya saat akhirnya Changyi melepaskan pelukannya. Chen
menatap kakaknya. “Dan aku sangat bahagia karena Kakak sekarang semakin luar
biasa”.
Changyi tertawa lebar
hingga deretan giginya jelas terlihat.
“Ah…ha..ha..apanya
diriku yang luar biasa Adik Chen? Aku tetap seperti dulu. Masih kakakmu” sahut
Changyi dalam tawanya.
Xiao Chen turut
tertawa. Sepasang mata jernih kasim kecil itu berbinar-binar gembira. “Aku
sudah mendengar semua tentang Kakak. Juga tentang prestasi Kakak di wilayah
timur. Seluruh istana mendengarnya bahkan Yang Mulia Kaisar. Aku mendengar
Kakak telah turut serta mengamankan daerah-daerah perbatasan bersama dengan
pasukan Jenderal Chang Yu Chun. Dan bahkan, aku juga mendengar bahwa Kakak
sekarang telah dipercaya untuk memimpin satu pasukan Kakak sendiri. Itu benar-benar
luar biasa. Aku sangat bangga padamu Kakak Changyi”.
“Aku hanya berharap
bisa melakukan hal terbaik yang dapat kulakukan Adik Chen. Karena aku sudah
berjanji padamu. Kau ingat? Saat kita masih harus mencuri beras untuk bertahan
hidup, suatu malam kau menangis dan bertanya padaku bagaimana jika aku
tertangkap saat mencuri beras dan penduduk desa membunuhku. Lalu kukatakan
bahwa aku akan selalu melakukan yang terbaik yang bisa kulakukan untukmu. Kau ingat?”
tutur Changyi dengan senyum lebarnya membuat tawa Xiao Chen kembali meledak
namun kini bercampur airmata yang berulir lagi di pipi putih kasim kecil itu.
“Tentu saja aku ingat
Kakak. Dan sesudahnya, keesokan harinya saat Kakak Changyi pergi ke desa untuk
mencuri beras lagi, aku memutuskan untuk ikut denganmu. Siapa sangka, karena
aku ikut denganmu, justru membuat gerak Kakak menjadi tidak bebas dan akhirnya kita
ketahuan oleh penduduk desa yang mengejar kita hingga Jenderal Xu Da menyelamatkan
kita dari amukan para penduduk” sambung Xiao Chen.
“Aku merindukanmu
Adik Chen. Kuharap kau bisa mengerti apa yang kuinginkan untukmu, untuk kita
berdua. Hanya kau keluargaku yang sesungguhnya. Kuharap kau akan selalu percaya
padaku. Aku pasti akan melindungimu seperti yang telah kujanjikan di depan ayah,
ibu, paman dan bibi dahulu” ujar Changyi membuat airmata Xiao Chen semakin
deras mengalir dan kasim kecil itu segera menghambur memeluk pemuda di
depannya. Changyi menyambut pelukan adiknya dengan hangat. Senyumnya mengembang
lebar dan bahagia.
“Aku percaya padamu
Kakak…maafkan aku karena telah memberikan kesedihan padamu” jawab Xiao Chen di
antara uraian airmatanya.
“Mulai sekarang kau
jangan menjauh dariku Adik Chen, jangan mengambil jalanmu sendiri agar aku
tidak kehilangan jejakmu. Kapanpun kau ingin bertemu denganku, bicaralah pada
Adik Zhu Di karena ia pasti memberikan ijin untukmu. Aku tahu karena Pangeran
Keempat adalah sahabat terbaikku”.
“Aku tahu…dan aku
akan menuruti apa yang Kakak katakan..” Xiao Chen mengangguk.
“Kakak Xu!...Kakak
Xu!!” suara teriakan keras Pangeran Zhu Di menyentakkan Changyi dan Xiao Chen
membuat keduanya serentak menoleh ke arah sudut padang kecil dan seketika, baik
Changyi maupun Xiao Chen terperanjat saat melihat Pangeran Zhu Di tengah
berusaha bertahan di sebatang pohon kecil sementara sosok Xu Guanjin tak lagi
terlihat meski Changyi dan Xiao Chen masih bisa mendengar jeritan gadis itu.
“Adik Zhu
Di!...Xu-moi!” teriak Changyi sambil melesat ke arah ujung padang diikuti
oleh Xiao Chen. Gerak kedua bersaudara tersebut terlihat sangat cepat dan
ringan menunjukkan kemampuan keduanya dalam ilmu meringankan tubuh yang telah
mencapai tataran tinggi.
“Changyi-ko!” jerit
Xu Guanjin yang tergantung di tangan kiri Pangeran Zhu Di. Wajah gadis jelita
itu terlihat pias oleh ketakutan, terlebih saat ia bisa merasakan betapa
tangannya yang berada dalam genggaman tangan kiri Pangeran Zhu Di perlahan
terlepas karena keringat yang menyebabkan tangan keduanya menjadi licin.
“Pangeran!” teriak
Xiao Chen saat melihat pohon yang menyangga tubuh Pangeran Zhu Di dan Xu
Guanjin pada akhirnya patah tepat di tengah.
Changyi dan Xiao Chen
dapat melihat dengan jelas saat tubuh Pangeran Zhu Di dan Xu Guanjin melayang
dengan deras ke dalam jurang yang sangat dalam dan curam. Changyi melesat
semakin cepat hingga tubuhnya melenyap dan berubah menjadi sebuah bayangan
berwarna biru mendahului Xiao Chen yang segera melesatkan tubuhnya pula
menyusul kakaknya menuju ke jurang yang menganga di depan mereka.
“Adik Chen…selamatkan
Pangeran!…aku akan menolong Xu Guanjin-moi!” suara Changyi yang berteriak keras
terdengar berkumandang sementara bayangan biru tubuhnya telah lenyap, meluncur
dengan sangat cepat ke dalam jurang menyusul tubuh Xu Guanjin yang melayang
dengan deras menuju dasar jurang.
“Baik Kakak!” jawab
Xiao Chen yang telah meluncur pula ke dalam jurang menuju ke arah tubuh Pangeran
Zhu Di. Kasim kecil itu sekilas melihat sehelai akar hitam yang menyembul di
dinding jurang. Ia tak tahu apakah akar tersebut akan kuat untuk menyangga
tubuhnya, namun ia hanya membutuhkan sedikit pijakan untuk melentingkan
tubuhnya dengan gingkangnya agar ia bisa melewati Pangeran Keempat dan meraih tubuh
sang pangeran. Karena itu, dalam sekali kelebat cepat, Xiao Chen segera
menyambar ujung akar hitam tersebut, meminjamkan tenaga dalamnya pada akar
untuk kemudian mengambilnya kembali dalam bentuk tenaga lentingan yang
melontarkan tubuhnya ke arah Pangeran Zhu Di. Hanya dalam beberapa detik, tubuh
Kasim kecil itu telah melewati tubuh Pangeran Zhu Di. Xiao Chen tahu bahwa kesempatannya
untuk meraih tubuh Pangeran Keempat
sangatlah singkat, karena itu, begitu lengan Pangeran Zhu Di telah melewatinya,
maka tangan Xiao Chen segera terulur dan dalam setengah detik, sang pangeran
telah berhasil ditangkapnya.
“Adik Chen!” seru
Pangeran Zhu Di dalam dekapan Xiao Chen sementara tubuh keduanya masih meluncur
deras ke bawah. Wajah tampan Pangeran Keempat terlihat pucat.
“Tenanglah Pangeran,
kita pasti akan keluar dari jurang ini” jawab Xiao Chen seraya mengedarkan
pandangannya ke sekeliling.
Tak ada akar maupun
sulur pepohonan di dalam jurang tersebut. Dinding jurang hanya berhias batuan
terjal dan rumpun belukar yang bersemi. Dan Xiao Chen tahu bahwa ia tak akan
bisa menggantungkan tubuh mereka pada akar rumpun muda yang baru menguncupkan
daun-daunnya di musim semi tersebut. Satu-satunya yang dapat dilakukannya untuk
bisa selamat dari dasar jurang yang bahkan belum terlihat karena tertutup oleh
arakan awan-awan putih hanyalah dengan seutas tali. Maka tanpa menunggu lebih
lama, sang kasim tersebut segera mengurai kain pengikat rambutnya dengan satu
tangannya sementara tangan lain memeluk tubuh Pangeran Zhu Di dengan erat. Kemudian,
dengan satu kali sentak, tali kain yang tak lebih panjang dari dua tombak itu
telah melesat menuju dinding jurang. Dalam dekapan kasimnya, Pangeran Zhu Di
dapat melihat betapa tali yang sangat lentur itu seolah telah berubah menjadi
sebatang besi yang sangat kuat dan tajam. Sepasang mata Pangeran Zhu Di
terbelalak saat ia melihat betapa ujung tali kain yang dilemparkan oleh Xiao
Chen dengan sangat mudah menembus dinding jurang yang keras oleh batuan padas
seolah batu-batu dinding jurang itu selembut kue beras. Kemudian, ujung tali
yang telah terbenam ke dalam dinding jurang tersebut terlihat bergerak seperti
benda hidup yang memiliki nyawa, menggeliat dan melibat batuan dinding jurang
dengan sangat kuat.
Detik selanjutnya, Pangeran
Zhu Di merasa keduanya bagaikan disentakkan menuju dinding jurang yang sangat
keras. Ia nyaris mengira bahwa ia dan kasimnya pasti akan menabrak dinding batu
jurang, namun dugaannya ternyata keliru karena satu jengkal lagi mereka sampai ke
dinding batu, mendadak Xiao Chen telah lebih dulu menjejakkan kakinya ke batuan
yang keras dan melenting ke atas. Gerakannya yang sangat cepat dan gesit seolah
tanpa beban tubuh Pangeran Zhu Di di lengannya membuat keduanya dalam sekejab
telah sampai di atas.
Pangeran Zhu Di berdiri di sisi kasimnya, masih separuh
bersandar karena tubuhnya yang gemetar sementara mereka kini telah berhasil
keluar dari dasar jurang dan berdiri di tepian yang kuat. Wajah Pangeran Zhu Di
terlihat kalut, sedih, penuh rasa sesal saat ia melongokkan kepalanya ke dasar
jurang.
“Adik
Chen!...bagaimana dengan Kakak Xu dan Guanji-moi?” seru Pangeran Zhu Di dengan
nada panik penuh rasa cemas. Ia tak melihat apapun di kedalaman jurang yang
sangat dalam itu. Tak terlihat sedikitpun bayangan tubuh Xu Changyi maupun Xu
Guanjin di dalam jurang. Apa yang dapat dilihat olehnya hanyalah hamparan awan
putih yang berarak menutupi dasar jurang, memberikan kesan misteri tak
tersentuh.
“Pangeran…hamba mohon
jangan terlalu cemas. Kakak Changyi pasti bisa menyelamatkan Nona Xu. Kita tunggu
saja mereka di sini” jawab Xiao Chen saat ia melihat kecemasan di wajah
Pangeran Keempat.
Namun, Pangeran Zhu
Di seolah tak lagi mampu mengendalikan dirinya hingga beberapa saat kemudian,
saat ia tak juga menemukan titik bayangan yang menandakan kembalinya Xu Changyi
maupun Xu Guanjin, maka airmata mulai merebak di sepasang mata bening sang
pangeran. Tangan kanan Pangeran Keempat mengepal erat, dan memukul tanah
tempatnya berpijak sementara airmata mulai jatuh di pipinya membuat Xiao Chen
terkejut sebab inilah pertama kalinya ia melihat seorang Pangeran Zhu Di menangis.
“Kakak
Xuuu!...Guanjin-mooiiii!” teriak Pangeran Zhu Di di bibir jurang.
Suara teriakan pedih
dan cemas, bercampur sesal yang segera dipantulkan kembali oleh dinding jurang,
memberi kesan sunyi tanpa jawaban membuat airmata Pangeran Zhu Di semakin deras
mengalir.
***********
(Bersambung ke episode 6)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar