Senin, 08 Februari 2016

Straight - Episode 5 ( Bagian Empat )


Waktu berjalan dengan kepastian yang nyata. Bulan dan matahari berkejaran di langit dalam gelora cinta yang terus membara sebagai sepasang kekasih abadi yang tak terpisahkan oleh waktu. Tak lelah menanti meski saat bertemu seolah hanyalah sebuah mimpi. Mimpi yang terus menyertai langkah sebagai semangat untuk menjalani hari-hari panjang yang seringkali tak berpihak pada kehendak hati. Mimpi yang memberi harapan bahwa bahagia pasti akan datang menyapa karena janji Sang Pemilik Alam tak pernah dusta.
Changyi duduk di atas sebatang kayu lapuk yang telah tumbang rubuh ke tanah. Sore akan segera melenyapkan diri di balik gelapnya tirai malam. Udara musim semi berhembus semilir menghantarkan aroma bunga-bunga yang berangkat tidur setelah sinar matahari meninggalkan keindahan mereka. Pemuda itu mengangkat sebuah guci kecil dari buntalan kain di sisi kayu, membuka ikatan tutupnya lalu menuang isinya ke dalam mulut. Suara tegukan jelas terdengar saat air dalam guci kecil yang sejuk tersebut mengaliri kerongkongannya yang mengering. Ia baru saja menyelesaikan latihannya yang cukup berat sejak tadi pagi. Hari ini ia mendapat kesempatan untuk melatih kemampuan beladirinya di hutan kecil yang terletak di sisi distrik pelatihan prajurit. Saat musim semi seperti sekarang, hutan kecil ini menjadi sangat sejuk dan indah oleh daun-daun yang bersemi memenuhi setiap ranting pohon membuat Changyi merasa betah berlatih di dalamnya. Sunyi, tenang dan hanya suara desah angin membawa kicau burung yang menemaninya membuai pemuda yang semakin rupawan tersebut tenggelam dalam setiap gerak jurus-jurusnya yang semakin sempurna.
Changyi meletakkan gucinya kembali ke atas tanah sementara satu tangannya bergerak mengusap aliran keringat yang membasahi permukaan dadanya yang telanjang. Sisa sinar matahari sore yang menerpa kulit pemuda itu membuat tubuh tak bertutup di bagian atasnya seolah memancarkan cahaya lembut yang redup. Rambut Changyi telah menjadi lebih panjang sejak ia meninggalkan Yingtian di pertengahan musim gugur nyaris enam purnama yang lalu. Dan rambut hitam berkilau itu kini diikat dalam satu ikatan kuat menggunakan sebuah tali di atas kepala, menyisakan geraian anak-anak rambut lain yang menghias pelipis, dahi dan sebagian jatuh di bahu yang kokoh indah. Waktu yang berlalu sejak Changyi menginjakkan kakinya di distrik pelatihan prajurit di wilayah timur ini telah mengubah sosoknya menjadi seolah lelaki muda yang benar-benar sempurna dalam kerupawanan wujudnya. Namun, bukan hal itu yang membuat Changyi merasa gembira. Ia sesungguhnya bahkan tidak pernah menyadari akan bentuk rupa dan sosoknya yang sangat menawan. Satu-satunya hal yang membuat pemuda itu bahagia sekarang hanyalah bahwa hari-harinya di distrik pelatihan prajurit ini terasa sangat melegakan. Bergaul dengan ribuan prajurit dalam rasa persaudaraan yang sangat kuat, memiliki sahabat-sahabat baru – dan salah satunya adalah Chang Gui Chun, putra Jenderal Chang Yu Chun – membuat Changyi merasakan kebebasan yang lama diidamkannya. Meski ia masih harus menerima nama panggilan ‘Tuan Muda Xu’ dari para prajurit lain namun segalanya terasa ringan karena di balik panggilan bernada hormat yang diberikan oleh para prajurit tersebut, terselip rasa persaudaraan yang sangat kental. Udara terasa penuh oleh kejujuran rasa tanpa dihiasi oleh kepura-puraan sebagaimana yang biasa ia rasakan saat ia berada di istana di mana semua orang seolah mengenakan topeng untuk menyembunyikan rasa hati yang sesungguhnya demi tata karma dan sopan santun. Hal lain yang terasa sangat melegakan bagi Changyi adalah kenyataan bahwa di sini, ia tak perlu lagi harus menahan kesedihan hatinya setiap kali melihat penghormatan yang diberikan oleh Xiao Chen padanya. Dan untuk pertama kalinya sejak ia menjadi putra angkat Jenderal Xu Da dan tinggal di istana, Changyi bisa benar-benar tertawa lepas. Dan sungguh, tawa lepas yang datang dari hati dan jiwa terasa sangatlah nikmat.
Dan semua kebebasan itu ia dapatkan di distrik pelatihan prajurit ini. Tempat yang justru sangatlah jauh dari Ibukota Yingtian dan kemewahan istana. Jenderal Chang Yu Chun menjadi guru yang sangat baik dan  Changyi mulai mengagumi sosok jenderal yang sepintas terlihat pendiam tersebut. Terlebih sejak ia bersahabat dengan Chang Gui Chun, maka sang jenderal sahabat baik ayah angkatnya itu telah terasa seperti ayah pula baginya.
Meski, ada saat ketika kerinduan pada Chen membuat Changyi sedetik menghela nafas. Bagaimana kabar adiknya itu kini?. Dalam enam purnama di distrik pelatihan prajurit ini, ia telah tiga kali menerima surat dari Pangeran Keempat yang dibawa oleh setiap utusan yang pergi ke kotaraja untuk menghadap Jenderal Xu Da, atau justru dibawa sendiri oleh Jenderal Chang Yu Chun saat sang jenderal pergi ke istana untuk menghadap kaisar dalam pertemuan rutin setiap tiga purnama. Dalam setiap suratnya, Pangeran Zhu Di tidak banyak menyebut tentang Xiao Chen dan lebih banyak menceritakan tentang pelatihannya di bawah bimbingan Jenderal Xu Da. Kini, setelah Pangeran Keempat menjadi murid Panglima Tertinggi, maka dengan sendirinya sang pangeran menjadi sangat sering berada di sisi Jenderal Xu Da dan mulai sering pula mengikuti Sang Jenderal Tertinggi Kerajaan Ming tersebut pergi keluar untuk menjalankan tugas-tugas militer. Changyi telah mendengar tugas militer pertama Pangeran Zhu Di bersama Jenderal Xu Da menghalau masuknya serombongan mata-mata dari Mongol di wilayah Beiping. Meski jumlah orang-orang Mongol itu tidak seberapa, namun dalam suratnya Pangeran Zhu Di menceritakan keheranannya mengapa di daerah yang justru terlihat tidak subur tersebut seringkali menjadi tempat masuknya mata-mata dari Mongol. Apa yang sebenarnya dilihat oleh orang-orang Mongol tersebut dari daerah yang terlihat menyedihkan oleh wabah penyakit dan kelaparan seperti Beiping?.
Changyi tersenyum saat matanya membaca baris kalimat yang menggambarkan keheranan sang pangeran tersebut. Meski ia belum pernah secara langsung melihat wilayah Beiping, namun ia telah banyak mendengar tentang wilayah didekat daerah perbatasan dengan Mongol itu. Ia bahkan telah melihat peta wilayah tersebut dalam catatan Jenderal Chang Yu Chun saat ia dan Chang Gui Chun mempelajari tentang wilayah-wilayah perbatasan di Kerajaan Ming serta strategi pertahanan di setiap wilayah yang paling rapuh dari segi keamanan tersebut. Dan dari apa yang dipelajarinya, Changyi menemukan bahwa Beiping, meski sekilas terlihat kurang subur sehingga hasil pertaniannya kurang menguntungkan namun memiliki wilayah yang sangat bagus terutama dari segi tata letak geografis. Beiping, jika telah diolah dengan baik dapat menjadi tempat pertahanan yang sangat kuat dan sulit ditembus karena banyaknya gunung-gunung yang melingkupi di sekelilingnya. Selain itu, letaknya yang meski  cukup dekat dengan perbatasan Mongol namun juga berada di jalur yang menghubungkan dengan daerah-daerah lain di wilayah Kerajaan Ming sangat memungkinkan untuk dijadikan sebagai tempat persinggahan bagi para pedagang dari berbagai wilayah dan hal tersebut dapat memajukan perdagangan di Beiping. Perdagangan tampaknya menjadi satu-satunya hal yang dapat menutupi kekurangan Beiping di segi pertanian yang kurang menguntungkan dan membantu rakyat untuk bangkit dari kemiskinan dan kelaparan. Apakah Pangeran Zhu Di belum melihat hal ini?.
Namun, jika mengingat kecerdasan Sang Pangeran Keempat yang sangat menonjol di antara semua putra-putri Kaisar Hongwu, Changyi merasa bahwa Pangeran Zhu Di pasti akan segera menyadari apa yang menjadi pemikirannya tersebut karena biasanya, mereka berdua memiliki jalan pemikiran yang sama dan hal itu menjadi salah satu hal yang menguatkan persahabatan di antara dirinya dengan sang pangeran.
Tetapi, jika Pangeran Zhu Di tidak juga menyadari kenyataan tersembunyi tentang Beiping tersebut, maka Changyi tetap akan mengingatkannya karena sangat mungkin, hal yang menjadi alasan mengapa orang-orang Mongol begitu menyukai wilayah Beiping adalah karena merekapun melihat kebaikan tersembunyi dari Beiping di balik tanahnya yang kurang subur. Bahkan, bisa jadi adanya wabah penyakit serta kerusuhan yang banyak terjadi di wilayah Beiping adalah salah satu siasat orang-orang Mongol untuk menutupi kebaikan Beiping dari kewaspadaan Kaisar Ming Tai Zhu untuk kemudian, mereka akan merebut wilayah tersebut di saat Yang Mulia Kaisar terlena dan tidak merasa tertarik dengan daerah yang selalu terlihat menyedihkan tersebut.
Dan hal itu akan menjadi sangat berbahaya bagi Kerajaan Ming.
Changyi membuka lembar surat ketiga Pangeran Zhu Di dan seleret rasa aneh menyusup ke dalam hatinya membuat pemuda rupawan tersebut mengerutkan keningnya. Mengapa ia merasakan hal seperti ini? Seperti rasa tak nyaman yang halus, samar namun tak dapat ditepisnya meski ia telah menenggelamkan dirinya dalam setiap latihan olah keprajuritan di distrik maupun di sisi hutan kecil ini. Setiap kali ia mengingat isi surat ketiga Pangeran Keempat, sebuah tempat tersembunyi jauh di dalam dadanya seperti menggeliat oleh kegelisahan yang tak dapat dimengertinya.
Sepasang mata bening Changyi mulai menapaki kalimat dalam surat ketiga Sang Pangeran Keempat, yang justru bukan menceritakan tentang latihan maupun tugas militer sang pangeran, terlebih tentang Xiao Chen melainkan tentang sebuah nama lain.
“Kakak, aku ingin menceritakan padamu tentang hal yang membuatku merasa segalanya telah berubah. Sepertinya duniaku tak lagi sama. Di satu sisi aku merasa seperti terlahir kembali, namun di saat yang lain aku seperti berada di ujung jalan yang membuatku merasa takut. Aku takut jika aku akan gagal dan tak ada jalan bagiku untuk kembali pada keadaan semula sebelum segalanya berubah bagiku.
Ini tentang Xu Guanjin-moi…
Kakak, aku sangat sering melihat seorang gadis. Namun selama itu bagiku mereka semua sama saja dengan orang-orang lain yang kulihat dan kutemui di istana. Sama saja seperti saat aku melihat prajurit, sama halnya saat aku melihat pelayan dan dayang-dayang ataupun Kasim Anta yang semakin tua dan lamban itu.
Tetapi, mengapa aku merasa berbeda saat melihat Xu-moi? Aku tidak tahu bagaimana harus mengatakannya padamu kenapa Xu-moi terlihat berbeda. Yang pasti, saat aku melihatnya aku merasa seperti tengah menatap bulan purnama yang begitu indah dan cemerlang di langit. Apapun yang ada di dalam diri Xu-moi seperti dibuat secara khusus oleh para dewa di langit hanya untuk dirinya dan tidak ada dalam diri orang-orang yang lain.
Meskipun aku telah lama mengenal Kakak, dan juga keluarga Paman Xu Da, namun aku baru benar-benar melihat Xu-moi sejak dua purnama yang lalu saat udara berhembus begitu dingin hingga tanah seolah menjadi beku. Aku melihat Xu-moi berdiri di taman dan aku tak melihat pakaian tambahan yang bisa menghangatkan tubuhnya. Rambutnya panjang hingga ke bawah punggungnya dan begitu indah.  Aku bertanya kepadanya kenapa ia tak menutup dirinya dengan pakaian tambahan agar lebih hangat dan mengapa rambutnya tidak disanggul seperti gadis-gadis yang lain.
Xu-moi mengatakan padaku bahwa rasa hangat telah mengalir dalam hatinya dan rambutnya telah memiliki keinginannya sendiri. Aku tidak mengerti apa yang dimaksud dalam kata-katanya. Tetapi di hari yang lain, saat aku berbicara dengan Adik Miaojin, aku menanyakan mengapa Xu-moi tidak menyanggul rambutnya dan Adik Miaojin mengatakan bahwa dulu Xu-moi selalu menyanggul rambutnya yang sangat indah itu. Namun sejak tusuk konde yang sangat disayanginya hilang, Xu-moi tidak pernah lagi menyanggul rambutnya. Aku bertanya, di manakah tusuk konde itu hilang dan bagaimanakah bentuknya? Aku akan meminta semua pelayan dan dayang untuk mencarinya. Tapi Adik Miaojin mengatakan bahwa hanya Xu-moi yang tahu di mana tusuk konde itu hilang. Sedangkan bentuk tusuk konde itu adalah seperti daun-daun yang diuntai dengan indah.
Kakak, apakah kau pernah melihat tusuk konde itu? aku sungguh sulit untuk membayangkan bagaimanakah bentuk tusuk konde yang seperti untaian daun-daun itu. Dan daun apa? Banyak daun di sekitar kita bukan?
Tetapi Kakak, mengapa aku merasa ingin mencari tusuk konde itu untuk Xu-moi? Mengapa aku ingin agar rambutnya yang sangat indah itu disanggul agar terjaga dari setiap butir debu? Mengapa aku begitu khawatir jika udara dingin akan membuatnya sakit? Dan kini, setiap waktu aku berada di rumah Paman Xu Da adalah saat yang sangat kunantikan.
Apa yang sebenarnya terjadi padaku Kakak Xu? Katakanlah padaku karena aku tidak bisa menceritakan hal ini pada siapapun selain padamu.
Sekarang, aku sangat ingin memberikan segala hal pada Xu-moi, namun aku tidak tahu bagaimana harus kukatakan padanya. Haruskah aku bertanya pada Xu-moi, apa yang ia inginkan? Ataukah sebaiknya aku langsung memberinya hal-hal yang indah?
Tapi jika kulakukan hal itu, lalu bagaimana jika ternyata Xu-moi tidak menyukainya?
Aku bahkan sangat jarang berbicara dengannya karena Xu-moi selalu berada di dalam biliknya untuk membaca atau berdiri di taman bunga seperti memikirkan sesuatu. Setiapkali aku bertanya padanya, Xu-moi hanya menjawab dengan kata-kata yang sedikit dan setelah itu aku tidak tahu lagi apa yang mesti kukatakan atau kutanyakan.
Kakak, aku sangat ingin menggantikan tusuk konde yang hilang itu. Karena Xu-moi mengatakan bahwa tusuk konde itu adalah hatinya sehingga tak bisa digantikan dengan tusuk konde manapun.
Dan bukankah jika seseorang telah kehilangan benda yang sangat disayangi hingga jauh ke dalam hati maka ia akan sangat sedih?
Dan aku sangat tidak ingin melihat Xu-moi sedih…
Changyi menggulung kembali surat ketiga Pangeran Keempat dan sesaat menarik nafas saat sebuah rasa gelisah kembali menyusup, samar dan jauh seperti selembar embun tipis yang jatuh di atas rerumputan, nyaris tak terlihat namun jelas dapat dirasakan dan tak bisa ditepisnya.
Kenapa ia merasa gelisah seperti ini? Apakah karena Sang Pangeran Keempat tiba-tiba memanggilnya dengan cara berbeda? Kenapa sang pangeran tiba-tiba memanggilnya dengan nama ‘Kakak Xu?’ berbeda dengan dulu yang selalu menggunakan nama panggilan ‘Kakak Changyi?’.
Ataukah rasa gelisah ini muncul karena apa yang diceritakan oleh Pangeran Zhu Di adalah tentang Xu Guanjin? Tapi mengapa ia harus gelisah karenanya?. Kening indah pemuda itu berkerut dalam sementara ia mengingat setiap kata yang dituliskan oleh sang pangeran sahabatnya. 
Perlahan, Changyi meletakkan kembali gulungan surat Pangeran Zhu Di ke dalam buntalan kain di sisi kakinya kemudian, dengan gerak pelan jemarinya menarik satu gulungan kain lain dari dalam buntalan tersebut. Kain lembut berwarna biru itu dipenuhi oleh sulaman bergambar daun-daun Maple berwarna kuning dan merah keemasan seolah musim gugur tengah jatuh di atas helai kain yang menebarkan aroma keharuman wangi bunga. Sejenak Changyi menimang kain kecil yang jelas merupakan sehelai saputangan tersebut. Keharuman wangi bunga yang menyebar dari saputangan di tangannya dengan jelas dapat dikenalinya. Wangi bunga musim semi yang tak pernah mati meski berbagai musim berlalu dan berganti. Hanya satu orang yang dapat membawa keharuman musim semi di sepanjang waktu seperti ini.
“Xu Guanjin-moi…kenapa kau berikan benda ini padaku?” bisik Changyi. Jemarinya mulai membuka lipatan saputangan hingga kemudian, di depan matanya terlihat sebuah tusuk konde giok!.
Changyi menarik nafas panjang sementara ia mulai menarik tusuk konde giok berbentuk untaian daun-daun Maple dari atas telapak tangan kirinya. Ia sangat mengenal tusuk konde ini karena dirinya-lah yang telah memberikannya pada Xu Guanjin sebagai hadiah beberapa tahun lalu. Sepasang tusuk konde yang ia dapatkan dari gurunya Si Biksu Tua di Kuil Bulan Merah sebagai balasan karena ia telah membantu Sang Biksu Tua untuk membangun kembali bagian kuil yang melapuk dengan membawa kayu-kayu besar dari bawah bukit. Biksu Tua tak pernah mengatakan bagaimana ia bisa memiliki sepasang tusuk konde yang sangat indah itu. Namun, dari biksu-biksu lain Changyi mendengar cerita tentang asal mula tusuk konde yang ternyata milik seorang gadis yang pernah ada dalam kehidupan Biksu Tua di masa mudanya.  Ketika kemudian Jenderal Xu Da menjemputnya untuk menjalani pendidikan di sekolah prajurit khusus dan mengangkatnya sebagai anak, Changyi memutuskan untuk memberikan tusuk konde tersebut pada Xu Guanjin karena gadis itu adalah orang selain Jenderal Xu Da yang menerimanya dengan begitu tulus sejak pertama ia datang ke rumah Keluarga Xu sebagai seorang pelayan pengurus kuda. Berapa kali sejak hari tersebut ia melihat Xu Guanjin memakai tusuk konde ini untuk menyanggul rambut panjangnya yang sangat indah? Ia mesti mengakui bahwa gadis itu terlihat sangat mempesona dengan sanggul berhias tusuk konde giok ini, membuat Xu Guanjin seolah menjelma menjadi sesosok dewi dengan keanggunan yang sangat kuat.
Lalu, mengapa kini Xu Guanjin memberikan tusuk konde ini padanya? Dan bukan sepasang melainkan hanya satu tusuk konde saja? Jika gadis itu telah menjadi bosan dengan tusuk konde yang pernah diberikannya ini, maka bukankah seharusnya gadis itu mengembalikannya sebagai sepasang tusuk konde dan bukan hanya satu?. Lebih lagi, satu tusuk konde ini tersembunyi di bawah beberapa buku di dalam kotak kayu kecil yang dititipkan oleh Xu Guanjin pada Jenderal Chang Yu Chun di hari mereka berangkat menuju distrik pelatihan prajurit dan baru diterimanya dari Sang Jenderal delapan hari kemudian saat mereka telah tiba di distrik yang sangat jauh ini. Melihat bagaimana Xu Guanjin menyimpan tusuk konde di balik lipatan kain saputangannya dan kemudian menutupinya dengan buku-buku, nampak jelas bahwa gadis itu tak ingin siapapun – termasuk Jenderal Chang Yu Chun yang membawa kotak itu untuknya – mengetahui keberadaan tusuk konde tersebut. Pada ujung tangkai tusuk konde ini terdapat satu surat kecil yang ditulis Xu Guanjin, melibat dengan kuat.
Changyi melepas libatan surat kecil yang ditulis adik angkatnya tersebut, dan kembali menapaki kalimat demi kalimat yang ditulis dengan huruf yang sangat halus. Huruf yang digoreskan oleh jemari lentik Xu Guanjin ini tidaklah panjang namun sebuah getaran halus selalu menyusup dalam hati Changyi setiap kali ia teringat kalimat-kalimat singkat dalam surat pendek yang kini dipegangnya. Getaran yang berbeda dengan rasa gelisah aneh yang ia rasakan saat membaca surat dari Pangeran Keempat.
Changyi-ko…
Seberapa jauhkan batas langit berada? Aku selalu bertanya setiap kali kulihat matahari tenggelam di ujung rerumputan. Lalu aku akan mulai menunggu hingga matahari itu muncul kembali di ujung langit pada sisi yang berbeda dan bunga-bunga di taman selalu bersorak bahagia menyambutnya.
Changyi-ko…
Aku selalu takut jika aku tak bisa menemukan sejauh apakah batas langit itu. Karenanya kusertakan untaian daun-daun Mapel ini di balik sayap sang matahari saat ia pergi. Aku berharap, daun-daun yang kutitipkan ini akan membawa matahari itu kembali, secepatnya, karena tanpa gemilang cahayanya, tak akan ada keharuman memancar dari taman bunga...
Apa sebenarnya maksud Xu Guanjin dengan kalimatnya?. Changyi menatap selembar surat mungil di ujung jemarinya dengan kening berkerut. Untaian daun-daun Mapel, ia tahu itu pasti tusuk konde ini. Tapi matahari? Apa yang dimaksud Xu Guanjin dengan matahari? Apakah gadis itu sedang menantikan seseorang? Jika begitu, apakah itu artinya, matahari itu adalah seseorang? Tapi, bila itu benar, lalu siapakah orang yang disebut sebagai matahari itu? Apakah Pangeran Keempat?.
Mendadak rasa gelisah aneh kembali menyeruak saat benak Changyi membayangkan bahwa sang matahari yang dimaksud oleh Xu Guanjin adalah Pangeran Zhu Di.
Tetapi, di dalam surat ini dengan jelas Xu Guanjin mengatakan bahwa matahari itu telah pergi dan ia menantikan sang matahari untuk kembali. Itu artinya, sang matahari yang dimaksud oleh Xu Guanjin saat ini tidak ada di sisi gadis itu. Sedangkan Pangeran Zhu Di, karena saat ini telah menjadi murid Jenderal Xu Da, maka dengan sendirinya akan menjadi sering berada di sisi Sang Jenderal Besar dan sering pula berada di rumah Keluarga Xu. Karena itu, sepertinya sang matahari yang dimaksud dalam surat ini bukanlah Pangeran Keempat.
Lagipula, dalam suratnya, Pangeran Keempat justru menanyakan di manakah hilangnya tusuk konde ini dan seperti apa bentuknya. Sedangkan Xu Guanjin sendiri tak memberikan jawaban di manakah tusuk konde gioknya. Gadis itu hanya menjawab bahwa tusuk kondenya telah hilang. Dan itu artinya, gadis itu tidak memberitahu siapapun perihal di mana adanya tusuk konde ini. Bahwa sebenarnya benda yang sangat indah ini bukan hilang melainkan…
“Kakak Xu!...Kakak, kau di mana?” sebuah suara keras terdengar di ujung jalan setapak membuat Changyi dengan cepat menutup kembali tusuk konde yang dipegangnya dengan saputangan lalu memasukkan benda tersebut beserta surat Pangeran Keempat ke dalam buntalan kainnya. Kemudian, tepat saat sesosok pemuda bertubuh tinggi dan agak kurus muncul beberapa langkah di depannya, Changyi telah bangkit berdiri sambil menyandang buntalan kainnya di bahu. Senyum pemuda itu mengembang menatap sahabat barunya, Chang Gui Chun, putra dari Jenderal Chang Yu Chun.
“Adik Chang, aku sudah mau kembali” sahut Changyi sambil melangkah ke arah si pemuda tinggi di depannya.
“Ayah menunggumu Kakak Xu. Aku sudah mengatakan pada Ayah bahwa Kakak Xu akan kembali sebentar lagi tapi Ayah tidak bisa bersabar dan memintaku untuk menjemputmu ke mari” sahut Chang Gui Chun sambil berbalik dan menjejeri langkah Changyi. Kedua pemuda yang sama tinggi itu kemudian melangkah pelan di atas jalan setapak yang masih sedikit menyisakan cahaya matahari sore di ujung-ujung rerumputan.
Ah…mengapa tiba-tiba ia jadi hafal dengan kalimat Xu Guanjin di dalam suratnya? Tanpa sadar Changyi menepuk dahinya sendiri membuat Chang Gui Chun menoleh dan menatap sahabatnya.
“Ada apa Kakak Xu?” tanya Chang Gui Chun saat melihat Changyi menepuk dahinya sendiri.
“Oh..apa? Tidak apa-apa, mengapa kau menanyakan hal itu Adik Chang?” tanya Changyi sambil menatap wajah di sampingnya. Terlihat sedikit bingung mendengar pertanyaan sahabatnya tersebut.
“Kau Kakak Xu…apa kau sedang memikirkan sesuatu? Kulihat Kakak Xu menepuk dahi sendiri” jawab Chang Gui Chun tertawa.
Sepasang mata Changyi membesar dan mendadak merasa kikuk. Ia sungguh tidak menyadari apa yang telah dilakukannya.
“Oh..itu. Aku hanya berpikir tentang maksud dari kata-kata seorang teman” jawab Changyi sambil tersenyum. “Kata-katanya tidak bisa kumengerti”.
Chang Gui Chun mengerutkan alisnya dan berhenti melangkah membuat Changyi turut berhenti pula.
“Kata-kata yang bagaimana Kakak Xu? Apakah teman Kakak Xu itu seorang pandai yang terpelajar?” tanya Chang Gui Chun.
Changyi mengangguk. Benaknya terkenang pada Xu Guanjin yang sangat cerdas dan sangat senang membaca buku.
“Dia memang sangat pandai Adik Chang, karena itulah mungkin aku tidak mengerti apa maksud dari kalimat yang dikatakannya padaku” sahut Changyi kemudian.
“Bisakah kau menirukan kata-katanya Kakak Xu? Mungkin saja aku bisa membantumu. Walaupun aku bukan seorang yang pandai tapi…kadang-kadang aku membaca buku-buku tentang sastra dan pengetahuan lain sekedar untuk mengisi waktu saat aku merasa bosan di malam hari” ucap Chang Gui Chun.
Changyi mengangkat bahunya dan kembali melangkah. “Tidak banyak Adik Chang. Dia hanya menyebut bahwa dirinya sedang menantikan sang matahri untuk kembali. Aku tidak mengerti apa yang dimaksud dengan matahari itu. Kenapa harus ditunggu? Bukankah setiap hari kita bertemu dengan matahari?”.
Mendadak Chang Gui Chun tertawa membuat Changyi melengak kaget dan menatap sahabatnya tersebut.
“Kenapa kau malah tertawa Adik Chang?” tanya Changyi.
“Ah Kakak Xu…apakah teman Kakak Xu itu adalah seorang gadis?” tanya Chang Gui Chun di sela tawanya.
Sedetik wajah Changyi terasa memanas namun kemudian bibirnya mulai pula mengurai tawa.
“Apakah ada bedanya jika dia seorang gadis atau pemuda Adik Chang?” tanya Changyi kemudian.
“Tentu saja Kakak Xu. Jika yang mengatakan kalimat tersebut adalah seorang gadis maka matahari yang dimaksudnya adalah Kakak Xu Changyi” jawab Chang Gui Chun sambil tersenyum lebar. Ekspresinya yang terlihat menggoda membuat Changyi merasa geli namun jawaban yang didengarnya dari mulut putra Jenderal Chang Yu Chun itu membuat hati Changyi seperti melompat oleh sebuah detakan keras.
“Maksudmu…matahari yang dimaksud itu adalah…aku Adik Chang? Jadi itu berarti dia sedang…menungguku? Bagaimana kau bisa mengatakan bahwa matahari yang dimaksud adalah aku?” tanya Changyi dengan sepasang alis terangkat naik. Kenapa tiba-tiba jantungnya terasa berdebar?.
Melihat wajah Changyi, Chang Gui Chun semakin keras tertawa. Satu tangannya terulur dan menepuk bahu sahabat di sisinya. Namun, sesaat kemudian, saat tawanya telah berhenti, pemuda tersebut menatap Changyi. Sepasang matanya yang menyorot hangat menatap dengan senyum yang masih tertinggal di atas bibirnya yang tipis.
“Berarti benar, teman Kakak Xu itu seorang gadis” jawab Chang Gui Chun membuat Changyi kembali merasa kikuk. “Kakak Xu, sebelum Kakak datang ke distrik pelatihan prajurit ini, sebelum kita bertemu, Kakak Xu pasti tidak mengenalku. Tapi, berbeda dengan diriku karena aku sudah lama mengenal Kakak Xu. Bukan hanya aku, melainkan juga seluruh prajurit di distrik ini, juga semua orang di seluruh penjuru Kerajaan Ming, siapakah yang tidak mengenal ‘Tuan Muda Xu Changyi’?. Kakak Xu adalah nama yang sangat dikenal oleh rakyat selain Paman Xu Da, Yang Mulia Kaisar dan Pangeran Keempat. Hanya saja, untuk Kakak Xu, rakyat mengenalmu dengan cara berbeda”.
“Berbeda? Berbeda bagaimana Adik Chang?” alis Changyi berkerut. Benarkah ia sepopuler itu? Semua orang di seluruh Kerajaan Ming mengenalnya? Memangnya siapakah dirinya ini?. Jika yang dikenal oleh rakyat Kerajaan Ming adalah Yang Mulia Kaisar, Panglima Perang Tertinggi Jenderal Xu Da dan Pangeran Keempat, maka Changyi dapat memahaminya. Tapi dirinya?
“Berbeda karena…rakyat mengenal Kakak Xu sebagai penjelmaan sang matahari. Siapakah gadis dan wanita yang tidak mengenal dan mengagumi Tuan Muda Xu Changyi yang teramat sangat tampan dan mempesona, cerdas dan memiliki prestasi yang gemilang di sekolah prajurit khusus? Banyak dari kami para lelaki yang merasa cemburu pada Kakak Xu karena setiap kali kami menyukai seorang gadis, maka kami harus dibanding-bandingkan dengan Tuan Muda Xu Changyi. Termasuk aku sendiri. Dulu, sebelum aku masuk ke distrik pelatihan prajurit ini, aku pernah menyukai seorang gadis. Ia adalah putri salah satu pejabat di Kementerian Pertahanan. Namun sayang, ia tidak menyukai diriku karena saat itu hatinya telah terpaut pada seseorang. Dan seseorang itu ternyata adalah Tuan Muda Xu Changyi” tutur Chang Gui Chun membuat Changyi tersentak.
“Ah Adik Chang…maafkan aku. Aku sama sekali tak memiliki maksud untuk…”
“Tidak Kakak Xu” potong Chang Gui Chun cepat. “Jangan meminta maaf seperti itu. Aku sama sekali tidak menyalahkanmu karena Kakak sendiri bahkan tidak menyadari akan hal tersebut. Aku sempat memperhatikan Kakak Xu saat itu dan aku melihat Kakak bahkan tidak memiliki waktu untuk para gadis karena hari-hari Kakak telah habis untuk latihan, belajar dan mengikuti Pangeran Keempat. Aku bukan seorang bodoh yang akan melimpahkan kegagalanku pada orang lain sementara orang lain itu bahkan tidak mengenalku apalagi memiliki niat buruk padaku”.
“Tapi tetap saja, aku merasa tidak enak sebab aku terlambat mengenalimu sementara kau sudah mengenalku jauh sebelum kita bertemu di distrik pelatihan prajurit ini Adik Chang. Kumohon maafkan aku” sahut Changyi sambil sedikit membungkukkan tubuhnya.
“Kakak Xu!” Chang Gui Chun meraih bahu pemuda di depannya dan mengangkatnya agar tegak kembali. “Kenapa kau membungkuk padaku? Ah!...ternyata benar yang dikatakan ayah tentang dirimu. Kakak Xu Changyi, bukan hanya seorang pemuda yang teramat tampan dan cerdas tapi juga sangat sopan pada siapapun. Sungguh gawat! Jika seperti ini, bagaimana bisa pemuda lain mengalahkan Kakak dan mendapat cinta dari para gadis?”
“Adik Chang…aku tidak sebaik itu. Orang hanya belum melihat sisi burukku saja, karena itu mereka mengira seolah-olah aku ini seorang yang sempurna” ujar Changyi. Masih ada kerut di keningnya yang halus.
“Sempurna atau tidak, tapi Kakak Xu memang sangat tampan dan mempesona. Aku mengakuinya Kakak Xu, dan setelah kita selalu bertemu setiap hari seperti ini dan melihat sosok Kakak Xu, aku sangat takut bahwa mungkin akupun akan jatuh cinta padamu” jawab Chang Gui Chun membuat Changyi melengak dengan sepasang mata membelalak membuat putra Jenderal Chang Yu Chun seketika tertawa terbahak-bahak.
“Adik Chang…bagaimana kau bisa mengatakan hal semacam itu?” tegur Changyi masih terkaget-kaget.
“Tidak..tidak Kakak Xu, aku hanya menggodamu saja. Sudahlah, jangan dipikirkan lagi tentang kalimat dari teman Kakak Xu itu. Menurutku, seorang gadis sedang mengungkapkan rasa sukanya padamu. Karena di seluruh penjuru Kerajaan Ming ini hanya ada satu matahari di hati para gadis dan dia adalah Tuan Muda Xu Changyi” sahut Chang Yu Chun sambil mengedipkan satu matanya. “Dan sekarang, sebaiknya kita segera pulang karena ayah sedang menunggu. Jika kulihat dari wajahnya yang terlihat tidak sabar, aku merasa bahwa ada hal penting yang ingin dikatakan ayah pada kita, terutama pada Kakak Xu”.
“Ada apa Adik Chang? Apakah…ada berita dari Yingtian?” mendadak dada Changyi berdesir. Seraut wajah berkelebat. Wajah yang dirindukannya. Apakah terjadi sesuatu Xiao Chen?.
“Aku juga belum tahu, hanya saja ayah tidak pernah terlihat tidak sabar seperti itu kecuali karena sesuatu yang sangat penting atau genting” jawab Chang Gui Chun sambil menatap Changyi.
“Kalau begitu sebaiknya kita bergegas Adik Chang. Ayo!” mendadak tubuh Changyi melesat cepat, begitu ringan dan gesit seolah kedua kaki pemuda itu tidak menyentuh tanah saat berlari menuju distrik pelatihan prajurit, tak jauh dari sisi hutan kecil.
Chang Gui Chun terkejut saat melihat bahwa Changyi mendadak telah lenyap dari hadapannya hanya dalam sekedip mata. Hati pemuda itu semakin dipenuhi rasa kagum pada sahabatnya yang sesungguhnya telah lama diamati dan disukainya dalam diam sebelum ia pergi mengikuti ayahnya ke distrik pelatihan prajurit ini. Rasa suka dan ingin berteman, namun sungkan serta takut pada keberadaan Pangeran Zhu Di yang selalu berada di sisi Changyi membuat Chang Gui Chun hanya berani mengagumi Changyi dari jauh sambil berharap akan mendapat kesempatan untuk menjalin persahabatan dengan pemuda luar biasa yang sangat terkenal di seluruh pelosok Kerajaan Ming tersebut suatu saat nanti. Dan harapan pemuda itu terkabul saat ayahnya pulang dari Yingtian dengan membawa serta Changyi bersamanya, bahkan mengatakan bahwa mulai hari sejak enam purnama lalu, Changyi akan tinggal bersama mereka dan berlatih di distrik pelatihan prajurit. Bukan main gembiranya hati Chang Gui Chun saat itu. Dan setelah menjalani persahabatan dengan Changyi, maka hati pemuda itu semakin tertawan oleh rasa kagum dan sayang dalam persaudaraan. Sambil berdecak, Chang Gui Chun segera melompat ke arah hilangnya Changyi. Wajahnya cerah oleh rasa gembira yang terbias nyata.
“Kakak Xu! Tunggu aku!” seru Chang Gui Chun sambil melesat menyusul Changyi.
Dalam sekejab, sisi hutan yang menghijau oleh musim semi itu kembali sepi. Hanya tertinggal desau lembut angin sejuk mengiringi malam yang mulai merambat naik.
***********

Tidak ada komentar:

Posting Komentar