Waktu berjalan dengan
kepastian yang nyata. Bulan dan matahari berkejaran di langit dalam gelora
cinta yang terus membara sebagai sepasang kekasih abadi yang tak terpisahkan
oleh waktu. Tak lelah menanti meski saat bertemu seolah hanyalah sebuah mimpi.
Mimpi yang terus menyertai langkah sebagai semangat untuk menjalani hari-hari
panjang yang seringkali tak berpihak pada kehendak hati. Mimpi yang memberi
harapan bahwa bahagia pasti akan datang menyapa karena janji Sang Pemilik Alam
tak pernah dusta.
Changyi duduk di atas
sebatang kayu lapuk yang telah tumbang rubuh ke tanah. Sore akan segera
melenyapkan diri di balik gelapnya tirai malam. Udara musim semi berhembus
semilir menghantarkan aroma bunga-bunga yang berangkat tidur setelah sinar
matahari meninggalkan keindahan mereka. Pemuda itu mengangkat sebuah guci kecil
dari buntalan kain di sisi kayu, membuka ikatan tutupnya lalu menuang isinya ke
dalam mulut. Suara tegukan jelas terdengar saat air dalam guci kecil yang sejuk
tersebut mengaliri kerongkongannya yang mengering. Ia baru saja menyelesaikan
latihannya yang cukup berat sejak tadi pagi. Hari ini ia mendapat kesempatan
untuk melatih kemampuan beladirinya di hutan kecil yang terletak di sisi
distrik pelatihan prajurit. Saat musim semi seperti sekarang, hutan kecil ini
menjadi sangat sejuk dan indah oleh daun-daun yang bersemi memenuhi setiap
ranting pohon membuat Changyi merasa betah berlatih di dalamnya. Sunyi, tenang
dan hanya suara desah angin membawa kicau burung yang menemaninya membuai
pemuda yang semakin rupawan tersebut tenggelam dalam setiap gerak
jurus-jurusnya yang semakin sempurna.
Changyi meletakkan
gucinya kembali ke atas tanah sementara satu tangannya bergerak mengusap aliran
keringat yang membasahi permukaan dadanya yang telanjang. Sisa sinar matahari sore
yang menerpa kulit pemuda itu membuat tubuh tak bertutup di bagian atasnya
seolah memancarkan cahaya lembut yang redup. Rambut Changyi telah menjadi lebih
panjang sejak ia meninggalkan Yingtian di pertengahan musim gugur nyaris enam
purnama yang lalu. Dan rambut hitam berkilau itu kini diikat dalam satu ikatan
kuat menggunakan sebuah tali di atas kepala, menyisakan geraian anak-anak rambut
lain yang menghias pelipis, dahi dan sebagian jatuh di bahu yang kokoh indah. Waktu
yang berlalu sejak Changyi menginjakkan kakinya di distrik pelatihan prajurit
di wilayah timur ini telah mengubah sosoknya menjadi seolah lelaki muda yang
benar-benar sempurna dalam kerupawanan wujudnya. Namun, bukan hal itu yang
membuat Changyi merasa gembira. Ia sesungguhnya bahkan tidak pernah menyadari
akan bentuk rupa dan sosoknya yang sangat menawan. Satu-satunya hal yang
membuat pemuda itu bahagia sekarang hanyalah bahwa hari-harinya di distrik
pelatihan prajurit ini terasa sangat melegakan. Bergaul dengan ribuan prajurit
dalam rasa persaudaraan yang sangat kuat, memiliki sahabat-sahabat baru – dan
salah satunya adalah Chang Gui Chun, putra Jenderal Chang Yu Chun – membuat
Changyi merasakan kebebasan yang lama diidamkannya. Meski ia masih harus
menerima nama panggilan ‘Tuan Muda Xu’ dari para prajurit lain namun segalanya
terasa ringan karena di balik panggilan bernada hormat yang diberikan oleh para
prajurit tersebut, terselip rasa persaudaraan yang sangat kental. Udara terasa
penuh oleh kejujuran rasa tanpa dihiasi oleh kepura-puraan sebagaimana yang
biasa ia rasakan saat ia berada di istana di mana semua orang seolah mengenakan
topeng untuk menyembunyikan rasa hati yang sesungguhnya demi tata karma dan
sopan santun. Hal lain yang terasa sangat melegakan bagi Changyi adalah
kenyataan bahwa di sini, ia tak perlu lagi harus menahan kesedihan hatinya
setiap kali melihat penghormatan yang diberikan oleh Xiao Chen padanya. Dan
untuk pertama kalinya sejak ia menjadi putra angkat Jenderal Xu Da dan tinggal
di istana, Changyi bisa benar-benar tertawa lepas. Dan sungguh, tawa lepas yang
datang dari hati dan jiwa terasa sangatlah nikmat.
Dan semua kebebasan
itu ia dapatkan di distrik pelatihan prajurit ini. Tempat yang justru sangatlah
jauh dari Ibukota Yingtian dan kemewahan istana. Jenderal Chang Yu Chun menjadi
guru yang sangat baik dan Changyi mulai
mengagumi sosok jenderal yang sepintas terlihat pendiam tersebut. Terlebih
sejak ia bersahabat dengan Chang Gui Chun, maka sang jenderal sahabat baik ayah
angkatnya itu telah terasa seperti ayah pula baginya.
Meski, ada saat ketika
kerinduan pada Chen membuat Changyi sedetik menghela nafas. Bagaimana kabar
adiknya itu kini?. Dalam enam purnama di distrik pelatihan prajurit ini, ia
telah tiga kali menerima surat dari Pangeran Keempat yang dibawa oleh setiap
utusan yang pergi ke kotaraja untuk menghadap Jenderal Xu Da, atau justru
dibawa sendiri oleh Jenderal Chang Yu Chun saat sang jenderal pergi ke istana
untuk menghadap kaisar dalam pertemuan rutin setiap tiga purnama. Dalam setiap
suratnya, Pangeran Zhu Di tidak banyak menyebut tentang Xiao Chen dan lebih
banyak menceritakan tentang pelatihannya di bawah bimbingan Jenderal Xu Da.
Kini, setelah Pangeran Keempat menjadi murid Panglima Tertinggi, maka dengan
sendirinya sang pangeran menjadi sangat sering berada di sisi Jenderal Xu Da
dan mulai sering pula mengikuti Sang Jenderal Tertinggi Kerajaan Ming tersebut
pergi keluar untuk menjalankan tugas-tugas militer. Changyi telah mendengar
tugas militer pertama Pangeran Zhu Di bersama Jenderal Xu Da menghalau masuknya
serombongan mata-mata dari Mongol di wilayah Beiping. Meski jumlah orang-orang
Mongol itu tidak seberapa, namun dalam suratnya Pangeran Zhu Di menceritakan
keheranannya mengapa di daerah yang justru terlihat tidak subur tersebut
seringkali menjadi tempat masuknya mata-mata dari Mongol. Apa yang sebenarnya
dilihat oleh orang-orang Mongol tersebut dari daerah yang terlihat menyedihkan
oleh wabah penyakit dan kelaparan seperti Beiping?.
Changyi tersenyum
saat matanya membaca baris kalimat yang menggambarkan keheranan sang pangeran
tersebut. Meski ia belum pernah secara langsung melihat wilayah Beiping, namun
ia telah banyak mendengar tentang wilayah didekat daerah perbatasan dengan
Mongol itu. Ia bahkan telah melihat peta wilayah tersebut dalam catatan
Jenderal Chang Yu Chun saat ia dan Chang Gui Chun mempelajari tentang
wilayah-wilayah perbatasan di Kerajaan Ming serta strategi pertahanan di setiap
wilayah yang paling rapuh dari segi keamanan tersebut. Dan dari apa yang
dipelajarinya, Changyi menemukan bahwa Beiping, meski sekilas terlihat kurang
subur sehingga hasil pertaniannya kurang menguntungkan namun memiliki wilayah
yang sangat bagus terutama dari segi tata letak geografis. Beiping, jika telah
diolah dengan baik dapat menjadi tempat pertahanan yang sangat kuat dan sulit
ditembus karena banyaknya gunung-gunung yang melingkupi di sekelilingnya.
Selain itu, letaknya yang meski cukup
dekat dengan perbatasan Mongol namun juga berada di jalur yang menghubungkan
dengan daerah-daerah lain di wilayah Kerajaan Ming sangat memungkinkan untuk
dijadikan sebagai tempat persinggahan bagi para pedagang dari berbagai wilayah
dan hal tersebut dapat memajukan perdagangan di Beiping. Perdagangan tampaknya
menjadi satu-satunya hal yang dapat menutupi kekurangan Beiping di segi
pertanian yang kurang menguntungkan dan membantu rakyat untuk bangkit dari
kemiskinan dan kelaparan. Apakah Pangeran Zhu Di belum melihat hal ini?.
Namun, jika mengingat
kecerdasan Sang Pangeran Keempat yang sangat menonjol di antara semua
putra-putri Kaisar Hongwu, Changyi merasa bahwa Pangeran Zhu Di pasti akan segera
menyadari apa yang menjadi pemikirannya tersebut karena biasanya, mereka berdua
memiliki jalan pemikiran yang sama dan hal itu menjadi salah satu hal yang
menguatkan persahabatan di antara dirinya dengan sang pangeran.
Tetapi, jika Pangeran
Zhu Di tidak juga menyadari kenyataan tersembunyi tentang Beiping tersebut,
maka Changyi tetap akan mengingatkannya karena sangat mungkin, hal yang menjadi
alasan mengapa orang-orang Mongol begitu menyukai wilayah Beiping adalah karena
merekapun melihat kebaikan tersembunyi dari Beiping di balik tanahnya yang
kurang subur. Bahkan, bisa jadi adanya wabah penyakit serta kerusuhan yang
banyak terjadi di wilayah Beiping adalah salah satu siasat orang-orang Mongol
untuk menutupi kebaikan Beiping dari kewaspadaan Kaisar Ming Tai Zhu untuk
kemudian, mereka akan merebut wilayah tersebut di saat Yang Mulia Kaisar
terlena dan tidak merasa tertarik dengan daerah yang selalu terlihat
menyedihkan tersebut.
Dan hal itu akan
menjadi sangat berbahaya bagi Kerajaan Ming.
Changyi membuka
lembar surat ketiga Pangeran Zhu Di dan seleret rasa aneh menyusup ke dalam
hatinya membuat pemuda rupawan tersebut mengerutkan keningnya. Mengapa ia
merasakan hal seperti ini? Seperti rasa tak nyaman yang halus, samar namun tak
dapat ditepisnya meski ia telah menenggelamkan dirinya dalam setiap latihan
olah keprajuritan di distrik maupun di sisi hutan kecil ini. Setiap kali ia
mengingat isi surat ketiga Pangeran Keempat, sebuah tempat tersembunyi jauh di
dalam dadanya seperti menggeliat oleh kegelisahan yang tak dapat dimengertinya.
Sepasang mata bening
Changyi mulai menapaki kalimat dalam surat ketiga Sang Pangeran Keempat, yang
justru bukan menceritakan tentang latihan maupun tugas militer sang pangeran,
terlebih tentang Xiao Chen melainkan tentang sebuah nama lain.
“Kakak,
aku ingin menceritakan padamu tentang hal yang membuatku merasa segalanya telah
berubah. Sepertinya duniaku tak lagi sama. Di satu sisi aku merasa seperti
terlahir kembali, namun di saat yang lain aku seperti berada di ujung jalan
yang membuatku merasa takut. Aku takut jika aku akan gagal dan tak ada jalan
bagiku untuk kembali pada keadaan semula sebelum segalanya berubah bagiku.
Ini
tentang Xu Guanjin-moi…
Kakak,
aku sangat sering melihat seorang gadis. Namun selama itu bagiku mereka semua
sama saja dengan orang-orang lain yang kulihat dan kutemui di istana. Sama saja
seperti saat aku melihat prajurit, sama halnya saat aku melihat pelayan dan
dayang-dayang ataupun Kasim Anta yang semakin tua dan lamban itu.
Tetapi,
mengapa aku merasa berbeda saat melihat Xu-moi? Aku tidak tahu bagaimana harus
mengatakannya padamu kenapa Xu-moi terlihat berbeda. Yang pasti, saat aku
melihatnya aku merasa seperti tengah menatap bulan purnama yang begitu indah
dan cemerlang di langit. Apapun yang ada di dalam diri Xu-moi seperti dibuat
secara khusus oleh para dewa di langit hanya untuk dirinya dan tidak ada dalam
diri orang-orang yang lain.
Meskipun
aku telah lama mengenal Kakak, dan juga keluarga Paman Xu Da, namun aku baru
benar-benar melihat Xu-moi sejak dua purnama yang lalu saat udara berhembus
begitu dingin hingga tanah seolah menjadi beku. Aku melihat Xu-moi
berdiri di taman dan aku tak melihat pakaian tambahan yang bisa menghangatkan
tubuhnya. Rambutnya panjang hingga ke bawah punggungnya dan begitu indah. Aku bertanya kepadanya kenapa ia tak menutup
dirinya dengan pakaian tambahan agar lebih hangat dan mengapa rambutnya tidak
disanggul seperti gadis-gadis yang lain.
Xu-moi
mengatakan padaku bahwa rasa hangat telah mengalir dalam hatinya dan rambutnya
telah memiliki keinginannya sendiri. Aku tidak mengerti apa yang dimaksud dalam
kata-katanya. Tetapi di hari yang lain, saat aku berbicara dengan Adik Miaojin,
aku menanyakan mengapa Xu-moi tidak menyanggul rambutnya dan Adik Miaojin
mengatakan bahwa dulu Xu-moi selalu menyanggul rambutnya yang sangat indah itu.
Namun sejak tusuk konde yang sangat disayanginya hilang, Xu-moi tidak pernah
lagi menyanggul rambutnya. Aku bertanya, di manakah tusuk konde itu hilang dan
bagaimanakah bentuknya? Aku akan meminta semua pelayan dan dayang untuk
mencarinya. Tapi Adik Miaojin mengatakan bahwa hanya Xu-moi yang tahu di mana
tusuk konde itu hilang. Sedangkan bentuk tusuk konde itu adalah seperti daun-daun
yang diuntai dengan indah.
Kakak,
apakah kau pernah melihat tusuk konde itu? aku sungguh sulit untuk membayangkan
bagaimanakah bentuk tusuk konde yang seperti untaian daun-daun itu. Dan daun
apa? Banyak daun di sekitar kita bukan?
Tetapi
Kakak, mengapa aku merasa ingin mencari tusuk konde itu untuk Xu-moi? Mengapa
aku ingin agar rambutnya yang sangat indah itu disanggul agar terjaga dari
setiap butir debu? Mengapa aku begitu khawatir jika udara dingin akan membuatnya
sakit? Dan kini, setiap waktu aku berada di rumah Paman Xu Da adalah saat yang
sangat kunantikan.
Apa
yang sebenarnya terjadi padaku Kakak Xu? Katakanlah padaku karena aku tidak
bisa menceritakan hal ini pada siapapun selain padamu.
Sekarang,
aku sangat ingin memberikan segala hal pada Xu-moi, namun aku tidak tahu
bagaimana harus kukatakan padanya. Haruskah aku bertanya pada Xu-moi, apa yang
ia inginkan? Ataukah sebaiknya aku langsung memberinya hal-hal yang indah?
Tapi
jika kulakukan hal itu, lalu bagaimana jika ternyata Xu-moi tidak menyukainya?
Aku
bahkan sangat jarang berbicara dengannya karena Xu-moi selalu berada di dalam
biliknya untuk membaca atau berdiri di taman bunga seperti memikirkan sesuatu.
Setiapkali aku bertanya padanya, Xu-moi hanya menjawab dengan kata-kata yang
sedikit dan setelah itu aku tidak tahu lagi apa yang mesti kukatakan atau
kutanyakan.
Kakak,
aku sangat ingin menggantikan tusuk konde yang hilang itu. Karena Xu-moi
mengatakan bahwa tusuk konde itu adalah hatinya sehingga tak bisa digantikan
dengan tusuk konde manapun.
Dan
bukankah jika seseorang telah kehilangan benda yang sangat disayangi hingga
jauh ke dalam hati maka ia akan sangat sedih?
Dan
aku sangat tidak ingin melihat Xu-moi sedih…
Changyi menggulung
kembali surat ketiga Pangeran Keempat dan sesaat menarik nafas saat sebuah rasa
gelisah kembali menyusup, samar dan jauh seperti selembar embun tipis yang
jatuh di atas rerumputan, nyaris tak terlihat namun jelas dapat dirasakan dan
tak bisa ditepisnya.
Kenapa ia merasa
gelisah seperti ini? Apakah karena Sang Pangeran Keempat tiba-tiba memanggilnya
dengan cara berbeda? Kenapa sang pangeran tiba-tiba memanggilnya dengan nama
‘Kakak Xu?’ berbeda dengan dulu yang selalu menggunakan nama panggilan ‘Kakak
Changyi?’.
Ataukah rasa gelisah
ini muncul karena apa yang diceritakan oleh Pangeran Zhu Di adalah tentang Xu
Guanjin? Tapi mengapa ia harus gelisah karenanya?. Kening indah pemuda itu berkerut
dalam sementara ia mengingat setiap kata yang dituliskan oleh sang pangeran
sahabatnya.
Perlahan, Changyi
meletakkan kembali gulungan surat Pangeran Zhu Di ke dalam buntalan kain di
sisi kakinya kemudian, dengan gerak pelan jemarinya menarik satu gulungan kain
lain dari dalam buntalan tersebut. Kain lembut berwarna biru itu dipenuhi oleh
sulaman bergambar daun-daun Maple berwarna kuning dan merah keemasan seolah
musim gugur tengah jatuh di atas helai kain yang menebarkan aroma keharuman
wangi bunga. Sejenak Changyi menimang kain kecil yang jelas merupakan sehelai
saputangan tersebut. Keharuman wangi bunga yang menyebar dari saputangan di
tangannya dengan jelas dapat dikenalinya. Wangi bunga musim semi yang tak
pernah mati meski berbagai musim berlalu dan berganti. Hanya satu orang yang
dapat membawa keharuman musim semi di sepanjang waktu seperti ini.
“Xu
Guanjin-moi…kenapa kau berikan benda ini padaku?” bisik Changyi. Jemarinya
mulai membuka lipatan saputangan hingga kemudian, di depan matanya terlihat
sebuah tusuk konde giok!.
Changyi menarik nafas
panjang sementara ia mulai menarik tusuk konde giok berbentuk untaian daun-daun
Maple dari atas telapak tangan kirinya. Ia sangat mengenal tusuk konde ini
karena dirinya-lah yang telah memberikannya pada Xu Guanjin sebagai hadiah
beberapa tahun lalu. Sepasang tusuk konde yang ia dapatkan dari gurunya Si
Biksu Tua di Kuil Bulan Merah sebagai balasan karena ia telah membantu Sang
Biksu Tua untuk membangun kembali bagian kuil yang melapuk dengan membawa
kayu-kayu besar dari bawah bukit. Biksu Tua tak pernah mengatakan bagaimana ia
bisa memiliki sepasang tusuk konde yang sangat indah itu. Namun, dari
biksu-biksu lain Changyi mendengar cerita tentang asal mula tusuk konde yang
ternyata milik seorang gadis yang pernah ada dalam kehidupan Biksu Tua di masa
mudanya. Ketika kemudian Jenderal Xu Da
menjemputnya untuk menjalani pendidikan di sekolah prajurit khusus dan
mengangkatnya sebagai anak, Changyi memutuskan untuk memberikan tusuk konde
tersebut pada Xu Guanjin karena gadis itu adalah orang selain Jenderal Xu Da
yang menerimanya dengan begitu tulus sejak pertama ia datang ke rumah Keluarga
Xu sebagai seorang pelayan pengurus kuda. Berapa kali sejak hari tersebut ia
melihat Xu Guanjin memakai tusuk konde ini untuk menyanggul rambut panjangnya
yang sangat indah? Ia mesti mengakui bahwa gadis itu terlihat sangat mempesona
dengan sanggul berhias tusuk konde giok ini, membuat Xu Guanjin seolah menjelma
menjadi sesosok dewi dengan keanggunan yang sangat kuat.
Lalu, mengapa kini Xu
Guanjin memberikan tusuk konde ini padanya? Dan bukan sepasang melainkan hanya
satu tusuk konde saja? Jika gadis itu telah menjadi bosan dengan tusuk konde
yang pernah diberikannya ini, maka bukankah seharusnya gadis itu mengembalikannya
sebagai sepasang tusuk konde dan bukan hanya satu?. Lebih lagi, satu tusuk
konde ini tersembunyi di bawah beberapa buku di dalam kotak kayu kecil yang
dititipkan oleh Xu Guanjin pada Jenderal Chang Yu Chun di hari mereka berangkat
menuju distrik pelatihan prajurit dan baru diterimanya dari Sang Jenderal
delapan hari kemudian saat mereka telah tiba di distrik yang sangat jauh ini.
Melihat bagaimana Xu Guanjin menyimpan tusuk konde di balik lipatan kain
saputangannya dan kemudian menutupinya dengan buku-buku, nampak jelas bahwa
gadis itu tak ingin siapapun – termasuk Jenderal Chang Yu Chun yang membawa
kotak itu untuknya – mengetahui keberadaan tusuk konde tersebut. Pada ujung
tangkai tusuk konde ini terdapat satu surat kecil yang ditulis Xu Guanjin, melibat
dengan kuat.
Changyi melepas
libatan surat kecil yang ditulis adik angkatnya tersebut, dan kembali menapaki
kalimat demi kalimat yang ditulis dengan huruf yang sangat halus. Huruf yang
digoreskan oleh jemari lentik Xu Guanjin ini tidaklah panjang namun sebuah
getaran halus selalu menyusup dalam hati Changyi setiap kali ia teringat kalimat-kalimat
singkat dalam surat pendek yang kini dipegangnya. Getaran yang berbeda dengan
rasa gelisah aneh yang ia rasakan saat membaca surat dari Pangeran Keempat.
Changyi-ko…
Seberapa
jauhkan batas langit berada? Aku selalu bertanya setiap kali kulihat matahari
tenggelam di ujung rerumputan. Lalu aku akan mulai menunggu hingga matahari itu
muncul kembali di ujung langit pada sisi yang berbeda dan bunga-bunga di taman
selalu bersorak bahagia menyambutnya.
Changyi-ko…
Aku
selalu takut jika aku tak bisa menemukan sejauh apakah batas langit itu. Karenanya
kusertakan untaian daun-daun Mapel ini di balik sayap sang matahari saat ia
pergi. Aku berharap, daun-daun yang kutitipkan ini akan membawa matahari itu
kembali, secepatnya, karena tanpa gemilang cahayanya, tak akan ada keharuman
memancar dari taman bunga...
Apa sebenarnya maksud
Xu Guanjin dengan kalimatnya?. Changyi menatap selembar surat mungil di ujung
jemarinya dengan kening berkerut. Untaian daun-daun Mapel, ia tahu itu pasti
tusuk konde ini. Tapi matahari? Apa yang dimaksud Xu Guanjin dengan matahari?
Apakah gadis itu sedang menantikan seseorang? Jika begitu, apakah itu artinya,
matahari itu adalah seseorang? Tapi, bila itu benar, lalu siapakah orang yang
disebut sebagai matahari itu? Apakah Pangeran Keempat?.
Mendadak rasa gelisah
aneh kembali menyeruak saat benak Changyi membayangkan bahwa sang matahari yang
dimaksud oleh Xu Guanjin adalah Pangeran Zhu Di.
Tetapi, di dalam
surat ini dengan jelas Xu Guanjin mengatakan bahwa matahari itu telah pergi dan
ia menantikan sang matahari untuk kembali. Itu artinya, sang matahari yang
dimaksud oleh Xu Guanjin saat ini tidak ada di sisi gadis itu. Sedangkan
Pangeran Zhu Di, karena saat ini telah menjadi murid Jenderal Xu Da, maka
dengan sendirinya akan menjadi sering berada di sisi Sang Jenderal Besar dan
sering pula berada di rumah Keluarga Xu. Karena itu, sepertinya sang matahari
yang dimaksud dalam surat ini bukanlah Pangeran Keempat.
Lagipula, dalam
suratnya, Pangeran Keempat justru menanyakan di manakah hilangnya tusuk konde
ini dan seperti apa bentuknya. Sedangkan Xu Guanjin sendiri tak memberikan
jawaban di manakah tusuk konde gioknya. Gadis itu hanya menjawab bahwa tusuk
kondenya telah hilang. Dan itu artinya, gadis itu tidak memberitahu siapapun
perihal di mana adanya tusuk konde ini. Bahwa sebenarnya benda yang sangat
indah ini bukan hilang melainkan…
“Kakak Xu!...Kakak,
kau di mana?” sebuah suara keras terdengar di ujung jalan setapak membuat Changyi
dengan cepat menutup kembali tusuk konde yang dipegangnya dengan saputangan
lalu memasukkan benda tersebut beserta surat Pangeran Keempat ke dalam buntalan
kainnya. Kemudian, tepat saat sesosok pemuda bertubuh tinggi dan agak kurus
muncul beberapa langkah di depannya, Changyi telah bangkit berdiri sambil
menyandang buntalan kainnya di bahu. Senyum pemuda itu mengembang menatap
sahabat barunya, Chang Gui Chun, putra dari Jenderal Chang Yu Chun.
“Adik Chang, aku
sudah mau kembali” sahut Changyi sambil melangkah ke arah si pemuda tinggi di
depannya.
“Ayah menunggumu
Kakak Xu. Aku sudah mengatakan pada Ayah bahwa Kakak Xu akan kembali sebentar
lagi tapi Ayah tidak bisa bersabar dan memintaku untuk menjemputmu ke mari”
sahut Chang Gui Chun sambil berbalik dan menjejeri langkah Changyi. Kedua
pemuda yang sama tinggi itu kemudian melangkah pelan di atas jalan setapak yang
masih sedikit menyisakan cahaya matahari sore di ujung-ujung rerumputan.
Ah…mengapa tiba-tiba
ia jadi hafal dengan kalimat Xu Guanjin di dalam suratnya? Tanpa sadar Changyi
menepuk dahinya sendiri membuat Chang Gui Chun menoleh dan menatap sahabatnya.
“Ada apa Kakak Xu?”
tanya Chang Gui Chun saat melihat Changyi menepuk dahinya sendiri.
“Oh..apa? Tidak
apa-apa, mengapa kau menanyakan hal itu Adik Chang?” tanya Changyi sambil
menatap wajah di sampingnya. Terlihat sedikit bingung mendengar pertanyaan
sahabatnya tersebut.
“Kau Kakak Xu…apa kau
sedang memikirkan sesuatu? Kulihat Kakak Xu menepuk dahi sendiri” jawab Chang
Gui Chun tertawa.
Sepasang mata Changyi
membesar dan mendadak merasa kikuk. Ia sungguh tidak menyadari apa yang telah
dilakukannya.
“Oh..itu. Aku hanya
berpikir tentang maksud dari kata-kata seorang teman” jawab Changyi sambil
tersenyum. “Kata-katanya tidak bisa kumengerti”.
Chang Gui Chun
mengerutkan alisnya dan berhenti melangkah membuat Changyi turut berhenti pula.
“Kata-kata yang
bagaimana Kakak Xu? Apakah teman Kakak Xu itu seorang pandai yang terpelajar?”
tanya Chang Gui Chun.
Changyi mengangguk.
Benaknya terkenang pada Xu Guanjin yang sangat cerdas dan sangat senang membaca
buku.
“Dia memang sangat
pandai Adik Chang, karena itulah mungkin aku tidak mengerti apa maksud dari
kalimat yang dikatakannya padaku” sahut Changyi kemudian.
“Bisakah kau
menirukan kata-katanya Kakak Xu? Mungkin saja aku bisa membantumu. Walaupun aku
bukan seorang yang pandai tapi…kadang-kadang aku membaca buku-buku tentang
sastra dan pengetahuan lain sekedar untuk mengisi waktu saat aku merasa bosan
di malam hari” ucap Chang Gui Chun.
Changyi mengangkat
bahunya dan kembali melangkah. “Tidak banyak Adik Chang. Dia hanya menyebut
bahwa dirinya sedang menantikan sang matahri untuk kembali. Aku tidak mengerti
apa yang dimaksud dengan matahari itu. Kenapa harus ditunggu? Bukankah setiap
hari kita bertemu dengan matahari?”.
Mendadak Chang Gui
Chun tertawa membuat Changyi melengak kaget dan menatap sahabatnya tersebut.
“Kenapa kau malah
tertawa Adik Chang?” tanya Changyi.
“Ah Kakak Xu…apakah
teman Kakak Xu itu adalah seorang gadis?” tanya Chang Gui Chun di sela tawanya.
Sedetik wajah Changyi
terasa memanas namun kemudian bibirnya mulai pula mengurai tawa.
“Apakah ada bedanya
jika dia seorang gadis atau pemuda Adik Chang?” tanya Changyi kemudian.
“Tentu saja Kakak Xu.
Jika yang mengatakan kalimat tersebut adalah seorang gadis maka matahari yang
dimaksudnya adalah Kakak Xu Changyi” jawab Chang Gui Chun sambil tersenyum
lebar. Ekspresinya yang terlihat menggoda membuat Changyi merasa geli namun
jawaban yang didengarnya dari mulut putra Jenderal Chang Yu Chun itu membuat
hati Changyi seperti melompat oleh sebuah detakan keras.
“Maksudmu…matahari
yang dimaksud itu adalah…aku Adik Chang? Jadi itu berarti dia
sedang…menungguku? Bagaimana kau bisa mengatakan bahwa matahari yang dimaksud
adalah aku?” tanya Changyi dengan sepasang alis terangkat naik. Kenapa
tiba-tiba jantungnya terasa berdebar?.
Melihat wajah
Changyi, Chang Gui Chun semakin keras tertawa. Satu tangannya terulur dan
menepuk bahu sahabat di sisinya. Namun, sesaat kemudian, saat tawanya telah
berhenti, pemuda tersebut menatap Changyi. Sepasang matanya yang menyorot
hangat menatap dengan senyum yang masih tertinggal di atas bibirnya yang tipis.
“Berarti benar, teman
Kakak Xu itu seorang gadis” jawab Chang Gui Chun membuat Changyi kembali merasa
kikuk. “Kakak Xu, sebelum Kakak datang ke distrik pelatihan prajurit ini,
sebelum kita bertemu, Kakak Xu pasti tidak mengenalku. Tapi, berbeda dengan
diriku karena aku sudah lama mengenal Kakak Xu. Bukan hanya aku, melainkan juga
seluruh prajurit di distrik ini, juga semua orang di seluruh penjuru Kerajaan
Ming, siapakah yang tidak mengenal ‘Tuan Muda Xu Changyi’?. Kakak Xu adalah
nama yang sangat dikenal oleh rakyat selain Paman Xu Da, Yang Mulia Kaisar dan
Pangeran Keempat. Hanya saja, untuk Kakak Xu, rakyat mengenalmu dengan cara
berbeda”.
“Berbeda? Berbeda
bagaimana Adik Chang?” alis Changyi berkerut. Benarkah ia sepopuler itu? Semua
orang di seluruh Kerajaan Ming mengenalnya? Memangnya siapakah dirinya ini?.
Jika yang dikenal oleh rakyat Kerajaan Ming adalah Yang Mulia Kaisar, Panglima
Perang Tertinggi Jenderal Xu Da dan Pangeran Keempat, maka Changyi dapat
memahaminya. Tapi dirinya?
“Berbeda
karena…rakyat mengenal Kakak Xu sebagai penjelmaan sang matahari. Siapakah
gadis dan wanita yang tidak mengenal dan mengagumi Tuan Muda Xu Changyi yang
teramat sangat tampan dan mempesona, cerdas dan memiliki prestasi yang gemilang
di sekolah prajurit khusus? Banyak dari kami para lelaki yang merasa cemburu
pada Kakak Xu karena setiap kali kami menyukai seorang gadis, maka kami harus
dibanding-bandingkan dengan Tuan Muda Xu Changyi. Termasuk aku sendiri. Dulu,
sebelum aku masuk ke distrik pelatihan prajurit ini, aku pernah menyukai
seorang gadis. Ia adalah putri salah satu pejabat di Kementerian Pertahanan.
Namun sayang, ia tidak menyukai diriku karena saat itu hatinya telah terpaut
pada seseorang. Dan seseorang itu ternyata adalah Tuan Muda Xu Changyi” tutur
Chang Gui Chun membuat Changyi tersentak.
“Ah Adik
Chang…maafkan aku. Aku sama sekali tak memiliki maksud untuk…”
“Tidak Kakak Xu” potong
Chang Gui Chun cepat. “Jangan meminta maaf seperti itu. Aku sama sekali tidak
menyalahkanmu karena Kakak sendiri bahkan tidak menyadari akan hal tersebut.
Aku sempat memperhatikan Kakak Xu saat itu dan aku melihat Kakak bahkan tidak
memiliki waktu untuk para gadis karena hari-hari Kakak telah habis untuk
latihan, belajar dan mengikuti Pangeran Keempat. Aku bukan seorang bodoh yang
akan melimpahkan kegagalanku pada orang lain sementara orang lain itu bahkan
tidak mengenalku apalagi memiliki niat buruk padaku”.
“Tapi tetap saja, aku
merasa tidak enak sebab aku terlambat mengenalimu sementara kau sudah
mengenalku jauh sebelum kita bertemu di distrik pelatihan prajurit ini Adik
Chang. Kumohon maafkan aku” sahut Changyi sambil sedikit membungkukkan tubuhnya.
“Kakak Xu!” Chang Gui
Chun meraih bahu pemuda di depannya dan mengangkatnya agar tegak kembali.
“Kenapa kau membungkuk padaku? Ah!...ternyata benar yang dikatakan ayah tentang
dirimu. Kakak Xu Changyi, bukan hanya seorang pemuda yang teramat tampan dan cerdas
tapi juga sangat sopan pada siapapun. Sungguh gawat! Jika seperti ini,
bagaimana bisa pemuda lain mengalahkan Kakak dan mendapat cinta dari para
gadis?”
“Adik Chang…aku tidak
sebaik itu. Orang hanya belum melihat sisi burukku saja, karena itu mereka mengira
seolah-olah aku ini seorang yang sempurna” ujar Changyi. Masih ada kerut di
keningnya yang halus.
“Sempurna atau tidak,
tapi Kakak Xu memang sangat tampan dan mempesona. Aku mengakuinya Kakak Xu, dan
setelah kita selalu bertemu setiap hari seperti ini dan melihat sosok Kakak Xu,
aku sangat takut bahwa mungkin akupun akan jatuh cinta padamu” jawab Chang Gui
Chun membuat Changyi melengak dengan sepasang mata membelalak membuat putra
Jenderal Chang Yu Chun seketika tertawa terbahak-bahak.
“Adik Chang…bagaimana
kau bisa mengatakan hal semacam itu?” tegur Changyi masih terkaget-kaget.
“Tidak..tidak Kakak
Xu, aku hanya menggodamu saja. Sudahlah, jangan dipikirkan lagi tentang kalimat
dari teman Kakak Xu itu. Menurutku, seorang gadis sedang mengungkapkan rasa
sukanya padamu. Karena di seluruh penjuru Kerajaan Ming ini hanya ada satu
matahari di hati para gadis dan dia adalah Tuan Muda Xu Changyi” sahut Chang Yu
Chun sambil mengedipkan satu matanya. “Dan sekarang, sebaiknya kita segera
pulang karena ayah sedang menunggu. Jika kulihat dari wajahnya yang terlihat
tidak sabar, aku merasa bahwa ada hal penting yang ingin dikatakan ayah pada
kita, terutama pada Kakak Xu”.
“Ada apa Adik Chang?
Apakah…ada berita dari Yingtian?” mendadak dada Changyi berdesir. Seraut wajah
berkelebat. Wajah yang dirindukannya. Apakah terjadi sesuatu Xiao Chen?.
“Aku juga belum tahu,
hanya saja ayah tidak pernah terlihat tidak sabar seperti itu kecuali karena
sesuatu yang sangat penting atau genting” jawab Chang Gui Chun sambil menatap
Changyi.
“Kalau begitu
sebaiknya kita bergegas Adik Chang. Ayo!” mendadak tubuh Changyi melesat cepat,
begitu ringan dan gesit seolah kedua kaki pemuda itu tidak menyentuh tanah saat
berlari menuju distrik pelatihan prajurit, tak jauh dari sisi hutan kecil.
Chang Gui Chun
terkejut saat melihat bahwa Changyi mendadak telah lenyap dari hadapannya hanya
dalam sekedip mata. Hati pemuda itu semakin dipenuhi rasa kagum pada sahabatnya
yang sesungguhnya telah lama diamati dan disukainya dalam diam sebelum ia pergi
mengikuti ayahnya ke distrik pelatihan prajurit ini. Rasa suka dan ingin
berteman, namun sungkan serta takut pada keberadaan Pangeran Zhu Di yang selalu
berada di sisi Changyi membuat Chang Gui Chun hanya berani mengagumi Changyi
dari jauh sambil berharap akan mendapat kesempatan untuk menjalin persahabatan
dengan pemuda luar biasa yang sangat terkenal di seluruh pelosok Kerajaan Ming
tersebut suatu saat nanti. Dan harapan pemuda itu terkabul saat ayahnya pulang
dari Yingtian dengan membawa serta Changyi bersamanya, bahkan mengatakan bahwa
mulai hari sejak enam purnama lalu, Changyi akan tinggal bersama mereka dan
berlatih di distrik pelatihan prajurit. Bukan main gembiranya hati Chang Gui
Chun saat itu. Dan setelah menjalani persahabatan dengan Changyi, maka hati
pemuda itu semakin tertawan oleh rasa kagum dan sayang dalam persaudaraan. Sambil
berdecak, Chang Gui Chun segera melompat ke arah hilangnya Changyi. Wajahnya cerah
oleh rasa gembira yang terbias nyata.
“Kakak Xu! Tunggu
aku!” seru Chang Gui Chun sambil melesat menyusul Changyi.
Dalam sekejab, sisi
hutan yang menghijau oleh musim semi itu kembali sepi. Hanya tertinggal desau
lembut angin sejuk mengiringi malam yang mulai merambat naik.
***********
Tidak ada komentar:
Posting Komentar