Changyi bersandar
pada sebatang pohon pinus besar. Sepasang mata pemuda itu sekali lagi mengitari
setiap sudut hutan pada titik terjauh, mencoba menemukan sebuah pintu yang akan
membawa mereka keluar dari dalam lembah jurang ini. Namun, apa yang kemudian
yang tertangkap oleh kedua matanya hanyalah bentangan kehijauan yang pepat
berseling warna-warni bunga yang bermekaran. Memang indah, sungguh indah dan
menakjubkan, terlebih dengan satu sosok yang berdiri di sisinya seperti saat
ini. Sosok yang mencoba turut menatap ke arah kejauhan dengan sosoknya yang
mungil. Berjinjit-jinjit sambil menjulurkan lehernya yang indah jenjang membuat
rambut panjang indah kemilau sosok itu bergerak lembut seiring gerak tubuhnya.
Nyaris tanpa disadarinya, pada sosok terindah di antara semua keindahan lembah
dalam jurang itulah pandangan mata Changyi akhirnya terhenti.
Changyi menarik nafas
dalam-dalam sementara ia mencetak keindahan sosok Xu Guanjin dalam lembar
jiwanya. Ada sedikit rasa geli saat ia melihat bagaimana gadis itu mencoba
untuk meneliti hutan di sekitar mereka dengan kedua matanya yang seindah
bintang. Ia telah membawa Xu Guanjin mengitari hutan ini hingga ke wilayah
tepian hutan namun memang tak ada jalan keluar baik jalan setapak, maupun tanda
adanya daerah perkampungan penduduk di tepian hutan tersebut. Apa yang ia
temukan hanyalah bentangan sungai yang nampaknya mengepung hutan ini menjadi
suatu wilayah yang tertutup dengan segala keindahannya yang menakjubkan.
Bilapun ia melihat tanda adanya rumah penduduk, maka itu terlihat sangat jauh
sekali seolah terletak pada batas cakrawala di balik kerimbunan hijau daun
pepohonan serta bentangan awan-awan putih yang bergumpalan membuat bayangan
atap rumah itu seperti hilang timbul dan memberikan kesan antara ada dan tiada.
Mungkin, satu-satunya jalan untuk keluar dari daerah lembah dalam jurang ini
hanyalah dengan menyusuri sungai tersebut, entah di bagian hulu atau hilir,
namun nampaknya satu-satunya pintu yang dapat membawa mereka keluar memang hanyalah
sungai berair jernih dengan ribuan ikan-ikan berwarna warni itu.
Tetapi, dengan adanya
Xu Guanjin di sisinya, sungguhkah ia menginginkan untuk keluar dari tempat ini?
Changyi menundukkan kepalanya sementara ia merasakan gejolak cinta yang memenuhi
ruang dadanya kini mengalir hingga jauh menyusup ke sudut-sudut tersembunyi di
tubuhnya, membuat Changyi tak bisa lagi melihat apapun tanpa merasakan
keberadaan Xu Guanjin di dalam dirinya.
“Jadi, kita tidak
akan bisa keluar dari dalam jurang ini Changyi-ko?” gumam Xu Guanjin membuat
Changyi menegakkan kepalanya.
“Pasti ada jalan
keluar Xu-moi” jawab Changyi dengan suara tegas bernada yakin. Pandangannya
bertemu dengan sepasang mata bintang Xu Guanjin, menemukan sekilas rasa cemas
bercampur harapan di wajah gadis itu. Changyi mengurai senyumnya. “Kita bisa
menyusuri sungai itu Xu-moi. Sungai adalah pintu yang tak pernah berbohong pada
siapapun yang mengikutinya karena ia akan selalu menuju ke laut ataupun ke
sumber asalnya bermula”.
Xu Guanjin melangkah ke
depan Changyi membuat pemuda itu diam-diam menekan detakan jantungnya yang
mendenyut lebih kencang. Ada semburat merah jambu pada sepasang pipi Xu Guanjin
membuat wajah gadis itu terlihat ranum. Apa yang tengah dipikirkan gadis itu?
atau dirasakannya?
Sementara Xu Guanjin
sendiri terus melangkah hingga ia kini hanya dua tapak di depan pemuda yang
tengah bersandar di sebatang pohon pinus besar. Terlihat dalam posisi yang
santai meski sesungguhnya hal itu justru membuat Changyi terlihat seperti
sesosok malaikat di tengah hutan yang lebat namun sangat indah ini. Xu Guanjin
bertanya dalam hati, pernahkah Changyi menyadari betapa indahnya diri pemuda
itu? Rambutnya memiliki ciri khas tatanan yang berbeda dengan gaya
tatanan rambut para lelaki disaat ini dimana mereka akan mengikat rambut ke atas dengan tali yang kuat lalu bagi orang-orang kaya maupun
bangsawan akan memberi hiasan pada ikatan rambut mereka dengan simbol-simbol
bernada kejayaan dan kemenangan. Gaya tatanan rambut yang diubah setelah masa
kekuasaan Dinasti Yuan berakhir, di mana pada saat kekuasaan Dinasti Yuan
dahulu, para lelaki menata rambut dengan cara mengepang menjadi satu
kepangan panjang di belakang kepala.
Tetapi Changyi
berbeda.
Bahkan meskipun gaya
rambut khas Diansti Yuan telah berakhir dan berganti dengan gaya rambut baru,
namun pemuda itu memiliki tatanannya sendiri. Gaya tatanan rambut yang kemudian
ditiru oleh para pemuda dan lelaki remaja di seluruh penjuru Kerajaan Ming.
Bahkan oleh Pangeran Zhu Di sendiri.
Rambut Changyi tidak
sepanjang rambut para lelaki yang lain. Hanya sebatas bawah bahu – dan
nampaknya Changyi selalu menjaga panjangnya dengan memotong rambut setiap waktu –
yang diikat pada sebagian rambut di bagian puncak kepala dengan ikat
rambut berhias lempengan emas berbentuk matahari. Dan Guanjin ingat, itu adalah
ikat rambut pemberian ayahnya pada Changyi saat pemuda itu pertama kali masuk
sebagai bagian dalam keluarganya. Sisa rambut Changyi yang lain tetap tergerai
di bahu, sebagaimana anak-anak rambut di bagian depan kepala, pada pelipis, di
depan cuping telinga yang kesemuanya justru semakin menonjolkan keindahan
pemuda itu. Dan ia melihat keindahan tersebut sejak pertama kali Changyi
masuk ke rumahnya sebagai seorang pelayan pengurus kuda. Saat tak ada siapapun
yang melihat ke arah anak bernama Changyi untuk kedua kali karena derajatnya yang
hanya seorang pelayan dengan celana kumal serta dada dan kaki telanjang. Saat ia langsung menyukai si pelayan pengurus kuda itu dan selalu
mengintipnya dari balik pintu, mengagumi senyum dan tawa yang seolah tak pernah
sejalan dengan keadaannya yang kurus dan papa. Senyum dan tawa ceria yang
menyerupai keindahan sang matahari di langit. Adakah orang selain Jenderal Xu
Da yang mengetahui, bahwa lempengan emas berbentuk matahari di ikat kepala
Changyi itu, sesungguhnya Xu Guanjin-lah yang meminta kepada ayahnya?. Simbol
matahari yang dengan jelas tergambar di wajah si pelayan bernama Changyi
tersebut, pada senyum dan tawanya yang tak pernah sedikitpun menyiratkan
kesedihan hati ataupun kepahitan hidup. Dan kini, setelah waktu berlalu membawa
pergi sosok pelayan pengurus kuda yang kurus dan papa itu lalu menggantinya
dengan seorang pemuda gagah rupawan seperti yang dilihatnya sekarang, bisakah
ia membaginya dengan siapapun di luar sana? Dengan seluruh gadis dan wanita
yang ia tahu terhanyut dalam impian untuk memiliki pemuda serupa malaikat di
depannya itu? Rasanya tidak!. Bahkan meskipun gadis itu adalah adiknya sendiri,
Xu Miaojin!.
Xu Guanjin terus melangkah
ke arah Changyi sementara semilir angin menjelang senja berhembus meniup
membuat rambut panjang gadis itu bergerak melambai.
“Changyi-ko..jika
kita menyusuri sungai itu, apakah…aduh!” teriak Xu Guanjin saat sebuah rasa
sakit mendera akibat beberapa helai rambut gadis itu tersangkut pada sebatang
ranting dari pohon yang dilaluinya membuat kalimat Xu Guanjin pada pemuda yang
tinggal dua langkah di depannya menjadi terputus.
Changyi terkejut dan
seketika melompat ke depan sementara Xu Guanjin memiringkan kepalanya ke arah
jeratan rambut pada ranting pohon yang membuat kulit kepalanya terasa pedih.
“Xu-moi,
berhati-hatilah” ucap Changyi seraya mengurai helai-helai rambut panjang Xu
Guanjin yang terjerat pada ranting dengan lembut.
“Ah..rambut ini
merepotkan sekali” keluh Xu Guanjin seraya mengelus bagian kepalanya yang
terasa perih. Rambutnya yang terjerat ranting telah terlepas.
Changyi menatap gadis
yang masih meringis oleh rasa perih di kepalanya itu. Mendadak, ia teringat
pada suatu hal yang telah lama dipendam membuat tangan kanan pemuda itu
terulur ke balik hanfunya. Saat kemudian tangan Changyi terulur di depan Xu
Guanjin, pada jemari pemuda tersebut telah tergenggam sebatang tusuk konde giok
berbentuk untaian daun-daun mapel yang sangat indah. Xu Guanjin terkejut
menatap tusuk kondenya di jemari Changyi, namun sedetik kemudian, wajah gadis
itu bersemburat memerah dan tertunduk.
“Xu-moi” panggil
Changyi dengan nada lembut. “Mungkin sebaiknya kau menyanggul rambutmu it agar
tidak menjadi kotor atau terputus karena tersangkut ranting seperti tadi.
Ambillah tusuk konde ini”.
Jemari Xu Guanjin
terulur menerima tusuk konde dari tangan Changyi, menimangnya sejenak dan
bahkan, dengan lembut ujung jari lentik gadis itu membelai tusuk konde
kesayangannya dengan sepenuh hati. Kemudian, seolah tak mempedulikan
keterkejutan Changyi, Xu Guanjin mengulurkan kembali tusuk kondenya ke dalam
genggaman Changyi seraya menggeleng, lembut namun tegas.
“Xu-moi? Kenapa kau
memberikan satu tusuk kondemu ini padaku? Apakah kau telah bosan dengan
bentuknya? Jika kau telah bosan maka aku akan mencari tusuk konde lain untuk
menyanggul rambutmu itu” kata Changyi dengan alis berkerut.
“Tidak Changyi-ko”
jawab Xu Guanjin seraya mengangkat wajahnya yang semula tertunduk. Semburat merah
masih membyang di wajahnya yang jelita, jelas terlihat bahwa gadis itu tengah
berusaha mengumpulkan seluruh kekuatan
hati untuk mengatakan apapun yang telah berada di ujung lidahnya. “Sejak
hari aku melepasnya dari rambutku dan mengirimkannya padamu, maka aku tak
berhak lagi atas tusuk konde itu, karena ia telah membawa separuh dari jiwaku
ke tanganmu. Jika kau mengembalikannya padaku, maka hal itu sama saja kau telah
membunuh satu bagian dari jiwaku”.
Sepasang mata Changyi
membesar mendengar kalimat Xu Guanjin. Pemuda itu melangkah tepat di depan
gadis yang terlihat sedikit terengah oleh gejolak rasa dan degup jantung yang
menghentak oleh kalimat-kalimat berbahaya yang telah diucapkannya dan akan
dilanjutkannya pada pemuda di depannya.
“Xu-moi…kenapa kau
berkata demikian? Bagaimana mungkin kau memberikan separuh jiwamu padaku? Aku
akan sangat takut jika aku tidak bisa menjaga separuh jiwamu itu Xu-moi. Kau
mengatakan dalam suratmu bahwa kau selalu menunggu mataharimu untuk datang
kembali, dan aku tidak mengerti. Aku sungguh bodoh karena tidak mengerti apa
yang telah kau katakan dengan kalimatmu yang sangat indah itu. Siapakah
matahari yang selalu kau tunggu itu?” tanya Changyi seraya memegang bahu Xu
Guanjin. Pandangannya menembus kedalaman sepasang mata bintang gadis di depannya
dan menemukan sebuah keberanian tekad yang menyala membuat hati Changyi
bertanya-tanya sekaligus penuh kagum.
“Kaulah matahari itu
Changyi-ko” jawab Xu Guanjin cepat. Detak jantungnya berdebur seiring detak
keras di dada Changyi sendiri kala mendengar jawaban Xu Guanjin. Meskipun
Changyi telah mendengar hal sama dari sahabatnya Chang Gui Chun di distrik
pelatihan prajurit, namun rasanya menjadi sangat berbeda saat ia mendengarnya
langsung dari bibir mungil gadis di depannya tersebut. “Dan kau sama sekali tidak
bodoh. Aku-lah yang terlalu takut untuk kehilangan dirimu sehingga aku selalu
bertanya sejauh apa sesungguhnya cakrawala yang menjadi batas langit itu? Mengapa
matahari selalu menghilang di sana saat senja tiba membuatku takut untuk
menjalani malam yang gelap. Tapi aku tidak pernah mendapatkan jawabannya
Changyi-ko. Tidak ada seorangpun yang bisa menjawab pertanyaanku, tidak juga
buku-buku yang kubaca. Karena itu, jika aku tidak bisa mengetahui sejauh apakah
batas cakrawala di langit itu berada, agar aku bisa selalu mengikuti kemanapun
matahari pergi, maka aku memutuskan untuk memberikan separuh jiwaku ini pada
matahari itu agar dia selalu kembali padaku dan selalu kembali meski sejauh
apapun ia pergi. Karena hanya dengan tahu bahwa matahari akan selalu kembali
padaku, maka aku masih akan memiliki semangat dan harapan untuk hidup hingga
besok hari dan besoknya lagi serta melawan seluruh ketakutan-ketakutan dalam
diriku pada malam yang gelap”.
Sepasang alis Changyi
berkerut dalam mendengar runtutan kalimat yang meluncur dari bibir Xu Guanjin. Hati
pemuda itu bergolak dalam kebingungan oleh hentakan rasa bahagia yang tak dapat
diingkarinya. Bagaimana mungkin ia dapat memungkiri rasa bahagia ini sementara
hatinya sendiri sesungguhnya telah lama menyimpan kekaguman pada Xu Guanjin? Pada
kebaikan hatinya yang diberikan dengan penuh rasa tulus saat ia pertama kali
datang ke dalam rumah Keluarga Xu bersama dengan Xiao Chen bertahun-tahun lalu
sebagai seorang pelayan sementara banyak orang yang lain menyumpahi
dirinya dan Chen bahkan begitu banyak orang yang hendak membunuhnya karena
kehidupan keras membuatnya terpaksa mencuri beras. Changyi sungguh tidak dapat
menahan dirinya untuk tidak mencintai gadis itu dengan segenap hatinya,
sementara ruang ingatannya mencatat dengan begitu jelas bibir mana yang pertama
kali memanggilnya dengan sebutan “Changyi-ko” saat Jenderal Xu Da membawanya
pulang ke rumah Keluarga Xu untuk kedua kalinya, bukan lagi sebagai seorang pelayan
melainkan sebagai seorang dengan marga ‘Xu’. Bagaimana mungkin ia tidak memuja
jemari lentik gadis itu yang telah mengusap kepala dan wajahnya dari hamburan
nasi yang dilemparkan oleh Nyonya Xu dalam kemarahan dan kebenciannya yang
tersembunyi di balik kepatuhan wanita yang sangat dihormatinya itu pada
suaminya. Bagaimana mungkin ia tidak mengasihi sepasang mata bintang yang
telah mengalirkan airmata saat membersihkan cucuran darah dari keningnya akibat
mangkuk yang dilemparkan oleh Nyonya Xu Da.
Sungguh, hanya karena
di saat-saat lalu ia belum mengerti makna rasa kagum yang menguasai hatinya
pada gadis jelita yang cerdas dan baik hati itu hingga Changyi-pun tak memahami
adanya rasa bahagia yang sesungguhnya telah lama tinggal di dalam hatinya. Rasa
bahagia yang membuatnya mampu menjalani setiap tahapan dalam hidup hingga
hari ini, selain kasih sayangnya pada Xiao Chen.
Tapi sekarang, setelah
ia memahami seluruh makna rasa kagum yang mengembang dalam hatinya, maka aliran
rasa bahagia itupun seperti gelombang air bah yang tak dapat lagi ditahannya. Membuncah,
meluap dan seolah hendak menyeretnya ke dalam rasa mabuk kepayang yang
melenakan dan melupakan.
Tetapi…selain dari
adanya rasa bahagia yang meluap-luap itu, Changyi juga merasakan adanya rasa
takut aneh yang menyusup ke dalam kalbunya. Rasa takut yang berbeda. Bukan rasa
takut pada tajamnya pedang, bukan rasa takut pada hukuman berat, ataupun pada rasa
sakit dan lapar. Tidak!, sungguh, sejak ia melihat kedua orangtuanya tewas oleh
wabah penyakit pada masa lalu, sejak ia mesti mempertaruhkan nyawanya untuk
mencuri beras agar ia dan Xiao Chen bisa terus makan, maka ia telah kehilangan
segala rasa takut pada tajamnya pedang, hukuman berat, sakit dan lapar. Rasa
takut yang ia rasakan sekarang adalah sebuah rasa takut yang sangat halus namun
mencekam, membuat jiwanya terikat oleh sebuah sumpah tanpa kata.
Sumpah untuk selalu
melindungi gadis itu, memberikan segalanya pada gadis itu serta menjaganya
dalam setiap langkah hidupnya. Dan rasa takut itu adalah ketakutan bahwa ia tak
akan mampu melaksanakan sumpah jiwa tanpa katanya.
“Xu-moi…kata-katamu
itu, membuatku takut” desah Changyi sehalus angin membuat alis indah Xu Guanjin
berkerut dan sepasang mata bintang gadis itu mulai menyiratkan kilau airmata
seiring rasa lemas yang datang mendera.
“Kenapa kau takut
Changyi-ko? Tidakkah seharusnya aku yang takut karena telah menghilangkan rasa
malu dalam diriku dan mengatakan segala rahasia dalam hatiku padamu? Tapi,
meski aku sangat takut kau akan menjauh dariku setelah aku mengatakan rahasia
hatiku ini, namun aku tak memiliki pilihan lain karena jika aku terus menyimpannya
maka cepat atau lambat aku pasti akan gila. Lalu dalam kegilaanku maka aku akan
mati” bisik Xu Guanjin lemah. Tubuh gadis itu terhuyung nyaris jatuh membuat
Changyi segera meraihnya dalam dekapan.
“Apakah aku tak cukup
pantas untukmu Changyi-ko? Aku berharap diriku akan cukup cantik di depanmu
hingga aku selalu menyembunyikan diriku di balik tirai kamarku karena aku tak
ingin siapapun melihatku selain dirimu. Lalu kenapa kau justru kau takut
padaku? Apakah seluruh gadis dan wanita di penjuru Kerajaan Ming ini telah menghilangkan
bayanganku di depanmu hingga aku sama sekali tak terlihat di matamu?” sedu
Guanjin di dada Changyi.
Changyi menunduk dan
menghirup keharuman rambut di puncak kepala Xu Guanjin. Kalimat yang terucap
dari bibir Xu Guanjin dalam sedu sedannya terasa semakin mengguncang dada
pemuda itu dalam gejolak cinta. Tangan kanan Changyi yang besar dan indah
menekan kepala Xu Guanjin ke atas dadanya seolah hendak meleburkan kepala yang
sangat dikasihinya ke dalam jantungnya, menyatu dengan jiwanya.
“Tidak Xu-moi…aku
sama sekali tidak takut padamu” bisik Changyi di puncak kepala Xu Guanjin. “Apa
yang kutakutkan setelah aku mendengar kata-kata yang kau ucapkan adalah jika
aku tak bisa menjagamu. Jika aku tak cukup memiliki kekuatan untuk melindungimu
bahkan jika aku telah menyerahkan nyawaku. Karena kau lebih dari hidup bagiku
namun aku bukanlah seseorang yang memiliki kesempurnaan tanpa batasan
kekurangan. Aku hanya seorang yang sangat beruntung bisa menjadi bagian dari
keluargamu Xu-moi…dan untuk hal itu seluruh kata terima kasih tak akan cukup
untuk melunasi hutang budiku pada ayah Xu Da dan seluruh keluarga. Dan kini kau
menyerahkan pula jiwamu padaku, lalu dengan apa aku akan menanggung hutang yang
demikian besar ini di pundakku?”
“Kenapa kau
menghitung hati sebagai hutang budi Changyi-ko?” teriak Xu guanjin dalam bisik
sedu sedannya. Satu tangan mungil gadis itu memukul permukaan dada Changyi. “Andai
kau tahu betapa besarnya rasa bahagia yang telah kau berikan pada Ayah, pada
kami semua sejak kau datang pada kami. Hanya karena Ibu selalu kasar padamu,
itu bukan berarti ia membencimu. Ibu hanya takut jika ia akan menyayangimu
melebihi kami anak-anaknya sendiri sebagaimana yang dilihatnya pada Ayah. Jika kau
menganggap kebahagiaan hati adalah sebuah hutang budi maka kau sungguh seorang
yang sangat kejam Changyi-ko. Kau sangat kejam”.
“Maafkan aku Xu-moi…maafkan
aku” Changyi menggenggam tangan mungil Xu Guanjin.
“Apakah aku tak cukup
cantik bagimu Changyi-ko? Apakah aku tidak cukup pantas untukmu?” bisik Xu
Guanjin.
Changyi mendesah
kelu. Sepasang tangannya kembali memegang bahu Xu Guanjin dan mendorong gadis
itu dari dadanya sementara ia sedikit membungkukkan tubuh hingga kini,
wajahnya sejajar dengan wajah Xu Guanjin yang memias dan basah oleh air mata.
“Xu-moi…hanya orang
buta yang tak bisa melihat keindahan bulan purnama. Ketahuilah bahwa aku
hanyalah seekor pungguk kecil yang terus menatap ke arah bulan purnama itu”
tegas Changyi membuat sebutir airmata kembali meluncur menuruni pipi Xu Guanjin
yang sehalus pualam. “Dan pungguk kecil itu tak bisa lagi melihat keindahan
yang lain selain bulan purnama itu. Apakah kau mengerti Xu-moi? Apakah kau
mengerti bahwa pungguk yang kau sangka sebagai matahari itu sesungguhnya telah
takluk padamu sejak kau mengusap darah di dahinya dengan airmatamu? Karena itu
jangan pernah menangis lagi Xu-moi, karena setiap airmata yang menetes dari
keindahan mata bulan purnama itu akan membuat punggukmu ini meregang nyawanya”.
Airmata Xu Guanjin menderas
mendengar lantunan kalimat yang meluncur dari bibir berlekuk pemuda yang
dipujanya. Kalimat yang ia tahu terucapkan dengan tulus karena ia bisa
merasakan getaran dalam suara Xu Changyi yang biasanya jernih dan tegas. Kepala
Xu Guanjin tertunduk sementara bahunya terguncang pelan. Changyi mengulurkan
jemarinya mengusap pipi halus yang dibanjiri airmata itu dengan lembut
kemudian, saat sedu sedan Xu Guanjin belum juga mereda, maka dengan lembut
pula Changyi kembali menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Pelukan yang semakin
mengerat saat Xu Guanjin mengulurkan kedua tangannya dan memeluk pinggang
Changyi dengan kuat.
“Aku hanya milikmu
Xu-moi…hanya milikmu” bisik Changyi di sisi kepala Xu Guanjin.
Bisik halus yang
menarik kesunyian hutan nan indah di sekitar mereka untuk kembali mendendangkan lagu-lagunya.
Membawa Changyi dan Xu Guanjin kembali pula terhanyut dalam gelombang rasa
cinta yang menyatukan jiwa keduanya.
Bisik halus yang
terdengar sangat lantang di telinga sesosok remaja lain yang baru saja tiba
setelah memutari hutan untuk mencari Changyi dan Xu Guanjin. Sosok Xiao Chen
sang kasim kecil yang terkejut saat ia mendengar seluruh kalimat yang
terucapkan dari mulut Xu Guanjin dan Changyi. Saat ia dapat melihat kobaran
cinta yang menyala dengan begitu dahsyat di antara kedua orang yang berada
hanya dua tombak di depannya. Saat ia melihat sekuat apa Xu Guanjin memeluk
Changyi di depannya dan sepasrah apa kakaknya tersebut menyerah takluk dalam gulungan
cinta paling kuat yang pernah dilihatnya. Saat ia melihat Changyi menunduk dan
mengusap kedua mata Xu Guanjin yang dipenuhi airmata dengan
bibirnya.
Xiao Chen menjatuhkan
dirinya ke atas tanah berumput tebal dengan hiasan bunga-bunga mungil berwarna
putih kebiruan. Wajah kasim kecil itu memucat dengan raut bingung yang nyata. Ia
mengerti tentang cinta. Namun, ia tak pernah melihat cinta yang mengguncang
seperti yang baru saja dilihatnya.
Dan hal itu membuat
Xiao Chen merasa takut. Perlahan kepala berhias ikat kepala putih itu menunduk
dengan sepasang mata memejam rapat. Sepasang alis Xiao Chen berkerut dalam
sementara ia berusaha mengenyahkan bayangan buruk yang mendadak melintasi
benaknya. Kepala remaja itu menggeleng kuat-kuat.
“Kakak Changyi…Nona
Xu…bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi? Cinta kalian…bagaimana bisa? Apa yang
akan terjadi nantinya? Bagaimana cara Thian akan menolong cinta kalian? Dan Pangeran
Zhu Di? Bagaimana dengan Pangeran Zhu Di? Thian…Thian…Thian…” bisik bibir Xiao
Chen dalam kalutnya.
Kesunyian
hutan mengalir bersama dendang lagunya, mengantarkan kepekatan wangi bunga yang
menggambarkan kekuatan cinta dari sepasang hati yang masih berpelukan, tenggelam
dalam dekapan asmara.
**********
Yingtian…
Rumah Perdana Menteri
Hu Weiyong…
“Siapa mereka? Katakan
padaku siapa mereka yang telah berani merampok kapal dan mengambil
barang-barang milikku?” desis Perdana Menteri Hu Weiyong dengan nada rendah membuat nyali Saudagar Fu Han semakin menciut.
Saudagar Fu Han datang bersama dengan beberapa pelayan serta awak kapal yang terluka parah
telah diterima oleh Perdana Menteri Hu dalam sebuah ruang khusus yang tertutup.
Pertemuan yang sejak awal telah menimbulkan tanda tanya dalam benak Perdana
Menteri Hu Weiyong karena ketidakbiasaan dari kedatangan Saudagar Fu tersebut
segera meledakkan kemarahannya ketika ia mendengar penuturan sang
saudagar perihal peristiwa perampokan kapal serta hilangnya barang-barang
miliknya yang hendak diantar ke Beiping. Lelaki berperawakan kekar itu kini
berdiri dengan sepasang kaki membentang di depan Saudagar Fu yang telah
menjatuhkan diri berlutut di lantai diikuti seluruh pelayannya. Terlihat jelas
upaya Perdana Menteri Hu Weiyong untuk mengendalikan kemarahan yang
sesungguhnya telah mencapai kepala dan membuat otaknya mendidih.
“Ampuni hamba Tuanku”
rintih Saudagar Fu memohon. Suaranya jelas terdengar gemetar penuh takut
seiring keringat dingin yang membanjir membasahi kening dan lehernya. Hal sama
juga terlihat pada para pelayan yang berlutut di belakang majikan mereka. “Semua ini adalah
kesalahan hamba. Hamba telah lalai sehingga Tuan Hu kehilangan begitu banyak
barang-barang yang sangat berharga”.
“Kau tidak menjawab
pertanyaanku Saudagar Fu” cetus Perdana Menteri Hu Weiyong dingin. “Apakah kau
tidak mendengar apa yang kutanyakan?”
“Ah!...Tentu saja
hamba mendengarnya Tuanku. Mohon ampuni hamba” Saudagar Fu Han terkejut. Rasa takut
semakin menjerat hatinya.
“Kalau begitu
cepatlah jawab pertanyaanku” sahut Perdana Menteri Hu Weiyong seraya
membalikkan tubuhnya dan kini berdiri membelakangi Saudagar Fu Han dan orang-orang
yang tengah berlutut padanya.
“Mereka…orang-orang
yang telah merampok kapal itu, hamba tidak mengetahui tentang mereka Tuanku”
jawab Saudagar Fu Han. Kepalanya menoleh ke arah para pelayan dan awak kapal
yang terluka parah di belakangnya. “Hamba telah berusaha untuk mencari tahu
tentang keberadaan pada perampok itu dan mengetahui siapa mereka atau siapa
pemimpinnya, tapi…mereka seperti menghilang dan lenyap ditelan tanah”.
“Lenyap ditelan tanah”
gumam Perdana Menteri Hu Weiyong. “Bagaimana mungkin manusia-manusia perampok
itu bisa lenyap ditelan tanah? Apakah mereka sebangsa arwah?”.
“Bbb..bukan Tuanku”
jawab Saudagar Fu Han semakin gemetar. “Mereka benar-benar manusia”.
“Kalau begitu
berkatalah yang benar!” ledak Perdana Menteri Hu Weiyong dengan suara
mengguntur membuat semua orang yang tengah berlutut seketika terlonjak dan
menyungkurkan diri mencium lantai.
“Ttt..Tuanku…hamba
berkata yang sesungguhnya. Awak kapal yang hamba bawa ini, ia melihat para
perampok itu dan sempat bertarung dengan mereka. Ia telah menceritakan pada
hamba bahwa para perampok itu sangat cepat seperti bayangan dan segera
menghilang begitu membakar kapal” jawab Saudagar Fu Han sembari menoleh ke arah
awak kapalnya yang tergeletak lemah.
Perdana Menteri Hu
Weiyong berbalik dan menatap awak kapal yang terluka dengan pandangan
menyiratkan ancaman. Selanjutnya, lelaki itu berjalan dengan langkah lebar ke arah awak
kapal yang lemah tersebut kemudian berjongkok di sisinya.
“Apakah itu benar? Apa
yang dikatakan oleh majikanmu itu?” tanya Perdana Menteri Hu Weiyong pada si
awak kapal.
“Ya Tuanku” sahut si
lelaki awak kapal sambil mengangguk lemah. “Tuan Fu Han mengatakan hal yang
sebenarnya”.
“Hmm” gumam Perdana
Menteri Hu Weiyong. “Kalau begitu ceritakan padaku apa yang kau alami pada saat
perampokan itu. Apakah mereka mengintai kalian dari balik kegelapan?”
“Tidak Tuanku” si
awak kapal kembali menggeleng. “Para perampok itu datang di pagi hari,
kira-kira sepeminuman teh setelah matahari memunculkan diri di atas pepohonan”.
Perdana Menteri Hu
Weiyong terkejut. Jadi perampokan itu terjadi di siang hari? Hebat! Hanya perampok
yang benar-benar memiliki kemampuan sangat lihai yang berani memunculkan diri
dan merampok di siang hari. Rasa penasaran Perdana Menteri Hu Weiyong terungkit
dan sedikit menindas gejolak amarah yang semula menguasai hatinya.
“Jika begitu,
bukankah seharusnya kau melihat wajah mereka? Para perampok itu?” tanya Perdana
Menteri Hu Weiyong kemudian pada si awak kapal.
Untuk ketiga kalinya
lelaki awak kapal menggelengkan kepalanya.
“Tidak Tuanku…kami
tidak dapat melihat wajah-wajah mereka karena mereka semua mengenakan kain
penutup wajah dan seluruh tubuh mereka ditutup oleh pakaian berwarna hitam”
jawab si awak kapal.
“Tapi..bukankah
seharusnya kalian bisa melihat sebuah tanda dari mereka? Bendera atau lambang
misalnya yang bisa menjadi simbol tentang siapa mereka sesungguhnya?” kejar
Perdana Menteri Hu dengan nada penasaran yang semakin menyala.
“Mereka tidak membawa
bendera Tuanku…juga, tidak ada lempengan besi atau apapun yang menunjukkan
lambang mereka” sahut si awak kapal seraya meringis kesakitan. Luka bernanah di
tubuhnya terasa semakin mendenyutkan rasa sakit. Keningnya lelaki malang itu
berkerut oleh deraan rasa pedih sekaligus upayanya untuk mengingat-ingat. “Hanya
saja…”.
“Hanya apa? Katakan apa
yang kau ingat! Katakan apapun yang kau tahu dan kau lihat!” kejar Perdana
Menteri Hu Weiyong cepat.
“Hanya saja, hamba sempat
merasa heran karena gerak mereka sangat seirama dan tertata Tuanku…membuat
hamba teringat pada para prajurit” sambung si awak kapal.
Kembali Perdana
Menteri Hu Weiyong terkejut. Gerak para perampok itu sangat mirip dengan irama
para prajurit?. Siapa sesungguhnya para perampok itu? Berbagai dugaan segera
menyembul dalam hati Perdana Menteri Hu Weiyong, menimbulkan serentetan rasa
curiga membuat beberapa wajah yang tak pernah sejalan dengannya mulai
bermunculan di dalam benak. Jika benar para perampok itu adalah para prajurit,
lalu siapa orang yang berada di balik perampokan itu? Siapa orang yang telah
berani mengkhianatinya?
“Apa kau melihat
orang yang menjadi pemimpin mereka?” tanya Perdana Menteri Hu Weiyong kemudian.
Sebuah wajah tertahan dalam benak. Wajah seorang jenderal dari Kementerian
Pertahanan yang selalu bersikap dingin padanya. Apakah Jenderal Lan Yu berada
di balik perampokan itu? Jenderal Lan Yu memiliki cukup alasan untuk marah
padanya terlebih setelah ia mengungkit perihal persaingan di antara jenderal
dari kementerian pertahanan tersebut dengan panglima tertinggi kerajaan
beberapa hari yang lalu.
“Benar Tuanku” untuk
kali ini si awak kapal mengangguk. “Orang yang memimpin mereka sangat lihai dan
cepat. Kemampuan ilmu beladirinya sangat bagus dan jauh di atas para perampok
yang lain”.
Kening Perdana
Menteri Hu Weiyong berkerut.
“Apakah kau tidak
melihat sesuatu yang khusus pada pemimpin perampok itu” tanya Perdana Menteri
Hu Weiyong kemudian.
Si awak kapal terdiam
dan kembali mencoba mengingat-ingat. Hingga kemudian…
“Ya Tuanku…pemimpin
dari para perampok itu masih muda” jawab si awak kapal.
“Masih muda? Bagaimana
kau tahu bahwa pemimpin dari para perampok itu masih muda? Bukankah kau
mengatakan bahwa mereka, para perampok itu menutui wajah mereka dengan kain
penutup?” tanya Perdana Menteri Hu Weiyong.
Si awak kapal
mengangguk.
“Itu benar Tuanku”
sahutnya lemah. “Tapi hamba mendengar suaranya saat ia memberi perintah pada
para perampok yang lain. Suaranya bukan suara seorang lelaki yang sudah berumur tua.
Suaranya adalah suara yang sangat jernih dan merdu, seolah-olah dirinya adalah
seorang pemuda yang tampan. Dan…para perampok lain terlihat sangat menghormati
dan patuh pada pemimpin mereka”.
Suara yang jernih dan
merdu? Perdana Menteri Hu Weiyong tercenung. Kenangannya memutar suara dari
Jenderal Lan Yu dan segera teringat bahwa jenderal dari kementerian pertahanan
itu memiliki suara yang serak dan berat, bukan suara yang jernih apalagi merdu.
Jika demikian, maka itu artinya ada kemungkinan bahwa bukan Jenderal Lan Yu yang
memimpin perampokan itu meski bisa saja, Jenderal Lan Yu adalah orang yang
merencanakannya.
“Apakah tidak ada hal
lain yang kau lihat dari pemimpin para perampok itu?” tanya Perdana Menteri Hu
Weiyong kemudian.
Kembali si awak kapal
mengangguk. Gerakannya semakin lemah.
“Ya Tuanku…orang itu,
orang yang memimpin para perampok itu…ia memiliki sepasang mata yang sangat
indah” jawab si awak kapal nyaris tak terdengar.
Bermata indah? Bersuara
jernih dan merdu? Perdana Menteri Hu Weiyong bangkit berdiri, tak mempedulikan
si awak kapal yang kini benar-benar terkulai pingsan karena deraan rasa sakit
pada luka-lukanya sementara beberapa pelayan Saudagar Fu berusaha memberikan
pertolongan pada lelaki malang tersebut.
Saudagar Fu Han
menatap ke arah awak kapalnya yang terluka dan Perdana Menteri Hu Weiyong
berganti-ganti. Ia mencemaskan awak kapalnya yang terluka tersebut, namun rasa takut
membuatnya tak berani sedikitpun beranjak dari tempatnya berlutut.
“Tuanku…” panggil
Saudagar Fu Han kemudian dengan nada sangat hati-hati. “Awak kapal hamba…nampaknya
lukanya semakin parah…jika…jika hamba tidak membawanya ke tabib sekarang maka
dia..dia bisa..”
“Pergilah!” potong
Perdana Menteri Hu Weiyong cepat. “Bawa ia ke tabib terbaik. Aku masih sangat
membutuhkannya untuk mengenali suara dan mata orang yang memimpin para perampok
dan mengambil barang-barangku”.
Saudagar Fu Han bagai
ingin melompat karena rasa girang mendengar ucapan Perdana Menteri Hu Weiyong. Lelaki
bertubuh gemuk itu mencium lantai berkali-kali sebelum kemudian memberikan
isyarat pada para pelayannya untuk mengangkat si awak kapal yang pingsan.
“Terima kasih Tuanku…terima
kasih atas kemurahan hati Tuanku Hu Weiyong” ucap Saudagar Fu Han berkali-kali.
Perdana Menteri Hu
Weiyong tak mengatakan sepotong kalimatpun. Tubuhnya yang tinggi kekar telah
kembali berbalik membelakangi Saudagar Fu Han dan para pelayannya. Lelaki
tersebut hanya mengangkat satu tangan kanannya sebagai isyarat yang segera
dimengerti oleh Saudagar Fu Han.
Hanya sesaat untuk
meninggalkan ruang yang tertutup tersebut dan kemudian, sang perdana menteri
itu kembali terbenam dalam kesendirian sementara benaknya riuh oleh berbagai
kemungkinan dan pertanyaan yang menghambur keluar. Siapapun orang itu, bahkan
seandainya ia adalah sesosok malaikat paling tampan di seluruh alam semesta
sekalipun, Perdana Menteri Hu Weiyong bertekad untuk menguak dan mengetahui
keberadaannya…
Dan sekaligus
memberikan hukuman atas barang-barangnya yang telah hilang…
**********