Minggu, 27 Maret 2016

Straight - Episode 6 ( Bagian Empat )


Changyi bersandar pada sebatang pohon pinus besar. Sepasang mata pemuda itu sekali lagi mengitari setiap sudut hutan pada titik terjauh, mencoba menemukan sebuah pintu yang akan membawa mereka keluar dari dalam lembah jurang ini. Namun, apa yang kemudian yang tertangkap oleh kedua matanya hanyalah bentangan kehijauan yang pepat berseling warna-warni bunga yang bermekaran. Memang indah, sungguh indah dan menakjubkan, terlebih dengan satu sosok yang berdiri di sisinya seperti saat ini. Sosok yang mencoba turut menatap ke arah kejauhan dengan sosoknya yang mungil. Berjinjit-jinjit sambil menjulurkan lehernya yang indah jenjang membuat rambut panjang indah kemilau sosok itu bergerak lembut seiring gerak tubuhnya. Nyaris tanpa disadarinya, pada sosok terindah di antara semua keindahan lembah dalam jurang itulah pandangan mata Changyi akhirnya terhenti.
Changyi menarik nafas dalam-dalam sementara ia mencetak keindahan sosok Xu Guanjin dalam lembar jiwanya. Ada sedikit rasa geli saat ia melihat bagaimana gadis itu mencoba untuk meneliti hutan di sekitar mereka dengan kedua matanya yang seindah bintang. Ia telah membawa Xu Guanjin mengitari hutan ini hingga ke wilayah tepian hutan namun memang tak ada jalan keluar baik jalan setapak, maupun tanda adanya daerah perkampungan penduduk di tepian hutan tersebut. Apa yang ia temukan hanyalah bentangan sungai yang nampaknya mengepung hutan ini menjadi suatu wilayah yang tertutup dengan segala keindahannya yang menakjubkan. Bilapun ia melihat tanda adanya rumah penduduk, maka itu terlihat sangat jauh sekali seolah terletak pada batas cakrawala di balik kerimbunan hijau daun pepohonan serta bentangan awan-awan putih yang bergumpalan membuat bayangan atap rumah itu seperti hilang timbul dan memberikan kesan antara ada dan tiada. Mungkin, satu-satunya jalan untuk keluar dari daerah lembah dalam jurang ini hanyalah dengan menyusuri sungai tersebut, entah di bagian hulu atau hilir, namun nampaknya satu-satunya pintu yang dapat membawa mereka keluar memang hanyalah sungai berair jernih dengan ribuan ikan-ikan berwarna warni itu.
Tetapi, dengan adanya Xu Guanjin di sisinya, sungguhkah ia menginginkan untuk keluar dari tempat ini? Changyi menundukkan kepalanya sementara ia merasakan gejolak cinta yang memenuhi ruang dadanya kini mengalir hingga jauh menyusup ke sudut-sudut tersembunyi di tubuhnya, membuat Changyi tak bisa lagi melihat apapun tanpa merasakan keberadaan Xu Guanjin di dalam dirinya.
“Jadi, kita tidak akan bisa keluar dari dalam jurang ini Changyi-ko?” gumam Xu Guanjin membuat Changyi menegakkan kepalanya.
“Pasti ada jalan keluar Xu-moi” jawab Changyi dengan suara tegas bernada yakin. Pandangannya bertemu dengan sepasang mata bintang Xu Guanjin, menemukan sekilas rasa cemas bercampur harapan di wajah gadis itu. Changyi mengurai senyumnya. “Kita bisa menyusuri sungai itu Xu-moi. Sungai adalah pintu yang tak pernah berbohong pada siapapun yang mengikutinya karena ia akan selalu menuju ke laut ataupun ke sumber asalnya bermula”.
Xu Guanjin melangkah ke depan Changyi membuat pemuda itu diam-diam menekan detakan jantungnya yang mendenyut lebih kencang. Ada semburat merah jambu pada sepasang pipi Xu Guanjin membuat wajah gadis itu terlihat ranum. Apa yang tengah dipikirkan gadis itu? atau dirasakannya?
Sementara Xu Guanjin sendiri terus melangkah hingga ia kini hanya dua tapak di depan pemuda yang tengah bersandar di sebatang pohon pinus besar. Terlihat dalam posisi yang santai meski sesungguhnya hal itu justru membuat Changyi terlihat seperti sesosok malaikat di tengah hutan yang lebat namun sangat indah ini. Xu Guanjin bertanya dalam hati, pernahkah Changyi menyadari betapa indahnya diri pemuda itu? Rambutnya memiliki ciri khas tatanan yang berbeda dengan gaya tatanan rambut para lelaki disaat ini dimana mereka akan mengikat rambut ke atas dengan tali yang kuat lalu bagi orang-orang kaya maupun bangsawan akan memberi hiasan pada ikatan rambut mereka dengan simbol-simbol bernada kejayaan dan kemenangan. Gaya tatanan rambut yang diubah setelah masa kekuasaan Dinasti Yuan berakhir, di mana pada saat kekuasaan Dinasti Yuan dahulu, para lelaki menata rambut dengan cara mengepang menjadi satu kepangan panjang di belakang kepala.
Tetapi Changyi berbeda.
Bahkan meskipun gaya rambut khas Diansti Yuan telah berakhir dan berganti dengan gaya rambut baru, namun pemuda itu memiliki tatanannya sendiri. Gaya tatanan rambut yang kemudian ditiru oleh para pemuda dan lelaki remaja di seluruh penjuru Kerajaan Ming. Bahkan oleh Pangeran Zhu Di sendiri.
Rambut Changyi tidak sepanjang rambut para lelaki yang lain. Hanya sebatas bawah bahu – dan nampaknya Changyi selalu menjaga panjangnya dengan memotong rambut setiap waktu – yang diikat pada sebagian rambut di bagian puncak kepala dengan ikat rambut berhias lempengan emas berbentuk matahari. Dan Guanjin ingat, itu adalah ikat rambut pemberian ayahnya pada Changyi saat pemuda itu pertama kali masuk sebagai bagian dalam keluarganya. Sisa rambut Changyi yang lain tetap tergerai di bahu, sebagaimana anak-anak rambut di bagian depan kepala, pada pelipis, di depan cuping telinga yang kesemuanya justru semakin menonjolkan keindahan pemuda itu. Dan ia melihat keindahan tersebut sejak pertama kali Changyi masuk ke rumahnya sebagai seorang pelayan pengurus kuda. Saat tak ada siapapun yang melihat ke arah anak bernama Changyi untuk kedua kali karena derajatnya yang hanya seorang pelayan dengan celana kumal serta dada dan kaki telanjang. Saat ia langsung menyukai si pelayan pengurus kuda itu dan selalu mengintipnya dari balik pintu, mengagumi senyum dan tawa yang seolah tak pernah sejalan dengan keadaannya yang kurus dan papa. Senyum dan tawa ceria yang menyerupai keindahan sang matahari di langit. Adakah orang selain Jenderal Xu Da yang mengetahui, bahwa lempengan emas berbentuk matahari di ikat kepala Changyi itu, sesungguhnya Xu Guanjin-lah yang meminta kepada ayahnya?. Simbol matahari yang dengan jelas tergambar di wajah si pelayan bernama Changyi tersebut, pada senyum dan tawanya yang tak pernah sedikitpun menyiratkan kesedihan hati ataupun kepahitan hidup. Dan kini, setelah waktu berlalu membawa pergi sosok pelayan pengurus kuda yang kurus dan papa itu lalu menggantinya dengan seorang pemuda gagah rupawan seperti yang dilihatnya sekarang, bisakah ia membaginya dengan siapapun di luar sana? Dengan seluruh gadis dan wanita yang ia tahu terhanyut dalam impian untuk memiliki pemuda serupa malaikat di depannya itu? Rasanya tidak!. Bahkan meskipun gadis itu adalah adiknya sendiri, Xu Miaojin!.
Xu Guanjin terus melangkah ke arah Changyi sementara semilir angin menjelang senja berhembus meniup membuat rambut panjang gadis itu bergerak melambai.
“Changyi-ko..jika kita menyusuri sungai itu, apakah…aduh!” teriak Xu Guanjin saat sebuah rasa sakit mendera akibat beberapa helai rambut gadis itu tersangkut pada sebatang ranting dari pohon yang dilaluinya membuat kalimat Xu Guanjin pada pemuda yang tinggal dua langkah di depannya menjadi terputus.
Changyi terkejut dan seketika melompat ke depan sementara Xu Guanjin memiringkan kepalanya ke arah jeratan rambut pada ranting pohon yang membuat kulit kepalanya terasa pedih.
“Xu-moi, berhati-hatilah” ucap Changyi seraya mengurai helai-helai rambut panjang Xu Guanjin yang terjerat pada ranting dengan lembut.
“Ah..rambut ini merepotkan sekali” keluh Xu Guanjin seraya mengelus bagian kepalanya yang terasa perih. Rambutnya yang terjerat ranting telah terlepas.
Changyi menatap gadis yang masih meringis oleh rasa perih di kepalanya itu. Mendadak, ia teringat pada suatu hal yang telah lama dipendam membuat tangan kanan pemuda itu terulur ke balik hanfunya. Saat kemudian tangan Changyi terulur di depan Xu Guanjin, pada jemari pemuda tersebut telah tergenggam sebatang tusuk konde giok berbentuk untaian daun-daun mapel yang sangat indah. Xu Guanjin terkejut menatap tusuk kondenya di jemari Changyi, namun sedetik kemudian, wajah gadis itu bersemburat memerah dan tertunduk.
“Xu-moi” panggil Changyi dengan nada lembut. “Mungkin sebaiknya kau menyanggul rambutmu it agar tidak menjadi kotor atau terputus karena tersangkut ranting seperti tadi. Ambillah tusuk konde ini”.
Jemari Xu Guanjin terulur menerima tusuk konde dari tangan Changyi, menimangnya sejenak dan bahkan, dengan lembut ujung jari lentik gadis itu membelai tusuk konde kesayangannya dengan sepenuh hati. Kemudian, seolah tak mempedulikan keterkejutan Changyi, Xu Guanjin mengulurkan kembali tusuk kondenya ke dalam genggaman Changyi seraya menggeleng, lembut namun tegas.
“Xu-moi? Kenapa kau memberikan satu tusuk kondemu ini padaku? Apakah kau telah bosan dengan bentuknya? Jika kau telah bosan maka aku akan mencari tusuk konde lain untuk menyanggul rambutmu itu” kata Changyi dengan alis berkerut.
“Tidak Changyi-ko” jawab Xu Guanjin seraya mengangkat wajahnya yang semula tertunduk. Semburat merah masih membyang di wajahnya yang jelita, jelas terlihat bahwa gadis itu tengah berusaha  mengumpulkan seluruh kekuatan hati untuk mengatakan apapun yang telah berada di ujung lidahnya. “Sejak hari aku melepasnya dari rambutku dan mengirimkannya padamu, maka aku tak berhak lagi atas tusuk konde itu, karena ia telah membawa separuh dari jiwaku ke tanganmu. Jika kau mengembalikannya padaku, maka hal itu sama saja kau telah membunuh satu bagian dari jiwaku”.
Sepasang mata Changyi membesar mendengar kalimat Xu Guanjin. Pemuda itu melangkah tepat di depan gadis yang terlihat sedikit terengah oleh gejolak rasa dan degup jantung yang menghentak oleh kalimat-kalimat berbahaya yang telah diucapkannya dan akan dilanjutkannya pada pemuda di depannya.
“Xu-moi…kenapa kau berkata demikian? Bagaimana mungkin kau memberikan separuh jiwamu padaku? Aku akan sangat takut jika aku tidak bisa menjaga separuh jiwamu itu Xu-moi. Kau mengatakan dalam suratmu bahwa kau selalu menunggu mataharimu untuk datang kembali, dan aku tidak mengerti. Aku sungguh bodoh karena tidak mengerti apa yang telah kau katakan dengan kalimatmu yang sangat indah itu. Siapakah matahari yang selalu kau tunggu itu?” tanya Changyi seraya memegang bahu Xu Guanjin. Pandangannya menembus kedalaman sepasang mata bintang gadis di depannya dan menemukan sebuah keberanian tekad yang menyala membuat hati Changyi bertanya-tanya sekaligus penuh kagum.
“Kaulah matahari itu Changyi-ko” jawab Xu Guanjin cepat. Detak jantungnya berdebur seiring detak keras di dada Changyi sendiri kala mendengar jawaban Xu Guanjin. Meskipun Changyi telah mendengar hal sama dari sahabatnya Chang Gui Chun di distrik pelatihan prajurit, namun rasanya menjadi sangat berbeda saat ia mendengarnya langsung dari bibir mungil gadis di depannya tersebut. “Dan kau sama sekali tidak bodoh. Aku-lah yang terlalu takut untuk kehilangan dirimu sehingga aku selalu bertanya sejauh apa sesungguhnya cakrawala yang menjadi batas langit itu? Mengapa matahari selalu menghilang di sana saat senja tiba membuatku takut untuk menjalani malam yang gelap. Tapi aku tidak pernah mendapatkan jawabannya Changyi-ko. Tidak ada seorangpun yang bisa menjawab pertanyaanku, tidak juga buku-buku yang kubaca. Karena itu, jika aku tidak bisa mengetahui sejauh apakah batas cakrawala di langit itu berada, agar aku bisa selalu mengikuti kemanapun matahari pergi, maka aku memutuskan untuk memberikan separuh jiwaku ini pada matahari itu agar dia selalu kembali padaku dan selalu kembali meski sejauh apapun ia pergi. Karena hanya dengan tahu bahwa matahari akan selalu kembali padaku, maka aku masih akan memiliki semangat dan harapan untuk hidup hingga besok hari dan besoknya lagi serta melawan seluruh ketakutan-ketakutan dalam diriku pada malam yang gelap”.
Sepasang alis Changyi berkerut dalam mendengar runtutan kalimat yang meluncur dari bibir Xu Guanjin. Hati pemuda itu bergolak dalam kebingungan oleh hentakan rasa bahagia yang tak dapat diingkarinya. Bagaimana mungkin ia dapat memungkiri rasa bahagia ini sementara hatinya sendiri sesungguhnya telah lama menyimpan kekaguman pada Xu Guanjin? Pada kebaikan hatinya yang diberikan dengan penuh rasa tulus saat ia pertama kali datang ke dalam rumah Keluarga Xu bersama dengan Xiao Chen bertahun-tahun lalu sebagai seorang pelayan sementara banyak orang yang lain menyumpahi dirinya dan Chen bahkan begitu banyak orang yang hendak membunuhnya karena kehidupan keras membuatnya terpaksa mencuri beras. Changyi sungguh tidak dapat menahan dirinya untuk tidak mencintai gadis itu dengan segenap hatinya, sementara ruang ingatannya mencatat dengan begitu jelas bibir mana yang pertama kali memanggilnya dengan sebutan “Changyi-ko” saat Jenderal Xu Da membawanya pulang ke rumah Keluarga Xu untuk kedua kalinya, bukan lagi sebagai seorang pelayan melainkan sebagai seorang dengan marga ‘Xu’. Bagaimana mungkin ia tidak memuja jemari lentik gadis itu yang telah mengusap kepala dan wajahnya dari hamburan nasi yang dilemparkan oleh Nyonya Xu dalam kemarahan dan kebenciannya yang tersembunyi di balik kepatuhan wanita yang sangat dihormatinya itu pada suaminya. Bagaimana mungkin ia tidak mengasihi sepasang mata bintang yang telah mengalirkan airmata saat membersihkan cucuran darah dari keningnya akibat mangkuk yang dilemparkan oleh Nyonya Xu Da.
Sungguh, hanya karena di saat-saat lalu ia belum mengerti makna rasa kagum yang menguasai hatinya pada gadis jelita yang cerdas dan baik hati itu hingga Changyi-pun tak memahami adanya rasa bahagia yang sesungguhnya telah lama tinggal di dalam hatinya. Rasa bahagia yang membuatnya mampu menjalani setiap tahapan dalam hidup hingga hari ini, selain kasih sayangnya pada Xiao Chen.
Tapi sekarang, setelah ia memahami seluruh makna rasa kagum yang mengembang dalam hatinya, maka aliran rasa bahagia itupun seperti gelombang air bah yang tak dapat lagi ditahannya. Membuncah, meluap dan seolah hendak menyeretnya ke dalam rasa mabuk kepayang yang melenakan dan melupakan.
Tetapi…selain dari adanya rasa bahagia yang meluap-luap itu, Changyi juga merasakan adanya rasa takut aneh yang menyusup ke dalam kalbunya. Rasa takut yang berbeda. Bukan rasa takut pada tajamnya pedang, bukan rasa takut pada hukuman berat, ataupun pada rasa sakit dan lapar. Tidak!, sungguh, sejak ia melihat kedua orangtuanya tewas oleh wabah penyakit pada masa lalu, sejak ia mesti mempertaruhkan nyawanya untuk mencuri beras agar ia dan Xiao Chen bisa terus makan, maka ia telah kehilangan segala rasa takut pada tajamnya pedang, hukuman berat, sakit dan lapar. Rasa takut yang ia rasakan sekarang adalah sebuah rasa takut yang sangat halus namun mencekam, membuat jiwanya terikat oleh sebuah sumpah tanpa kata.
Sumpah untuk selalu melindungi gadis itu, memberikan segalanya pada gadis itu serta menjaganya dalam setiap langkah hidupnya. Dan rasa takut itu adalah ketakutan bahwa ia tak akan mampu melaksanakan sumpah jiwa tanpa katanya.
“Xu-moi…kata-katamu itu, membuatku takut” desah Changyi sehalus angin membuat alis indah Xu Guanjin berkerut dan sepasang mata bintang gadis itu mulai menyiratkan kilau airmata seiring rasa lemas yang datang mendera.
“Kenapa kau takut Changyi-ko? Tidakkah seharusnya aku yang takut karena telah menghilangkan rasa malu dalam diriku dan mengatakan segala rahasia dalam hatiku padamu? Tapi, meski aku sangat takut kau akan menjauh dariku setelah aku mengatakan rahasia hatiku ini, namun aku tak memiliki pilihan lain karena jika aku terus menyimpannya maka cepat atau lambat aku pasti akan gila. Lalu dalam kegilaanku maka aku akan mati” bisik Xu Guanjin lemah. Tubuh gadis itu terhuyung nyaris jatuh membuat Changyi segera meraihnya dalam dekapan.
“Apakah aku tak cukup pantas untukmu Changyi-ko? Aku berharap diriku akan cukup cantik di depanmu hingga aku selalu menyembunyikan diriku di balik tirai kamarku karena aku tak ingin siapapun melihatku selain dirimu. Lalu kenapa kau justru kau takut padaku? Apakah seluruh gadis dan wanita di penjuru Kerajaan Ming ini telah menghilangkan bayanganku di depanmu hingga aku sama sekali tak terlihat di matamu?” sedu Guanjin di dada Changyi.
Changyi menunduk dan menghirup keharuman rambut di puncak kepala Xu Guanjin. Kalimat yang terucap dari bibir Xu Guanjin dalam sedu sedannya terasa semakin mengguncang dada pemuda itu dalam gejolak cinta. Tangan kanan Changyi yang besar dan indah menekan kepala Xu Guanjin ke atas dadanya seolah hendak meleburkan kepala yang sangat dikasihinya ke dalam jantungnya, menyatu dengan jiwanya.
“Tidak Xu-moi…aku sama sekali tidak takut padamu” bisik Changyi di puncak kepala Xu Guanjin. “Apa yang kutakutkan setelah aku mendengar kata-kata yang kau ucapkan adalah jika aku tak bisa menjagamu. Jika aku tak cukup memiliki kekuatan untuk melindungimu bahkan jika aku telah menyerahkan nyawaku. Karena kau lebih dari hidup bagiku namun aku bukanlah seseorang yang memiliki kesempurnaan tanpa batasan kekurangan. Aku hanya seorang yang sangat beruntung bisa menjadi bagian dari keluargamu Xu-moi…dan untuk hal itu seluruh kata terima kasih tak akan cukup untuk melunasi hutang budiku pada ayah Xu Da dan seluruh keluarga. Dan kini kau menyerahkan pula jiwamu padaku, lalu dengan apa aku akan menanggung hutang yang demikian besar ini di pundakku?”
“Kenapa kau menghitung hati sebagai hutang budi Changyi-ko?” teriak Xu guanjin dalam bisik sedu sedannya. Satu tangan mungil gadis itu memukul permukaan dada Changyi. “Andai kau tahu betapa besarnya rasa bahagia yang telah kau berikan pada Ayah, pada kami semua sejak kau datang pada kami. Hanya karena Ibu selalu kasar padamu, itu bukan berarti ia membencimu. Ibu hanya takut jika ia akan menyayangimu melebihi kami anak-anaknya sendiri sebagaimana yang dilihatnya pada Ayah. Jika kau menganggap kebahagiaan hati adalah sebuah hutang budi maka kau sungguh seorang yang sangat kejam Changyi-ko. Kau sangat kejam”.
“Maafkan aku Xu-moi…maafkan aku” Changyi menggenggam tangan mungil Xu Guanjin.
“Apakah aku tak cukup cantik bagimu Changyi-ko? Apakah aku tidak cukup pantas untukmu?” bisik Xu Guanjin.
Changyi mendesah kelu. Sepasang tangannya kembali memegang bahu Xu Guanjin dan mendorong gadis itu dari dadanya sementara ia sedikit membungkukkan tubuh hingga kini, wajahnya sejajar dengan wajah Xu Guanjin yang memias dan basah oleh air mata.
“Xu-moi…hanya orang buta yang tak bisa melihat keindahan bulan purnama. Ketahuilah bahwa aku hanyalah seekor pungguk kecil yang terus menatap ke arah bulan purnama itu” tegas Changyi membuat sebutir airmata kembali meluncur menuruni pipi Xu Guanjin yang sehalus pualam. “Dan pungguk kecil itu tak bisa lagi melihat keindahan yang lain selain bulan purnama itu. Apakah kau mengerti Xu-moi? Apakah kau mengerti bahwa pungguk yang kau sangka sebagai matahari itu sesungguhnya telah takluk padamu sejak kau mengusap darah di dahinya dengan airmatamu? Karena itu jangan pernah menangis lagi Xu-moi, karena setiap airmata yang menetes dari keindahan mata bulan purnama itu akan membuat punggukmu ini meregang nyawanya”.
Airmata Xu Guanjin menderas mendengar lantunan kalimat yang meluncur dari bibir berlekuk pemuda yang dipujanya. Kalimat yang ia tahu terucapkan dengan tulus karena ia bisa merasakan getaran dalam suara Xu Changyi yang biasanya jernih dan tegas. Kepala Xu Guanjin tertunduk sementara bahunya terguncang pelan. Changyi mengulurkan jemarinya mengusap pipi halus yang dibanjiri airmata itu dengan lembut kemudian, saat sedu sedan Xu Guanjin belum juga mereda, maka dengan lembut pula Changyi kembali menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Pelukan yang semakin mengerat saat Xu Guanjin mengulurkan kedua tangannya dan memeluk pinggang Changyi dengan kuat.
“Aku hanya milikmu Xu-moi…hanya milikmu” bisik Changyi di sisi kepala Xu Guanjin.
Bisik halus yang menarik kesunyian hutan nan indah di sekitar mereka untuk kembali mendendangkan lagu-lagunya. Membawa Changyi dan Xu Guanjin kembali pula terhanyut dalam gelombang rasa cinta yang menyatukan jiwa keduanya.
Bisik halus yang terdengar sangat lantang di telinga sesosok remaja lain yang baru saja tiba setelah memutari hutan untuk mencari Changyi dan Xu Guanjin. Sosok Xiao Chen sang kasim kecil yang terkejut saat ia mendengar seluruh kalimat yang terucapkan dari mulut Xu Guanjin dan Changyi. Saat ia dapat melihat kobaran cinta yang menyala dengan begitu dahsyat di antara kedua orang yang berada hanya dua tombak di depannya. Saat ia melihat sekuat apa Xu Guanjin memeluk Changyi di depannya dan sepasrah apa kakaknya tersebut menyerah takluk dalam gulungan cinta paling kuat yang pernah dilihatnya. Saat ia melihat Changyi menunduk dan mengusap kedua mata Xu Guanjin yang dipenuhi airmata dengan bibirnya.
Xiao Chen menjatuhkan dirinya ke atas tanah berumput tebal dengan hiasan bunga-bunga mungil berwarna putih kebiruan. Wajah kasim kecil itu memucat dengan raut bingung yang nyata. Ia mengerti tentang cinta. Namun, ia tak pernah melihat cinta yang mengguncang seperti yang baru saja dilihatnya.
Dan hal itu membuat Xiao Chen merasa takut. Perlahan kepala berhias ikat kepala putih itu menunduk dengan sepasang mata memejam rapat. Sepasang alis Xiao Chen berkerut dalam sementara ia berusaha mengenyahkan bayangan buruk yang mendadak melintasi benaknya. Kepala remaja itu menggeleng kuat-kuat.
“Kakak Changyi…Nona Xu…bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi? Cinta kalian…bagaimana bisa? Apa yang akan terjadi nantinya? Bagaimana cara Thian akan menolong cinta kalian? Dan Pangeran Zhu Di? Bagaimana dengan Pangeran Zhu Di? Thian…Thian…Thian…” bisik bibir Xiao Chen dalam kalutnya.
Kesunyian hutan mengalir bersama dendang lagunya, mengantarkan kepekatan wangi bunga yang menggambarkan kekuatan cinta dari sepasang hati yang masih berpelukan, tenggelam dalam dekapan asmara.
**********
Yingtian…
Rumah Perdana Menteri Hu Weiyong…
“Siapa mereka? Katakan padaku siapa mereka yang telah berani merampok kapal dan mengambil barang-barang milikku?” desis Perdana Menteri Hu Weiyong dengan nada rendah membuat nyali Saudagar Fu Han semakin menciut.
Saudagar Fu Han datang bersama dengan beberapa pelayan serta awak kapal yang terluka parah telah diterima oleh Perdana Menteri Hu dalam sebuah ruang khusus yang tertutup. Pertemuan yang sejak awal telah menimbulkan tanda tanya dalam benak Perdana Menteri Hu Weiyong karena ketidakbiasaan dari kedatangan Saudagar Fu tersebut segera meledakkan kemarahannya ketika ia mendengar penuturan sang saudagar perihal peristiwa perampokan kapal serta hilangnya barang-barang miliknya yang hendak diantar ke Beiping. Lelaki berperawakan kekar itu kini berdiri dengan sepasang kaki membentang di depan Saudagar Fu yang telah menjatuhkan diri berlutut di lantai diikuti seluruh pelayannya. Terlihat jelas upaya Perdana Menteri Hu Weiyong untuk mengendalikan kemarahan yang sesungguhnya telah mencapai kepala dan membuat otaknya mendidih.
“Ampuni hamba Tuanku” rintih Saudagar Fu memohon. Suaranya jelas terdengar gemetar penuh takut seiring keringat dingin yang membanjir membasahi kening dan lehernya. Hal sama juga terlihat pada para pelayan yang berlutut di belakang majikan mereka. “Semua ini adalah kesalahan hamba. Hamba telah lalai sehingga Tuan Hu kehilangan begitu banyak barang-barang yang sangat berharga”.
“Kau tidak menjawab pertanyaanku Saudagar Fu” cetus Perdana Menteri Hu Weiyong dingin. “Apakah kau tidak mendengar apa yang kutanyakan?”
“Ah!...Tentu saja hamba mendengarnya Tuanku. Mohon ampuni hamba” Saudagar Fu Han terkejut. Rasa takut semakin menjerat hatinya.
“Kalau begitu cepatlah jawab pertanyaanku” sahut Perdana Menteri Hu Weiyong seraya membalikkan tubuhnya dan kini berdiri membelakangi Saudagar Fu Han dan orang-orang yang tengah berlutut padanya.
“Mereka…orang-orang yang telah merampok kapal itu, hamba tidak mengetahui tentang mereka Tuanku” jawab Saudagar Fu Han. Kepalanya menoleh ke arah para pelayan dan awak kapal yang terluka parah di belakangnya. “Hamba telah berusaha untuk mencari tahu tentang keberadaan pada perampok itu dan mengetahui siapa mereka atau siapa pemimpinnya, tapi…mereka seperti menghilang dan lenyap ditelan tanah”.
“Lenyap ditelan tanah” gumam Perdana Menteri Hu Weiyong. “Bagaimana mungkin manusia-manusia perampok itu bisa lenyap ditelan tanah? Apakah mereka sebangsa arwah?”.
“Bbb..bukan Tuanku” jawab Saudagar Fu Han semakin gemetar. “Mereka benar-benar manusia”.
“Kalau begitu berkatalah yang benar!” ledak Perdana Menteri Hu Weiyong dengan suara mengguntur membuat semua orang yang tengah berlutut seketika terlonjak dan menyungkurkan diri mencium lantai.
“Ttt..Tuanku…hamba berkata yang sesungguhnya. Awak kapal yang hamba bawa ini, ia melihat para perampok itu dan sempat bertarung dengan mereka. Ia telah menceritakan pada hamba bahwa para perampok itu sangat cepat seperti bayangan dan segera menghilang begitu membakar kapal” jawab Saudagar Fu Han sembari menoleh ke arah awak kapalnya yang tergeletak lemah.
Perdana Menteri Hu Weiyong berbalik dan menatap awak kapal yang terluka dengan pandangan menyiratkan ancaman. Selanjutnya, lelaki  itu berjalan dengan langkah lebar ke arah awak kapal yang lemah tersebut kemudian berjongkok di sisinya.
“Apakah itu benar? Apa yang dikatakan oleh majikanmu itu?” tanya Perdana Menteri Hu Weiyong pada si awak kapal.
“Ya Tuanku” sahut si lelaki awak kapal sambil mengangguk lemah. “Tuan Fu Han mengatakan hal yang sebenarnya”.
“Hmm” gumam Perdana Menteri Hu Weiyong. “Kalau begitu ceritakan padaku apa yang kau alami pada saat perampokan itu. Apakah mereka mengintai kalian dari balik kegelapan?”
“Tidak Tuanku” si awak kapal kembali menggeleng. “Para perampok itu datang di pagi hari, kira-kira sepeminuman teh setelah matahari memunculkan diri di atas pepohonan”.
Perdana Menteri Hu Weiyong terkejut. Jadi perampokan itu terjadi di siang hari? Hebat! Hanya perampok yang benar-benar memiliki kemampuan sangat lihai yang berani memunculkan diri dan merampok di siang hari. Rasa penasaran Perdana Menteri Hu Weiyong terungkit dan sedikit menindas gejolak amarah yang semula menguasai hatinya.
“Jika begitu, bukankah seharusnya kau melihat wajah mereka? Para perampok itu?” tanya Perdana Menteri Hu Weiyong kemudian pada si awak kapal.
Untuk ketiga kalinya lelaki awak kapal menggelengkan kepalanya.
“Tidak Tuanku…kami tidak dapat melihat wajah-wajah mereka karena mereka semua mengenakan kain penutup wajah dan seluruh tubuh mereka ditutup oleh pakaian berwarna hitam” jawab si awak kapal.
“Tapi..bukankah seharusnya kalian bisa melihat sebuah tanda dari mereka? Bendera atau lambang misalnya yang bisa menjadi simbol tentang siapa mereka sesungguhnya?” kejar Perdana Menteri Hu dengan nada penasaran yang semakin menyala.
“Mereka tidak membawa bendera Tuanku…juga, tidak ada lempengan besi atau apapun yang menunjukkan lambang mereka” sahut si awak kapal seraya meringis kesakitan. Luka bernanah di tubuhnya terasa semakin mendenyutkan rasa sakit. Keningnya lelaki malang itu berkerut oleh deraan rasa pedih sekaligus upayanya untuk mengingat-ingat. “Hanya saja…”.
“Hanya apa? Katakan apa yang kau ingat! Katakan apapun yang kau tahu dan kau lihat!” kejar Perdana Menteri Hu Weiyong cepat.
“Hanya saja, hamba sempat merasa heran karena gerak mereka sangat seirama dan tertata Tuanku…membuat hamba teringat pada para prajurit” sambung si awak kapal.
Kembali Perdana Menteri Hu Weiyong terkejut. Gerak para perampok itu sangat mirip dengan irama para prajurit?. Siapa sesungguhnya para perampok itu? Berbagai dugaan segera menyembul dalam hati Perdana Menteri Hu Weiyong, menimbulkan serentetan rasa curiga membuat beberapa wajah yang tak pernah sejalan dengannya mulai bermunculan di dalam benak. Jika benar para perampok itu adalah para prajurit, lalu siapa orang yang berada di balik perampokan itu? Siapa orang yang telah berani mengkhianatinya?
“Apa kau melihat orang yang menjadi pemimpin mereka?” tanya Perdana Menteri Hu Weiyong kemudian. Sebuah wajah tertahan dalam benak. Wajah seorang jenderal dari Kementerian Pertahanan yang selalu bersikap dingin padanya. Apakah Jenderal Lan Yu berada di balik perampokan itu? Jenderal Lan Yu memiliki cukup alasan untuk marah padanya terlebih setelah ia mengungkit perihal persaingan di antara jenderal dari kementerian pertahanan tersebut dengan panglima tertinggi kerajaan beberapa hari yang lalu.
“Benar Tuanku” untuk kali ini si awak kapal mengangguk. “Orang yang memimpin mereka sangat lihai dan cepat. Kemampuan ilmu beladirinya sangat bagus dan jauh di atas para perampok yang lain”.
Kening Perdana Menteri Hu Weiyong berkerut.
“Apakah kau tidak melihat sesuatu yang khusus pada pemimpin perampok itu” tanya Perdana Menteri Hu Weiyong kemudian.
Si awak kapal terdiam dan kembali mencoba mengingat-ingat. Hingga kemudian…
“Ya Tuanku…pemimpin dari para perampok itu masih muda” jawab si awak kapal.
“Masih muda? Bagaimana kau tahu bahwa pemimpin dari para perampok itu masih muda? Bukankah kau mengatakan bahwa mereka, para perampok itu menutui wajah mereka dengan kain penutup?” tanya Perdana Menteri Hu Weiyong.
Si awak kapal mengangguk.
“Itu benar Tuanku” sahutnya lemah. “Tapi hamba mendengar suaranya saat ia memberi perintah pada para perampok yang lain. Suaranya bukan suara seorang lelaki yang sudah berumur tua. Suaranya adalah suara yang sangat jernih dan merdu, seolah-olah dirinya adalah seorang pemuda yang tampan. Dan…para perampok lain terlihat sangat menghormati dan patuh pada pemimpin mereka”.
Suara yang jernih dan merdu? Perdana Menteri Hu Weiyong tercenung. Kenangannya memutar suara dari Jenderal Lan Yu dan segera teringat bahwa jenderal dari kementerian pertahanan itu memiliki suara yang serak dan berat, bukan suara yang jernih apalagi merdu. Jika demikian, maka itu artinya ada kemungkinan bahwa bukan Jenderal Lan Yu yang memimpin perampokan itu meski bisa saja, Jenderal Lan Yu adalah orang yang merencanakannya.
“Apakah tidak ada hal lain yang kau lihat dari pemimpin para perampok itu?” tanya Perdana Menteri Hu Weiyong kemudian.
Kembali si awak kapal mengangguk. Gerakannya semakin lemah.
“Ya Tuanku…orang itu, orang yang memimpin para perampok itu…ia memiliki sepasang mata yang sangat indah” jawab si awak kapal nyaris tak terdengar.
Bermata indah? Bersuara jernih dan merdu? Perdana Menteri Hu Weiyong bangkit berdiri, tak mempedulikan si awak kapal yang kini benar-benar terkulai pingsan karena deraan rasa sakit pada luka-lukanya sementara beberapa pelayan Saudagar Fu berusaha memberikan pertolongan pada lelaki malang tersebut.
Saudagar Fu Han menatap ke arah awak kapalnya yang terluka dan Perdana Menteri Hu Weiyong berganti-ganti. Ia mencemaskan awak kapalnya yang terluka tersebut, namun rasa takut membuatnya tak berani sedikitpun beranjak dari tempatnya berlutut.
“Tuanku…” panggil Saudagar Fu Han kemudian dengan nada sangat hati-hati. “Awak kapal hamba…nampaknya lukanya semakin parah…jika…jika hamba tidak membawanya ke tabib sekarang maka dia..dia bisa..”
“Pergilah!” potong Perdana Menteri Hu Weiyong cepat. “Bawa ia ke tabib terbaik. Aku masih sangat membutuhkannya untuk mengenali suara dan mata orang yang memimpin para perampok dan mengambil barang-barangku”.
Saudagar Fu Han bagai ingin melompat karena rasa girang mendengar ucapan Perdana Menteri Hu Weiyong. Lelaki bertubuh gemuk itu mencium lantai berkali-kali sebelum kemudian memberikan isyarat pada para pelayannya untuk mengangkat si awak kapal yang pingsan.
“Terima kasih Tuanku…terima kasih atas kemurahan hati Tuanku Hu Weiyong” ucap Saudagar Fu Han berkali-kali.
Perdana Menteri Hu Weiyong tak mengatakan sepotong kalimatpun. Tubuhnya yang tinggi kekar telah kembali berbalik membelakangi Saudagar Fu Han dan para pelayannya. Lelaki tersebut hanya mengangkat satu tangan kanannya sebagai isyarat yang segera dimengerti oleh Saudagar Fu Han.
Hanya sesaat untuk meninggalkan ruang yang tertutup tersebut dan kemudian, sang perdana menteri itu kembali terbenam dalam kesendirian sementara benaknya riuh oleh berbagai kemungkinan dan pertanyaan yang menghambur keluar. Siapapun orang itu, bahkan seandainya ia adalah sesosok malaikat paling tampan di seluruh alam semesta sekalipun, Perdana Menteri Hu Weiyong bertekad untuk menguak dan mengetahui keberadaannya…
Dan sekaligus memberikan hukuman atas barang-barangnya yang telah hilang…
**********

Minggu, 20 Maret 2016

Straight - Episode 6 ( Bagian Tiga )

Yingtian…di rumah Perdana Menteri Hu Weiyong…
Lelaki bertubuh kurus dengan pakaian hanfu putih khas seorang tabib terlihat membungkuk di depan Perdana Menteri Hu Weiyong sementara sang pejabat tertinggi istana itu mengamati beberapa mangkuk yang di sodorkan oleh sang tabib. Sejenak, Perdana Menteri menghirup aroma sebuah mangkuk di atas nampan di depannya, sebelum kemudian, dengan wajah diliputi oleh kepuasan, Perdana Menteri Hu Weiyong meletakkan kembali mangkuk yang dipegangnya ke atas nampan. Pandangannya beralih pada sang tabib. Terlihat seulas senyum di bibir Perdana Menteri Hu Weiyong.
“Kau sudah bekerja dengan baik. Aku akan memberimu hadiah” kata Perdana Menteri Hu Weiyong.
Sang tabib kembali membungkukkan tubuhnya dalam-dalam.
“Tuan Hu sangat murah hati…terima kasih untuk kebaikan yang Tuan Hu curahkan pada hamba” sahut lelaki tabib dengan tunduk.
Perdana Menteri Hu Weiyong tertawa pelan. Satu tangannya mengelus janggutnya yang tipis rapi dengan kepala manggut-manggut.
“Tapi aku tetap menginginkanmu untuk hati-hati” kata Perdana Menteri Hu Weiyong menambahkan. “Setiap kau mengantarkan obat pada Pangeran Zhu Biao, pastikan bahwa Putra Mahkota menghabiskan obatnya. Dan jangan pernah mengganti ramuan obat yang sudah kuberikan padamu itu”.
Si lelaki tabib bertubuh kurus sedikit mengangkat wajah menatap Perdana Menteri Hu Weiyong.
“Sebenarnya tadi pagi, Pangeran Mahkota nyaris tidak meminum obatnya Tuanku” tutur si tabib dengan jujur membuat Perdana Menteri Hu Weiyong mengerutkan keningnya.
“Kenapa begitu? Apakah Pangeran Zhu Biao menolak obatnya, atau dia merasa bosan dengan rasa obat yang kau bawakan?” tanya Perdana Menteri Hu Weiyong.
“Tidak Tuanku, bukan seperti itu” Si tabib menggelengkan kepalanya. “Pangeran Zhu Biao sebenarnya suka meminum obat yang hamba bawa. Namun, ketika hamba datang, pada saat itu Pangeran Zhu Di tengah bertamu dan kedua pangeran sedang membicarakan sesuatu sehingga Pangeran Zhu Biao mengatakan bahwa obatnya akan diminum nanti. Kemudian hamba meminta kepada Pangeran Zhu Biao agar segera meminum obatnya selagi hangat. Pangeran Mahkota sempat menolak, namun ketika hamba terus memohon, maka Pangeran berkenan mengabulkan permohonan hamba. Tetapi kemudian, saat Pangeran Zhu Biao hendak meminum obat, tiba-tiba kasim dari Pangeran Zhu Di mencegahnya dan meminta untuk melihat obat tersebut. Demikianlah Tuanku”.
Perdana Menteri Hu Weiyong terlihat sangat terkejut.
“Kasim Pangeran Zhu Di? Kasim yang mana?” tanya Perdana Menteri Hu Weiyong cepat.
“Yang kecil Tuanku. Kasim muda yang selalu mengikuti Pangeran Zhu Di kemanapun”.
“Kasim Chen” gumam Perdana Menteri Hu Weiyong dengan kening berkerut. Bagai kilat, kenangan di dalam benaknya memutar kembali peristiwa saat sayembara memasak beberapa waktu lalu di mana anak lelaki kecil bertubuh kurus yang diakui oleh Jenderal Xu Da sebagai salah satu pelayan di rumahnya mendadak datang di saat sayembara telah nyaris di tutup dan Kaisar Ming telah menetapkan pelayannya sebagai pemenang sayembara. Mendadak, sesuatu terasa mendesir dalam dada Perdana Menteri Hu Weiyong. Sesuatu yang bukan karena ia tahu bahwa pelayan kecil yang kini dikenal oleh semua orang sebagai kasim kesayangan Pangeran Keempat itu sebenarnya adalah pemenang sesungguhnya dari sayembara memasak yang diadakan oleh Kaisar Ming Tai Zhu melainkan saat ia menyadari sesuatu yang lain. Hal yang sebenarnya telah lama membersit dalam hatinya namun ia tak pernah mempedulikan hal tersebut karena dalam pemikirannya, itu adalah hal yang sama sekali tidak penting. Namun kini, saat ia mendengar dari tabib peramu obat bahwa si kasim remaja itu mencegah Pangeran Zhu Biao untuk meminum obatnya – dan hal itu secara tidak langsung menunjukkan bahwa Kasim Chen adalah seorang yang cerdas dan teliti – maka hal yang lama membersit dalam hatinya dan nyaris terlupakan tersebut kembali muncul ke permukaan. Dan itu adalah kenyataan bahwa sesungguhnya, Kasim Chen bukanlah pelayan di rumah Jenderal Xu Da. Ia mengetahui hal tersebut tidak berapa lama setelah sayembara memasak berlalu dan Kaisar Ming telah mengangkat anak bernama Xiao Chen itu sebagai kasim dan juru masak khusus Pangeran Zhu Di dari keterangan pemilik toko herbal yang mengatakan bahwa anak bernama Xiao Chen itu pernah masuk ke toko herbal dan membeli beberapa jenis tumbuhan, akar dan kulit kayu yang bermanfaat sebagai bumbu namun juga sekaligus sebagai obat. Peristiwa yang terjadi jauh hari sebelum anak itu tiba-tiba muncul di istana dan mengikuti sayembara memasak Kaisar Ming.
Dan kedatangan anak bernama Xiao Chen itu tidak sendiri, melainkan bersama beberapa orang biksu. Bahkan pemilik toko herbal tersebut sempat mengira bahwa Xiao Chen adalah seorang biksu kecil karena penampilan anak itu yang sangat tenang dengan wajah teduh, kalimat sopan dan sangat halus sebagaimana seorang biksu yang telah sangat dekat dengan Thian. Sangat tidak mungkin di rumah Jenderal Xu Da ada seorang biksu yang menjadi pelayan sedangkan semua tahu betapa besarnya rasa hormat Sang Panglima Tertinggi Kerajaan terebut kepada para biksu.
Hal lain yang tak luput dari perhatian Perdana Menteri Hu Weiyong adalah kesedihan yang jelas terlihat di wajah Xu Changyi. Hal yang nampaknya luput dari perhatian semua orang yang hadir di arena sayembara memasak itu. Dan kesedihan dari putra angkatnya itu seolah memberikan sebuah beban bagi Panglima Tertinggi Kerajaan Ming yang sangat ia takuti tersebut. Hal-hal yang nampak kecil namun tak biasa itulah yang membuat ia menduga adanya hal lain di balik siapa sebenarnya Xiao Chen tersebut serta alasan di balik sakit anehnya Pangeran Zhu Di saat itu. Dan lebih jauh lagi, adalah kecurigaan yang lama muncul dalam hati Perdana Menteri Hu Weiyong mengenai hubungan sebenarnya antara Kasim Chen dan Xu Changyi. Satu hal pasti yang ia tahu adalah bahwa keberadaan Xiao Chen dalam sayembara memasak dahulu nyaris menggagalkan rencananya memasukkan pelayannya ke dapur istana.
Dan kini – sekali lagi – anak yang telah lama menyita perhatiannya itu melakukan suatu hal. Mendadak, sebersit rasa aneh muncul di hati Perdana Menteri Hu Weiyong. Rasa aneh yang membuatnya tak lagi menganggap remeh kasim kecil bertubuh kurus itu.
Rasa aneh yang membuat sang pejabat tinggi istana itu berpikir bahwa keberadaan Kasim Chen akan selalu menjadi batu sandungan dalam setiap rencananya.
Yang mungkin – suatu saat nanti – akan membuat rencana-rencananya menjadi mentah dan gagal!.
“Katakan padaku apa yang kemudian terjadi?” Perdana Menteri Hu Weiyong berpaling dengan cepat ke arah tabib peramu obat. Binar gembira yang semula menyirat di wajahnya telah lenyap berganti dengan kesungguhan yang nyata terlihat. “Ceritakan semua yang kau lihat di kamar Pangeran Mahkota!”.
“Baik Tuanku” Tabib peramu obat membungkukkan tubuhnya sesaat sebelum kemudian mulai menuturkan seluruh kejadian saat Kasim Chen mencegah Pangeran Zhu Biao, hingga kemudian kasim kesayangan Pangeran Keempat itu membaui dan sedikit mencicipi cairan obat dalam mangkuk yang dipegang oleh Pangeran Pertama. Lalu, setelah Kasim Chen tidak menemukan adanya racun dalam mangkuk obat Pangeran Zhu Biao, maka barulah Sang Pangeran Mahkota meminum obat tersebut hingga habis.
Perdana Menteri Hu Weiyong mendengarkan seluruh cerita yang disampaikan oleh tabib peramu obat dengan seksama. Keningnya berkerut mencoba mencari celah di mana ia bisa membaca apapun yang sedang dipikirkan oleh Kasim Chen saat itu dan setelah kejadian itu.
“Lalu, apa yang dikatakan oleh Pangeran Zhu Biao padamu saat itu? apakah Pangeran Mahkota menanyakan suatu hal padamu, seperti misalnya apa saja ramuan yang kau masukkan ke dalam obatnya?” tanya Perdana Menteri Hu Weiyong seraya menatap tabib peramu obat dengan tatapan tajam.
“Tidak Tuanku. Pangeran Zhu Biao tidak menanyakan apapun pada hamba karena sesungguhnya, pada saat kejadian itu hamba sudah keluar dari ruangan Pangeran Mahkota. Hamba mengetahui semua kejadian di dalam kamar Pangeran Mahkota karena…karena…”
“Karena apa? Kenapa kau berhenti?” kejar Perdana Menteri Hu Weiyong dengan suara sedikit mengeras oleh karena rasa penasaran serta menguatnya kecurigaan yang membuat jantungnya berdetak semakin keras.
“Karena…hamba mengintipnya Tuanku” lanjut tabib peramu obat dengan ekspresi wajah diliputi oleh rasa takut. Kepala lelaki tinggi kurus itu tertunduk meski sesekali ia melirik ke arah Perdana Menteri Hu Weiyong melalui sela-sela buku matanya.
“Hmmm…” Perdana Menteri Hu Weiyong kembali bergumam. Lelaki bertubuh gagah itu bangkit dari kursinya dan mulai berjalan mondar-mandir. Sesekali, tangannya yang lebar bergerak mengusap janggutnya.
Tabib peramu obat mengikuti gerakan Perdana Menteri Hu Weiyong dengan pandangannya. Lalu, ketika kemudian tatapan mata sang pejabat tinggi istana tersebut kembali pada tabib peramu obat, maka bagai disengat kalajengking, tubuh lelaki kurus si tabib peramu obat terlonjak dan seketika kepalanya yang berhias tutup kepala khas seorang tabib tertunduk hingga dagunya menyentuh bagian leher.
“Kenapa kau bisa keluar dari kamar Pangeran Mahkota? Bukankah aku telah menyuruhmu untuk menunggui saat pageran Zhu Biao meminum obatnya?” tanya Perdana Menteri Hu Weiyong kemudian. Keningnya sedikit berkerut saat melihat lonjakan tubuh si tabib seolah ada sesuatu yang menggigit atau menyengat lelaki kurus di depannya itu.
“Karena Pangeran Zhu Di mengusir hamba Tuanku” jawab tabib peramu obat cepat membuat Perdana Menteri Hu Weiyong kembali terkejut.
“Mengusirmu? Kenapa bisa begitu? Apa kau melakukan kesalahan hingga Pangeran Zhu DI mengusirmu?”
“Tidak Tuanku” tabib peramu obat menggelengkan kepalanya. “Pangeran Zhu Di mengusir hamba karena hamba terus memohon pada Pangeran Zhu Biao untuk menunggui saat Pangeran Mahkota meminum obatnya sementara Pangeran Mahkota mengatakan agar hamba keluar dari kamar karena Pangeran masih ingin berbincang dengan Pangeran Keempat. Lalu, ketika hamba tidak juga pergi, maka Pangeran Zhu Di menjadi sangat marah dan mengusir hamba. Demikianlah Tuanku”.
Perdana Menteri Hu Weiyong menatap tabib peramu obat di depannya. Sebersit rasa tersinggung menyelinap ke dalam hatinya atas pengusiran yang dilakukan oleh Pangeran Zhu Di pada tabibnya tersebut karena bagi Perdana Menteri Hu Weiyong, mengusir tabib peramu obat dan siapapun orang-orang yang menjadi utusannya maka itu berarti sama saja dengan mengingkari keberadaannya.
Tapi, meskipun ia merasa tersinggung dengan tindakan Pangeran Zhu Di, namun Perdana Menteri Hu Weiyong sangat mengerti bahwa adalah terlalu berbahaya baginya untuk mengusik Pangeran Keempat karena, meskipun Pangeran Zhu Di adalah pangeran termuda di antara seluruh pangeran di istana, tetapi pangeran kecil berwajah tampan dan ceria itu adalah putra kesayangan Kaisar Hongwu. Sudah sangat sering ia mendengar sendiri saat Kaisar Hongwu memuji-muji Pangeran Keempat di depan seluruh pejabat istana. Lebih dari itu, hal yang membuat Perdana Menteri Hu weiyong tidak bisa mengusik Pangeran Keempat adalah kenyataan bahwa meskipun usianya masih sangat muda, namun pangeran Zhu Di memiliki kecerdasan yang sangat baik. Bahkan Kementerian Pertahanan yang merupakan pengelola sekolah prajurit khusus-pun memberikan kesaksian betapa cerdas dan berbakatnya Pangeran Zhu Di baik dalam ilmu beladiri, tata laksana keprajuritan, strategi perang maupun pengetahuan tentang kepemerintahan. Kecerdasan dan kecemerlangan Pangeran Zhu Di selalu nyaris seiring dengan kecerdasan dan kecemerlangan Xu Changyi, putra angkat Jenderal Xu Da sehingga kemudian kedua pemuda itu dikenal dengan istilah dua bintang di langit istana. Bilapun ada hal yang membuat putra angkat Jenderal Xu Da terlihat lebih unggul adalah dari segi sikap dan kedewasaan yang jelas terlihat sangat berbeda di antara keduanya karena siapapun tahu, bahwa Pangeran Zhu Di masih juga memiliki sifat kekanakan dan jahil khas anak-anak dalam dirinya yang membuat semua prajurit, kasim, pelayan dan dayang di istana pangeran sering mendapat masalah.
Dan kecerdasan Pangeran Zhu Di yang menonjol itulah yang membuat Perdana Menteri Hu Weiyong merasa harus bertindak dengan sangat hati-hati di depan pangeran termuda tersebut.
Tapi…berhati-hati bukan berarti tidak melakukan sesuatu bukan?.
Sekelumit senyum tipis membayang di bibir Perdana Menteri Hu Weiyong, tepat bersamaan dengan masuknya seorang pelayan ke dalam ruangan dan segera membungkuk padanya.
“Ada apa?” tanya Perdana Menteri Hu Weiyong mendahului saat pelayan yang baru saja masuk telah berdiri di depannya.
“Ampun Tuanku, Saudagar Fu Han datang dan memohon ijin untuk bertemu dengan Tuanku Hu Weiyong” sahut si pelayan setelah menegakkan tubuhnya kembali.
Senyum tipis di wajah Perdana Menteri Hu Weiyong langsung lenyap. Saudagar Fu Han datang menghadap? Itu adalah hal yang sangat tidak biasa mengingat selama ini mereka selalu merahasiakan kedekatan hubungan satu sama lain. Biasanya, ialah yang datang menemui Saudagar Fu Han – itupun di saat-saat yang sangat tertutup – demi kerahasiaan yang sangat dijaganya. Lalu jika kini, mendadak Saudagar Fu yang merupakan saudagar terkaya di Yingtian itu datang menemuinya, maka hal itu pasti karena adanya suatu hal yang sangat mendesak dan penting.
“Katakan pada Saudagar Fu untuk menunggu di ruang dalam. Aku akan segera datang menemuinya” perintah Perdana Menteri Hu Weiyong pada pelayannya.
“Baik Tuanku” sahut si pelayan membungkukkan tubuhnya sebelum kemudian berlalu dari hadapan majikannya.
Perdana Menteri Hu Weiyong kembali pada tabib peramu obat yang masih berdiri menunggu. Benaknya berputar cepat. Ia masih belum bisa membaca apapun yang ada dalam pikiran Kasim Chen setelah membaui dan mencicipi obat Pangeran Zhu Biao. Namun apapun itu, ia harus mengetahuinya karena jika remaja berwajah teduh itu mengetahui beberapa jenis tanaman herbal, maka bukan tidak mungkin Kasim Chen akan dapat menebak jenis-jenis tanaman dan bahan apapun yang dimasukkan ke dalam obat Pangeran Mahkota. Lebih dari itu, mengingat bahwa Kasim Chen adalah kasim kesayangan Pangeran Zhu Di, sementara Sang Pangeran Keempat adalah seorang pangeran yang sangat cerdas meski usianya masih sangat muda, maka ia benar-benar harus berhati-hati dan berlaku cerdik terhadap Pangeran Keempat serta kasimnya. Jika perlu, ia akan memasang mata-mata untuk mengawasi istana Pangeran Zhu Di serta mengikuti kemanapun Pangeran Keempat pergi bersama dengan kasimnya itu.
Dan demikian pemikiran itu menetap dalam benak Perdana Menteri Hu Weiyong, maka lelaki berpenampilan mewah itu dengan cepat berjalan menuju ke mejanya. Tangan kirinya yang besar dengan cekatan menyambar sehelai kertas dari lapisan kulit kayu tipis kemudian membentangnya sementara tangan kanan menjumput tangkai kuas tulis dan mulai menggores permukaan kertas dengan huruf-huruf yang ditulis secara kasar nyaris tak beraturan. Lalu, hanya dalam waktu sekejab, segulung surat telah tergenggam di tangan Sang Perdana Menteri.
“Kemarilah!” perintah Perdana Menteri Hu Weiyong pada tabib peramu obat.
Nyaris berlari, lelaki kurus tabib peramu obat segera beranjak ke hadapan Perdana Menteri Hu Weiyong.
“Pergilah ke dapur istana dan berikan surat ini pada Kepala Dapur Jiu Zhong!” perintah Perdana Menteri Hu Weiyong seraya menyerahkan segulung surat di tangannya pada tabib peramu obat. “Katakan pada Kepala Dapur Jiu Zhong agar segera menemuiku”.
“Baik Tuanku” sahut tabib peramu obat menerima gulungan surat yang diulurkan kepadanya, membungkukkan tubuh kemudian segera berlalu dari hadapan Perdana Menteri Hu Weiyong.
Suara pintu menutup terdengar halus saat tabib peramu obat keluar dari dalam ruangan meninggalkan Perdana Menteri Hu Weiyong yang segera pula bergerak menuju pintu ruang dalam. Ada hal lain yang menunggunya dan nampaknya hal tersebut adalah hal yang sangat mendesak!.
************
 Di tepi jurang, pada saat yang sama…
Pangeran Zhu Di terus bergerak dengan gelisah. Ia tak lagi bisa duduk dengan tenang sementara kasimnya telah beberapa saat lalu turun ke dalam jurang untuk mencari sahabatnya dan Xu Guanjin. Pangeran muda berparas tampan itu kini berjalan mondar-mandir di bibir jurang sambil sesekali melongok ke kedalaman yang tertutup lapisan awan tebal. Alisnya yang tebal bagus berkerut-kerut dengan ekspresi cemas. Haruskah ia ikut turun saja? Tapi bagaimana caranya? Ia hanya bisa menuruni jurang ini dengan menggunakan tali atau tangga. Bahkan meskipun ia memiliki kemampuan yang baik dalam hal beladiri dan olah keprajuritan, namun Pangeran Zhu Di mesti mengakui bahwa ia sama sekali tak memiliki kemampuan dalam hal ilmu-ilmu yang berhubungan dengan ginkang maupun hawa murni. Jika ia bisa bergerak dengan cepat, itu karena tubuhnya terlatih dengan baik dan bukan karena kemampuan hawa murni ataupun kekuatan ginkang. Melihat apa yang bisa dilakukan oleh Kasim Chen sesaat lalu membuat Pangeran Zhu Di mulai merasa tertarik untuk mempelajari tentang kemampuan hawa murni dan ginkang sehingga kemampuan beladirinya bisa menjadi matang dan bukan hanya mengandalkan tenaga tubuh kasar belaka seperti yang selama ini dimilikinya. Andai saja ia memiliki kemampuan yang hebat seperti Kasim Chen, maka Pangeran Zhu Di sangat yakin bahwa ia pasti akan bisa menyelamatkan Xu Guanjin.
Kenangan atas gadis berparas purnama yang terjatuh ke dalam jurang karena kelalaiannya membuat Pangeran Zhu Di seketika kembali menjatuhkan dirinya dan berlutut di atas tanah dasar jurang. Wajah tampannya semakin berkerut oleh rasa sesal yang mendalam. Di sisi lain, kenangan akan jatuhnya Xu Guanjin membuat Pangeran Zhu Di menyadari satu hal yang dengan segera membuat rasa sesalnya semakin memuncak.
Kesadaran bahwa ia sangat menyukai gadis itu.
Dan rasa suka itu bukanlah kesukaan yang biasa, melainkan sebuah rasa yang mengikat seluruh hatinya dalam sebuah ikatan yang sangat kuat.
Ikatan yang belum pernah dirasakannya sebelumnya. Dan mungkin tak akan pernah ada lagi sesudahnya.
Ikatan yang disebut cinta. Cintanya yang pertama. Cintanya yang mendalam pada putri sulung gurunya sendiri. Gadis yang telah membangun begitu banyak keinginan dan impian yang sebelumnya tidak ada dalam dirinya, membuat Pangeran Zhu Di dapat merasakan indahnya alam semesta, keharuman bunga-bunga dan kehangatan matahari pagi. Bahkan malam yang sunyi tak lagi sepi saat ia mengenang Xu Guanjin di pelupuk mataya.
“Guanjin-moi…maafkan aku” rintih Pangeran Zhu Di dalam sesalnya yang bergulung-gulung. Sepasang matanya yang jernih terlihat kembali bersemburat merah sementara pandangannya tertuju ke arah dasar jurang yang tak dapat ditembusnya karena tertutup oleh gumpalan awan. “Kau harus selamat Guanjin-moi. Kau tidak boleh celaka karena kesalahanku. Jika sampai terjadi hal buruk padamu, maka aku sungguh tidak bisa memaafkan diriku sendiri. Bagaimana aku akan memaafkan diriku sendiri Guanjin-moi?”.
Angin bertiup semilir menghembus wajah tampan Pangeran Zhu Di yang sedikit pias oleh kesedihan dan rasa sesalnya yang mendalam. Angin yang seolah hendak menghibur sang pangeran dari kecemasannya yang semakin meningkat namun sekaligus menyembunyikan sebuah misteri yang sama sekali tak terbersit dalam benak sang pangeran tampan yang cerdas namun polos tersebut.
Angin yang terus bertiup membuat helai rambut Pangeran Zhu Di di bagian bahu sedikit berkibar – persahabatan dan rasa kagum yang semakin kuat pada Xu Changyi membuat Pangeran Zhu Di mengubah tatanan rambutnya untuk selalu seperti tatanan rambut Changyi meski mahkota bermata mutiara masih tetap bertengger pada ikatan rambutnya di atas kepala – membuat wajah tampan sang pangeran kesayangan Kaisar Hongwu itu terlihat semakin jelas. Ketampanan yang ternodai oleh kesedihan dan kekalutan yang mendalam.
Pangeran Zhu Di sama sekali tidak mempedulikan pusaran lembut angin yang bertiup menerpa wajah dan tubuhnya. Pandangannya terus mengawasi ke dalam jurang seolah berharap akan menemukan sebuah keajaiban.
Hingga kemudian, saat angin yang bertiup lembut itu membawa suara-suara lain yang tersampaikan ke telinganya, maka sang pangeran muda yang tampan itu seketika menegakkan wajahnya dan berpaling. Bukan ke arah kedalaman jurang melainkan ke seberang padang rumput penuh bunga, di balik kerimbunan perdu yang rapat menutup pinggiran padang rumput.
Sepasang alis Pangeran Zhu Di berkerut dalam sementara ia menajamkan pendengarannya untuk menangkap suara-suara yang semula sayup namun semakin lama semakin jelas didengarnya.
Lalu, ketika kemudian ia dapat mengenali beberapa suara yang datang dalam pendengarannya itu, maka dengan wajah terkejut Pangeran Zhu Di segera bangkit dari atas tanah dan seketika berlari dengan cepat menuju seberang padang rumput, pada sisi perdu tinggi dan tebal di pinggir padang. Kemudian, saat tubuhnya telah merapat pada sisi perdu, dengan hati-hati tangan Pangeran Zhu Di bergerak menyingkap rumpun perdu didepan wajahnya dan menatap tajam ke depan, ke arah di mana suara-suara yang di dengarnya berasal. Tak terlihat apapun namun suara-suara yang datang terdengar semakin jelas.
Pangeran Zhu Di semakin merapatkan wajahnya pada sela perdu yang dibukanya, menanti sambil menebak-nebak hal yang membuat suara-suara tersebut bisa sampai di tempat ini. Tempat yang tertutup dari pandangan mata banyak orang. Rasa ingin tahu Pangeran Zhu Di semakin besar saat ia dengan jelas dapat mendengar suara panggilan yang menyebut namanya dan ia tahu benar suara siapakah yang memanggil-manggilnya dengan keras bercampur cemas itu sebab ia telah ribuan kali mendengar suara panggilan seperti itu saat ia melarikan diri dari penjagaan para prajurit dan kasimnya.
“Kasim Anta?...Kenapa ia bisa sampai di sini? Dan siapa orang-orang yang datang bersama dengannya?” gumam Pangeran Zhu Di pelan.
Sementara suara-suara yang datang kini sangat jelas terdengar membuat Pangeran Zhu Di dapat mengenali suara-suara yang datang tersebut dengan sangat baik. Ada banyak orang yang datang bersama Kasim Anta, sepertinya prajurit kerajaan, suara ringkikan dan tapal kaki kuda yang bersahutan membuat Pangeran Zhu Di dapat memperkirakan jumlah prajurit yang datang bersama kasimnya yang tua itu. namun, ada satu suara yang dengan cepat membuat dada Pangeran Zhu Di berdesir. Suara yang terdengar berat dan tegas dengan kekuatan wibawa yang jelas terasa. Benak Pangeran Zhu Di segera berputar mencoba mengenali suara yang membuat dadanya berdesir itu. Ia sangat yakin bahwa ia mengenal si pemilik suara tersebut, meski suara itu bukanlah suara yang disukainya karena adanya kejadian-kejadian tidak menyenangkan di masa lalu yang membekas dalam ruang ingatannya. Tapi…mungkinkah dia? Mungkinkah orang itu? Orang yang pernah membuatnya sangat marah karena ia hampir saja kehilangan sahabat terbaiknya gara-gara orang itu?
Dan pertanyaan yang melintas di kepala Pangeran Zhu Di segera mendapat jawaban saat kemudian serombongan prajurit muncul di ujung jalan yang jauh dari tempatnya bersembunyi di balik rumpun perdu. Bagai ditarik oleh sebongkah magnet berdaya kuat, pandangan mata Pangeran Zhu Di segera tertumbuk pada sesosok lelaki bertubuh tegap dalam seragam militernya yang gagah. Sosok yang ditakuti di kalangan militer kerajaan setelah Jenderal Xu Da gurunya. Kedua mata Pangeran Zhu Di menyipit hingga nyaris membentuk sepasang garis hitam saat ia dengan lekat memperhatikan lelaki gagah yang duduk di atas kudanya.
“Jenderal Lan Yu?...untuk apa ia datang ke tempat ini bersama dengan Kasim Anta?” desis Pangeran Zhu Di.
Sementara itu di ujung jalan yang berjarakcukup jauh dari gerumbul perdu di mana Pangeran Zhu Di berada, rombongan prajurit yang dipimpin oleh Jenderal Lan Yu terlihat bergerak pelan. Suara tapal kaki kuda yang bergerak terdengar mengetuk tanah keras membuat debu sedikit mengepul. Di sisi Jenderal Lan Yu agak sedikit di belakang terlihat lelaki berusia separuh baya yang terus berteriak memanggil nama Pangeran Keempat. Lelaki yang dikenal sebagai Kasim Anta itu terlihat sangat khawatir membuat kerut-kerut usia di wajahnya semakin jelas terlihat.
“Kalian semua menyebar dan buat jaring laba-laba. Tidak ada jejak kuda yang menuruni bukit, jadi itu artinya Pangeran Zhu Di pasti masih ada di sekitar tempat ini!” suara perintah yang diucapkan oleh Jenderal Lan Yu terdengar sampai di telinga Pangeran Zhu Di membuat sang pangeran segera menutupkan kembali rumpun perdu yang disingkapnya.
Kening halus Pangeran Zhu Di berkerut saat ia memikirkan perintah yang diucapkan oleh Jenderal Lan Yu. Ia tidak terlalu mengenal Jenderal dari Kementeria Pertahanan tersebut meskipun beberapa kali ia mendengar ayahnya memuji Jenderal Lan Yu sebagai seorang jenderal militer yang tangguh. Di lain hal, Pangeran Zhu Di memiliki alasan untuk tidak menyukai jenderal tersebut setelah ia nyaris kehilangan Changyi pada masa awal persahabatan mereka sebelum akhirnya Changyi masuk ke dalam Keluarga Xu Da sebagai putra angkat dari gurunya tersebut.
Tetapi, meski ia tak terlalu mengenal Jenderal Lan Yu, namun Pangeran Zhu Di mengerti bahwa jika pejabat tinggi dari Kementerian Pertahanan tersebut sampai turun tangan langsung untuk mencarinya, maka itu artinya Kaisar Ming-lah yang mengutusnya. Terlebih dengan keberadaan Kasim Anta di antara rombongan prajurit khusus semakin menguatkan dugaan bahwa ayahnya telah benar-benar menginginkan kepulangannya ke istana.
Lalu, jika benar demikian, maka ia tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti perintah Kaisar untuk kembali ke istana karena jika ia menolak, maka dengan sendirinya ayahnya akan mencari tahu penyebab penolakannya tersebut. Lalu, dengan sendirinya, hal yang tengah terjadi di jurang akan diketahui oleh Kaisar Ming dan Jenderal Xu Da. Pangeran Zhu Di bergidik saat membayangkan hal apa yang akan terjadi andai Kaisar Ming dan Jenderal Xu Da mengetahui apa yang tengah terjadi pada mereka. Hal terburuk yang bisa ia bayangkan adalah bahwa ia akan kehilangan kepercayaan dari gurunya dan Nyonya Xu Da untuk membawa Xu Changyi serta Xu Guanjin. Dan Pangeran Zhu Di sungguh tak ingin hal tersebut terjadi.
Jika ia meninggalkan padang rumput indah ini sekarang, lalu bagaimana dengan Chen, Changyi dan Xu Guanjin yang masih belum kembali dari dasar jurang? Haruskah ia menunggu mereka? Xiao Chen telah berjanji bahwa kasimnya tersebut tidak akan lama dan ia percaya dengan kasimnya itu. Lebih lagi, ia harus memberi tanda pada Xiao Chen tentang sisi jurang mana ia berada – meski sesungguhnya Pangeran Zhu Di mengetahui alasan sebenarnya hingga Xiao Chen memintanya untuk tetap tinggal di atas dan ikut turun ke bawah – sehingga jika ia pergi sekarang, maka saat Xiao Chen kembali bersama dengan Changyi dan Xu Guanjin nanti, maka mereka pasti akan kehilangan dirinya.
Selain itu, sesungguhnya tujuan lain ia membawa Xu Changyi dan Xiao Chen keluar hari ini bukan semata untuk melepaskan rindu pada sahabatnya tersebut melainkan karena ada hal lain yang ingin dikerjakannya dan ia  belum sempat mengatakan hal lain itu baik pada kasimnya maupun pada Changyi.
Tapi, jika ia menunggu maka hal itu sama saja dengan meneriakkan perihal jatuhnya Xu Guanjin dan Changyi ke dasar jurang. Dengan keras. Lalu semua akan tahu apa yang telah terjadi pada mereka. Mungkin saja Kaisar Ming tidak akan menghukumnya, namun ia juga tidak ingin Kaisar memberikan kemarahannya pada Jenderal Xu Da, Xu Changyi, Xiao Chen, dan terutama Xu Guanjin karena mereka semua adalah orang-orang yang sangat dikasihinya. Belum lagi keberadaan Jenderal Lan Yu yang ia tahu tak pernah sejalan dengan Jenderal Xu Da pasti akan membuat situasi menjadi semakin sulit bagi orang-orang yang dicintainya tersebut.
Jadi, memang ia harus memilih bukan? Dan waktu yang dimilikinya untuk membuat pilihan sama sekali tidak banyak.
Karena itu, dengan gerak halus, Pangeran muda yang sangat gesit itu segera menjauh dari rumpun perdu tempatnya bersembunyi dan berlari menuju tepian jurang kembali. Sejenak Pangeran Zhu Di menatap ke sekelilingnya sebelum kemudian, dengan cepat Pangeran Zhu Di berlutut di atas tanah. Sepasang tangannya bergerak dengan cekatan mengerjakan sesuatu sementara sepasang mata beningnya yang berbinar cerdas terlihat terpusat pada hal yang ditengah dilakukannya.
Sementara di atas jalan setapak, para prajurit khusus telah menyebar dalam sebuah lingkaran yang jauh terlihat, bergerak seirama dalam formasi merenggang namun saling terhubung satu sama lain. Saat satu prajurit bergerak maka prajurit-prajurit lain akan turun bergerak dalam irama yang harmonic dan tetap. Di atas kudanya, Jenderal Lan Yu mengedarkan pandangan matanya yang tajam ke sekeliling sementara Kasim Anta telah turun dari atas kuda dan mondar mandir kian kemari degan bingung. Suara panggilan kasim yang setia itu kini telah sedikit serak.
“Berhentilah berteriak seperti itu” ujar Jenderal Lan Yu pada kasim tua di depannya. “Kita pasti akan menemukannya sebelum senja”.
Kasim Anta terdiam dan menatap Jenderal Lan Yu. Hanya sesaat, karena pada detik berikutnya…
“Pangeraaaan!...Pangeran Zhu Diiii!...Anda di mana Pangeraaan!...ini Anta mencari Anda Pangeran Zhu Diii!” teriak Kasim Anta dengan suara serak yang semakin keras membuat Jenderal Lan Yu menggelengkan kepalanya sembari memutar bola mata.
“Ada apa mencariku?” sebuah suara bening mendadak terdengar disusul munculnya sosok pangeran Zhu Di dari batas jalan setapak beberapa tombak di sisi yang berlawanan dengan gerak para prajurit khusus yang menebar jaring laba-laba mereka membuat Jenderal Lan Yu terkejut sementara, bagaikan menemukan permata yang telah lama hilang, Kasim Anta segera melompat ke hadapan Pangeran Keempat dengan kegembiraan yang meluap-luap.
“Pangeraaan!” jerit Kasim Anta seraya mengembangkan kedua tangannya.
“Jangan memelukku!” desis Pangeran Zhu Di berbisik saatKasim Anta hanya tinggal satu jengkat darinya.
Kasim Anta berhenti bergerak namun sepasang tangannya yang terkembang sama sekali tidak diturunkan. Sepasang matanya menatap pangeran muda yang telah diasuhnya sejak masih berwujud bayi merah dengan penuh cinta sementara Jenderal Lan Yu terlihat turun dari atas kudanya dan kini menjatuhkan tubuhnya berlutut di hadapan Pangeran Keempat diikuti oleh seluruh prajurit khusus yang segera bergerak merapat demikian melihat kehadiran Pangeran Keempat.
“Pangeran Zhu Di, hamba Lan Yu datang menghadap atas perintah Yang Mulia Kaisar untuk membawa Pangeran pulang ke istana sekarang juga” ucap Jenderal Lan Yu melaporkan kedatangannya. Nada tegas yang terdengar dalam suaranya membuat Pangeran Zhu Di segera menyadari bahwa ia kini berhadapan dengan seorang jenderal militer yang tak kalah cerdas dengan Jenderal Xu Da. Jenderal militer yang sama sekali tak menyukai sebuah kata sepakat terlebih demi alasan yang bersifat pribadi dan sentimental!.   
Pangeran Zhu Di membuka mulutnya bersiap untuk mengatakan kalimatnya namun…
“Pangeran…syukurlah Anda sudah ditemukan. Yang Mulia Kaisar sangat mencemaskan Anda Pangeran, juga Yang Mulia Ratu” ucap Kasim Anta seraya benar-benar memeluk Pangeran keempat di hadapannya membuat Pangeran Zhu Di mengertakkan giginya karena rasa jengkel namun sekaligus terharu. Kasim Anta dulu selalu bersamanya, kemanapun dan ia telah mengenal kasim setia itu sejak pertama ia membuka kedua matanya untuk menatap keindahan kehidupan. Namun semenjak kehadiran Kasim Chen, kasim yang telah mulai memasuki usia senja itu hanya berdiri di garis belakang karena segalanya kini ditangani oleh Kasim Chen. Karena itu, sungguh betapapun besarnya kejengkelan pangeran Zhu DI pada kasimnya yang tua itu, namun di sisi lain ia dapat memahami kerinduan Kasim Anta padanya. Sebagaimana sesungguhnya iapun memiliki kerinduan pada kasim tuanya itu.
“Sudahlah…nanti saja kita berbicara di istana” ucap Pangeran Zhu Di di sisi telinga Kasim Anta. “Sekarang lepaskan aku agar aku bisa naik kuda dan pulang”.
Pelukan Kasim Anta mengendur dan kemudian terlepas sama sekali membuat Pangeran Zhu Di merasa lega dan bergerak sedikit ke depan, ke arah Jenderal Lan Yu dan seluruh prajurit khusus yang masih berlutut di atas tanah.
“Bangunlah” ucap Pangeran Zhu Di pada Jenderal Lan Yu dan semua prajurit yang berlutut di hadapannya. “Bawa aku pulang sekarang”.
“Baik Pangeran…silahkan Pangeran menaiki kuda yang telah kami siapkan” ucap Jenderal Lan Yu setelah bangkit berdiri.
Pangeran Zhu Di mengangguk dan segera berjalan ke arah kuda coklat yang dituntun mendekat oleh seorang prajurit. Untunglah, kuda-kuda yang semula ia gunakan bersama dengan Xiao Chen, Chanyi dan Xu Guanjin tertambat sedikit agak jauh dari padang rumput dan terhalang oleh rumpun perdu. Pangeran Zhu Di berharap para prajurit khusus belum menemukan kuda-kuda itu agar nantinya bisa digunakan oleh Changyi, Xiao Chen dan Xu Guanjin serta satu orang lainnya. Terlebih lagi di antara keempat kuda tersebut terdapat si Hitam yang sangat dikenal sebagai kuda Xu Changyi sehingga, jika keberadaan kuda itu sampai diketahui oleh para prajurit dan Jenderal Lan Yu, maka dengan sendirinya keberadaan sahabatnya itu pasti akan diketahui pula.
Sejenak kemudian, di atas jalan setapak itu telah bergerak sepasukan prajurit khusus di bawah pimpinan Jenderal Lan Yu menuju Yingtian. Pangeran Zhu Di berkuda tepat di sisi Kasim Anta, sementara Jenderal Lan Yu berkuda tepat di depan.
“Pangeran, di manakah Xiao Chen? Bukankah ia pergi bersama Anda?” bisik Kasim Anta seraya mencondongkan tubuhnya ke arah Pangeran Keempat.
Pangeran Zhu Di menoleh ke arah rumpun perdu yang semakin menjauh di belakang mereka.
“Aku memerintahkannya mengambil persembahanku untuk Kakak Zhu Biao. Nanti ia akan menyusul” sahut Pangeran Zhu Di pendek seraya kembali menatap lurus ke depan.
Rombongan prajurit itu menjauh dan semakin menjauh, meninggalkan padang rumput indah dan jurang menyimpan misteri.
Serta sehelai surat dalam selembar kain yang tertancap tepat di atas batuan hitam di dasar jurang!.
************