Di sebuah rumah mewah di kotaraja
Yingtian…
Seorang pria bertubuh
gemuk terlihat sangat marah. Tubuhnya yang bertimbun lemak dalam balutan hanfu
mewah berwarna merah terlihat berjalan mondar mandir dengan hentakan kaki yang
keras sementara beberapa orang lelaki berdiri di sekitarnya dengan kepala
tertunduk ketakutan. Sekali, lelaki gemuk tersebut berhenti pada satu meja
besar kemudian tangannya yang besar gemuk bergerak menggebrak permukaan meja
menimbulkan suara yang keras menggeletar membuat semua lelaki yang berdiri
tertunduk di dalam ruangan itu terjingkat kaget dan semakin ketakutan. Keringat
mengalir deras di wajah dan punggung para lelaki yang nampak sebagai pelayan
dan pegawai di rumah mewah tersebut.
Sementara itu, suara
gebrakan keras yang terdengar membuat seorang wanita berpakaian mewah dengan
dandanan tebal berlari keluar diikuti beberapa orang pelayan wanita. Wanita
yang nampak sebagai seorang nyonya rumah itu menatap si lelaki gemuk dengan
raut kaget bercampur cemas.
“Suamiku…apa yang
terjadi? Kenapa kau memukul meja demikian keras?” tanya wanita si nyonya rumah
sembari berjalan mendekati suaminya.
Namun apa yang
kemudian diterima oleh wanita berpakaian mewah dengan dandanan tebal itu
sungguh di luar dugaan!.
“Diam!...Diam kau!”
bentak si lelaki gemuk yang sangat marah itu sambil menunjuk tepat di dahi
istrinya membuat wanita yang berumur sekitar empat puluhan tahun itu seketika
berhenti melangkah dan menatap suaminya dengan ekspresi takut bercampur cemas.
“Jangan ikut campur urusanku!...Dasar perempuan!”.
Si istri yang
mendapat bentakan keras itu mundur beberapa langkah dan berjalan mendekati
seorang pegawai yang berdiri dalam ketakutan.
“Ada apa? Kenapa Tuan
Fu Han begitu marah?” tanya si nyonya rumah pada pegawainya. Nadanya yang
berbisik memuat lelaki gemuk yang dikenal sebagai saudagar Fu Han itu tidak
mendengarnya, terlebih dengan posisinya yang membelakangi istri serta para
pegawainya yang tengah ketakutan itu.
“Salah satu kapal
milik Tuan Fu telah dirampok, Nyonya. Dan para
perampok itu bukan hanya mengambil seluruh isi kapal, tapi juga menculik
para awak kapal dan kemudian membakar kapal milik Tuan Fu” tutur si pegawai dengan
nada berbisik yang sangat pelan.
Nyonya Fu Han
terkejut dan seketika berpaling menatap suaminya yang nampak tengah berusaha
mengendalikan amukan amarah dalam dirinya.
“Apa itu benar?”
tanya Nyonya Fu seraya kembali berjalan mendekati suaminya. “Berapa besar
kerugianmu suamiku?”
Saudagar Fu Han
sedikit menoleh melewati bahu, namun tidak benar-benar menatap istrinya.
“Bukan kerugian yang
kukhawatirkan, tapi masalahnya, di antara barang-barang yang hilang itu adalah
barang-barang milik Tuan Hu” sahut Saudagar Fu dengan raut murung bercampur
cemas sekaligus marah.
Nyonya Fu nyaris
terpekik saat mendengar keterangan suaminya namun wanita setengah baya yang
masih terlihat lincah dan segar itu buru-buru membekap mulutnya sendiri.
Sepasang matanya yang kecil sipit terlihat membeliak sementara benaknya telah
membayangkan hal buruk yang bisa terjadi pada keluarganya. Tuan Hu adalah
seorang pejabat tinggi istana yang selama ini menjadi pelindung keluarga besar
Fu, sekaligus melindungi semua usaha keluarga Fu Han sehingga mereka bisa
menguasai nyaris seluruh pasar di Yingtian, Beiping, Haozhou, Pingjiang,
Zhejiang dan bahkan pelabuhan di sepanjang Jiangzhou. Menghilangkan
barang-barang miliki Tuan Hu sama artinya menodai kepercayaan sang pelindung
keluarga. Dan hal seperti itu berarti sangatlah buruk karena keluarga mereka
bisa kehilangan seorang pelindung utama, lebih mengerikan lagi bila sang
pejabat istana tidak bisa memberi maaf maka itu berarti kematian bagi mereka
sekeluarga.
“Jika begitu, kenapa
kau tidak segera menghadap Tuan Hu dan memohon ampun atas kelalaian kita
suamiku? Aku yakin, jika kita segera melaporkan perampokan ini, dan mengaku
bersalah, maka Tuan Hu tidak akan terlalu marah pada kita” kata Nyonya Hu
seraya memegang lengan suaminya.
“Tapi barang-barang
yang hilang itu bukan barang-barang biasa” cetus Saudagar Fu degan raut sedih.
“Tuan Hu telah lama mempercayakan padaku untuk mengantar barang-barang itu ke
Beiping dan selama ini belum pernah gagal. Lalu, sekarang tiba-tiba semuanya
hilang dan aku tidak tahu di mana harus mencari barang-barang itu kembali. Aku
sangat takut membayangkan kemarahan Tuan Hu”.
“Justru karena selama
ini kau belum pernah gagal, maka seharusnya hal itu menjadi perhatian bagi Tuan
Hu untuk memberikan pengampunan dan tidak menurunkan tangan kejam pada kita. Sesekali
melakukan kesalahan, bukankah hal itu adalah biasa? Orang lain berkali-kali
melakukan kesalahan dan tidak ada masalah, lalu kenapa kita harus demikian
sempurna?” rajuk Nyonya Fu.
Saudagar Fu Han
berbalik dan menghadap ke arah istrinya. Pandangannya tajam berkilat, namun
sinar yang keluar dari kedalaman sepasang matanya lebih banyak meneriakkan rasa
cemas dan takut.
“Apa kau sungguh-sungguh
tidak tahu seperti apa watak Tuan Hu? Kupikir kaupun sudah memahaminya, tapi
dengan kata-kata yang kauucapkan itu, aku akhirnya tahu kalau kau sesungguhnya
tidak memahami siapa dan bagaimana Tuan Hu yang menjadi pelindung kita!” seru
Saudagar Fu pada istrinya.
“Aku hanya mengerti
bahwa Tuan Hu adalah seorang pejabat istana yang sangat baik. Setiap hari
ulangtahunku, Tuan Hu bahkan selalu mengirimkan hadiah dan perhiasan yang
sangat mahal. Apalagi yang bisa kupikirkan selain kebaikan seperti itu
suamiku?” jawab Nyonya Fu seraya mengerutkan alisnya yang tipis panjang.
Saudagar Fu
memejamkan sepasang matanya rapat-rapat. Istrinya benar-benar seorang wanita
dengan watak sebagaimana kaum wanita pada umumnya. Wanita yang sangat mudah
silau oleh kemilau perhiasan dan melupakan bahwa mungkin saja di balik gemerlap
perhiasan yang indah itu terselip sebentuk pesan yang mengandung ancaman dan
bahaya.
“Suamiku…kenapa kau
tidak menjawabku? Tuan Hu pasti tidak akan menurunkan tangan jahat pada kita.
Mungkin saja Tuan Hu akan marah, tapi aku yakin, jika kita dengan tulus memohon
ampun, maka Tuan Hu pasti akan suka memberikan pengampunan” ujar Nyonya Fu
seraya sedikit mengguncang bahu suaminya.
Saudagar Fu Han
menggelengkan kepalanya dengan pusing.
“Sudahlah, jangan
bicara lagi. Kau memang tidak tahu apa-apa selain perhiasan. Cepat siapkan
daging rusa, madu dewa, Buah Persik dan akar ginseng merah. Pilihkan yang
paling baik, aku akan membawanya untuk Tuan Hu. Mudah-mudahan, hantaran yang
kita persembahkan pada Tuan Hu akan sedikit meredakan kemarahannya dan
menyelamatkan keluarga kita” ujar Saudagar Fu Han kemudian.
Nyonya Fu mengangguk
cepat. “Baiklah, aku akan menyiapkannya sekarang”.
Saudagar Fu Han
menatap wanita yang telah menemaninya selama puluhan tahun itu berjalan
meninggalkan ruangan. Kemudian, pandangannya beralih pada beberapa lelaki
pegawai dan pelayannya yang masih berdiri menanti.
“Kalian ikutlah
denganku ke rumah Tuan Hu. Juga, bawa awak kapal yang kalian temukan itu”
perintah Saudagar Fu pada lelaki-lelaki yang berdiri di depannnya.
“Baik Tuan” sahut
para pegawai dan pelayan itu bersamaan seraya membungkukkan tubuh mereka
dalam-dalam.
“Tuan Fu” mendadak
satu pelayan mengangkat tubuhnya sebelum yang lain dan menatap majikannya.
“Ada apa?” tanya
Saudagar Fu Han dengan sorot masih menyiratkan kemarahan.
“Awak kapal yang kami
temukan itu keadaannya sangat parah. Saat ini, banyak bagian luka di tubuhnya
yang mulai membusuk karena ia lama terendam di air laut. Apakah tidak akan
berbahaya bila membawanya menghadap Tuan Hu?” tutur si pelayan dengan nada
hati-hati.
Saudagar Fu Han
sedikit tercenung. Ia juga tahu akan hal itu. Satu-satunya awak kapal yang bisa
ditemukan dalam keadaan terluka yang sangat parah mengapung di laut selama
lebih dari tiga hari. Awak kapal yang masih hidup walaupun terluka sangat parah
tersebut ditemukan oleh nelayan yang tengah mencari ikan dan kemudian sang nelayan
melaporkan keberadaan awak kapal itu kepada salah satu pegawai toko herbal
miliknya hingga akhirnya ia mendengar perihal perampokan terhadap kapal yang
memuat begitu banyak barang-barang penting tersebut.
Tetapi, jika awak
kapal itu tidak dibawa serta menghadap pejabat istana yang melindungi mereka,
maka ia tak akan memiliki saksi lain yang melihat langsung peristiwa perampokan
tersebut. Sesungguhnya, Saudagar Fu sangat berharap pada awak kapal yang
berhasil ditemukan itu. Setidaknya, dengan kesaksian dari si awak kapal, maka
Saudagar Fu Han berharap Pejabat Hu tidak akan terlalu murka dan mau memberikan
ampunan padanya. Jika ia datang pada sang pejabat dengan hanya bermodal
benda-benda hantaran, maka rasanya sungguh mustahil dapat meredakan kemarahan
Pejabat Hu.
“Tapi kita harus
membawanya karena hanya dialah yang melihat perampokan itu. Kita butuh
kesaksiannya agar Pejabat Hu mengerti bahwa kita telah berusaha sekuat tenaga
mempertahankan kapal dan barang-barang kita. Mungkin juga, awak kapal kita itu
bisa memberikan keterangan tentang perampok yang mengambil semua barang-barang
kita dan membakar kapal” sahut Saudagar Fu kemudian seraya menatap pelayannya.
“Cepat kau siapkan tandu untuk membawa awak itu, dan kalian semua bersiaplah
sekarang juga”.
Si pelayan
cepat-cepat membungkuk begitu ia mendengar perintah tuannya. Demikian juga para
pegawai dan pelayan lain yang berdiri di depan Saudagar Fu Han. Lalu, tanpa
menunggu kalimat perintah berikutnya dari tuan mereka, para lelaki yang
terlihat sangat tunduk itu segera berlalu dari dalam ruangan.
Kesunyian melingkupi
ruangan mewah di tengah rumah saudagar terkaya tersebut. Hanya tertinggal
Saudagar Fu Han yang terduduk di atas kursi kayu berukir indah. Keningnya
berkerut sementara telinganya mendengar suara-suara teriakan ketakutan dan
kecemasan dari dalam setiap debar jantungnya membuat ruang yang sunyi itu
terasa begitu riuh oleh setiap jerit ketakutan dan kecemasan yang semakin lama
semakin memuncak. Ia tahu, ia mengerti, seperti apa sesungguhnya sang pejabat
yang selama ini menjadi pelindung mereka.
************
Di bibir jurang…
Pangeran Zhu Di
melangkah ke arah kasimnya yang nampak duduk tenang di atas tanah dengan kepala
tertunduk. Desah nafas yang teratur dan raut wajah teduh Kasim Chen yang dapat
dilihatnya membuat Pangeran Zhu Di segera mengerti bahwa kasim kesayangannya
itu tengah terlarut dalam keheningan. Sesaat Pangeran Zhu Di merasa bahwa sosok
remaja bertubuh kurus yang tengah duduk di depannya tersebut bukanlah seorang
remaja yang menjadi kasimnya melainkan sesosok biksu kecil yang tengah menyatu
dengan alam dan Thian Sang Pencipta.
“Adik Chen?” panggil
Pangeran Zhu Di dengan nada pelan sembari berjongkok di sisi kasimnya.
Ketenangan yang jelas terlihat di wajah Xiao Chen serta sosok sang kasim yang
sesaat nampak seperti seorang biksu kecil bagaimanapun membuat Sang Pangeran
Keempat merasakan adanya sedikit keseganan dalam hatinya.
Xiao Chen membuka
matanya dan segera mengubah posisi duduknya hingga kini, kasim bertubuh kurus
itu duduk bersimpuh di sisi Sang Pangeran Keempat di depannya.
“Hamba Pangeran”
sahut Xiao Chen seraya membungkukkan tubuhnya.
“Tidakkah ini sudah
terlalu lama? Matahari sebentar lagi akan menghilang dan Kakak Xu serta Guanjin-moi
masih belum kembali juga. Kupikir, sebaiknya kau mencari mereka Adik Chen. Biar
aku menunggu kalian di sini. Lagipula, jika kita terlalu lama meninggalkan
rumah, maka Paman Xu Da pasti akan mencari kita. Besok adalah hari pernikahan
Kakak Zhu Biao. Aku sangat yakin Yang Mulia Kaisar pasti menginginkan kita
untuk kembali ke istana malam ini. Jika sampai malam tiba dan kita belum
kembali ke istana, lalu Yang Mulia Kaisar mengirimkan utusan untuk menjemput
kita di rumah Paman Xu Da sementara kita tidak ada di sana, maka pasti akan
timbul masalah besar. Aku tidak ingin Paman Xu Da mendapat kemarahan Yang Mulia
Kaisar karena semua ini adalah kesalahanku” tutur Pangeran Zhu Di seraya
menatap kasimnya.
Xiao Chen tersenyum
dan kembali membungkuk.
“Baik Pangeran. Hamba
akan turun sekarang untuk mencari Kakak Changyi dan Nona Xu” jawab sang kasim
sedetik kemudian membuat Sang Pangeran Keempat mengangguk.
“Kalau begitu
berangkatlah sekarang” Pangeran Zhu Di bangkit berdiri diikuti oleh
Xiao Chen lalu berjalan pelan ke arah bibir jurang. “Dengan apa kau akan turun
ke sana Adik Chen?”.
Xiao Chen berdiri di
sisi Pangeran Zhu Di dan turut menatap ke dalam jurang yang dalam tersebut.
Matahari yang mulai menggelincir menuju senja membuat gumpalan awan di dalam
jurang terlihat semakin banyak sementara hembusan angin bertiup dengan kuat,
lebih kuat daripada saat siang di mana sang matahari tepat berada di tengah
langit.
“Hamba akan turun
dengan cara sama seperti saat hamba naik Pangeran” jawab Xiao Chen.
Pangeran Zhu Di
berpaling ke arah kasimnya dengan sepasang alis berkerut.
“Kau akan turun
dengan hanya menggunakan ikat rambutmu itu?” tanya Sang Pangeran
seraya menunjuk kain tipis yang mengikat rambut Xiao Chen.
Xiao Chen tersenyum
dan kembali membungkuk.
“Hamba mohon Pangeran
menunggu sebentar di sini. Hamba berjanji tidak akan lama. Jika terjadi
sesuatu, maka berilah tanda pada hamba” berkata Xiao Chen tanpa bermaksud
mengesampingkan pertanyaan Pangeran Zhu Di sebelumnya.
“Oh,
baiklah…berhati-hatilah Adik Chen” sahut Pangeran Zhu Di saat ia melihat Xiao
Chen melangkah tepat ke tepi jurang.
Xiao Chen mengangguk
ke arah Pangeran Keempat sebelum kemudian, hanya dalam sekedip mata, sang kasim
remaja berwajah teduh itu melompat ke dalam jurang membuat sepasang mata
Pangeran Zhu Di terbelalak.
Bayangan tubuh Xiao
Chen terlihat melayang dengan cepat ke bawah dalam posisi berdiri. Alis
Pangeran Zhu Di berkerut oleh campuran rasa cemas dan takjub. Cemas saat
membayangkan bahwa kasim kurus yang sangat disayanginya itu melayang turun
begitu saja tanpa membawa benda apapun yang dapat menjadi tumpuan untuk
keselamatan diri dari hempasan dasar jurang yang entah bagaimana wujudnya.
Takjub saat ia melihat bagaimana sosok sang kasim sederhana itu melesat cepat hingga
dalam beberapa detik telah menghilang di balik gumpalan awan tebal di dasar
jurang. Pangeran Zhu Di menghela nafas seraya kembali menjatuhkan diri di atas
tanah di tepi jurang. Kini, ia hanya harus menunggu. Dan meskipun Xiao Chen
telah menjanjikan bahwa kasimnya tersebut tak akan lama, namun bagi Pangeran
Zhu Di, waktu seperti ditarik mundur ke belakang membuatnya merasa seolah ia
akan duduk menunggu dalam penantian yang sangat panjang.
*************
Di dasar jurang…
Bentangan keindahan
alam yang semakin indah oleh sinar matahari yang mulai menggelincir menuju
senja…
Namun, adakah hal
lebih indah dari saat menemukan dan ditemukan? Seolah seluruh keindahan alam
semesta tercipta di dasar kalbu, merebak dengan keharuman yang mengikat hingga
ke ujung-ujung kesadaran dalam diri Changyi dan Xu Guanjin.
Jemari tangan halus
dan lentik Xu Guanjin yang mendekap satu sisi pipi Changyi terjatuh dan
mencengkeram kerah hanfu biru pemuda di depannya saat keindahan bibir berlekuk
Changyi menjawab penantian tersembunyi gadis tersebut. Bibir yang dirasakan Xu
Guanjin masih juga memancarkan hawa panas sebagaimana tangan dan tubuh Changyi
membuat sepasang alis gadis itu berkerut dalam cemas yang hilang timbul,
tertindas rasa takjub yang meledak oleh keindahan baru yang mereka temukan dan
tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Dan kembali,
segalanya seolah terhenti pada satu titik di mana bibir kedua hati yang dimabuk
cinta itu menyatu. Riak jernih air sungai dengan kecipak ribuan ikan di
dalamnya, semilir angin yang membawa helai-helai daun menari hingga kepak sayap
kupu-kupu melenyap bersama gerak lembut bibir Changyi yang telah benar-benar
menyerah dalam tuntunan rasa mendalam yang mengalahkan seluruh kesadaran
logikanya. Segalanya kini hanya tentang Sang Bulan Purnama yang berada dalam
pelukannya. Changyi, sang matahari yang telah membutakan mata hati semua wanita
di segala penjuru Kerajaan Ming, sungguh takluk dan terhanyut dalam alunan
keharuman semesta alam di kelembutan Sang Bulan Purnama, menggelapkan langit
saat rembulan yang mabuk kepayang tersebut benar-benar menutupi bias cahaya
sang matahari dengan kerinduan dan ketakjuban yang meluap, menyatu dalam irama detak
jantung keduanya, menghentak hingga ke ujung-ujung jemari yang terjauh.
Hingga kemudian…
Xu Changyi mengangkat
sedikit wajahnya dan menatap raut purnama gadis yang dalam sekedip mata telah
mengikat jiwanya. Sepasang tangan pemuda itu terulur dan menggunakan ibu
jarinya untuk mengusap alis Xu Guanjin yang berkerut membuat gadis yang masih
terhanyut dalam ketakjuban itu membuka sepasang mata bintangnya.
“Xu-moi…kau
mencemaskan sesuatu?” tanya Changyi seraya meneliti hingga ke dalam sepasang
mata yang mengerjab oleh rasa malu dan kagum. “Kenapa alismu berkerut begitu
dalam?”.
“Changyi-ko…” bisik
Xu Guanjin sehalus angin, masih tersengal oleh getaran cinta terkuat yang baru
saja mengguncang keduanya. “Tubuhmu sungguh panas sekali. Kupikir Changyi-ko
benar-benar sakit”.
Changyi menggeleng.
“Tidak Xu-moi…aku
tidak merasa sakit. Hanya rasa panas saja dan ini akan hilang nantinya. Pasti
begitu. Jangan mengerutkan alismu karena mencemaskan diriku” jawab Changyi
seraya mengusap sepasang alis Xu Guanjin yang kembali berkerut.
“Ada ramuan obat di
rumah. Mestinya bisa kuambil untukmu Changyi-ko” desah Xu Guanjin membuat
Changyi segera teringat di mana mereka kini berada. Pandangan mata pemuda itu
beredar ke sekeliling kemudian terhenti pada gugusan asap awan yang menutupi
pandangan mereka dari bagian atas tebing.
“Ah..Xu-moi, kau
benar! Sekarang kita berada di dasar jurang, mestinya kita segera mencari jalan
untuk keluar dari sini tapi kita malah…”
Kalimat Changyi
terhenti dan pemuda itu seketika mengalihkan pandangan matanya dari gugusan
awan ke wajah purnama jelita di sisinya. Dalam sekejab, ingatan tentang
keindahan yang beberapa detik lalu mengguncang mereka kembali melintas membuat
Changyi merasa salah tingkah.
Xu Guanjin
menelengkan kepala saat Changyi tak meneruskan kalimatnya.
“Malah kenapa
Changyi-ko? Apa yang ingin kau katakan? Kenapa berhenti?”
“Oh..itu, maksudku
mestinya kita segera mencari jalan untuk keluar dari sini tapi aku justru
me…me…”
“Me…apa? Kenapa kau
jadi demikian aneh Changyi-ko? Apa karena tubuhmu sangat panas? Apa yang kau
maksudkan? Biarkan aku memeriksamu Changyi-ko” sepasang alis indah Xu Guanjin
terangkat naik. Tangannya terulur hendak menyentuh dahi Changyi namun, untuk
kali ini, pemuda berparas rupawan itu mengelakkan kepalanya membuat Guanjin
terheran-heran. Sebersit rasa kecewa menyusup di hati gadis itu saat ia merasa
bahwa Changyi telah menolaknya. Sebentuk bibir tipis ranum Xu Guanjin
mencemberut sementara ia memalingkan wajahnya menatap sungai berair jernih
membuat Changyi semakin gugup saat ia membaca kekecewaan tergambar dengan jelas
di wajah yang telah mengikat jiwanya itu.
“Xu-moi?” panggil
Changyi seraya memperhatikan Guanjin, melihat gadis itu mulai melangkah ke arah
tepi sungai, pada bagian di mana banyak bebatuan hitam berderet tak beraturan.
Tak ada jawaban keluar dari bibir gadis itu membuat Changyi segera berjalan
mengikuti Xu Guanjin. “Xu-moi, kau hendak kemanakah?”
Masih tak ada jawaban
dari bibir Xu Guanjin sementara gadis itu terlihat melangkah ke atas batu di
tepi sungai lalu melompat ke atas batu lain di depan batu pertama. Changyi yang
berdiri di belakang Xu Guanjin dapat melihat bahwa batu yang dipilih oleh gadis
itu bukanlah batuan yang stabil sehingga ketika Xu Guanjin menginjaknya, maka
batu hitam berkilat itu segera bergerak.
“Xu-moi!” teriak Xu
Changyi saat melihat tubuh Guanjin oleng ke arah sungai. Dalam sekejab, tubuh
Xu Changyi lenyap saat ia berkelebat cepat ke arah Xu Guanjin dan menangkap
tubuh gadis itu sebelum batuan hitam yang rapuh melemparkan gadis itu ke tengah
sungai.
Xu Guanjin sangat
terkejut saat merasakan batu yang dipijaknya ternyata rapuh. Ia bermaksud untuk
berbalik namun batu yang rapuh itu telah bergulir membuatnya merasakan dunia
seolah berputar lalu permukaan air sungai bergerak mendekat dengan sangat
cepat, seperti hendak menelannya membuat gadis itu memejamkan matanya. Namun,
bukanlah hempasan air dingin yang kemudian dirasakan oleh Guanjin melainkan sepasang
tangan yang menariknya dengan sangat kuat.
Saat kemudian gadis
itu membuka matanya ia melihat dirinya telah berada dalam pondongan Changyi
sementara pemuda itu terlihat berdiri pada bongkahan batu yang semula menjadi
tempatnya berpijak dan nyaris melemparnya ke tengah sungai. Xu Guanjin menatap
ke bawah, pada batu rapuh yang mestinya akan langsung menggelinding ke tengah
sungai terlebih dengan beban dua orang yang berdiri di atasnya. Namun, batu
tersebut justru terlihat diam tak bergeming. Lebih aneh lagi, aliran air yang
mestinya bergolak di sekitar batu tersebut terlihat tenang dan diam hingga air
sungai di sekeliling batu yang dipijak oleh sepasang kaki Changyi terlihat
seperti permukaan air yang tengah tertidur. Tak ada gerakan sama sekali
sementara aliran sungai lainnya mengalir pada jarak satu jengkal dari batas air
yang tertidur tersebut, bergerak ringan dan lancar membentuk lingkaran air yang
bergemericik ceria.
“Ah..air itu..kenapa
jadi begitu?” gumam Xu Guanjin dalam keheranannya hingga sama sekali lupa bahwa
pada saat ini ia tengah berada dalam pondongan Xu Changyi. Cemberut di bibirnya
terurai begitu saja dalam rasa heran bercampur kagum yang menyusupi hatinya.
“Xu-moi?...sebenarnya
kau hendak kemana? Mengapa kau tak menjawab panggilanku?” tanya Changyi
tepat di sisi kening Xu Guanjin membuat gadis itu terperanjat dan seketika
teringat di mana ia berada sekaligus teringat kembali pada kekecewaan hatinya.
“Bukankah kau
mengatakan kita harus segera mencari jalan keluar dari tempat ini Changyi-ko?
Dan inilah aku yang sedang berusaha mencari jalan keluar karena kita tidak
mungkin untuk keluar dari jurang ini dengan jalan mendaki tebing yang sangat
tinggi itu” sungut Xu Guanjin seraya mengangkat wajahnya untuk menatap Changyi
sekilas, namun segera gadis itu memalingkan wajahnya saat pandangannya bertemu
dengan sepasang mata pemuda itu yang dalam sekedip mata membuat jantungnya
kembali berdetak keras.
“Itu memang benar
Xu-moi, tapi kupikir kita bisa saja memanjat kembali tebing itu untuk kembali
ke atas” jawab Changyi, sekilas melirik dinding tebing di belakang mereka.
“Dengan apa? Kita
tidak punya tali untuk naik ke atas. Dan lagipula, aku tidak bisa memanjat
seperti Adik Miaojin. Aku juga tidak ingin merepotkanmu Changyi-ko. Apalagi
dengan tubuhmu yang sangat panas ini tapi kau tidak mengijinkan aku
memeriksamu. Jadi lebih baik aku menyeberangi sungai ini, siapa tahu ada jalan
memutar yang tak mengharuskanku memanjat demikian tinggi dan merepotkanmu” Xu
Guanjin.
Changyi terdiam.
Mendadak ia mengerti arti dari diamnya Xu Guanjin. Meskipun sesungguhnya, ia
mengelak saat gadis itu hendak menyentuh dahinya adalah karena ia menyadari apa
yang baru saja terjadi di antara mereka dan hal itu bagaimanapun membuat
Changyi merasa telah melanggar batas. Kesadaran yang datang karena sesungguhnya
ia selalu mengingat siapa adanya dirinya, dan sebesar apa hutang budinya pada
Jenderal Xu Da. Namun, di sisi lain, Changyi juga menyadari sepenuhnya, bahwa
ia kini telah benar-benar terikat pada Xu Guanjin dan sungguh tidak berdaya
menghadapi segala pesona gadis itu. Bagaimana ia bisa menahan diri dan
kesadaran logikanya jika gadis itu berada begitu dekat dengannya, menyentuhnya
dan ia dapat menghirup seluruh keharuman yang memabukkan dari sekujur tubuh
gadis itu…seperti saat ini?.
“Baiklah…kita akan
mencoba mencari jalan lain Xu-moi. Tapi…berjanjilah padaku untuk tidak
melangkah sendiri seperti tadi. Kita belum mengenal tempat ini dan aku tak
ingin kau terjatuh lagi” ujar Changyi kemudian. Nada suaranya yang lembut
nyaris berbisik membuat Xu Guanjin menengadah dan menatap pemuda yang
memondongnya. Suara lembut yang sesungguhnya merupakan bentuk penyerahan
Changyi pada pesona Guanjin yang kembali menyergapnya, namun sekaligus,
penyerahan pemuda itu justru membuat Xu Guanjin semakin terhanyut dalam
gelombang asmara yang menguat dan terus menguat membuat gadis itu mengangguk
nyaris di luar kesadarannya.
“Maafkan aku
Changyi-ko” sahut Xu Guanjin berbisik.
“Dan jangan
mencemaskan diriku Xu-moi karena aku lebih mencemaskan dirimu saat kau terus
mencemaskanku seperti itu. Aku akan baik-baik saja selama kaupun baik-baik saja.
Bisakah kau mempercayaiku tentang hal itu?” tanya Changyi memandang lurus ke
dalam sepasang mata bintang Xu Guanjin.
Kembali Guanjin
mengangguk.
“Selama kau
mengijinkanku untuk memeriksamu Changyi-ko…hanya agar hatiku menjadi tenang”.
Changyi tertawa mendengar
jawaban yang meluncur dari mulut mungil yang menempel di dadanya. Sesaat Xu
Guanjin bagai dilambungkan oleh rasa terpesona melihat tawa sang matahari yang
mendekapnya.
“Baiklah Xu-moi, aku
berjanji selama hidupku hingga akhir hayatku hanya kau yang kuijinkan untuk
memeriksaku” ujar Changyi kemudian dengan senyum menawan terukir di atas
bibirnya yang berlekuk sempurna.
Sepasang mata Xu
Guanjin membesar beberapa detik mendengar kalimat janji yang didengarnya keluar
dari mulut Changyi. Bibirnya mengerucut dengan ekspresi menguji.
“Sungguhkah kau
mengatakan hal itu Changyi-ko?”
Changyi mengangguk
tegas. Sepasang mata jernihnya berkilau tajam.
“Aku seorang prajurit
Xu-moi, dan seorang prajurit selalu menjaga janji dengan nyawanya”.
Xu Guanjin menatap Changyi
jauh-jauh ke dalam mata pemuda itu hingga kemudian, jemari Xu Guanjin terangkat
dan bergerak ke arah pelipis Changyi. Sejenak, jemari lentik indah itu terhenti
di udara, mengukur sejauh mana ia akan diijinkan untuk menyentuh keindahan yang
memabukkan pemuda di depannya. Lalu, saat tak terlihat sedikitpun tanda-tanda
Changyi akan menggerakkan kepalanya untuk mengelak sebagaimana sebelumnya, maka
jemari yang sedikit gemetar karena terhenti di udara itu meneruskan geraknya
menyentuh satu bagian indah di wajah Changyi, mengusap lembut lalu berhenti.
Changyi menatap gadis
yang tengah mabuk kepayang dalam pondongannya itu dengan kecamuk rasa. Sungguh,
bagaimana ia kini bisa mengabaikan Xu Guanjin dengan mengatas namakan logika
sementara ia sendiri mesti sekuat tenaga menahan hentakan cinta yang
seolah-olah hendak memecahkan dadanya ini? Dengan gadis itu berada dalam
dekapannya, menempel erat di dadanya hingga ia bisa dengan jelas mendengar irama
detak jantung gadis itu menggelepar dalam amukan rasa cinta yang sangat jelas
dan tak bisa lagi disembunyikan seperti sekarang, maka Changyi hanya mengerti
satu hal. Dan satu hal itu jelas tak akan pernah dapat diingkarinya sebab jika
ia mengingkarinya maka ia pasti akan mati.
Dan hal itu adalah
bahwa ia akan melakukan apapun untuk gadis dalam dekapannya ini.
Apapun…bahkan andai
hal itu akan membuatnya harus melepas nyawa!.
“Kita akan mencoba
mencari jalan memutar Xu-moi. Berpeganglah, aku akan membawamu menyeberangi
sungai ini” bisik Changyi di ujung kening Xu Guanjin membuat jemari gadis itu
terjatuh dari pelipis indah yang didekapnya dan kemudian berhenti di atas dada
bidang Changyi, mencengkeram kerah hanfu pemuda itu sementara kepalanya
mengangguk samar sebelum kemudian kepala berhias rambut panjang tergerai yang membawa
keharuman sejuta bunga musim semi bersandar di atas dada di sisi kepalanya
membuat jantung Xu Changyi bagai disentakkan oleh sebuah kekuatan yang sangat
dahsyat.
Kekuatan yang dengan
sangat cepat membaur dalam aliran ginkang yang nyaris sempurna, membuat tubuh
pemuda itu segera melesat demikian ia mengentakkan satu kakinya dengan lembut
ke atas batu rapuh tempatnya berpijak. Tak terlihat gambaran tubuh Changyi yang
memondong Xu Guanjin di dadanya. Hanya sebuah bayangan biru melintas cepat di
atas sungai hingga mencapai seberang dalam sedetik, kemudian, tanpa membuat
jeda untuk berhenti, bayangan biru yang sangat indah itu terus menyelinap di
antara batang-batang tinggi dan besar pohon pinus, meninggalkan area sungai
yang menjadi saksi berkobarnya sebuah cinta yang sangat kuat dalam hati dua
manusia. Cinta yang sesungguhnya merupakan pengejawantahan dari kekuatan alam
itu sendiri, hingga, saat kekuatan sebuah cinta yang terlalu besar itu tak lagi
dapat ditanggung oleh hati, jiwa dan tubuh maka cinta yang terlahir dari
kekuatan alam tersebut akan mencari jalannya sendiri untuk mendapatkan
kesempatan menyatu dan mencipta keharmonisan sebagaimana seharusnya hukum di
alam semesta berlaku…
Sementara itu, hanya
berjarak satu detik setelah bayangan biru indah Xu Changyi yang memondong Xu Guanjin
menghilang di balik hijaunya hutan pinus, sebuah bayangan lain terlihat melesat
turun dari balik awan yang menutupi bagian tengah jurang. Bayangan putih
seorang remaja berwajah teduh yang sangat ringan seolah tubuh remaja tersebut
hanyalah sehelai bulu.
Dan remaja berwajah
teduh itu mendarat tanpa meninggalkan suara di atas bebatuan.
Sepasang matanya yang bening berkelebat menatap seluruh area dasar jurang, pada
bunga-bunga indah mengembang dengan keharuman yang membubung di udara, pada kecipak
ekor ikan-ikan yang terus menari di dalam kejernihan air sungai serta kehijauan
yang megah hutan pinus.
Namun apa yang
dicarinya ternyata tak tertangkap dalam pandang matanya membuat kepala remaja
yang menggunakan kain putih kecil untuk mengikat rambutnya itu bergerak
mencari.
“Kakak?! Kakak
Changyi?!...Nona Xu?!...di mana kalian?” panggil remaja tersebut sembari
melangkah mendekati tepian sungai. Langkahnya terlihat biasa namun, sedikitpun
tak terlihat suara di setiap pijakan kakinya ataupun gerak terganggu ujung-ujung
rerumputan yang mestinya berubah setelah terinjak oleh sepasang kakinya.
Remaja tersebut
kemudian berhenti pada tepian sungai, menatap kedua ujung sungai dengan alis
berkerut mencoba menebak arah yang mesti ditempuhnya. Mestikah ia menyusuri
hulu sungai? Ataukah justru arah hilir yang paling tepat?
“Kakak Changyi?!
Kakak di mana? Aku Xiao Chen mencarimu!” teriak remaja yang dikenal sebagai
kasim kesayangan Pangeran Zhu Di tersebut.
Namun tak terdengar
apapun yang kembali ke telinga Xiao Chen selain suara keindahan alam yang
menakjubkan di sekelilingnya. Kasim remaja tersebut kembali melangkah.
Pilihannya tertuju ke arah hilir yang dalam penglihatannya terlihat lebih
terang dengan ukuran sungai melebar.
Tetapi, belum lagi
tiga langkah kakinya berjalan, mendadak Xiao Chen berhenti dan pandangannya
tertuju pada sebongkah batu hitam yang terlihat menggelinding pelan di tengah
sungai. Sebongkah batu yang jelas terlepas dari cengkeraman tanah dasar sungai
karena suatu sebab dan kemudian, aliran sungai membawanya menggelinding ke arah
tengah.
Kembali alis Xiao
Chen berkerut saat ia mulai memikirkan penyebab lepasnya batu hitam yang
mestinya tertanam dengan kuat pada tanah dasar sungai tersebut, hingga beberapa
detik kemudian, sepasang mata bening remaja itu melayang ke arah seberang, pada
kerimbunan hijau hutan pinus dengan
batang-batangnya yang besar dan tinggi menjulang. Sebuah binar menyembul
dari sepasang mata bening Xiao Chen saat ia menemukan jawaban atas bergesernya
posisi batu hitam ke tengah sungai.
“Kakak?!...Nona Xu?!”
panggil Xiao Chen sekali lagi. Panggilan yang tertinggal pada tempatnya berdiri
di tepian sungai sementara tubuhnya sendiri telah melenyap dalam bentuk
bayangan putih yang melesat bagai kilat menyeberangi sungai, kemudian, sebagaimana
halnya bayangan biru indah Xu Changyi yang terus menyelinap di balik
batang-batang pepohonan pinus, bayangan putih Xiao Chen-pun segera hilang di
balik kehijauan yang menyimpan misteri dalam keindahannya yang megah…
***********
Tidak ada komentar:
Posting Komentar