Minggu, 13 Maret 2016

Straight - Episode 6 ( Bagian Dua )


Di sebuah rumah mewah di kotaraja Yingtian…
Seorang pria bertubuh gemuk terlihat sangat marah. Tubuhnya yang bertimbun lemak dalam balutan hanfu mewah berwarna merah terlihat berjalan mondar mandir dengan hentakan kaki yang keras sementara beberapa orang lelaki berdiri di sekitarnya dengan kepala tertunduk ketakutan. Sekali, lelaki gemuk tersebut berhenti pada satu meja besar kemudian tangannya yang besar gemuk bergerak menggebrak permukaan meja menimbulkan suara yang keras menggeletar membuat semua lelaki yang berdiri tertunduk di dalam ruangan itu terjingkat kaget dan semakin ketakutan. Keringat mengalir deras di wajah dan punggung para lelaki yang nampak sebagai pelayan dan pegawai di rumah mewah tersebut.
Sementara itu, suara gebrakan keras yang terdengar membuat seorang wanita berpakaian mewah dengan dandanan tebal berlari keluar diikuti beberapa orang pelayan wanita. Wanita yang nampak sebagai seorang nyonya rumah itu menatap si lelaki gemuk dengan raut kaget bercampur cemas.
“Suamiku…apa yang terjadi? Kenapa kau memukul meja demikian keras?” tanya wanita si nyonya rumah sembari berjalan mendekati suaminya.
Namun apa yang kemudian diterima oleh wanita berpakaian mewah dengan dandanan tebal itu sungguh di luar dugaan!.
“Diam!...Diam kau!” bentak si lelaki gemuk yang sangat marah itu sambil menunjuk tepat di dahi istrinya membuat wanita yang berumur sekitar empat puluhan tahun itu seketika berhenti melangkah dan menatap suaminya dengan ekspresi takut bercampur cemas. “Jangan ikut campur urusanku!...Dasar perempuan!”.
Si istri yang mendapat bentakan keras itu mundur beberapa langkah dan berjalan mendekati seorang pegawai yang berdiri dalam ketakutan.
“Ada apa? Kenapa Tuan Fu Han begitu marah?” tanya si nyonya rumah pada pegawainya. Nadanya yang berbisik memuat lelaki gemuk yang dikenal sebagai saudagar Fu Han itu tidak mendengarnya, terlebih dengan posisinya yang membelakangi istri serta para pegawainya yang tengah ketakutan itu.
“Salah satu kapal milik Tuan Fu telah dirampok, Nyonya. Dan para  perampok itu bukan hanya mengambil seluruh isi kapal, tapi juga menculik para awak kapal dan kemudian membakar kapal milik Tuan Fu” tutur si pegawai dengan nada berbisik yang sangat pelan.
Nyonya Fu Han terkejut dan seketika berpaling menatap suaminya yang nampak tengah berusaha mengendalikan amukan amarah dalam dirinya.
“Apa itu benar?” tanya Nyonya Fu seraya kembali berjalan mendekati suaminya. “Berapa besar kerugianmu suamiku?”
Saudagar Fu Han sedikit menoleh melewati bahu, namun tidak benar-benar menatap istrinya.
“Bukan kerugian yang kukhawatirkan, tapi masalahnya, di antara barang-barang yang hilang itu adalah barang-barang milik Tuan Hu” sahut Saudagar Fu dengan raut murung bercampur cemas sekaligus marah.
Nyonya Fu nyaris terpekik saat mendengar keterangan suaminya namun wanita setengah baya yang masih terlihat lincah dan segar itu buru-buru membekap mulutnya sendiri. Sepasang matanya yang kecil sipit terlihat membeliak sementara benaknya telah membayangkan hal buruk yang bisa terjadi pada keluarganya. Tuan Hu adalah seorang pejabat tinggi istana yang selama ini menjadi pelindung keluarga besar Fu, sekaligus melindungi semua usaha keluarga Fu Han sehingga mereka bisa menguasai nyaris seluruh pasar di Yingtian, Beiping, Haozhou, Pingjiang, Zhejiang dan bahkan pelabuhan di sepanjang Jiangzhou. Menghilangkan barang-barang miliki Tuan Hu sama artinya menodai kepercayaan sang pelindung keluarga. Dan hal seperti itu berarti sangatlah buruk karena keluarga mereka bisa kehilangan seorang pelindung utama, lebih mengerikan lagi bila sang pejabat istana tidak bisa memberi maaf maka itu berarti kematian bagi mereka sekeluarga.
“Jika begitu, kenapa kau tidak segera menghadap Tuan Hu dan memohon ampun atas kelalaian kita suamiku? Aku yakin, jika kita segera melaporkan perampokan ini, dan mengaku bersalah, maka Tuan Hu tidak akan terlalu marah pada kita” kata Nyonya Hu seraya memegang lengan suaminya.
“Tapi barang-barang yang hilang itu bukan barang-barang biasa” cetus Saudagar Fu degan raut sedih. “Tuan Hu telah lama mempercayakan padaku untuk mengantar barang-barang itu ke Beiping dan selama ini belum pernah gagal. Lalu, sekarang tiba-tiba semuanya hilang dan aku tidak tahu di mana harus mencari barang-barang itu kembali. Aku sangat takut membayangkan kemarahan Tuan Hu”.
“Justru karena selama ini kau belum pernah gagal, maka seharusnya hal itu menjadi perhatian bagi Tuan Hu untuk memberikan pengampunan dan tidak menurunkan tangan kejam pada kita. Sesekali melakukan kesalahan, bukankah hal itu adalah biasa? Orang lain berkali-kali melakukan kesalahan dan tidak ada masalah, lalu kenapa kita harus demikian sempurna?” rajuk Nyonya Fu.
Saudagar Fu Han berbalik dan menghadap ke arah istrinya. Pandangannya tajam berkilat, namun sinar yang keluar dari kedalaman sepasang matanya lebih banyak meneriakkan rasa cemas dan takut.
“Apa kau sungguh-sungguh tidak tahu seperti apa watak Tuan Hu? Kupikir kaupun sudah memahaminya, tapi dengan kata-kata yang kauucapkan itu, aku akhirnya tahu kalau kau sesungguhnya tidak memahami siapa dan bagaimana Tuan Hu yang menjadi pelindung kita!” seru Saudagar Fu pada istrinya.
“Aku hanya mengerti bahwa Tuan Hu adalah seorang pejabat istana yang sangat baik. Setiap hari ulangtahunku, Tuan Hu bahkan selalu mengirimkan hadiah dan perhiasan yang sangat mahal. Apalagi yang bisa kupikirkan selain kebaikan seperti itu suamiku?” jawab Nyonya Fu seraya mengerutkan alisnya yang tipis panjang.
Saudagar Fu memejamkan sepasang matanya rapat-rapat. Istrinya benar-benar seorang wanita dengan watak sebagaimana kaum wanita pada umumnya. Wanita yang sangat mudah silau oleh kemilau perhiasan dan melupakan bahwa mungkin saja di balik gemerlap perhiasan yang indah itu terselip sebentuk pesan yang mengandung ancaman dan bahaya.
“Suamiku…kenapa kau tidak menjawabku? Tuan Hu pasti tidak akan menurunkan tangan jahat pada kita. Mungkin saja Tuan Hu akan marah, tapi aku yakin, jika kita dengan tulus memohon ampun, maka Tuan Hu pasti akan suka memberikan pengampunan” ujar Nyonya Fu seraya sedikit mengguncang bahu suaminya.
Saudagar Fu Han menggelengkan kepalanya dengan pusing.
“Sudahlah, jangan bicara lagi. Kau memang tidak tahu apa-apa selain perhiasan. Cepat siapkan daging rusa, madu dewa, Buah Persik dan akar ginseng merah. Pilihkan yang paling baik, aku akan membawanya untuk Tuan Hu. Mudah-mudahan, hantaran yang kita persembahkan pada Tuan Hu akan sedikit meredakan kemarahannya dan menyelamatkan keluarga kita” ujar Saudagar Fu Han kemudian.
Nyonya Fu mengangguk cepat. “Baiklah, aku akan menyiapkannya sekarang”.
Saudagar Fu Han menatap wanita yang telah menemaninya selama puluhan tahun itu berjalan meninggalkan ruangan. Kemudian, pandangannya beralih pada beberapa lelaki pegawai dan pelayannya yang masih berdiri menanti.
“Kalian ikutlah denganku ke rumah Tuan Hu. Juga, bawa awak kapal yang kalian temukan itu” perintah Saudagar Fu pada lelaki-lelaki yang berdiri di depannnya.
“Baik Tuan” sahut para pegawai dan pelayan itu bersamaan seraya membungkukkan tubuh mereka dalam-dalam.
“Tuan Fu” mendadak satu pelayan mengangkat tubuhnya sebelum yang lain dan menatap majikannya.
“Ada apa?” tanya Saudagar Fu Han dengan sorot masih menyiratkan kemarahan.
“Awak kapal yang kami temukan itu keadaannya sangat parah. Saat ini, banyak bagian luka di tubuhnya yang mulai membusuk karena ia lama terendam di air laut. Apakah tidak akan berbahaya bila membawanya menghadap Tuan Hu?” tutur si pelayan dengan nada hati-hati.
Saudagar Fu Han sedikit tercenung. Ia juga tahu akan hal itu. Satu-satunya awak kapal yang bisa ditemukan dalam keadaan terluka yang sangat parah mengapung di laut selama lebih dari tiga hari. Awak kapal yang masih hidup walaupun terluka sangat parah tersebut ditemukan oleh nelayan yang tengah mencari ikan dan kemudian sang nelayan melaporkan keberadaan awak kapal itu kepada salah satu pegawai toko herbal miliknya hingga akhirnya ia mendengar perihal perampokan terhadap kapal yang memuat begitu banyak barang-barang penting tersebut.
Tetapi, jika awak kapal itu tidak dibawa serta menghadap pejabat istana yang melindungi mereka, maka ia tak akan memiliki saksi lain yang melihat langsung peristiwa perampokan tersebut. Sesungguhnya, Saudagar Fu sangat berharap pada awak kapal yang berhasil ditemukan itu. Setidaknya, dengan kesaksian dari si awak kapal, maka Saudagar Fu Han berharap Pejabat Hu tidak akan terlalu murka dan mau memberikan ampunan padanya. Jika ia datang pada sang pejabat dengan hanya bermodal benda-benda hantaran, maka rasanya sungguh mustahil dapat meredakan kemarahan Pejabat Hu.
“Tapi kita harus membawanya karena hanya dialah yang melihat perampokan itu. Kita butuh kesaksiannya agar Pejabat Hu mengerti bahwa kita telah berusaha sekuat tenaga mempertahankan kapal dan barang-barang kita. Mungkin juga, awak kapal kita itu bisa memberikan keterangan tentang perampok yang mengambil semua barang-barang kita dan membakar kapal” sahut Saudagar Fu kemudian seraya menatap pelayannya. “Cepat kau siapkan tandu untuk membawa awak itu, dan kalian semua bersiaplah sekarang juga”.
Si pelayan cepat-cepat membungkuk begitu ia mendengar perintah tuannya. Demikian juga para pegawai dan pelayan lain yang berdiri di depan Saudagar Fu Han. Lalu, tanpa menunggu kalimat perintah berikutnya dari tuan mereka, para lelaki yang terlihat sangat tunduk itu segera berlalu dari dalam ruangan.
Kesunyian melingkupi ruangan mewah di tengah rumah saudagar terkaya tersebut. Hanya tertinggal Saudagar Fu Han yang terduduk di atas kursi kayu berukir indah. Keningnya berkerut sementara telinganya mendengar suara-suara teriakan ketakutan dan kecemasan dari dalam setiap debar jantungnya membuat ruang yang sunyi itu terasa begitu riuh oleh setiap jerit ketakutan dan kecemasan yang semakin lama semakin memuncak. Ia tahu, ia mengerti, seperti apa sesungguhnya sang pejabat yang selama ini menjadi pelindung mereka.
************

 Di bibir jurang…
Pangeran Zhu Di melangkah ke arah kasimnya yang nampak duduk tenang di atas tanah dengan kepala tertunduk. Desah nafas yang teratur dan raut wajah teduh Kasim Chen yang dapat dilihatnya membuat Pangeran Zhu Di segera mengerti bahwa kasim kesayangannya itu tengah terlarut dalam keheningan. Sesaat Pangeran Zhu Di merasa bahwa sosok remaja bertubuh kurus yang tengah duduk di depannya tersebut bukanlah seorang remaja yang menjadi kasimnya melainkan sesosok biksu kecil yang tengah menyatu dengan alam dan Thian Sang Pencipta.
“Adik Chen?” panggil Pangeran Zhu Di dengan nada pelan sembari berjongkok di sisi kasimnya. Ketenangan yang jelas terlihat di wajah Xiao Chen serta sosok sang kasim yang sesaat nampak seperti seorang biksu kecil bagaimanapun membuat Sang Pangeran Keempat merasakan adanya sedikit keseganan dalam hatinya.
Xiao Chen membuka matanya dan segera mengubah posisi duduknya hingga kini, kasim bertubuh kurus itu duduk bersimpuh di sisi Sang Pangeran Keempat di depannya.
“Hamba Pangeran” sahut Xiao Chen seraya membungkukkan tubuhnya.
“Tidakkah ini sudah terlalu lama? Matahari sebentar lagi akan menghilang dan Kakak Xu serta Guanjin-moi masih belum kembali juga. Kupikir, sebaiknya kau mencari mereka Adik Chen. Biar aku menunggu kalian di sini. Lagipula, jika kita terlalu lama meninggalkan rumah, maka Paman Xu Da pasti akan mencari kita. Besok adalah hari pernikahan Kakak Zhu Biao. Aku sangat yakin Yang Mulia Kaisar pasti menginginkan kita untuk kembali ke istana malam ini. Jika sampai malam tiba dan kita belum kembali ke istana, lalu Yang Mulia Kaisar mengirimkan utusan untuk menjemput kita di rumah Paman Xu Da sementara kita tidak ada di sana, maka pasti akan timbul masalah besar. Aku tidak ingin Paman Xu Da mendapat kemarahan Yang Mulia Kaisar karena semua ini adalah kesalahanku” tutur Pangeran Zhu Di seraya menatap kasimnya.
Xiao Chen tersenyum dan kembali membungkuk.
“Baik Pangeran. Hamba akan turun sekarang untuk mencari Kakak Changyi dan Nona Xu” jawab sang kasim sedetik kemudian membuat Sang Pangeran Keempat mengangguk.
“Kalau begitu berangkatlah sekarang” Pangeran Zhu Di bangkit berdiri diikuti oleh Xiao Chen lalu berjalan pelan ke arah bibir jurang. “Dengan apa kau akan turun ke sana Adik Chen?”.
Xiao Chen berdiri di sisi Pangeran Zhu Di dan turut menatap ke dalam jurang yang dalam tersebut. Matahari yang mulai menggelincir menuju senja membuat gumpalan awan di dalam jurang terlihat semakin banyak sementara hembusan angin bertiup dengan kuat, lebih kuat daripada saat siang di mana sang matahari tepat berada di tengah langit.
“Hamba akan turun dengan cara sama seperti saat hamba naik Pangeran” jawab Xiao Chen.
Pangeran Zhu Di berpaling ke arah kasimnya dengan sepasang alis berkerut.
“Kau akan turun dengan hanya menggunakan ikat rambutmu itu?” tanya Sang Pangeran seraya menunjuk kain tipis yang mengikat rambut Xiao Chen.
Xiao Chen tersenyum dan kembali membungkuk.
“Hamba mohon Pangeran menunggu sebentar di sini. Hamba berjanji tidak akan lama. Jika terjadi sesuatu, maka berilah tanda pada hamba” berkata Xiao Chen tanpa bermaksud mengesampingkan pertanyaan Pangeran Zhu Di sebelumnya.
“Oh, baiklah…berhati-hatilah Adik Chen” sahut Pangeran Zhu Di saat ia melihat Xiao Chen melangkah tepat ke tepi jurang.
Xiao Chen mengangguk ke arah Pangeran Keempat sebelum kemudian, hanya dalam sekedip mata, sang kasim remaja berwajah teduh itu melompat ke dalam jurang membuat sepasang mata Pangeran Zhu Di terbelalak.
Bayangan tubuh Xiao Chen terlihat melayang dengan cepat ke bawah dalam posisi berdiri. Alis Pangeran Zhu Di berkerut oleh campuran rasa cemas dan takjub. Cemas saat membayangkan bahwa kasim kurus yang sangat disayanginya itu melayang turun begitu saja tanpa membawa benda apapun yang dapat menjadi tumpuan untuk keselamatan diri dari hempasan dasar jurang yang entah bagaimana wujudnya. Takjub saat ia melihat bagaimana sosok sang kasim sederhana itu melesat cepat hingga dalam beberapa detik telah menghilang di balik gumpalan awan tebal di dasar jurang. Pangeran Zhu Di menghela nafas seraya kembali menjatuhkan diri di atas tanah di tepi jurang. Kini, ia hanya harus menunggu. Dan meskipun Xiao Chen telah menjanjikan bahwa kasimnya tersebut tak akan lama, namun bagi Pangeran Zhu Di, waktu seperti ditarik mundur ke belakang membuatnya merasa seolah ia akan duduk menunggu dalam penantian yang sangat panjang.
*************
Di dasar jurang…
Bentangan keindahan alam yang semakin indah oleh sinar matahari yang mulai menggelincir menuju senja…
Namun, adakah hal lebih indah dari saat menemukan dan ditemukan? Seolah seluruh keindahan alam semesta tercipta di dasar kalbu, merebak dengan keharuman yang mengikat hingga ke ujung-ujung kesadaran dalam diri Changyi dan Xu Guanjin.
Jemari tangan halus dan lentik Xu Guanjin yang mendekap satu sisi pipi Changyi terjatuh dan mencengkeram kerah hanfu biru pemuda di depannya saat keindahan bibir berlekuk Changyi menjawab penantian tersembunyi gadis tersebut. Bibir yang dirasakan Xu Guanjin masih juga memancarkan hawa panas sebagaimana tangan dan tubuh Changyi membuat sepasang alis gadis itu berkerut dalam cemas yang hilang timbul, tertindas rasa takjub yang meledak oleh keindahan baru yang mereka temukan dan tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Dan kembali, segalanya seolah terhenti pada satu titik di mana bibir kedua hati yang dimabuk cinta itu menyatu. Riak jernih air sungai dengan kecipak ribuan ikan di dalamnya, semilir angin yang membawa helai-helai daun menari hingga kepak sayap kupu-kupu melenyap bersama gerak lembut bibir Changyi yang telah benar-benar menyerah dalam tuntunan rasa mendalam yang mengalahkan seluruh kesadaran logikanya. Segalanya kini hanya tentang Sang Bulan Purnama yang berada dalam pelukannya. Changyi, sang matahari yang telah membutakan mata hati semua wanita di segala penjuru Kerajaan Ming, sungguh takluk dan terhanyut dalam alunan keharuman semesta alam di kelembutan Sang Bulan Purnama, menggelapkan langit saat rembulan yang mabuk kepayang tersebut benar-benar menutupi bias cahaya sang matahari dengan kerinduan dan ketakjuban yang meluap, menyatu dalam irama detak jantung keduanya, menghentak hingga ke ujung-ujung jemari yang terjauh.
Hingga kemudian…  
Xu Changyi mengangkat sedikit wajahnya dan menatap raut purnama gadis yang dalam sekedip mata telah mengikat jiwanya. Sepasang tangan pemuda itu terulur dan menggunakan ibu jarinya untuk mengusap alis Xu Guanjin yang berkerut membuat gadis yang masih terhanyut dalam ketakjuban itu membuka sepasang mata bintangnya.
“Xu-moi…kau mencemaskan sesuatu?” tanya Changyi seraya meneliti hingga ke dalam sepasang mata yang mengerjab oleh rasa malu dan kagum. “Kenapa alismu berkerut begitu dalam?”.
“Changyi-ko…” bisik Xu Guanjin sehalus angin, masih tersengal oleh getaran cinta terkuat yang baru saja mengguncang keduanya. “Tubuhmu sungguh panas sekali. Kupikir Changyi-ko benar-benar sakit”.
Changyi menggeleng.
“Tidak Xu-moi…aku tidak merasa sakit. Hanya rasa panas saja dan ini akan hilang nantinya. Pasti begitu. Jangan mengerutkan alismu karena mencemaskan diriku” jawab Changyi seraya mengusap sepasang alis Xu Guanjin yang kembali berkerut.
“Ada ramuan obat di rumah. Mestinya bisa kuambil untukmu Changyi-ko” desah Xu Guanjin membuat Changyi segera teringat di mana mereka kini berada. Pandangan mata pemuda itu beredar ke sekeliling kemudian terhenti pada gugusan asap awan yang menutupi pandangan mereka dari bagian atas tebing.
“Ah..Xu-moi, kau benar! Sekarang kita berada di dasar jurang, mestinya kita segera mencari jalan untuk keluar dari sini tapi kita malah…”
Kalimat Changyi terhenti dan pemuda itu seketika mengalihkan pandangan matanya dari gugusan awan ke wajah purnama jelita di sisinya. Dalam sekejab, ingatan tentang keindahan yang beberapa detik lalu mengguncang mereka kembali melintas membuat Changyi merasa salah tingkah.
Xu Guanjin menelengkan kepala saat Changyi tak meneruskan kalimatnya.
“Malah kenapa Changyi-ko? Apa yang ingin kau katakan? Kenapa berhenti?”
“Oh..itu, maksudku mestinya kita segera mencari jalan untuk keluar dari sini tapi aku justru me…me…”
“Me…apa? Kenapa kau jadi demikian aneh Changyi-ko? Apa karena tubuhmu sangat panas? Apa yang kau maksudkan? Biarkan aku memeriksamu Changyi-ko” sepasang alis indah Xu Guanjin terangkat naik. Tangannya terulur hendak menyentuh dahi Changyi namun, untuk kali ini, pemuda berparas rupawan itu mengelakkan kepalanya membuat Guanjin terheran-heran. Sebersit rasa kecewa menyusup di hati gadis itu saat ia merasa bahwa Changyi telah menolaknya. Sebentuk bibir tipis ranum Xu Guanjin mencemberut sementara ia memalingkan wajahnya menatap sungai berair jernih membuat Changyi semakin gugup saat ia membaca kekecewaan tergambar dengan jelas di wajah yang telah mengikat jiwanya itu.
“Xu-moi?” panggil Changyi seraya memperhatikan Guanjin, melihat gadis itu mulai melangkah ke arah tepi sungai, pada bagian di mana banyak bebatuan hitam berderet tak beraturan. Tak ada jawaban keluar dari bibir gadis itu membuat Changyi segera berjalan mengikuti Xu Guanjin. “Xu-moi, kau hendak kemanakah?”
Masih tak ada jawaban dari bibir Xu Guanjin sementara gadis itu terlihat melangkah ke atas batu di tepi sungai lalu melompat ke atas batu lain di depan batu pertama. Changyi yang berdiri di belakang Xu Guanjin dapat melihat bahwa batu yang dipilih oleh gadis itu bukanlah batuan yang stabil sehingga ketika Xu Guanjin menginjaknya, maka batu hitam berkilat itu segera bergerak.
“Xu-moi!” teriak Xu Changyi saat melihat tubuh Guanjin oleng ke arah sungai. Dalam sekejab, tubuh Xu Changyi lenyap saat ia berkelebat cepat ke arah Xu Guanjin dan menangkap tubuh gadis itu sebelum batuan hitam yang rapuh melemparkan gadis itu ke tengah sungai.
Xu Guanjin sangat terkejut saat merasakan batu yang dipijaknya ternyata rapuh. Ia bermaksud untuk berbalik namun batu yang rapuh itu telah bergulir membuatnya merasakan dunia seolah berputar lalu permukaan air sungai bergerak mendekat dengan sangat cepat, seperti hendak menelannya membuat gadis itu memejamkan matanya. Namun, bukanlah hempasan air dingin yang kemudian dirasakan oleh Guanjin melainkan sepasang tangan yang menariknya dengan sangat kuat.
Saat kemudian gadis itu membuka matanya ia melihat dirinya telah berada dalam pondongan Changyi sementara pemuda itu terlihat berdiri pada bongkahan batu yang semula menjadi tempatnya berpijak dan nyaris melemparnya ke tengah sungai. Xu Guanjin menatap ke bawah, pada batu rapuh yang mestinya akan langsung menggelinding ke tengah sungai terlebih dengan beban dua orang yang berdiri di atasnya. Namun, batu tersebut justru terlihat diam tak bergeming. Lebih aneh lagi, aliran air yang mestinya bergolak di sekitar batu tersebut terlihat tenang dan diam hingga air sungai di sekeliling batu yang dipijak oleh sepasang kaki Changyi terlihat seperti permukaan air yang tengah tertidur. Tak ada gerakan sama sekali sementara aliran sungai lainnya mengalir pada jarak satu jengkal dari batas air yang tertidur tersebut, bergerak ringan dan lancar membentuk lingkaran air yang bergemericik ceria.
“Ah..air itu..kenapa jadi begitu?” gumam Xu Guanjin dalam keheranannya hingga sama sekali lupa bahwa pada saat ini ia tengah berada dalam pondongan Xu Changyi. Cemberut di bibirnya terurai begitu saja dalam rasa heran bercampur kagum yang menyusupi hatinya.
“Xu-moi?...sebenarnya kau hendak kemana? Mengapa kau tak menjawab panggilanku?” tanya Changyi tepat di sisi kening Xu Guanjin membuat gadis itu terperanjat dan seketika teringat di mana ia berada sekaligus teringat kembali pada kekecewaan hatinya.
“Bukankah kau mengatakan kita harus segera mencari jalan keluar dari tempat ini Changyi-ko? Dan inilah aku yang sedang berusaha mencari jalan keluar karena kita tidak mungkin untuk keluar dari jurang ini dengan jalan mendaki tebing yang sangat tinggi itu” sungut Xu Guanjin seraya mengangkat wajahnya untuk menatap Changyi sekilas, namun segera gadis itu memalingkan wajahnya saat pandangannya bertemu dengan sepasang mata pemuda itu yang dalam sekedip mata membuat jantungnya kembali berdetak keras.
“Itu memang benar Xu-moi, tapi kupikir kita bisa saja memanjat kembali tebing itu untuk kembali ke atas” jawab Changyi, sekilas melirik dinding tebing di belakang mereka.
“Dengan apa? Kita tidak punya tali untuk naik ke atas. Dan lagipula, aku tidak bisa memanjat seperti Adik Miaojin. Aku juga tidak ingin merepotkanmu Changyi-ko. Apalagi dengan tubuhmu yang sangat panas ini tapi kau tidak mengijinkan aku memeriksamu. Jadi lebih baik aku menyeberangi sungai ini, siapa tahu ada jalan memutar yang tak mengharuskanku memanjat demikian tinggi dan merepotkanmu” Xu Guanjin.
Changyi terdiam. Mendadak ia mengerti arti dari diamnya Xu Guanjin. Meskipun sesungguhnya, ia mengelak saat gadis itu hendak menyentuh dahinya adalah karena ia menyadari apa yang baru saja terjadi di antara mereka dan hal itu bagaimanapun membuat Changyi merasa telah melanggar batas. Kesadaran yang datang karena sesungguhnya ia selalu mengingat siapa adanya dirinya, dan sebesar apa hutang budinya pada Jenderal Xu Da. Namun, di sisi lain, Changyi juga menyadari sepenuhnya, bahwa ia kini telah benar-benar terikat pada Xu Guanjin dan sungguh tidak berdaya menghadapi segala pesona gadis itu. Bagaimana ia bisa menahan diri dan kesadaran logikanya jika gadis itu berada begitu dekat dengannya, menyentuhnya dan ia dapat menghirup seluruh keharuman yang memabukkan dari sekujur tubuh gadis itu…seperti saat ini?.
“Baiklah…kita akan mencoba mencari jalan lain Xu-moi. Tapi…berjanjilah padaku untuk tidak melangkah sendiri seperti tadi. Kita belum mengenal tempat ini dan aku tak ingin kau terjatuh lagi” ujar Changyi kemudian. Nada suaranya yang lembut nyaris berbisik membuat Xu Guanjin menengadah dan menatap pemuda yang memondongnya. Suara lembut yang sesungguhnya merupakan bentuk penyerahan Changyi pada pesona Guanjin yang kembali menyergapnya, namun sekaligus, penyerahan pemuda itu justru membuat Xu Guanjin semakin terhanyut dalam gelombang asmara yang menguat dan terus menguat membuat gadis itu mengangguk nyaris di luar kesadarannya.
“Maafkan aku Changyi-ko” sahut Xu Guanjin berbisik.
“Dan jangan mencemaskan diriku Xu-moi karena aku lebih mencemaskan dirimu saat kau terus mencemaskanku seperti itu. Aku akan baik-baik saja selama kaupun baik-baik saja. Bisakah kau mempercayaiku tentang hal itu?” tanya Changyi memandang lurus ke dalam sepasang mata bintang Xu Guanjin.
Kembali Guanjin mengangguk.
“Selama kau mengijinkanku untuk memeriksamu Changyi-ko…hanya agar hatiku menjadi tenang”.
Changyi tertawa mendengar jawaban yang meluncur dari mulut mungil yang menempel di dadanya. Sesaat Xu Guanjin bagai dilambungkan oleh rasa terpesona melihat tawa sang matahari yang mendekapnya.
“Baiklah Xu-moi, aku berjanji selama hidupku hingga akhir hayatku hanya kau yang kuijinkan untuk memeriksaku” ujar Changyi kemudian dengan senyum menawan terukir di atas bibirnya yang berlekuk sempurna.
Sepasang mata Xu Guanjin membesar beberapa detik mendengar kalimat janji yang didengarnya keluar dari mulut Changyi. Bibirnya mengerucut dengan ekspresi menguji.
“Sungguhkah kau mengatakan hal itu Changyi-ko?”
Changyi mengangguk tegas. Sepasang mata jernihnya berkilau tajam.
“Aku seorang prajurit Xu-moi, dan seorang prajurit selalu menjaga janji dengan nyawanya”.
Xu Guanjin menatap Changyi jauh-jauh ke dalam mata pemuda itu hingga kemudian, jemari Xu Guanjin terangkat dan bergerak ke arah pelipis Changyi. Sejenak, jemari lentik indah itu terhenti di udara, mengukur sejauh mana ia akan diijinkan untuk menyentuh keindahan yang memabukkan pemuda di depannya. Lalu, saat tak terlihat sedikitpun tanda-tanda Changyi akan menggerakkan kepalanya untuk mengelak sebagaimana sebelumnya, maka jemari yang sedikit gemetar karena terhenti di udara itu meneruskan geraknya menyentuh satu bagian indah di wajah Changyi, mengusap lembut lalu berhenti.
Changyi menatap gadis yang tengah mabuk kepayang dalam pondongannya itu dengan kecamuk rasa. Sungguh, bagaimana ia kini bisa mengabaikan Xu Guanjin dengan mengatas namakan logika sementara ia sendiri mesti sekuat tenaga menahan hentakan cinta yang seolah-olah hendak memecahkan dadanya ini? Dengan gadis itu berada dalam dekapannya, menempel erat di dadanya hingga ia bisa dengan jelas mendengar irama detak jantung gadis itu menggelepar dalam amukan rasa cinta yang sangat jelas dan tak bisa lagi disembunyikan seperti sekarang, maka Changyi hanya mengerti satu hal. Dan satu hal itu jelas tak akan pernah dapat diingkarinya sebab jika ia mengingkarinya maka ia pasti akan mati.
Dan hal itu adalah bahwa ia akan melakukan apapun untuk gadis dalam dekapannya ini.
Apapun…bahkan andai hal itu akan membuatnya harus melepas nyawa!.
“Kita akan mencoba mencari jalan memutar Xu-moi. Berpeganglah, aku akan membawamu menyeberangi sungai ini” bisik Changyi di ujung kening Xu Guanjin membuat jemari gadis itu terjatuh dari pelipis indah yang didekapnya dan kemudian berhenti di atas dada bidang Changyi, mencengkeram kerah hanfu pemuda itu sementara kepalanya mengangguk samar sebelum kemudian kepala berhias rambut panjang tergerai yang membawa keharuman sejuta bunga musim semi bersandar di atas dada di sisi kepalanya membuat jantung Xu Changyi bagai disentakkan oleh sebuah kekuatan yang sangat dahsyat.
Kekuatan yang dengan sangat cepat membaur dalam aliran ginkang yang nyaris sempurna, membuat tubuh pemuda itu segera melesat demikian ia mengentakkan satu kakinya dengan lembut ke atas batu rapuh tempatnya berpijak. Tak terlihat gambaran tubuh Changyi yang memondong Xu Guanjin di dadanya. Hanya sebuah bayangan biru melintas cepat di atas sungai hingga mencapai seberang dalam sedetik, kemudian, tanpa membuat jeda untuk berhenti, bayangan biru yang sangat indah itu terus menyelinap di antara batang-batang tinggi dan besar pohon pinus, meninggalkan area sungai yang menjadi saksi berkobarnya sebuah cinta yang sangat kuat dalam hati dua manusia. Cinta yang sesungguhnya merupakan pengejawantahan dari kekuatan alam itu sendiri, hingga, saat kekuatan sebuah cinta yang terlalu besar itu tak lagi dapat ditanggung oleh hati, jiwa dan tubuh maka cinta yang terlahir dari kekuatan alam tersebut akan mencari jalannya sendiri untuk mendapatkan kesempatan menyatu dan mencipta keharmonisan sebagaimana seharusnya hukum di alam semesta berlaku…
Sementara itu, hanya berjarak satu detik setelah bayangan biru indah Xu Changyi yang memondong Xu Guanjin menghilang di balik hijaunya hutan pinus, sebuah bayangan lain terlihat melesat turun dari balik awan yang menutupi bagian tengah jurang. Bayangan putih seorang remaja berwajah teduh yang sangat ringan seolah tubuh remaja tersebut hanyalah sehelai bulu.
Dan remaja berwajah teduh itu mendarat tanpa meninggalkan suara di atas bebatuan. Sepasang matanya yang bening berkelebat menatap seluruh area dasar jurang, pada bunga-bunga indah mengembang dengan keharuman yang membubung di udara, pada kecipak ekor ikan-ikan yang terus menari di dalam kejernihan air sungai serta kehijauan yang megah hutan pinus.
Namun apa yang dicarinya ternyata tak tertangkap dalam pandang matanya membuat kepala remaja yang menggunakan kain putih kecil untuk mengikat rambutnya itu bergerak mencari.
“Kakak?! Kakak Changyi?!...Nona Xu?!...di mana kalian?” panggil remaja tersebut sembari melangkah mendekati tepian sungai. Langkahnya terlihat biasa namun, sedikitpun tak terlihat suara di setiap pijakan kakinya ataupun gerak terganggu ujung-ujung rerumputan yang mestinya berubah setelah terinjak oleh sepasang kakinya.
Remaja tersebut kemudian berhenti pada tepian sungai, menatap kedua ujung sungai dengan alis berkerut mencoba menebak arah yang mesti ditempuhnya. Mestikah ia menyusuri hulu sungai? Ataukah justru arah hilir yang paling tepat?
“Kakak Changyi?! Kakak di mana? Aku Xiao Chen mencarimu!” teriak remaja yang dikenal sebagai kasim kesayangan Pangeran Zhu Di tersebut.
Namun tak terdengar apapun yang kembali ke telinga Xiao Chen selain suara keindahan alam yang menakjubkan di sekelilingnya. Kasim remaja tersebut kembali melangkah. Pilihannya tertuju ke arah hilir yang dalam penglihatannya terlihat lebih terang dengan ukuran sungai melebar.
Tetapi, belum lagi tiga langkah kakinya berjalan, mendadak Xiao Chen berhenti dan pandangannya tertuju pada sebongkah batu hitam yang terlihat menggelinding pelan di tengah sungai. Sebongkah batu yang jelas terlepas dari cengkeraman tanah dasar sungai karena suatu sebab dan kemudian, aliran sungai membawanya menggelinding ke arah tengah.
Kembali alis Xiao Chen berkerut saat ia mulai memikirkan penyebab lepasnya batu hitam yang mestinya tertanam dengan kuat pada tanah dasar sungai tersebut, hingga beberapa detik kemudian, sepasang mata bening remaja itu melayang ke arah seberang, pada kerimbunan hijau hutan pinus dengan  batang-batangnya yang besar dan tinggi menjulang. Sebuah binar menyembul dari sepasang mata bening Xiao Chen saat ia menemukan jawaban atas bergesernya posisi batu hitam ke tengah sungai.
“Kakak?!...Nona Xu?!” panggil Xiao Chen sekali lagi. Panggilan yang tertinggal pada tempatnya berdiri di tepian sungai sementara tubuhnya sendiri telah melenyap dalam bentuk bayangan putih yang melesat bagai kilat menyeberangi sungai, kemudian, sebagaimana halnya bayangan biru indah Xu Changyi yang terus menyelinap di balik batang-batang pepohonan pinus, bayangan putih Xiao Chen-pun segera hilang di balik kehijauan yang menyimpan misteri dalam keindahannya yang megah…
***********

Tidak ada komentar:

Posting Komentar