Minggu, 27 Maret 2016

Straight - Episode 6 ( Bagian Empat )


Changyi bersandar pada sebatang pohon pinus besar. Sepasang mata pemuda itu sekali lagi mengitari setiap sudut hutan pada titik terjauh, mencoba menemukan sebuah pintu yang akan membawa mereka keluar dari dalam lembah jurang ini. Namun, apa yang kemudian yang tertangkap oleh kedua matanya hanyalah bentangan kehijauan yang pepat berseling warna-warni bunga yang bermekaran. Memang indah, sungguh indah dan menakjubkan, terlebih dengan satu sosok yang berdiri di sisinya seperti saat ini. Sosok yang mencoba turut menatap ke arah kejauhan dengan sosoknya yang mungil. Berjinjit-jinjit sambil menjulurkan lehernya yang indah jenjang membuat rambut panjang indah kemilau sosok itu bergerak lembut seiring gerak tubuhnya. Nyaris tanpa disadarinya, pada sosok terindah di antara semua keindahan lembah dalam jurang itulah pandangan mata Changyi akhirnya terhenti.
Changyi menarik nafas dalam-dalam sementara ia mencetak keindahan sosok Xu Guanjin dalam lembar jiwanya. Ada sedikit rasa geli saat ia melihat bagaimana gadis itu mencoba untuk meneliti hutan di sekitar mereka dengan kedua matanya yang seindah bintang. Ia telah membawa Xu Guanjin mengitari hutan ini hingga ke wilayah tepian hutan namun memang tak ada jalan keluar baik jalan setapak, maupun tanda adanya daerah perkampungan penduduk di tepian hutan tersebut. Apa yang ia temukan hanyalah bentangan sungai yang nampaknya mengepung hutan ini menjadi suatu wilayah yang tertutup dengan segala keindahannya yang menakjubkan. Bilapun ia melihat tanda adanya rumah penduduk, maka itu terlihat sangat jauh sekali seolah terletak pada batas cakrawala di balik kerimbunan hijau daun pepohonan serta bentangan awan-awan putih yang bergumpalan membuat bayangan atap rumah itu seperti hilang timbul dan memberikan kesan antara ada dan tiada. Mungkin, satu-satunya jalan untuk keluar dari daerah lembah dalam jurang ini hanyalah dengan menyusuri sungai tersebut, entah di bagian hulu atau hilir, namun nampaknya satu-satunya pintu yang dapat membawa mereka keluar memang hanyalah sungai berair jernih dengan ribuan ikan-ikan berwarna warni itu.
Tetapi, dengan adanya Xu Guanjin di sisinya, sungguhkah ia menginginkan untuk keluar dari tempat ini? Changyi menundukkan kepalanya sementara ia merasakan gejolak cinta yang memenuhi ruang dadanya kini mengalir hingga jauh menyusup ke sudut-sudut tersembunyi di tubuhnya, membuat Changyi tak bisa lagi melihat apapun tanpa merasakan keberadaan Xu Guanjin di dalam dirinya.
“Jadi, kita tidak akan bisa keluar dari dalam jurang ini Changyi-ko?” gumam Xu Guanjin membuat Changyi menegakkan kepalanya.
“Pasti ada jalan keluar Xu-moi” jawab Changyi dengan suara tegas bernada yakin. Pandangannya bertemu dengan sepasang mata bintang Xu Guanjin, menemukan sekilas rasa cemas bercampur harapan di wajah gadis itu. Changyi mengurai senyumnya. “Kita bisa menyusuri sungai itu Xu-moi. Sungai adalah pintu yang tak pernah berbohong pada siapapun yang mengikutinya karena ia akan selalu menuju ke laut ataupun ke sumber asalnya bermula”.
Xu Guanjin melangkah ke depan Changyi membuat pemuda itu diam-diam menekan detakan jantungnya yang mendenyut lebih kencang. Ada semburat merah jambu pada sepasang pipi Xu Guanjin membuat wajah gadis itu terlihat ranum. Apa yang tengah dipikirkan gadis itu? atau dirasakannya?
Sementara Xu Guanjin sendiri terus melangkah hingga ia kini hanya dua tapak di depan pemuda yang tengah bersandar di sebatang pohon pinus besar. Terlihat dalam posisi yang santai meski sesungguhnya hal itu justru membuat Changyi terlihat seperti sesosok malaikat di tengah hutan yang lebat namun sangat indah ini. Xu Guanjin bertanya dalam hati, pernahkah Changyi menyadari betapa indahnya diri pemuda itu? Rambutnya memiliki ciri khas tatanan yang berbeda dengan gaya tatanan rambut para lelaki disaat ini dimana mereka akan mengikat rambut ke atas dengan tali yang kuat lalu bagi orang-orang kaya maupun bangsawan akan memberi hiasan pada ikatan rambut mereka dengan simbol-simbol bernada kejayaan dan kemenangan. Gaya tatanan rambut yang diubah setelah masa kekuasaan Dinasti Yuan berakhir, di mana pada saat kekuasaan Dinasti Yuan dahulu, para lelaki menata rambut dengan cara mengepang menjadi satu kepangan panjang di belakang kepala.
Tetapi Changyi berbeda.
Bahkan meskipun gaya rambut khas Diansti Yuan telah berakhir dan berganti dengan gaya rambut baru, namun pemuda itu memiliki tatanannya sendiri. Gaya tatanan rambut yang kemudian ditiru oleh para pemuda dan lelaki remaja di seluruh penjuru Kerajaan Ming. Bahkan oleh Pangeran Zhu Di sendiri.
Rambut Changyi tidak sepanjang rambut para lelaki yang lain. Hanya sebatas bawah bahu – dan nampaknya Changyi selalu menjaga panjangnya dengan memotong rambut setiap waktu – yang diikat pada sebagian rambut di bagian puncak kepala dengan ikat rambut berhias lempengan emas berbentuk matahari. Dan Guanjin ingat, itu adalah ikat rambut pemberian ayahnya pada Changyi saat pemuda itu pertama kali masuk sebagai bagian dalam keluarganya. Sisa rambut Changyi yang lain tetap tergerai di bahu, sebagaimana anak-anak rambut di bagian depan kepala, pada pelipis, di depan cuping telinga yang kesemuanya justru semakin menonjolkan keindahan pemuda itu. Dan ia melihat keindahan tersebut sejak pertama kali Changyi masuk ke rumahnya sebagai seorang pelayan pengurus kuda. Saat tak ada siapapun yang melihat ke arah anak bernama Changyi untuk kedua kali karena derajatnya yang hanya seorang pelayan dengan celana kumal serta dada dan kaki telanjang. Saat ia langsung menyukai si pelayan pengurus kuda itu dan selalu mengintipnya dari balik pintu, mengagumi senyum dan tawa yang seolah tak pernah sejalan dengan keadaannya yang kurus dan papa. Senyum dan tawa ceria yang menyerupai keindahan sang matahari di langit. Adakah orang selain Jenderal Xu Da yang mengetahui, bahwa lempengan emas berbentuk matahari di ikat kepala Changyi itu, sesungguhnya Xu Guanjin-lah yang meminta kepada ayahnya?. Simbol matahari yang dengan jelas tergambar di wajah si pelayan bernama Changyi tersebut, pada senyum dan tawanya yang tak pernah sedikitpun menyiratkan kesedihan hati ataupun kepahitan hidup. Dan kini, setelah waktu berlalu membawa pergi sosok pelayan pengurus kuda yang kurus dan papa itu lalu menggantinya dengan seorang pemuda gagah rupawan seperti yang dilihatnya sekarang, bisakah ia membaginya dengan siapapun di luar sana? Dengan seluruh gadis dan wanita yang ia tahu terhanyut dalam impian untuk memiliki pemuda serupa malaikat di depannya itu? Rasanya tidak!. Bahkan meskipun gadis itu adalah adiknya sendiri, Xu Miaojin!.
Xu Guanjin terus melangkah ke arah Changyi sementara semilir angin menjelang senja berhembus meniup membuat rambut panjang gadis itu bergerak melambai.
“Changyi-ko..jika kita menyusuri sungai itu, apakah…aduh!” teriak Xu Guanjin saat sebuah rasa sakit mendera akibat beberapa helai rambut gadis itu tersangkut pada sebatang ranting dari pohon yang dilaluinya membuat kalimat Xu Guanjin pada pemuda yang tinggal dua langkah di depannya menjadi terputus.
Changyi terkejut dan seketika melompat ke depan sementara Xu Guanjin memiringkan kepalanya ke arah jeratan rambut pada ranting pohon yang membuat kulit kepalanya terasa pedih.
“Xu-moi, berhati-hatilah” ucap Changyi seraya mengurai helai-helai rambut panjang Xu Guanjin yang terjerat pada ranting dengan lembut.
“Ah..rambut ini merepotkan sekali” keluh Xu Guanjin seraya mengelus bagian kepalanya yang terasa perih. Rambutnya yang terjerat ranting telah terlepas.
Changyi menatap gadis yang masih meringis oleh rasa perih di kepalanya itu. Mendadak, ia teringat pada suatu hal yang telah lama dipendam membuat tangan kanan pemuda itu terulur ke balik hanfunya. Saat kemudian tangan Changyi terulur di depan Xu Guanjin, pada jemari pemuda tersebut telah tergenggam sebatang tusuk konde giok berbentuk untaian daun-daun mapel yang sangat indah. Xu Guanjin terkejut menatap tusuk kondenya di jemari Changyi, namun sedetik kemudian, wajah gadis itu bersemburat memerah dan tertunduk.
“Xu-moi” panggil Changyi dengan nada lembut. “Mungkin sebaiknya kau menyanggul rambutmu it agar tidak menjadi kotor atau terputus karena tersangkut ranting seperti tadi. Ambillah tusuk konde ini”.
Jemari Xu Guanjin terulur menerima tusuk konde dari tangan Changyi, menimangnya sejenak dan bahkan, dengan lembut ujung jari lentik gadis itu membelai tusuk konde kesayangannya dengan sepenuh hati. Kemudian, seolah tak mempedulikan keterkejutan Changyi, Xu Guanjin mengulurkan kembali tusuk kondenya ke dalam genggaman Changyi seraya menggeleng, lembut namun tegas.
“Xu-moi? Kenapa kau memberikan satu tusuk kondemu ini padaku? Apakah kau telah bosan dengan bentuknya? Jika kau telah bosan maka aku akan mencari tusuk konde lain untuk menyanggul rambutmu itu” kata Changyi dengan alis berkerut.
“Tidak Changyi-ko” jawab Xu Guanjin seraya mengangkat wajahnya yang semula tertunduk. Semburat merah masih membyang di wajahnya yang jelita, jelas terlihat bahwa gadis itu tengah berusaha  mengumpulkan seluruh kekuatan hati untuk mengatakan apapun yang telah berada di ujung lidahnya. “Sejak hari aku melepasnya dari rambutku dan mengirimkannya padamu, maka aku tak berhak lagi atas tusuk konde itu, karena ia telah membawa separuh dari jiwaku ke tanganmu. Jika kau mengembalikannya padaku, maka hal itu sama saja kau telah membunuh satu bagian dari jiwaku”.
Sepasang mata Changyi membesar mendengar kalimat Xu Guanjin. Pemuda itu melangkah tepat di depan gadis yang terlihat sedikit terengah oleh gejolak rasa dan degup jantung yang menghentak oleh kalimat-kalimat berbahaya yang telah diucapkannya dan akan dilanjutkannya pada pemuda di depannya.
“Xu-moi…kenapa kau berkata demikian? Bagaimana mungkin kau memberikan separuh jiwamu padaku? Aku akan sangat takut jika aku tidak bisa menjaga separuh jiwamu itu Xu-moi. Kau mengatakan dalam suratmu bahwa kau selalu menunggu mataharimu untuk datang kembali, dan aku tidak mengerti. Aku sungguh bodoh karena tidak mengerti apa yang telah kau katakan dengan kalimatmu yang sangat indah itu. Siapakah matahari yang selalu kau tunggu itu?” tanya Changyi seraya memegang bahu Xu Guanjin. Pandangannya menembus kedalaman sepasang mata bintang gadis di depannya dan menemukan sebuah keberanian tekad yang menyala membuat hati Changyi bertanya-tanya sekaligus penuh kagum.
“Kaulah matahari itu Changyi-ko” jawab Xu Guanjin cepat. Detak jantungnya berdebur seiring detak keras di dada Changyi sendiri kala mendengar jawaban Xu Guanjin. Meskipun Changyi telah mendengar hal sama dari sahabatnya Chang Gui Chun di distrik pelatihan prajurit, namun rasanya menjadi sangat berbeda saat ia mendengarnya langsung dari bibir mungil gadis di depannya tersebut. “Dan kau sama sekali tidak bodoh. Aku-lah yang terlalu takut untuk kehilangan dirimu sehingga aku selalu bertanya sejauh apa sesungguhnya cakrawala yang menjadi batas langit itu? Mengapa matahari selalu menghilang di sana saat senja tiba membuatku takut untuk menjalani malam yang gelap. Tapi aku tidak pernah mendapatkan jawabannya Changyi-ko. Tidak ada seorangpun yang bisa menjawab pertanyaanku, tidak juga buku-buku yang kubaca. Karena itu, jika aku tidak bisa mengetahui sejauh apakah batas cakrawala di langit itu berada, agar aku bisa selalu mengikuti kemanapun matahari pergi, maka aku memutuskan untuk memberikan separuh jiwaku ini pada matahari itu agar dia selalu kembali padaku dan selalu kembali meski sejauh apapun ia pergi. Karena hanya dengan tahu bahwa matahari akan selalu kembali padaku, maka aku masih akan memiliki semangat dan harapan untuk hidup hingga besok hari dan besoknya lagi serta melawan seluruh ketakutan-ketakutan dalam diriku pada malam yang gelap”.
Sepasang alis Changyi berkerut dalam mendengar runtutan kalimat yang meluncur dari bibir Xu Guanjin. Hati pemuda itu bergolak dalam kebingungan oleh hentakan rasa bahagia yang tak dapat diingkarinya. Bagaimana mungkin ia dapat memungkiri rasa bahagia ini sementara hatinya sendiri sesungguhnya telah lama menyimpan kekaguman pada Xu Guanjin? Pada kebaikan hatinya yang diberikan dengan penuh rasa tulus saat ia pertama kali datang ke dalam rumah Keluarga Xu bersama dengan Xiao Chen bertahun-tahun lalu sebagai seorang pelayan sementara banyak orang yang lain menyumpahi dirinya dan Chen bahkan begitu banyak orang yang hendak membunuhnya karena kehidupan keras membuatnya terpaksa mencuri beras. Changyi sungguh tidak dapat menahan dirinya untuk tidak mencintai gadis itu dengan segenap hatinya, sementara ruang ingatannya mencatat dengan begitu jelas bibir mana yang pertama kali memanggilnya dengan sebutan “Changyi-ko” saat Jenderal Xu Da membawanya pulang ke rumah Keluarga Xu untuk kedua kalinya, bukan lagi sebagai seorang pelayan melainkan sebagai seorang dengan marga ‘Xu’. Bagaimana mungkin ia tidak memuja jemari lentik gadis itu yang telah mengusap kepala dan wajahnya dari hamburan nasi yang dilemparkan oleh Nyonya Xu dalam kemarahan dan kebenciannya yang tersembunyi di balik kepatuhan wanita yang sangat dihormatinya itu pada suaminya. Bagaimana mungkin ia tidak mengasihi sepasang mata bintang yang telah mengalirkan airmata saat membersihkan cucuran darah dari keningnya akibat mangkuk yang dilemparkan oleh Nyonya Xu Da.
Sungguh, hanya karena di saat-saat lalu ia belum mengerti makna rasa kagum yang menguasai hatinya pada gadis jelita yang cerdas dan baik hati itu hingga Changyi-pun tak memahami adanya rasa bahagia yang sesungguhnya telah lama tinggal di dalam hatinya. Rasa bahagia yang membuatnya mampu menjalani setiap tahapan dalam hidup hingga hari ini, selain kasih sayangnya pada Xiao Chen.
Tapi sekarang, setelah ia memahami seluruh makna rasa kagum yang mengembang dalam hatinya, maka aliran rasa bahagia itupun seperti gelombang air bah yang tak dapat lagi ditahannya. Membuncah, meluap dan seolah hendak menyeretnya ke dalam rasa mabuk kepayang yang melenakan dan melupakan.
Tetapi…selain dari adanya rasa bahagia yang meluap-luap itu, Changyi juga merasakan adanya rasa takut aneh yang menyusup ke dalam kalbunya. Rasa takut yang berbeda. Bukan rasa takut pada tajamnya pedang, bukan rasa takut pada hukuman berat, ataupun pada rasa sakit dan lapar. Tidak!, sungguh, sejak ia melihat kedua orangtuanya tewas oleh wabah penyakit pada masa lalu, sejak ia mesti mempertaruhkan nyawanya untuk mencuri beras agar ia dan Xiao Chen bisa terus makan, maka ia telah kehilangan segala rasa takut pada tajamnya pedang, hukuman berat, sakit dan lapar. Rasa takut yang ia rasakan sekarang adalah sebuah rasa takut yang sangat halus namun mencekam, membuat jiwanya terikat oleh sebuah sumpah tanpa kata.
Sumpah untuk selalu melindungi gadis itu, memberikan segalanya pada gadis itu serta menjaganya dalam setiap langkah hidupnya. Dan rasa takut itu adalah ketakutan bahwa ia tak akan mampu melaksanakan sumpah jiwa tanpa katanya.
“Xu-moi…kata-katamu itu, membuatku takut” desah Changyi sehalus angin membuat alis indah Xu Guanjin berkerut dan sepasang mata bintang gadis itu mulai menyiratkan kilau airmata seiring rasa lemas yang datang mendera.
“Kenapa kau takut Changyi-ko? Tidakkah seharusnya aku yang takut karena telah menghilangkan rasa malu dalam diriku dan mengatakan segala rahasia dalam hatiku padamu? Tapi, meski aku sangat takut kau akan menjauh dariku setelah aku mengatakan rahasia hatiku ini, namun aku tak memiliki pilihan lain karena jika aku terus menyimpannya maka cepat atau lambat aku pasti akan gila. Lalu dalam kegilaanku maka aku akan mati” bisik Xu Guanjin lemah. Tubuh gadis itu terhuyung nyaris jatuh membuat Changyi segera meraihnya dalam dekapan.
“Apakah aku tak cukup pantas untukmu Changyi-ko? Aku berharap diriku akan cukup cantik di depanmu hingga aku selalu menyembunyikan diriku di balik tirai kamarku karena aku tak ingin siapapun melihatku selain dirimu. Lalu kenapa kau justru kau takut padaku? Apakah seluruh gadis dan wanita di penjuru Kerajaan Ming ini telah menghilangkan bayanganku di depanmu hingga aku sama sekali tak terlihat di matamu?” sedu Guanjin di dada Changyi.
Changyi menunduk dan menghirup keharuman rambut di puncak kepala Xu Guanjin. Kalimat yang terucap dari bibir Xu Guanjin dalam sedu sedannya terasa semakin mengguncang dada pemuda itu dalam gejolak cinta. Tangan kanan Changyi yang besar dan indah menekan kepala Xu Guanjin ke atas dadanya seolah hendak meleburkan kepala yang sangat dikasihinya ke dalam jantungnya, menyatu dengan jiwanya.
“Tidak Xu-moi…aku sama sekali tidak takut padamu” bisik Changyi di puncak kepala Xu Guanjin. “Apa yang kutakutkan setelah aku mendengar kata-kata yang kau ucapkan adalah jika aku tak bisa menjagamu. Jika aku tak cukup memiliki kekuatan untuk melindungimu bahkan jika aku telah menyerahkan nyawaku. Karena kau lebih dari hidup bagiku namun aku bukanlah seseorang yang memiliki kesempurnaan tanpa batasan kekurangan. Aku hanya seorang yang sangat beruntung bisa menjadi bagian dari keluargamu Xu-moi…dan untuk hal itu seluruh kata terima kasih tak akan cukup untuk melunasi hutang budiku pada ayah Xu Da dan seluruh keluarga. Dan kini kau menyerahkan pula jiwamu padaku, lalu dengan apa aku akan menanggung hutang yang demikian besar ini di pundakku?”
“Kenapa kau menghitung hati sebagai hutang budi Changyi-ko?” teriak Xu guanjin dalam bisik sedu sedannya. Satu tangan mungil gadis itu memukul permukaan dada Changyi. “Andai kau tahu betapa besarnya rasa bahagia yang telah kau berikan pada Ayah, pada kami semua sejak kau datang pada kami. Hanya karena Ibu selalu kasar padamu, itu bukan berarti ia membencimu. Ibu hanya takut jika ia akan menyayangimu melebihi kami anak-anaknya sendiri sebagaimana yang dilihatnya pada Ayah. Jika kau menganggap kebahagiaan hati adalah sebuah hutang budi maka kau sungguh seorang yang sangat kejam Changyi-ko. Kau sangat kejam”.
“Maafkan aku Xu-moi…maafkan aku” Changyi menggenggam tangan mungil Xu Guanjin.
“Apakah aku tak cukup cantik bagimu Changyi-ko? Apakah aku tidak cukup pantas untukmu?” bisik Xu Guanjin.
Changyi mendesah kelu. Sepasang tangannya kembali memegang bahu Xu Guanjin dan mendorong gadis itu dari dadanya sementara ia sedikit membungkukkan tubuh hingga kini, wajahnya sejajar dengan wajah Xu Guanjin yang memias dan basah oleh air mata.
“Xu-moi…hanya orang buta yang tak bisa melihat keindahan bulan purnama. Ketahuilah bahwa aku hanyalah seekor pungguk kecil yang terus menatap ke arah bulan purnama itu” tegas Changyi membuat sebutir airmata kembali meluncur menuruni pipi Xu Guanjin yang sehalus pualam. “Dan pungguk kecil itu tak bisa lagi melihat keindahan yang lain selain bulan purnama itu. Apakah kau mengerti Xu-moi? Apakah kau mengerti bahwa pungguk yang kau sangka sebagai matahari itu sesungguhnya telah takluk padamu sejak kau mengusap darah di dahinya dengan airmatamu? Karena itu jangan pernah menangis lagi Xu-moi, karena setiap airmata yang menetes dari keindahan mata bulan purnama itu akan membuat punggukmu ini meregang nyawanya”.
Airmata Xu Guanjin menderas mendengar lantunan kalimat yang meluncur dari bibir berlekuk pemuda yang dipujanya. Kalimat yang ia tahu terucapkan dengan tulus karena ia bisa merasakan getaran dalam suara Xu Changyi yang biasanya jernih dan tegas. Kepala Xu Guanjin tertunduk sementara bahunya terguncang pelan. Changyi mengulurkan jemarinya mengusap pipi halus yang dibanjiri airmata itu dengan lembut kemudian, saat sedu sedan Xu Guanjin belum juga mereda, maka dengan lembut pula Changyi kembali menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Pelukan yang semakin mengerat saat Xu Guanjin mengulurkan kedua tangannya dan memeluk pinggang Changyi dengan kuat.
“Aku hanya milikmu Xu-moi…hanya milikmu” bisik Changyi di sisi kepala Xu Guanjin.
Bisik halus yang menarik kesunyian hutan nan indah di sekitar mereka untuk kembali mendendangkan lagu-lagunya. Membawa Changyi dan Xu Guanjin kembali pula terhanyut dalam gelombang rasa cinta yang menyatukan jiwa keduanya.
Bisik halus yang terdengar sangat lantang di telinga sesosok remaja lain yang baru saja tiba setelah memutari hutan untuk mencari Changyi dan Xu Guanjin. Sosok Xiao Chen sang kasim kecil yang terkejut saat ia mendengar seluruh kalimat yang terucapkan dari mulut Xu Guanjin dan Changyi. Saat ia dapat melihat kobaran cinta yang menyala dengan begitu dahsyat di antara kedua orang yang berada hanya dua tombak di depannya. Saat ia melihat sekuat apa Xu Guanjin memeluk Changyi di depannya dan sepasrah apa kakaknya tersebut menyerah takluk dalam gulungan cinta paling kuat yang pernah dilihatnya. Saat ia melihat Changyi menunduk dan mengusap kedua mata Xu Guanjin yang dipenuhi airmata dengan bibirnya.
Xiao Chen menjatuhkan dirinya ke atas tanah berumput tebal dengan hiasan bunga-bunga mungil berwarna putih kebiruan. Wajah kasim kecil itu memucat dengan raut bingung yang nyata. Ia mengerti tentang cinta. Namun, ia tak pernah melihat cinta yang mengguncang seperti yang baru saja dilihatnya.
Dan hal itu membuat Xiao Chen merasa takut. Perlahan kepala berhias ikat kepala putih itu menunduk dengan sepasang mata memejam rapat. Sepasang alis Xiao Chen berkerut dalam sementara ia berusaha mengenyahkan bayangan buruk yang mendadak melintasi benaknya. Kepala remaja itu menggeleng kuat-kuat.
“Kakak Changyi…Nona Xu…bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi? Cinta kalian…bagaimana bisa? Apa yang akan terjadi nantinya? Bagaimana cara Thian akan menolong cinta kalian? Dan Pangeran Zhu Di? Bagaimana dengan Pangeran Zhu Di? Thian…Thian…Thian…” bisik bibir Xiao Chen dalam kalutnya.
Kesunyian hutan mengalir bersama dendang lagunya, mengantarkan kepekatan wangi bunga yang menggambarkan kekuatan cinta dari sepasang hati yang masih berpelukan, tenggelam dalam dekapan asmara.
**********
Yingtian…
Rumah Perdana Menteri Hu Weiyong…
“Siapa mereka? Katakan padaku siapa mereka yang telah berani merampok kapal dan mengambil barang-barang milikku?” desis Perdana Menteri Hu Weiyong dengan nada rendah membuat nyali Saudagar Fu Han semakin menciut.
Saudagar Fu Han datang bersama dengan beberapa pelayan serta awak kapal yang terluka parah telah diterima oleh Perdana Menteri Hu dalam sebuah ruang khusus yang tertutup. Pertemuan yang sejak awal telah menimbulkan tanda tanya dalam benak Perdana Menteri Hu Weiyong karena ketidakbiasaan dari kedatangan Saudagar Fu tersebut segera meledakkan kemarahannya ketika ia mendengar penuturan sang saudagar perihal peristiwa perampokan kapal serta hilangnya barang-barang miliknya yang hendak diantar ke Beiping. Lelaki berperawakan kekar itu kini berdiri dengan sepasang kaki membentang di depan Saudagar Fu yang telah menjatuhkan diri berlutut di lantai diikuti seluruh pelayannya. Terlihat jelas upaya Perdana Menteri Hu Weiyong untuk mengendalikan kemarahan yang sesungguhnya telah mencapai kepala dan membuat otaknya mendidih.
“Ampuni hamba Tuanku” rintih Saudagar Fu memohon. Suaranya jelas terdengar gemetar penuh takut seiring keringat dingin yang membanjir membasahi kening dan lehernya. Hal sama juga terlihat pada para pelayan yang berlutut di belakang majikan mereka. “Semua ini adalah kesalahan hamba. Hamba telah lalai sehingga Tuan Hu kehilangan begitu banyak barang-barang yang sangat berharga”.
“Kau tidak menjawab pertanyaanku Saudagar Fu” cetus Perdana Menteri Hu Weiyong dingin. “Apakah kau tidak mendengar apa yang kutanyakan?”
“Ah!...Tentu saja hamba mendengarnya Tuanku. Mohon ampuni hamba” Saudagar Fu Han terkejut. Rasa takut semakin menjerat hatinya.
“Kalau begitu cepatlah jawab pertanyaanku” sahut Perdana Menteri Hu Weiyong seraya membalikkan tubuhnya dan kini berdiri membelakangi Saudagar Fu Han dan orang-orang yang tengah berlutut padanya.
“Mereka…orang-orang yang telah merampok kapal itu, hamba tidak mengetahui tentang mereka Tuanku” jawab Saudagar Fu Han. Kepalanya menoleh ke arah para pelayan dan awak kapal yang terluka parah di belakangnya. “Hamba telah berusaha untuk mencari tahu tentang keberadaan pada perampok itu dan mengetahui siapa mereka atau siapa pemimpinnya, tapi…mereka seperti menghilang dan lenyap ditelan tanah”.
“Lenyap ditelan tanah” gumam Perdana Menteri Hu Weiyong. “Bagaimana mungkin manusia-manusia perampok itu bisa lenyap ditelan tanah? Apakah mereka sebangsa arwah?”.
“Bbb..bukan Tuanku” jawab Saudagar Fu Han semakin gemetar. “Mereka benar-benar manusia”.
“Kalau begitu berkatalah yang benar!” ledak Perdana Menteri Hu Weiyong dengan suara mengguntur membuat semua orang yang tengah berlutut seketika terlonjak dan menyungkurkan diri mencium lantai.
“Ttt..Tuanku…hamba berkata yang sesungguhnya. Awak kapal yang hamba bawa ini, ia melihat para perampok itu dan sempat bertarung dengan mereka. Ia telah menceritakan pada hamba bahwa para perampok itu sangat cepat seperti bayangan dan segera menghilang begitu membakar kapal” jawab Saudagar Fu Han sembari menoleh ke arah awak kapalnya yang tergeletak lemah.
Perdana Menteri Hu Weiyong berbalik dan menatap awak kapal yang terluka dengan pandangan menyiratkan ancaman. Selanjutnya, lelaki  itu berjalan dengan langkah lebar ke arah awak kapal yang lemah tersebut kemudian berjongkok di sisinya.
“Apakah itu benar? Apa yang dikatakan oleh majikanmu itu?” tanya Perdana Menteri Hu Weiyong pada si awak kapal.
“Ya Tuanku” sahut si lelaki awak kapal sambil mengangguk lemah. “Tuan Fu Han mengatakan hal yang sebenarnya”.
“Hmm” gumam Perdana Menteri Hu Weiyong. “Kalau begitu ceritakan padaku apa yang kau alami pada saat perampokan itu. Apakah mereka mengintai kalian dari balik kegelapan?”
“Tidak Tuanku” si awak kapal kembali menggeleng. “Para perampok itu datang di pagi hari, kira-kira sepeminuman teh setelah matahari memunculkan diri di atas pepohonan”.
Perdana Menteri Hu Weiyong terkejut. Jadi perampokan itu terjadi di siang hari? Hebat! Hanya perampok yang benar-benar memiliki kemampuan sangat lihai yang berani memunculkan diri dan merampok di siang hari. Rasa penasaran Perdana Menteri Hu Weiyong terungkit dan sedikit menindas gejolak amarah yang semula menguasai hatinya.
“Jika begitu, bukankah seharusnya kau melihat wajah mereka? Para perampok itu?” tanya Perdana Menteri Hu Weiyong kemudian pada si awak kapal.
Untuk ketiga kalinya lelaki awak kapal menggelengkan kepalanya.
“Tidak Tuanku…kami tidak dapat melihat wajah-wajah mereka karena mereka semua mengenakan kain penutup wajah dan seluruh tubuh mereka ditutup oleh pakaian berwarna hitam” jawab si awak kapal.
“Tapi..bukankah seharusnya kalian bisa melihat sebuah tanda dari mereka? Bendera atau lambang misalnya yang bisa menjadi simbol tentang siapa mereka sesungguhnya?” kejar Perdana Menteri Hu dengan nada penasaran yang semakin menyala.
“Mereka tidak membawa bendera Tuanku…juga, tidak ada lempengan besi atau apapun yang menunjukkan lambang mereka” sahut si awak kapal seraya meringis kesakitan. Luka bernanah di tubuhnya terasa semakin mendenyutkan rasa sakit. Keningnya lelaki malang itu berkerut oleh deraan rasa pedih sekaligus upayanya untuk mengingat-ingat. “Hanya saja…”.
“Hanya apa? Katakan apa yang kau ingat! Katakan apapun yang kau tahu dan kau lihat!” kejar Perdana Menteri Hu Weiyong cepat.
“Hanya saja, hamba sempat merasa heran karena gerak mereka sangat seirama dan tertata Tuanku…membuat hamba teringat pada para prajurit” sambung si awak kapal.
Kembali Perdana Menteri Hu Weiyong terkejut. Gerak para perampok itu sangat mirip dengan irama para prajurit?. Siapa sesungguhnya para perampok itu? Berbagai dugaan segera menyembul dalam hati Perdana Menteri Hu Weiyong, menimbulkan serentetan rasa curiga membuat beberapa wajah yang tak pernah sejalan dengannya mulai bermunculan di dalam benak. Jika benar para perampok itu adalah para prajurit, lalu siapa orang yang berada di balik perampokan itu? Siapa orang yang telah berani mengkhianatinya?
“Apa kau melihat orang yang menjadi pemimpin mereka?” tanya Perdana Menteri Hu Weiyong kemudian. Sebuah wajah tertahan dalam benak. Wajah seorang jenderal dari Kementerian Pertahanan yang selalu bersikap dingin padanya. Apakah Jenderal Lan Yu berada di balik perampokan itu? Jenderal Lan Yu memiliki cukup alasan untuk marah padanya terlebih setelah ia mengungkit perihal persaingan di antara jenderal dari kementerian pertahanan tersebut dengan panglima tertinggi kerajaan beberapa hari yang lalu.
“Benar Tuanku” untuk kali ini si awak kapal mengangguk. “Orang yang memimpin mereka sangat lihai dan cepat. Kemampuan ilmu beladirinya sangat bagus dan jauh di atas para perampok yang lain”.
Kening Perdana Menteri Hu Weiyong berkerut.
“Apakah kau tidak melihat sesuatu yang khusus pada pemimpin perampok itu” tanya Perdana Menteri Hu Weiyong kemudian.
Si awak kapal terdiam dan kembali mencoba mengingat-ingat. Hingga kemudian…
“Ya Tuanku…pemimpin dari para perampok itu masih muda” jawab si awak kapal.
“Masih muda? Bagaimana kau tahu bahwa pemimpin dari para perampok itu masih muda? Bukankah kau mengatakan bahwa mereka, para perampok itu menutui wajah mereka dengan kain penutup?” tanya Perdana Menteri Hu Weiyong.
Si awak kapal mengangguk.
“Itu benar Tuanku” sahutnya lemah. “Tapi hamba mendengar suaranya saat ia memberi perintah pada para perampok yang lain. Suaranya bukan suara seorang lelaki yang sudah berumur tua. Suaranya adalah suara yang sangat jernih dan merdu, seolah-olah dirinya adalah seorang pemuda yang tampan. Dan…para perampok lain terlihat sangat menghormati dan patuh pada pemimpin mereka”.
Suara yang jernih dan merdu? Perdana Menteri Hu Weiyong tercenung. Kenangannya memutar suara dari Jenderal Lan Yu dan segera teringat bahwa jenderal dari kementerian pertahanan itu memiliki suara yang serak dan berat, bukan suara yang jernih apalagi merdu. Jika demikian, maka itu artinya ada kemungkinan bahwa bukan Jenderal Lan Yu yang memimpin perampokan itu meski bisa saja, Jenderal Lan Yu adalah orang yang merencanakannya.
“Apakah tidak ada hal lain yang kau lihat dari pemimpin para perampok itu?” tanya Perdana Menteri Hu Weiyong kemudian.
Kembali si awak kapal mengangguk. Gerakannya semakin lemah.
“Ya Tuanku…orang itu, orang yang memimpin para perampok itu…ia memiliki sepasang mata yang sangat indah” jawab si awak kapal nyaris tak terdengar.
Bermata indah? Bersuara jernih dan merdu? Perdana Menteri Hu Weiyong bangkit berdiri, tak mempedulikan si awak kapal yang kini benar-benar terkulai pingsan karena deraan rasa sakit pada luka-lukanya sementara beberapa pelayan Saudagar Fu berusaha memberikan pertolongan pada lelaki malang tersebut.
Saudagar Fu Han menatap ke arah awak kapalnya yang terluka dan Perdana Menteri Hu Weiyong berganti-ganti. Ia mencemaskan awak kapalnya yang terluka tersebut, namun rasa takut membuatnya tak berani sedikitpun beranjak dari tempatnya berlutut.
“Tuanku…” panggil Saudagar Fu Han kemudian dengan nada sangat hati-hati. “Awak kapal hamba…nampaknya lukanya semakin parah…jika…jika hamba tidak membawanya ke tabib sekarang maka dia..dia bisa..”
“Pergilah!” potong Perdana Menteri Hu Weiyong cepat. “Bawa ia ke tabib terbaik. Aku masih sangat membutuhkannya untuk mengenali suara dan mata orang yang memimpin para perampok dan mengambil barang-barangku”.
Saudagar Fu Han bagai ingin melompat karena rasa girang mendengar ucapan Perdana Menteri Hu Weiyong. Lelaki bertubuh gemuk itu mencium lantai berkali-kali sebelum kemudian memberikan isyarat pada para pelayannya untuk mengangkat si awak kapal yang pingsan.
“Terima kasih Tuanku…terima kasih atas kemurahan hati Tuanku Hu Weiyong” ucap Saudagar Fu Han berkali-kali.
Perdana Menteri Hu Weiyong tak mengatakan sepotong kalimatpun. Tubuhnya yang tinggi kekar telah kembali berbalik membelakangi Saudagar Fu Han dan para pelayannya. Lelaki tersebut hanya mengangkat satu tangan kanannya sebagai isyarat yang segera dimengerti oleh Saudagar Fu Han.
Hanya sesaat untuk meninggalkan ruang yang tertutup tersebut dan kemudian, sang perdana menteri itu kembali terbenam dalam kesendirian sementara benaknya riuh oleh berbagai kemungkinan dan pertanyaan yang menghambur keluar. Siapapun orang itu, bahkan seandainya ia adalah sesosok malaikat paling tampan di seluruh alam semesta sekalipun, Perdana Menteri Hu Weiyong bertekad untuk menguak dan mengetahui keberadaannya…
Dan sekaligus memberikan hukuman atas barang-barangnya yang telah hilang…
**********

Tidak ada komentar:

Posting Komentar