Seoul, Korea Selatan…
Dua hari sebelum pelaksanaan festival……
Sekitar pukul 04.30 PM waktu Seoul.
Yoon mengayuh sepedanya sedikit lebih cepat
sementara Seon duduk di belakang sambil mendekap tas ransel Pororonya. Pada
bagian depan, terdapat ransel hitam milik Yoon yang disandang pemuda itu di
depan dada.
“Oppa?” panggil Seon di belakang kakaknya.
“Ya?” jawab Yoon sambil membelokkan sepeda di
jalan menikung. Rumah keluarga Park terletak di kawasan elit Pyeongchang-dong
Mt. Buchan, agak jauh dari tempat tinggal mereka. Beberapa butir keringat
menitik di kening Yoon setelah mengayuh sepeda yang lumayan jauh.
“Berapa lama Oppa akan tinggal di Hawai?” suara
Seon terdengar sedikit melengking untuk mengalahkan deru ribuan kendaraan yang
memenuhi jalan raya.
“Oppa tidak tahu Seon. Mungkin satu minggu atau
sepuluh hari. Oppa tidak akan lama” jawab Yoon, juga dengan suara agak keras.
“Apa rumahnya masih jauh? Di sini rumahnya sangat
bagus. Semua sangat bagus” ujar Seon di belakang punggung Seon.
“Tidak, sebentar lagi kita sampai” jawab Yoon
sambil melambatkan laju sepeda karena mereka telah memasuki kawasan perumahan
yang terlihat megah, bersih dan indah. Suasana tenang jelas terasa. Mobil-mobil
mewah berderet di pinggir jalan depan rumah. Inilah kawasan Pyeongchang-dong
yang sangat terkenal sebagai kawasan tempat tinggal kelas atas. Banyak pejabat tinggi pemerintah, politisi,
pengusaha, seniman, artis dan penulis yang tinggal di kawasan ini. Suara sepeda
berderit terdengar nyaring mengejutkan beberapa orang yang berdiri di sisi
jalan. Beberapa mata sempat menatap ke arah Yoon dan adiknya yang melintas di
depan mereka dengan sepeda yang terus berderit seolah kelelahan setelah
menempuh perjalanan cukup jauh dengan membawa beban yang berat di atasnya.
Sungguh kontras dengan penampilan dua manusia di atas sepeda tersebut yang
keduanya berwajah cemerlang dan indah. Saat mereka sampai di depan sebuah rumah
yang terlihat sangat megah, bercat putih
dengan pilar-pilar besar yang indah, Yoon menghentikan sepedanya.
“Kita sudah sampai. Seon, turunlah dari sepeda”
ujar Yoon pada adiknya. Empat penjaga terlihat berdiri di gerbang bagian dalam
dan penjaga-penjaga tersebut segera berdiri memperhatikan dua kakak beradik di
depan gerbang rumah yang tertutup rapat.
“Ya Oppa” jawab Seon sambil melompat turun dari
boncengan sepeda. Selanjutnya, gadis kecil berwajah cemerlang itu berdiri di
depan gerbang rumah yang tinggi dan sangat indah. Tas ransel Pororo miliknya di
dekap di depan dada. Sepasang mata yang sangat jernih terlihat menatap ke dalam
dengan penuh rasa kagum.
“Apa ini? Istana Yunani? Indah sekali” gumam Seon
pada diri sendiri.
Sementara Yoon menyandarkan sepeda pada sisi
gerbang. Lalu melangkah pelan menuju pintu masuk terluar dari rumah keluarga
Park tersebut dan melempar senyum manis pada penjaga-penjaga yang segera
mengenalinya. Salah satu penjaga segera membukakan pintu gerbang.
“Tuan Muda Yoon….Tuan Muda Park Shi Hoon sudah
menunggu Anda” ujar si penjaga sambil membungkuk hormat.
“Ya, terima kasih” Yoon mengangguk dan membalas penghormatan para penjaga
gerbang lalu tangannya menggamit lengan Seon sementara ransel hitamnya kini
telah berpindah ke bahu. “Ayo Seon”.
Seon tidak menjawab, hanya mengangguk sekilas dan
mengikuti langkah kakaknya.
“Oppa, Park Shi Shoon itu siapa?” tanya Seon
sambil berusaha menjejeri langkah kakaknya.
“Yoon-ah!....akhirnya kau datang juga!” seru
seseorang dari dalam rumah membuat Seon segera berpaling ke arah asal suara.
Segera, rona cemberut menghiasi wajah Seon saat melihat Bok yang tengah berdiri
di beranda yang sangat megah dan luas, di sangga delapan pilar besar yang
sangat indah, anggun dan elegan.
“Dialah Park Shi Hoon” bisik Yoon sekilas pada
adiknya sambil melambaikan tangannya pada Bok. Seon langsung melambatkan
langkahnya begitu mereka telah memasuki beranda dan kini, gadis kecil itu
berdiri beberapa langkah di belakang Yoon.
“Kenapa kalian terlambat? Aku sampai berpikir
aneh-aneh” tanya Bok sambil menatap Yoon dan Seon berganti-ganti.
“Membereskan toko lebih dulu. Menutup
barang-barang dari debu” jawab Yoon. Kepalanya berpaling pada adiknya. “Seon,
kenapa kau berdiri di situ? Kemarilah”.
Seon melangkah mendekat dan kini berdiri di sisi
kakaknya. Sepasang matanya menatap Bok sekilas namun segera mengalihkannya ke
tempat lain. Bok tersenyum manis.
“Yaaaa….selamat datang Putri Bidadari” sapa Bok
pada Seon yang justru membuat cemberut di mulut Seon semakin menebal sejauh
beberapa inci ke depan.
“Jangan panggil aku begitu!” sembur Seon dengan
sengit. “Namaku Seon. Kim Seon Lu!....dasar karung nasi”.
Yoon menyodok adiknya dengan sikunya saat
mendengar nada bicara Seon dan kata-kata gadis kecil itu yang pedas.
“Seon?! Tidak boleh bicara seperti itu pada
sahabat Oppa” tegur Yoon pada adiknya.
“Ah…tidak apa-apa…Seon bisa mengatakan apa saja
pada Bok Oppa” ujar Bok menyela sambil membahasakan panggilannya untuk Seon.
Seon mengerling ke arah Bok dengan tajam sambil
mengerenyit sementara Yoon menggigit bibirnya menahan tawa mendengar kata
panggilan Bok untuk dirinya sendiri. ‘Bok Oppa?’…..panggilan apa itu? Kedengarannya
seperti sesuatu yang sangat besar…aha!.
“Sudahlah…” kata Yoon kemudian. “Bok, di mana Ahjussi
dan Ahjumma? Biar aku menyapa mereka”.
“Ah ya…Yoon-ah, Abeoji ke New York, tadi malam
berangkat. Mungkin lusa baru kembali. Kalau Ommonie, masih ada di rumah sakit.
Malam nanti baru akan pulang. Tapi, aku sudah mengatakan pada mereka bahwa
kalian akan datang hari ini dan Abeoji, juga Ommonie menitip salam untukmu.
Mereka sangat berharap kau akan menang besar nanti. Berusahalah” jawab Bok
sambil tersenyum.
Yoon mengangguk. “Sampaikan terima kasihku pada
Ahjussi dan Ahjumma”.
“Itu pasti!” sahut Bok tegas. “Dan sebaiknya kita
ke bandara sekarang. Jarak dari sini lumayan, dan kita tak ingin ketinggalan
pesawatmu”.
Yoon mengangguk. “Oke”.
“Seon boleh ikut mengantar Oppa kan? Tadi malam
Oppa sudah mengijinkan Seon” tanya Seon tiba-tiba membuat Yoon berpaling pada
adiknya dan mengangguk.
“Tentu saja Cantik....kau boleh ikut ke bandara”
sahut Bok dengan nada yang manis.
“Ishhh…” dengus Seon sambil mencibir membuat Yoon
kali ini benar-benar tertawa.
Namun perjalanan menuju Incheon Air Port menjadi
sangat sunyi dari suara Seon yang biasa ceriwis. Gadis kecil itu duduk manis
tanpa bicara di kursi belakang Porsche silver Bok sementara Yoon mengemudikan
mobil sport mewah itu dengan kecepatan yang stabil. Hanya suara Bok yang
mendominasi pembicaraan. Dari bayangan cermin, Yoon dapat melihat wajah adiknya
yang diliputi mendung. Bok menoleh dan tersenyum pada Seon yang sama sekali tak
membalasnya. Gadis kecil itu hanya diam saat tangan gemuk Bok terulur ke kursi
belakang di sisi Seon dan mengambil tasnya sendiri. Sebuah tas berwarna coklat
dengan desain yang sangat bagus dan kuat berlabel sebuah merk terkenal. Bok
memangku tasnya sementara bibirnya tak henti berbicara dan Yoon menanggapinya
sambil sesekali tertawa mendengar celoteh Bok yang polos hingga perjalanan
menuju Incheon Air Port jadi terasa pendek dan mendadak, mereka telah sampai di
bandar udara internasional tersebut.
Yoon menyandang ransel hitamnya sementara Seon
berdiri di sisinya menunggu saat keberangkatan. Yoon melirik ke arah jam besar
di dinding dekat escalator menuju lantai dua. Pukul 05.30 PM Waktu Seoul. Masih
ada sepuluh menit lagi sebelum pesawat berangkat. Bok pergi mengambil tiket.
Untuk kali ini, Yoon menyerah dan membiarkan Bok membayar harga tiket menuju
Honolulu.
“Oppa….jangan terlalu keras bekerja di sana nanti.
Jangan tidak pernah tidur seperti di rumah…karena di sana Oppa akan sendirian”
ujar Seon di sisi kakaknya membuat Yoon menoleh ke arah adiknya dan tersenyum.
“Ya, Oppa akan ingat baik-baik” sahut Yoon.
“Dan makanlah yang banyak. Oppa selalu makan
sedikit. Apalagi sejak Oppa memasak. Mana ada orang memasak makanan tapi dia
sendiri tak mencicipi makanan yang dibuatnya?” ujar Seon lagi seolah tak
mendengar jawaban kakaknya sedetik lalu. “Makanlah nasi dan makanan lain yang
sehat. Jangan makan ramyeon terus. Seon juga suka ramyeon, tapi setiap hari makan
ramyeon sangatlah tidak sehat. Guru Seon di sekolah mengatakan hal itu”.
Yoon mengangguk-angguk dengan senyum mengembang.
Satu tangannya menepuk-nepuk bahu adiknya.
“Ya, Oppa mengerti” jawab Yoon kemudian. Kepalanya
menoleh saat mendengar suara panggilan padanya. Ternyata Bok, yang berjalan
dengan langkah cepat dan nyaris terhuyung-huyung sambil mengacungkan sehelai
tiket padanya. Yoon mengerutkan alisnya. Selalu, setiap kali ia melihat cara
Bok berjalan, hatinya akan di liputi
kecemasan. Bok sudah benar-benar terlalu berat untuk kedua kakinya sendiri.
“Nah, Yoon-ah…ini tiketmu” ucap Bok saat telah
sampai di samping kedua kakak beradik itu.
“Yup…gumawo Bok Ssi” jawab Yoon sambil mengambil
tiketnya dari tangan Bok. Rautnya terlihat menggoda saat memanggil sahabatnya
dengan nada yang lebih hormat dan formal.
“Bisa kita bicara sebentar?” tanya Bok tak
menanggapi nada canda dalam suara Yoon. Tangannya terulur dan menarik Yoon
sedikit menjauh dari Seon yang menatap keduanya dengan alis berkerut.
“Cantik, tunggu di sini sebentar, oke? Bok Oppa
mau bicara dengan Yoon Oppa” ujar Bok pada Seon membuat Seon memutar bola
matanya yang bening dengan mulut mencibir.
Yoon terkekeh. Ia sungguh tak terbiasa dengan nama
panggilan ‘Bok Oppa’. Benar-benar terdengar terlalu aneh di telinganya. Namun,
Yoon menurut saat Bok membawanya sedikit menjauh.
“Ada apa?” tanya Yoon saat mereka telah sampai di
dekat pilar bandara yang tinggi.
“Tidak ada” jawab Bok singkat. Namun tangannya
mengulurkan tas coklat yang dibawanya pada Yoon. “Bawa ini bersamamu”.
Yoon berkerut menatap tas Bok. “Bok, aku sudah
membawa tasku sendiri. Buat apalagi aku membawa tasmu?”.
“Jangan banyak tanya. Bawa saja kataku!” bentak
Bok dengan suara pelan. “Dan ingat, begitu sampai di sana segera telepon aku,
oke?”.
Yoon menghela nafas sejenak. Sungguh sulit untuk
menolak Bok dan Seon pada saat sekarang. Entah kenapa, dua orang itu mempunyai
watak yang mirip. Lalu, sambil mengangkat bahunya, Yoon menerima tas coklat
yang disodorkan oleh Bok. “Gumawo. Apa isinya? Kau tidak berniat meledakkanku
kan?”
Bok menyodok perut Yoon dengan tinjunya yang gemuk
saat mendengar pertanyaan sahabatnya membuat Yoon terbungkuk. “Jaga diri
baik-baik. Jangan bekerja terlalu keras. Aku berharap kau menang tapi menang
bukan segalanya. Aku lebih suka jika kau kembali dengan sehat dan selamat.
Jangan meninggalkan sepotongpun bagian tubuhmu di sana, kau mengerti!?”
Yoon tertawa. “Ya!...kenapa hari ini kau dan Seon
sangat mirip, he?”
Bok nyengir. “Mungkin itu pertanda bagus.
Sudahlah…pesawat sudah mau berangkat. Sebaiknya kau segera masuk”.
“Sudah
selesai?” tanya Seon dengan nada sebal saat kakaknya dan Bok kembali di
tempatnya berdiri.
“Oppa harus berangkat Seon. Ingat semua pesan
Oppa” ujar Yoon membuat kemurungan Seon semakin terlihat.
“Ya Oppa….jangan lupa juga pesan Seon. Teleponlah
jika Oppa tidak sibuk” sahut Seon.
Yoon mengangguk dan menyambut tangan Bok yang
terulur padanya.
“Titip Seon” ujar Yoon.
“Pasti, kau tak perlu khawatir. Seon aman” jawab
Bok tegas dengan raut serius membuat Yoon merasa tenang karena ia tahu, Bok
sungguh-sungguh bisa dipercaya.
Yoon mengangguk, tersenyum dan berjalan ke arah
pintu masuk. Sekilas ia menoleh ke arah Bok dan Seon lalu melambaikan tangan
kanannya kemudian bersiap untuk mulai kembali melangkah. Namun, sebuah tubrukan
keras di punggungnya membuat Yoon terkejut dan seketika berhenti. Di lihatnya
tangan mungil Seon telah melingkar di perutnya.
“Oppa….cepatlah pulang…cepat pulang Oppa” sedu
Seon di belakang punggung Yoon.
“Seon…kau tidak boleh seperti ini. Kau sudah besar
dan harus belajar untuk tegar. Oppa sudah
berjanji padamu. Jadi, kau jangan menangis dan belajarlah yang rajin”
sahut Yoon lalu perlahan melepaskan tangan adiknya yang mendekap perutnya dan
berbalik menghadap ke arah Seon.
Bok terlihat menatap ke arah mereka dalam jarak
beberapa langkah. Ada senyum di wajah Bok namun Yoon dapat melihat kesedihan di
mata pemuda super gemuk itu saat menatap Seon yang terus menangis. Yoon
membungkuk di depan adiknya hingga matanya sejajar dengan mata Seon yang basah
oleh airmata.
“Dan jangan terlalu galak pada Bok Oppa…walaupun
dia sangat gemuk dan suka makan, tapi dia adalah orang yang paling baik hatinya
di dunia ini setelah Oppa, Abeoji dan Ommonie. Kau harus percaya padanya
seperti Oppa percaya padanya. Kau mengerti?” bisik Yoon pelan.
Seon mengangguk. Satu tangannya terulur masuk ke
dalam tas pororonya dan menarik suatu benda lalu mengulurkannya pada Yoon.
Sebuah kain scarf halus berwarna biru langit dengan satu sulaman benang
berwarna biru tua dan putih berbentuk Pororo kecil di salah satu sudutnya. Itu
scarf kesayangan Seon.
“Oppa…bawa scarf Seon agar Oppa selalu ingat bahwa
Seon menunggu Oppa di sini. Agar Oppa tidak lupa jalan pulang” ujar Seon
membuat Yoon tertawa pelan. Namun tangan pemuda itu terulur juga menerima scarf
yang di ulurkan oleh Seon lalu mengecup dahi adiknya sekilas setelah mengusap
puncak kepala gadis kecil itu dengan penuh rasa sayang.
**************
“Apa ada yang bisa kami bantu Tuan?” suara lembut
seorang pramugari membuyarkan lamunan Yoon. Kalimat bernada ramah dalam Bahasa
Inggris yang sangat fasih.
Yoon menatap pramugari cantik itu sesaat dan
tersenyum membuat sang pramugari tergagap seolah jantungnya hendak melompat
lepas oleh magnet berkekuatan tujuh belas juta megawatt yang menghantam
pertahanannya sebagai seorang gadis. Sepasang mata indah pramugari tersebut
mengerjab-kerjab sementara satu tangannya berpegangan pada kursi penumpang di
depan Yoon saat ia merasa tubuhnya melimbung hendak jatuh.
“Tidak Miss…terima kasih” jawab Yoon dengan nada
yang halus membuat sang pramugari merasa tubuhnya seringan kapas.
“Baiklah….kalau ada sesuatu yang Anda butuhkan,
jangan ragu untuk memintanya pada kami” jawab si pramugari sambil membungkuk
hormat kemudian berjalan terhuyung-huyung menuju dua pramugari lain yang
tampaknya tengah menunggunya setelah mengecek persiapan para penumpang yang
akan segera turun dari pesawat.
Yoon merogoh ke dalam saku celana jeansnya dan
menarik keluar sehelai scarf biru pemberian Seon. Sesaat menimang-nimang benda
yang halus dan harum tersebut. Semburat merah terlihat sedikit meronai kedua
mata pemuda itu saat teringat pada adik kecil yang menangis di bandara, dan
mendoakannya dengan doa yang luar biasa. Lalu, tepat bersamaan dengan suara
pramugari yang mengabarkan bahwa pesawat akan segera mendarat di Bandar Udara
Internasional Honolulu, Yoon segera membentangkan scarf biru langit tersebut
dan mengikatkannya di kepala setelah menyibakkan rambut yang menutupi dahi. Dua
ujung scarf menjuntai melewati bahunya sementara rambut hitamnya yang agak
panjang di bawah telinga menyembul dari balik libatan scarf, meliuk melewati
bagian bawah dua daun telinga dan melekat di leher Yoon, membentuk siluet garis
hitam yang sangat indah. Yoon dapat merasakan beberapa pasang mata yang tertuju
padanya, namun, saat ini perhatiannya hanya tertuju pada satu niat yang
dibawanya dari Seoul.
Kemudian, ketika pesawat telah benar-benar
berhenti dan semua penumpang mulai beranjak dari tempat duduk mereka, Yoon
segera meraih kaca mata hitam di dalam saku kemeja dan mengenakannya. Kakinya
terayun melangkah di belakang sepasang orangtua yang tampaknya hendak berlibur,
melewati para pramugari yang terus menatapnya dan salah satunya sempat tersedak
saat Yoon melempar senyum simpul yang menampakkan sepasang lekuk pipi berkekuatan
melumpuhkan pada para pramugari tersebut sebagai bentuk sapa dan sopan santun.
“Tuan…bisakah Anda memberi tanda tangan?” tanya
satu pramugari sambil mendekat ke arah Yoon membuat pemuda itu terkejut.
“Apa? Tanda tangan? Buat apa?” tanya Yoon sedikit
bingung sambil menatap sehelai saputangan putih berenda yang sangat harum.
“Untuk kenang-kenangan karena Anda sangat mirip
dengan seorang artis yang sangat terkenal” jawab pramugari bertubuh tinggi
semampai tersebut.
Yoon terpana sesaat lalu, ketika kesadarannya
muncul, tawa pelan keluar dengan nada lepas memperlihatkan deretan gigi putih
cemerlang yang memberi efek kilau yang memabukkan.
“Baiklah” jawab Yoon sambil mencoretkan beberapa
garis di atas saputangan putih berenda milik sang pramugari. “Tapi ingat selalu
bahwa saya bukan seorang artis”.
“Tentu saja. Terima kasih Tuan. Selamat berlibur
di Pulau Hawai yang sangat indah” ujar si pramugari bertubuh semampai sambil
membungkukkan tubuhnya dengan penuh rasa bahagia. Sekilas, mata indah sang pramugari
menatap sebentuk garis yang dicoretkan oleh Yoon di atas saputangannya dan
terkejut saat menemukan bahwa coretan garis tersebut ternyata sebuah kata dalam
bahasa Hangul yang berbunyi ‘Kamsahabnidda”.
Sementara Yoon meneruskan langkah menuju pintu pesawat, meninggalkan para
pramugari yang masih bergerombol dan terus menatap di belakang punggungnya.
*************
Penjara Wilayah Kota Seoul…..
Di hari keberangkatan Kim Yoon Lu ke Hawai….
“Tuan Kim Dae?” panggil seorang penjaga penjara dari
balik jeruji membuat Mr. Kim Dae yang tengah berbaring di atas tempat tidurnya
terkejut dan seketika berdiri.
“Ya, Anda memanggil saya?” tanya Mr. Kim Dae
sambil berjalan mendekat ke arah penjaga.
Sang penjaga penjara mengangguk hormat dan
tersenyum. Di tangannya terlihat sebuah bungkusan kain yang cukup besar.
“Putra Anda datang dan mengantarkan makan siang
untuk Anda” ujar penjaga penjara sambil membuka pintu jeruji dan mengulurkan
bungkusan yang dibawanya.
Mr. Kim Dae tampak terkejut. Matanya menatap
bungkusan yang diulurkan oleh sang penjaga.
“Putra saya? Lalu, di mana dia sekarang? Kenapa
tidak menemui saya?” tanya Mr. Kim Dae. Kepalanya mendongak ke balik punggung
penjaga, mencoba mencari sosok yang dapat dikenali dan dirindukannya. Tapi, tak
ada siapapun di balik punggung penjaga penjara selain petugas-petugas
kepolisian yang berlalu lalang.
“Putra anda sudah pulang. Dan tadi, dia menitipkan
surat ini untuk Anda, terimalah” ujar
sang penjaga sambil menarik sehelai amplop dari saku baju seragamnya.
Dengan tangan gemetar dan alis berkerut dalam,
lelaki setengah baya yang telah banyak menyangga rambut putih di kepalanya itu
menerima sehelai surat yang di berikan oleh penjaga penjara.
“Kamsahabnidda” Mr. Kim Dae membungkuk hormat pada
sang penjaga.
“Ya” jawab penjaga penjara sambil membalas
membungkuk ke arah lelaki yang berkharisma itu sebelum menutup kembali pintu
jeruji penjara.
Mr. Kim Dae masih berdiri termangu sesaat di depan
pintu jeruji penjara yang telah tertutup rapat sebelum kemudian melangkah ke
arah sisi tembok ruang penjara dan duduk di lantai. Tak ada meja dan kursi di
ruang tahanan selain satu tempat tidur bertingkat untuk dirinya dan Mr. Chang
An, si pemilik bar yang dipenjara karena kasus yang sama. Bungkusan kain berisi
makan siang di letakkan di lantai tepat di depannya sementara Mr. Chang An
beringsut mendekat.
“Ada apa Dae Ssi? Kiriman dari putramu?” tanya Mr.
Chang An sambil turut duduk di lantai.
Mr. Kim Dae tidak menjawab. Ujung jarinya merobek
sampul surat yang baru saja diserahkan oleh penjaga dan segera membentangkan
kertas putih di dalamnya. Hanya satu helai, dengan tulisan rapi khas sang putra
kedua. Mr. Kim Dae menarik nafas sebelum mulai menekuni huruf demi huruf hangul
hasil goresan jemari panjang Kim Yoon Lu yang bahkan juga sangat mirip dengan tulisan
jemari ibunya.
Appa….
Maafkan
aku karena memberitahu Appa dengan cara yang sungguh tidak sopan.
Appa…
Mungkin
untuk beberapa lama, aku tidak akan bisa menengok Appa. Salah satu teman
memberitahu bahwa ada lomba memasak di Pulau Hawai dan banyak sekali hadiah
uang yang di tawarkan. Aku berniat mengikuti lomba itu, meski aku tahu kemampuanku
sangat jauh di banding Appa. Aku tidak berharap akan memenangkannya, tapi
setidaknya, aku berharap dapat membawa pulang salah satu hadiah yang ditawarkan
agar bisa digunakan untuk modal toko kita. Hyung telah datang dan mengambil
seluruh tabunganku sehingga aku sekarang tidak dapat membuka toko.
Appa…..
Bisakah
Appa berdoa untukku? Dan juga memaafkan aku? Maafkanlah aku karena belum bisa
membuat Appa bahagia. Maafkanlah aku karena telah banyak membuat Appa kecewa.
Aku berharap perjalananku ke Pulau Hawai dapat menjadi penebus seluruh
kesalahanku pada Appa dan Omma.
Jaga
kesehatan Appa dan janganlah terlalu cemas. Seon ada bersama keluarga Park dan mereka
akan menjaganya dengan sangat baik.
Makanlah
yang banyak….
Kim
Yoon Lu.
Mr. Kim Dae melipat surat yang telah selesai di
bacanya lalu mulai membuka bungkusan kain dan mengeluarkan rantang tempat makan
siangnya. Mr. Kim Dae ingat, itu adalah rantang yang sama yang di bawa putranya
sebulan lalu. Setelah ia menolak makanan yang dibawa oleh Yoon dulu itu, putra
keduanya tersebut tak lagi pernah membawa banchan setiapkali menengoknya
seminggu sekali. Bilapun membawa makanan, Yoon selalu membawa makanan yang
dibelinya di toko lain dan bukan lagi makanan hasil masakan sendiri. Mr. Kim
Dae sebenarnya merasa sedih dengan hal itu tapi ia tak bisa memberitahu Yoon
tentang rasa sebenarnya dari masakan putranya. Tidak, karena ia tak ingin Yoon
terlena dan tak lagi belajar untuk berkarya.
“Dae Ssi?” tanya Mr. Chang An sambil menatap pria
di depannya yang kini telah menjadi sahabatnya itu. “Apa isi surat dari
putramu?”
Mr. Kim Dae tidak menjawab dan hanya mengulurkan
surat Yoon lalu kembali menata rantang di lantai depannya. Menata mangkuk
untuknya dan Mr. Chang An lalu mulai mengambil sepotong kimbab. Itu kimbab buah
yang dicobanya sebulan lalu. Lalu, ia juga mengambil ayam bumbu sementara Mr.
Chang An membaca surat Yoon dengan mata membesar dan alis berkerut.
“Ya…Dae Ssi….Yoon-ah pergi ke Pulau Hawai untuk
mengikuti lomba memasak? Itu tempat yang jauh sekali” ujar Mr. Chang An setelah
selesai membaca surat Yoon. “Dan dia melakukannya untuk menghidupkan toko
kembali. Benar-benar anak yang penuh semangat. Dan sangat baik. Dae Ssi…kau
pasti sangat bangga padanya….Yoon-ah benar-benar…”
“Makanlah An Ssi…nanti dingin tidak enak” potong Mr.
Kim Dae berbisik sambil mulai menyuap kimbab di mangkuknya. Kepalanya tertunduk
di atas mangkuk.
“Baiklah, waaah…..kelihatannya enak” sahut Mr.
Chang An sambil meraih mangkuknya dan bersiap untuk menyuap potongan kimchi
yang di ambilnya dari dalam rantang. Namun, suara desah halus yang terdengar membuat
lelaki dengan tattoo senyum permanen di wajahnya itu menghentikan gerak
tangannya dan wajahnya berpaling menatap Mr. Kim Dae.
“Dae Ssi?” panggil Mr. Chang An saat melihat
lelaki yang duduk di sampingnya itu tertunduk di atas mangkuknya, mengunyah
kimbab…dengan air mata yang membasahi kedua pipi yang mulai dihiasi keriput.
Mr. Chang An meletakkan kembali mangkuk dan sumpitnya ke lantai dan kini,
lelaki pemilik bar itu mengulurkan tangannya, menyentuh bahu teman satu
kamarnya di penjara wilayah. Menepuk bahu yang bergetar itu dengan alis
berkerut. “Dae Ssi….yaaaaa….kenapa kau malah menangis? Bukankah seharusnya kau
bangga mempunyai anak sebaik Yoon-ah itu?”
“Anak bodoh….anak bodoh” bisik Mr. Kim Dae dengan
air mata yang semakin deras mengalir.
Jarinya terulur menjumput beberapa potong kimchi sekaligus dari dalam rantang
lalu menjejalkannya ke dalam mulut dan mengunyahnya….dalam tangis, oleh rasa
cinta yang tak tersampaikan dalam kata-kata untuk putra kedua yang tengah
melaju bersama pesawat yang membawanya menyeberangi samudera.
*************
Seoul, Korea Selatan….
Pada hari keberangkatan Kim Yoon Lu ke Hawai…
Bok mengemudikan mobil Porsche silvernya dengan
pikiran kalut. Matanya terus melirik ke cermin di depannya dengan raut cemas.
Seumur hidup, baru kali ini ia mencemaskan sesuatu yang bukan dirinya atau
orangtuanya. Dan itu sungguh-sungguh sangat aneh. Apa yang harus di lakukannya
sekarang? Apa yang mesti dikatakannya untuk mengatasi airmata yang tak henti
mengalir di pipi secemerlang mutiara yang duduk di kursi belakang mobil
Porsche-nya itu? Bok berkali-kali membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu
namun segera, semua kalimatnya seperti tertelan kembali. Jalan lalu lintas
sangat ramai, terlebih di malam hari seperti sekarang. Mestinya, ia
berkonsentrasi untuk melihat jalan di depannya. Tetapi, kehadiran sosok mungil
yang tak henti menangis di kursi belakang membuat Bok tak lagi mempedulikan
hakikat keselamatan diri dalam mengemudi.
Sementara Seon terus menangis bahkan sejak sebelum
mereka berdua keluar dari ruang tunggu Incheon Air Port. Ini adalah pertama
kalinya ia dan Yoon berpisah sejak hari pertama ia membuka mata di dunia ini.
Rasanya dunia seperti berakhir bagi Seon. Tangannya merogoh ke dalam ransel
pororonya untuk mengambil kertas tissue namun, apa yang kemudian di dapatnya
adalah bungkus tissue yang telah kosong karena semua isinya telah berjuang
keras untuk menghapus airmata yang tak henti mengalir. Seon melempar plastik
pembungkus tissue yang kosong ke jalan raya begitu saja lalu menyerah
membiarkan airmatanya membanjir, mengalir di pipinya dan menetes melalui
dagunya yang oval.
Tapi Bok melihatnya melalui kaca spion mobil di
depannya. Saat tangan mungil penumpang di kursi belakang membuang bungkus
tissue yang kosong dengan gemas lalu menyerah pada airmata yang terus mengalir. Maka, tangan kanan Bok terulur
mengambil sekotak besar tissue yang terletak di atas dashboard mobil, dalam
wadah kotak baja berukir berbentuk ikan Koi dan mengulurkannya ke belakang. Mobil
Porsche sedikit meliuk karena Bok tak bisa berpaling penuh ke arah Seon
disebabkan oleh tubuhnya yang super gemuk. Ia harus memutar seluruh tubuhnya
bila ingin berpaling ke belakang. Karena itu, saat mengulurkan kotak tissue
pada Seon, untuk sejenak pandangan dan tubuh Bok teralih dari jalan raya di
depannya.
Seon yang tengah menangis berkerut melihat tangan
kanan Bok yang gemuk menggapai-gapai ke arahnya dengan sekotak tissue di
genggaman jemarinya yang sebesar sosis. Mulutnya membuka untuk bertanya, namun
sebuah sorot lampu tajam yang berasal dari depan membuat Seon sangat terkejut
dan lebih terkejut lagi saat menyadari bahwa sorot lampu tersebut berasal dari
lampu belakang mobil yang ada di depan mereka dan mobil Porsche silver yang
dikemudiakan oleh Bok sedang meluncur dengan sangat cepat menuju mobil
tersebut.
“Awaaaaasss!...lihat ke depan!” jerit Seon setinggi
langit membuat Bok seketika terperanjat dan pandangannya kembali ke depan.
Sejenak Bok merasa panik menyadari bahwa dalam
beberapa detik, mereka akan menabrak mobil yang ada di depan mereka sementara
ia tak bisa mengerem mobil karena mobil-mobil lain di belakang mereka juga
tengah melaju dengan kecepatan tinggi. Satu-satunya yang dapat dilakukan oleh
Bok hanyalah keluar dari area jalur cepat meskipun itu berarti mereka harus
menerobos pembatas jalan. Itu sama saja berbahaya karena bisa jadi, mobil ini akan
terbalik. Tapi, jika ia bisa mengendalikan mobilnya, maka kemungkinan untuk
selamat menjadi lebih besar. Karena itu, Bok segera membanting stir kemudi ke
arah pembatas jalan yang lebih tinggi sekitar sepuluh senti dari jalan raya.
Itu adalah area berumput dan merupakan daerah taman kota di mana pohon-pohon
perindang berdiri berjajar dalam jarak yang teratur dan rapi.
“BRAAKKKK!!!” suara keras terdengar saat mobil
Porsche silver itu melompati pembatas jalan, berguncang hebat dan nyaris
terbalik dengan roda sisi kanan mobil yang telah terangkat ke atas nyaris
setinggi tiga puluh senti membuat Seon menjerit keras dan menutupi mukanya
dengan telapak tangan. Bok berusaha melempar tubuhnya ke sisi kanan mobil yang
masih belum sepenuhnya berhenti dan terjungkit ke atas tersebut. Segalanya
berlangsung demikian cepat hingga Seon tak melihat hal selanjutnya selain
sebuah hentakan kuat yang membuat tubuhnya terdorong ke depan dan menabrak
kursi di sisi pengemudi. Rasa pening menyerang kepala Seon membuatnya terkulai
diam di kursi mobil bagian belakang hingga sebuah tangan menyentuh bahunya dan
berusaha mengangkatnya.
“Seon?!...Seon?!...bangunlah!...kau tidak
apa-apa?...kau tidak apa-apa?” sebuah suara memanggil-manggil Seon membuat
gadis itu perlahan membuka matanya.
“Oppa?...Oppa?” panggil Seon saat ia melihat
seraut wajah Yoon di depan matanya, menatapnya dengan raut khawatir yang jelas
terlihat membuat Seon berusaha untuk tersenyum. “Oppa….Seon tidak apa-apa. Oppa
jangan cemas….Seon…tidak apa-apa”.
“Seon?!....Seon?!...Seooooooon!!!!” teriak Bok
yang mendekap Seon dalam pelukannya. Sesaat ia merasa lega saat melihat Seon
membuka matanya dan berusaha untuk tersenyum. Namun ketika kemudian gadis kecil
dalam dekapannya perlahan menutup matanya kembali seiring tangan yang terkulai,
Bok benar-benar menjadi panik. Sepasang matanya nanar sementara satu mobil
patroli polisi dan satu mobil ambulans terlihat menepi untuk melihat kecelakaan
yang baru saja terjadi setelah salah satu pengemudi mobil yang lewat menelpon
911. Bok segera menoleh ke arah dua orang polisi yang berjalan cepat ke
arahnya. Mata pemuda bertubuh gemuk itu telah menjadi basah oleh amukan rasa
takut dan cemas yang luar biasa saat mulutnya mulai berteriak.
“Tolong!...cepat tolong bawa ke rumah sakit!...cepat!!”
teriak Bok yang akhirnya benar-benar menangis sementara sepasang lengannya
mendekap Seon erat-erat.
****************
Tidak ada komentar:
Posting Komentar