Jumat, 06 Maret 2015

Straight - Episode 2 ( Bagian Satu )

Seoul, Korea Selatan…
Dua hari sebelum pelaksanaan festival……
Sekitar pukul 04.30 PM waktu Seoul.
Yoon mengayuh sepedanya sedikit lebih cepat sementara Seon duduk di belakang sambil mendekap tas ransel Pororonya. Pada bagian depan, terdapat ransel hitam milik Yoon yang disandang pemuda itu di depan dada.
“Oppa?” panggil Seon di belakang kakaknya.
“Ya?” jawab Yoon sambil membelokkan sepeda di jalan menikung. Rumah keluarga Park terletak di kawasan elit Pyeongchang-dong Mt. Buchan, agak jauh dari tempat tinggal mereka. Beberapa butir keringat menitik di kening Yoon setelah mengayuh sepeda yang lumayan jauh.
“Berapa lama Oppa akan tinggal di Hawai?” suara Seon terdengar sedikit melengking untuk mengalahkan deru ribuan kendaraan yang memenuhi jalan raya.
“Oppa tidak tahu Seon. Mungkin satu minggu atau sepuluh hari. Oppa tidak akan lama” jawab Yoon, juga dengan suara agak keras.
“Apa rumahnya masih jauh? Di sini rumahnya sangat bagus. Semua sangat bagus” ujar Seon di belakang punggung Seon.
“Tidak, sebentar lagi kita sampai” jawab Yoon sambil melambatkan laju sepeda karena mereka telah memasuki kawasan perumahan yang terlihat megah, bersih dan indah. Suasana tenang jelas terasa. Mobil-mobil mewah berderet di pinggir jalan depan rumah. Inilah kawasan Pyeongchang-dong yang sangat terkenal sebagai kawasan tempat tinggal kelas atas.  Banyak pejabat tinggi pemerintah, politisi, pengusaha, seniman, artis dan penulis yang tinggal di kawasan ini. Suara sepeda berderit terdengar nyaring mengejutkan beberapa orang yang berdiri di sisi jalan. Beberapa mata sempat menatap ke arah Yoon dan adiknya yang melintas di depan mereka dengan sepeda yang terus berderit seolah kelelahan setelah menempuh perjalanan cukup jauh dengan membawa beban yang berat di atasnya. Sungguh kontras dengan penampilan dua manusia di atas sepeda tersebut yang keduanya berwajah cemerlang dan indah. Saat mereka sampai di depan sebuah rumah yang terlihat sangat megah, bercat putih  dengan pilar-pilar besar yang indah, Yoon menghentikan sepedanya.
“Kita sudah sampai. Seon, turunlah dari sepeda” ujar Yoon pada adiknya. Empat penjaga terlihat berdiri di gerbang bagian dalam dan penjaga-penjaga tersebut segera berdiri memperhatikan dua kakak beradik di depan gerbang rumah yang tertutup rapat.
“Ya Oppa” jawab Seon sambil melompat turun dari boncengan sepeda. Selanjutnya, gadis kecil berwajah cemerlang itu berdiri di depan gerbang rumah yang tinggi dan sangat indah. Tas ransel Pororo miliknya di dekap di depan dada. Sepasang mata yang sangat jernih terlihat menatap ke dalam dengan penuh rasa kagum.
“Apa ini? Istana Yunani? Indah sekali” gumam Seon pada diri sendiri.
Sementara Yoon menyandarkan sepeda pada sisi gerbang. Lalu melangkah pelan menuju pintu masuk terluar dari rumah keluarga Park tersebut dan melempar senyum manis pada penjaga-penjaga yang segera mengenalinya. Salah satu penjaga segera membukakan pintu gerbang.
“Tuan Muda Yoon….Tuan Muda Park Shi Hoon sudah menunggu Anda” ujar si penjaga sambil membungkuk hormat.
“Ya, terima kasih” Yoon mengangguk  dan membalas penghormatan para penjaga gerbang lalu tangannya menggamit lengan Seon sementara ransel hitamnya kini telah berpindah ke bahu. “Ayo Seon”.
Seon tidak menjawab, hanya mengangguk sekilas dan mengikuti langkah kakaknya.
“Oppa, Park Shi Shoon itu siapa?” tanya Seon sambil berusaha menjejeri langkah kakaknya.
“Yoon-ah!....akhirnya kau datang juga!” seru seseorang dari dalam rumah membuat Seon segera berpaling ke arah asal suara. Segera, rona cemberut menghiasi wajah Seon saat melihat Bok yang tengah berdiri di beranda yang sangat megah dan luas, di sangga delapan pilar besar yang sangat indah, anggun dan elegan.
“Dialah Park Shi Hoon” bisik Yoon sekilas pada adiknya sambil melambaikan tangannya pada Bok. Seon langsung melambatkan langkahnya begitu mereka telah memasuki beranda dan kini, gadis kecil itu berdiri beberapa langkah di belakang Yoon.
“Kenapa kalian terlambat? Aku sampai berpikir aneh-aneh” tanya Bok sambil menatap Yoon dan Seon berganti-ganti.
“Membereskan toko lebih dulu. Menutup barang-barang dari debu” jawab Yoon. Kepalanya berpaling pada adiknya. “Seon, kenapa kau berdiri di situ? Kemarilah”.
Seon melangkah mendekat dan kini berdiri di sisi kakaknya. Sepasang matanya menatap Bok sekilas namun segera mengalihkannya ke tempat lain. Bok tersenyum manis.
“Yaaaa….selamat datang Putri Bidadari” sapa Bok pada Seon yang justru membuat cemberut di mulut Seon semakin menebal sejauh beberapa inci ke depan.
“Jangan panggil aku begitu!” sembur Seon dengan sengit. “Namaku Seon. Kim Seon Lu!....dasar karung nasi”.
Yoon menyodok adiknya dengan sikunya saat mendengar nada bicara Seon dan kata-kata gadis kecil itu yang pedas.
“Seon?! Tidak boleh bicara seperti itu pada sahabat Oppa” tegur Yoon pada adiknya.
“Ah…tidak apa-apa…Seon bisa mengatakan apa saja pada Bok Oppa” ujar Bok menyela sambil membahasakan panggilannya untuk Seon.
Seon mengerling ke arah Bok dengan tajam sambil mengerenyit sementara Yoon menggigit bibirnya menahan tawa mendengar kata panggilan Bok untuk dirinya sendiri. ‘Bok Oppa?’…..panggilan apa itu? Kedengarannya seperti sesuatu yang sangat besar…aha!.
“Sudahlah…” kata Yoon kemudian. “Bok, di mana Ahjussi dan Ahjumma? Biar aku menyapa mereka”.
“Ah ya…Yoon-ah, Abeoji ke New York, tadi malam berangkat. Mungkin lusa baru kembali. Kalau Ommonie, masih ada di rumah sakit. Malam nanti baru akan pulang. Tapi, aku sudah mengatakan pada mereka bahwa kalian akan datang hari ini dan Abeoji, juga Ommonie menitip salam untukmu. Mereka sangat berharap kau akan menang besar nanti. Berusahalah” jawab Bok sambil tersenyum.
Yoon mengangguk. “Sampaikan terima kasihku pada Ahjussi dan Ahjumma”.
“Itu pasti!” sahut Bok tegas. “Dan sebaiknya kita ke bandara sekarang. Jarak dari sini lumayan, dan kita tak ingin ketinggalan pesawatmu”.
Yoon mengangguk. “Oke”.
“Seon boleh ikut mengantar Oppa kan? Tadi malam Oppa sudah mengijinkan Seon” tanya Seon tiba-tiba membuat Yoon berpaling pada adiknya dan mengangguk.
“Tentu saja Cantik....kau boleh ikut ke bandara” sahut Bok dengan nada yang manis.
“Ishhh…” dengus Seon sambil mencibir membuat Yoon kali ini benar-benar tertawa.
Namun perjalanan menuju Incheon Air Port menjadi sangat sunyi dari suara Seon yang biasa ceriwis. Gadis kecil itu duduk manis tanpa bicara di kursi belakang Porsche silver Bok sementara Yoon mengemudikan mobil sport mewah itu dengan kecepatan yang stabil. Hanya suara Bok yang mendominasi pembicaraan. Dari bayangan cermin, Yoon dapat melihat wajah adiknya yang diliputi mendung. Bok menoleh dan tersenyum pada Seon yang sama sekali tak membalasnya. Gadis kecil itu hanya diam saat tangan gemuk Bok terulur ke kursi belakang di sisi Seon dan mengambil tasnya sendiri. Sebuah tas berwarna coklat dengan desain yang sangat bagus dan kuat berlabel sebuah merk terkenal. Bok memangku tasnya sementara bibirnya tak henti berbicara dan Yoon menanggapinya sambil sesekali tertawa mendengar celoteh Bok yang polos hingga perjalanan menuju Incheon Air Port jadi terasa pendek dan mendadak, mereka telah sampai di bandar udara internasional tersebut.
Yoon menyandang ransel hitamnya sementara Seon berdiri di sisinya menunggu saat keberangkatan. Yoon melirik ke arah jam besar di dinding dekat escalator menuju lantai dua. Pukul 05.30 PM Waktu Seoul. Masih ada sepuluh menit lagi sebelum pesawat berangkat. Bok pergi mengambil tiket. Untuk kali ini, Yoon menyerah dan membiarkan Bok membayar harga tiket menuju Honolulu.
“Oppa….jangan terlalu keras bekerja di sana nanti. Jangan tidak pernah tidur seperti di rumah…karena di sana Oppa akan sendirian” ujar Seon di sisi kakaknya membuat Yoon menoleh ke arah adiknya dan tersenyum.
“Ya, Oppa akan ingat baik-baik” sahut Yoon.
“Dan makanlah yang banyak. Oppa selalu makan sedikit. Apalagi sejak Oppa memasak. Mana ada orang memasak makanan tapi dia sendiri tak mencicipi makanan yang dibuatnya?” ujar Seon lagi seolah tak mendengar jawaban kakaknya sedetik lalu. “Makanlah nasi dan makanan lain yang sehat. Jangan makan ramyeon terus. Seon juga suka ramyeon, tapi setiap hari makan ramyeon sangatlah tidak sehat. Guru Seon di sekolah mengatakan hal itu”.
Yoon mengangguk-angguk dengan senyum mengembang. Satu tangannya menepuk-nepuk bahu adiknya.
“Ya, Oppa mengerti” jawab Yoon kemudian. Kepalanya menoleh saat mendengar suara panggilan padanya. Ternyata Bok, yang berjalan dengan langkah cepat dan nyaris terhuyung-huyung sambil mengacungkan sehelai tiket padanya. Yoon mengerutkan alisnya. Selalu, setiap kali ia melihat cara Bok berjalan, hatinya  akan di liputi kecemasan. Bok sudah benar-benar terlalu berat untuk kedua kakinya sendiri.
“Nah, Yoon-ah…ini tiketmu” ucap Bok saat telah sampai di samping kedua kakak beradik itu.
“Yup…gumawo Bok Ssi” jawab Yoon sambil mengambil tiketnya dari tangan Bok. Rautnya terlihat menggoda saat memanggil sahabatnya dengan nada yang lebih hormat dan formal.
“Bisa kita bicara sebentar?” tanya Bok tak menanggapi nada canda dalam suara Yoon. Tangannya terulur dan menarik Yoon sedikit menjauh dari Seon yang menatap keduanya dengan alis berkerut.
“Cantik, tunggu di sini sebentar, oke? Bok Oppa mau bicara dengan Yoon Oppa” ujar Bok pada Seon membuat Seon memutar bola matanya yang bening dengan mulut mencibir.
Yoon terkekeh. Ia sungguh tak terbiasa dengan nama panggilan ‘Bok Oppa’. Benar-benar terdengar terlalu aneh di telinganya. Namun, Yoon menurut saat Bok membawanya sedikit menjauh.
“Ada apa?” tanya Yoon saat mereka telah sampai di dekat pilar bandara yang tinggi.
“Tidak ada” jawab Bok singkat. Namun tangannya mengulurkan tas coklat yang dibawanya pada Yoon. “Bawa ini bersamamu”.
Yoon berkerut menatap tas Bok. “Bok, aku sudah membawa tasku sendiri. Buat apalagi aku membawa tasmu?”.
“Jangan banyak tanya. Bawa saja kataku!” bentak Bok dengan suara pelan. “Dan ingat, begitu sampai di sana segera telepon aku, oke?”.
Yoon menghela nafas sejenak. Sungguh sulit untuk menolak Bok dan Seon pada saat sekarang. Entah kenapa, dua orang itu mempunyai watak yang mirip. Lalu, sambil mengangkat bahunya, Yoon menerima tas coklat yang disodorkan oleh Bok. “Gumawo. Apa isinya? Kau tidak berniat meledakkanku kan?”
Bok menyodok perut Yoon dengan tinjunya yang gemuk saat mendengar pertanyaan sahabatnya membuat Yoon terbungkuk. “Jaga diri baik-baik. Jangan bekerja terlalu keras. Aku berharap kau menang tapi menang bukan segalanya. Aku lebih suka jika kau kembali dengan sehat dan selamat. Jangan meninggalkan sepotongpun bagian tubuhmu di sana, kau mengerti!?”
Yoon tertawa. “Ya!...kenapa hari ini kau dan Seon sangat mirip, he?”
Bok nyengir. “Mungkin itu pertanda bagus. Sudahlah…pesawat sudah mau berangkat. Sebaiknya kau segera masuk”.
 “Sudah selesai?” tanya Seon dengan nada sebal saat kakaknya dan Bok kembali di tempatnya berdiri.
“Oppa harus berangkat Seon. Ingat semua pesan Oppa” ujar Yoon membuat kemurungan Seon semakin terlihat.
“Ya Oppa….jangan lupa juga pesan Seon. Teleponlah jika Oppa tidak sibuk” sahut Seon.
Yoon mengangguk dan menyambut tangan Bok yang terulur padanya.
“Titip Seon” ujar Yoon.
“Pasti, kau tak perlu khawatir. Seon aman” jawab Bok tegas dengan raut serius membuat Yoon merasa tenang karena ia tahu, Bok sungguh-sungguh bisa dipercaya.
Yoon mengangguk, tersenyum dan berjalan ke arah pintu masuk. Sekilas ia menoleh ke arah Bok dan Seon lalu melambaikan tangan kanannya kemudian bersiap untuk mulai kembali melangkah. Namun, sebuah tubrukan keras di punggungnya membuat Yoon terkejut dan seketika berhenti. Di lihatnya tangan mungil Seon telah melingkar di perutnya.
“Oppa….cepatlah pulang…cepat pulang Oppa” sedu Seon di belakang punggung Yoon.
“Seon…kau tidak boleh seperti ini. Kau sudah besar dan harus belajar untuk tegar. Oppa sudah  berjanji padamu. Jadi, kau jangan menangis dan belajarlah yang rajin” sahut Yoon lalu perlahan melepaskan tangan adiknya yang mendekap perutnya dan berbalik menghadap ke arah Seon.
Bok terlihat menatap ke arah mereka dalam jarak beberapa langkah. Ada senyum di wajah Bok namun Yoon dapat melihat kesedihan di mata pemuda super gemuk itu saat menatap Seon yang terus menangis. Yoon membungkuk di depan adiknya hingga matanya sejajar dengan mata Seon yang basah oleh airmata.
“Dan jangan terlalu galak pada Bok Oppa…walaupun dia sangat gemuk dan suka makan, tapi dia adalah orang yang paling baik hatinya di dunia ini setelah Oppa, Abeoji dan Ommonie. Kau harus percaya padanya seperti Oppa percaya padanya. Kau mengerti?” bisik Yoon pelan.
Seon mengangguk. Satu tangannya terulur masuk ke dalam tas pororonya dan menarik suatu benda lalu mengulurkannya pada Yoon. Sebuah kain scarf halus berwarna biru langit dengan satu sulaman benang berwarna biru tua dan putih berbentuk Pororo kecil di salah satu sudutnya. Itu scarf kesayangan Seon.
“Oppa…bawa scarf Seon agar Oppa selalu ingat bahwa Seon menunggu Oppa di sini. Agar Oppa tidak lupa jalan pulang” ujar Seon membuat Yoon tertawa pelan. Namun tangan pemuda itu terulur juga menerima scarf yang di ulurkan oleh Seon lalu mengecup dahi adiknya sekilas setelah mengusap puncak kepala gadis kecil itu dengan penuh rasa sayang.
**************

“Apa ada yang bisa kami bantu Tuan?” suara lembut seorang pramugari membuyarkan lamunan Yoon. Kalimat bernada ramah dalam Bahasa Inggris yang sangat fasih.
Yoon menatap pramugari cantik itu sesaat dan tersenyum membuat sang pramugari tergagap seolah jantungnya hendak melompat lepas oleh magnet berkekuatan tujuh belas juta megawatt yang menghantam pertahanannya sebagai seorang gadis. Sepasang mata indah pramugari tersebut mengerjab-kerjab sementara satu tangannya berpegangan pada kursi penumpang di depan Yoon saat ia merasa tubuhnya melimbung hendak jatuh.
“Tidak Miss…terima kasih” jawab Yoon dengan nada yang halus membuat sang pramugari merasa tubuhnya seringan kapas.
“Baiklah….kalau ada sesuatu yang Anda butuhkan, jangan ragu untuk memintanya pada kami” jawab si pramugari sambil membungkuk hormat kemudian berjalan terhuyung-huyung menuju dua pramugari lain yang tampaknya tengah menunggunya setelah mengecek persiapan para penumpang yang akan segera turun dari pesawat.
Yoon merogoh ke dalam saku celana jeansnya dan menarik keluar sehelai scarf biru pemberian Seon. Sesaat menimang-nimang benda yang halus dan harum tersebut. Semburat merah terlihat sedikit meronai kedua mata pemuda itu saat teringat pada adik kecil yang menangis di bandara, dan mendoakannya dengan doa yang luar biasa. Lalu, tepat bersamaan dengan suara pramugari yang mengabarkan bahwa pesawat akan segera mendarat di Bandar Udara Internasional Honolulu, Yoon segera membentangkan scarf biru langit tersebut dan mengikatkannya di kepala setelah menyibakkan rambut yang menutupi dahi. Dua ujung scarf menjuntai melewati bahunya sementara rambut hitamnya yang agak panjang di bawah telinga menyembul dari balik libatan scarf, meliuk melewati bagian bawah dua daun telinga dan melekat di leher Yoon, membentuk siluet garis hitam yang sangat indah. Yoon dapat merasakan beberapa pasang mata yang tertuju padanya, namun, saat ini perhatiannya hanya tertuju pada satu niat yang dibawanya dari Seoul.
Kemudian, ketika pesawat telah benar-benar berhenti dan semua penumpang mulai beranjak dari tempat duduk mereka, Yoon segera meraih kaca mata hitam di dalam saku kemeja dan mengenakannya. Kakinya terayun melangkah di belakang sepasang orangtua yang tampaknya hendak berlibur, melewati para pramugari yang terus menatapnya dan salah satunya sempat tersedak saat Yoon melempar senyum simpul yang menampakkan sepasang lekuk pipi berkekuatan melumpuhkan pada para pramugari tersebut sebagai bentuk sapa dan sopan santun.
“Tuan…bisakah Anda memberi tanda tangan?” tanya satu pramugari sambil mendekat ke arah Yoon membuat pemuda itu terkejut.
“Apa? Tanda tangan? Buat apa?” tanya Yoon sedikit bingung sambil menatap sehelai saputangan putih berenda yang sangat harum.
“Untuk kenang-kenangan karena Anda sangat mirip dengan seorang artis yang sangat terkenal” jawab pramugari bertubuh tinggi semampai tersebut.
Yoon terpana sesaat lalu, ketika kesadarannya muncul, tawa pelan keluar dengan nada lepas memperlihatkan deretan gigi putih cemerlang yang memberi efek kilau yang memabukkan.
“Baiklah” jawab Yoon sambil mencoretkan beberapa garis di atas saputangan putih berenda milik sang pramugari. “Tapi ingat selalu bahwa saya bukan seorang artis”.
“Tentu saja. Terima kasih Tuan. Selamat berlibur di Pulau Hawai yang sangat indah” ujar si pramugari bertubuh semampai sambil membungkukkan tubuhnya dengan penuh rasa bahagia. Sekilas, mata indah sang pramugari menatap sebentuk garis yang dicoretkan oleh Yoon di atas saputangannya dan terkejut saat menemukan bahwa coretan garis tersebut ternyata sebuah kata dalam bahasa Hangul yang berbunyi  ‘Kamsahabnidda”. Sementara Yoon meneruskan langkah menuju pintu pesawat, meninggalkan para pramugari yang masih bergerombol dan terus menatap di belakang punggungnya.
*************
Penjara Wilayah Kota Seoul…..
Di hari keberangkatan Kim Yoon Lu ke Hawai….
“Tuan Kim Dae?” panggil seorang penjaga penjara dari balik jeruji membuat Mr. Kim Dae yang tengah berbaring di atas tempat tidurnya terkejut dan seketika berdiri.
“Ya, Anda memanggil saya?” tanya Mr. Kim Dae sambil berjalan mendekat ke arah penjaga.
Sang penjaga penjara mengangguk hormat dan tersenyum. Di tangannya terlihat sebuah bungkusan kain yang cukup besar.
“Putra Anda datang dan mengantarkan makan siang untuk Anda” ujar penjaga penjara sambil membuka pintu jeruji dan mengulurkan bungkusan yang dibawanya.
Mr. Kim Dae tampak terkejut. Matanya menatap bungkusan yang diulurkan oleh sang penjaga.
“Putra saya? Lalu, di mana dia sekarang? Kenapa tidak menemui saya?” tanya Mr. Kim Dae. Kepalanya mendongak ke balik punggung penjaga, mencoba mencari sosok yang dapat dikenali dan dirindukannya. Tapi, tak ada siapapun di balik punggung penjaga penjara selain petugas-petugas kepolisian yang berlalu lalang.
“Putra anda sudah pulang. Dan tadi, dia menitipkan surat ini untuk Anda, terimalah”  ujar sang penjaga sambil menarik sehelai amplop dari saku baju seragamnya.
Dengan tangan gemetar dan alis berkerut dalam, lelaki setengah baya yang telah banyak menyangga rambut putih di kepalanya itu menerima sehelai surat yang di berikan oleh penjaga penjara.
“Kamsahabnidda” Mr. Kim Dae membungkuk hormat pada sang penjaga.
“Ya” jawab penjaga penjara sambil membalas membungkuk ke arah lelaki yang berkharisma itu sebelum menutup kembali pintu jeruji penjara.
Mr. Kim Dae masih berdiri termangu sesaat di depan pintu jeruji penjara yang telah tertutup rapat sebelum kemudian melangkah ke arah sisi tembok ruang penjara dan duduk di lantai. Tak ada meja dan kursi di ruang tahanan selain satu tempat tidur bertingkat untuk dirinya dan Mr. Chang An, si pemilik bar yang dipenjara karena kasus yang sama. Bungkusan kain berisi makan siang di letakkan di lantai tepat di depannya sementara Mr. Chang An beringsut mendekat.
“Ada apa Dae Ssi? Kiriman dari putramu?” tanya Mr. Chang An sambil turut duduk di lantai.
Mr. Kim Dae tidak menjawab. Ujung jarinya merobek sampul surat yang baru saja diserahkan oleh penjaga dan segera membentangkan kertas putih di dalamnya. Hanya satu helai, dengan tulisan rapi khas sang putra kedua. Mr. Kim Dae menarik nafas sebelum mulai menekuni huruf demi huruf hangul hasil goresan jemari panjang Kim Yoon Lu yang bahkan juga sangat mirip dengan tulisan jemari ibunya.
Appa….
Maafkan aku karena memberitahu Appa dengan cara yang sungguh tidak sopan.
Appa…
Mungkin untuk beberapa lama, aku tidak akan bisa menengok Appa. Salah satu teman memberitahu bahwa ada lomba memasak di Pulau Hawai dan banyak sekali hadiah uang yang di tawarkan. Aku berniat mengikuti lomba itu, meski aku tahu kemampuanku sangat jauh di banding Appa. Aku tidak berharap akan memenangkannya, tapi setidaknya, aku berharap dapat membawa pulang salah satu hadiah yang ditawarkan agar bisa digunakan untuk modal toko kita. Hyung telah datang dan mengambil seluruh tabunganku sehingga aku sekarang tidak dapat membuka toko.
Appa…..
Bisakah Appa berdoa untukku? Dan juga memaafkan aku? Maafkanlah aku karena belum bisa membuat Appa bahagia. Maafkanlah aku karena telah banyak membuat Appa kecewa. Aku berharap perjalananku ke Pulau Hawai dapat menjadi penebus seluruh kesalahanku pada Appa dan Omma.
Jaga kesehatan Appa dan janganlah terlalu cemas. Seon ada bersama keluarga Park dan mereka akan menjaganya dengan sangat baik.
Makanlah yang banyak….
Kim Yoon Lu.
Mr. Kim Dae melipat surat yang telah selesai di bacanya lalu mulai membuka bungkusan kain dan mengeluarkan rantang tempat makan siangnya. Mr. Kim Dae ingat, itu adalah rantang yang sama yang di bawa putranya sebulan lalu. Setelah ia menolak makanan yang dibawa oleh Yoon dulu itu, putra keduanya tersebut tak lagi pernah membawa banchan setiapkali menengoknya seminggu sekali. Bilapun membawa makanan, Yoon selalu membawa makanan yang dibelinya di toko lain dan bukan lagi makanan hasil masakan sendiri. Mr. Kim Dae sebenarnya merasa sedih dengan hal itu tapi ia tak bisa memberitahu Yoon tentang rasa sebenarnya dari masakan putranya. Tidak, karena ia tak ingin Yoon terlena dan tak lagi belajar untuk berkarya.
“Dae Ssi?” tanya Mr. Chang An sambil menatap pria di depannya yang kini telah menjadi sahabatnya itu. “Apa isi surat dari putramu?”
Mr. Kim Dae tidak menjawab dan hanya mengulurkan surat Yoon lalu kembali menata rantang di lantai depannya. Menata mangkuk untuknya dan Mr. Chang An lalu mulai mengambil sepotong kimbab. Itu kimbab buah yang dicobanya sebulan lalu. Lalu, ia juga mengambil ayam bumbu sementara Mr. Chang An membaca surat Yoon dengan mata membesar dan alis berkerut.
“Ya…Dae Ssi….Yoon-ah pergi ke Pulau Hawai untuk mengikuti lomba memasak? Itu tempat yang jauh sekali” ujar Mr. Chang An setelah selesai membaca surat Yoon. “Dan dia melakukannya untuk menghidupkan toko kembali. Benar-benar anak yang penuh semangat. Dan sangat baik. Dae Ssi…kau pasti sangat bangga padanya….Yoon-ah benar-benar…”
“Makanlah An Ssi…nanti dingin tidak enak” potong Mr. Kim Dae berbisik sambil mulai menyuap kimbab di mangkuknya. Kepalanya tertunduk di atas mangkuk.
“Baiklah, waaah…..kelihatannya enak” sahut Mr. Chang An sambil meraih mangkuknya dan bersiap untuk menyuap potongan kimchi yang di ambilnya dari dalam rantang. Namun, suara desah halus yang terdengar membuat lelaki dengan tattoo senyum permanen di wajahnya itu menghentikan gerak tangannya dan wajahnya berpaling menatap Mr. Kim Dae.
“Dae Ssi?” panggil Mr. Chang An saat melihat lelaki yang duduk di sampingnya itu tertunduk di atas mangkuknya, mengunyah kimbab…dengan air mata yang membasahi kedua pipi yang mulai dihiasi keriput. Mr. Chang An meletakkan kembali mangkuk dan sumpitnya ke lantai dan kini, lelaki pemilik bar itu mengulurkan tangannya, menyentuh bahu teman satu kamarnya di penjara wilayah. Menepuk bahu yang bergetar itu dengan alis berkerut. “Dae Ssi….yaaaaa….kenapa kau malah menangis? Bukankah seharusnya kau bangga mempunyai anak sebaik Yoon-ah itu?”
“Anak bodoh….anak bodoh” bisik Mr. Kim Dae dengan air mata  yang semakin deras mengalir. Jarinya terulur menjumput beberapa potong kimchi sekaligus dari dalam rantang lalu menjejalkannya ke dalam mulut dan mengunyahnya….dalam tangis, oleh rasa cinta yang tak tersampaikan dalam kata-kata untuk putra kedua yang tengah melaju bersama pesawat yang membawanya menyeberangi samudera.
*************

Seoul, Korea Selatan….
Pada hari keberangkatan Kim Yoon Lu ke Hawai…
Bok mengemudikan mobil Porsche silvernya dengan pikiran kalut. Matanya terus melirik ke cermin di depannya dengan raut cemas. Seumur hidup, baru kali ini ia mencemaskan sesuatu yang bukan dirinya atau orangtuanya. Dan itu sungguh-sungguh sangat aneh. Apa yang harus di lakukannya sekarang? Apa yang mesti dikatakannya untuk mengatasi airmata yang tak henti mengalir di pipi secemerlang mutiara yang duduk di kursi belakang mobil Porsche-nya itu? Bok berkali-kali membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu namun segera, semua kalimatnya seperti tertelan kembali. Jalan lalu lintas sangat ramai, terlebih di malam hari seperti sekarang. Mestinya, ia berkonsentrasi untuk melihat jalan di depannya. Tetapi, kehadiran sosok mungil yang tak henti menangis di kursi belakang membuat Bok tak lagi mempedulikan hakikat keselamatan diri dalam mengemudi.
Sementara Seon terus menangis bahkan sejak sebelum mereka berdua keluar dari ruang tunggu Incheon Air Port. Ini adalah pertama kalinya ia dan Yoon berpisah sejak hari pertama ia membuka mata di dunia ini. Rasanya dunia seperti berakhir bagi Seon. Tangannya merogoh ke dalam ransel pororonya untuk mengambil kertas tissue namun, apa yang kemudian di dapatnya adalah bungkus tissue yang telah kosong karena semua isinya telah berjuang keras untuk menghapus airmata yang tak henti mengalir. Seon melempar plastik pembungkus tissue yang kosong ke jalan raya begitu saja lalu menyerah membiarkan airmatanya membanjir, mengalir di pipinya dan menetes melalui dagunya yang oval.
Tapi Bok melihatnya melalui kaca spion mobil di depannya. Saat tangan mungil penumpang di kursi belakang membuang bungkus tissue yang kosong dengan gemas lalu menyerah pada airmata yang terus  mengalir. Maka, tangan kanan Bok terulur mengambil sekotak besar tissue yang terletak di atas dashboard mobil, dalam wadah kotak baja berukir berbentuk ikan Koi dan mengulurkannya ke belakang. Mobil Porsche sedikit meliuk karena Bok tak bisa berpaling penuh ke arah Seon disebabkan oleh tubuhnya yang super gemuk. Ia harus memutar seluruh tubuhnya bila ingin berpaling ke belakang. Karena itu, saat mengulurkan kotak tissue pada Seon, untuk sejenak pandangan dan tubuh Bok teralih dari jalan raya di depannya.
Seon yang tengah menangis berkerut melihat tangan kanan Bok yang gemuk menggapai-gapai ke arahnya dengan sekotak tissue di genggaman jemarinya yang sebesar sosis. Mulutnya membuka untuk bertanya, namun sebuah sorot lampu tajam yang berasal dari depan membuat Seon sangat terkejut dan lebih terkejut lagi saat menyadari bahwa sorot lampu tersebut berasal dari lampu belakang mobil yang ada di depan mereka dan mobil Porsche silver yang dikemudiakan oleh Bok sedang meluncur dengan sangat cepat menuju mobil tersebut.
“Awaaaaasss!...lihat ke depan!” jerit Seon setinggi langit membuat Bok seketika terperanjat dan pandangannya kembali ke depan.
Sejenak Bok merasa panik menyadari bahwa dalam beberapa detik, mereka akan menabrak mobil yang ada di depan mereka sementara ia tak bisa mengerem mobil karena mobil-mobil lain di belakang mereka juga tengah melaju dengan kecepatan tinggi. Satu-satunya yang dapat dilakukan oleh Bok hanyalah keluar dari area jalur cepat meskipun itu berarti mereka harus menerobos pembatas jalan. Itu sama saja berbahaya karena bisa jadi, mobil ini akan terbalik. Tapi, jika ia bisa mengendalikan mobilnya, maka kemungkinan untuk selamat menjadi lebih besar. Karena itu, Bok segera membanting stir kemudi ke arah pembatas jalan yang lebih tinggi sekitar sepuluh senti dari jalan raya. Itu adalah area berumput dan merupakan daerah taman kota di mana pohon-pohon perindang berdiri berjajar dalam jarak yang teratur dan rapi.
“BRAAKKKK!!!” suara keras terdengar saat mobil Porsche silver itu melompati pembatas jalan, berguncang hebat dan nyaris terbalik dengan roda sisi kanan mobil yang telah terangkat ke atas nyaris setinggi tiga puluh senti membuat Seon menjerit keras dan menutupi mukanya dengan telapak tangan. Bok berusaha melempar tubuhnya ke sisi kanan mobil yang masih belum sepenuhnya berhenti dan terjungkit ke atas tersebut. Segalanya berlangsung demikian cepat hingga Seon tak melihat hal selanjutnya selain sebuah hentakan kuat yang membuat tubuhnya terdorong ke depan dan menabrak kursi di sisi pengemudi. Rasa pening menyerang kepala Seon membuatnya terkulai diam di kursi mobil bagian belakang hingga sebuah tangan menyentuh bahunya dan berusaha mengangkatnya.
“Seon?!...Seon?!...bangunlah!...kau tidak apa-apa?...kau tidak apa-apa?” sebuah suara memanggil-manggil Seon membuat gadis itu perlahan membuka matanya.
“Oppa?...Oppa?” panggil Seon saat ia melihat seraut wajah Yoon di depan matanya, menatapnya dengan raut khawatir yang jelas terlihat membuat Seon berusaha untuk tersenyum. “Oppa….Seon tidak apa-apa. Oppa jangan cemas….Seon…tidak apa-apa”.
“Seon?!....Seon?!...Seooooooon!!!!” teriak Bok yang mendekap Seon dalam pelukannya. Sesaat ia merasa lega saat melihat Seon membuka matanya dan berusaha untuk tersenyum. Namun ketika kemudian gadis kecil dalam dekapannya perlahan menutup matanya kembali seiring tangan yang terkulai, Bok benar-benar menjadi panik. Sepasang matanya nanar sementara satu mobil patroli polisi dan satu mobil ambulans terlihat menepi untuk melihat kecelakaan yang baru saja terjadi setelah salah satu pengemudi mobil yang lewat menelpon 911. Bok segera menoleh ke arah dua orang polisi yang berjalan cepat ke arahnya. Mata pemuda bertubuh gemuk itu telah menjadi basah oleh amukan rasa takut dan cemas yang luar biasa saat mulutnya mulai berteriak.
“Tolong!...cepat tolong bawa ke rumah sakit!...cepat!!” teriak Bok yang akhirnya benar-benar menangis sementara sepasang lengannya mendekap Seon erat-erat.
****************

Tidak ada komentar:

Posting Komentar