“Oppa…kenapa Oppa membawaku ke atap?” tanya
Seon sambil memandang kakaknya. Tangannya membawa nampan berisi dua cangkir
kopi yang mengepul panas sementara Yoon menenteng satu mangkuk kecil kue beras.
Seon terlihat sangat cantik dengan sweater warna merah pemberian Ahjumma
pemilik toko kerajinan di blok sebelah. Rambutnya yang ikal coklat muda di ikat
sederhana di belakang leher yang justru semakin mengesankan kecantikan yang
alami.
“Karena
malam ini udara sangat nyaman. Sayang kalau dilewatkan” jawab Yoon sambil duduk
di atas kursi kayu panjang yang biasa digunakannya untuk meletakkan ember-ember
tempatnya mencuci pakaian. ‘Kau bisa merasakannya?”
Seon
menarik nafas dalam-dalam lalu mengangguk sambil tersenyum. “Hm…memang nyaman.
Hangat”.
“Duduklah
di dekat Oppa” ujar Yoon sambil mengangkat cangkir kopinya dan menghirupnya
perlahan.
Seon
menurut dan melakukan hal yang sama. Sesaat bibirnya mencecap-cecap rasa kopi
yang diminumnya.
“Oppa…kopi
ini enak sekali. Juga sangat harum. Oppa membuatnya sendiri?” tanya Seon sambil
berpaling menatap kakaknya.
“Tidak…Oppa
membelinya di Twosome Place” jawab Yoon sambil tersenyum.
Seon
terperanjat. “Twosome Place? Twosome Place yang terkenal itu? Yang diiklankan
oleh Lee Min Ho Oppa?”.
Yoon
memutar bola matanya mendengar pekikan adik kecilnya. Tangannya terulur dan
mengacak-acak rambut Seon.
“Ya,
apa kau juga mulai menjadi fans Lee Min Ho, hm? Kau masih kecil jangan berpikir
tentang lelaki dewasa” kata Yoon yang disambut cebikan bibir merah segar Seon.
“Kenapa
tidak boleh? Semua teman Seon punya idola. Hyun Ae mengidolakan Lee Yoon Sung
Oppa, Min Shang mengidolakan Jun Pyo Oppa, Clara Lee mengidolakan Jeon Jin Ho
Oppa, Jessica Kwon mengidolakan Choi Young Oppa, jadi…Seon memilih untuk
mengidolakan Lee Min Ho Oppa” jawab Seon penuh semangat dengan nada sengit yang
tak mau kalah.
Yoon
menarik nafas dalam-dalam menahan rasa gelinya. Matanya menatap adiknya dengan
campuran gemas sekaligus sayang.
“Jadi…apa
tidak ada yang mengidolakan Kim Jong Dae?” tanya Yoon kemudian.
Seon
terkejut dan terlihat berpikir.
“Ada!...ada
yang mengidolakan Kim Jong Dae!” sahut Seon nyaris berteriak karena semangat.
“Siapa”
tanya Yoon sambil mengambil sepotong kue beras dan mulai mengunyahnya.
“Ahjumma
yang punya toko kerajinan, yang memberi Seon sweater merah ini. Seon sering
mendengar ia menyebut Kim Dae Ssi…Kim Dae Ssi..seperti itu. Pantas saja…Ahjumma
sering membeli di toko kita” jawab Seon.
Yoon
menoleh ke arah adiknya.
“Seon,
apa kau tahu siapa Kim Jong Dae itu?” tanya Yoon.
“Tentu
saja” jawab Seon mengangguk mantap. “Dia adalah Abeoji”.
Tawa
Yoon meledak hingga nyaris tersedak karena sebagian kue beras yang masih
tertinggal di mulutnya. Seon terkejut dan memukul lengan kakaknya.
“Oppa?...kenapa
Oppa tertawa begitu keras?” protes Seon dengan bibir cemberut.
Yoon
masih tertawa hingga membuat Seon beringsut menjauhi kakaknya, berjalan ke sisi
atap yang membuatnya bisa melihat pemandangan malam yang indah dengan tebaran
lampu yang berkilauan. Tangannya masih memegang cangkir kopi dan sesekali
menghirup kopi hangat di dalamnya. Langit di atas kota Seoul malam ini terlihat
cemerlang dengan jutaan bintang. Jika saja, seluruh lampu di kota Seoul dimatikan,
maka Seon yakin, bintang-bintang di langit itu akan terlihat lebih banyak dan
lebih cemerlang lagi. Tapi, jika semua lampu di matikan, pasti semua orang akan
gempar. Mungkin saja, mereka akan mengira bahwa alien dari bintang lain
benar-benar ada. Seon menengadahkan kepalanya menatap langit dan menghirup
sekali lagi udara malam yang hangat hingga suara langkah kaki Yoon membuat
gadis kecil itu menoleh dan melihat kakaknya yang datang mendekat lalu berdiri
di sisinya.
“Ada
yang ingin Oppa katakan padamu” kata Yoon kemudian.
“Tentang
Kim Jong Dae? Atau larangan untuk mengidolakan Lee Min Ho Oppa?” tebak Seon
sambil mencibir ke arah kakaknya.
“Bukan”
jawab Yoon sambil tersenyum. “Seon, besok pagi, Oppa akan pergi ke Amerika”.
Mulut
Seon ternganga.
“Apa?
Ke…Amerika? Tapi kenapa? Kenapa Oppa mau ke Amerika? Bisakah Seon ikut?” tanya
Seon beruntun. Wajahnya yang mungil kini terlihat cemas.
Yoon
menggeleng.
“Tidak,
kau harus sekolah. Lagipula, Oppa tak akan lama di sana” jawab Yoon sambil
menatap adiknya.
“Tapi
Oppa…kalau Oppa ke Amerika, lalu Seon akan sendirian?” rengek Seon. Satu
kakinya di banting ke lantai atap.
“Karena
itulah Oppa memberitahumu sekarang. Mulai besok, Oppa akan menitipkanmu pada
keluarga Park. Park Ahjussi dan ahjumma sudah setuju kau tinggal di rumah
mereka sementara Oppa pergi. Juga Bok….”
“Tidak
mau!” pekik Seon memotong ucapan Yoon. “Seon tidak mau tinggal dengan si karung
nasi itu. Seon tidak suka padanya! Lebih baik Seon tinggal di sini. Tidak
masalah Seon tinggal sendiri. Seon tidak takut”.
Yoon
memejamkan matanya sesaat. Sudah diduganya bahwa membujuk Seon untuk tinggal di
keluarga Park bukanlah hal yang mudah. Seon kurang akrab dengan Bok, juga
dengan Park Ahjussi dan Ahjumma, orangtua Bok. Yoon-pun sebenarnya juga merasa
tidak enak karena, untuk sekali lagi, ia mesti merepotkan Bok dan keluarganya.
Setelah semua kebaikan yang mereka lakukan selama ini. Tetapi, ingatan tentang
Han yang bisa datang sewaktu-waktu bersama dengan orang-orang geng motor penuh
tattoo membuat Yoon menyingkirkan jauh-jauh rasa harga diri dan malu dalam
dirinya. Hanya keluarga Park yang bisa dipercayanya untuk menjaga Seon tetap
aman. Di samping itu, sebagai seorang Chaebol besar di Korea Selatan, Park
Ahjussi memiliki banyak penjaga dan pengawal di rumahnya sehingga Han dan anak
buahnya tak akan bisa begitu saja memasuki rumah keluarga Park. Selain itu,
Yoon tahu benar bahwa Bok tak akan berbuat tidak sopan pada Seon. Tidak dengan
prinsipnya yang sangat kuat dalam memegang nilai kesucian dirinya sebagai
seorang perjaka – (Yoon kembali tertawa saat mengingat point yang satu itu) – serta
sifat Bok yang sangat menghargai kaum wanita.
“Seon…dengarkan
Oppa. Oppa pergi ke Amerika untuk mengikuti lomba memasak yang di adakan di
sana. Hadiahnya lumayan. Kalau Oppa bisa menang, uangnya bisa kita gunakan
untuk memperbaiki toko kita yang rusak, menebus Abeoji dan sedikit menyicil
hutang di bank” tutur Yoon sambil memandang lurus pada adiknya.
Seon
mengangkat wajahnya.
“Lomba
memasak?” tanyanya dengan alis berkerut halus.
Yoon
mengangguk. “Ya, Oppa akan mengikuti lomba itu Seon. Dan untuk bisa memenangkan
lomba itu, oppa membutuhkan konsentrasi yang penuh. Jika kau tinggal sendirian
di tempat ini, maka Oppa akan selalu mengkhawatirkanmu. Bagaimana kalau hyung
dan teman-temannya datang lagi sementara Oppa tidak ada?. Dan karena Oppa akan
selalu mengkhawatirkanmu, maka Oppa tidak akan bisa berkonsentrasi untuk
memenangkan lomba itu. Karena itu, Oppa ingin kau tinggal bersama dengan Park
Ahjussi dan Ahjumma. Mereka akan menjagamu dengan baik selama Oppa tidak ada”.
“Jadi…karena
itukah, selama satu bulan ini, Oppa terus menerus memasak makanan baru meskipun
toko kita tidak bisa buka?” tanya Seon sambil menelan ludah.
Yoon
tersenyum lalu mengangguk. “Ya Seon. Karena Oppa berharap bisa memenangkan
lomba itu”.
“Di
manakah lomba itu akan dilakukan, Oppa?” tanya Seon setelah terdiam sejenak.
“Hawai”
jawab Yoon singkat.
“Tempat
yang indah, dan Seon tidak bisa ikut dengan Oppa?” gumam gadis kecil itu dengan
sedih.
Yoon
memegang bahu adiknya.
“Seon…Oppa
ke sana bukan untuk berlibur. Jika Oppa bisa menang, maka kita bisa membuka
toko kita lagi. Lalu kita bisa menabung, dan suatu saat, kita akan kembali ke
sana. Untuk berlibur bersama-sama” sahut Yoon membujuk adik kecilnya. “Oppa
berharap kau mengijinkan Oppa untuk pergi, dan berdoa supaya Oppa bisa menang
demi masa depan keluarga kita”.
Seon
tertunduk. Cangkir kopinya telah diletakkan pada tembok pembatas atap dan kini,
jari-jemari gadis kecil itu saling bertautan.
“Seon?”
panggil Yoon saat adiknya tak juga menjawab.
“Oppa
tidak akan lama kan?” tanya Seon setelah menarik nafas panjang. Yoon tersenyum
lega dan mengangguk dengan pasti.
“Tidak
akan. Oppa akan kembali secepatnya” jawab Yoon dengan nada tegas.
Seon
mengangkat wajah dan memandang kakaknya.
“Baiklah…Seon
akan tinggal dengan Ahjussi dan Ahjumma. Dan juga…..si karung nasi itu” Seon
sedikit mengerenyit saat menyebut nama terakhir membuat Yoon menahan rasa geli
di hati. “Supaya Oppa merasa tenang dan bisa memenangkan lomba itu dengan
sukses”.
Senyum
Yoon melebar. Dua tangannya terulur dan mencubit sepasang pipi Seon dengan
gemas lalu memeluk adiknya erat-erat.
“Nah…itu
baru adik Oppa yang paling baik dan manis” ujar Yoon di atas kepala Seon.
“Pukul
berapa Oppa berangkat besok? Bolehkah Seon mengantar Oppa ke bandara?” tanya
Seon di dada kakaknya.
Yoon
berpikir selama sedetik sebelum menjawab.
“Tentu
saja. Besok pesawat berangkat malam dari Incheon, sekitar pukul 05.40 PM” jawab
Yoon pelan.
“Korean
Air?” bisik Seon.
Yoon
mengangguk di atas kepala Seon. “Ya”.
“Oppa?”
panggil Seon pelan di dada kakaknya.
“Ya
Seon?” jawab Yoon.
“Bisakah
Oppa melepaskan Seon sebentar? Seon ingin berdoa untuk Oppa” tanya Seon membuat
Yoon kembali tertawa dan melepaskan pelukannya.
“Baiklah…jangan
lupa doakan Oppa agar menang besar” sahut Yoon sambil mundur selangkah ke
belakang.
Seon
tak menjawab. Gadis kecil yang mulai menunjukkan pesonanya itu menangkupkan dua
tangannya di depan dada dan kedua matanya memejam. Suasana di atas atap menjadi
hening. Yoon menunggu sambil menatap adiknya. Sepasang matanya sedikit memerah
oleh rasa haru dan sayang. Siapa yang menyangka, bayi merah yang dulu
dirawatnya siang dan malam kini telah tumbuh sebesar ini? Besok di bulan Juni, Seon
akan genap berusia tiga belas tahun, begitu cantik, cerdas dan pengertian.
Meskipun terkadang, sifat keras kepala di dalam dirinya membuat kepala Yoon
berdenyut keras. Yoon sungguh merasa, jika saja tak ada Seon di sisinya, maka
ia pasti sudah menyerah sejak awal bencana datang menggulung keluarganya.
“Sudah
selesai?” tanya Yoon saat melihat Seon membuka matanya sambil mencium kedua
tangannya yang menangkup di depan dada.
Seon
mengangguk. Senyum manis mengembang di bibirnya yang mungil.
“Ya
Oppa” jawab Seon. “Dan Seon yakin Tuhan pasti mengabulkan doa Seon”.
Yoon
mengangkat dua tangannya dan bertepuk tangan pelan. “Benarkah? Kalau begitu
Oppa senang. Apa yang kau minta dalam doamu?”.
“Seon
minta tiga hal pada Tuhan” jawab Seon sambil tersenyum. “Pertama, Seon minta
supaya Tuhan melindungi Oppa dalam perjalanan ke Hawai, selama di Hawai dan
saat pulang kembali ke Seoul. Kedua, Seon minta supaya Oppa menang. Menang yang
besar dengan hadiah yang besar dan membuat keluarga kita bahagia”.
Yoon
tertawa. Kedua tangannya dimasukkan ke saku celana selututnya. “Lalu yang
ketiga?”
“Yang
ketiga, Seon minta pada Tuhan supaya memberi Oppa seseorang yang sangat sayang pada Oppa dan Seon” jawab
gadis kecil itu dengan nada ceria.
Tawa
Yoon langsung lenyap. Sepasang mata pemuda itu menatap adiknya dengan heran.
“Kenapa
kau minta seperti itu Seon?” tanya Yoon.
“Karena
Seon ingin punya seorang ‘Unnie’ seperti teman-teman Seon. Unnie yang sayang
pada Seon dan juga Oppa. Seon sering membayangkan bagaimana rasanya punya Omma.
Semua teman Seon punya Omma. Hanya Seon yang tidak. Kalau Seon minta Abeoji untuk
mencari Omma baru, maka Abeoji pasti tidak mau karena Abeoji tidak pernah bisa
melupakan Omma. Seon sering melihat Abeoji duduk sambil menatap cangkir Omma.
Jadi, Seon pikir, jika tidak punya Omma tidak masalah asal Seon punya Unnie. Lagipula,
Seon ingin ada orang yang membantu Oppa disaat Seon sedang di sekolah karena
saat itu, Oppa selalu sendirian membuat Seon tidak tenang berada di sekolah dan
ingin cepat-cepat pulang. Kalau ada Unnie di dekat Oppa, maka Seon bisa tenang
di sekolah karena ada orang yang akan membantu Oppa” jawab Seon dengan polos
membuat Yoon tersentak.
Yoon
tak menjawab. Namun satu tangannya terulur dan merangkul bahu adiknya. Senyum
lembut mengembang oleh rasa haru. Dikecupnya sekilas puncak kepala Seon.
“Oppa….apakah
Oppa senang dengan tiga doa Seon?” bisik Seon di sisi bahu kakaknya.
Tak
ada suara jawaban selain pelukan di bahu Seon yang semakin erat sementara
pandangan mata Yoon terlempar jauh ke angkasa yang dipenuhi bintang gemerlap.
************
Hawai…..
Tiga
hari sebelum pelaksanaan festival….
Leia
Kaili berdiri gelisah di bawah pohon cemara. Sesekali pandangannya terlempar ke
arah bangunan besar yang terlihat terang benderang oleh cahaya lampu. Belum
terlalu malam dan suasana masih begitu ramai. Malina sudah hampir tiga puluh
menit lebih masuk ke bangunan yang merupakan sanggar seni milik Papa Lolo. Pada
akhirnya, ia memutuskan untuk bergabung dengan grup penari Papa Lolo untuk
menyambut perayaan festival tahunan yang akan dimulai dua hari lagi. Demi untuk
membuat Ommonie senang. Terlebih, semakin mendekati waktu festival sama artinya
masa ikatan di antara dirinya dengan Kai juga semakin dekat dan hal itu membuat
perasaannya tidak menentu. Masih ditambah hal-hal aneh yang dialaminya selama
sebulan ini yang tak dapat dimengertinya. Seperti kesedihan amat sangat yang
tak beralasan, kerinduan pada sesuatu…atau seseorang yang tak ketahuinya apa
atau siapa, perasaan bersemangat yang muncul tiba-tiba serta kecemasan
sekaligus harapan. Leia benar-benar merasa bahwa dirinya telah berubah menjadi
sosok yang tak dikenalinya lagi. Dan itu semakin membuatnya gelisah.
Ommonie
tidak lagi mengungkit-ungkit masalah ramalan nenek tetua adat namun kini,
justru Leia yang terus berpikir tentang seseorang yang dikatakan akan datang
dalam acara festival tahunan. Seseorang yang akan membawanya pergi jauh.
Seseorang tak diketahui namanya dan bagaimana wajahnya namun membuat jantungnya
berdegup semakin kencang dari hari ke hari mendekati pelaksanaan festival,
seolah jantung yang telah menemaninya selama dua puluh satu tahun ini tak lagi
berpihak padanya. Bisakah ia lepas dari Kai? Dari kekuatan sang Elder Agung?
Hal yang terlihat sangat mustahil di matanya.
Tampaknya,
Leo Kai merasakan perubahan dalam diri Leia, atau entah apa yang dirasakan oleh
lelaki itu. Sesungguhnya, ia adalah kakak yang baik, namun, dalam kehidupan
sehari-hari Leia sungguh tak menyukai sifatnya yang sombong dan keras. Seringkali,
lelaki itu menjadi sangat liar terlebih bila harga dirinya tersinggung sedikit
saja. Seperti saat kabar bahwa ia telah bergabung dengan grup Papa Lolo hanya
dua minggu sebelum pelaksanaan festival tersebar ke seluruh penjuru Pulau Oahu
dan sampai ke telinga Kai. Leia meraba pergelangan tangannya yang berhias lebam
membiru. Itu bekas tangan Leo Kai yang melarangnya untuk menari dalam festival
tahunan besok. Lelaki itu datang tadi pagi dengan kemarahan membara membakar
wajahnya yang sebenarnya tampan. Hanya ketegasan Ommonie yang membuat Kai
mundur. Dan untuk pertama kalinya, Leia melihat Ommonie yang benar-benar marah
dan begitu garang seperti bunga Camelia yang berselimut api. Kesejukan dan
ketenangan yang selalu terlihat di wajah Ommonie lenyap membuat Leia terpana
menatapnya.
Dan
hari ini adalah pengumuman tentang siapa penari yang akan dipilih untuk menyambut
tamu-tamu peserta lomba yang akan mulai berdatangan besok pagi di Bandara
Internasional Honolulu. Tidak semua penari mendapat kesempatan untuk menyambut
tamu di bandara internasional pada situasi khusus seperti acara lomba memasak
yang diadakan oleh Elder Agung. Dari semua penari yang ada di Hawai dan
berjumlah ratusan dalam kelompok-kelompok atau grup yang berbeda hanya akan di
ambil dua belas orang penari saja. Selebihnya akan mendapat tempat
masing-masing sebagai penyambut turis, pendamping dan pengisi acara di hotel-hotel
dan tempat menginap semua wisatawan dan sebagai penyeling acara lomba memasak
yang akan diadakan setelah lomba menari yang diadakan secara rutin dari tahun
ke tahun. Leia tak terlalu berharap ia akan terpilih sebagai penari penyambut
di bandara besok pagi sebab ia sangat terlambat bergabung dan hanya menjalani
latihan selama dua minggu.
Meskipun
sesungguhnya, Leia sangat ingin melihat orang-orang yang akan datang sebagai
peserta lomba memasak di bandara.
Kemarahan
Kai dan kecemburuan yang jelas terlihat di mata lelaki itu tadi pagi membuat
harapan Leia segera terpupus. Kai, pasti akan segera melakukan sesuatu. Lelaki itu,
pantang untuk ditolak ataupun kehilangan sesuatu yang diinginkannya.
“Leia?”
suara baritone seorang lelaki terdengar keras dan penuh semangat membuat Leia
berpaling ke arah asal suara dan melihat Malina datang bersama seorang lelaki
bertubuh kekar dan tinggi besar. Wajah yang ramah dengan senyum yang familier
sama sekali bertolak belakang dengan penampilan yang terlihat sangar, berotot
dengan hiasan tattoo bunga-bunga lei di sepanjang lengan dan kakinya. Itulah
Papa Lolo. Pemilik sangar seni dan grup penari yang paling terkenal di
Kepulauan Hawai.
“Papa?” Leia memanggil lelaki yang datang
bersama dengan Malina sambil melempar senyum manis. Tubuhnya sedikit membungkuk
ke arah Papa Lolo.
“Kenapa
kau berdiri di sini Leia? Masuklah ke dalam dan bergabung dengan yang lain”
kata Papa Lolo pada gadis di depannya.
“Tidak
Papa, terima kasih. Saya harus segera pulang karena sudah malam. Omma akan
sangat marah jika saya pulang terlambat” sahut Leia, masih dengan kesopanan dan
senyumnya.
“Ah…Nyonya
Akela tidak akan pernah marah Leia. Ibumu adalah wanita yang sangat cantik dan
lembut, siapapun yang melihatnya pasti akan jatuh cinta” ujar Papa Lolo membuat
wajah Leia bersemu merah. Leia sudah lama tahu, bagaimana besar perhatian Papa
Lolo pada Ommonie.
Leia
tidak bisa menjawab pernyataan Papa Lolo yang membuatnya jengah. Hanya
kepalanya yang mengangguk ke arah pimpinan sanggar seni yang sangat terkenal
itu. Malina mendekat ke arah Leia dan memeluk bahunya.
“Leia,
aku sudah mengatakan pada Papa Lolo tentang hasil seleksi untuk menyambut tamu
peserta lomba di bandara internasional besok pagi” ujar Malina menyela saat
melihat wajah sahabatnya bersemu merah. “Dan Papa Lolo ingin mengatakan sesuatu
padamu”.
Papa
Lolo mengangguk saat mendengar perkataan Malina.
“Tentang
penyambutan besok,….Leia, Papa sungguh minta maaf padamu sayang. Jumlah penari
yang dibutuhkan hanya dua belas orang. Papa sudah memasukkan empat penari
termasuk Malina, dan sisanya yang delapan diambil dari grup-grup lain agar
tidak terjadi kecemburuan. Itu perintah dari Elder Agung. Papa mencoba
memasukkanmu, tapi ternyata ada satu penari lain dari pulau besar yang sudah
lebih dulu dipilih. Papa tidak bisa menepisnya karena itu akan membuat
persatuan kita menjadi pecah. Kau mau memaafkan Papa, Leia sayang?” tutur Papa
Lolo dengan raut menunjukkan penyesalan.
Leia
mengangguk. Sudah diduganya. Kai segera mengambil tindakan. Dan ini adalah
salah satu buktinya. Pada festival-festival sebelumnya, ia selalu mendapat
prioritas tempat dalam acara-acara penting. Juga, di festival-festival
sebelumnya, Sang Elder Agung belum pernah ikut campur dalam hal pemilihan
penari untuk menyambut tamu penting atau mengisi acara-acara khusus. Ini adalah
pertama kalinya, seorang Elder Agung mengatur tentang siapa saja penari yang
boleh menyambut tamu dan bagaimana proses seleksinya.
Dan
itu bukan tanpa sebab. Ada pemicu yang membuat seorang Elder Agung memutuskan
untuk ikut campur. Dan pemicu itu adalah hati sang pangeran hawai yang terbakar
cemburu.
“Leia?
Kau tidak apa-apa sayang? Dengar…Papa Lolo sungguh minta maaf padamu” tegur
Papa Lolo saat melihat Leia diam tertunduk. Tangannya yang besar berotot
terulur dan mengusap bahu Leia dengan perasaan sesal. Sementara Malina terlihat
cemas.
Leia
menggeleng dan tersenyum.
“Tidak
apa-apa Papa…saya baik-baik saja. Memang seharusnya kita adil membagi
kesempatan pada semua orang” sahut Leia sambil menatap Papa Lolo dan Malina
bergantian.
Kening
Papa Lolo terlihat berkerut meskipun bibirnya kini mengurai senyum. Sementara
Malina masih memeluk bahu sahabatnya.
“Tapi,
sebagai gantinya, Papa Lolo memiliki sebuah tugas untukmu Leia” kata Malina dengan
nada riang. “Benarkan Papa?”.
Papa
Lolo memandang Malina dan tertawa. “Itu benar Leia sayang. Papa memasukkanmu
sebagai penari yang akan membuka acara lomba masak nanti. Dan kali ini, Elder
Agung setuju. Bahkan, kau akan menjadi penari yang akan membawakan hadiah pada
juara dan mengalungkan bunga Lei di lehernya. Itu adalah tugas yang sangat
bagus dan penting Leia Sayang”.
“Benar
Leia….” Sambung Malina dengan nada senang. “Kau mau kan?”.
Leia
tercenung. Ia akan menari pada saat acara pembukaan lomba memasak dan
membawakan hadiah serta bunga lei untuk sang juara? Tapi, bukankah itu berarti,
pada saat acara pembukaan nanti, Elder Agung juga akan hadir? Dan hadirnya Sang
Elder Agung berarti hadirnya Leo Kai. Leia menarik nafas dalam-dalam. Ia
benar-benar telah diawasi sekarang. Namun, bisakah ia menolak? Jika ia menolak,
maka mungkin masalah baru akan timbul. Entah apa, tapi Leia merasa bahwa kini
ia telah kehilangan kebebasannya untuk memutuskan apa yang ingin dilakukannya.
“Baiklah
Papa, terima kasih. Itu kesempatan yang sangat baik” jawab Leia kemudian sambil
tersenyum manis. Tubuhnya membungkuk dengan rasa hormat pada pimpinan sanggar
seni terbesar di Kepulauan Hawai itu.
Papa
Lolo terlihat lega dan juga gembira. Tawanya lepas dan renyah. Tangannya
bergerak menepuk-nepuk bahu Leia dengan perasaan puas.
“Itu
bagus sekali sayang. Di acara nanti kau benar-benar akan menjadi sang puteri.
Tampil maksimal…okay?” ucap Papa Lolo penuh semangat.
Leia
mengangguk sekali lagi, menyembunyikan kegelisahan hatinya sendiri. Malina
memandang sahabatnya dan meremas tangan Leia.
“Kau
tidak senang dengan bagian yang diberikan Papa Lolo padamu Leia? Menurutku itu
sangat bagus. Aku bahkan tidak berani bermimpi bahwa aku akan sampai pada
posisi seperti yang kau dapat ini. Menjadi penari pembuka sama artinya kau
menjadi seorang ratu. Apa kau tidak tahu hal itu?” tanya Malina saat keduanya
telah berpamitan pada Papa Lolo dan dalam perjalanan pulang.
“Bukan
begitu Malina….” desah Leia. “Aku hanya….”.
“Masalah
Kai?” tebak Malina sambil menatap Leia.
Perlahan
Leia mengangguk. “Tiba-tiba Kai menjadi sangat kasar padaku…dan benar-benar
posesive”.
Malina
tertunduk seolah menekuri jalan di depan mereka. Satu bagian dari dirinya
merasa sangat pedih mendengar kalimat Leia karena sesungguhnya kekasaran Kai
dan sikap posesif lelaki itu semakin menegaskan betapa besar cinta Leo Kai pada
sang bunga Hawai di sisinya. Dan hal itu dengan sendirinya juga semakin menegaskan
betapa tak berarti dirinya di depan Kai. Tak lebih dari seorang pengasuh saja. Namun,
di sisi lain, Malina merasakan setitik harapan kembali muncul saat melihat
kesedihan di wajah sahabatnya. Kesedihan yang menunjukkan bahwa sahabatnya tak
memiliki kebahagiaan untuk memulai kehidupan bersama dengan Leo Kai.
“Mungkin
saja, dia sedang punya masalah Leia” gumam Malina perlahan, seperti ditujukan
pada dirinya sendiri.
Leia
mengangkat bahunya. Kedua tangannya dimasukkan ke saku belakang celana jeans
dua pertiganya, sementara kakinya yang berhias sepatu sport putih melangkah
perlahan.
“Entahlah
Malina. Tapi, dulu Kai tidak pernah seperti itu. Bahkan meskipun ia mempunyai
masalah yang sangat pelik sekalipun, ia tak pernah kasar padaku” jawab Leia
juga dengan suara pelan.
Malina
menghela nafas panjang. Udara pantai malam hari ini terasa sedikit menyesakkan.
“Ayo
Leia…aku akan mengantarmu pulang” ujar Malina kemudian.
“Tidak
perlu Malina” jawab Leia sambil menatap sahabatnya. “Aku bisa pulang sendiri”.
“Jangan
bandel!” sembur Malina melotot. “Aku masih pengasuhmu, ingat? Ayo jalan, Nyonya
Akela pasti sudah menunggumu”.
Leia
tersenyum, meski senyum itu terasa hambar di hati dan jantung yang tak lagi
sudi berpihak padanya.
“Baiklah
Nyonya” seloroh Leia dengan nada bercanda membuat Malina memutar bola matanya.
Tapi kemudian gadis itu menggandeng tangan Leia dan setengah menyeretnya untuk
melangkah lebih cepat.
Jarak
antara rumah Papa Lolo dengan rumah istri ketiga Elder Kaili tidak terlalu jauh
sementara rumah Malina masih berjarak dua blok dari rumah tempat tinggal Mrs.
Akela dan Leia. Malina melepaskan pergelangan tangan Leia yang dipegangnya saat
mereka telah sampai di depan pagar rumah Mrs. Akela yang bercat putih.
“Nah
Leia sayang, sekarang kau sudah sampai di depan rumahmu dengan selamat. Cepat
masuklah ke dalam, mandi lalu istirahat. Jangan terlalu memikirkan masalah Kai.
Oke?” ujar Malina sambil mengecup dahi sahabatnya.
Leia
tertawa dan memukul bahu Malina. “Malina, kau ini seperti ibuku saja”.
Malina
tersenyum simpul dan mengangkat bahu. “Memang…sudah seharusnya begitu.
Baiklah…aku pulang dulu…Bye Leia”.
Leia
tak menjawab namun tangannya membalas lambaian Malina dengan penuh semangat
sementara gadis cantik berkulit coklat khas Hawai itu melangkah cepat menyusuri
jalan menuju arah blok dimana rumahnya berada.
Leia
masih berdiri di depan pagar rumahnya hingga bayangan tubuh Malina hilang di
ujung jalan. Kemudian, setelah menghela nafas dua kali untuk memenuhi ruang
dadanya dengan udara malam yang sejuk, gadis itu mulai membuka pagar dan
melangkah masuk ke halaman rumah yang dipenuhi oleh bunga-bunga mawar teh yang
sangat disukai Ommonie. Ruang halaman agak sedikit gelap karena rumpun mawar
teh yang rimbun menyerap cahaya lampu yang hanya satu buah dan diletakkan tepat
di tengah-tengah taman. Sehingga, ketika Leia sampai di beranda rumah dan
bersiap mengetuk pintu, ia sama sekali tak melihat satu sosok bayangan tubuh
yang bergerak ke arahnya, sangat gesit dan cepat. Lalu dalam sekejab, sosok
tubuh itu telah mendekap Leia, menghimpitnya ke dinding membuat sang bunga
Hawai terperanjat tak kepalang. Leia menjerit di luar kesadarannya namun,
sebuah tangan yang besar dan kuat segera menbekap mulut gadis itu membuat
jeritan Leia hanya berupa jeritan teredam yang jauh dan sayup. Sepasang mata
Leia membelalak ketakutan saat melihat sepasang mata lain yang bersinar tajam
dan berkilat, penuh emosi dan keinginan menguasai. Sepasang mata yang bukan
lagi milik orang yang dikenalnya selama ini. Sepasang mata milik Leo Kai.
“Apa
yang kau lakukan?” bisik Leo Kai dengan nada tajam. “Kenapa kau baru pulang
selarut ini? Apa kau sedang menunggu orang itu? Orang yang akan membawamu pergi
dari pulau ini?”.
Leia
terkejut. Kai? Bagaimana ia tahu tentang hal itu? Apakah Ommonie telah
menceritakannya pada Kai? Tapi itu tidak mungkin!. Karena Ommonie pasti tahu
bahwa hal itu bisa menjadi masalah yang sangat besar. Jadi? Mungkinkah nenek
tetua adat? Si peramal? .
Leia
menepiskan tangan Leo Kai yang membekap mulutnya. “Itu tidak benar. Aku sama
sekali tidak tahu apa yang kau katakan! Aku dan Malina pergi ke rumah Papa Lolo
untuk melihat hasil seleksi penari”.
“Kau
bohong!” sembur Leo Kai nyaris berteriak di telinga Leia. “Kau menunggunya!
Orang itu! Orang yang akan datang bersama festival! Nenek peramal memberitahuku
semuanya Leia. Tapi kau jangan pernah bermimpi apapun! Kau milikku. Selamanya
milikku. Orang itu, yang akan datang bersama festival, dia tak akan pernah bisa
menyentuhmu! Karena aku akan membunuhnya sebelum ia sempat menyentuhmu! Aku
pasti akan membunuhnya!”.
“Kau
gila Kai!...kau sudah gila! Aku tidak mengerti apa yang kau katakan!” bisik
Leia yang berteriak tepat di depan wajah Leo Kai. Ternyata memang nenek peramal
yang telah membocorkan perihal mimpi Ommonie pada Leo Kai. Leia merasa jengkel
setengah mati. Sejak dulu ia telah melihat betapa nenek tua peramal sangat mengagumi
Leo Kai seperti seorang gadis remaja yang tengah jatuh cinta.
“Aku
memang gila Leia! Tapi itu karena kau! Dan kau harus bertanggungjawab untuk
kegilaanku! Kau hanya boleh menjadi milikku! Selamanya milikku!” teriak Kai
dengan mata berkilat-kilat bagaikan luapan api yang mengamuk bersama badai.
Lalu, mendadak lelaki itu mencengkeram rahang Leia dengan kuat dan
menengadahkan wajah gadis itu secara paksa. Leia berusaha melepaskan jeratan
jemari Leo kai yang terasa bagaikan cakar besi. Namun, lelaki yang berdiri di
depannya bukan lagi Leo Kai yang dikenalnya dalam keseharian, melainkan seorang
lelaki yang tengah diamuk api cemburu. Rasa posesive yang tak sudi di tolak dan
kehilangan sesuatu yang disangat disukai membuat Leo Kai lupa diri.
Maka,
ketika Leia berusaha untuk mengelak dan melepaskan diri dari himpitan, Leo Kai
justru semakin membabi buta dan mencium gadis dalam himpitannya membuat Leia
terperanjat karena sama sekali tak menduga bahwa Leo kai akan bertindak sejauh
itu. Rasa marah bercampur kecewa dan terluka membuat Leia mengerahkan
tenaganya. Satu tangannya yang terbebas dari kuncian Kai maju dan mencengkeram
rambut Leo Kai di bagian depan dan berusaha menyentakkannya ke belakang sekuat
tenaga membuat bibir Leo Kai terlepas meski hanya sejauh beberapa senti.
Kemudian, selagi Leo Kai meringis kesakitan karena cengkeraman jemari Leia pada
rambutnya membuat banyak rumpun rambut di kepalanya menjadi jebol, maka Leia
segera menjejakkan satu kakinya ke bawah, menitik sasaran yaitu telapak kaki
Leo Kai. Meskipun tak terlalu keras namun cukup untuk membuat tangan Kai yang
menelikung tangan kanan Leia menjadi kendur dan kesempatan itu digunakan oleh
Leia untuk memutar tangannya dalam arah berlawanan dengan siku Leo Kai hingga
genggaman jemari Leo Kai yang kuat menjadi lepas!.
Leo
Kai terlihat terkejut karena tak menduga bahwa gadis yang selama ini dikenalnya
sebagai sosok penurut yang lemah gemulai saat menari ternyata mampu melepaskan
himpitan dan ikatan tangannya. Sesaat lelaki itu diserbu oleh rasa terpesona
pada hal yang baru saja di ketahuinya, namun kenudian, begitu kesadarannya
muncul kembali hanya dalam beberapa detik, Kai berusaha memperbaiki posisinya
untuk kembali menguasai Leia.
Tetapi,
belum lagi niat Leo Kai terwujud, sebuah kepalan tangan mungil telah melayang
dengan cepat dan bersarang di ulu hatinya membuat lelaki itu membungkuk dengan
wajah terlihat mengerenyit. Untuk kali ini, Leia benar-benar terlepas dan gadis
itu segera melompat beberapa langkah ke
belakang untuk membuat jarak dengan Leo Kai. Wajah Leia terlihat beringas di
penuhi kemarahan dengan sepasang mata yang menatap lelaki di depannya seolah
hendak melenyapkan Kai dalam satu kali pukulan yang menghancurkan.
Sang
putra Elder Agung menjadi kalap saat mendapatkan perlawanan dari Leia. Lelaki itu berusaha untuk mendapatkan Leia
kembali, namun kali ini, sang bunga Hawai bergerak mengelak. Tangan Leo Kai
terulur dan menyambar ke arah lengan Leia, namun sang bunga Hawai menggunakan
tangan kanannya untuk menepis dengan gerakan menebas sambil bergerak menghindar
ke belakang. Akibatnya, ayunan tangan Leo Kai tak mendapatkan hasil. Lebih dari
itu, tangan yang kuat dan terayun sepenuh tenaga itu justru menghantam sebuah
pot bunga yang di letakkan dalam rak membuat rak besi berisi beberapa pot bunga
itu bergoyang keras dan seluruh pot bunga di dalam rak bergulir jatuh ke lantai
beranda. Suara berderak pecah terdengar keras saat pot-pot yang terbuat dari
tanah liat itu menghantam lantai keramik.
“Siapa
di luar?!” suara Mrs. Akela terdengar dari dalam rumah membuat Leo Kai dan Leia
sama-sama terkejut. Suara keras pot yang pecah membuat istri ketiga Elder Kaili
itu terbangun dari tidurnya. “Leia?!...Leia?!...kaukah itu?!”.
Leia
diam tak menjawab sementara sepasang matanya masih terus menatap ke arah Leo
Kai dengan pancaran amarah. Namun, suara ibunya yang berteriak dari dalam
memberi kelegaan luar biasa dalam diri Leia.
“Leia!...kaukah
itu?!” seru Mrs Akela kembali saat tak mendengar suara yang menjawab dari luar.
Leo
Kai terlihat bingung selama beberapa detik. Bagaimanapun, Mrs. Akela terhitung
sebagai bibinya. Dan untuk suatu hal yang tak dapat dijelaskannya, Leo Kai
merasa segan terhadap wanita yang selalu terlihat sejuk dan tenang dalam
keseharian itu. Maka, setelah menatap Leia dengan sorot kecewa bercampur
cemburu, lelaki putra sulung sang elder agung itu segera melompat ke sisi taman
yang gelap, melewati rumpun-rumpun mawar teh, melompati pagar luar dan
menghilang di ujung jalan.
Leia
berdiri dengan menyandarkan punggungnya pada dinding beranda. Kelegaan datang
menguasai namun juga memicu aliran emosi dalam diri Leia. Gadis itu menutupi
mukanya dengan dua telapak tangan dan berusaha mengatur nafasnya yang memburu
oleh gejolak emosi yang memenuhi dadanya.
“Leia?!....apa
kau di luar?” suara Mrs. Akela kembali terdengar membuat Leia tersentak dan
mengangkat wajahnya.
“Ya
Omma….!” Seru Leia berusaha menata agar nada suaranya terdengar tenang
sementara ia sendiri justru merasa kedua kaki dan tangannya menjadi gemetar
oleh emosi yang bergejolak.
“Suara
apa itu? Kenapa kau tidak masuk?!” tanya Mrs. Akela dari dalam yang terdengar
lebih tenang.
“Aku
menjatuhkan pot bunga Omma. Maaf Omma” jawab Leia sedikit keras. “Sebentar lagi
aku masuk. Udara agak panas. Omma tidurlah lagi”.
“Jangan
lama-lama Sayang. Nanti kau sakit” ujar Mrs. Akela.
“Ya
Omma” jawab Leia lalu sejenak menunggu. Kedua tangan saling meremas di depan
dada. Hingga beberapa menit berlalu, dan tak terdengar lagi suara Mrs. Akela
dari dalam rumah membuat Leia merasa yakin bahwa ibunya telah tidur kembali.
Kemudian, dengan berjingkat, gadis itu berjalan melewati pot-pot yang pecah
berderak di lantai beranda, melintasi jalan setapak di tengah taman kecil depan
rumah, melewati rumpun bunga mawar teh yang bergoyang-goyang oleh tiupan angin
yang bergerak saat tubuh gadis yang diguncang emosi itu melangkah lebih cepat,
membuka pintu pagar depan yang hanya setinggi pinggang, kemudian, saat telah
benar-benar berada di luar rumah, sang bunga Hawai tersebut segera berlari,
melesat menembus jalan yang terang oleh lampu-lampu merkuri yang tinggi
menjulang. Semakin cepat dan semakin cepat hingga kakinya menyentuh hamparan
pasir pantai Waikiki yang terlihat lebih tenang di malam hari. Ombak pantai
terdengar lebih keras berdebur dengan buih-buih putih yang mengejar hamparan
pasir pantai. Leia menghambur ke arah air laut yang datang dan meraup airnya dengan
kedua tangannya. Sesaat kemudian, wajah gadis itu telah menjadi basah oleh air
laut yang hangat. Namun, Leia masih terus membasuh wajahnya. Nafasnya tersendat
karena sebagian kecil air laut masuk kehidung, menghasilkan rasa perih
menyengat.
Hingga
lima menit kemudian, gadis itu terduduk di hamparan pasir pantai yang basah.
Memeluk lututnya dan tertunduk dengan bahu yang terguncang oleh tangis.
Tersedu-sedu oleh campuran rasa marah, terluka dan tak berdaya. Leia semakin
mengerti, bahwa kemungkinan ia bisa terlepas dari Leo Kai sangatlah kecil. Terlebih
sekarang, setelah lelaki itu mengetahui perihal ramalan si nenek tetua adat
yang sesungguhnya ia sendiri nyaris tak bisa mempercayainya. Tetapi, dimana
lagi ia akan berlari? Satu-satunya harapan yang dapat dilihatnya sekarang hanya
ada dua. Yang pertama, menunggu kedatangan siapapun orang yang akan datang
bersama festival nanti, yang dikatakan akan membawanya pergi. Orang yang ia tak
tahu siapa dan bagaimana wajahnya. Atau, jika tidak… jika orang itu
sesungguhnya tak ada….jika ternyata ramalan nenek tetua adat hanyalah
kebohongan belaka, maka pilihannya hanya satu….
Mati.
Leia
menengadahkan wajahnya ke arah bermilyar bintang yang menyelimuti langit malam
sementara linangan airmatanya mengadu pada gemerlap butiran permata alam semesta
itu.
“Siapapun
kau, siapapun namamu, bagaimanapun dirimu, jika kau memang ada…memang
sungguh-sungguh ada, maka datanglah” bisik Leia tersedu.
“Atau
aku akan mati” bisik Leia kembali. “Atau aku akan mati”.
Malam
merambat semakin jauh. Beberapa turis bergerombol dalam kelompok-kelompok kecil
tak jauh dari tempat sang bunga Hawai menumpahkan rasa gelisah dalam dirinya.
Nyala api unggun dari tumpukan kayu yang ditata melingkar dalam onggokan kecil.
Aroma barbeqiu membubung di udara, berasal dari kelompok turis-turis kaya yang
tengah berpesta dan tertawa-tawa, diselingi tarian dan nyanyian yang bernada
ceria, sangat bertentangan dengan suasana yang kelabu di aura Leia Kaili.
Sementara
itu, di balik sebatang pohon cemara, sesosok tubuh lain berdiri merapat dan
terus memperhatikan sang gadis dari balik jari-jari daun yang panjang serupa
lidi. Sosok yang diam dalam raut cemas yang jelas terlihat. Yang mengawasi Leia
sejak gadis itu pulang dari rumah Papa Lolo. Sosok yang nyaris melompat karena
amarah saat melihat Leo Kai mendekap dan mencium paksa Leia dan masih terus
berusaha untuk menangkap lengan sang bunga Hawai, namun kemudian ia mengurungkan
niatnya saat mendengar suara nyonya rumah yang terbangun dari tidurnya dan membuat
putra Elder Agung mundur lalu pergi dalam sekejab.
Sosok
yang terus mengikuti Leia, melihat gadis itu menghambur masuk ke dalam air laut
dan membasuh wajah serta mulutnya bersama tangis yang pecah…membuat wajah sosok
itu semakin mengerut dalam duka….
************
(Bersambung ke Episode 2)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar