Rabu, 18 Februari 2015

Straight - Episode 1 ( Bagian Dua )



“Apa?” tanya Bok saat merasa tatapan Yoon terasa sedikit ganjil di matanya.
Yoon mengerdikkan bahu. Lalu kembali menunduk menekuni layar notebooknya. Bok berjalan mendekat dan segera menjejalkan tubuhnya yang besar di sisi Yoon membuat pemuda itu terkejut dan nyaris terjatuh saat kursi yang diduduki Book menghentak kursinya dengan keras.
“Ya!..apa kau tidak bisa pelan-pelan saja?” protes Yoon sambil menatap ke arah Bok.
“Kau tidak menjawab pertanyaanku” sahut Bok kalem. Ditatapnya Yoon sambil mengerjabkan kedua matanya. “Apa kau takut kehilangan ketampananmu?”.
Yoon memutar bola matanya. Ia dan Bok telah bersahabat sejak kecil. Karena ommonie dan ibu dari Bok adalah sahabat baik. Dan persahabatan itu tidak memudar meski kemudian, ibu Bok menjadi salah satu dokter dan pengusaha wanita paling berpengaruh di Korea Selatan. Nyonya Park selalu meminta ommonie untuk memasak setiap kali keluarga Park mengadakan pesta atau pertemuan-pertemuan bisnis yang penting karena ommonie adalah seorang koki di sebuah restoran untuk makanan tradisional Korea sebelum bertemu dengan Abeoji. Dan Yoon sering mengikuti setiap kali ommonie memasak di acara keluarga Park. Karena itulah, ia dan Bok telah akrab sejak kecil. Bahkan, Yoon dan saudara-saudaranya bisa bersekolah di sekolah-sekolah elit Korea Selatan juga karena persahabatan di antara ommonie dan Nyonya Park. Dan persahabatan yang terjalin selama belasan tahun hingga saat ini membuat Yoon tahu benar watak Bok sebagaimana Bok sendiri yang sangat hafal di luar kepala seluruh kebiasaan Yoon hingga sudut-sudut tersembunyi yang tak di ketahui oleh siapapun selain Yoon sendiri. Namun, seringkali, Yoon kaget setiap kali Bok memberinya pertanyaan yang asal bunyi. Seperti sekarang.
“Kau tidak punya pertanyaan lain?” jawab Yoon singkat dan bersiap kembali ke layar laptopnya, namun, sebuah jari gemuk terlihat bergerak dan menangkupkan notebook hitam di pangkuan Yoon.
“Bok!...aku punya banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan. Singkirkan jarimu itu” protes Yoon sambil menatap sahabatnya.
Bok nyengir dan menggeleng.
“Tidak sampai kau menjawab pertanyaanku” jawab Bok.
“Dasar Tuan Muda” Yoon mendesah. Lalu, dengan sekali tepis, jari gemuk Bok berhasil disingkirkannya dari permukaan notebook. Lalu, sambil meraih tas ranselnya, Yoon bangkit berdiri dan mulai berjalan menuju pintu keluar dari sisi deretan kursi yang berbeda. Bok segera bangkit berdiri dan berusaha mengejar Yoon namun, tubuhnya yang super gemuk membuat gerak tubuhnya tidak lincah. Beberapa kursi yang terhantam gerakan tubuhnya mengeluarkan suara berderit gaduh membuat Yoon mau tak mau menoleh ke arah Bok dan menggelengkan kepalanya.
Bok memandang ke arah Yoon dan nyengir. Sekali lagi.
“Sorry….tak sengaja” katanya sambil kembali bergerak ke arah Yoon. Kali ini, Bok berhasil menyusul Yoon karena sang asisten dosen berdiri menunggunya di pintu kelas.
“Okay…sekarang jawab pertanyaanku” ujar Bok saat sampai di sisi Yoon.
“Sekarang aku mau ke kelas Desain Program. Sebentar lagi mulai” jawab Yoon dan melangkah keluar kelas. Bok mengikuti di belakangnya. Beberapa mahasiswi terlihat masih bergerombol di sepanjang lorong, berbincang dan tertawa. Namun, segera, begitu melihat Yoon, mahasiswi-mahasiswi itu berlari mendekat.
“Oppa…bisakah Oppa membantuku menyelesaikan tugas dari Profesor Bae? Itu sulit sekali dan kepalaku sudah hampir pecah karenanya. Please Oppa..” rengek satu mahasiswi berwajah cantik dengan rambut merah jagung. Tangannya terulur dan memegang lengan Yoon.
Yoon tersenyum, jemarinya melepaskan tangan lentik si rambut merah dengan halus.
“Sudah dapat file panduan yang kemarin dibagikan?” tanya Yoon sambil menatap gadis di depannya.
“Yeah…tapi aku belum membacanya” jawab gadis itu dengan jujur.
“Kalau begitu mulailah dibuka dan dibaca baik-baik. Jika nanti masih kesulitan baru boleh bertanya…okay?” jawab Yoon sambil mulai melangkah setelah melambaikan tangannya pada si rambut merah jagung. Si gadis berlari berusaha mendapatkan Yoon, namun, beberapa mahasiswi lain segera merangsek maju ke arah Yoon sehingga menutupi jalannya. Gadis itu merengut dan menghentakkan kakinya yang mungil berhias sepatu merah ke lantai keramik.
“Yoon Oppa….tapi membacanya juga sangat sulit. Aku hanya melihat wajah Oppa di layar notebook, tak ada satu hurufpun yang terlihat. Oppa!...Yoon Oppa!....Aishhhh!” sungut gadis berambut merah dengan kesal bercampur gemas.
Bok menoleh ke arah gadis berambut jagung dan melemparkan senyum miringnya yang jahil sebelum kemudian melenggang mengikuti Yoon. Gadis berambut merah semakin cemberut saat melihat senyum Bok.
“Oppa…bisakah Oppa memberiku nilai F lagi di ujian semester nanti? Jadi, aku masih akan tinggal di kelas Profesor Bae dan bertemu dengan Yoon Oppa. Bisakah?” tanya gadis berambut hitam sepanjang punggung sambil mendekap notebook hijau mungilnya. Dua gadis lain, yang satu berambut keriting ikal dan yang ketiga berambut pendek mengangguk-angguk setuju.
“Benar Oppa…berikan nilai F juga padaku, aku sangat suka kelas Profesor Bae” sambung adis berambut ikal.
“Benar…aku juga” gadis berambut pendek tak mau kalah. “Kelas Profesor Bae sangat menyenangkan”.
“Tidak masalah. Tapi semester depan, kalian harus bekerja lebih berat karena aku tidak bisa membantu kalian lagi” jawab Yoon sambil melangkah. Ketiga gadis di sisi kiri dan kanannya turut melangkah menjajari sang asisten dosen.
“Tidak bisa? Kenapa tidak bisa Oppa?” tanya gadis berambut panjang sambil menelengkan kepalanya, menatap ke arah wajah Yoon.
“Karena untuk semester depan, giliran Kevin Young yang menjadi asisten Profesor Bae” sahut Yoon kalem. Satu matanya mengedip ke arah si gadis berambut hitam sebelum kemudian, kakinya melenggang  pergi meninggalkan tiga mahasiswi yang terpana.
“Kevin Young Oppa? Kevin Oppa? Si bomber yang sangat galak itu? Ah…tidaaaaak! Yoon Oppa…jangan beri kami nilai F!...buat kami lulus! Yoon Oppa!” teriak gadis berambut ikal yang di sahuti dua temannya.
Bok kembali melempar senyum miring jahilnya saat melewati tiga gadis yang terlihat panik dan berusaha mengejar Yoon yang telah keluar dari pintu gedung. Dua jari tangannya terkembang, menunjuk dua matanya sendiri lalu mengarahkan dua jari itu ke arah tiga gadis yang seketika berhenti mengejar saat melihat Bok. Itu adalah isyarat “Aku mengawasi kalian” yang biasa di berikan oleh Bok pada penghuni kampus yang bertingkah berlebihan. Dan itu bukan symbol sembarangan. Bisa dikatakan itu adalah semacam sinyal peringatan. Dan semua penghuni kampus telah memahami hal itu.
Sementara Yoon telah sampai di halaman depan kampus jurusan IT. Halaman yang berpaving rapat dan rata dengan keindahan taman bunga di setiap sisi jalan. Sekilas, halaman dengan model paving seperti itu mengingatkan siapapun yang melihatnya pada jalan-jalan di Negara Jerman. Hal yang tak biasa terlihat di Korea Selatan. Namun, desain yang berbeda itu seolah menjadi symbol dari ke-ekslusivan kampus yang terkenal dengan jurusan IT-nya tersebut. Rumpun bunga camellia terlihat tegar sebagai pagar pembatas bagian terluar taman sementara sebuah kolam berair mancur buatan yang indah membentuk aliran sungai kecil yang menembus di bawah lantai halaman dengan paving kaca yang tembus pandang membuat siapapun yang melangkah di atasnya seolah tengah berjalan di atas sungai yang jernih.
Yoon melangkah dengan cepat tanpa menoleh ke belakang sementara Bok terengah-engah berusaha mengejar langkah kaki Yoon yang panjang.
“Yoon!...Hei! apa kau mau membuatku kena serangan jantung he?!...Yoon..tunggu! aku tak bisa berjalan cepat!” teriak Bok di belakang Yoon.
“Karena itu seharusnya kau mulai berdiet dan kurangi lemakmu itu” teriak Yoon tanpa menoleh ke belakang.
“Itu mudah!.... Aku hanya butuh sedikit stimulasi….!..Lalu…..aku akan seseksi dirimu!” jawab Bok. Tubuhnya nyaris terjungkal saat satu kakinya menabrak kaki yang lain. “Tapi…bisakah kau berhenti sekarang?.... Demi aku? Aku kan satu-satunya sahabat yang sangat baik padamu…ya kan?... Bahkan aku baru saja menyelamatkanmu dari fans fanatik yang hampir membunuhmu di dalam tadi…. Apa kau sudah lupa?.....Yoon!”.
Yoon memutar bola matanya mendengar rengekan Bok. Langkahnya seketika terhenti dan tubuhnya berputar ke belakang. Dilihatnya Bok yang sempoyongan dengan tubuh super gemuknya yang telah basah kuyup.
“Nah…akhirnya….kau berhenti” ujar Bok saat sampai di sisi Yoon. Satu tangannya berpegang pada bahu Yoon sementara tubuhnya sedikit membungkuk untuk mengatur nafasnya yang hampir putus.
“Kau tak pernah mendengar apa yang kukatakan. Sudah berapa kali aku bilang, kurangi makanmu dan mulailah berdiet” Yoon nyaris menggerutu. Namun, tak urung, ia kasihan juga melihat sahabatnya yang hampir kehabisan nafas hanya karena mengejar langkahnya sementara ia sendiri tak merasa lelah ataupun terengah-engah. “Apa kau mau mati muda sebelum bertemu dengan pacarmu?”.
“Aku tidak butuh pacar…aku hanya ingin makan dan….bersahabat denganmu” jawab Bok yang mulai bisa mengatur nafasnya. Tubuhnya telah kembali tegak namun keringat masih deras mengalir di wajahnya yang berubah memerah. Sebenarnya, Bok sangatlah tampan dengan senyum yang hangat dan familier, namun sayang, timbunan lemak telah mengubur keindahan Park Shi Hoon yang mestinya menjadi seorang pangeran tampan mempesona pewaris kerajaan transportasi dan sekian banyak perusahaan.
Yoon mendongakkan wajah sementara satu tangannya terangkat dengan ekspresi menyerah. Selalu jawaban yang sama setiap kali ia mengungkit masalah diet dan penurunan berat badan pada Bok. Ia telah mendengar kalimat itu puluhan atau bahkan ratusan kali sepanjang umur persahabatan mereka.
“Aku harus segera masuk ke kelas Profesor Ryu. Ada ujian hari ini” jawab Yoon tanpa menghiraukan ucapan Bok yang telah dihafalnya di luar kepala itu.
“Eh…tunggu. Aku dengar, ujian hari ini dibatalkan” jawab Bok sambil memegang lengan Yoon yang bersiap pergi. Beberapa mahasiswa yang melintas di depan mereka menyapa dan membungkuk hormat di depan Bok tanpa sedikitpun dihiraukan oleh sang pewaris tahta tersebut.  
“Apa?! Kenapa? Bagaimana kau tahu?” Yoon terperanjat.
Bok mengangkat bahunya yang penuh lemak.
“Aku tidak tahu. Hanya saja, aku mendengar bahwa Profesor Ryu di panggil oleh….pemegang saham terbesar…karena ada proyek penting atau apapun. Aku tidak begitu tahu. Yang jelas,  Profesor Ryu ke Belanda tadi pagi-pagi sekali, mungkin besok atau lusa baru kembali” jawab Bok.
Yoon terpekur. Pemegang saham terbesar universitas adalah Tuan Park, ayah Bok.
“Ah!….dan kau baru memberitahuku sekarang?” tanya Yoon sambil menatap Bok.
“Aku terpeleset di kolam renang kemarin malam dan ponselku basah…sorry.  Aku mencoba menelponmu tapi ahjussi mengatakan bahwa kau sudah tidur” jawab Bok sambil mengerjab-kerjabkan dua matanya dengan ekspresi memelas. “Bagaimana kalau sekarang kita ke rumahku? Kau sudah berjanji mau memperbaiki komputerku kan?”
Yoon mendesah. Ia tak ada jadwal lagi setelah selesai dengan kelas Profesor Bae dan Profesor Ryu. Jadi, memang sudah seharusnya ia pergi  ke rumah Bok dan memperbaiki computer sahabatnya itu.
“Oke..” Yoon mengangkat bahu. Senyumnya terkembang. “Bawa aku ke rumahmu”.
Bok nyengir. Tangannya menunjuk ke arah berlawanan dengan arah langkah mereka sebelumnya. “Lewat sini”.
“Ke sana? Tapi tempat parkir bukan di sana” Yoon menelengkan kepalanya pada dua arah yang berlawanan beberapa kali.
“Benar, tapi mobil kita tidak di tempat parkir” Bok tersenyum miring. “Kuparkir di sisi gedung tadi. Maksudku agar kita mudah mengambilnya dan tak perlu berjalan jauh ke tempat parkir”.
“Terserahlah. Kau memang bisa bisa melakukan apapun yang kau mau” jawab Yoon sambil berbalik langkah ke arah yang ditunjuk oleh Bok.
“Memang…karena itulah aku menjadi sahabatmu. Aku akan sangat berguna untukmu…kau tahu itu kan?” ujar Bok sambil mensejajari langkah Yoon yang kali ini tak lagi terlalu cepat.
Yoon mendengus tanpa kata meskipun dalam hati ia mesti mengakui hal itu. Keberadaannya sebagai sahabat Bok sedikit banyak memang memberikan keuntungan padanya. Bukan hanya padanya, melainkan juga pada keluarganya. Terutama setelah Ommonie wafat saat melahirkan Seon, adiknya. Bisa dikatakan, keluarga Park-lah yang telah menopang kelanjutan pendidikannya dan dua saudaranya yang lain. Penghasilan Abeoji sebagai penjual makanan tradisional dan snack khas korea tidak seberapa, benar-benar tak cukup untuk membiayai kuliah yang sangat mahal di universitas ternama dengan jurusan paling elit di Korea Selatan ini. Belum lagi, biaya sekolah Seon di sekolah lanjutan pertama yang juga merupakan SMP favorite. Kakaknya,  Han memilih untuk tidak kuliah. Kakak yang dulu sangat akrab dengannya itu kini memilih untuk tinggal dan bergaul dengan kelompok geng motor. Sangat jarang pulang ke rumah meski Yoon telah berkali-kali menyusul kakaknya dan menyuruhnya untuk pulang. Ada saatnya, Yoon merasa sangat tak nyaman dengan kenyataan bahwa keluarga Park telah banyak menopang keluarganya terutama dari segi pendidikan. Dalam hati, Yoon berharap bahwa ia akan bisa memperoleh pekerjaan yang layak setelah lulus nanti agar bisa membantu Abeoji membiayai kuliah Seon. Setidaknya, untuk kuliah Seon, Yoon berharap keluarganya tidak akan lagi bergantung pada keluarga Park. Karena itulah, Yoon selalu giat belajar agar bisa lulus secepatnya dan mendapat kerja dengan gaji yang tinggi. Penghasilan seorang programmer komputer di Korea Selatan sangatlah lumayan untuk hidup.
“Nah…kita sudah sampai” ujar Bok tiba-tiba menyadarkan Yoon dari lamunan sesaatnya.
Kedua mata Yoon terbelalak menatap sebuah mobil berwarna perak di depan mereka. Indah, anggun, berkilat dan jelas terlihat sangat mahal. Terparkir di sisi gedung sementara banyak mahasiswa berdiri memperhatikan mobil mewah tersebut dengan tatapan memancarkan kekaguman. “Porsche? Indah sekali. Sejak kapan mobilmu berubah menjadi Porsche?”.
“Hadiah dari orang-orang yang ingin bergabung dengan grup” Bok menjelaskan sambil tersenyum miring. Satu tangannya yang gemuk bergerak merogoh ke dalam saku celana panjang parasut lebarnya, mengambil sesuatu lalu melemparkan benda yang baru diambilnya ke arah Yoon. “Kupikir lumayan keren, jadi kupakai saja. Nah…kau yang pegang kemudi”.
Yoon menangkap kunci mobil yang di lemparkan oleh Bok dengan tangan kanannya. “Ya!..ini kan mobilmu? Kenapa aku yang mengemudi?”.
Bok mengangkat bahunya. “Kau sendiri yang bilang, mobil ini sangat indah. Kau pikir…apa yang akan dipikirkan semua orang jika aku yang mengemudi? Pasti aku akan terlihat seperti seekor gajah di atas baby walker kan? Tapi…kalau kau yang memegang kemudi, maka akan semakin indah. Betul kan?”
Yoon melongo mendengar ungkapan yang terdengar sangat polos dari mulut Bok. Lalu, tawanya mengalir dari mulut dengan ringan.
“Karena itu sebaiknya kau diet. Agar kau bisa mengemudikan mobilmu sendiri” ujar Yoon sambil melangkah ke arah mobil dan bersiap membuka pintu sementara Bok telah berdiri di sisi lain mobil, tepat pada pintu penumpang.
“Berikan ranselmu padaku. Biar aku yang membawanya. Lagipula, aku tahu di dalamnya ada sesuatu yang menjadi jatahku” ujar Bok sambil mengulurkan tangan kanannya.
“Apa?” tanya Yoon sambil mengulurkan notebook dan ranselnya pada Bok.
Bok tak menjawab, namun tangan kanannya segera masuk ke dalam ransel dan merogoh-rogoh sesuatu, lalu, tak sampai lima menit tangan dengan jemari segemuk sosis hot dog itu telah keluar kembali sambil menggenggam sebuah benda. Kotak makan siang dari Min Jung. Yoon segera mengerti dan kepalanya menggeleng heran. Ia telah dengan snegaja menyembunyikan kotak makan siang itu di dalam ransel agar tak ditemukan oleh Bok. Bukan karena ia pelit – semua makan siang yang diberikan oleh Min Jung selalu Bok yang memakannya – melainkan karena bagaimanapun, Yoon selalu ngeri setiap kali melihat tubuh Bok yang semakin hari semakin mengembang seperti adonan roti gandum yang diberi banyak ragi. Terlebih, Bok adalah satu-satunya anak yang dimiliki oleh Park Ahjussi dan Ahjumma serta merupakan pewaris tunggal mereka. Apa jadinya kalau sampai terjadi hal buruk pada Bok karena tubuhnya yang tergilas obesitas?.
“Nah..sementara kau menyetir, aku akan menikmati makan siangku” ucap Bok dengan wajah berbinar ceria sambil mengacungkan kotak makan siang dari Min Jung.
“Bok…tolong dengarkan aku sekali saja. Nasi itu dimasak dengan lemak. Kau benar-benar ingin membuat jantungmu meledak?” Yoon melotot ke arah Bok.
“Tidak akan terjadi apapun padaku. Tidak selama kau masih menjadi sahabatku” sahut Bok sambil membuka pintu penumpang di depannya dan bersiap untuk masuk ke dalam mobil.
Yoon mencebikkan bibirnya mendengar ucapan Bok. Itupun, ia sudah hapal di luar kepala. Rayuan khas Bok bila menginginkan sesuatu darinya. Tangannya terulur ke depan dan membuka pintu kemudi Porsche silver lalu bersiap untuk masuk ke dalamnya.
Namun…
“Oppa!....Oppa tunggu! Kim Yoon Lu Oppa!” sebuah suara teriakan terdengar melengking mencegah jemari Yoon menekan tombol start power mobil. Darikaca spion didepannya, ia melihat seorang gadis kecil yang melaju dengan sepeda mini pink. Rambut yang diikat di kiri kanan kepala terlihat berkibar menunjukkan bahwa gadis itu telah mengayuh sepedanya dengan kencang. Wajahnya yang cantik berbinar seperti bintang pagi, dengan sepasang mata bening seperti dua butir permata yang tertanam dengan pas di wajahnya yang seputih mutiara. Dan Yoon, tak pernah sanggup untuk menolak apapun yang diinginkan setiap kali pemilik dua butir permata itu menatapnya dengan binar-binar pengharapan saat menginginkan sesuatu. Sepasang mata sejernih embun pagi yang membuat Yoon selalu terpacu untuk segera lulus dari kuliah dan memperoleh pekerjaan dengan gaji yang layak agar ia bisa memenuhi setiap permintaan yang diungkapkannya dengan nada manja sambil melendot di tubuhnya. Kim Seon Lu, adik perempuannya yang baru berumur dua belas tahun dengan kecantikan yang sering membuat Yoon pusing untuk melindunginya dari keisengan anak-anak lelaki puber di sekolah Seon. Tapi, kecantikan yang sangat jernih itu kini terlihat keruh.
Yoon menoleh ke belakang dengan kening  berkerut. Melihat adiknya yang segera melompat dari sepeda setelah meletakkan sepedanya di lantai halaman gedung begitu saja. Beberapa mahasiswa yang masih berada di sekitar gedung kampus terlihat menoleh dan menatap ke arah Seon dan mulai berbisik-bisik dengan mata mereka yang bersinar menilai. Yoon memutar bola matanya saat memergoki pandangan-pandangan kagum tersebut. Tentu saja. Para mahasiswa itu juga laki-laki. Yoon sudah terbiasa menemukan pandangan menilai dan penuh minat seperti itu saat ia membawa Seon untuk bersepeda di taman kota.
“Oppa!” teriak Seon keras saat ia telah sampai tepat di belakang Porsche silver membuat Bok yang tengah menyuap nasi hitam dari kotak makan siang Min Jung kaget dan seketika tersedak. Sebagian nasi hitam muncrat dari mulutnya membuat permukaan bibinya berlepotan nasi hitam. Kepala Bok berputar ke belakang dengan ekspresi marah, namun saat ia melihat gadis kecil yang berdiri dengan ekspresi gelisah di belakang mobil, mulut yang berlepotan nasi hitam itu segera menganga dengan lebar.
“Woaaaah….! Bidadari!” seru Bok tanpa sadar. Sepasang mata indah Seon sedikit mengerling ke arah Bok dan segera ekspresi mengerenyit jijik muncul di dahinya yang halus dan mulus. Namun, Bok seperti tak melihat hal itu. Justru di matanya, seolah Seon tengah tersenyum dengan begitu indahnya. Dan hanya untuknya. Yoon sama sekali tak ada.
“Ada apa? Kenapa kau gugup begitu?” tanya Yoon  sambil menatap adiknya.
“Oppa! Cepatlah pulang….cepat pulang!” seru Seon sambil berlari mendekat ke arah Yoon dan kini ia berdiri di sisi pintu kemudi.
“Oppa harus ke rumah Bok untuk memperbaiki komputernya. Ada apa? Nanti Oppa akan pulang setelah selesai dengan komputer Bok” jawab Yoon lembut.
“Oppa! Oppa harus pulang sekarang!....orang-orang itu mau membawa Abeoji ke kantor polisi!” jerit Seon yang mulai menangis membuat Yoon seketika terperanjat.
“Ke kantor polisi? Kenapa? Siapa mereka?” tanya Yoon beruntun sambil membuka pintu mobil dan berdiri di depan Seon. Sepasang matanya menatap Seon tajam. “Cepat katakan!”.
“Orang-orang dari bank…dan juga beberapa polisi dan masih ada lagi tapi aku tidak tahu siapa dia. Tiba-tiba mereka datang ke toko dan meminta Abeoji untuk melunasi hutang yang ada di bank karena sudah jatuh tempo. Tapi Abeoji menolak karena tidak merasa mengambil hutang atau kredit apapun dari bank. Orang-orang itu merusak toko dan menyeret Abeoji keluar. Lalu aku pergi mencari Oppaaa” tutur Seon dalam tangisnya.
Yoon tertegun. Setiap kalimat penjelasan yang diucapkan oleh Seon terdengar seperti petir di telinganya. Hutang dari bank? Abeoji mendapat tagihan kredit dari bank? Sejak kapan Abeoji punya hutang? Dan kenapa? Bagaimana mungkin sampai ada polisi yang datang ke toko? Jika sampai ada polisi, maka itu hanya menggambarkan satu kemungkinan. Hutang di bank itu, pasti sangat besar. Dan lagi pula, selama ini, ia yang selalu membantu Abeoji mengurusi toko snack dan masakan tradisional mereka sejak Ommonie meninggal hampir tiga belas tahun yang lalu saat melahirkan Seon. Ia juga yang selalu menangani pembukuan keuangan toko yang menjadi sumber penghidupan mereka dan setahu Yoo, meskipun tidak banyak, tapi toko selalu memperoleh keuntungan. Bahkan di hari yang paling sepi sekalipun, mereka selalu mendapatkan pembeli dan belum pernah merugi ataupun membuang sisa makanan dan snack yang tidak terbeli. Lalu, darimana datangnya tagihan hutang itu? Mengapa Abeoji tak pernah memberitahu bahwa ia mengambil hutang dari bank? Bukankah selama ini, Abeoji selalu berterus terang padanya dalam hal apapun?
“Oppa!...cepatlah! saat ini mereka sedang menyeret Abeoji keluar dan beberapa orang memukulnya!...Cepatlah Oppa!” teriak Seon sambil mengguncang lengan Yoon membuat pemuda itu tersentak. Lalu, bagaikan anak panah terlepas dari busurnya, Yoon segera melesat dan bagaikan terlupa pada semua orang dan hal di sekitarnya, tubuh yang tinggi gagah dengan wajah rupawan itu telah berlari, meninggalkan Seon yang segera menegakkan sepeda lalu mengayuhnya dengan cepat, menyusul sang kakak dengan tangis yang berhamburan dari dua matanya yang indah dan Bok yang terpaku di dalam mobilnya. Kotak makan siang Min Jung terlepas dari genggaman jemari gemuk Bok dan isinya berserakan di lantai mobil. Apa yang didengarnya membuat sang pewaris kerajaan transportasi itu benar-benar terpana. Keluarga Kim Lu sudah seperti keluarganya sendiri. Ia telah sangat akrab dengan Kim Ahjussi, ayah Yoon dan Lu Ahjumma, ibu Yoon. Dan setahunya, keluarga Kim belum pernah mengalami kebangkrutan dalam usaha toko makanan tradisional mereka. Tidak mungkin karena Bok yakin, orangtuanya tak akan membiarkan hal itu terjadi. Terutama Ommonie yang telah bersahabat sangat erat dengan Lu Ahjumma hingga seperti dua saudari. Lalu, kenapa sampai ada tagihan dari bank? Bahkan dengan membawa serta polisi?
Bok tersentak saat ia teringat kata polisi yang di ucapkan oleh Seon dan bagaikan tersadar dari tidur sesaat, tubuh gemuk penuh lemak itu segera bergeser ke bagian kemudi, menyalakan mobil dan memutar Porsche Silver itu dengan gerak menyentak menimbulkan suara decit ban yang keras dan mengagetkan orang-orang di sekitar gedung kampus IT. Lalu, hanya seperempat detik kemudian, mobil sport mewah itu telah melesat cepat ke arah menghilangnya Yoon dan Seon.
Sementara Yoon terus berlari bagaikan lupa diri. Jarak antara kampus dengan rumah lumayan jauh, tetapi, mendengar bahwa Abeojitelah di seret dan di pukul membuat Yoon lupa pada bentangan jarak tersebut. Siapa mereka? Siapa yang berani memukul Abeoji-nya di saat ia masih hidup? Berani betul dia! Berani betul orang-orang itu memukul orangtuanya yang tinggal satu-satunya!. Kemarahan terasa membakar jantung Yoon…mendidih hingga ke ubun-ubun, masih di tambah dengan pertanyaan-pertanyaan tentang hutang yang tak pernah diketahuinya yang datang susul menyusul memenuhi dan menyesakkan ruang kepalanya hingga sudut-sudut terkecil. Yoon merasa pening tapi, jantungnya yang menghentak dalam kemarahan membuat kakinya tak sudi berhenti dan terus berlari semakin cepat dan semakin cepat melintasi jalan raya kota Seoul yang ramai.
“Oppa!...Oppa! tunggu Seon!....Oppa!” teriak Seon beberapa meter di belakang Yoon.
Namun, Yoon seolah tak mendengar teriakan adiknya. Sepasang matanya tajam menatap ke depan. Sekali, tubuhnya nyaris tersambar mobil yang melintas cepat di jalan raya kota Seoul yang padat. Sementara, berpuluh pasang mata sempat menatap pemuda yang berlari bagaikan lupa diri dengan seorang gadis kecil yang mengejar dengan sepeda di belakangnya. Beberapa orang terlihat menggelengkan kepalanya.
“Naiklah!” sebuah Porsche yang berhenti mendadak di depan Yoon membuat pemuda itu seketika berhenti dengan kaget. Namun, hanya sedetik, karena detik berikutnya, tubuh Yoon telah melompat masuk ke dalam mobil dan mobil sport mewah itupun melesat cepat. Seon segera mengayuh sepedanya lebih cepat dan bahkan, pada beberapa gang, gadis itu segera membelokkan sepedanya menyusuri jalan pintas yang lebih cepat.
“Tenanglah….Yoon!” ucap Bok sambil mengendalikan laju mobil yang berpacu sangat cepat. Tampaknya, Bok sendiri tak peduli jika ia akan terkena tilang polisi lalu lintas karena mengebut.
“Mereka memukul Abeoji!” teriak Yoon.
“Kita cari tahu dulu permasalahannya!” balas Bok. “Baru kita bertindak!”.
Yoon mengepalkan dua tangannya. Dan bahkan kemudian, tangan kanannya melayang, memukul dasbord mobil dengan keras.
“Bagus! Ungkapkan marahmu sekarang…dan kita akan  berkepala dingin saat berhadapn dengan mereka” ucap Bok. Kakinya menginjak pedal rem sejenak, lalu, mobil Porsche itupun berbelok di gang terakhir menuju rumah keluarga Kim. Toko makanan tradisional itu, ada di sebelahnya. Dari jauh, Bok telah dapat melihat kerumunan orang-orang yang berdiri di depan toko. Kursi-kursi dan meja yang berhamburan, polisi-polisi yang berdiri dengan siaga, orang-orang berpakaian perlente dengan jas mereka yang pasti orang-orang dari bank serta makanan dan snack yang tertumpah dan berserakandilantai, bersama dengan piring-piring saji kecil, gelas-gelas plastik, sumpit dan garpu. Keadaan terlihat sangat kacau.
Dan Yoon melihatnya juga. Separah apa kejadian yang tengah menimpa keluarganya.

************

Tidak ada komentar:

Posting Komentar