Hawai…..
Minggu,
sekitar pukul 03.00 AM waktu Hawai….
Sangat
sunyi di luar. Sepertinya, semua manusia tengah terbuai dalam mimpi terindah
mereka saat ini. Leia menatap cermin besar di depannya. Meneliti seraut wajah
yang telah sangat akrab dengannya sejak batas ingatan terjauhnya. Membandingkan
wajah dalam cermin yang dilihatnya sekarang dengan wajah-wajah sama yang
dilihatnya di waktu-waktu sebelumnya. Tidak ada yang berubah secara fisik. Mata
dalam cermin itu masih mata yang sama dengan yang dilihatnya selama dua puluh
satu tahun hingga kini. Bening, cemerlang, bulat dengan binar-binar seolah dua
butir bintang telah jatuh dan tenggelam di kedalaman mata itu. Hidung, pipi,
alis, hingga secuil bibir merah segar yang sensual itu masih tetap sama dengan
yang dilihatnya selama ini.
Lalu,
dimana letak perbedaan yang dirasakannya? Tiba-tiba Leia merasa diriya bukan
lagi dirinya. Tiba-tiba, dengan cara yang sangat sulit untuk dijelaskan, Leia
merasa dirinya seperti berubah menjadi sosok yang lain, bukan secara fisik
melainkan dalam rasanya. Dan semuanya berawal sejak dua hari yang lalu. Hari
ketika ibunya mengatakan sesuatu yang aneh dan tak dapat dimengertinya.
“Kau
harus mengikuti festival itu Leia. Omma tidak mau mendengar apapun alasanmu.
Karena takdirmu akan ditentukan dalam festival itu” kata Mrs. Akela saat itu.
“Tidak
Omma…aku masih punya harga diri. Lagi pula, aku benar-benar tidak mengerti
kenapa Omma memaksaku untuk mengikuti festival itu? Selama ini Omma tidak
pernah memaksaku untuk melakukan kegiatan apapun yang aku tidak ingin
melakukannya” jawab Leia Kaili. Bibirnya sedikit cemberut.
Mrs.
Akela menarik nafas dalam-dalam. “Maafkan Omma sayang. Tapi untuk kali ini, kau
harus menurut pada Omma. Hanya sekali ini saja, dan sesudahnya, Omma tidak akan
pernah lagi memaksamu untuk melakukan apapun yang kau tidak ingin
melakukannya”.
“Tapi
kenapa Omma? Kenapa Omma sangat ingin aku mengikuti festival itu?” Leia
berbalik dan memandang ibunya.
“Karena
takdirmu akan datang di festival itu sayang” jawab Mrs. Akela.
“Takdir?
Takdir apa?” kejar Leia. Ada nada jengkel dalam suaranya yang dicobanya untuk
ditekan jauh-jauh. Leia sangat benci bicara tentang takdir. Karena ia tahu,
takdirnya yang sesungguhnya adalah menikah dengan Leo Kai yang meski disukainya
sebagai kakak namun sama sekali tak memiliki tempat dihatinya sebagai seorang
pria.
“Takdirmu
Leia. Seseorang yang akan datang dan membawamu pergi dari sini, dari keharusan
menikah dengan orang yang tidak kau cintai” jawab Mrs. Akela setengah berbisik.
Namun
suara bisikan pelan Mrs. Akela cukup untuk membuat Leia terkejut dan seketika
menggeser posisi duduknya menghadap ke arah ibunya. Sepasang matanya membesar.
“Omma
sungguh-sungguh? Bagaimana Omma tahu bahwa festival itu akan membawa seseorang
yang akan membawaku pergi dari Kai?” tanya Leia.
Mrs.
Akela menengok ke arah dapur dimana dua pelayan tengah sibuk mengerjakan tugas
mereka. Lalu, disaat dirasakannya semua aman, nyonya Elder ketiga itu
mencondongkan kepalanya pada Leia yang segera mendekatkan telinganya.
“Dengar
Sayang, dalam beberapa minggu ini Omma mendapat mimpi yang aneh. Mimpi tentang
seorang pria muda yang datang dari negeri yang jauh dan dia membawamu pergi.
Pria yang bersinar terang seperti matahari. Omma tidak tahu siapa namanya, tapi
dia melindungimu. Omma melihatmu dalam mimpi Sayang. Kau terbang bersamanya,
berlindung di balik punggungnya dan Kai tidak bisa mengejarmu. Mimpi aneh itu
berulang dan terus berulang membuat Omma pergi pada nenek tetua adat untuk
menanyakannya. Dan kau tahu apa jawabannya? Dia mengatakan bahwa takdirmu akan
segera datang Sayang. Kau akan pergi dari pulau ini dan meninggalkan Kai. Kau
akan pergi untuk mengikuti takdirmu itu” bisik Mrs. Akela di telinga Leia
membuat gadis itu menjauhkan kepalanya dari ibunya dengan ekspresi seolah sang
ibu baru saja mengeluarkan kalimat dengan bahasa paling aneh yang pernah
didengarnya.
“Omma…Omma
bicara apa? Sejak kapan Omma percaya pada mimpi? Apalagi sampai pergi ke tetua
adat si tukang ramal itu?” tanya Leia.
“Justru
karena Omma bukan orang yang mudah mempercayai mimpi, makanya Omma pergi ke
tetua adat. Omma memikirkan mimpi itu karena terjadi dan terjadi lagi.
Berulang-ulang dan selalu sama. Menurutmu, kenapa sebuah mimpi bisa terus
berulang dan sama persis Leia?” sahut Mrs. Akela masih di sisi kepala Leia.
“Tapi
Omma…” Leia menarik nafas. Apa yang bisa dipercayainya dari mimpi? Mimpi
seperti sebuah jalan yang penuh kabut. Tak ada yang dapat dilihatnya di atas
jalan yang penuh kabut itu sementara pada kenyataannya, ia akan menghadapi
takdirnya segera setelah festival selesai. Menikah dengan Leo Kai dan membantu
lelaki itu memimpin suku Polynesia di Kepulauan Hawai.
Mrs.
Akela menarik tangan putrinya dengan sedikit tidak sabar. Mendekatkan kepala
Leia padanya.
“Tetua
juga mengatakan bahwa takdirmu itu akan datang tak lama lagi. Ia akan datang
pada saat semua orang terlena dalam kegembiraan dan keramaian. Kau tahu artinya
itu Leia? Kegembiraan dan keramaian adalah acara festival mendatang. Percayalah
pada Omma Leia” kata Mrs. Akela penuh harap.
Leia
menatap ibunya. Hatinya dipenuhi kebingungan namun, setitik harapan tiba-tiba
muncul. Bagaimana seandainya itu benar? Terngiang dalam ingatannya apa yang
diucapkan oleh Malina sebulan lalu saat terakhir kali sahabatnya itu
menemuinya. Bahwa Malina berharap datangnya dewa diacara festival yang akan
mengubah kehidupannya. Dan jika kehidupan Malina berubah, maka kehidupannya
sendiri akan juga berubah. Tapi, benarkah ada dewa di dunia ini? Dewa yang bisa
dan sanggup mengalahkan kekuasaan Elder pertama yang sangat kuat? Dewa yang
bisa membuat Leo Kai tak dapat lagi menyentuhnya dengan sikapnya yang arogan
meski lelaki itu selalu baik padanya selama ini?. Ingatan tentang ucapan Malina
membuat Leia justru teringat betapa lama ia tak lagi bertemu dengan sahabatnya
itu. Kenapa Malina tak lagi menemuinya? Kenapa ia tak bisa lagi menghubungi
gadis itu? Ponselnya tak bisa dihubungi. Dua kali ia datang ke rumah Malina dan
selalu tak bisa bertemu dengan Malina karena sahabatnya telah pergi ke rumah
Papa Lolo untuk berlatih.
“Omma…”
panggil Leia sambil memandang ibunya. Kedua matanya kini terlihat sedikit
berselimut kabut. “Kalau memang benar
orang itu akan datang ke pulau ini dan menolong kita, lalu bagaimana caranya
aku mengenalinya? Tidakkah Tetua Adat mengatakan sesuatu?”.
Mrs.
Akela tercenung. “Nenek peramal tidak mengatakan apapun tentang hal itu Leia.
Tapi, ia mengatakan pada Omma bahwa kalian sesungguhnya adalah satu jiwa.
Karena kalian diikat oleh janji yang sangat kuat melebihi kuatnya kematian.
Karena itu, semakin dekat waktu hingga orang itu datang ke pulau ini, kau akan
bisa merasakannya Sayang. Kau akan merasakan kehadirannya. Kau akan merasakan
segala hal yang dirasakannya. Karena kau adalah bayangannya”.
Leia
memutar bola matanya sebelum kemudian bangkit berdiri. Kepalanya
menggeleng-geleng dengan pusing.
“Ah…Omma…entahlah.
Aku tidak mengerti. Aku benar-benar tidak mengerti. Itu sangat tidak masuk akal
bagiku” katanya dengan ekspresi menyerah. Kakinya melangkah menuju ke pintu.
“Leia!...kau
mau kemana? Leia!” panggil Mrs. Akela pada putrinya.
“Aku
mau ke rumah Malina! Dia lebih masuk akal daripada Omma!” seru Leia menjawab
tanpa menoleh lagi.
Tapi,
meski sangat tidak masuk akal baginya, namun selama dua hari ini ia mulai
merasa aneh. Bermula dari rasa sedih yang tak dapat di jelaskannya. Rasa marah
tanpa alasan dan seperti rasa penantian. Lalu, setiap kali ia menatap ke dalam
cermin seperti sekarang, Leia selalu merasa seolah dirinya bukan lagi dirinya.
Seolah dirinya telah menjadi orang lain meski tak ada satupun bagian dari wajah
maupun tubuhnya yang berubah. Apakah semua ini hanyalah sugesti yang timbul karena
ia mendengar cerita ibunya tentang mimpi yang aneh dan ramalan nenek tetua adat
tentang datangnya seseorang yang akan membawanya pergi dari pulau ini? Seseorang
yang akan menjadi takdirnya?. Festival memang semakin dekat. Tinggal kurang
lebih satu bulan lagi. Bagaimana seandainya perkataan nenek peramal itu benar?
Entahlah….
Lalu,
sesaat tadi, mendadak ia merasa sesak seolah dadanya seperti dihimpit sesuatu
yang berat disertai rasa sakit yang aneh pada kedua lengannya seolah kedua
lengannya seperti dilibat sesuatu yang sangat kuat!.
**********
Seoul,
Korea Selatan….
Hari
Selasa….
Dini
hari, pukul 02.30 waktu Seoul…
Yoon
memasukkan mangkuk yang selesai dicuci dan dilapnya ke dalam rak. Itu mangkuk
terakhir yang digunakan oleh Bok. Sahabatnya baru saja pulang. Sekitar tiga
puluh menit yang lalu. Yoon menoleh ke arah kamar Seon. Masih tertutup. Gadis
kecil itu tetap terus mengurung diri di dalam kamar dan tidak keluar meski
sekedar untuk makan malam. Tawaran makan malam yang diserukan oleh Bok tak
mendapat tanggapan sama sekali dan Yoon tak ingin mengganggu adiknya meski
sesungguhnya ia mencemaskan Seon setelah apa yang terjadi tadi siang.
Apa
yang mesti dilakukannya kini? Yoon berdiri di depan ruang dapur dan menatap
ruang dalam toko yang kini terlihat kosong setelah banyak kursi dan meja yang
disingkirkan karena rusak. Vas-vas bunga tak satupun yang tertinggal utuh.
Piring, mangkuk, gelas dan benda-benda pecah belah hanya tersisa sedikit.
Secara keseluruhan, toko ini benar-benar telah hancur. Akan butuh banyak dana
untuk memperbaiki toko ini hingga siap buka seperti kemarin. Yoon menarik laci
meja kasir dan menemukan beberapa keping uang logam satuan terkecil yang pasti
tak diinginkan oleh Han. Simpanan uang dalam toples yang mestinya ia setorkan
ke bank untuk menyicil hutang telah pula lenyap. Kakaknya benar-benar telah
mengambil semua uang yang ada. Tangan Yoon terkepal oleh rasa marah, kecewa,
sedih dan ketidak mengertian yang bergumpal dan menggulungnya.
Apa
yang terjadi pada Han sebenarnya? Mengapa ia menyakiti keluarganya sendiri? Dan
semua perkataannya tentang Abeoji yang sama sekali tak dapat dimengerti oleh
Yoon?.
Yoon
melangkah memasuki ruang dapur dan merosot ke lantai, bersandar pada counter
dapur. Tangan kanannya menopang kepala yang terasa berdenyut sakit, bertumpu
pada lutut kanan yang tertekuk sementara kaki kiri menggelosoh dilantai. Terasa
lemas dan kini, Yoon baru sadar betapa letih tubuhnya.
Mengapa
semua masalah datang padanya secara beruntun seperti badai yang susul menyusul
seolah tanpa henti? Sungguh sulit dipercaya bahwa hidupnya telah berbalik
seratus delapan puluh derajat dalam sekejab. Sebulan yang lalu ia adalah
mahasiswa tingkat akhir dan asisten dosen di kampusnya. Hari-hari terasa ringan
dan penuh harapan masa depan yang cerah. Ia telah menata langkah-langkah yang
akan ditempuhnya di semester-semester akhir hingga lulus. Ia bahkan telah
mendapat beberapa penawaran kerja di perusahaan-perusahaan terkemuka di Korea
Selatan. Segalanya terasa mudah dan indah. Tapi kini, ia seperti terperosok ke
dalam lubang yang sangat gelap dan ia sama sekali tak tahu apa yang mesti
dilakukannya. Seluruh rencananya hancur. Tak ada lagi sesuatu yang bisa
dipikirkan dengan rumus idealisme. Segala hal sekarang berjalan atas dasar
“yang mesti terjadi maka terjadilah”. Seperti sebuah takdir yang hanya bisa
dijalani tanpa bisa ditolak atau disudahi dengan cepat.
Sekarang,
hal pertama yang bisa dipikirkannya adalah mencari uang. Mungkin butuh waktu
agak lama hingga toko siap untuk beroperasi dan buka kembali mengingat
kerusakan yang terjadi sangat parah. Namun, kebutuhan hidup tidak bisa
menunggu. Terutama bagi Seon yang harus tetap sekolah.
Tapi,
bagaimana kini ia bisa mendapatkan uang? Toko yang menjadi jalannya untuk
mendapatkan uang meski tak sebanyak yang bisa diperoleh Abeoji dalam sehari
telah hancur. Masih ditambah perintah Abeoji agar ia tak lagi mengeluarkan
jenis-jenis masakan yang ia olah dengan hasil improvisasinya sendiri. Andai ia
mempunyai uangpun, belum tentu ia dapat menjalankan toko dengan tipe masakan
sama dengan yang dibuat oleh Abeoji karena keterbatasan dana yang dimilikinya.
Improvisasi masakan yang dilakukannya bukan semata-mata karena ia ingin
menunjukkan kemampuannya dalam hal memasak melainkan karena keterbatasan dana
yang dimilikinya terutama untuk membeli bahan-bahan menu masakan yang berharga
mahal.
Haruskah
ia meminjam uang pada Bok? Yoon yakin, jika ia melakukannya, maka Bok akan
segera memberikan berapapun angka yang disebutnya hanya sedetik setelah ia
menyelesaikan kalimatnya. Karena, Bok sendiri juga berkali-kali menawarkan
bantuan padanya. Bahkan tadi, sesaat sebelum sahabatnya itu pulang setelah
gagal membantunya membujuk Seon untuk makan malam.
Tapi,
Yoon tahu bahwa ia tak akan pernah melakukan itu. Tidak setelah semua kebaikan
orangtua Bok pada keluarganya terutama dalam hal kemudahan dibidang pendidikan.
Jika bukan karena Mr. Park adalah penyumbang dana terbesar di kampus, pemilik
yayasan yang bergerak dibidang beasiswa untuk anak-anak kurang mampu dan raja
kerajaan transportasi, maka Yoon tak akan pernah bisa masuk ke perguruan tinggi
elit di Korea Selatan itu. Betapapun baik dan tinggi tingkat intelegensinya.
Jadi
apa yang bisa dilakukannya kini? Menjual
barang-barang? Apalagi yang bisa dijual? Rumah, mobil, truk tua, seluruh benda
elektronik dalam rumah serta rumah yang menaungi benda-benda itu telah disita
oleh bank.
Yoon
menoleh ke sisi counter dapur yang disandarinya. Ada ruang penyimpanan di
bagian bawah counter dapur itu. Tempat yang biasa digunakan sebagai gudang mini
untuk menyimpan pecah belah yang telah usang tapi masih sayang untuk dibuang.
Yoon tertawa sedih saat memikirkan bahwa mungkin masih ada barang yang bisa
dijualnya di dalam ruang bawah counter dapur tersebut. Berapa harga barang
bekas yang telah usang? Mungkin bahkan tak cukup untuk membeli semangkuk beras
kecuali jika barang usang itu termasuk dalam kategori benda antik.
Tapi,
tangan Yoon bergerak juga membuka pintu penutup ruang penyimpanan di bawah
counter. Ini bukan pertama kalinya ia membuka ruang kecil di bawah counter
dapur ini sehingga Yoon telah hafal dengan tata letak benda dan jenis-jenis
benda yang biasa dilihatnya. Ada beberapa onggi yang dulu digunakan Ommonie
untuk menyimpan kimchi dan soju. Juga beberapa kotak makanan yang nampaknya sengaja
disisihkan Abeoji sejak Ommonie tiada. Mata Yoon menyapu ruang penyimpanan yang
terlihat gelap. Aroma debu jelas terasa menyambar hidung. Sekilas cahaya lampu
dapur yang membias sedikit ke dalam ruang penyimpanan membuat Yoon dapat
menangkap jaring rumah laba-laba. Sepertinya, selain dirinya, Abeoji sama
sekali tak merasa tertarik untuk melihat atau sekedar membuka ruang penyimpanan
di bawah counter dapur ini. Ia sendiri hanya sesekali membukanya jika mencari
sesuatu dan selalu, Yoon tak mendapatkan apa yang ia cari selain beberapa Onggi
tua yang ditata berjejer dengan selimut debu tebal pada permukaannya serta
kotak-kotak makanan yang kondisinya terlihat sangat memprihatinkan.
Yoon
menarik nafas dalam-dalam sambil memandang benda-benda bisu dalam ruang
penyimpanan yang kotor penuh debu. Semua benda itu, sesungguhnya menyimpan
kenangan yang sangat dalam tentang Ommonie. Dalam batas ingatan Yoon, Ommonie
tak pernah melakukan kegiatan memasaknya tanpa melibatkan onggi dan kotak-kotak
makanan itu. Tetapi, sejak detik terkelam saat Ommonie tak lagi bersama dengan
mereka, maka benda-benda yang sangat akrab dengan Ommonie segera disingkirkan
oleh Abeoji. Hingga kini, setelah waktu berjalan selama dua belas tahun lebih,
disaat mereka terjepit dalam keadaan yang sangat buruk dan Yoon tak tahu lagi
apa yang mesti dilakukannya untuk menjaga agar keluarga ini tetap utuh,
tiba-tiba Yoon merasa ingin membuka kenangan tentang Ommonie.
Jemari
Yoon terulur masuk ke dalam ruang penyimpanan yang gelap, menyentuh permukaan kotak-kotak
makanan yang usang berdebu. Sesuatu yang halus terasa mengalir dalam hati Yoon.
Seolah ia tengah menyentuh tangan Ommonie yang lembut. Tangan lembut yang
selalu mengusap kepalanya saat ia mengganggu Ommonie yang tengah memasak di
dapur.
Yoon
menarik nafas. Jemarinya berpindah pada onggi-onggi yang berjejer. Ada tiga buah
onggi berukuran sedang dan satu onggi berukuran besar di ruang penyimpanan itu.
Yoon menyentuh permukaan onggi dan merasakan debu yang menempel cukup tebal
membuat permukaan onggi menjadi halus. Yoon menjulurkan tangannya semakin jauh,
kini mengusap onggi-onggi itu sepenuhnya tanpa mempedulikan permukaan telapak
tangannya yang menjadi kotor. Onggi pertama dan paling besar berada tepat di
depannya lalu disusul tiga onggi lain yang berukuran lebih kecil. Onggi terjauh
terletak agak di sudut pada tempat yang paling gelap. Tangan Yoon terulur
semakin dalam untuk menjangkau onggi yang terletak di sudut tersebut dan
mendadak, keningnya berkerut saat ujung jarinya menyentuh benda lain di
belakang onggi yang terletak di ujung ruang penyimpanan. Benda yang terletak di
sudut ruang penyimpanan itu sepertinya berukuran kecil sehingga tidak bisa
dilihatnya karena tertutup oleh onggi berukuran lebih besar yang ada di depannya.
Permukaan yang teraba oleh ujung-ujung jemari Yoon terasa bulat membuat benak
Yoon membayangkan sebentuk onggi namun dengan ukuran mini. Mungkinkah? Tapi,
Yoon merasa belum pernah melihat Ommonie menggunakan onggi dengan ukuran yang
kecil seperti benda yang tersembunyi di belakang onggi berukuran lebih besar di
sudut ruang penyimpanan. Atau, mungkinkah itu bukan onggi melainkan benda lain?
Jelas bukan kotak makanan karena Yoon dapat merasakan permukaan benda tersebut
yang membulat. Mangkukkah? Dan buat apakah benda yang kecil itu diletakkan di
sudut yang gelap, ditutupi oleh onggi besar di depannya seolah-olah memang
sengaja disembunyikan?
Dengan
hati-hati, Yoon menggeser onggi-onggi yang ditata berjejer agar ia bisa melihat
benda kecil yang tersembunyi di balik onggi. Sempitnya ruang penyimpanan dan
onggi paling besar yang diletakkan tepat di depan pintu membuat Yoon mengalami
kesulitan untuk menggeser onggi yang menutupi benda apapun di sudut. Karena
itu, pemuda berwajah rupawan yang tengah murung itu segera bangun dari posisi
duduknya dan kini berjongkok di depan pintu ruang penyimpanan bawah counter
dapur lalu mulai mengangkat benda-benda yang ada di depannya perlahan dan
memindahkannya ke ruang dapur di dekat wastafel.
Tak
butuh waktu lama bagi Yoon, ia segera menemukan apa yang dicarinya saat onggi
besar di sudut ruang penyimpanan telah di gesernya menjauh.
Dan
tepat seperti dugaannya semula. Benda kecil bulat di ujung ruang penyimpanan
yang tersembunyi di balik onggi lain yang berukuran lebih besar itu ternyata
memang sebuah onggi berukuran kecil. Nyaris sebesar toples kaca yang dipecahkan
oleh teman-teman Han tadi siang. Yoon memandang onggi mungil di sudut yang
gelap. Lalu, dengan sekali ayun, benda bulat itu telah berpindah ke tangannya.
Sama seperti kotak makanan dan onggi yang lain, debu tebal juga menyelimuti
onggi kecil di tangan Yoon.
Yoon
kembali duduk bersandar setelah menutup pintu ruang peyimpanan sambil menatap
onggi kecil di tangannya. Onggi ini, bentuknya lebih indah dari onggi-onggi
yang lain. Seperti dibuat untuk menjadi tempat penyimpanan perhiasan atau
mungkin vas bunga. Bagian badannya yang bulat mengingatkan Yoon pada perut ikan
mas Koki yang lucu. Warnanya lebih terang dibanding onggi-onggi kain yang lebih
besar. Mungkin saja, dulu Ommonie menggunakan onggi kecil ini sebagai tempat
perhiasan dan uang yang selalu disimpannya di dalam lemari karena Yoon ingat
benar bahwa ibunya kurang menyukai barang-barang dengan desain modern seperti
kotak perhiasan dari kaca atau kertas
mika. Ommonie selalu unik dalam memilih segala sesuatu yang disukainya.
Dan
karena onggi kecil ini kemungkinan digunakan Ommonie sebagai tempat menyimpan
perhiasan atau uang, maka Yoon tak pernah melihat ibunya menggunakan benda
tersebut di ruang dapur, hingga ia menemukannya saat ini. Sesuatu yang halus
semakin terasa menjalar di hati Yoon saat menatap onggi kecil di atas telapak
tangannya dan membuat mendung di wajahnya semakin menebal. Mendung bergayut
yang berwarna kelabu, menutupi kecemerlangan sinar matahari yang selalu
menghiasi wajah Kim Yoon Lu. Semakin berat dan semakin berat hingga akhirnya
jatuh menitik menjadi tetes-tetes air yang mengalir dari sepasang telaga jernih
yang tak mampu lagi menahan berat sang mendung.
Jemari
Yoon terus bergerak mengusap onggi kecil di tangannya.
“Omma….apa
yang harus kulakukan sekarang? Aku benar-benar tak punya akal lagi” bisik Yoon
pelan. Yoon menyandarkan kepalanya pada dinding counter dapur dan memejamkan
matanya saat bayangan wajah sang ibu mulai tercetak dalam ruang ingatannya
dengan sejelas-jelasnya. Tersenyum dengan seluruh kesejukan wajah yang tak kan
pernah dapat dilupakan oleh Yoon hingga detik terakhir hidupnya, membuat rasa
mengganjal di leher Yoon semakin terasa seiring gemuruh emosi yang perlahan
mulai memadat di ruang dada dan bergerak menggulung semakin cepat membuat Yoon
akhirnya terbatuk ketika rasa sakit mengganjal di leher itu mendesak hendak
keluar.
Batuk
sekali yang membuat tangan Yoon bergetar dan menggoyahkan keseimbangan onggi
kecil di atas telapan tangan yang menyangganya membuat benda bulat yang antik
itu berguling jatuh ke lantai dapur. Yoon terkejut dan seketika membuka
matanya, memandang ke arah onggi yang terjatuh di lantai. Serentak, diraihnya
onggi tersebut dan diangkat kembali. Namun, tutup onggi telah terlepas dan
menggelinding jauh. Sedikit tanah liat pecahan dari tutup onggi terlempar
hingga ke sisi kaki Yoon. Pemuda itu bersiap bangkit untuk mengambil tutup
onggi kecil yang menggelinding jauh darinya.
Namun…sesuatu
yang sekilas tertangkap oleh matanya membuat gerakan Yoon terhenti. Sesuatu
yang memiliki warna berbeda dengan onggi yang dipegangnya. Sesuatu yang
tergeletak di dalam onggi, berbentuk gulungan memanjang dengan ikatan dibagian
tengahnya.
Seperti
sebuah gulungan kertas.
“Apa
ini?” gumam Yoon sambil memasukkan tangannya ke dalam onggi kecil untuk
mengambil gulungan kertas di dalamnya lalu meletakkan onggi ke lantai dapur.
Sepasang mata Yoon membesar saat mengamati gulungan kertas di tangannya. Terasa
ringan dan rapuh dengan warna yang telah berubah kuning. Berbeda dengan
permukaan onggi yang penuh tertutup debu, gulungan kertas itu bersih dan halus.
Tali pengikat gulungan kertas terbuat dari jalinan batang rumput rami yang
kering dan dipilin kecil. Yoon tahu dan ingat, Ommonie sangat menyukai tali
rami yang dijalin menyerupai jalinan rambut pada wanita seperti ini. Besarnya
kertas hanya separuh kertas surat dan dari ringannya, tampaknya kertas yang di
gulung ini tak lebih dari dua atau tiga lembar.
Perlahan
Yoon menarik ujung tali pengikat gulungan kertas dan membentangkan kertas yang
digulung dengan rapi itu perlahan dan hati-hati karena takut untuk merusak atau
merobek kertas yang tampak rapuh tersebut.
Lalu,
ketika akhirnya gulungan kertas itu terbuka, mata Yoon terbelalak saat
mendapati tulisan yang rapi dan lembut di atas kertas. Hanya dalam sekali
lihat, Yoon segera tahu bahwa itu adalah tulisan tangan Ommonie. Hanya Ommonie
yang bisa membuat huruf-huruf hangul berderet begitu indah dengan goresan
tintanya. Tangan Yoon telah bergetar sementara ia mendekatkan kertas yang
tampaknya adalah sebuah surat itu mendekat agar ia bisa melihatnya dengan lebih
jelas. Gejolak yang semula bergumpal di ruang dada Yoon semakin menggemuruh
begitu matanya mulai menyapu huruf demi huruf yang di tuliskan oleh ibunya.
“Untuk Matahari
Omma….Kim Yoon Lu”
Yoon-ah…..
Omma
berharap semoga kau tidak akan pernah menemukan tulisan Omma ini. Karena, jika kau menemukan surat ini, berarti
hatimu sedang sedih….
Yoon-ah….
Maafkan
Omma karena tidak bisa menemani kalian. Omma…sangat bersalah. Semoga saja nanti
pada saatnya, kau akan mengerti dan memaafkan Omma….
Yoon-ah….
Setiap
angin akan bertiup menuju tempatnya berlabuh, seperti itu juga sungai yang
mengalir, betapapun jauhnya, namun pada akhirnya akan sampai ke batas yang
sangat luas dan terdalam. Bukankah kau pernah melihat daun maple yang kau tanam
jatuh di musim gugur? Ia jatuh bukan karena hancur Yoon-ah, melainkan untuk
menjadi daun baru yang indah di musim semi. Karena itu, kau jangan pernah takut
ketika kesedihan menghempaskanmu ke dasar yang gelap, karena di sayap kesedihan
itu sesungguhnya terselip kebahagiaan yang disiapkan untukmu. Setiap kesedihan
pasti akan berakhir Yoon-ah…..setiap badai akan berlalu dan berganti dengan
keindahan di ujungnya. Akan selalu ada jalan bagimu untuk mendaki dan tak akan
pernah ada kegelapan yang bisa mengurungmu sebab lilin itu ada di hatimu. Maka
biarkan ia menyala untuk menerangi hatimu agar kau selalu memiliki cahaya untuk
menerangi jalanmu dan orang lain dimanapun kau berada….
Yoon-ah…..
Ketika
kau tidur di perut Omma….Omma melihat matahari turun dan bersembunyi diwajahmu.
Karena itu Omma tahu bahwa kau pasti bisa melangkah…..karena matahari hanya
tenggelam untuk muncul kembali di esok hari…..jangan menangis, jangan bersedih,
tetaplah selalu tersenyum agar matahari di wajahmu dapat menjadi cahaya bagi
siapapun yang menatapmu….
Yoon-ah….
Ingatkah
saat kau memasak bersama Omma? Kau mengatakan bahwa kau ingin bisa memasak
semua makanan yang Omma masak?
Omma
telah menuliskan semua resep masakan yang Omma miliki untukmu Yoon-ah…ada di
tempat yang tak akan bisa dihapus oleh air dan debu…jika kau menemukan surat
Omma ini, kau pasti juga menemukan buku resep Omma….
Jika kau
merasa rindu pada Omma…jika kau sedih, jika kau merasa sakit maka memasaklah
seperti yang telah Omma tuliskan untukmu, dan Omma akan selalu ada di sisimu
seperti kau selalu ada di hati Omma…..
Tataplah
dunia dengan berani Yoon-ah….terimalah takdirmu dengan senang hati karena dengan
begitu kau pasti akan bahagia….
Omma
percaya kau pasti bisa melakukannya…
Karena
kau adalah matahari kecil Omma….
Ommonie
Yoon
menggulung kembali surat yang ditulis Ommonie dan mengikatnya dengan tali rami
seperti semula. Kemudian memasukkan gulungan surat itu kembali ke dalam onggi
dan bangkit untuk meraih tutup onggi yang menggelinding jauh dari kakinya.
Tangan Yoon sedikit mengapai-gapai untuk meraih tutup onggi karena selimut
tebal airmata yang membuat pandangannya menjadi kabur. Lalu, ketika tutup onggi
itu telah menyatu kembali dengan badannya, Yoon
berjalan menuju lemari pendingin dan membuka pintunya. Masih banyak
bahan di lemari pendingin tersebut. Yoon menarik keluar seikat asparagus, satu
blok tafu halus, beberapa butir wortel dan satu kotak telur, lalu meletakkannya
di atas meja. Yoon masih berusaha menggapai beberapa jenis sayur dan buah dari
dalam lemari pendingin sementara onggi kecil berisi surat Ommonie didekapnya
dengan tangan kiri.
Namun
kemudian, selimut tebal yang mengaburkan pandangannya memenangkan pertarungan
dengan sisi ketegaran Kim Yoon Lu membuat pemuda berparas cemerlang itu
akhirnya menutup pintu lemari pendingin dan tubuhnya bersandar pada lemari es
berwarna perak tersebut. Yoon menangkupkan wajahnya pada dinding lemari
pendingin dengan berbantal tangan kanannya. Kemudian, seiring bahu yang
berguncang pelan, tubuh Yoon merosot ke bawah dan terduduk di lantai. Memeluk
erat onggi kecil di dada. Sekali, dalam kehidupannya, ia sungguh-sungguh
runtuh. Sekali, dalam kehidupannya, Yoon berubah menjadi rapuh. Kerinduan pada
pilar kehidupan yang selalu menaungi jiwanya seolah menjadi martil yang
menghancurkan tembok penahan semua kesedihan yang dipendamnya. Tangis Yoon
pecah membasahi permukaan onggi yang dipeluknya. Sepasang bibir indah yang
selalu tersenyum dengan kekuatan dahsyat itu kini bergetar hebat menyebut
satu-satunya nama yang menjadi malaikat pribadinya.
“Omma….Omma…Omma…Omma…”
rintih Kim Yoon Lu di antara deraian airmatanya.
Dinihari
yang sunyi menjadi tirai yang menyembunyikan runtuhnya ketegaran seorang
matahari kecil.
*************
Seon membuka pintu kamar perlahan. Tubuhnya
menggeliat sesaat dengan kedua tangan meregang ke atas. Jam meja menunjukkan
pukul 07.15 waktu Seoul. Masih sangat pagi. Tetapi, perut yang menggeliat
menuntut asupan nutrisi membuat Seon bangun dari ranjangnya.
Perlahan
gadis kecil itu melangkah keluar dan segera menemukan dapur yang bersih, rapi
dan kosong. Tak ada kompor menyala seperti kemarin. Tak ada aroma berbagai
macam masakan seperti kemarin. Dan yang lebih nyata, tak ada bayangan tubuh
kakaknya baik di dapur maupun di ruang depan.
Seon
menelengkan kepala ke atas atap. Mencoba mendengar aktivitas di atap toko yang
biasa didengarnya jika kakaknya sedang mencuci dan menjemur pakaian. Namun,
semuanya sunyi.
“Oppa?....Yoon
Oppa?....Oppa di mana?” panggil Seon sambil berjalan kembali ke arah dapur.
Masih
sunyi. Tak ada satu suara yang menyahut.
“Oppa
di mana? Kenapa pergi sepagi ini? Aku lapar sekali” bisik Seon pada diri
sendiri. Tangannya terangkat mengacak-acak rambut di kepalanya yang ikal
tergerai. Kembali pandangannya beredar meneliti setiap sudut. Tetapi, sosok
Yoon tetap tak ditemukannya. Hanya sehelai kertas putih di meja depan. Di sisi
kertas putih terlihat kotak makan siangnya
yang tertutup rapat, mangkuk, sumpit dan gelas berisi jus jeruk. Pada meja
itulah Seon melangah mendekat. Matanya menatap sehelai kertas di sisi kotak
makan siang bergambar Pororo. Seon mengangkat kertas itu dan membaca tulisan di
atasnya. Sebuah pesan dari kakak yang dicarinya.
Oppa
pergi sebentar. Habiskan sarapanmu, tadi malam kau tidak makan. Hari ini tak
usah sekolah. Jangan keluar. Oppa bawa kunci sendiri.
Yoon Lu.
Seon
tersenyum. Kertas diletakkan kembali di atas meja kemudian dengan wajah riang,
gadis kecil berwajah jelita itu segera menarik kursi dan duduk menghadapi menu
sarapan paginya. Tubuhnya bergoyang-goyang sambil mengunyah menu sarapan yang
sangat disukainya. Telur gulung dengan isian udang dan potongan sayur. Potongan
kecil wortel membuat telur gulungnya terlihat cerah dan indah.
“Enak..enak..enak…terima
kasih Oppa” ucap Seon sendirian. Mulut mungilnya yang merah segar tersenyum
ceria.
**************
Pantai
Waikiki….pagi hari sekitar pukul 07.30 waktu Hawai
“Leia?”
suara melengking mengejutkan Leia yang berdiri di pinggir pantai Waikiki,
bersandar pada sebatang pohon nyiur yang melambai oleh angin laut yang
berhembus.
“Malina?
Kau mengejutkan aku” jawab Leia sambil menoleh.
Malina
mendekat. Gaun selututnya yang bermotif bunga-bunga tropis bergerak-gerak
gelisah oleh angin yang jahil, sesekali menyingkap ke atas memperlihatkan
sepasang kaki indah berkulit coklat khas gadis Hawai. Tangan Malina menjadi
sibuk untuk menenangkan gaunnya agak tidak membuka dan memperlihatkan keindahan
kakinya begitu saja pada setiap mata.
“Ayahku
mengatakan bahwa beberapa kali kau mencariku. Aku sedang berlatih di rumah Papa
Lolo” ujar Malina sambil duduk di sisi kaki Leia membuat Leia segera pula duduk
di samping sahabatnya.
“Darimana
kau tahu aku di sini?” tanya Leia sambil menatap Malina sekilas.
“Aku
ke rumahmu. Dan Nyonya Akela memberitahuku bahwa kau ingin melihat matahari
terbit” jawab Malina sambil tersenyum.
Leia
mengangguk sedikit dan kembali melempar pandangannya ke arah laut.
“Ada
apa?” tanya Malina sambil menatap Leia yang tak bersuara. Dilihatnya gadis yang
selalu membuatnya merasa iri jauh di dalam hati itu tengah memandang ke laut
lepas. “Kau…punya masalah?”.
Perlahan
Leia mengangguk. Jantung Malina berdebar.
“Masalah
apa Leia? Apa…ini tentang….Kai?” tebak Malina. Lehernya bergerak saat gadis
manis itu berusaha menelan ludah. Jantungnya berdebar semakin kencang.
“Tidak
sepenuhnya Malina” Leia menggeleng pelan membuat debar Malina seketika
berkurang.
“Kalau
begitu?” tanya Malina dengan nada lebih ringan.
Leia
menarik nafas panjang. Pandangannya masih terlempar jauh ke laut lepas.
Beberapa saat kesunyian melingkupi keduanya membuat kegelisahan Malina nyaris
kembali.
“Malina?”
panggil Leia sambil mengalihkan pandangannya pada sahabatnya.
“Ya?”
jawab Malina sambil menatap Leia.
“Apa
kau tahu berapa banyak perbedaan waktu antara Waikiki dengan Korea?” tanya Leia
membuat Malina terkejut.
“Apa?
Korea? Maksudmu…negara Korea? Yang banyak menghasilkan gingseng merah itu?
Negara dengan drama-drama yang bagus di televisi seperti Heirs, City Hunter,
Faith dan yang lain-lain itu?” Malina balik bertanya membuat Leia memutar bola
matanya.
“Memangnya
ada Korea yang lain?” sergah Leia.
Malina
mengangkat bahunya yang mungil. “Entahlah…kupikir ada. Korea yang punya bom
nuklir itu”.
“Itu
Korea Utara, Malina” sahut Leia.
Malina
kembali menatap Leia “Jadi, yang kau maksud adalah Korea Selatan? Tempat
lahirnya bintang-bintang yang sangat tampan itu? Lee Min Ho Oppa, Kim Woo Bin
Oppa, Kim Soo Hyun Oppa, Hyun Bin Oppa,….”.
“Apa
kau datang ke sini untuk mengabsen artis-artis idolamu Malina?” potong Leia
dengan nada jengkel membuat Malina berhenti dan tersenyum lebar.
“Maaf…tapi
mereka benar-benar tampan” jawab Malina masih dengan senyumnya.
“Jadi…apa
kau tahu berapa perbedaan waktu antara Korea dengan tempat kita sekarang?” Leia
mengulangi pertanyaannya.
“Entahlah….Aku
tidak tahu Leia. Aku belum pernah ke Korea” jawab Malina. Kali ini dengan
serius.
Leia
kembali menatap laut lepas, pada perahu layar di kejauhan yang terlihat
meluncur dihembus angin, pada peselancar-peselancar yang bermain ombak dengan
teriakan keriangan dari mulut mereka. Hal yang sangat berlawanan dengan
kemurungan yang nyata terlihat di wajah sang bunga Hawai.
“Kenapa
kau tidak melihat di App-mu Leia? Mungkin saja bisa? Bukankah aplikasi
smartphone sekarang sangat bagus? Kenapa tidak kau coba?” tanya Malina yang
melihat kemurungan di wajah sahabatnya.
Leia
memandang Malina sesaat lalu mengeluarkan App dari saku celana jeans
panjangnya. Lalu jemarinya mulai membuka aplikasi-aplikasi yang ada di layar
android setelah melepaskan sandi kunci.
Sesaat kemudian, sepasang mata Leia terlihat sedikit berbinar.
“Ada?”
tanya Malina sambil turut menatap ke layar App Leia.
Leia
mengangguk. Bibirnya tersenyum. Jarinya semakin lincah bergerak menekan salah
satu aplikasi Clock.
“Lihat
Leia….ini aplikasi jam dunia. Kita bisa mengetahui perbedaan waktu antara satu
tempat dengan tempat yang lain” seru Malina senang.
Leia
mengetikkan satu nama kota di layar. Seoul, Korea Selatan.
“Ah…Malina!”
seru Leia ketika selesai mengetikkan tempat yang diinginkannya. “Ternyata
perbedaannya sekitar 19 jam”
Mata
Malina membesar. “Sembilan belas jam? Jauh sekali!. Apakah waktu di Korea lebih
dulu dari kita atau di belakang kita ?”
“Lebih
dulu dari kita” jawab Leia. Tangannya yang memegang App kembali terkulai.
“Apa…masalahmu
berhubungan dengan itu? Tapi…kupikir itu aneh sekali Leia. Kenapa tiba-tiba kau
bertanya tentang Korea?” tanya Malina kemudian.
“Korea
adalah kampung halamanku Malina. Aku punya keluarga di sana. Kakek, nenek dan
bibi. Dan aku belum pernah sekalipun bertemu dengan mereka” jawab Leia.
“Tapi,
di sini juga kampung halamanmu kan? Kau adalah putri Elder Kaili jadi kau
adalah seorang Hawaian sepertiku” sergah Malina. “Apa kau ingin pergi ke Korea
Leia?”
Leia
menggeleng. “Aku tidak tahu Malina. Aku belum pernah ke sana. Aku tidak bisa
membayangkan bagaimana keadaan di sana, atau bagaimana aku akan hidup di sana”.
“Kalau
begitu, kenapa kau kelihatan sangat sedih? Aku melihatmu sejak di ujung jalan sana.
Dan aku hanya melihat kesedihan di wajahmu. Jika kau memang ingin melihat
Korea, kau bisa ke sana. Nyonya Akela bisa mengantarmu kan? Atau mungkin…Kai?”
tanya Malina, mengerahkan separuh lebih tenaganya untuk menyebut nama terakhir.
“Bukan
itu Malina” jawab Leia. Satu nafas panjang terhembus dari mulut mungil gadis
itu. Android yang dipegangnya terlepas di pangkuan lalu tangannya terangkat dan
mendekap dada.
“Kenapa
Leia? Apa kau sakit?” Malina menyentuh bahu sahabatnya dengan ekspresi
khawatir.
“Entahlah
Malina….aku tidak tahu. Aku hanya…tiba-tiba saja aku merasa sangat sedih.
Begitu sedih sampai seolah aku akan mati. Seperti sesuatu yang sangat
menyakitkan di hatiku. Tapi aku tidak tahu kenapa aku merasa sedih” jawab Leia
sambil kembali menatap lautan luas.
Kedua
mata Malina membesar.
“Ah…sungguh
aneh Leia. Bagaimana bisa kau merasa sedih tapi kau tidak tahu kenapa kau
sedih? Jangan-jangan kau memang sakit Leia” ujar Malina membuat Leia seketika
mengerling tajam ke arah sahabatnya yang segera tertawa dengan ekspresi takut
yang dibuat-buat.
“Baiklah…aku
hanya bercanda. Menurutku…mungkin kau sedih karena kau diharuskan menikah
dengan Kai sementara sesungguhnya kau tidak menginginkannya” sambung Malina
kemudian.
Leia
mengerdikkan bahu. Kesedihan masih terus membayang di wajahnya membuat Malina
akhirnya merasa gusar juga. Terlebih saat melihat kedua tangan Leia yang mendekap
dada seolah terdapat sebuah lubang luka yang menganga di tempat tersebut.
Dengan perasaan gemas, Malina menyambar android di pangkuan Leia dan
membukanya. Lalu, dengan sepasang mata penuh minat, Malina mengangsurkan
android yang dipegangnya.
“Leia..menurutmu…jika
jarak antara Korea dan tempat kita sekarang adalah 19 jam, maka jam berapa
sekarang di Korea?” tanya Malina mencoba menarik sahabatnya dari kesedihan aneh
yang sedang dirasakannya.
Dan
berhasil.
Leia
segera mengalihkan pandangannya dari lautan luas ke layar android di tangan
Malina.
“Entahlah
Malina. Korea berjalan di depan kita sejauh sembilan belas jam. Jika hari ini
adalah Senin pagi pukul 07.30 AM di tempat kita berdiri, maka kita tinggal
menarik ke depan sejauh 19 jam untuk tahu jam berapa di Korea sekarang” sahut
Leia.
“Mmmm…kalau
begitu, jika sembilan belas jam di depan kita berarti di Korea sekarang
adalah…..” Malina mencoba menghitung dalam benaknya. Pandangannya menerawang
menatap daun-daun nyiur yang melambai seolah jawaban yang dicarinya terdapat di
helai-helai daun nyiur yang hijau.
“Berarti
sekarang di Korea adalah hari Selasa, dini hari sekitar pukul 02.30 AM waktu
Korea. Mungkin sekitar itu” jawab Leia berbisik.
Malina
menatap sahabatnya. Melihat kesedihan aneh yang perlahan kembali dan mengurung
wajah sang bunga Hawai dalam mendung yang tak terjelaskan…..( bersambung )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar