Senin, 23 Februari 2015

Straight - Episode 1 ( Bagian Lima )



Hawai…..
Minggu, sekitar pukul 03.00 AM waktu Hawai….
Sangat sunyi di luar. Sepertinya, semua manusia tengah terbuai dalam mimpi terindah mereka saat ini. Leia menatap cermin besar di depannya. Meneliti seraut wajah yang telah sangat akrab dengannya sejak batas ingatan terjauhnya. Membandingkan wajah dalam cermin yang dilihatnya sekarang dengan wajah-wajah sama yang dilihatnya di waktu-waktu sebelumnya. Tidak ada yang berubah secara fisik. Mata dalam cermin itu masih mata yang sama dengan yang dilihatnya selama dua puluh satu tahun hingga kini. Bening, cemerlang, bulat dengan binar-binar seolah dua butir bintang telah jatuh dan tenggelam di kedalaman mata itu. Hidung, pipi, alis, hingga secuil bibir merah segar yang sensual itu masih tetap sama dengan yang dilihatnya selama ini.
Lalu, dimana letak perbedaan yang dirasakannya? Tiba-tiba Leia merasa diriya bukan lagi dirinya. Tiba-tiba, dengan cara yang sangat sulit untuk dijelaskan, Leia merasa dirinya seperti berubah menjadi sosok yang lain, bukan secara fisik melainkan dalam rasanya. Dan semuanya berawal sejak dua hari yang lalu. Hari ketika ibunya mengatakan sesuatu yang aneh dan tak dapat dimengertinya.
“Kau harus mengikuti festival itu Leia. Omma tidak mau mendengar apapun alasanmu. Karena takdirmu akan ditentukan dalam festival itu” kata Mrs. Akela saat itu.
“Tidak Omma…aku masih punya harga diri. Lagi pula, aku benar-benar tidak mengerti kenapa Omma memaksaku untuk mengikuti festival itu? Selama ini Omma tidak pernah memaksaku untuk melakukan kegiatan apapun yang aku tidak ingin melakukannya” jawab Leia Kaili. Bibirnya sedikit cemberut.
Mrs. Akela menarik nafas dalam-dalam. “Maafkan Omma sayang. Tapi untuk kali ini, kau harus menurut pada Omma. Hanya sekali ini saja, dan sesudahnya, Omma tidak akan pernah lagi memaksamu untuk melakukan apapun yang kau tidak ingin melakukannya”.
“Tapi kenapa Omma? Kenapa Omma sangat ingin aku mengikuti festival itu?” Leia berbalik dan memandang ibunya.
“Karena takdirmu akan datang di festival itu sayang” jawab Mrs. Akela.
“Takdir? Takdir apa?” kejar Leia. Ada nada jengkel dalam suaranya yang dicobanya untuk ditekan jauh-jauh. Leia sangat benci bicara tentang takdir. Karena ia tahu, takdirnya yang sesungguhnya adalah menikah dengan Leo Kai yang meski disukainya sebagai kakak namun sama sekali tak memiliki tempat dihatinya sebagai seorang pria.
“Takdirmu Leia. Seseorang yang akan datang dan membawamu pergi dari sini, dari keharusan menikah dengan orang yang tidak kau cintai” jawab Mrs. Akela setengah berbisik.
Namun suara bisikan pelan Mrs. Akela cukup untuk membuat Leia terkejut dan seketika menggeser posisi duduknya menghadap ke arah ibunya. Sepasang matanya membesar.
“Omma sungguh-sungguh? Bagaimana Omma tahu bahwa festival itu akan membawa seseorang yang akan membawaku pergi dari Kai?” tanya Leia.
Mrs. Akela menengok ke arah dapur dimana dua pelayan tengah sibuk mengerjakan tugas mereka. Lalu, disaat dirasakannya semua aman, nyonya Elder ketiga itu mencondongkan kepalanya pada Leia yang segera mendekatkan telinganya.
“Dengar Sayang, dalam beberapa minggu ini Omma mendapat mimpi yang aneh. Mimpi tentang seorang pria muda yang datang dari negeri yang jauh dan dia membawamu pergi. Pria yang bersinar terang seperti matahari. Omma tidak tahu siapa namanya, tapi dia melindungimu. Omma melihatmu dalam mimpi Sayang. Kau terbang bersamanya, berlindung di balik punggungnya dan Kai tidak bisa mengejarmu. Mimpi aneh itu berulang dan terus berulang membuat Omma pergi pada nenek tetua adat untuk menanyakannya. Dan kau tahu apa jawabannya? Dia mengatakan bahwa takdirmu akan segera datang Sayang. Kau akan pergi dari pulau ini dan meninggalkan Kai. Kau akan pergi untuk mengikuti takdirmu itu” bisik Mrs. Akela di telinga Leia membuat gadis itu menjauhkan kepalanya dari ibunya dengan ekspresi seolah sang ibu baru saja mengeluarkan kalimat dengan bahasa paling aneh yang pernah didengarnya.
“Omma…Omma bicara apa? Sejak kapan Omma percaya pada mimpi? Apalagi sampai pergi ke tetua adat si tukang ramal itu?” tanya Leia.
“Justru karena Omma bukan orang yang mudah mempercayai mimpi, makanya Omma pergi ke tetua adat. Omma memikirkan mimpi itu karena terjadi dan terjadi lagi. Berulang-ulang dan selalu sama. Menurutmu, kenapa sebuah mimpi bisa terus berulang dan sama persis Leia?” sahut Mrs. Akela masih di sisi kepala Leia.
“Tapi Omma…” Leia menarik nafas. Apa yang bisa dipercayainya dari mimpi? Mimpi seperti sebuah jalan yang penuh kabut. Tak ada yang dapat dilihatnya di atas jalan yang penuh kabut itu sementara pada kenyataannya, ia akan menghadapi takdirnya segera setelah festival selesai. Menikah dengan Leo Kai dan membantu lelaki itu memimpin suku Polynesia di Kepulauan Hawai.
Mrs. Akela menarik tangan putrinya dengan sedikit tidak sabar. Mendekatkan kepala Leia padanya.
“Tetua juga mengatakan bahwa takdirmu itu akan datang tak lama lagi. Ia akan datang pada saat semua orang terlena dalam kegembiraan dan keramaian. Kau tahu artinya itu Leia? Kegembiraan dan keramaian adalah acara festival mendatang. Percayalah pada Omma Leia” kata Mrs. Akela penuh harap.
Leia menatap ibunya. Hatinya dipenuhi kebingungan namun, setitik harapan tiba-tiba muncul. Bagaimana seandainya itu benar? Terngiang dalam ingatannya apa yang diucapkan oleh Malina sebulan lalu saat terakhir kali sahabatnya itu menemuinya. Bahwa Malina berharap datangnya dewa diacara festival yang akan mengubah kehidupannya. Dan jika kehidupan Malina berubah, maka kehidupannya sendiri akan juga berubah. Tapi, benarkah ada dewa di dunia ini? Dewa yang bisa dan sanggup mengalahkan kekuasaan Elder pertama yang sangat kuat? Dewa yang bisa membuat Leo Kai tak dapat lagi menyentuhnya dengan sikapnya yang arogan meski lelaki itu selalu baik padanya selama ini?. Ingatan tentang ucapan Malina membuat Leia justru teringat betapa lama ia tak lagi bertemu dengan sahabatnya itu. Kenapa Malina tak lagi menemuinya? Kenapa ia tak bisa lagi menghubungi gadis itu? Ponselnya tak bisa dihubungi. Dua kali ia datang ke rumah Malina dan selalu tak bisa bertemu dengan Malina karena sahabatnya telah pergi ke rumah Papa Lolo untuk berlatih.
“Omma…” panggil Leia sambil memandang ibunya. Kedua matanya kini terlihat sedikit berselimut kabut.  “Kalau memang benar orang itu akan datang ke pulau ini dan menolong kita, lalu bagaimana caranya aku mengenalinya? Tidakkah Tetua Adat mengatakan sesuatu?”.
Mrs. Akela tercenung. “Nenek peramal tidak mengatakan apapun tentang hal itu Leia. Tapi, ia mengatakan pada Omma bahwa kalian sesungguhnya adalah satu jiwa. Karena kalian diikat oleh janji yang sangat kuat melebihi kuatnya kematian. Karena itu, semakin dekat waktu hingga orang itu datang ke pulau ini, kau akan bisa merasakannya Sayang. Kau akan merasakan kehadirannya. Kau akan merasakan segala hal yang dirasakannya. Karena kau adalah bayangannya”.
Leia memutar bola matanya sebelum kemudian bangkit berdiri. Kepalanya menggeleng-geleng dengan pusing.
“Ah…Omma…entahlah. Aku tidak mengerti. Aku benar-benar tidak mengerti. Itu sangat tidak masuk akal bagiku” katanya dengan ekspresi menyerah. Kakinya melangkah menuju ke pintu.
“Leia!...kau mau kemana? Leia!” panggil Mrs. Akela pada putrinya.
“Aku mau ke rumah Malina! Dia lebih masuk akal daripada Omma!” seru Leia menjawab tanpa menoleh lagi.
Tapi, meski sangat tidak masuk akal baginya, namun selama dua hari ini ia mulai merasa aneh. Bermula dari rasa sedih yang tak dapat di jelaskannya. Rasa marah tanpa alasan dan seperti rasa penantian. Lalu, setiap kali ia menatap ke dalam cermin seperti sekarang, Leia selalu merasa seolah dirinya bukan lagi dirinya. Seolah dirinya telah menjadi orang lain meski tak ada satupun bagian dari wajah maupun tubuhnya yang berubah. Apakah semua ini hanyalah sugesti yang timbul karena ia mendengar cerita ibunya tentang mimpi yang aneh dan ramalan nenek tetua adat tentang datangnya seseorang yang akan membawanya pergi dari pulau ini? Seseorang yang akan menjadi takdirnya?. Festival memang semakin dekat. Tinggal kurang lebih satu bulan lagi. Bagaimana seandainya perkataan nenek peramal itu benar? Entahlah….
Lalu, sesaat tadi, mendadak ia merasa sesak seolah dadanya seperti dihimpit sesuatu yang berat disertai rasa sakit yang aneh pada kedua lengannya seolah kedua lengannya seperti dilibat sesuatu yang sangat kuat!.
**********

Seoul, Korea Selatan….
Hari Selasa….
Dini hari, pukul 02.30 waktu Seoul…
Yoon memasukkan mangkuk yang selesai dicuci dan dilapnya ke dalam rak. Itu mangkuk terakhir yang digunakan oleh Bok. Sahabatnya baru saja pulang. Sekitar tiga puluh menit yang lalu. Yoon menoleh ke arah kamar Seon. Masih tertutup. Gadis kecil itu tetap terus mengurung diri di dalam kamar dan tidak keluar meski sekedar untuk makan malam. Tawaran makan malam yang diserukan oleh Bok tak mendapat tanggapan sama sekali dan Yoon tak ingin mengganggu adiknya meski sesungguhnya ia mencemaskan Seon setelah apa yang terjadi tadi siang.
Apa yang mesti dilakukannya kini? Yoon berdiri di depan ruang dapur dan menatap ruang dalam toko yang kini terlihat kosong setelah banyak kursi dan meja yang disingkirkan karena rusak. Vas-vas bunga tak satupun yang tertinggal utuh. Piring, mangkuk, gelas dan benda-benda pecah belah hanya tersisa sedikit. Secara keseluruhan, toko ini benar-benar telah hancur. Akan butuh banyak dana untuk memperbaiki toko ini hingga siap buka seperti kemarin. Yoon menarik laci meja kasir dan menemukan beberapa keping uang logam satuan terkecil yang pasti tak diinginkan oleh Han. Simpanan uang dalam toples yang mestinya ia setorkan ke bank untuk menyicil hutang telah pula lenyap. Kakaknya benar-benar telah mengambil semua uang yang ada. Tangan Yoon terkepal oleh rasa marah, kecewa, sedih dan ketidak mengertian yang bergumpal dan menggulungnya.
Apa yang terjadi pada Han sebenarnya? Mengapa ia menyakiti keluarganya sendiri? Dan semua perkataannya tentang Abeoji yang sama sekali tak dapat dimengerti oleh Yoon?.
Yoon melangkah memasuki ruang dapur dan merosot ke lantai, bersandar pada counter dapur. Tangan kanannya menopang kepala yang terasa berdenyut sakit, bertumpu pada lutut kanan yang tertekuk sementara kaki kiri menggelosoh dilantai. Terasa lemas dan kini, Yoon baru sadar betapa letih tubuhnya.
Mengapa semua masalah datang padanya secara beruntun seperti badai yang susul menyusul seolah tanpa henti? Sungguh sulit dipercaya bahwa hidupnya telah berbalik seratus delapan puluh derajat dalam sekejab. Sebulan yang lalu ia adalah mahasiswa tingkat akhir dan asisten dosen di kampusnya. Hari-hari terasa ringan dan penuh harapan masa depan yang cerah. Ia telah menata langkah-langkah yang akan ditempuhnya di semester-semester akhir hingga lulus. Ia bahkan telah mendapat beberapa penawaran kerja di perusahaan-perusahaan terkemuka di Korea Selatan. Segalanya terasa mudah dan indah. Tapi kini, ia seperti terperosok ke dalam lubang yang sangat gelap dan ia sama sekali tak tahu apa yang mesti dilakukannya. Seluruh rencananya hancur. Tak ada lagi sesuatu yang bisa dipikirkan dengan rumus idealisme. Segala hal sekarang berjalan atas dasar “yang mesti terjadi maka terjadilah”. Seperti sebuah takdir yang hanya bisa dijalani tanpa bisa ditolak atau disudahi dengan cepat.
Sekarang, hal pertama yang bisa dipikirkannya adalah mencari uang. Mungkin butuh waktu agak lama hingga toko siap untuk beroperasi dan buka kembali mengingat kerusakan yang terjadi sangat parah. Namun, kebutuhan hidup tidak bisa menunggu. Terutama bagi Seon yang harus tetap sekolah.
Tapi, bagaimana kini ia bisa mendapatkan uang? Toko yang menjadi jalannya untuk mendapatkan uang meski tak sebanyak yang bisa diperoleh Abeoji dalam sehari telah hancur. Masih ditambah perintah Abeoji agar ia tak lagi mengeluarkan jenis-jenis masakan yang ia olah dengan hasil improvisasinya sendiri. Andai ia mempunyai uangpun, belum tentu ia dapat menjalankan toko dengan tipe masakan sama dengan yang dibuat oleh Abeoji karena keterbatasan dana yang dimilikinya. Improvisasi masakan yang dilakukannya bukan semata-mata karena ia ingin menunjukkan kemampuannya dalam hal memasak melainkan karena keterbatasan dana yang dimilikinya terutama untuk membeli bahan-bahan menu masakan yang berharga mahal.
Haruskah ia meminjam uang pada Bok? Yoon yakin, jika ia melakukannya, maka Bok akan segera memberikan berapapun angka yang disebutnya hanya sedetik setelah ia menyelesaikan kalimatnya. Karena, Bok sendiri juga berkali-kali menawarkan bantuan padanya. Bahkan tadi, sesaat sebelum sahabatnya itu pulang setelah gagal membantunya membujuk Seon untuk makan malam.
Tapi, Yoon tahu bahwa ia tak akan pernah melakukan itu. Tidak setelah semua kebaikan orangtua Bok pada keluarganya terutama dalam hal kemudahan dibidang pendidikan. Jika bukan karena Mr. Park adalah penyumbang dana terbesar di kampus, pemilik yayasan yang bergerak dibidang beasiswa untuk anak-anak kurang mampu dan raja kerajaan transportasi, maka Yoon tak akan pernah bisa masuk ke perguruan tinggi elit di Korea Selatan itu. Betapapun baik dan tinggi tingkat intelegensinya.
Jadi apa yang bisa dilakukannya kini?  Menjual barang-barang? Apalagi yang bisa dijual? Rumah, mobil, truk tua, seluruh benda elektronik dalam rumah serta rumah yang menaungi benda-benda itu telah disita oleh bank.
Yoon menoleh ke sisi counter dapur yang disandarinya. Ada ruang penyimpanan di bagian bawah counter dapur itu. Tempat yang biasa digunakan sebagai gudang mini untuk menyimpan pecah belah yang telah usang tapi masih sayang untuk dibuang. Yoon tertawa sedih saat memikirkan bahwa mungkin masih ada barang yang bisa dijualnya di dalam ruang bawah counter dapur tersebut. Berapa harga barang bekas yang telah usang? Mungkin bahkan tak cukup untuk membeli semangkuk beras kecuali jika barang usang itu termasuk dalam kategori benda antik.
Tapi, tangan Yoon bergerak juga membuka pintu penutup ruang penyimpanan di bawah counter. Ini bukan pertama kalinya ia membuka ruang kecil di bawah counter dapur ini sehingga Yoon telah hafal dengan tata letak benda dan jenis-jenis benda yang biasa dilihatnya. Ada beberapa onggi yang dulu digunakan Ommonie untuk menyimpan kimchi dan soju. Juga beberapa kotak makanan yang nampaknya sengaja disisihkan Abeoji sejak Ommonie tiada. Mata Yoon menyapu ruang penyimpanan yang terlihat gelap. Aroma debu jelas terasa menyambar hidung. Sekilas cahaya lampu dapur yang membias sedikit ke dalam ruang penyimpanan membuat Yoon dapat menangkap jaring rumah laba-laba. Sepertinya, selain dirinya, Abeoji sama sekali tak merasa tertarik untuk melihat atau sekedar membuka ruang penyimpanan di bawah counter dapur ini. Ia sendiri hanya sesekali membukanya jika mencari sesuatu dan selalu, Yoon tak mendapatkan apa yang ia cari selain beberapa Onggi tua yang ditata berjejer dengan selimut debu tebal pada permukaannya serta kotak-kotak makanan yang kondisinya terlihat sangat memprihatinkan.
Yoon menarik nafas dalam-dalam sambil memandang benda-benda bisu dalam ruang penyimpanan yang kotor penuh debu. Semua benda itu, sesungguhnya menyimpan kenangan yang sangat dalam tentang Ommonie. Dalam batas ingatan Yoon, Ommonie tak pernah melakukan kegiatan memasaknya tanpa melibatkan onggi dan kotak-kotak makanan itu. Tetapi, sejak detik terkelam saat Ommonie tak lagi bersama dengan mereka, maka benda-benda yang sangat akrab dengan Ommonie segera disingkirkan oleh Abeoji. Hingga kini, setelah waktu berjalan selama dua belas tahun lebih, disaat mereka terjepit dalam keadaan yang sangat buruk dan Yoon tak tahu lagi apa yang mesti dilakukannya untuk menjaga agar keluarga ini tetap utuh, tiba-tiba Yoon merasa ingin membuka kenangan tentang Ommonie.
Jemari Yoon terulur masuk ke dalam ruang penyimpanan yang gelap, menyentuh permukaan kotak-kotak makanan yang usang berdebu. Sesuatu yang halus terasa mengalir dalam hati Yoon. Seolah ia tengah menyentuh tangan Ommonie yang lembut. Tangan lembut yang selalu mengusap kepalanya saat ia mengganggu Ommonie yang tengah memasak di dapur.
Yoon menarik nafas. Jemarinya berpindah pada onggi-onggi yang berjejer. Ada tiga buah onggi berukuran sedang dan satu onggi berukuran besar di ruang penyimpanan itu. Yoon menyentuh permukaan onggi dan merasakan debu yang menempel cukup tebal membuat permukaan onggi menjadi halus. Yoon menjulurkan tangannya semakin jauh, kini mengusap onggi-onggi itu sepenuhnya tanpa mempedulikan permukaan telapak tangannya yang menjadi kotor. Onggi pertama dan paling besar berada tepat di depannya lalu disusul tiga onggi lain yang berukuran lebih kecil. Onggi terjauh terletak agak di sudut pada tempat yang paling gelap. Tangan Yoon terulur semakin dalam untuk menjangkau onggi yang terletak di sudut tersebut dan mendadak, keningnya berkerut saat ujung jarinya menyentuh benda lain di belakang onggi yang terletak di ujung ruang penyimpanan. Benda yang terletak di sudut ruang penyimpanan itu sepertinya berukuran kecil sehingga tidak bisa dilihatnya karena tertutup oleh onggi berukuran lebih besar yang ada di depannya. Permukaan yang teraba oleh ujung-ujung jemari Yoon terasa bulat membuat benak Yoon membayangkan sebentuk onggi namun dengan ukuran mini. Mungkinkah? Tapi, Yoon merasa belum pernah melihat Ommonie menggunakan onggi dengan ukuran yang kecil seperti benda yang tersembunyi di belakang onggi berukuran lebih besar di sudut ruang penyimpanan. Atau, mungkinkah itu bukan onggi melainkan benda lain? Jelas bukan kotak makanan karena Yoon dapat merasakan permukaan benda tersebut yang membulat. Mangkukkah? Dan buat apakah benda yang kecil itu diletakkan di sudut yang gelap, ditutupi oleh onggi besar di depannya seolah-olah memang sengaja disembunyikan?
Dengan hati-hati, Yoon menggeser onggi-onggi yang ditata berjejer agar ia bisa melihat benda kecil yang tersembunyi di balik onggi. Sempitnya ruang penyimpanan dan onggi paling besar yang diletakkan tepat di depan pintu membuat Yoon mengalami kesulitan untuk menggeser onggi yang menutupi benda apapun di sudut. Karena itu, pemuda berwajah rupawan yang tengah murung itu segera bangun dari posisi duduknya dan kini berjongkok di depan pintu ruang penyimpanan bawah counter dapur lalu mulai mengangkat benda-benda yang ada di depannya perlahan dan memindahkannya ke ruang dapur di dekat wastafel.
Tak butuh waktu lama bagi Yoon, ia segera menemukan apa yang dicarinya saat onggi besar di sudut ruang penyimpanan telah di gesernya menjauh.
Dan tepat seperti dugaannya semula. Benda kecil bulat di ujung ruang penyimpanan yang tersembunyi di balik onggi lain yang berukuran lebih besar itu ternyata memang sebuah onggi berukuran kecil. Nyaris sebesar toples kaca yang dipecahkan oleh teman-teman Han tadi siang. Yoon memandang onggi mungil di sudut yang gelap. Lalu, dengan sekali ayun, benda bulat itu telah berpindah ke tangannya. Sama seperti kotak makanan dan onggi yang lain, debu tebal juga menyelimuti onggi kecil di tangan Yoon.
Yoon kembali duduk bersandar setelah menutup pintu ruang peyimpanan sambil menatap onggi kecil di tangannya. Onggi ini, bentuknya lebih indah dari onggi-onggi yang lain. Seperti dibuat untuk menjadi tempat penyimpanan perhiasan atau mungkin vas bunga. Bagian badannya yang bulat mengingatkan Yoon pada perut ikan mas Koki yang lucu. Warnanya lebih terang dibanding onggi-onggi kain yang lebih besar. Mungkin saja, dulu Ommonie menggunakan onggi kecil ini sebagai tempat perhiasan dan uang yang selalu disimpannya di dalam lemari karena Yoon ingat benar bahwa ibunya kurang menyukai barang-barang dengan desain modern seperti kotak perhiasan dari kaca  atau kertas mika. Ommonie selalu unik dalam memilih segala sesuatu yang disukainya.
Dan karena onggi kecil ini kemungkinan digunakan Ommonie sebagai tempat menyimpan perhiasan atau uang, maka Yoon tak pernah melihat ibunya menggunakan benda tersebut di ruang dapur, hingga ia menemukannya saat ini. Sesuatu yang halus semakin terasa menjalar di hati Yoon saat menatap onggi kecil di atas telapak tangannya dan membuat mendung di wajahnya semakin menebal. Mendung bergayut yang berwarna kelabu, menutupi kecemerlangan sinar matahari yang selalu menghiasi wajah Kim Yoon Lu. Semakin berat dan semakin berat hingga akhirnya jatuh menitik menjadi tetes-tetes air yang mengalir dari sepasang telaga jernih yang tak mampu lagi menahan berat sang mendung.
Jemari Yoon terus bergerak mengusap onggi kecil di tangannya.
“Omma….apa yang harus kulakukan sekarang? Aku benar-benar tak punya akal lagi” bisik Yoon pelan. Yoon menyandarkan kepalanya pada dinding counter dapur dan memejamkan matanya saat bayangan wajah sang ibu mulai tercetak dalam ruang ingatannya dengan sejelas-jelasnya. Tersenyum dengan seluruh kesejukan wajah yang tak kan pernah dapat dilupakan oleh Yoon hingga detik terakhir hidupnya, membuat rasa mengganjal di leher Yoon semakin terasa seiring gemuruh emosi yang perlahan mulai memadat di ruang dada dan bergerak menggulung semakin cepat membuat Yoon akhirnya terbatuk ketika rasa sakit mengganjal di leher itu mendesak hendak keluar.
Batuk sekali yang membuat tangan Yoon bergetar dan menggoyahkan keseimbangan onggi kecil di atas telapan tangan yang menyangganya membuat benda bulat yang antik itu berguling jatuh ke lantai dapur. Yoon terkejut dan seketika membuka matanya, memandang ke arah onggi yang terjatuh di lantai. Serentak, diraihnya onggi tersebut dan diangkat kembali. Namun, tutup onggi telah terlepas dan menggelinding jauh. Sedikit tanah liat pecahan dari tutup onggi terlempar hingga ke sisi kaki Yoon. Pemuda itu bersiap bangkit untuk mengambil tutup onggi kecil yang menggelinding jauh darinya.
Namun…sesuatu yang sekilas tertangkap oleh matanya membuat gerakan Yoon terhenti. Sesuatu yang memiliki warna berbeda dengan onggi yang dipegangnya. Sesuatu yang tergeletak di dalam onggi, berbentuk gulungan memanjang dengan ikatan dibagian tengahnya.
Seperti sebuah gulungan kertas.
“Apa ini?” gumam Yoon sambil memasukkan tangannya ke dalam onggi kecil untuk mengambil gulungan kertas di dalamnya lalu meletakkan onggi ke lantai dapur. Sepasang mata Yoon membesar saat mengamati gulungan kertas di tangannya. Terasa ringan dan rapuh dengan warna yang telah berubah kuning. Berbeda dengan permukaan onggi yang penuh tertutup debu, gulungan kertas itu bersih dan halus. Tali pengikat gulungan kertas terbuat dari jalinan batang rumput rami yang kering dan dipilin kecil. Yoon tahu dan ingat, Ommonie sangat menyukai tali rami yang dijalin menyerupai jalinan rambut pada wanita seperti ini. Besarnya kertas hanya separuh kertas surat dan dari ringannya, tampaknya kertas yang di gulung ini tak lebih dari dua atau tiga lembar.
Perlahan Yoon menarik ujung tali pengikat gulungan kertas dan membentangkan kertas yang digulung dengan rapi itu perlahan dan hati-hati karena takut untuk merusak atau merobek kertas yang tampak rapuh tersebut.
Lalu, ketika akhirnya gulungan kertas itu terbuka, mata Yoon terbelalak saat mendapati tulisan yang rapi dan lembut di atas kertas. Hanya dalam sekali lihat, Yoon segera tahu bahwa itu adalah tulisan tangan Ommonie. Hanya Ommonie yang bisa membuat huruf-huruf hangul berderet begitu indah dengan goresan tintanya. Tangan Yoon telah bergetar sementara ia mendekatkan kertas yang tampaknya adalah sebuah surat itu mendekat agar ia bisa melihatnya dengan lebih jelas. Gejolak yang semula bergumpal di ruang dada Yoon semakin menggemuruh begitu matanya mulai menyapu huruf demi huruf yang di tuliskan oleh ibunya.
“Untuk Matahari Omma….Kim Yoon Lu”
Yoon-ah…..
Omma berharap semoga kau tidak akan pernah menemukan tulisan Omma  ini. Karena, jika kau menemukan surat ini, berarti hatimu sedang sedih….
Yoon-ah….
Maafkan Omma karena tidak bisa menemani kalian. Omma…sangat bersalah. Semoga saja nanti pada saatnya, kau akan mengerti dan memaafkan Omma….
Yoon-ah….
Setiap angin akan bertiup menuju tempatnya berlabuh, seperti itu juga sungai yang mengalir, betapapun jauhnya, namun pada akhirnya akan sampai ke batas yang sangat luas dan terdalam. Bukankah kau pernah melihat daun maple yang kau tanam jatuh di musim gugur? Ia jatuh bukan karena hancur Yoon-ah, melainkan untuk menjadi daun baru yang indah di musim semi. Karena itu, kau jangan pernah takut ketika kesedihan menghempaskanmu ke dasar yang gelap, karena di sayap kesedihan itu sesungguhnya terselip kebahagiaan yang disiapkan untukmu. Setiap kesedihan pasti akan berakhir Yoon-ah…..setiap badai akan berlalu dan berganti dengan keindahan di ujungnya. Akan selalu ada jalan bagimu untuk mendaki dan tak akan pernah ada kegelapan yang bisa mengurungmu sebab lilin itu ada di hatimu. Maka biarkan ia menyala untuk menerangi hatimu agar kau selalu memiliki cahaya untuk menerangi jalanmu dan orang lain dimanapun kau berada….
Yoon-ah…..
Ketika kau tidur di perut Omma….Omma melihat matahari turun dan bersembunyi diwajahmu. Karena itu Omma tahu bahwa kau pasti bisa melangkah…..karena matahari hanya tenggelam untuk muncul kembali di esok hari…..jangan menangis, jangan bersedih, tetaplah selalu tersenyum agar matahari di wajahmu dapat menjadi cahaya bagi siapapun yang menatapmu….
Yoon-ah….
Ingatkah saat kau memasak bersama Omma? Kau mengatakan bahwa kau ingin bisa memasak semua makanan yang Omma masak?
Omma telah menuliskan semua resep masakan yang Omma miliki untukmu Yoon-ah…ada di tempat yang tak akan bisa dihapus oleh air dan debu…jika kau menemukan surat Omma ini, kau pasti juga menemukan buku resep Omma….
Jika kau merasa rindu pada Omma…jika kau sedih, jika kau merasa sakit maka memasaklah seperti yang telah Omma tuliskan untukmu, dan Omma akan selalu ada di sisimu seperti kau selalu ada di hati Omma…..
Tataplah dunia dengan berani Yoon-ah….terimalah takdirmu dengan senang hati karena dengan begitu kau pasti akan bahagia….
Omma percaya kau pasti bisa melakukannya…
Karena kau adalah matahari kecil Omma….
Ommonie
Yoon menggulung kembali surat yang ditulis Ommonie dan mengikatnya dengan tali rami seperti semula. Kemudian memasukkan gulungan surat itu kembali ke dalam onggi dan bangkit untuk meraih tutup onggi yang menggelinding jauh dari kakinya. Tangan Yoon sedikit mengapai-gapai untuk meraih tutup onggi karena selimut tebal airmata yang membuat pandangannya menjadi kabur. Lalu, ketika tutup onggi itu telah menyatu kembali dengan badannya, Yoon  berjalan menuju lemari pendingin dan membuka pintunya. Masih banyak bahan di lemari pendingin tersebut. Yoon menarik keluar seikat asparagus, satu blok tafu halus, beberapa butir wortel dan satu kotak telur, lalu meletakkannya di atas meja. Yoon masih berusaha menggapai beberapa jenis sayur dan buah dari dalam lemari pendingin sementara onggi kecil berisi surat Ommonie didekapnya dengan tangan kiri.
Namun kemudian, selimut tebal yang mengaburkan pandangannya memenangkan pertarungan dengan sisi ketegaran Kim Yoon Lu membuat pemuda berparas cemerlang itu akhirnya menutup pintu lemari pendingin dan tubuhnya bersandar pada lemari es berwarna perak tersebut. Yoon menangkupkan wajahnya pada dinding lemari pendingin dengan berbantal tangan kanannya. Kemudian, seiring bahu yang berguncang pelan, tubuh Yoon merosot ke bawah dan terduduk di lantai. Memeluk erat onggi kecil di dada. Sekali, dalam kehidupannya, ia sungguh-sungguh runtuh. Sekali, dalam kehidupannya, Yoon berubah menjadi rapuh. Kerinduan pada pilar kehidupan yang selalu menaungi jiwanya seolah menjadi martil yang menghancurkan tembok penahan semua kesedihan yang dipendamnya. Tangis Yoon pecah membasahi permukaan onggi yang dipeluknya. Sepasang bibir indah yang selalu tersenyum dengan kekuatan dahsyat itu kini bergetar hebat menyebut satu-satunya nama yang menjadi malaikat pribadinya.
“Omma….Omma…Omma…Omma…” rintih Kim Yoon Lu di antara deraian airmatanya.
Dinihari yang sunyi menjadi tirai yang menyembunyikan runtuhnya ketegaran seorang matahari kecil.

*************
 Seon membuka pintu kamar perlahan. Tubuhnya menggeliat sesaat dengan kedua tangan meregang ke atas. Jam meja menunjukkan pukul 07.15 waktu Seoul. Masih sangat pagi. Tetapi, perut yang menggeliat menuntut asupan nutrisi membuat Seon bangun dari ranjangnya.
Perlahan gadis kecil itu melangkah keluar dan segera menemukan dapur yang bersih, rapi dan kosong. Tak ada kompor menyala seperti kemarin. Tak ada aroma berbagai macam masakan seperti kemarin. Dan yang lebih nyata, tak ada bayangan tubuh kakaknya baik di dapur maupun di ruang depan.
Seon menelengkan kepala ke atas atap. Mencoba mendengar aktivitas di atap toko yang biasa didengarnya jika kakaknya sedang mencuci dan menjemur pakaian. Namun, semuanya sunyi.
“Oppa?....Yoon Oppa?....Oppa di mana?” panggil Seon sambil berjalan kembali ke arah dapur.
Masih sunyi. Tak ada satu suara yang menyahut.
“Oppa di mana? Kenapa pergi sepagi ini? Aku lapar sekali” bisik Seon pada diri sendiri. Tangannya terangkat mengacak-acak rambut di kepalanya yang ikal tergerai. Kembali pandangannya beredar meneliti setiap sudut. Tetapi, sosok Yoon tetap tak ditemukannya. Hanya sehelai kertas putih di meja depan. Di sisi kertas putih terlihat  kotak makan siangnya yang tertutup rapat, mangkuk, sumpit dan gelas berisi jus jeruk. Pada meja itulah Seon melangah mendekat. Matanya menatap sehelai kertas di sisi kotak makan siang bergambar Pororo. Seon mengangkat kertas itu dan membaca tulisan di atasnya. Sebuah pesan dari kakak yang dicarinya.
Oppa pergi sebentar. Habiskan sarapanmu, tadi malam kau tidak makan. Hari ini tak usah sekolah. Jangan keluar. Oppa bawa kunci sendiri.
Yoon  Lu.
Seon tersenyum. Kertas diletakkan kembali di atas meja kemudian dengan wajah riang, gadis kecil berwajah jelita itu segera menarik kursi dan duduk menghadapi menu sarapan paginya. Tubuhnya bergoyang-goyang sambil mengunyah menu sarapan yang sangat disukainya. Telur gulung dengan isian udang dan potongan sayur. Potongan kecil wortel membuat telur gulungnya terlihat cerah dan indah.
“Enak..enak..enak…terima kasih Oppa” ucap Seon sendirian. Mulut mungilnya yang merah segar tersenyum ceria.
**************

Pantai Waikiki….pagi hari sekitar pukul 07.30 waktu Hawai
“Leia?” suara melengking mengejutkan Leia yang berdiri di pinggir pantai Waikiki, bersandar pada sebatang pohon nyiur yang melambai oleh angin laut yang berhembus.
“Malina? Kau mengejutkan aku” jawab Leia sambil menoleh.
Malina mendekat. Gaun selututnya yang bermotif bunga-bunga tropis bergerak-gerak gelisah oleh angin yang jahil, sesekali menyingkap ke atas memperlihatkan sepasang kaki indah berkulit coklat khas gadis Hawai. Tangan Malina menjadi sibuk untuk menenangkan gaunnya agak tidak membuka dan memperlihatkan keindahan kakinya begitu saja pada setiap mata.
“Ayahku mengatakan bahwa beberapa kali kau mencariku. Aku sedang berlatih di rumah Papa Lolo” ujar Malina sambil duduk di sisi kaki Leia membuat Leia segera pula duduk di samping sahabatnya.
“Darimana kau tahu aku di sini?” tanya Leia sambil menatap Malina sekilas.
“Aku ke rumahmu. Dan Nyonya Akela memberitahuku bahwa kau ingin melihat matahari terbit” jawab Malina sambil tersenyum.
Leia mengangguk sedikit dan kembali melempar pandangannya ke arah laut.
“Ada apa?” tanya Malina sambil menatap Leia yang tak bersuara. Dilihatnya gadis yang selalu membuatnya merasa iri jauh di dalam hati itu tengah memandang ke laut lepas. “Kau…punya masalah?”.
Perlahan Leia mengangguk. Jantung Malina berdebar.
“Masalah apa Leia? Apa…ini tentang….Kai?” tebak Malina. Lehernya bergerak saat gadis manis itu berusaha menelan ludah. Jantungnya berdebar semakin kencang.
“Tidak sepenuhnya Malina” Leia menggeleng pelan membuat debar Malina seketika berkurang.
“Kalau begitu?” tanya Malina dengan nada lebih ringan.
Leia menarik nafas panjang. Pandangannya masih terlempar jauh ke laut lepas. Beberapa saat kesunyian melingkupi keduanya membuat kegelisahan Malina nyaris kembali.
“Malina?” panggil Leia sambil mengalihkan pandangannya pada sahabatnya.
“Ya?” jawab Malina sambil menatap Leia.
“Apa kau tahu berapa banyak perbedaan waktu antara Waikiki dengan Korea?” tanya Leia membuat Malina terkejut.
“Apa? Korea? Maksudmu…negara Korea? Yang banyak menghasilkan gingseng merah itu? Negara dengan drama-drama yang bagus di televisi seperti Heirs, City Hunter, Faith dan yang lain-lain itu?” Malina balik bertanya membuat Leia memutar bola matanya.
“Memangnya ada Korea yang lain?” sergah Leia.
Malina mengangkat bahunya yang mungil. “Entahlah…kupikir ada. Korea yang punya bom nuklir itu”.
“Itu Korea Utara, Malina” sahut Leia.
Malina kembali menatap Leia “Jadi, yang kau maksud adalah Korea Selatan? Tempat lahirnya bintang-bintang yang sangat tampan itu? Lee Min Ho Oppa, Kim Woo Bin Oppa, Kim Soo Hyun Oppa, Hyun Bin Oppa,….”.
“Apa kau datang ke sini untuk mengabsen artis-artis idolamu Malina?” potong Leia dengan nada jengkel membuat Malina berhenti dan tersenyum lebar.
“Maaf…tapi mereka benar-benar tampan” jawab Malina masih dengan senyumnya.
“Jadi…apa kau tahu berapa perbedaan waktu antara Korea dengan tempat kita sekarang?” Leia mengulangi pertanyaannya.
“Entahlah….Aku tidak tahu Leia. Aku belum pernah ke Korea” jawab Malina. Kali ini dengan serius.
Leia kembali menatap laut lepas, pada perahu layar di kejauhan yang terlihat meluncur dihembus angin, pada peselancar-peselancar yang bermain ombak dengan teriakan keriangan dari mulut mereka. Hal yang sangat berlawanan dengan kemurungan yang nyata terlihat di wajah sang bunga Hawai.
“Kenapa kau tidak melihat di App-mu Leia? Mungkin saja bisa? Bukankah aplikasi smartphone sekarang sangat bagus? Kenapa tidak kau coba?” tanya Malina yang melihat kemurungan di wajah sahabatnya.
Leia memandang Malina sesaat lalu mengeluarkan App dari saku celana jeans panjangnya. Lalu jemarinya mulai membuka aplikasi-aplikasi yang ada di layar android  setelah melepaskan sandi kunci. Sesaat kemudian, sepasang mata Leia terlihat sedikit berbinar. 
“Ada?” tanya Malina sambil turut menatap ke layar App Leia.
Leia mengangguk. Bibirnya tersenyum. Jarinya semakin lincah bergerak menekan salah satu aplikasi Clock.
“Lihat Leia….ini aplikasi jam dunia. Kita bisa mengetahui perbedaan waktu antara satu tempat dengan tempat yang lain” seru Malina senang.
Leia mengetikkan satu nama kota di layar. Seoul, Korea Selatan.
“Ah…Malina!” seru Leia ketika selesai mengetikkan tempat yang diinginkannya. “Ternyata perbedaannya sekitar 19 jam”
Mata Malina membesar. “Sembilan belas jam? Jauh sekali!. Apakah waktu di Korea lebih dulu dari kita atau di belakang kita ?”
“Lebih dulu dari kita” jawab Leia. Tangannya yang memegang App kembali terkulai.
“Apa…masalahmu berhubungan dengan itu? Tapi…kupikir itu aneh sekali Leia. Kenapa tiba-tiba kau bertanya tentang Korea?” tanya Malina kemudian.
“Korea adalah kampung halamanku Malina. Aku punya keluarga di sana. Kakek, nenek dan bibi. Dan aku belum pernah sekalipun bertemu dengan mereka” jawab Leia.
“Tapi, di sini juga kampung halamanmu kan? Kau adalah putri Elder Kaili jadi kau adalah seorang Hawaian sepertiku” sergah Malina. “Apa kau ingin pergi ke Korea Leia?”
Leia menggeleng. “Aku tidak tahu Malina. Aku belum pernah ke sana. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana keadaan di sana, atau bagaimana aku akan hidup di sana”.
“Kalau begitu, kenapa kau kelihatan sangat sedih? Aku melihatmu sejak di ujung jalan sana. Dan aku hanya melihat kesedihan di wajahmu. Jika kau memang ingin melihat Korea, kau bisa ke sana. Nyonya Akela bisa mengantarmu kan? Atau mungkin…Kai?” tanya Malina, mengerahkan separuh lebih tenaganya untuk menyebut nama terakhir.
“Bukan itu Malina” jawab Leia. Satu nafas panjang terhembus dari mulut mungil gadis itu. Android yang dipegangnya terlepas di pangkuan lalu tangannya terangkat dan mendekap dada.
“Kenapa Leia? Apa kau sakit?” Malina menyentuh bahu sahabatnya dengan ekspresi khawatir.
“Entahlah Malina….aku tidak tahu. Aku hanya…tiba-tiba saja aku merasa sangat sedih. Begitu sedih sampai seolah aku akan mati. Seperti sesuatu yang sangat menyakitkan di hatiku. Tapi aku tidak tahu kenapa aku merasa sedih” jawab Leia sambil kembali menatap lautan luas.
Kedua mata Malina membesar.
“Ah…sungguh aneh Leia. Bagaimana bisa kau merasa sedih tapi kau tidak tahu kenapa kau sedih? Jangan-jangan kau memang sakit Leia” ujar Malina membuat Leia seketika mengerling tajam ke arah sahabatnya yang segera tertawa dengan ekspresi takut yang dibuat-buat.
“Baiklah…aku hanya bercanda. Menurutku…mungkin kau sedih karena kau diharuskan menikah dengan Kai sementara sesungguhnya kau tidak menginginkannya” sambung Malina kemudian.
Leia mengerdikkan bahu. Kesedihan masih terus membayang di wajahnya membuat Malina akhirnya merasa gusar juga. Terlebih saat melihat kedua tangan Leia yang mendekap dada seolah terdapat sebuah lubang luka yang menganga di tempat tersebut. Dengan perasaan gemas, Malina menyambar android di pangkuan Leia dan membukanya. Lalu, dengan sepasang mata penuh minat, Malina mengangsurkan android yang dipegangnya.
“Leia..menurutmu…jika jarak antara Korea dan tempat kita sekarang adalah 19 jam, maka jam berapa sekarang di Korea?” tanya Malina mencoba menarik sahabatnya dari kesedihan aneh yang sedang dirasakannya.
Dan berhasil.
Leia segera mengalihkan pandangannya dari lautan luas ke layar android di tangan Malina.
“Entahlah Malina. Korea berjalan di depan kita sejauh sembilan belas jam. Jika hari ini adalah Senin pagi pukul 07.30 AM di tempat kita berdiri, maka kita tinggal menarik ke depan sejauh 19 jam untuk tahu jam berapa di Korea sekarang” sahut Leia.
“Mmmm…kalau begitu, jika sembilan belas jam di depan kita berarti di Korea sekarang adalah…..” Malina mencoba menghitung dalam benaknya. Pandangannya menerawang menatap daun-daun nyiur yang melambai seolah jawaban yang dicarinya terdapat di helai-helai daun nyiur yang hijau.
“Berarti sekarang di Korea adalah hari Selasa, dini hari sekitar pukul 02.30 AM waktu Korea. Mungkin sekitar itu” jawab Leia berbisik.
Malina menatap sahabatnya. Melihat kesedihan aneh yang perlahan kembali dan mengurung wajah sang bunga Hawai dalam mendung yang tak terjelaskan…..( bersambung )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar