Hawai….Tahun 2015
Pukul 06.05 PM waktu Hawai.
“Leia!...Leia!”
suara panggilan keras di susul gedoran di pintu depan melenyapkan kedamaian
pagi yang sunyi. Seorang gadis bertubuh indah dan seksi berdiri di depan pintu
sebuah rumah mungil yang asri penuh
bunga. Gerak tubuh dan kakinya menunjukkan rasa tidak sabar sekaligus semangat
yang berkobar-kobar. Rambut ikalnya di ikat tinggi di belakang telinga dalam
satu ikatan kuat menggunakan seutas tali yang terbuat dari jalinan bunga
rumput. Wajah cantik dalam bingkai tulang rahang yang sedikit bulat serta
sepasang mata lebar khas gadis-gadis suku Hawai terlihat segar oleh beberapa
butir air yang membasahi wajahnya. Air-air embun dari dedaunan ketika gadis itu
berlari menerjang taman di depan rumah.
“Malina?”.
Gadis
cantik berkulit coklat itu terkejut saat mendengar suara lembutyang memanggil
namanya. Namun segera, tubuhnya membungkuk dengan hormat.
“Nyonya
Akela” sapanya dengan nada sopan. “Leia ada?”.
Wanita
berumur sekitar empat puluhan tahunyang masih terlihat cantik itu tersenyum.
Malina adalah sahabat karib putri tunggalnya. Mereka telah bersama dan sangat
akrab sejak kecil dan karena itu, bagi Mrs. Akela, Malina sudah seperti anaknya
pula.
“Leia
ada…dia masih tidur” jawab nyonya rumah yang cantik dan lembut itu.
Sepasang
mata Malina membelalak.
“Masih
tidur?!” pekiknya. “Sesiang ini? Dasar pemalas” Malina terlihat gemas. Lalu,
setelah memberi hormat sekilas pada Mrs. Akela, gadis enerjik itu itu segera
melesat masuk ke dalam rumah, melintasi ruang tamu mungil yang indah dan
langsung naik ke lantai dua. Langkahnya yang lincah baru berhenti di depan sebuah
pintu kayu berwarna coklat krem. Terdapat boneka puppy kecil berwarna
coklat dengan kaki panjang di dalam
sebuah keranjang rotan mungil yag menempel pada daun pintu.
Malina
tidak mengetuk tapi ia langsung membuka pintu itu dan menghambur masuk lalu dengan
gesit hinggap di atas ranjang berukuran king size. Terdapat sebuah benda besar
di bawah selimut. Bantal-bantal dan guling berserakan di seluruh penjuru tempat
tidur membuat Malina tahu bahwa benda besar terbungkus selimut di depannya itu
pastilah sesuatu yang ia cari. Gadis itu menatap benda besar di bawah selimut
sejenak. Kepalanya menggeleng heran sementara bibirnya berdecak. Lalu, tangan
kanannya terangkat naik dan dengan sekali ayun tangan Malina yang mungil telah
menepuk benda besar di bawah selimut tersebut.
Bukk!...
Suara
berdebuk keras terdengar saat tangan Malina menepuk benda besar di bawah
selimut.
“Aaa!....Malina!..sakit!”
terdengar suara memekik keras di bawah selimut. Tapi, tetap saja benda besar
itu terbungkus rapat di baik selimutnya.
“Bangun
pemalas!” gerutu Malina sambil berusaha menarik selimut di depannya. “Orang
lain sudah berlari sampai ke bulan dan kau masih membungkus dirimu dengan
selimut”.
“Aku
tidak ingin ke bulan…” suara di bawah selimut kembali terdengar dengan nada
malas. “Aku cuma mau tidur”.
“Tidak
bisa!” protes Malina sambil kembali menarik selimut, kali ini dengan gerakan
menyentak. Dan berhasil. Selimut terenggut lepas, memperlihatkan sesosok tubuh
yang meringkuk di bawahnya. Sosok gadis sebaya Malina, dengan kulit putih
cemerlang seperti warna mutiara. Sepasang lengan menekuk menutupi wajah dan
rambut indah berwarna coklat tua, indah berkilau yang menebar di sekeliling
bahu dan punggung. Kedua mata gadis itu masih memejam. Tetapi, meski dalam
keadaan tidur yang berantakan, tetap saja dengan sekali lihat Malina dan
siapapun akan dapat melihat kecantikan yang nyata. Alami dan unik namun sangat
menyokok seperti sekuntum bunga dengan warna yang sangat cerah dan indah. Seolah
yang tidur di bawah selimut itu adalah sesosok dewi. Dalam hati Malina selalu
tak henti mengakui, bahwa Leia memang benar-benar secantik bidadari. Dan
kenyataan itu, seringkali membuatnya merasa iri.
“Dengar
Leia!” kata Malina lagi sesaat kemudian setelah melemparkan selimut yang
berhasil dirampasnya ke sofa di sisi bawah ranjang. “Aku datang karena ada
informasi penting untuk kita”.
“Apa?
Kau dapat kenalan baru?” tanya Leia tanpa membuka mata.
“Bukan!
Ini bahkan lebih hebat dari itu” seru Malina penuh semangat.
Leia
menggeliat. Sepasang matanya sedikit membuka tapi segera menutup kembali karena
silau saat cahaya matahari dari sisi jendela membias ke wajahnya.
“Benarkah?”
tanya Leia tanpa semangat. Posisi tubuhnya kembali menekuk dan bersiap untuk
terlelap lagi tapi dengan sigap tangan kecil Malina menarik bahunya dan membuat
Leia telentang di atas tempat tidurnya.
“Dengar!”
kata Malina kemudian. “Papa Lolo memberitahuku bahwa sebentar lagi festival
tahunan akan datang”.
Leia
mendesah. Itu berita biasa. “Aku sudah tahu”.
“Untuk
tahun ini, ada yang berbeda dengan acara festivalnya” lanjut Malina tak
mempedulikan ucapan Leia.
Leia
menggeliat, berusaha melepaskan bahunya dari tangan sahabatnya namun tidak
berhasil karena Malina segera menekan bahu Leia lebih kuat.
“Tahun
ini, Elder membuat acara lomba memasak. Siapapun boleh ikut dalam lomba memasak
itu dan hadiah yang disediakan oleh Elder Agung sangat besar. Menurut Papa
Lolo, undangan untuk mengikuti lomba itu bahkan sudah disebarkan melalui
internet. Jadi akan banyak peserta dari luar negeri yang datang ke kota kita
untuk mengikuti lomba itu”.
Leia
mengangguk. Ia tahu sejak tadi malam. Elder agung yang mengadakan acara lomba
memasak itu itu adalah keturunan dari Kamehameha Yang Agung. Meskipun di saat
sekarang Kepulauan Hawai bukan lagi berbentuk kerajaan dan merupakan negara
bagian termuda Uni Amerika Serikat, Namun secara spiritual keberadaan keturunan
Sang Kamehameha Yang Agung masih merupakan kalangan yang sangat dihormati di
Kepulauan Hawai terutama oleh suku Polynesia yang merupakan penduduk asli Kepulauan
Hawai sejak ratusan yang lalu. Di masa sekarang, keberadaan elder tidak lagi
memiliki kekuasaan yang mutlak seperti di masa lampau. Namun, dalam kehidupan
masyarakat, pengaruh seorang elder tetap saja sangat kuat karena seorang elder
sudah pasti memiliki hubungan khusus dengan Gubernur Hawai. Bisa dikatakan
bahwa elder adalah pemimpin masyarakat di Hawai secara implisit. Di Kepulauan
Hawai saat ini terdapat tiga orang elder yang memimpin. Ketiganya memiliki
garis keturunan dengan dinasti Kamehameha Yang Agung. Elder pertama bernama
Kalani atau biasa dipanggil Elder Agung yang sangat berkuasa dan merupakan keturunan
langsung dari Kamehameha Yang Agung. Elder kedua bernama Kana yang merupakan
adik Elder pertama dari garis satu ayah dan satu ibu. Elder ketiga bernama
Kaili, masih merupakan kerabat dari elder pertama dan kedua karena ayah dari
Elder Kaili adalah adik dari ayah Elder Kalani dan Elder Kana.
Dan
Elder Kaili adalah ayah Leia.
Ketiga
elder yang memimpin masyarakat sekarang ini memiliki hubungan persahabatan yang
sangat kuat selain ikatan batin keluarga di antara mereka.
Dan
tadi malam, Elder Kalani telah datang ke rumah untuk membicarakan beberapa hal.
Salah satunya tentang acara festival tahunan.
“Papa
Lolo bilang, untuk acara festival tahunan kali ini dibutuhkan banyak penari
untuk menyambut para tamu yang akan datang. Aku telah mendaftar tadi pagi-pagi
sekali dan aku juga telah mendaftarkan dirimu. Kita akan mengikuti latihan di
rumah Papa Lolo mulai siang ini” Malina menjelaskan dengan panjang lebar.
“Apa?!”
Leia terkejut dan bangun dari tidurnya. Gadis itu duduk di depan Malina dengan
sepasang mata membelalak. “Kau mendaftarkan aku?...Ya..Malina…kenapa kau tidak
bertanya dulu padaku?”.
Malina
menatap Leia dengan alis berkerut heran melihat ekspresi Leia yang berbeda.
“Kenapa aku harus bertanya? Bukankah kau selalu senang setiap kita mendapat job
baru untuk menari? Dan kali ini bukan job biasa Leia. Ini sangat istimewa
karena kita akan diikutkan dalam seleksi untuk menyambut para tamu peserta
lomba memasak di bandara internasional Honolulu. Elder Agung memerintahkan agar
penari-penari yang menyambut di Honolulu nantinya adalah penari-penari pilihan
terbaik. Ini kesempatan emas untuk kita Leia”.
Leia
tertunduk lesu. Lalu kepalanya menggeleng.
“Aku
tidak bisa ikut untuk kali ini Malani. Walaupun itu adalah kesempatan yang
sangat baik”.
“Kenapa
tidak Leia?” tanya Malani heran. Jemarinya menggenggam tangan Leia. “Apa ini
tentang Kai?”.
Leia
mengangguk membuat Malani terlihat tidak sabar.
“Apakah
Kai melarangmu lagi?” Malani mengejar. “Kai tak seharusnya membatasi ruang
gerakmu seperti ini”.
Untuk
kali ini Leia menggeleng. “Kai tidak melarangku Malani. Tapi dia…”.
“Dia
kenapa Leia?” Malani semakin tak sabar.
“Dia….melamarku”
jawab Leia nyaris berbisik.
“Apa?”
Malani terpana. Jemarinya yang menggenggam tangan Leia terlepas begitu saja.
Kai melamar Leia? Bagaimana mungkin? Kai…putra tertua Elder Agung akan menikah
dengan Leia?.
“Kau
tidak boleh menikah dengannya!” sentak Malani tiba-tiba membuat Leia kaget dan
mendongak untuk menatap wajah sahabatnya.
Leia
kaget dan mendongak untuk menatap wajah sahabatnya.
“Malani?....apa
maksudmu? Kenapa kau membentakku?” tanya Leia.
Mendadak
Malani merasa gugup. “Maafkan aku Leia…aku…aku tidak bermaksud membentakmu. Aku
hanya….kupikir hal itu tidak akan baik untukmu dan…dan Kai. Kau tidak
mencintainya kan?”.
Leia
menggeleng dengan sedih. “Entahlah…aku belum pernah jatuh cinta Malani. Aku
tidak tahu bagaimana rasanya jatuh cinta. Selama ini Kai sangat baik padaku dan
kupikir ia adalah saudaraku…kakakku. Karena Elder Agung adalah kakak sepupu
dari ayahku”.
“Apa
kau menerima untuk menikah dengan Kai?” Malani berbisik.
“Aku
tidak bisa membayangkannya Malani” jawab Leia. Kerut halus di keningnya
menunjukkan hatinya yang bingung.
“Apa
kau sudah menjawabnya?” tanya Malani lagi.
Leia
menggeleng. Satu kali lagi. “Aku tidak punya hak untuk menjawab Malani. Tadi
malam Elder Agung datang dan bicara dengan ayahku. Lalu, setelah itu mereka
memanggilku dan mengatakan bahwa aku akan menikah dengan Kai”.
“Jadi,
kau bahkan tidak tahu sebelumnya dengan rencana itu?”.
Leia
mengangguk.
Malani
tertunduk. Leo Kai adalah putra pertama Elder Agung dan merupakan calon penerus
jika nantinya Elder Agung telah mundur. Bisa di katakan bahwa Leo Kai adalah
pemuda nomor satu di Hawai. Setelah dua puluh tahun, Leo Kai benar-benar
menjelma menjadi lelaki muda yang luar biasa. Dan tentu saja, sangat tampan. Ia
melihat sendiri perubahan diri sang putra Elder Agung itu karena orangtua
Malani bekerja sebagai pembantu di rumah Elder Agung.
Dan
perubahan sosok Leo Kai dari seorang anak lelaki usil yang sering menggoda Leia
hingga menangis menjadi sosok lelaki yang dipuja oleh semua gadis-gadis di
Hawai telah menyeret perubahan hati seorang Malina dari perasaan seorang
pengasuh menjadi perasaan utuh seorang wanita.
Tapi
tak ada satupun yang tahu hal itu. Dan perubahan perasaan Malina yang utuh itu
menjadi rahasia yang tersimpan bersama gerak gemulai tubuhnya saat menari
hula-hula. Malina berharap akan dapat menyimpan perubahan hatinya untuk Leo Kai
selamanya. Karena ia sadar pada kemustahilan yang menghadang di depannya. Ia
hanya anak seorang pembantu dan sejak kecil ia sendiri telah menjadi pengasuh
bagi anak-anak Elder Agung termasuk Leo Kai. Tak ada tempat baginya selain tempat seorang
pengasuh terutama di mata Leo Kai. Ia telah melihatnya sendiri. Betapapun ia
selalu berusaha untuk menempatkan diri di depan putra sang elder,tetap saja ia
tak pernah terlihat lebih dari seorang pengasuh.
Karena
mata sang putra Elder Agung hanya tertuju pada satu wajah. Wajah Leia, sang
bunga surga yang bahkan tak pernah tahu bahwa ia telah memenangkan hati yang diperebutkan
oleh semua gadis-gadis di Pulau Hawai. Patah hati yang terpendam jauh di dasar
hati, serta setitik harapan yang kabur yang tersisa saat Malina tahu bahwa sang
bunga surga yang tercantik itu tidak memiliki cinta pada Leo Kai.
Tapi
kini, bahkan setitik harapan kabur itupun pada akhirnya benar-benar pudar
setelah apa yang didengarnya beberapa saat lalu dari mulut Leia sendiri. Leo
Kai telah melamar bunga terindah di Kepulauan Hawai itu melalui Sang Elder
Agung. Dan Leia sama sekali tak memiliki hak untuk bicara. Segalanya telah
diputuskan dan tak bisa ditarik lagi.
Tiba-tiba,
Malina merasa pekerjaan baru yang diterimanya dari Papa Lolo untuk acara
festival tahunan kali ini menjadi sangat tidak menarik. Seluruh hari akan
menjadi kelabu baginya sebelum kemudian akan pecah menjadi badai ketika sang
laut benar-benar menjadi milik bunga nirwana. Malina mengerjabkan matanya yang
terasa panas hingga tak mendengar suara Leia memanggilnya. Gadis berkulit
coklat cemerlang itu tersentak saat Leia menepuk pipinya. Wajahnya terangkat
dan matanya mencari-cari mata Leia.
“Kau
ini kenapa?” Leia bertanya saat pandangan mereka bertemu. Dan segera alisnya
berkerut saat melihat sepasang mata Malina yang memerah. Hati Leia berdesir. Ia
merasa telah melupakan sesuatu. Sesuatu yang sebenarnya ia tahu tapi tertutup
oleh keceriaan dan kedekatan mereka sebagai sahabat melebihi saudara.
“Aku…kupikir
kau akan suka dengan pekerjaan baru kita Leia” jawab Malina berbohong.
Leia
menarik nafas. “Sebenarnya aku sangat ingin….tapi…”
“Apa
kau memikirkan rencana pernikahanmu?” Malina memotong. Ia tak ingin berharap
tapi setidaknya ia ingin tahu bagaimana kemungkinan yang akan dihadapi oleh dua
manusia yang sama-sama penting baginya itu.
Leia
memejamkan matanya sesaat sementara kedua tangannya memukul permukaan ranjang
dengan gemas.
“Aku
sangat suka pada Kai” katanya sambil menatap Malina. “Kau tahu itu kan Malina?.
Kai itu Kakakku dan aku sangat bangga padanya. Tapi untuk menikah dengan
Kai…itu benar-benar tak terbayangkan
bagiku. Aku akan menjadi istrinya, melakukan segala hal untuknya, dan bahkan
mengandung dan melahirkan anaknya…lalu aku juga akan….”.
“Hentikan
Leia!” potong Malina cepat. Tangannya terkepal sementara ia menahan hati yang
terasa di iris. Semua hal yang Leia tak ingin melakukannya untuk Leo Kai adalah
hal-hal yang dalam mimpi terindah untuk dapat di lakukannya bagi putra sang elder
itu. Tapi, siapa yang tahu hal itu? Selain dirinya sendiri dan helai-helai
bunga Lei yang menghias tubuhnya saat menari. “Jangan kau teruskan Leia…aku
sudah tahu” bisik Malina lirih.
“Malina,
ada apa denganmu?” tanya Leia sambil menatap Malina. Hari ini sahabatnya itu
terlihat sangat aneh.
Malina
menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Senyum manisnya yang sangat disukai oleh
Leia masih terkembang.
“Aku
tidak apa-apa Leia” jawabnya sambil bangkit dari atas ranjang. “Baiklah…aku
harus kembali ke rumah Papa Lolo dan memberitahu dia jika kau tidak bisa ikut
denganku untuk festival kali ini”.
“Maafkan
aku Malina…aku benar-benar butuh waktu untuk diriku. Aku sangat bingung saat
ini” kata Leia sambil memperhatikan Malina.
“Kau
harus membayar untuk ini Leia” jawab Malina dengan ekspresi galak, tapi hanya
sedetik karena detik berikutnya tawanya pecah berderai. Tubuhnya membungkuk ke
atas ranjang dan mengecup dahi Leia sekilas. “Tenanglah Leia sayang. Pengasuhmu
ini selalu di pihakmu”.
Lei
mengulurkan tangannya menarik ujung hidung Malina. Sepasang matanya membeliak
dengan ekspresi pura-pura marah.
“Sudah
seharusnya begitu Malina. Kau harus dan harus selalu ada di pihakku” geram
Leia.
“Ya!
Itu harus…atau aku akan mendapat pukulan di pantatku” bisik Malina sambil
menatap Leia. Sejenak keduanya saling berpandangan sebelum kemudian tawa mereka
meledak. Leia bergerak memeluk Malina.
“Semoga
aku terpilih sebagai penari untuk menyambut tamu di Honolulu nanti. Aku
berharap dapat bertemu dengan seorang dewa yang akan mengubah kehidupanku.
Selamanya” bisik Malina di telinga Leia.
“Amin…jika
kehidupanmu berubah maka kehidupanku juga akan berubah” sahut Leia. “Semoga
Tuhan menunjukkan jalan kebahagiaan bagi kita Malina”.
Malina
mengangguk lalu melepaskan diri dan segera berlari ke arah pintu setelah
melambai sekilas pada Leia.
Leia
termenung. Matanya menatap ke arah pintu di mana Malina menghilang.
Terngiang-ngiang ucapan Malina sesaat sebelum sahabatnya itu pergi.
“Dewa?”
bisik Leia pada dirinya sendiri. “Semoga memang ada Dewa yang akan datang dan
membawaku pergi. Ya Tuhan…aku sungguh tak ingin menikah dengan Leo Kai”.
************
Seoul,
Korea Selatan, 2015
Hari
yang sama, pukul 11.00 AM waktu Seoul….
“Karya
inovasi smartphone anda kami tunggu satu minggu lagi. Tak ada peluang untuk
plagiasi. Setiap karya yang kami hargai harus merupakan karya original yang
mendukung kemajuan teknologi informasi di Korea Selatan. Semua pertanyaan
tentang karya inovasi yang harus anda kumpulkan akan di layani oleh asisten
kami, saudara Kim Yoon Lu” suara Profesor Bae terdengar menggema di seluruh
ruang sementara sosoknya mulai beranjak meninggalkan ruang kuliah. Sementara
seorang pemuda berwajah cemerlang melangkah ke arah meja dosen dan merapikan
buku-buku sang Profesor, mematikan LCD dan membereskan beberapa berkas mengajar
Profesor Bae. Kim Yoon Lu, asisten dosen yang dikenal dengan otaknya yang
cemerlang, yang menjadi kebanggaan semua dosen, yang meruntuhkan hati nyaris
seluruh mahasiswi di kampus dengan wajahnya yang seindah sunshine – sang sinar matahari – namun
juga membuat sebanyak-banyaknya hati menjadi patah dengan sikapnya jinak-jinak
merpati. Sang asisten dosen pujaan yang sangat baik, ceria dan penuh senyum
namun memiliki pena yang sangat berat untuk memberi nilai minimal B bagi semua
mahasiswa yang dibimbingnya. Killer Pen adalah julukan yang disematkan pada
asisten pujaan yang membuat banyak hati mahasiswi semakin jatuh cinta dengan
sejuta nilai F yang bertebaran dari pena di jemarinya.
Suara
gaduh segera memenuhi ruang kuliah berkapasitas lima puluh kursi itu. Banyak
dari mahasiswa yang segera beranjak pergi meninggalkan ruang untuk mengejar jam
kuliah berikutnya atau melakukan aktivitas lain.
Satu
sudut ruang masih terlihat ramai oleh beberapa mahasiswa yang bergerombol dan membicarakan
satu topik. Sesekali suara tawa menggema mengesankan kegembiraan. Kim Yoon Lu
beranjak dari meja dosen menuju deretan kursi yang telah kosong agak sedikit di
belakang, membuka notebooknya dan mulai tertunduk menekuni layar. Beberapa
mahasiswa yang berjalan melewatinya maupun masih duduk-duduk di kursi tak jauh
dari posisinya menyempatkan untuk menyapa yang di jawab Yoon dengan senyum,
kata singkat atau sekedar lambaian tangan. Beberapa mahasiswi yang telah
terlanjur bangkit dari kursi mereka menghentikan langkah di depan pintu dan
mulai saling berbisik sambil menatap ke arah sang asisten dosen yang terlihat
sibuk dan sama sekali tak bergeming meski dengan jelas bibir merah ranum para
mahasiswi itu menyebut dan membisikkan namanya di sela tawa manja dan
keceriaan, ataupun justru gerutu cemburu yang terdengar mengalir tanpa berusaha
untuk ditutupi.
Satu
gadis berambut lurus sebahu masih duduk di kursi dan belum segera beranjak
pergi. Sesekali, matanya menoleh ke deretan kursi di belakangnya yang sebagian
besar telah kosong. Hanya tinggal sang asisten dosen yang masih duduk dan
terlihat menulis sesuatu di note-nya.
Pada pemuda itulah, sepasang mata gadis yang masih duduk di kursinya
tersebut tertuju. Beberapa menit yang sangat menggelisahkan baginya – sementara
pemuda yang di lihatnya tak juga mengangkat wajahnya dari apapun yang
membuatnya terpisah dari dunia sekitarnya – hingga akhirnya gadis itu
memutuskan untuk bangkit dari tempat duduknya dan berjalan mendekati pemuda
yang duduk satu baris di belakangnya. Gadis itu terlihat kikuk saat tiba di
sisi pemuda yang masih terus menunduk di atas note-nya.
“Yoon-ah”
gadis itu memanggil pemuda di depannya. Namun, sepertinya pemuda itu tak
mendengar suara panggilan di sisinya. Posisi kepalanya yang menunduk bahkan tak
bergerak sedikitpun.
“Yoon-ah”
panggil gadis itu sekali lagi. Kali ini sedikit lebih keras membuat pemuda itu
mendonngak juga dan terlihat ekspresi terkejut di wajahnya.
“Oh..Min
Jung? Maaf aku tidak mendengar” jawab pemuda yang di panggil Yoon itu. Senyum
manis terurai dari bibirnya. “Ada apa?”.
Shin
Min Jung tersenyum. Matanya menunjuk ke arah note Yoon. “Kau belum selesai?
Masih ada kelas setelah ini?”.
Yoon
mengangguk. “Desain program. Satu jam lagi”.
Min
Jung Shin menganggukkan kepalanya beberapa kali dan terlihat sedikit kikuk
membuat Yoon mengurungkan niatnya kembali ke layar notebook-nya. Pemuda itu
memandang Min Jung dengan alis berkerut.
“Kau
membutuhkan sesuatu?” tanyanya pada gadis yang masih berdiri di sampingnya.
Sejenak Yoon terlihat berpikir dan sedetik kemudian, senyumnya mengembang. Satu
jarinya menunjuk ke arah note Min Jung yang berwarna pink dalam dekapan gadis
itu. “Note-mu bermasalah lagi?”.
Shin
Min Jung menggeleng. “Tidak…notebookku baik-baik saja. Aku hanya ingin menanyakan
jika kau sudah tidak ada kelas lagi….mungkin kau mau makan siang denganku”.
Yoon
tertegun. Ini bukan pertama kalinya Min Jung mengajaknya untuk makan siang dan
ia selalu menolaknya dengan berbagai alasan. Meskipun banyak dari alasan-alasan
itu yang merupakan keadaan yang sebenarnya, bukan karena ia dengan sengaja
mencari-cari sekedar untuk menghindari gadis manis itu. Selama ini, Min Jung
selalu menerimanya dan tak pernah sekalipun gadis itu terlihat kecewa. Hal yang
justru menumbuhkan rasa iba di hati Yoon padanya. Tetapi, seperti yang selalu
terjadi setiap kali Min Jung mengajaknya, Yoon selalu di hadapkan pada pilihan
yang sulit. Kelas desain program adalah salah satu kelas yang sangat di
sukainya namun juga sangat sulit di tembus dengan seorang professor yang jenius
dan perfeksionis. Yoon telah menjadi asisten untuk kelas Desain Program selama
setahun dan selama itu, ia selalu menemukan hal-hal baru. Kelas itu benar-benar
selalu berhasil mencetak programer-programer komputer handal di Korea Selatan
namun juga sangat sulit bagi setiap mahasiswa yang dibimbingnya untuk dapat
keluar dari kelas itu dengan predikat lulus. Yoon berharap untuk semester ini,
mahasiswa yang memenuhi stardar nilai kelulusan bisa lebih banyak, karena hal
itu secara tidak langsung akan memberikan nilai plus bagi dirinya sendiri di
mata sang profesor perfeksionis. Ia telah membuat persiapan selama beberapa
bulan sejak awal semester dan hari ini adalah ujian pertama bagi para mahasiswa
kelas Desain Program di hadapan sang profesor perfeksionis itu. Jadi….
“Maaf…aku
ada kelas programmer dan hari ini jadwal test bersama profesorku. Ujian pertama
bagi semua mahasiswa dan kupikir, mereka akan sedikit kesulitan” ucap Yoon
hati-hati. “Jika kau…”
“Tidak
apa-apa….karena itulah kenapa aku bertanya apakah kau masih ada kelas setelah
ini. Profesor Ryu sangat perfeksionis. Aku sudah mendengarnya. Kau harus benar-benar
berusaha untuk bisa membantu mahasiswa yang kau bimbing agar bisa lolos dengan
nilai bagus dari kelas Profesor Ryu” Min Jung memotong kalimat Yoon membuat
Yoon merasa senang sekaligus tersentuh dengan pengertian gadis itu.
“Terima
kasih Min Jung..kuusahakan lain kali” Yoon menimpali sambil tersenyum.
Kepalanya bergerak mengangguk untuk menguatkan kata-katanya membuat sepasang
mata Min Jung terlihat berbinar.
“Baiklah”
Min Jung mengangguk. Sudut matanya mengerling ke arah pintu kelas lalu kembali
pada Yoon yang telah menutup note-nya dan mulai membereskan alat tulisnya ke
dalam tas ransel. “Aku akan menunggu sampai kau ada waktu…dan sebaiknya aku
pulang karena ada seseorang yang sedang mencarimu Yoon-ah”.
Yoon
mengangkat wajahnya dan mengikuti arah mata Min Jung. Alisnya sedikit berkerut,
namun segera raut tanya menghilang saat ia menemukan apa yang tengah ditatap
oleh Min Jung di ujung pintu kelas. Bibir Yoon tersenyum sementara pandangannya
kembali pada Min Jung.
“Aku
berjanji untuk melihat komputernya saat pulang nanti” ujar Yoon seolah memberi
penjelasan.
Min
Jung mengangguk. Bahunya sedikit terangkat.
“Yah..aku
tahu. Kalian memang pasangan yang serasi” sahut Min Jung sambil tersenyum.
Tangannya merogoh sesuatu di dalam tas ransel pink-nya dan mengeluarkan sebuah
kotak makan lalu mengulurkannya pada Yoon. “Ini. Kemarin aku membeli banyak
cumi segar dan aku memasak nasi hitam untukmu”.
Yoon
menatap kotak makan siang di depan matanya. Bibirnya masih tersenyum meskipun
ada sedikit ekspresi tertegun di matanya. Kotak makan siang dari Min Jung.
Lagi. Entah untuk keberapa kalinya. Apakah pada akhirnya gadis itu merasa wajib
untuk memikirkan makan siangnya?. Wah..gawat kalau seperti itu.
“Terima
kasih” jawab Yoon sambil menerima kotak makan siang yang di ulurkan oleh Min
Jung. Selalu seperti ini. Ia tak pernah tega untuk menolak pemberian Min Jung.
Sekali dua kali tak masalah baginya,
tapi jika selalu terus menerus seperti saat ini, entah mengapa tiba-tiba Yoon
merasa tugas karya inovasi smartphone Profesor Bae untuk para mahasiswa terasa
sangat mudah.
“Yoon-ah!”
suara panggilan seorang lelaki terdengar mendekat dengan cepat.
“Baiklah…aku
harus pulang” ujar Min Jung sambil tersenyum. “Sampai besok Yoon-ah”.
Yoon
mengangguk, satu tangannya melambai. Masih dengan mempertahankan senyumnya
sementara suara langkah sepatu yang berat berdebam bergerak mendekat. Tanpa
menoleh Yoon segera tahu siapa pemilik sepatu yang berat tersebut. Min Jung
terlihat agak gugup dan bergerak menjauh. Seulas senyum terukir di wajah Min
Jung saat bertatapan mata dengan orang yang baru saja datang. Sesosok pemuda
bertubuh super gemuk dengan leher berlipat dan mata jenaka yang selalu ceria.
“Hai
Bok Ssi….” Sapa Min Jung pada lelaki muda di depannya. Lorong deretan kursi
tidak terlalu lebar sehingga saat ia berhadapan dengan sosok yang sangat gemuk
di depannya, Min Jung harus menepikan tubuhnya untuk bisa melewati sosok yang
dipanggilnya dengan nama Bok tersebut.
“Min
Jung-ah, kenapa buru-buru pulang? Apakah aku mengganggu kemesraan kalian?”
seloroh Bok sambil nyengir.
Yoon
menoleh ke belakang saat mendengar ucapan Bok dan sedikit membeliakkan mata,
tanpa sepengetahuan Min Jung yang berdiri membelakanginya. Bok terkekeh melihatnya. Sementara sepasang
pipi Min Jung memerah.
“Ah
tidak. Aku memang sudah mau pulang” jawab Min Jung sambil tersenyum.
“Kenapa
buru-buru? Kita bisa ngobrol bertiga. Pasti lebih asyik kan?” tanya Bok sambil
mengedipkan satu matanya dengan jahil.
“Terima
kasih. Aku harus pulang. Hari ini aku shift awal untuk kerja paruh waktuku”
jawab Min Jung sambil mendekap note-booknya erat-erat di depan dada. Ia selalu
gugup tiap kali berada di depan Bok, mahasiswa jurusan manajemen akuntasi yang
terkenal karena kekayaan keluarganya yang berlimpah. Park Shi Hoon, yang akrab
dipanggil dengan sebutan Bok, adalah putra tunggal salah satu chaebol di Korea
Selatan. Ayah Bok adalah presiden direktur sebuah perusahaan transportasi yang
menguasai seluruh maskapai penerbangan, transportasi darat dan laut di negeri
gingseng. Masih di tambah lima buah kapal pesiar yang memiliki jakur jelajah ke
seluruh dunia. Ibu Bok adalah presiden direktur sebuah rumah sakit besar di
Seoul dan memiliki salon-salon berbintang lima yang menjadi andalan artis-artis
papan atas Korea Selatan. Kampus inipun, konon bisa berdiri karena salah satu
penyumbang dana dan pemberi beasiswa tetap bagi mahasiswa kurang mampu adalah
keluarga Chaebol Park. Kekayaan keluarga Park Hoon hanya bisa disaingi oleh
pemilik Samsung. Dan Min Jung adalah salah satu penerima beasiswa dari ayah
Bok. Bahkan, pekerjaan paruh waktu yang dijalaninya selama setahun belakangan inipun
adalah pekerjaan yang didapatnya di salah satu salon milik ibu Bok di kawasan
elit Cheongdam. Mungkin karena itulah, Min Jung selalu merasa gugup setiap kali
ia berhadapan dengan sang pewaris kerajaan transportasi di Korea Selatan itu.
Bok
mengangguk namun satu alisnya terangkat. “Kau sangat rajin. Aku yakin kau akan
sukses”.
“Terima
kasih Bok Ssi…permisi” Min Jung tersenyum. Lalu nyaris tanpa sadar, tubuhnya
sedikit membungkuk di depan Bok. “Aku pergi dulu”.
“Oke”
sahut Bok tersenyum sambil sedikit merapatkan tubuhnya pada deretan kursi agar
Min Jung bisa lewat kemudian, setelah gadis manis itu berlalu setengah berlari
menuju pintu keluar, Bok mengalihkan matanya pada Yoon yang juga tengah
menatapnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar