Rabu, 18 Februari 2015

Straight - Episode 1 ( Bagian Satu )

Hawai….Tahun 2015
Pukul 06.05 PM waktu Hawai.
“Leia!...Leia!” suara panggilan keras di susul gedoran di pintu depan melenyapkan kedamaian pagi yang sunyi. Seorang gadis bertubuh indah dan seksi berdiri di depan pintu sebuah rumah mungil  yang asri penuh bunga. Gerak tubuh dan kakinya menunjukkan rasa tidak sabar sekaligus semangat yang berkobar-kobar. Rambut ikalnya di ikat tinggi di belakang telinga dalam satu ikatan kuat menggunakan seutas tali yang terbuat dari jalinan bunga rumput. Wajah cantik dalam bingkai tulang rahang yang sedikit bulat serta sepasang mata lebar khas gadis-gadis suku Hawai terlihat segar oleh beberapa butir air yang membasahi wajahnya. Air-air embun dari dedaunan ketika gadis itu berlari menerjang taman di depan rumah.
“Malina?”.
Gadis cantik berkulit coklat itu terkejut saat mendengar suara lembutyang memanggil namanya. Namun segera, tubuhnya membungkuk dengan hormat.
“Nyonya Akela” sapanya dengan nada sopan. “Leia ada?”.
Wanita berumur sekitar empat puluhan tahunyang masih terlihat cantik itu tersenyum. Malina adalah sahabat karib putri tunggalnya. Mereka telah bersama dan sangat akrab sejak kecil dan karena itu, bagi Mrs. Akela, Malina sudah seperti anaknya pula.
“Leia ada…dia masih tidur” jawab nyonya rumah yang cantik dan lembut itu.
Sepasang mata Malina membelalak.
“Masih tidur?!” pekiknya. “Sesiang ini? Dasar pemalas” Malina terlihat gemas. Lalu, setelah memberi hormat sekilas pada Mrs. Akela, gadis enerjik itu itu segera melesat masuk ke dalam rumah, melintasi ruang tamu mungil yang indah dan langsung naik ke lantai dua. Langkahnya yang lincah baru berhenti di depan sebuah pintu kayu berwarna coklat krem. Terdapat boneka puppy kecil berwarna coklat  dengan kaki panjang di dalam sebuah keranjang rotan mungil yag menempel pada daun pintu.
Malina tidak mengetuk tapi ia langsung membuka pintu itu dan menghambur masuk lalu dengan gesit hinggap di atas ranjang berukuran king size. Terdapat sebuah benda besar di bawah selimut. Bantal-bantal dan guling berserakan di seluruh penjuru tempat tidur membuat Malina tahu bahwa benda besar terbungkus selimut di depannya itu pastilah sesuatu yang ia cari. Gadis itu menatap benda besar di bawah selimut sejenak. Kepalanya menggeleng heran sementara bibirnya berdecak. Lalu, tangan kanannya terangkat naik dan dengan sekali ayun tangan Malina yang mungil telah menepuk benda besar di bawah selimut tersebut.
Bukk!...
Suara berdebuk keras terdengar saat tangan Malina menepuk benda besar di bawah selimut.
“Aaa!....Malina!..sakit!” terdengar suara memekik keras di bawah selimut. Tapi, tetap saja benda besar itu terbungkus rapat di baik selimutnya.
“Bangun pemalas!” gerutu Malina sambil berusaha menarik selimut di depannya. “Orang lain sudah berlari sampai ke bulan dan kau masih membungkus dirimu dengan selimut”.
“Aku tidak ingin ke bulan…” suara di bawah selimut kembali terdengar dengan nada malas. “Aku cuma mau tidur”.
“Tidak bisa!” protes Malina sambil kembali menarik selimut, kali ini dengan gerakan menyentak. Dan berhasil. Selimut terenggut lepas, memperlihatkan sesosok tubuh yang meringkuk di bawahnya. Sosok gadis sebaya Malina, dengan kulit putih cemerlang seperti warna mutiara. Sepasang lengan menekuk menutupi wajah dan rambut indah berwarna coklat tua, indah berkilau yang menebar di sekeliling bahu dan punggung. Kedua mata gadis itu masih memejam. Tetapi, meski dalam keadaan tidur yang berantakan, tetap saja dengan sekali lihat Malina dan siapapun akan dapat melihat kecantikan yang nyata. Alami dan unik namun sangat menyokok seperti sekuntum bunga dengan warna yang sangat cerah dan indah. Seolah yang tidur di bawah selimut itu adalah sesosok dewi. Dalam hati Malina selalu tak henti mengakui, bahwa Leia memang benar-benar secantik bidadari. Dan kenyataan itu, seringkali membuatnya merasa iri.
“Dengar Leia!” kata Malina lagi sesaat kemudian setelah melemparkan selimut yang berhasil dirampasnya ke sofa di sisi bawah ranjang. “Aku datang karena ada informasi penting untuk kita”.
“Apa? Kau dapat kenalan baru?” tanya Leia tanpa membuka mata.
“Bukan! Ini bahkan lebih hebat dari itu” seru Malina penuh semangat.
Leia menggeliat. Sepasang matanya sedikit membuka tapi segera menutup kembali karena silau saat cahaya matahari dari sisi jendela membias ke wajahnya.
“Benarkah?” tanya Leia tanpa semangat. Posisi tubuhnya kembali menekuk dan bersiap untuk terlelap lagi tapi dengan sigap tangan kecil Malina menarik bahunya dan membuat Leia telentang di atas tempat tidurnya.
“Dengar!” kata Malina kemudian. “Papa Lolo memberitahuku bahwa sebentar lagi festival tahunan akan datang”.
Leia mendesah. Itu berita biasa. “Aku sudah tahu”.
“Untuk tahun ini, ada yang berbeda dengan acara festivalnya” lanjut Malina tak mempedulikan ucapan Leia.
Leia menggeliat, berusaha melepaskan bahunya dari tangan sahabatnya namun tidak berhasil karena Malina segera menekan bahu Leia lebih kuat.
“Tahun ini, Elder membuat acara lomba memasak. Siapapun boleh ikut dalam lomba memasak itu dan hadiah yang disediakan oleh Elder Agung sangat besar. Menurut Papa Lolo, undangan untuk mengikuti lomba itu bahkan sudah disebarkan melalui internet. Jadi akan banyak peserta dari luar negeri yang datang ke kota kita untuk mengikuti lomba itu”.
Leia mengangguk. Ia tahu sejak tadi malam. Elder agung yang mengadakan acara lomba memasak itu itu adalah keturunan dari Kamehameha Yang Agung. Meskipun di saat sekarang Kepulauan Hawai bukan lagi berbentuk kerajaan dan merupakan negara bagian termuda Uni Amerika Serikat, Namun secara spiritual keberadaan keturunan Sang Kamehameha Yang Agung masih merupakan kalangan yang sangat dihormati di Kepulauan Hawai terutama oleh suku Polynesia yang merupakan penduduk asli Kepulauan Hawai sejak ratusan yang lalu. Di masa sekarang, keberadaan elder tidak lagi memiliki kekuasaan yang mutlak seperti di masa lampau. Namun, dalam kehidupan masyarakat, pengaruh seorang elder tetap saja sangat kuat karena seorang elder sudah pasti memiliki hubungan khusus dengan Gubernur Hawai. Bisa dikatakan bahwa elder adalah pemimpin masyarakat di Hawai secara implisit. Di Kepulauan Hawai saat ini terdapat tiga orang elder yang memimpin. Ketiganya memiliki garis keturunan dengan dinasti Kamehameha Yang Agung. Elder pertama bernama Kalani atau biasa dipanggil Elder Agung yang sangat berkuasa dan merupakan keturunan langsung dari Kamehameha Yang Agung. Elder kedua bernama Kana yang merupakan adik Elder pertama dari garis satu ayah dan satu ibu. Elder ketiga bernama Kaili, masih merupakan kerabat dari elder pertama dan kedua karena ayah dari Elder Kaili adalah adik dari ayah Elder Kalani dan Elder Kana.
Dan Elder Kaili adalah ayah Leia.
Ketiga elder yang memimpin masyarakat sekarang ini memiliki hubungan persahabatan yang sangat kuat selain ikatan batin keluarga di antara mereka.
Dan tadi malam, Elder Kalani telah datang ke rumah untuk membicarakan beberapa hal. Salah satunya tentang acara festival tahunan.
“Papa Lolo bilang, untuk acara festival tahunan kali ini dibutuhkan banyak penari untuk menyambut para tamu yang akan datang. Aku telah mendaftar tadi pagi-pagi sekali dan aku juga telah mendaftarkan dirimu. Kita akan mengikuti latihan di rumah Papa Lolo mulai siang ini” Malina menjelaskan dengan panjang lebar.
“Apa?!” Leia terkejut dan bangun dari tidurnya. Gadis itu duduk di depan Malina dengan sepasang mata membelalak. “Kau mendaftarkan aku?...Ya..Malina…kenapa kau tidak bertanya dulu padaku?”.
Malina menatap Leia dengan alis berkerut heran melihat ekspresi Leia yang berbeda. “Kenapa aku harus bertanya? Bukankah kau selalu senang setiap kita mendapat job baru untuk menari? Dan kali ini bukan job biasa Leia. Ini sangat istimewa karena kita akan diikutkan dalam seleksi untuk menyambut para tamu peserta lomba memasak di bandara internasional Honolulu. Elder Agung memerintahkan agar penari-penari yang menyambut di Honolulu nantinya adalah penari-penari pilihan terbaik. Ini kesempatan emas untuk kita Leia”.
Leia tertunduk lesu. Lalu kepalanya menggeleng.
“Aku tidak bisa ikut untuk kali ini Malani. Walaupun itu adalah kesempatan yang sangat baik”.
“Kenapa tidak Leia?” tanya Malani heran. Jemarinya menggenggam tangan Leia. “Apa ini tentang Kai?”.
Leia mengangguk membuat Malani terlihat tidak sabar.
“Apakah Kai melarangmu lagi?” Malani mengejar. “Kai tak seharusnya membatasi ruang gerakmu seperti ini”.
Untuk kali ini Leia menggeleng. “Kai tidak melarangku Malani. Tapi dia…”.
“Dia kenapa Leia?” Malani semakin tak sabar.
“Dia….melamarku” jawab Leia nyaris berbisik.
“Apa?” Malani terpana. Jemarinya yang menggenggam tangan Leia terlepas begitu saja. Kai melamar Leia? Bagaimana mungkin? Kai…putra tertua Elder Agung akan menikah dengan Leia?.
“Kau tidak boleh menikah dengannya!” sentak Malani tiba-tiba membuat Leia kaget dan mendongak untuk menatap wajah sahabatnya.
Leia kaget dan mendongak untuk menatap wajah sahabatnya.
“Malani?....apa maksudmu? Kenapa kau membentakku?” tanya Leia.
Mendadak Malani merasa gugup. “Maafkan aku Leia…aku…aku tidak bermaksud membentakmu. Aku hanya….kupikir hal itu tidak akan baik untukmu dan…dan Kai. Kau tidak mencintainya kan?”.
Leia menggeleng dengan sedih. “Entahlah…aku belum pernah jatuh cinta Malani. Aku tidak tahu bagaimana rasanya jatuh cinta. Selama ini Kai sangat baik padaku dan kupikir ia adalah saudaraku…kakakku. Karena Elder Agung adalah kakak sepupu dari ayahku”.
“Apa kau menerima untuk menikah dengan Kai?” Malani berbisik.
“Aku tidak bisa membayangkannya Malani” jawab Leia. Kerut halus di keningnya menunjukkan hatinya yang bingung.
“Apa kau sudah menjawabnya?” tanya Malani lagi.
Leia menggeleng. Satu kali lagi. “Aku tidak punya hak untuk menjawab Malani. Tadi malam Elder Agung datang dan bicara dengan ayahku. Lalu, setelah itu mereka memanggilku dan mengatakan bahwa aku akan menikah dengan Kai”.
“Jadi, kau bahkan tidak tahu sebelumnya dengan rencana itu?”.
Leia mengangguk.
Malani tertunduk. Leo Kai adalah putra pertama Elder Agung dan merupakan calon penerus jika nantinya Elder Agung telah mundur. Bisa di katakan bahwa Leo Kai adalah pemuda nomor satu di Hawai. Setelah dua puluh tahun, Leo Kai benar-benar menjelma menjadi lelaki muda yang luar biasa. Dan tentu saja, sangat tampan. Ia melihat sendiri perubahan diri sang putra Elder Agung itu karena orangtua Malani bekerja sebagai pembantu di rumah Elder Agung.
Dan perubahan sosok Leo Kai dari seorang anak lelaki usil yang sering menggoda Leia hingga menangis menjadi sosok lelaki yang dipuja oleh semua gadis-gadis di Hawai telah menyeret perubahan hati seorang Malina dari perasaan seorang pengasuh menjadi perasaan utuh seorang wanita.
Tapi tak ada satupun yang tahu hal itu. Dan perubahan perasaan Malina yang utuh itu menjadi rahasia yang tersimpan bersama gerak gemulai tubuhnya saat menari hula-hula. Malina berharap akan dapat menyimpan perubahan hatinya untuk Leo Kai selamanya. Karena ia sadar pada kemustahilan yang menghadang di depannya. Ia hanya anak seorang pembantu dan sejak kecil ia sendiri telah menjadi pengasuh bagi anak-anak Elder Agung termasuk Leo Kai. Tak  ada tempat baginya selain tempat seorang pengasuh terutama di mata Leo Kai. Ia telah melihatnya sendiri. Betapapun ia selalu berusaha untuk menempatkan diri di depan putra sang elder,tetap saja ia tak pernah terlihat lebih dari seorang pengasuh.
Karena mata sang putra Elder Agung hanya tertuju pada satu wajah. Wajah Leia, sang bunga surga yang bahkan tak pernah tahu bahwa ia telah memenangkan hati yang diperebutkan oleh semua gadis-gadis di Pulau Hawai. Patah hati yang terpendam jauh di dasar hati, serta setitik harapan yang kabur yang tersisa saat Malina tahu bahwa sang bunga surga yang tercantik itu tidak memiliki cinta pada Leo Kai.
Tapi kini, bahkan setitik harapan kabur itupun pada akhirnya benar-benar pudar setelah apa yang didengarnya beberapa saat lalu dari mulut Leia sendiri. Leo Kai telah melamar bunga terindah di Kepulauan Hawai itu melalui Sang Elder Agung. Dan Leia sama sekali tak memiliki hak untuk bicara. Segalanya telah diputuskan dan tak bisa ditarik lagi.
Tiba-tiba, Malina merasa pekerjaan baru yang diterimanya dari Papa Lolo untuk acara festival tahunan kali ini menjadi sangat tidak menarik. Seluruh hari akan menjadi kelabu baginya sebelum kemudian akan pecah menjadi badai ketika sang laut benar-benar menjadi milik bunga nirwana. Malina mengerjabkan matanya yang terasa panas hingga tak mendengar suara Leia memanggilnya. Gadis berkulit coklat cemerlang itu tersentak saat Leia menepuk pipinya. Wajahnya terangkat dan matanya mencari-cari mata Leia.
“Kau ini kenapa?” Leia bertanya saat pandangan mereka bertemu. Dan segera alisnya berkerut saat melihat sepasang mata Malina yang memerah. Hati Leia berdesir. Ia merasa telah melupakan sesuatu. Sesuatu yang sebenarnya ia tahu tapi tertutup oleh keceriaan dan kedekatan mereka sebagai sahabat melebihi saudara.
“Aku…kupikir kau akan suka dengan pekerjaan baru kita Leia” jawab Malina berbohong.
Leia menarik nafas. “Sebenarnya aku sangat ingin….tapi…”
“Apa kau memikirkan rencana pernikahanmu?” Malina memotong. Ia tak ingin berharap tapi setidaknya ia ingin tahu bagaimana kemungkinan yang akan dihadapi oleh dua manusia yang sama-sama penting baginya itu.
Leia memejamkan matanya sesaat sementara kedua tangannya memukul permukaan ranjang dengan gemas.
“Aku sangat suka pada Kai” katanya sambil menatap Malina. “Kau tahu itu kan Malina?. Kai itu Kakakku dan aku sangat bangga padanya. Tapi untuk menikah dengan Kai…itu benar-benar  tak terbayangkan bagiku. Aku akan menjadi istrinya, melakukan segala hal untuknya, dan bahkan mengandung dan melahirkan anaknya…lalu aku juga akan….”.
“Hentikan Leia!” potong Malina cepat. Tangannya terkepal sementara ia menahan hati yang terasa di iris. Semua hal yang Leia tak ingin melakukannya untuk Leo Kai adalah hal-hal yang dalam mimpi terindah untuk dapat di lakukannya bagi putra sang elder itu. Tapi, siapa yang tahu hal itu? Selain dirinya sendiri dan helai-helai bunga Lei yang menghias tubuhnya saat menari. “Jangan kau teruskan Leia…aku sudah tahu” bisik Malina lirih.
“Malina, ada apa denganmu?” tanya Leia sambil menatap Malina. Hari ini sahabatnya itu terlihat sangat aneh.
Malina menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Senyum manisnya yang sangat disukai oleh Leia masih terkembang.
“Aku tidak apa-apa Leia” jawabnya sambil bangkit dari atas ranjang. “Baiklah…aku harus kembali ke rumah Papa Lolo dan memberitahu dia jika kau tidak bisa ikut denganku untuk festival kali ini”.
“Maafkan aku Malina…aku benar-benar butuh waktu untuk diriku. Aku sangat bingung saat ini” kata Leia sambil memperhatikan Malina.
“Kau harus membayar untuk ini Leia” jawab Malina dengan ekspresi galak, tapi hanya sedetik karena detik berikutnya tawanya pecah berderai. Tubuhnya membungkuk ke atas ranjang dan mengecup dahi Leia sekilas. “Tenanglah Leia sayang. Pengasuhmu ini selalu di pihakmu”.
Lei mengulurkan tangannya menarik ujung hidung Malina. Sepasang matanya membeliak dengan ekspresi pura-pura marah.
“Sudah seharusnya begitu Malina. Kau harus dan harus selalu ada di pihakku” geram Leia.
“Ya! Itu harus…atau aku akan mendapat pukulan di pantatku” bisik Malina sambil menatap Leia. Sejenak keduanya saling berpandangan sebelum kemudian tawa mereka meledak. Leia bergerak memeluk Malina.
“Semoga aku terpilih sebagai penari untuk menyambut tamu di Honolulu nanti. Aku berharap dapat bertemu dengan seorang dewa yang akan mengubah kehidupanku. Selamanya” bisik Malina di telinga Leia.
“Amin…jika kehidupanmu berubah maka kehidupanku juga akan berubah” sahut Leia. “Semoga Tuhan menunjukkan jalan kebahagiaan bagi kita Malina”.
Malina mengangguk lalu melepaskan diri dan segera berlari ke arah pintu setelah melambai sekilas pada Leia.
Leia termenung. Matanya menatap ke arah pintu di mana Malina menghilang. Terngiang-ngiang ucapan Malina sesaat sebelum sahabatnya itu pergi.  
“Dewa?” bisik Leia pada dirinya sendiri. “Semoga memang ada Dewa yang akan datang dan membawaku pergi. Ya Tuhan…aku sungguh tak ingin menikah dengan Leo Kai”.

************

Seoul, Korea Selatan, 2015
Hari yang sama, pukul 11.00 AM waktu Seoul….
“Karya inovasi smartphone anda kami tunggu satu minggu lagi. Tak ada peluang untuk plagiasi. Setiap karya yang kami hargai harus merupakan karya original yang mendukung kemajuan teknologi informasi di Korea Selatan. Semua pertanyaan tentang karya inovasi yang harus anda kumpulkan akan di layani oleh asisten kami, saudara Kim Yoon Lu” suara Profesor Bae terdengar menggema di seluruh ruang sementara sosoknya mulai beranjak meninggalkan ruang kuliah. Sementara seorang pemuda berwajah cemerlang melangkah ke arah meja dosen dan merapikan buku-buku sang Profesor, mematikan LCD dan membereskan beberapa berkas mengajar Profesor Bae. Kim Yoon Lu, asisten dosen yang dikenal dengan otaknya yang cemerlang, yang menjadi kebanggaan semua dosen, yang meruntuhkan hati nyaris seluruh mahasiswi di kampus dengan wajahnya yang  seindah sunshine – sang sinar matahari – namun juga membuat sebanyak-banyaknya hati menjadi patah dengan sikapnya jinak-jinak merpati. Sang asisten dosen pujaan yang sangat baik, ceria dan penuh senyum namun memiliki pena yang sangat berat untuk memberi nilai minimal B bagi semua mahasiswa yang dibimbingnya. Killer Pen adalah julukan yang disematkan pada asisten pujaan yang membuat banyak hati mahasiswi semakin jatuh cinta dengan sejuta nilai F yang bertebaran dari pena di jemarinya.
Suara gaduh segera memenuhi ruang kuliah berkapasitas lima puluh kursi itu. Banyak dari mahasiswa yang segera beranjak pergi meninggalkan ruang untuk mengejar jam kuliah berikutnya atau melakukan aktivitas lain.
Satu sudut ruang masih terlihat ramai oleh beberapa mahasiswa yang bergerombol dan membicarakan satu topik. Sesekali suara tawa menggema mengesankan kegembiraan. Kim Yoon Lu beranjak dari meja dosen menuju deretan kursi yang telah kosong agak sedikit di belakang, membuka notebooknya dan mulai tertunduk menekuni layar. Beberapa mahasiswa yang berjalan melewatinya maupun masih duduk-duduk di kursi tak jauh dari posisinya menyempatkan untuk menyapa yang di jawab Yoon dengan senyum, kata singkat atau sekedar lambaian tangan. Beberapa mahasiswi yang telah terlanjur bangkit dari kursi mereka menghentikan langkah di depan pintu dan mulai saling berbisik sambil menatap ke arah sang asisten dosen yang terlihat sibuk dan sama sekali tak bergeming meski dengan jelas bibir merah ranum para mahasiswi itu menyebut dan membisikkan namanya di sela tawa manja dan keceriaan, ataupun justru gerutu cemburu yang terdengar mengalir tanpa berusaha untuk ditutupi.
Satu gadis berambut lurus sebahu masih duduk di kursi dan belum segera beranjak pergi. Sesekali, matanya menoleh ke deretan kursi di belakangnya yang sebagian besar telah kosong. Hanya tinggal sang asisten dosen yang masih duduk dan terlihat menulis sesuatu di note-nya.  Pada pemuda itulah, sepasang mata gadis yang masih duduk di kursinya tersebut tertuju. Beberapa menit yang sangat menggelisahkan baginya – sementara pemuda yang di lihatnya tak juga mengangkat wajahnya dari apapun yang membuatnya terpisah dari dunia sekitarnya – hingga akhirnya gadis itu memutuskan untuk bangkit dari tempat duduknya dan berjalan mendekati pemuda yang duduk satu baris di belakangnya. Gadis itu terlihat kikuk saat tiba di sisi pemuda yang masih terus menunduk di atas note-nya.
“Yoon-ah” gadis itu memanggil pemuda di depannya. Namun, sepertinya pemuda itu tak mendengar suara panggilan di sisinya. Posisi kepalanya yang menunduk bahkan tak bergerak sedikitpun.
“Yoon-ah” panggil gadis itu sekali lagi. Kali ini sedikit lebih keras membuat pemuda itu mendonngak juga dan terlihat ekspresi terkejut di wajahnya.
“Oh..Min Jung? Maaf aku tidak mendengar” jawab pemuda yang di panggil Yoon itu. Senyum manis terurai dari bibirnya. “Ada apa?”.
Shin Min Jung tersenyum. Matanya menunjuk ke arah note Yoon. “Kau belum selesai? Masih ada kelas setelah ini?”.
Yoon mengangguk. “Desain program. Satu jam lagi”.
Min Jung Shin menganggukkan kepalanya beberapa kali dan terlihat sedikit kikuk membuat Yoon mengurungkan niatnya kembali ke layar notebook-nya. Pemuda itu memandang Min Jung dengan alis berkerut.
“Kau membutuhkan sesuatu?” tanyanya pada gadis yang masih berdiri di sampingnya. Sejenak Yoon terlihat berpikir dan sedetik kemudian, senyumnya mengembang. Satu jarinya menunjuk ke arah note Min Jung yang berwarna pink dalam dekapan gadis itu. “Note-mu bermasalah lagi?”.
Shin Min Jung menggeleng. “Tidak…notebookku baik-baik saja. Aku hanya ingin menanyakan jika kau sudah tidak ada kelas lagi….mungkin kau mau makan siang denganku”.
Yoon tertegun. Ini bukan pertama kalinya Min Jung mengajaknya untuk makan siang dan ia selalu menolaknya dengan berbagai alasan. Meskipun banyak dari alasan-alasan itu yang merupakan keadaan yang sebenarnya, bukan karena ia dengan sengaja mencari-cari sekedar untuk menghindari gadis manis itu. Selama ini, Min Jung selalu menerimanya dan tak pernah sekalipun gadis itu terlihat kecewa. Hal yang justru menumbuhkan rasa iba di hati Yoon padanya. Tetapi, seperti yang selalu terjadi setiap kali Min Jung mengajaknya, Yoon selalu di hadapkan pada pilihan yang sulit. Kelas desain program adalah salah satu kelas yang sangat di sukainya namun juga sangat sulit di tembus dengan seorang professor yang jenius dan perfeksionis. Yoon telah menjadi asisten untuk kelas Desain Program selama setahun dan selama itu, ia selalu menemukan hal-hal baru. Kelas itu benar-benar selalu berhasil mencetak programer-programer komputer handal di Korea Selatan namun juga sangat sulit bagi setiap mahasiswa yang dibimbingnya untuk dapat keluar dari kelas itu dengan predikat lulus. Yoon berharap untuk semester ini, mahasiswa yang memenuhi stardar nilai kelulusan bisa lebih banyak, karena hal itu secara tidak langsung akan memberikan nilai plus bagi dirinya sendiri di mata sang profesor perfeksionis. Ia telah membuat persiapan selama beberapa bulan sejak awal semester dan hari ini adalah ujian pertama bagi para mahasiswa kelas Desain Program di hadapan sang profesor perfeksionis itu. Jadi….
“Maaf…aku ada kelas programmer dan hari ini jadwal test bersama profesorku. Ujian pertama bagi semua mahasiswa dan kupikir, mereka akan sedikit kesulitan” ucap Yoon hati-hati. “Jika kau…”
“Tidak apa-apa….karena itulah kenapa aku bertanya apakah kau masih ada kelas setelah ini. Profesor Ryu sangat perfeksionis. Aku sudah mendengarnya. Kau harus benar-benar berusaha untuk bisa membantu mahasiswa yang kau bimbing agar bisa lolos dengan nilai bagus dari kelas Profesor Ryu” Min Jung memotong kalimat Yoon membuat Yoon merasa senang sekaligus tersentuh dengan pengertian gadis itu.
“Terima kasih Min Jung..kuusahakan lain kali” Yoon menimpali sambil tersenyum. Kepalanya bergerak mengangguk untuk menguatkan kata-katanya membuat sepasang mata Min Jung terlihat berbinar.
“Baiklah” Min Jung mengangguk. Sudut matanya mengerling ke arah pintu kelas lalu kembali pada Yoon yang telah menutup note-nya dan mulai membereskan alat tulisnya ke dalam tas ransel. “Aku akan menunggu sampai kau ada waktu…dan sebaiknya aku pulang karena ada seseorang yang sedang mencarimu Yoon-ah”.
Yoon mengangkat wajahnya dan mengikuti arah mata Min Jung. Alisnya sedikit berkerut, namun segera raut tanya menghilang saat ia menemukan apa yang tengah ditatap oleh Min Jung di ujung pintu kelas. Bibir Yoon tersenyum sementara pandangannya kembali pada Min Jung.
“Aku berjanji untuk melihat komputernya saat pulang nanti” ujar Yoon seolah memberi penjelasan.
Min Jung mengangguk. Bahunya sedikit terangkat.
“Yah..aku tahu. Kalian memang pasangan yang serasi” sahut Min Jung sambil tersenyum. Tangannya merogoh sesuatu di dalam tas ransel pink-nya dan mengeluarkan sebuah kotak makan lalu mengulurkannya pada Yoon. “Ini. Kemarin aku membeli banyak cumi segar dan aku memasak nasi hitam untukmu”.
Yoon menatap kotak makan siang di depan matanya. Bibirnya masih tersenyum meskipun ada sedikit ekspresi tertegun di matanya. Kotak makan siang dari Min Jung. Lagi. Entah untuk keberapa kalinya. Apakah pada akhirnya gadis itu merasa wajib untuk memikirkan makan siangnya?. Wah..gawat kalau seperti itu.
“Terima kasih” jawab Yoon sambil menerima kotak makan siang yang di ulurkan oleh Min Jung. Selalu seperti ini. Ia tak pernah tega untuk menolak pemberian Min Jung. Sekali dua kali tak masalah  baginya, tapi jika selalu terus menerus seperti saat ini, entah mengapa tiba-tiba Yoon merasa tugas karya inovasi smartphone Profesor Bae untuk para mahasiswa terasa sangat mudah.
“Yoon-ah!” suara panggilan seorang lelaki terdengar mendekat dengan cepat.
“Baiklah…aku harus pulang” ujar Min Jung sambil tersenyum. “Sampai besok Yoon-ah”.
Yoon mengangguk, satu tangannya melambai. Masih dengan mempertahankan senyumnya sementara suara langkah sepatu yang berat berdebam bergerak mendekat. Tanpa menoleh Yoon segera tahu siapa pemilik sepatu yang berat tersebut. Min Jung terlihat agak gugup dan bergerak menjauh. Seulas senyum terukir di wajah Min Jung saat bertatapan mata dengan orang yang baru saja datang. Sesosok pemuda bertubuh super gemuk dengan leher berlipat dan mata jenaka yang selalu ceria.
“Hai Bok Ssi….” Sapa Min Jung pada lelaki muda di depannya. Lorong deretan kursi tidak terlalu lebar sehingga saat ia berhadapan dengan sosok yang sangat gemuk di depannya, Min Jung harus menepikan tubuhnya untuk bisa melewati sosok yang dipanggilnya dengan nama Bok tersebut.
“Min Jung-ah, kenapa buru-buru pulang? Apakah aku mengganggu kemesraan kalian?” seloroh Bok sambil nyengir.
Yoon menoleh ke belakang saat mendengar ucapan Bok dan sedikit membeliakkan mata, tanpa sepengetahuan Min Jung yang berdiri membelakanginya.  Bok terkekeh melihatnya. Sementara sepasang pipi Min Jung memerah.
“Ah tidak. Aku memang sudah mau pulang” jawab Min Jung sambil tersenyum.
“Kenapa buru-buru? Kita bisa ngobrol bertiga. Pasti lebih asyik kan?” tanya Bok sambil mengedipkan satu matanya dengan jahil.
“Terima kasih. Aku harus pulang. Hari ini aku shift awal untuk kerja paruh waktuku” jawab Min Jung sambil mendekap note-booknya erat-erat di depan dada. Ia selalu gugup tiap kali berada di depan Bok, mahasiswa jurusan manajemen akuntasi yang terkenal karena kekayaan keluarganya yang berlimpah. Park Shi Hoon, yang akrab dipanggil dengan sebutan Bok, adalah putra tunggal salah satu chaebol di Korea Selatan. Ayah Bok adalah presiden direktur sebuah perusahaan transportasi yang menguasai seluruh maskapai penerbangan, transportasi darat dan laut di negeri gingseng. Masih di tambah lima buah kapal pesiar yang memiliki jakur jelajah ke seluruh dunia. Ibu Bok adalah presiden direktur sebuah rumah sakit besar di Seoul dan memiliki salon-salon berbintang lima yang menjadi andalan artis-artis papan atas Korea Selatan. Kampus inipun, konon bisa berdiri karena salah satu penyumbang dana dan pemberi beasiswa tetap bagi mahasiswa kurang mampu adalah keluarga Chaebol Park. Kekayaan keluarga Park Hoon hanya bisa disaingi oleh pemilik Samsung. Dan Min Jung adalah salah satu penerima beasiswa dari ayah Bok. Bahkan, pekerjaan paruh waktu yang dijalaninya selama setahun belakangan inipun adalah pekerjaan yang didapatnya di salah satu salon milik ibu Bok di kawasan elit Cheongdam. Mungkin karena itulah, Min Jung selalu merasa gugup setiap kali ia berhadapan dengan sang pewaris kerajaan transportasi di Korea Selatan itu.
Bok mengangguk namun satu alisnya terangkat. “Kau sangat rajin. Aku yakin kau akan sukses”.
“Terima kasih Bok Ssi…permisi” Min Jung tersenyum. Lalu nyaris tanpa sadar, tubuhnya sedikit membungkuk di depan Bok. “Aku pergi dulu”.
“Oke” sahut Bok tersenyum sambil sedikit merapatkan tubuhnya pada deretan kursi agar Min Jung bisa lewat kemudian, setelah gadis manis itu berlalu setengah berlari menuju pintu keluar, Bok mengalihkan matanya pada Yoon yang juga tengah menatapnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar