Sementara
itu di dalam penjara wilayah….
“Apakah
putramu sudah pulang Kim Dae Ssi?” seorang lelaki bertubuh gemuk bergerak dan
duduk di sebelah Mr. Kim Dae yang baru saja masuk kembali ke dalam ruang sel
dan terlihat terpekur.
Mr.
Kim Dae mengangkat wajahnya dan menarik nafas dalam-dalam. Lalu perlahan
mengangguk.
“Lalu?”
lelaki gemuk yang kini duduk tepat di sisi Mr. Kim Dae kembali bertanya.
Wajahnya bulat berminyak namun ia memiliki garis bibir yang melengkung manis
seolah mulut lelaki gemuk itu dicetak untuk membentuk sebuah senyuman meski si
pemilik bibir sedang dalam keadaan marah.
“Aku
mengenal putramu. Dan kukira, ia adalah pemuda yang baik. Sangat ceria
dan…kudengar prestasinya di kampus sangat cemerlang. Bukankah seharusnya kau
bangga dengan putra seperti Kim Yoon?” sambungnya saat Mr. Kim Dae tak menjawab
pertanyaannya.
“Kau
mengenal Yoon-ah, Chang An Ssi?” tanya Mr. Kim Dae sambil menatap lelaki gemuk
di sisinya.
Lelaki
gemuk yang dipanggil Chang An itu mengangguk. Bibirnya tersenyum oleh senyum permanen
yang memang sudah tercetak mati di wajahnya.
“Yah,
tentu saja aku mengenalnya. Setiap hari aku mendengar nama putramu dari mulut Ya
Ya” jawab Mr. Chang An.
“Ya
Ya?” kening Mr. Kim Dae berkerut.
“Adikku.
Dia kuliah di tempat yang sama dengan putramu. Sudah dua kali ia tidak lulus
kelas desain program tapi anehnya, tak sedikitpun rasa sedih di hatinya. Aku
benar-benar tak mengerti. Katanya, meskipun ia harus selamanya mendekam di
kelas desain program, ia akan sangat bahagia selama putramu masih menjadi
asisten dari Profesornya. Aku bahkan mendengar Ya Ya menyebut nama Kim Yoon
dalam tidur” sahut Mr. Chang An sambil tertawa pelan.
Mr.
Kim Dae melongo sesaat lalu sudut bibirnya kembali mengurai senyum.
“Maafkan
aku” kata Mr. Chang An sambil menyodokkan sikunya ke tubuh Mr. Kim Dae pelan.
“Kulihat, putramu itu memiliki….wajah yang sangat tampan. Jauh melebihi dirimu.
Dan, harus kuakui, senyumnya…sangat mematikan. Tapi, dia tidak terlalu mirip
dirimu. Tentu saja, aku melihat bagian darimu dalam dirinya, tapi
selebihnya….”.
“Dia
seperti ibunya. Seluruhnya seperti ibunya. Jika ada bagianku dalam dirinya, itu
sangat sedikit. Aku tahu itu. Bukan hanya dalam penampilan saja, melainkan juga
dengan kemampuannya, kecerdasannya…dan keinginan untuk mencipta dalam dirinya”
jawab Mr. Kim Dae. Wajahnya menengadah dengan pandangan menerawang.
“Jadi…kenapa
kau menolak makanan yang dibawanya?” tanya Mr. Chang An. “Apakah makanan yang
dimasaknya benar-benar tidak enak?”.
“Bagaimana
kau tahu?” tanya Mr. Kim Dae sambil melirik lelaki gemuk di sampingnya.
“Aku
mau ke kamar mandi dan aku sempat mendengar kalian. Sedikit. Aku melihat
wajahnya. Dia terlihat sangat sedih. Kupikir, seharusnya kau tak melakukan hal
itu” jawab Mr. Chang An sambil menatap Mr. Kim Dae.
Mr.
Kim Dae menghela nafas. “Akan lebih baik jika ia sedih sekarang daripada jika
ia meneruskan apa yang dilakukannya, kemudian suatu hari, ia akan melakukan
kesalahan fatal dan ia tak bisa memaafkan dirinya sendiri. Aku tidak bisa
melihatnya hancur seperti ibunya. Yoon-ah….ia sangat penting untukku.
Melihatnya membuatku seperti melihat ibunya”.
“Maksudmu?
Apa maksudmu Dae Ssi?” kening Mr. Chang An berkerut dalam. “Apa makanan yang
dibuatnya tidak enak? Dan….kehancuran apa? Kehancuran yang bagaimana?”.
“An
Ssi…makanan yang dibuatnya, itu sangat enak. Lebih dari yang bisa kulakukan.
Tapi, memasak makanan bukan tentang enak atau tidak enak. Namun lebih dari itu.
Yoon-ah tidak bisa melangkah jika kedua matanya buta” jawab Mr. Kim Dae nyaris
berbisik.
Mr.
Chang An mendengarkan setiap kata-kata yang meluncur dari mulut Mr. Kim Dae
dengan seksama, namun kemudian kepalanya menggeleng dengan pusing. Sekilas ia
melirik ke arah jam dinding di tembok ruang penjaga penjara. Pukul 09.45 AM
waktu Seoul.
“Ah..ternyata
masih pagi tapi aku sudah mendapat pelajaran yang sangat sulit darimu Dae Ssi. Aku
tidak mengerti apa yang kau maksud. Selama lima belas tahun aku selalu berusaha
meramu minuman yang paling enak untuk setiap pelanggan bar milikku. Dan
kupikir, hal terbaik adalah membuat minuman yang enak” ujar Mr. Chang An.
Mr.
Kim Dae diam. Sepasang matanya masih jauh menembus batas atap penjara. Tirai
jernih terlihat menyelimuti kedua matanya. Berkilau terang, campuran antara
haru, cemas dan rasa bahagia.
Sementara
benaknya melayang lepas dari kurungan dinding dan atap penjara wilayah,
mengembara dan menangkap sosok sang putra kedua yang tengah mengayuh sepedanya
dengan sedih. Lalu, memeluknya….
Dalam
luapan rasa bangga seorang ayah pada putranya….
**********
“Jangan!..kembalikan!...pergi
kalian! Kembalikan!” jerit sebuah suara menyadarkan Yoon dari lamunan
membuatnya seketika menghentikan sepedanya. Sejak kapan ia sampai di samping
tokonya?.
Mata
Yoon terbelalak saat menatap ke depan dan melihat Seon yang tengah berusaha
merebut kembali toples berisi uang yang tadi malam telah dihitungnya dan akan
digunakan untuk menyicil hutang di bank hari ini. Empat lelaki terlihat tertawa
tergelak-gelak. Meja dan kursi telah berhamburan dalam posisi jungkir balik.
Makanan bertebaran di lantai, bercampur dengan pecahan mangkuk, gelas dan
piring. Darah Yoon seketika mendidih saat melihat dua lelaki mendekati Seon
dengan mulut penuh makanan dan suara tawa terkekeh. Seon mengayunkan sebatang
sapu ke arah dua lelaki yang berjalan mendekatinya, yang sedikitpun tak
menghiraukan ancamannya. Yoon melemparkan sepedanya ke pinggir jalan dan segera
berlari ke arah adiknya. Suara toples berisi uang yang pecah terdengar berderak
keras saat lelaki yang berhasil merebutnya membanting toples kaca itu ke lantai
depan toko.
“Seon!...Siapa
kalian?!” teriak Yoon keras membuat empat lelaki yang mengelilingi Seon
terkejut dan berpaling menatap pemuda yang baru saja datang.
Sejenak,
keempat lelaki itu terpana, namun, tawa keras kembali membahana sementara Seon
segera berlari ke arah kakaknya.
“Oppa!...Oppa!...mereka,
mereka mengambil uangnya. Mereka menghancurkan semuanya” adu Seon dengan tangis
meledak. Satu tangannya memegang lengan kakaknya yang telah diguncang
kemarahan.
“Ya!...kalian
maling tidak tahu diri! Mengambil uang dan menghancurkan tempat kami!
Kembalikan uang itu!” teriak Yoon keras.
Keempat
lelaki bertubuh kekar dengan hiasan tattoo di tubuh mereka sedikitpun tak
terlihat gentar. Justru semakin keras tertawa membuat Yoon semakin marah. Salah
satu dari empat lelaki bergerak maju ke depan dan jari telunjuknya mengacung ke
arah Yoon.
“Yaaaa…Urri
dongsaeng…..jangan marah seperti itu. Kami hanya menjalankan perintah dari
hyung kita” katanya membuat Yoon terkejut. Terkejut dengan cara lelaki itu
memanggil dirinya. Terkejut dengan pernyataan lelaki di depannya tentang
istilah “Hyung kita”.
“Aku
tidak kenal dengan hyung kalian! Dan kami tidak mempunyai kewajiban untuk
membayar upeti pada kalian! Sekarang kembalikan uang kami sebelum aku memanggil
polisi untuk datang dan menangkap kalian semua!” teriak Yoon sesaat kemudian.
“Ha
ha ha ha ha ha…..Oii! lihat adik kecil kita ini sangat lucu. Urri dongsaeng
mengatakan bahwa ia tak mengenal hyung kita. Jadi bagaimana ini?
Hyung!...Hyung!...adik kecil kita tidak mengenalimu! Mungkin sebaiknya kau
keluar!” teriak lelaki itu yang disambut suara tawa bersahut-sahutan sementara
tangis Seon semakin keras membuat kening Yoon berkerut.
Yoon
menatap adiknya dengan sinar mata penuh tanya.
“Han
Oppa…Han Oppaaaa…..Han Oppa jahaaat” ujar Seon sambil menunjuk ke satu arah di
dalam toko.
Yoon
merasakan jantungnya berdegub sangat cepat. Matanya nanar mengikuti arah jari
telunjuk Seon dan tercekat saat perlahan, dari balik kerai dapur muncul sesosok
tubuh tinggi kekar, gagah dan kuat. Sosok yang dulu selalu dibanggakannya, yang
selalu menggendongnya saat ia kelelahan setelah mereka bermain sepak bola di
taman kota, serta sosok yang selalu melindunginya dari anak-anak nakal di
sekolah.
Dan
sosok yang dicarinya sejak sebulan yang lalu, sejak polisi dan debt collector
bank datang ke toko untuk menagih hutang lalu menyeret ayah mereka ke penjara.
“Hyung?”
bisik Yoon dengan suara bergetar. Tubuhnya sedikit menggigil karena rasa sakit,
luka, marah dan sekaligus rindu pada sosok kakak yang kini berdiri di depannya dalam
posturnya yang gagah menjulang. Tinggi besar dan kuat. Yoon menatap wajah Kim
Han. Masih wajah yang dulu. Tampan maskulin yang menyiratkan kekuatan seorang
lelaki dan pelindung keluarga. Tapi, wajah yang sama itu kini terlihat dingin
dan beku. Sinar mata yang dulu hangat dan penuh kasih sayang setiap kali
menatapnya kini terlihat tanpa ekspresi. Seperti sebuah danau yang gelap dan
menyembunyikan seluruh gejolak yang tak seorangpun tahu.
“Yoon-ah….aku
yang menyuruh mereka. Jangan membuat masalah. Kami akan segera pergi” sahut Han
dengan suara tenang.
Yoon
merasakan tubuhnya menggigil mendengar kalimat yang diucapkan oleh kakaknya.
Langkahnya tersaruk mendekati Han yang berdiri dengan angkuh dan dingin.
“Hyung?...Kenapa?
Kenapa kau lakukan ini? Kau lupa siapa kami? Kau lupa siapa Abeoji? Kenapa kau
membuat Abeoji di penjara?” tanya Yoon dengan suara yang lebih gemetar.
“Dia
pantas menerimanya” sahut Han, masih dengan nada tenang. “Aku tidak ingin
menyakitimu Yoon-ah. Juga bayi kecilmu itu. Jadi minggirlah. Biarkan kami
pergi”.
Yoon
terbelalak. Aliran kemarahan kini benar-benar menguasainya membuatnya menerjang
maju dan mencengkeram kerah baju kakaknya.
“Hyung!...tapi
dia ayah kita. Apa salah Abeoji padamu? Apa salah kami padamu?! Kenapa kau
hancurkan kami?!” tanya Yoon berteriak keras tepat di depan Han Lu.
Kim
Han Lu merenggut kedua tangan Yoon, menyentakkan hingga terlepas dari kerah
bajunya lalu mendorong tubuh Kim Yoon Lu membuat pemuda itu terdorong beberapa
langkah ke belakang.
“Dia
pantas mendapatkannya” desis Han dengan raut sinis membuat pandangan Yoon
menggelap. “Sudah seharusnya dia mendekam dalam penjara. Seharusnya sudah sejak
lama dia mendekam dalam penjara”.
“Hyuuuung…..!!!!”
Yoon tak mampu lagi menahan dirinya dan menerjang ke depan. Tangan kanannya
membentuk sebuah tinju dan mendarat di rahang Han membuat anak sulung dalam
keluarga Kim itu terjajar surut ke belakang dan nyaris terjengkang jatuh.
Namun
Kim Han Lu adalah pemuda yang sangat kuat. Di waktu-waktu lalu sebelum pemuda
itu berubah dan terjatuh dalam pergaulan geng motor, ia adalah lelaki muda yang
menjadi andalan dalam keluarga, pelindung dan benteng yang selalu bisa
diandalkan. Dengan sikapnya yang hangat, protektif dan ramah, Kim Han Lu seolah
menjadi tempat bernaung bagi ayah dan adik-adiknya. Hingga dua tahun lalu,
tiba-tiba si anak sulung kebanggaan itu mendadak berubah dalam sikapnya dan
semakin sering menghilang dari keluarga. Menjadi kesedihan yang terpendam dalam
hati Mr. Kim Dae dan Yoon sendiri. Di waktu lalu, Kim Han Lu tak akan pernah
sampai hati menyakiti Yoon. Bisa dikatakan, Yoon tumbuh besar di punggung Han.
Kasih sayang Han pada adik lelaki kesayangannya sangat kuat dan telah terbukti
dalam banyak hal. Namun, kini, yang berdiri di depan Yoon bukan lagi Kim Han
yang dulu. Sebuah luka tersembunyi dan tak terungkapkan membuat si sulung
kebanggaan dalam keluarga kini telah berubah menjadi singa liar yang tak segan
menyakiti bahkan pada adik lelaki kesayangannya sendiri.
Maka,
begitu Han telah mendapatkan kembali keseimbangan tubuhnya, lelaki muda berusia
dua puluh lima tahun itu segera bergerak maju ke depan dengan cepat. Begitu
cepat hingga mendadak, Yoon telah terjerat di antara lengan-lengan Han yang
mengunci dengan kuat. Tubuh Yoon terbanting ke tanah dengan keras dan kedua
lengannya tertelikung ke belakang punggung dalam posisi yang menyakitkan
sementara lutut Han menekan punggung adiknya dengan kuat. Tak ada keluhan
ataupun desis kesakitan keluar dari mulut Yoon meskipun jelas terlihat kerenyit
sakit tergambar di wajahnya.
“Hyung!...kau…kau
anak durhaka! Appa selalu baik pada kita dan merawat kita bahkan sejak Ommonie
wafat! Kau benar-benar tak tahu terima kasih!” teriak Yoon di sela rasa sakit
yang terasa menyengat di kedua lengan seolah kedua lengannya telah direnggut
lepas dari bahunya.
“Apa
yang kau tahu tentang Appa?!!...Kau hanya anak kesayangan yang tidak tahu apapun
tentang keburukan Appa!...Kau bahkan tidak pernah tahu kenapa Ommonie
meninggalkan kita!!” bentak Han Lu menggelegar. Kedua mata lelaki muda itu terlihat
liar. Tekanan lututnya pada punggung sang adik semakin kuat membuat Yoon merasa
dadanya seperti dihimpit oleh sebongkah batu besar. Kerut kesakitan semakin
dalam menyeruak di wajah Yoon. Mulutnya mulai terbatuk-batuk oleh rasa sesak
yang melanda dadanya.
“Yoon
Oppa!...Yoon Oppa!” jerit Seon saat melihat kakaknya kesakitan. Lalu, gadis
kecil berusia hampir tiga belas tahun itu berlari ke arah Han dan menubruk
tubuh kakak pertamanya itu, mencengkeram lengan Han yang mengunci Yoon dan
berusaha untuk mengurainya. Tetapi, kedua lengan Han seolah dua batang besi
baja yang sangat kuat dan tak tergoyahkan betapapun Seon telah mengeluarkan
seluruh tenaganya. Lalu, dalam putus asanya, Seon menggigit bahu kakaknya
membuat Han, bagaimanapun juga, berteriak kesakitan.
“Aaaa!....anak
nakal! Berani sekali kau menggigitku!” bentak Han sambil menggerakkan tubuhnya
berusaha membebaskan bahunya yang terasa perih, tetapi, gigi dan mulut Seon
seperti melekat dengan kuat, tak bergeser sedikitpun dan menyisakan suara
geraman singa mungil yang murka di telinga Han. Rasa perih yang semakin
menyeruak akhirnya membuat Han berpaling pada empat lelaki yang berdiri terpana
melihat apa yang terjadi di depan mereka.
“Ya!..kenapa
kalian diam saja?! Lepaskan anak nakal ini dari bahuku!” teriak Han pada empat
lelaki yang berdiri terpaku di tempat mereka.
Seperti
disentakkan dari lamunan, keempat lelaki yang berdiri tak jauh dari Han dan
adik-adiknya serentak bergerak maju dan berusaha melepaskan Seon dari tubuh
Han. Satu lelaki menggunakan dua tangannya untuk memegang dan menarik kepala
Seon menjauh dari bahu Han sementara lelaki lain berusaha melepaskan dua tangan
Seon yang memegang erat-erat lengan Han. Pada akhirnya, gigi Seon memang
terlepas dari bahu kakaknya, namun menyeret tubuh Seon menjauh sangatlah susah.
Yoon berteriak marah melihat lelaki-lelaki penuh tattoo mengerubuti adiknya.
Han berteriak keras memberi perintah agar Seon segera dilepaskan dari tubuhnya
sementara Seon sendiri menjerit antara takut dan marah. Suasana menjadi begitu
bising dan gaduh. Keempat lelaki yang dibawa oleh Han terlihat mulai beringas. Ditambah
bentakan Han, jeritan Seon serta teriakan murka dari mulut Yoon membuat salah
satu lelaki nekat meraih kerah kaus Seon dan menariknya dengan kuat.
“Brettt”
suara sobekan keras terdengar membuat kedua mata Yoon terbelalak. Posisinya
yang tertelungkup di tanah dengan kepala mengarah pada sisi Han di mana Seon
berusaha melepaskan kakak mereka dari atas punggungnya membuat Yoon dapat
melihat saat kaus yang dikenakan oleh Seon sobek dan terenggut lepas dari tubuh
adiknya, memperlihatkan tubuh indah anak dua belas tahun yang mulai tumbuh pada
titik-titik tertentu yang hanya tertutup pakaian dalam berenda putih lembut,
yang justru membuat darah lelaki manapun yang melihatnya menjadi deras
mengalir.
“Seon!”
Yoon berteriak memanggil adiknya. “Cepat lari! Lari ke tempat Ahjussi di
sebelah rumah. Cepat!”
Seon
panik saat menyadari bahwa tubuh bagian atasnya kini terbuka membuat kedua
tangannya secara otomatis terlepas dari lengan Han dan berusaha menutupi tubuh
atasnya yang terbuka. Ketika kemudian ia mendengar kata-kata Yoon, maka gadis
kecil itu berusaha untuk bangkit berdiri dan berlari. Namun, belum lagi satu
langkah kaki mungil Seon beranjak, satu tangan telah dengan kasar menariknya
menjauh dan menyeretnya menuju ke arah salah satu meja yang masih berdiri di
ruang toko bagian dalam.
“Oppaaa!...Oppaaa!”
jerit Seon ketakutan sementara empat lelaki yang mengelilinginya tertawa-tawa.
Satu lelaki menghimpit Seon ke atas meja dan berusaha mencium wajah gadis kecil
yang ketakutan itu.
“Seon!..Seon!..lepaskan
dia!...lepaskan dia!” teriak Yoon sambil bergerak sekuat tenaga untuk
melepaskan diri dari kuncian Han. Kedua mata pemuda itu membelalak marah ke
arah empat lelaki yang tengah mempermainkan adiknya di depan mata. Namun, kedua
tangan Han mengunci lengan Yoon demikian kuat membuat pemuda itu akhrnya
berteriak dengan putus asa.
“Hyung!
Lepaskan aku! Aku harus menolong Seon! Aku harus menolong Seon! Kumohon
lepaskan aku Hyung!” seru Yoon pada kakaknya. Kedua matanya memerah oleh
campuran amarah dan putus asa membuat aliran bening menitik ke lantai halaman
toko. “Aku akan membunuh kalian semuaaaa!!...aku pasti akan membunuh kalian
semuaa!!”.
Dan
Han melihatnya.
Betapapun
Han telah jauh berubah, namun, jiwa seorang kakak masih bersemayam di tempat
yang jauh dan tersembunyi. Tertutupi oleh gumpalan luka yang terselubung di
balik sikap keras dan memberontak. Dan kini, melihat airmata menitik dari kedua mata Yoon
oleh kemarahan dan putus asa saat menyaksikan Seon dalam rengkuhan orang-orang
yang tersulut api kelelakian mereka setelah melihat kemolekan tubuh Seon yang
sedang menumbuh, jiwa pelindung seorang kakak yang tersembunyi di balik luka
itu terbangun dan memberontak keluar. Lalu, mendadak Yoon merasakan kuncian
pada kedua lengannya terbebas. Himpitan pada punggung yang membuat nafasnya terasa
sesak mendadak lenyap dan, hanya dalam hitungan detik, sudut mata Yoon melihat
tubuh kakaknya berkelebat.
Detik
selanjutnya, tubuh-tubuh yang tengah tertawa-tawa di sekeliling Seon yang
menjerit ketakutan dalam tangisnya telah terlempar berhamburan dan mendarat di
lantai halaman toko oleh tendangan dan pukulan Han yang sangat cepat. Keempat
lelaki yang semula mengelilingi Seon memandang ke arah Han dengan ekspresi
terkejut, tidak mengerti dan sekaligus takut. Sementara Seon yang telah
terlepas dari rengkuhan lelaki di atasnya, kini meringkuk di bawah meja dan
menangis tersebu-sedu. Kedua lengannya tertekuk menutupi bagian atas tubuhnya
yang terbuka hingga kemudian, sehelai kain terbentang dan menutupi tubuh Seon.
Gadis kecil itu menoleh dan menemukan Yoon yang telah melepaskan kemejanya.
Seon menghambur dan bersembunyi dalam pelukan Yoon.
“Hyung?!...kenapa
kau memukul kami?” tanya salah satu lelaki penuh tattoo sambil memegang
perutnya yang terasa hancur oleh tendangan telak kaki Han.
“Karena
kalian mengganggu anak itu!” bentak Han dengan mata melotot.
Keempat
lelaki di depan Han saling berpandangan dengan heran.
“Tapi
Hyung…bukankah Hyung yang menyuruh kami untuk melepaskan anak nakal itu dari
tubuh Hyung?” jawab satu lelaki yang lain sambil mendekap hidungnya yang patah
penuh darah oleh pukulan Han.
“Anak
nakal itu adikku, dasar bodoh!” bentak Han lagi dengan lebih keras. “Dan aku
hanya menyuruh kalian untuk melepaskannya dari bahuku, bukan menelanjangi lalu
melecehkannya!”.
Keempat
lelaki yang telah berusaha untuk berdiri terlihat semakin takut. Mereka
bergerak mundur saat Han melangkah mendekat.
“Hyung….Hyung
maafkan kami” ujar salah satu lelaki dengan suara gemetar. Tattoo di tubuhnya
tak sebanyak tiga lelaki yang lain, namun tattoo-tattoo tersebut menggambarkan
bentuk-bentuk yang seronok.
“Siapa
dari kalian yang telah menyentuh tubuh adikku? Jawab!” sentak Han menggelegar.
Keempat
lelaki saling berpandangan dengan kecut. Jelas terlihat nyali mereka yang
meleleh serupa lilin termakan api. Lalu, dengan takut-takut, tiga lelaki
menunjuk pada lelaki dengan tattoo seronok di lengan dan lehernya. Lelaki yang
ditunjuk terlihat gemetar dan menatap tiga temannya dengan rasa sakit hati,
lalu memandang ke arah Han. Kedua tangannya menangkup di depan dada.
“Hyung…aku…aku
hanya sedikit saja menyentuhnya…dan…dan itu tidak sengaja…sungguh-sungguh tidak
sengaja” ujarnya dengan raut memelas. Langkahnya surut mundur ke belakang
sementara Han berjalan mendekatinya dengan sorot mata dingin penuh ancaman.
“Hyung!...Hyung…maafkan aku…sungguh ampuni aku…aku benar-benar…”
Ucapan
lelaki bertattoo seronok itu terputus saat mendadak tubuh Han bergerak dengan
cepat. Lelaki bertattoo seronok sama sekali tak melihat kapan tangan atau kaki
Kim Han Lu bergerak, namun kemudian, dalam detik berikutnya…..
“Kraaaaakkk!”
suara berderak keras terdengar disusul rasa sakit luar biasa menyengat lengan
lelaki bertattoo seronok yang tak bisa lagi menghindar dari gebrakan lelaki
muda yang menyandang level Dan V dalam Taekwondo itu.
“UAAAAAAAA!...HYUUUUUUUNG…..AAAAAAAHHH!”
jerit lelaki bertattoo seronok setinggi langit sambil mendekap lengannya yang
patah dan lunglai. Tubuhnya membungkuk dengan wajah pias menahan sakit.
Han
berdiri dengan mata berkilat marah. Satu jari telunjuknya teracung ke arah
lelaki yang tengah kesakitan di depannya.
“Jangan
lakukan lagi!” desisnya dengan nada penuh ancaman. “Atau aku akan mematahkan
lehermu!....kau tahu aku tak pernah main-main!”.
Lelaki
bertattoo seronok mengangguk-angguk dengan takut diiringi tiga lelaki lain.
Keempatnya berdiri mengumpul beberapa langkah di depan Han.
“Kalian
pergilah!” perintah Han kemudian. “Aku akan menyusul kalian!”.
“Baik
Hyung!” bagaikan tahanan yang tiba-tiba dibebaskan, keempat lelaki itu segera
melompat penuh semangat dan berlari pergi meninggalkan halaman depan toko,
menyeberangi jalan dan menyeruak kerumunan tetangga dan orang-orang yang
menonton peristiwa itu dengan cemas sekaligus takut. Mereka semua, telah
mendengar tentang reputasi Han sehingga tak ada satupun yang berani untuk maju
dan menolong Yoon dan adiknya.
Beberapa
orang tetangga secara diam-diam menekan nomor polisi, tepat disaat Han
melangkah ke arah Yoon dan Seon. Tanpa bicara, lelaki muda berusia dua puluh
lima tahun itu membungkuk, memunguti uang yang bertebaran di lantai toko. Uang
dalam toples kaca yang telah pecah. Yoon memandang Han tanpa kata. Membiarkan
sang kakak mengambil seluruh hasil kerja kerasnya selama hampir satu bulan.
Ketika Han telah selesai dengan uang yang tercecer di lantai toko, maka lelaki
bertubuh besar dan gagah itu kembali bergerak dan kini, sasarannya adalah laci
meja kasir. Hanya butuh sepuluh detik bagi Han untuk meraup semua uang yang
tersimpan di laci meja kasir dan memasukkannya ke dalam saku celana jeansnya.
Seon mengintip kakak pertamanya dari balik bahu Yoon dengan takut, namun kedua
mata gadis kecil itu tak henti mengalirkan airmata.
Yoon
merengkuh adiknya dan diam tertunduk sementara suara langkah sepatu Han
mendekat dan kemudian, sosok yang tinggi besar itu berhenti tepat di depan Yoon
dan Seon.
“Yoon-ah”
panggil Han di atas kepala Yoon.
Yoon
diam tak menyahut, kepalanya masih diam tertunduk hingga sebuah tangan yang
kuat memegang rahang dan dagunya lalu memaksanya untuk menengadah. Dilihatnya
Han kini tengah membungkuk tepat di atas kepalanya.
“Kau
tidak mendengar aku memanggilmu?” tanya Han menatap lurus ke dalam mata adik
lelakinya. “Atau kau memang tidak mau menjawab panggilan kakakmu?”.
Yoon
menelan ludah. Merasakan sakit pada lehernya. Juga di hatinya.
“Aku
tidak mengerti dirimu Hyung. Aku tidak bisa lagi memahami dirimu” ujar Yoon tak
menghiraukan pertanyaan kakaknya.
Kim
Han Lu menatap adik lelakinya dalam-dalam lalu mengangguk. “Baiklah….kau tidak
perlu memahamiku. Tapi, kau tidak akan bisa melindungi siapapun jika kau masih
mengurung dirimu sendiri Yoon-ah”.
Yoon
membalas tatapan kakaknya. “Kenapa Hyung? Setidaknya beri aku jawaban kenapa
kau lakukan semua ini pada kami? Pada Abeoji? Ommonie meninggal karena itulah
takdir yang harus kita terima. Kenapa kau menyalahkan Abeoji?”
Han
menggeleng lalu bangkit berdiri.
“Karena
itulah aku katakan padamu untuk keluar dari kurunganmu sendiri Yoon-ah. Sudah
dua belas tahun Ommonie meninggalkan kita. Kenapa kau tak mencoba mengunjungi
makamnya? Atau meletakkan bunga di depan nisannya?. Kau harus menjadi besar
Yoon-ah. Dengan begitu kau akan bisa melindungi siapapun yang membutuhkan
perlindunganmu. Jika kau selalu menjadi adik kecil, maka aku akan sangat
kesulitan untuk melindungimu seperti dulu” ujar Han membuat Yoon terkejut.
Mengunjungi
Ommonie? Meletakkan bunga di depan nisannya?. Alis Yoon berkerut dalam.
Han
melangkah ke arah pintu toko namun berhenti tepat di ambangnya. Kepalanya
menoleh ke belakang dan menatap Yoon dengan sudut matanya.
“Berhentilah
untuk cengeng Yoon-ah. Airmata hanya untuk saat bahagia ketika kau mensyukuri
hadiah terbesar dari Para dewa atau Tuhan atau apapun nama-Nya. Bukan disaat
kau kesulitan” kata Kim Han Lu sebelum melangkah pergi. Kerumunan tetangga dan
orang-orang yang menonton segera menyibak begitu lelaki tampan bertubuh tinggi
besar itu berjalan ke arah mereka seolah memberi jalan pada si sulung yang
tengah murka dalam diamnya itu. Meninggalkan Yoon yang diam terpaku saat
menyadari hal yang tak pernah terbersit dalam lintasan benaknya, Seon yang
terus menangis….
Serta
sesosok tubuh gemuk penuh lemak yang baru saja turun dari mobil Porsche
mewahnya dan terpana menyaksikan seluruh kehancuran yang terjadi pada toko
makanan tradisional yang sangat akrab dengannya. Sepasang mata pemuda gemuk itu
membelalak saat melihat Han melintas di depannya.
“Hyung?....Han
Hyung?...apa yang terjadi?” teriak Bok mencoba mengejar Han yang melangkah
cepat.
“Jangan
ikut campur Gendut” ujar Han sambil melirik tajam membuat langkah Bok seketika
terhenti. “Urusi saja karung nasimu itu”.
Bok
memandang Han dengan mata menyipit sementara Han melanjutkan langkah kakinya.
Kali ini lebih cepat hingga sesaat kemudian punggung lelaki muda itu telah menghilang
dibalik kerumunan tetangga yang menonton
dari jarak cukup jauh.
************
Yoon
meletakkan semangkuk bibimbap di depan Bok yang duduk di kursi utuh yang
tersisa. Seon mengurung diri di kamar sejak siang setelah kepergian Han dan
empat temannya. Tetangga-tetangga segera membantu membereskan seluruh
kehancuran di toko, menyisihkan meja dan
kursi yang patah dan rusak serta semua pecah belah yang hancur.
“Kau
tidak makan?” tanya Bok sambil mengaduk nasi campurnya. Pandangannya sekilas
tertuju pada Yoon yang duduk di atas meja counter dapur.
Yoon
menggelengkan kepalanya. “Tidak. Aku tidak lapar”.
Bok
mengangkat bahunya yang gemuk berlemak dan mulai menyuap nasi campur di
depannya.
“Kenapa
kau tiba-tiba muncul? Komputermu bermasalah lagi? kurasa sebaiknya kau membeli
komputer baru atau notebook. Semua orang membawa notebook ke kampus, hanya kau
yang tidak membawa apapun. Dan itu benar-benar aneh mengingat kau bisa membeli
apapun yang kau mau” ujar Yoon sambil menatap sahabatnya yang tertunduk di atas
mangkuk nasi campurnya. Kedua tangan Yoon terlipat di depan dada.
“Tidak
ada masalah dengan komputerku. Dan aku tidak berminat untuk membeli notebook.
Itu hanya akan membuatku berpikir untuk membuka situs-situs yang dapat menodai
kesucianku…kau tau kan?” jawab Bok ringan sambil memasukkan sepotong asparagus
ke dalam mulutnya.
Yoon
tertawa pelan. Satu hal yang dikaguminya dari Bok adalah komitmentnya yang
sangat kuat untuk tidak membuka situs-situs porno di internet. Bahkan dalam
keseharian, selama mereka bersahabat, Yoon belum pernah melihat satupun gambar
manusia dengan pakaian minim di kamar, di majalah, atau di buku-buku yang
dibaca oleh Bok. Sang pewaris tunggal kerajaan transportasi itu bahkan tidak
pernah pergi berenang di kolam renang umum, atau pantai wisata atau ke
tempat-tempat di mana ia bisa menemukan gadis-gadis ataupun wanita dengan pakaian
minim. Tapi, jaringan internet kan masih bisa dibuka dengan komputer? Yoon
sungguh merasa geli.
“Jadi…kenapa
kau datang?” tanya Yoon masih dengan tawanya.
Bok
menghentikan suapannya sesaat dan sedikit mengangkat mukanya meski tak
benar-benar menatap Yoon yang duduk di atas counter dapur di depannya.
“Karena
kau menghilang….ponselmu tidak pernah aktif dan telepon toko selalu sibuk”
jawab Bok sambil kembali menekuni mangkuk bibimbapnya. “Jadi aku putuskan untuk
datang menemuimu. Kupikir aku harus mengingatkanmu”.
“Mengingatkanku?
Tentang apa?” tanya Yoon sambil menatap Bok.
Bok
meletakkan sumpitnya setelah menyelesaikan suapan terakhir. Tubuhnya menegak
dan membalas tatapan Yoon dengan raut serius.
“Mengingatkanmu
bahwa kau masih terlalu tampan untuk menjadi seorang biksu” jawab Bok dengan ekspresi sangat serius.
Yoon
terpana sedetik mendengar jawaban Bok, namun kemudian tawa pemuda itu meledak
membuat Seon yang tengah menelungkup di atas ranjang mengangkat mukanya yang
sembab dengan raut heran. Hal terlucu apa yang membuat Yoon tertawa begitu
keras di saat mereka baru saja mengalami hari yang sangat buruk?. Seon bangkit
dari ranjangnya dan beranjak ke arah pintu lalu membukanya sedikit. Dari sela
pintu dapat dilihatnya Yoon yang duduk di atas counter dapur berhadapan dengan
Bok yang duduk dengan posisi membelakanginya. Seon sangat ingin keluar untuk
menemui kakaknya tapi keberadaan Bok membuatnya memilih mengurung diri di kamar
sejak siang tadi. Ia, entah untuk alasan apa, merasa tidak suka dengan pemuda
bertubuh sangat gemuk itu.
“Ya!...Yoon-ah…kenapa
kau tertawa disaat aku sangat serius? Kau menghilang dari peredaran sejak
sebulan yang lalu dan setelah itu tak ada lagi kabar berita tentang dirimu. Kau
tidak pernah menelponku atau mengirim pesan padaku. Ponselmu tidak aktif, kau
tidak pernah meng-update SNS-mu, twitter-mu sepi, dan aku tidak bisa
menghubungimu sama sekali. Kau pikir, apa yang akan kupikirkan tentang dirimu?
Aku sangat mengenalmu jadi aku yakin kau tidak akan bunuh diri hanya karena
kakakmu. Kau juga bukan orang yang akan pergi tanpa pamit. Satu-satunya yang
mungkin untuk kau lakukan adalah menjadi seorang biksu. Tapi aku masih belum
merelakanmu karena pertama kau terlalu tampan untuk menjadi seorang biksu.
Kedua, jika kau menjadi biksu maka tidak akan ada wanita dan gadis yang mau
menikah. Jadi, bagaimana nasibku nanti jika semua wanita mengikuti jejakmu
menjadi perawat kuil? Aku tidak mau mati sambil menyandang status sebagai
perjaka tanpa kesempatan untuk melepaskan kesucianku yang selalu kujaga
Yoon-ah” sambung Bok panjang lebar membuat tawa Yoon semakin panjang dan keras.
Tubuh
Yoon terbungkuk sementara tawanya membahana memenuhi ruang toko.
“Yoon-ah….jangan
tertawakan aku seperti itu” ujar Bok sambil memandang sahabatnya yang masih
diguncang tawa. “Yoon-ah…Yoon-ah…Aish”.
Yoon
masih terus tertawa, dan kembali tertawa saat menatap wajah Bok yang bulat
dengan mimik serius yang justru terlihat sangat lucu. Sementara malam terus
merambat semakin jauh. Jalan di depan toko telah sepi dari kendaraan yang
berlalu lalang.
************
Tidak ada komentar:
Posting Komentar