Sabtu, 21 Februari 2015

Straight - Episode 1 (Bagian Empat)

Sementara itu di dalam penjara wilayah….
“Apakah putramu sudah pulang Kim Dae Ssi?” seorang lelaki bertubuh gemuk bergerak dan duduk di sebelah Mr. Kim Dae yang baru saja masuk kembali ke dalam ruang sel dan terlihat terpekur.
Mr. Kim Dae mengangkat wajahnya dan menarik nafas dalam-dalam. Lalu perlahan mengangguk.
“Lalu?” lelaki gemuk yang kini duduk tepat di sisi Mr. Kim Dae kembali bertanya. Wajahnya bulat berminyak namun ia memiliki garis bibir yang melengkung manis seolah mulut lelaki gemuk itu dicetak untuk membentuk sebuah senyuman meski si pemilik bibir sedang dalam keadaan marah.
“Aku mengenal putramu. Dan kukira, ia adalah pemuda yang baik. Sangat ceria dan…kudengar prestasinya di kampus sangat cemerlang. Bukankah seharusnya kau bangga dengan putra seperti Kim Yoon?” sambungnya saat Mr. Kim Dae tak menjawab pertanyaannya.
“Kau mengenal Yoon-ah, Chang An Ssi?” tanya Mr. Kim Dae sambil menatap lelaki gemuk di sisinya.
Lelaki gemuk yang dipanggil Chang An itu mengangguk. Bibirnya tersenyum oleh senyum permanen yang memang sudah tercetak mati di wajahnya.
“Yah, tentu saja aku mengenalnya. Setiap hari aku mendengar nama putramu dari mulut Ya Ya” jawab Mr. Chang An.
“Ya Ya?” kening Mr. Kim Dae berkerut.
“Adikku. Dia kuliah di tempat yang sama dengan putramu. Sudah dua kali ia tidak lulus kelas desain program tapi anehnya, tak sedikitpun rasa sedih di hatinya. Aku benar-benar tak mengerti. Katanya, meskipun ia harus selamanya mendekam di kelas desain program, ia akan sangat bahagia selama putramu masih menjadi asisten dari Profesornya. Aku bahkan mendengar Ya Ya menyebut nama Kim Yoon dalam tidur” sahut Mr. Chang An sambil tertawa pelan.
Mr. Kim Dae melongo sesaat lalu sudut bibirnya kembali mengurai senyum.
“Maafkan aku” kata Mr. Chang An sambil menyodokkan sikunya ke tubuh Mr. Kim Dae pelan. “Kulihat, putramu itu memiliki….wajah yang sangat tampan. Jauh melebihi dirimu. Dan, harus kuakui, senyumnya…sangat mematikan. Tapi, dia tidak terlalu mirip dirimu. Tentu saja, aku melihat bagian darimu dalam dirinya, tapi selebihnya….”.
“Dia seperti ibunya. Seluruhnya seperti ibunya. Jika ada bagianku dalam dirinya, itu sangat sedikit. Aku tahu itu. Bukan hanya dalam penampilan saja, melainkan juga dengan kemampuannya, kecerdasannya…dan keinginan untuk mencipta dalam dirinya” jawab Mr. Kim Dae. Wajahnya menengadah dengan pandangan menerawang.
“Jadi…kenapa kau menolak makanan yang dibawanya?” tanya Mr. Chang An. “Apakah makanan yang dimasaknya benar-benar tidak enak?”.
“Bagaimana kau tahu?” tanya Mr. Kim Dae sambil melirik lelaki gemuk di sampingnya.
“Aku mau ke kamar mandi dan aku sempat mendengar kalian. Sedikit. Aku melihat wajahnya. Dia terlihat sangat sedih. Kupikir, seharusnya kau tak melakukan hal itu” jawab Mr. Chang An sambil menatap Mr. Kim Dae.
Mr. Kim Dae menghela nafas. “Akan lebih baik jika ia sedih sekarang daripada jika ia meneruskan apa yang dilakukannya, kemudian suatu hari, ia akan melakukan kesalahan fatal dan ia tak bisa memaafkan dirinya sendiri. Aku tidak bisa melihatnya hancur seperti ibunya. Yoon-ah….ia sangat penting untukku. Melihatnya membuatku seperti melihat ibunya”.
“Maksudmu? Apa maksudmu Dae Ssi?” kening Mr. Chang An berkerut dalam. “Apa makanan yang dibuatnya tidak enak? Dan….kehancuran apa? Kehancuran yang bagaimana?”.
“An Ssi…makanan yang dibuatnya, itu sangat enak. Lebih dari yang bisa kulakukan. Tapi, memasak makanan bukan tentang enak atau tidak enak. Namun lebih dari itu. Yoon-ah tidak bisa melangkah jika kedua matanya buta” jawab Mr. Kim Dae nyaris berbisik.
Mr. Chang An mendengarkan setiap kata-kata yang meluncur dari mulut Mr. Kim Dae dengan seksama, namun kemudian kepalanya menggeleng dengan pusing. Sekilas ia melirik ke arah jam dinding di tembok ruang penjaga penjara. Pukul 09.45 AM waktu Seoul.
“Ah..ternyata masih pagi tapi aku sudah mendapat pelajaran yang sangat sulit darimu Dae Ssi. Aku tidak mengerti apa yang kau maksud. Selama lima belas tahun aku selalu berusaha meramu minuman yang paling enak untuk setiap pelanggan bar milikku. Dan kupikir, hal terbaik adalah membuat minuman yang enak” ujar Mr. Chang An.
Mr. Kim Dae diam. Sepasang matanya masih jauh menembus batas atap penjara. Tirai jernih terlihat menyelimuti kedua matanya. Berkilau terang, campuran antara haru, cemas dan rasa bahagia.
Sementara benaknya melayang lepas dari kurungan dinding dan atap penjara wilayah, mengembara dan menangkap sosok sang putra kedua yang tengah mengayuh sepedanya dengan sedih. Lalu, memeluknya….
Dalam luapan rasa bangga seorang ayah pada putranya….
**********

“Jangan!..kembalikan!...pergi kalian! Kembalikan!” jerit sebuah suara menyadarkan Yoon dari lamunan membuatnya seketika menghentikan sepedanya. Sejak kapan ia sampai di samping tokonya?.
Mata Yoon terbelalak saat menatap ke depan dan melihat Seon yang tengah berusaha merebut kembali toples berisi uang yang tadi malam telah dihitungnya dan akan digunakan untuk menyicil hutang di bank hari ini. Empat lelaki terlihat tertawa tergelak-gelak. Meja dan kursi telah berhamburan dalam posisi jungkir balik. Makanan bertebaran di lantai, bercampur dengan pecahan mangkuk, gelas dan piring. Darah Yoon seketika mendidih saat melihat dua lelaki mendekati Seon dengan mulut penuh makanan dan suara tawa terkekeh. Seon mengayunkan sebatang sapu ke arah dua lelaki yang berjalan mendekatinya, yang sedikitpun tak menghiraukan ancamannya. Yoon melemparkan sepedanya ke pinggir jalan dan segera berlari ke arah adiknya. Suara toples berisi uang yang pecah terdengar berderak keras saat lelaki yang berhasil merebutnya membanting toples kaca itu ke lantai depan toko.
“Seon!...Siapa kalian?!” teriak Yoon keras membuat empat lelaki yang mengelilingi Seon terkejut dan berpaling menatap pemuda yang baru saja datang.
Sejenak, keempat lelaki itu terpana, namun, tawa keras kembali membahana sementara Seon segera berlari ke arah kakaknya.
“Oppa!...Oppa!...mereka, mereka mengambil uangnya. Mereka menghancurkan semuanya” adu Seon dengan tangis meledak. Satu tangannya memegang lengan kakaknya yang telah diguncang kemarahan.
“Ya!...kalian maling tidak tahu diri! Mengambil uang dan menghancurkan tempat kami! Kembalikan uang itu!” teriak Yoon keras.
Keempat lelaki bertubuh kekar dengan hiasan tattoo di tubuh mereka sedikitpun tak terlihat gentar. Justru semakin keras tertawa membuat Yoon semakin marah. Salah satu dari empat lelaki bergerak maju ke depan dan jari telunjuknya mengacung ke arah Yoon.
“Yaaaa…Urri dongsaeng…..jangan marah seperti itu. Kami hanya menjalankan perintah dari hyung kita” katanya membuat Yoon terkejut. Terkejut dengan cara lelaki itu memanggil dirinya. Terkejut dengan pernyataan lelaki di depannya tentang istilah “Hyung kita”.
“Aku tidak kenal dengan hyung kalian! Dan kami tidak mempunyai kewajiban untuk membayar upeti pada kalian! Sekarang kembalikan uang kami sebelum aku memanggil polisi untuk datang dan menangkap kalian semua!” teriak Yoon sesaat kemudian.
“Ha ha ha ha ha ha…..Oii! lihat adik kecil kita ini sangat lucu. Urri dongsaeng mengatakan bahwa ia tak mengenal hyung kita. Jadi bagaimana ini? Hyung!...Hyung!...adik kecil kita tidak mengenalimu! Mungkin sebaiknya kau keluar!” teriak lelaki itu yang disambut suara tawa bersahut-sahutan sementara tangis Seon semakin keras membuat kening Yoon berkerut.
Yoon menatap adiknya dengan sinar mata penuh tanya.
“Han Oppa…Han Oppaaaa…..Han Oppa jahaaat” ujar Seon sambil menunjuk ke satu arah di dalam toko.
Yoon merasakan jantungnya berdegub sangat cepat. Matanya nanar mengikuti arah jari telunjuk Seon dan tercekat saat perlahan, dari balik kerai dapur muncul sesosok tubuh tinggi kekar, gagah dan kuat. Sosok yang dulu selalu dibanggakannya, yang selalu menggendongnya saat ia kelelahan setelah mereka bermain sepak bola di taman kota, serta sosok yang selalu melindunginya dari anak-anak nakal di sekolah.
Dan sosok yang dicarinya sejak sebulan yang lalu, sejak polisi dan debt collector bank datang ke toko untuk menagih hutang lalu menyeret ayah mereka ke penjara.
“Hyung?” bisik Yoon dengan suara bergetar. Tubuhnya sedikit menggigil karena rasa sakit, luka, marah dan sekaligus rindu pada sosok kakak yang kini berdiri di depannya dalam posturnya yang gagah menjulang. Tinggi besar dan kuat. Yoon menatap wajah Kim Han. Masih wajah yang dulu. Tampan maskulin yang menyiratkan kekuatan seorang lelaki dan pelindung keluarga. Tapi, wajah yang sama itu kini terlihat dingin dan beku. Sinar mata yang dulu hangat dan penuh kasih sayang setiap kali menatapnya kini terlihat tanpa ekspresi. Seperti sebuah danau yang gelap dan menyembunyikan seluruh gejolak yang tak seorangpun tahu.
“Yoon-ah….aku yang menyuruh mereka. Jangan membuat masalah. Kami akan segera pergi” sahut Han dengan suara tenang.
Yoon merasakan tubuhnya menggigil mendengar kalimat yang diucapkan oleh kakaknya. Langkahnya tersaruk mendekati Han yang berdiri dengan angkuh dan dingin.
“Hyung?...Kenapa? Kenapa kau lakukan ini? Kau lupa siapa kami? Kau lupa siapa Abeoji? Kenapa kau membuat Abeoji di penjara?” tanya Yoon dengan suara yang lebih gemetar.
“Dia pantas menerimanya” sahut Han, masih dengan nada tenang. “Aku tidak ingin menyakitimu Yoon-ah. Juga bayi kecilmu itu. Jadi minggirlah. Biarkan kami pergi”.
Yoon terbelalak. Aliran kemarahan kini benar-benar menguasainya membuatnya menerjang maju dan mencengkeram kerah baju kakaknya.
“Hyung!...tapi dia ayah kita. Apa salah Abeoji padamu? Apa salah kami padamu?! Kenapa kau hancurkan kami?!” tanya Yoon berteriak keras tepat di depan Han Lu.
Kim Han Lu merenggut kedua tangan Yoon, menyentakkan hingga terlepas dari kerah bajunya lalu mendorong tubuh Kim Yoon Lu membuat pemuda itu terdorong beberapa langkah ke belakang.
“Dia pantas mendapatkannya” desis Han dengan raut sinis membuat pandangan Yoon menggelap. “Sudah seharusnya dia mendekam dalam penjara. Seharusnya sudah sejak lama dia mendekam dalam penjara”.
“Hyuuuung…..!!!!” Yoon tak mampu lagi menahan dirinya dan menerjang ke depan. Tangan kanannya membentuk sebuah tinju dan mendarat di rahang Han membuat anak sulung dalam keluarga Kim itu terjajar surut ke belakang dan nyaris terjengkang jatuh.
Namun Kim Han Lu adalah pemuda yang sangat kuat. Di waktu-waktu lalu sebelum pemuda itu berubah dan terjatuh dalam pergaulan geng motor, ia adalah lelaki muda yang menjadi andalan dalam keluarga, pelindung dan benteng yang selalu bisa diandalkan. Dengan sikapnya yang hangat, protektif dan ramah, Kim Han Lu seolah menjadi tempat bernaung bagi ayah dan adik-adiknya. Hingga dua tahun lalu, tiba-tiba si anak sulung kebanggaan itu mendadak berubah dalam sikapnya dan semakin sering menghilang dari keluarga. Menjadi kesedihan yang terpendam dalam hati Mr. Kim Dae dan Yoon sendiri. Di waktu lalu, Kim Han Lu tak akan pernah sampai hati menyakiti Yoon. Bisa dikatakan, Yoon tumbuh besar di punggung Han. Kasih sayang Han pada adik lelaki kesayangannya sangat kuat dan telah terbukti dalam banyak hal. Namun, kini, yang berdiri di depan Yoon bukan lagi Kim Han yang dulu. Sebuah luka tersembunyi dan tak terungkapkan membuat si sulung kebanggaan dalam keluarga kini telah berubah menjadi singa liar yang tak segan menyakiti bahkan pada adik lelaki kesayangannya sendiri.
Maka, begitu Han telah mendapatkan kembali keseimbangan tubuhnya, lelaki muda berusia dua puluh lima tahun itu segera bergerak maju ke depan dengan cepat. Begitu cepat hingga mendadak, Yoon telah terjerat di antara lengan-lengan Han yang mengunci dengan kuat. Tubuh Yoon terbanting ke tanah dengan keras dan kedua lengannya tertelikung ke belakang punggung dalam posisi yang menyakitkan sementara lutut Han menekan punggung adiknya dengan kuat. Tak ada keluhan ataupun desis kesakitan keluar dari mulut Yoon meskipun jelas terlihat kerenyit sakit tergambar di wajahnya.
“Hyung!...kau…kau anak durhaka! Appa selalu baik pada kita dan merawat kita bahkan sejak Ommonie wafat! Kau benar-benar tak tahu terima kasih!” teriak Yoon di sela rasa sakit yang terasa menyengat di kedua lengan seolah kedua lengannya telah direnggut lepas dari bahunya.
“Apa yang kau tahu tentang Appa?!!...Kau hanya anak kesayangan yang tidak tahu apapun tentang keburukan Appa!...Kau bahkan tidak pernah tahu kenapa Ommonie meninggalkan kita!!” bentak Han Lu menggelegar. Kedua mata lelaki muda itu terlihat liar. Tekanan lututnya pada punggung sang adik semakin kuat membuat Yoon merasa dadanya seperti dihimpit oleh sebongkah batu besar. Kerut kesakitan semakin dalam menyeruak di wajah Yoon. Mulutnya mulai terbatuk-batuk oleh rasa sesak yang melanda dadanya.
“Yoon Oppa!...Yoon Oppa!” jerit Seon saat melihat kakaknya kesakitan. Lalu, gadis kecil berusia hampir tiga belas tahun itu berlari ke arah Han dan menubruk tubuh kakak pertamanya itu, mencengkeram lengan Han yang mengunci Yoon dan berusaha untuk mengurainya. Tetapi, kedua lengan Han seolah dua batang besi baja yang sangat kuat dan tak tergoyahkan betapapun Seon telah mengeluarkan seluruh tenaganya. Lalu, dalam putus asanya, Seon menggigit bahu kakaknya membuat Han, bagaimanapun juga, berteriak kesakitan.
“Aaaa!....anak nakal! Berani sekali kau menggigitku!” bentak Han sambil menggerakkan tubuhnya berusaha membebaskan bahunya yang terasa perih, tetapi, gigi dan mulut Seon seperti melekat dengan kuat, tak bergeser sedikitpun dan menyisakan suara geraman singa mungil yang murka di telinga Han. Rasa perih yang semakin menyeruak akhirnya membuat Han berpaling pada empat lelaki yang berdiri terpana melihat apa yang terjadi di depan mereka.
“Ya!..kenapa kalian diam saja?! Lepaskan anak nakal ini dari bahuku!” teriak Han pada empat lelaki yang berdiri terpaku di tempat mereka.
Seperti disentakkan dari lamunan, keempat lelaki yang berdiri tak jauh dari Han dan adik-adiknya serentak bergerak maju dan berusaha melepaskan Seon dari tubuh Han. Satu lelaki menggunakan dua tangannya untuk memegang dan menarik kepala Seon menjauh dari bahu Han sementara lelaki lain berusaha melepaskan dua tangan Seon yang memegang erat-erat lengan Han. Pada akhirnya, gigi Seon memang terlepas dari bahu kakaknya, namun menyeret tubuh Seon menjauh sangatlah susah. Yoon berteriak marah melihat lelaki-lelaki penuh tattoo mengerubuti adiknya. Han berteriak keras memberi perintah agar Seon segera dilepaskan dari tubuhnya sementara Seon sendiri menjerit antara takut dan marah. Suasana menjadi begitu bising dan gaduh. Keempat lelaki yang dibawa oleh Han terlihat mulai beringas. Ditambah bentakan Han, jeritan Seon serta teriakan murka dari mulut Yoon membuat salah satu lelaki nekat meraih kerah kaus Seon dan menariknya dengan kuat.
“Brettt” suara sobekan keras terdengar membuat kedua mata Yoon terbelalak. Posisinya yang tertelungkup di tanah dengan kepala mengarah pada sisi Han di mana Seon berusaha melepaskan kakak mereka dari atas punggungnya membuat Yoon dapat melihat saat kaus yang dikenakan oleh Seon sobek dan terenggut lepas dari tubuh adiknya, memperlihatkan tubuh indah anak dua belas tahun yang mulai tumbuh pada titik-titik tertentu yang hanya tertutup pakaian dalam berenda putih lembut, yang justru membuat darah lelaki manapun yang melihatnya menjadi deras mengalir.
“Seon!” Yoon berteriak memanggil adiknya. “Cepat lari! Lari ke tempat Ahjussi di sebelah rumah. Cepat!”
Seon panik saat menyadari bahwa tubuh bagian atasnya kini terbuka membuat kedua tangannya secara otomatis terlepas dari lengan Han dan berusaha menutupi tubuh atasnya yang terbuka. Ketika kemudian ia mendengar kata-kata Yoon, maka gadis kecil itu berusaha untuk bangkit berdiri dan berlari. Namun, belum lagi satu langkah kaki mungil Seon beranjak, satu tangan telah dengan kasar menariknya menjauh dan menyeretnya menuju ke arah salah satu meja yang masih berdiri di ruang toko bagian dalam.
“Oppaaa!...Oppaaa!” jerit Seon ketakutan sementara empat lelaki yang mengelilinginya tertawa-tawa. Satu lelaki menghimpit Seon ke atas meja dan berusaha mencium wajah gadis kecil yang ketakutan itu.
“Seon!..Seon!..lepaskan dia!...lepaskan dia!” teriak Yoon sambil bergerak sekuat tenaga untuk melepaskan diri dari kuncian Han. Kedua mata pemuda itu membelalak marah ke arah empat lelaki yang tengah mempermainkan adiknya di depan mata. Namun, kedua tangan Han mengunci lengan Yoon demikian kuat membuat pemuda itu akhrnya berteriak dengan putus asa.
“Hyung! Lepaskan aku! Aku harus menolong Seon! Aku harus menolong Seon! Kumohon lepaskan aku Hyung!” seru Yoon pada kakaknya. Kedua matanya memerah oleh campuran amarah dan putus asa membuat aliran bening menitik ke lantai halaman toko. “Aku akan membunuh kalian semuaaaa!!...aku pasti akan membunuh kalian semuaa!!”.
Dan Han melihatnya.
Betapapun Han telah jauh berubah, namun, jiwa seorang kakak masih bersemayam di tempat yang jauh dan tersembunyi. Tertutupi oleh gumpalan luka yang terselubung di balik sikap keras dan memberontak. Dan kini,  melihat airmata menitik dari kedua mata Yoon oleh kemarahan dan putus asa saat menyaksikan Seon dalam rengkuhan orang-orang yang tersulut api kelelakian mereka setelah melihat kemolekan tubuh Seon yang sedang menumbuh, jiwa pelindung seorang kakak yang tersembunyi di balik luka itu terbangun dan memberontak keluar. Lalu, mendadak Yoon merasakan kuncian pada kedua lengannya terbebas. Himpitan pada punggung yang membuat nafasnya terasa sesak mendadak lenyap dan, hanya dalam hitungan detik, sudut mata Yoon melihat tubuh kakaknya berkelebat. 
Detik selanjutnya, tubuh-tubuh yang tengah tertawa-tawa di sekeliling Seon yang menjerit ketakutan dalam tangisnya telah terlempar berhamburan dan mendarat di lantai halaman toko oleh tendangan dan pukulan Han yang sangat cepat. Keempat lelaki yang semula mengelilingi Seon memandang ke arah Han dengan ekspresi terkejut, tidak mengerti dan sekaligus takut. Sementara Seon yang telah terlepas dari rengkuhan lelaki di atasnya, kini meringkuk di bawah meja dan menangis tersebu-sedu. Kedua lengannya tertekuk menutupi bagian atas tubuhnya yang terbuka hingga kemudian, sehelai kain terbentang dan menutupi tubuh Seon. Gadis kecil itu menoleh dan menemukan Yoon yang telah melepaskan kemejanya. Seon menghambur dan bersembunyi dalam pelukan Yoon.
“Hyung?!...kenapa kau memukul kami?” tanya salah satu lelaki penuh tattoo sambil memegang perutnya yang terasa hancur oleh tendangan telak kaki Han.
“Karena kalian mengganggu anak itu!” bentak Han dengan mata melotot.
Keempat lelaki di depan Han saling berpandangan dengan heran.
“Tapi Hyung…bukankah Hyung yang menyuruh kami untuk melepaskan anak nakal itu dari tubuh Hyung?” jawab satu lelaki yang lain sambil mendekap hidungnya yang patah penuh darah oleh pukulan Han.
“Anak nakal itu adikku, dasar bodoh!” bentak Han lagi dengan lebih keras. “Dan aku hanya menyuruh kalian untuk melepaskannya dari bahuku, bukan menelanjangi lalu melecehkannya!”.
Keempat lelaki yang telah berusaha untuk berdiri terlihat semakin takut. Mereka bergerak mundur saat Han melangkah mendekat.
“Hyung….Hyung maafkan kami” ujar salah satu lelaki dengan suara gemetar. Tattoo di tubuhnya tak sebanyak tiga lelaki yang lain, namun tattoo-tattoo tersebut menggambarkan bentuk-bentuk yang seronok.
“Siapa dari kalian yang telah menyentuh tubuh adikku? Jawab!” sentak Han menggelegar.
Keempat lelaki saling berpandangan dengan kecut. Jelas terlihat nyali mereka yang meleleh serupa lilin termakan api. Lalu, dengan takut-takut, tiga lelaki menunjuk pada lelaki dengan tattoo seronok di lengan dan lehernya. Lelaki yang ditunjuk terlihat gemetar dan menatap tiga temannya dengan rasa sakit hati, lalu memandang ke arah Han. Kedua tangannya menangkup di depan dada.
“Hyung…aku…aku hanya sedikit saja menyentuhnya…dan…dan itu tidak sengaja…sungguh-sungguh tidak sengaja” ujarnya dengan raut memelas. Langkahnya surut mundur ke belakang sementara Han berjalan mendekatinya dengan sorot mata dingin penuh ancaman. “Hyung!...Hyung…maafkan aku…sungguh ampuni aku…aku benar-benar…”
Ucapan lelaki bertattoo seronok itu terputus saat mendadak tubuh Han bergerak dengan cepat. Lelaki bertattoo seronok sama sekali tak melihat kapan tangan atau kaki Kim Han Lu bergerak, namun kemudian, dalam detik berikutnya…..
“Kraaaaakkk!” suara berderak keras terdengar disusul rasa sakit luar biasa menyengat lengan lelaki bertattoo seronok yang tak bisa lagi menghindar dari gebrakan lelaki muda yang menyandang level Dan V dalam Taekwondo itu.
“UAAAAAAAA!...HYUUUUUUUNG…..AAAAAAAHHH!” jerit lelaki bertattoo seronok setinggi langit sambil mendekap lengannya yang patah dan lunglai. Tubuhnya membungkuk dengan wajah pias menahan sakit.
Han berdiri dengan mata berkilat marah. Satu jari telunjuknya teracung ke arah lelaki yang tengah kesakitan di depannya.
“Jangan lakukan lagi!” desisnya dengan nada penuh ancaman. “Atau aku akan mematahkan lehermu!....kau tahu aku tak pernah main-main!”.
Lelaki bertattoo seronok mengangguk-angguk dengan takut diiringi tiga lelaki lain. Keempatnya berdiri mengumpul beberapa langkah di depan Han.
“Kalian pergilah!” perintah Han kemudian. “Aku akan menyusul kalian!”.
“Baik Hyung!” bagaikan tahanan yang tiba-tiba dibebaskan, keempat lelaki itu segera melompat penuh semangat dan berlari pergi meninggalkan halaman depan toko, menyeberangi jalan dan menyeruak kerumunan tetangga dan orang-orang yang menonton peristiwa itu dengan cemas sekaligus takut. Mereka semua, telah mendengar tentang reputasi Han sehingga tak ada satupun yang berani untuk maju dan menolong Yoon dan adiknya.
Beberapa orang tetangga secara diam-diam menekan nomor polisi, tepat disaat Han melangkah ke arah Yoon dan Seon. Tanpa bicara, lelaki muda berusia dua puluh lima tahun itu membungkuk, memunguti uang yang bertebaran di lantai toko. Uang dalam toples kaca yang telah pecah. Yoon memandang Han tanpa kata. Membiarkan sang kakak mengambil seluruh hasil kerja kerasnya selama hampir satu bulan. Ketika Han telah selesai dengan uang yang tercecer di lantai toko, maka lelaki bertubuh besar dan gagah itu kembali bergerak dan kini, sasarannya adalah laci meja kasir. Hanya butuh sepuluh detik bagi Han untuk meraup semua uang yang tersimpan di laci meja kasir dan memasukkannya ke dalam saku celana jeansnya. Seon mengintip kakak pertamanya dari balik bahu Yoon dengan takut, namun kedua mata gadis kecil itu tak henti mengalirkan airmata.
Yoon merengkuh adiknya dan diam tertunduk sementara suara langkah sepatu Han mendekat dan kemudian, sosok yang tinggi besar itu berhenti tepat di depan Yoon dan Seon.
“Yoon-ah” panggil Han di atas kepala Yoon.
Yoon diam tak menyahut, kepalanya masih diam tertunduk hingga sebuah tangan yang kuat memegang rahang dan dagunya lalu memaksanya untuk menengadah. Dilihatnya Han kini tengah membungkuk tepat di atas kepalanya.
“Kau tidak mendengar aku memanggilmu?” tanya Han menatap lurus ke dalam mata adik lelakinya. “Atau kau memang tidak mau menjawab panggilan kakakmu?”.
Yoon menelan ludah. Merasakan sakit pada lehernya. Juga di hatinya.
“Aku tidak mengerti dirimu Hyung. Aku tidak bisa lagi memahami dirimu” ujar Yoon tak menghiraukan pertanyaan kakaknya.
Kim Han Lu menatap adik lelakinya dalam-dalam lalu mengangguk. “Baiklah….kau tidak perlu memahamiku. Tapi, kau tidak akan bisa melindungi siapapun jika kau masih mengurung dirimu sendiri Yoon-ah”.
Yoon membalas tatapan kakaknya. “Kenapa Hyung? Setidaknya beri aku jawaban kenapa kau lakukan semua ini pada kami? Pada Abeoji? Ommonie meninggal karena itulah takdir yang harus kita terima. Kenapa kau menyalahkan Abeoji?”
Han menggeleng lalu bangkit berdiri.
“Karena itulah aku katakan padamu untuk keluar dari kurunganmu sendiri Yoon-ah. Sudah dua belas tahun Ommonie meninggalkan kita. Kenapa kau tak mencoba mengunjungi makamnya? Atau meletakkan bunga di depan nisannya?. Kau harus menjadi besar Yoon-ah. Dengan begitu kau akan bisa melindungi siapapun yang membutuhkan perlindunganmu. Jika kau selalu menjadi adik kecil, maka aku akan sangat kesulitan untuk melindungimu seperti dulu” ujar Han membuat Yoon terkejut.
Mengunjungi Ommonie? Meletakkan bunga di depan nisannya?. Alis Yoon berkerut dalam.
Han melangkah ke arah pintu toko namun berhenti tepat di ambangnya. Kepalanya menoleh ke belakang dan menatap Yoon dengan sudut matanya.
“Berhentilah untuk cengeng Yoon-ah. Airmata hanya untuk saat bahagia ketika kau mensyukuri hadiah terbesar dari Para dewa atau Tuhan atau apapun nama-Nya. Bukan disaat kau kesulitan” kata Kim Han Lu sebelum melangkah pergi. Kerumunan tetangga dan orang-orang yang menonton segera menyibak begitu lelaki tampan bertubuh tinggi besar itu berjalan ke arah mereka seolah memberi jalan pada si sulung yang tengah murka dalam diamnya itu. Meninggalkan Yoon yang diam terpaku saat menyadari hal yang tak pernah terbersit dalam lintasan benaknya, Seon yang terus menangis….
Serta sesosok tubuh gemuk penuh lemak yang baru saja turun dari mobil Porsche mewahnya dan terpana menyaksikan seluruh kehancuran yang terjadi pada toko makanan tradisional yang sangat akrab dengannya. Sepasang mata pemuda gemuk itu membelalak saat melihat Han melintas di depannya.
“Hyung?....Han Hyung?...apa yang terjadi?” teriak Bok mencoba mengejar Han yang melangkah cepat.
“Jangan ikut campur Gendut” ujar Han sambil melirik tajam membuat langkah Bok seketika terhenti. “Urusi saja karung nasimu itu”.
Bok memandang Han dengan mata menyipit sementara Han melanjutkan langkah kakinya. Kali ini lebih cepat hingga sesaat kemudian punggung lelaki muda itu telah menghilang dibalik kerumunan tetangga yang menonton  dari jarak cukup jauh.
************

Yoon meletakkan semangkuk bibimbap di depan Bok yang duduk di kursi utuh yang tersisa. Seon mengurung diri di kamar sejak siang setelah kepergian Han dan empat temannya. Tetangga-tetangga segera membantu membereskan seluruh kehancuran di toko, menyisihkan  meja dan kursi yang patah dan rusak serta semua pecah belah yang hancur.
“Kau tidak makan?” tanya Bok sambil mengaduk nasi campurnya. Pandangannya sekilas tertuju pada Yoon yang duduk di atas meja counter dapur.
Yoon menggelengkan kepalanya. “Tidak. Aku tidak lapar”.
Bok mengangkat bahunya yang gemuk berlemak dan mulai menyuap nasi campur di depannya.
“Kenapa kau tiba-tiba muncul? Komputermu bermasalah lagi? kurasa sebaiknya kau membeli komputer baru atau notebook. Semua orang membawa notebook ke kampus, hanya kau yang tidak membawa apapun. Dan itu benar-benar aneh mengingat kau bisa membeli apapun yang kau mau” ujar Yoon sambil menatap sahabatnya yang tertunduk di atas mangkuk nasi campurnya. Kedua tangan Yoon terlipat di depan dada.
“Tidak ada masalah dengan komputerku. Dan aku tidak berminat untuk membeli notebook. Itu hanya akan membuatku berpikir untuk membuka situs-situs yang dapat menodai kesucianku…kau tau kan?” jawab Bok ringan sambil memasukkan sepotong asparagus ke dalam mulutnya.
Yoon tertawa pelan. Satu hal yang dikaguminya dari Bok adalah komitmentnya yang sangat kuat untuk tidak membuka situs-situs porno di internet. Bahkan dalam keseharian, selama mereka bersahabat, Yoon belum pernah melihat satupun gambar manusia dengan pakaian minim di kamar, di majalah, atau di buku-buku yang dibaca oleh Bok. Sang pewaris tunggal kerajaan transportasi itu bahkan tidak pernah pergi berenang di kolam renang umum, atau pantai wisata atau ke tempat-tempat di mana ia bisa menemukan gadis-gadis ataupun wanita dengan pakaian minim. Tapi, jaringan internet kan masih bisa dibuka dengan komputer? Yoon sungguh merasa geli.
“Jadi…kenapa kau datang?” tanya Yoon masih dengan tawanya.
Bok menghentikan suapannya sesaat dan sedikit mengangkat mukanya meski tak benar-benar menatap Yoon yang duduk di atas counter dapur di depannya.
“Karena kau menghilang….ponselmu tidak pernah aktif dan telepon toko selalu sibuk” jawab Bok sambil kembali menekuni mangkuk bibimbapnya. “Jadi aku putuskan untuk datang menemuimu. Kupikir aku harus mengingatkanmu”.
“Mengingatkanku? Tentang apa?” tanya Yoon sambil menatap Bok.
Bok meletakkan sumpitnya setelah menyelesaikan suapan terakhir. Tubuhnya menegak dan membalas tatapan Yoon dengan raut serius.
“Mengingatkanmu bahwa kau masih terlalu tampan untuk menjadi seorang biksu” jawab  Bok dengan ekspresi sangat serius.
Yoon terpana sedetik mendengar jawaban Bok, namun kemudian tawa pemuda itu meledak membuat Seon yang tengah menelungkup di atas ranjang mengangkat mukanya yang sembab dengan raut heran. Hal terlucu apa yang membuat Yoon tertawa begitu keras di saat mereka baru saja mengalami hari yang sangat buruk?. Seon bangkit dari ranjangnya dan beranjak ke arah pintu lalu membukanya sedikit. Dari sela pintu dapat dilihatnya Yoon yang duduk di atas counter dapur berhadapan dengan Bok yang duduk dengan posisi membelakanginya. Seon sangat ingin keluar untuk menemui kakaknya tapi keberadaan Bok membuatnya memilih mengurung diri di kamar sejak siang tadi. Ia, entah untuk alasan apa, merasa tidak suka dengan pemuda bertubuh sangat gemuk itu.
“Ya!...Yoon-ah…kenapa kau tertawa disaat aku sangat serius? Kau menghilang dari peredaran sejak sebulan yang lalu dan setelah itu tak ada lagi kabar berita tentang dirimu. Kau tidak pernah menelponku atau mengirim pesan padaku. Ponselmu tidak aktif, kau tidak pernah meng-update SNS-mu, twitter-mu sepi, dan aku tidak bisa menghubungimu sama sekali. Kau pikir, apa yang akan kupikirkan tentang dirimu? Aku sangat mengenalmu jadi aku yakin kau tidak akan bunuh diri hanya karena kakakmu. Kau juga bukan orang yang akan pergi tanpa pamit. Satu-satunya yang mungkin untuk kau lakukan adalah menjadi seorang biksu. Tapi aku masih belum merelakanmu karena pertama kau terlalu tampan untuk menjadi seorang biksu. Kedua, jika kau menjadi biksu maka tidak akan ada wanita dan gadis yang mau menikah. Jadi, bagaimana nasibku nanti jika semua wanita mengikuti jejakmu menjadi perawat kuil? Aku tidak mau mati sambil menyandang status sebagai perjaka tanpa kesempatan untuk melepaskan kesucianku yang selalu kujaga Yoon-ah” sambung Bok panjang lebar membuat tawa Yoon semakin panjang dan keras.
Tubuh Yoon terbungkuk sementara tawanya membahana memenuhi ruang toko.
“Yoon-ah….jangan tertawakan aku seperti itu” ujar Bok sambil memandang sahabatnya yang masih diguncang tawa. “Yoon-ah…Yoon-ah…Aish”.
Yoon masih terus tertawa, dan kembali tertawa saat menatap wajah Bok yang bulat dengan mimik serius yang justru terlihat sangat lucu. Sementara malam terus merambat semakin jauh. Jalan di depan toko telah sepi dari kendaraan yang berlalu lalang.
************

Tidak ada komentar:

Posting Komentar