Kamis, 19 Februari 2015

Straigh - Episode 1 ( Bagian Tiga )



Dua minggu kemudian….
“Seon!....Seon!” panggil Yoon pada adiknya. Kepalanya sedikit melongok ke bawah, pada pintu menuju dapur toko sementara tangan kirinya memegang beberapa helai pakaian yang telah kering. Di sisi kaki Yoon, terdapat sebuah ember bulat berisi pakaian basah yang telah selesai di cucinya. Tali-tali jemuran di lantai atap toko menjadi tempat bagi Yoon untuk mengeringkan pakaian basah. Ia dan Seon kini tinggal di toko.
Yoon melempar pandangannya. Langit cerah dan biru. Segalanya berubah dengan sangat cepat. Seperti jarum kompas yang di putar balik dengan kecepatan tinggi. Tak terpikirkan dalam  benak Yoon bahwa ia akan menjalani kehidupan seperti saat ini. Yoon benar-benar merasa dunianya seperti terjungkir balik dalam sekejab mata. Segalanya berubah hanya dalam beberapa detik, dan waktu-waktu setelah detik yang menghancurkan itu, tiba-tiba ia dihadapkan pada dunia yang baru, yang sangat berbeda dengan yang dikenalnya selama ini sebelum detik kehancuran itu datang.
Ia…yang selama ini hanya mengenal komputer dan notebook sebagai sarananya saat memasuki dunia IT, tiba-tiba harus bergulat dengan dunia dapur, mengenal segala alat-alat dapur yang selama ia menjadi anak Abeoji dan Ommonie-nya, hanya dilihatnya sepintas lalu karena ia selalu merasa yakin bahwa hidupnya tak akan pernah sama dengan jalan yang diambil oleh orangtuanya sebagai juru masak.
Panci…ketel, penggorengan, teflon, pisau dan semua saudaranya yang berfungsi sebagai alat pemotong, pengerat, penggergaji, penyayat, penyisir dan entah apalagi. Lalu oven, pemanggang barbeque, pemanggang daging, cetakan kue dengan semua bentuk dan ukurannya. Dan masih begitu banyak yang harus dikenalnya dan dihafalnya. Yoon sungguh tak mengira, ada hal-hal yang jauh lebih sulit untuk dihafalkan daripada rumus-rumus maupun istilah dalam dunia komputer yang begitu banyak.
Dan itu semua demi Seon. Demi Abeoji yang saat ini tengah mendekam dalam penjara karena hutang yang diambil oleh Han, kakaknya, dalam jumlah yang sangat besar dengan menggunakan sertifikat rumah dan toko mereka sebagai jaminan. Uang yang telah habis digunakan oleh Han di meja judi dan arena balap yang tak pernah dimenangkannya. Hari ketika Seon memanggilnya untuk pulang itu, ia segera mendapatkan kenyataan yang teramat sangat pahit tersebut. Bank menyita rumah dan semua isinya, mobil tua Abeoji serta satu buah truk tua yang biasa digunakannya untuk membeli sayuran dan kebutuhan toko bersama ayahnya. Hanya karena jaminan dari Bok saja, yang membuat pihak bank melepaskan toko dari penyitaan. Dan di toko inilah, ia dan Seon kini tinggal.
Keluarga Park menawarkan bantuan pengacara untuk membantu Abeoji di pengadilan namun Abeoji menolaknya secara halus. Demikian juga ketika orangtua Bok datang ke penjara dan menawarkan uang untuk menutup hutang di bank. Dan Yoon tahu apa sebabnya. Mereka telah begitu banyak menerima bantuan dan kebaikan dari keluarga Park. Bahkan setelah Ommonie pergi hampir tiga belas tahun yang lalu. Bagaimanapun, Yoon dapat memahami adanya harga diri di dalam hati ayahnya karena iapun memiliki harga diri itu. Tetapi, bertahan di tengah badai juga bukanlah hal yang mudah bagi Yoon. Ia seperti sendirian sekarang. Hal-hal yang membuatnya tetap bersemangat adalah adanya Seon di sisinya serta sebuah kalimat yang dibisikkan oleh Abeoji sesaat sebelum dibawa pergi oleh polisi.
“Yoon-ah….toko kita dan adikmu, itu satu-satunya peninggalan ibumu. Lakukan apapun untuk mempertahankan mereka, jangan sampai hilang. Abeoji percaya padamu. Kau pasti bisa”.
Tapi, apa yang bisa dilakukannya? Selama dua minggu sejak hari itu hingga sekarang, ia hanya berdiam di dalam toko yang telah disulapnya menjadi tempat tinggal untuknya dan Seon. Gudang belakang yang sempit diubahnya menjadi kamar untuk Seon sementara ia lebih memilih tidur di dapur dengan sehelai matras sebagai alas. Ia tidak tahu bagaimana cara mendapatkan uang untuk menebus ayahnya di penjara. Ia juga tidak tahu bagaimana caranya menyicil hutang bank yang masih tersisa lebih dari separuhnya. Selama ini, ia hanya membantu Abeoji mengurusi toko dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang menjadi bagiannya seperti mengurusi Seon, mencuci pakaian mereka sekeluarga, membantu Abeoji membeli sayur dan keperluan toko serta, mencatat pembukuan keuangan toko dalam komputer tua ayahnya. Selain dari itu, Yoon benar-benar tak tahu apalagi yang bisa dikerjakannya.
Ia telah mengambil cuti dari bangku kuliah dengan diiringi linangan air mata seluruh mahasiswi di kampus, keluhan para dosen dan rengekan Bok. Yoon tahu, ia tak akan bisa memikirkan kuliah yang sangat disukainya itu dengan keadaan yang mesti dihadapinya sekarang.
Dalam dua minggu ini, Yoon telah tiga kali menengok Abeoji di penjara sementara Han, yang menjadi penyebab malapetaka dalam keluarga mereka sama sekali tak menampakkan batang hidungnya. Yoon telah mencari Han di beberapa tempat yang ia tahu biasa digunakan Han berkumpul dengan teman-teman geng motornya, namun, Han seperti lenyap ditelan bumi. Anak-anak geng motor tak satupun yang memberitahu di mana Han berada. Yoon berusaha membuat keadaan menjadi normal bagi Seon dan menyuruh gadis kecil itu untuk pergi sekolah seperti biasa. Namun tampaknya, usahanya tak begitu berhasil. Meski tetap terlihat ceria, Seon dapat merasakan perubahan besar yang mereka alami. Tidak ada masalah dengan makanan karena Abeoji menyimpan banyak bahan makanan di dalam cooler besar sebagai persediaan untuk toko. Buah, sayur, telur bahkan daging.
Tapi Yoon tak tahu bagaimana harus memenuhi kebutuhan Seon yang berhubungan dengan uang. Setelah seminggu toko tutup, atas permintaan Abeoji, Yoon membuka kembali toko dengan keadaan seadanya. Ia, hanya bisa memasak beberapa snack dan makanan tradisional seperti ddeubokki, kimbab, kimchi, Oinamul, Sundubu Jigae, Bonchon Chicken, Meuntang, Japchae, Hobakjuk, Bibimbap, Dakgalbi dan Bulgogi serta sedikit kemampuan meramu Pat Bing Soo yang pernah di ajarkan Ommonie. Namun, setelah berita di tangkapnya Abeoji, banyak pelanggan toko yang kabur dan berpindah ke toko lain. Hanya tertinggal sedikit pelanggan lama yang semuanya adalah teman dekat dan sahabat Abeoji dan Ommonie. Dan hal itu tentu saja mempengaruhi penghasilan toko. Yoon menghitung pendapatan toko yang sangat jauh berkurang setelah Abeoji dipenjara. Ia nyaris tak bisa menyisihkan uang untuk kebutuhan Seon. Dulu, Abeoji selalu memberi uang jajan yang cukup pada Seon, kini seringkali gadis kecil itu berangkat ke sekolah tanpa uang saku selain bekal makan siang atau beberapa potong roti sandwich yang dibuat sendiri oleh Yoon.
Dan itu sangat menyedihkan bagi Yoon.
“Seon!...Seon!...” panggil Yoon lagi saat tak mendengar jawaban dari adiknya.
“Ya Oppa?!” seru Seon dari arah dapur.
Kepala Yoon menengok ke arah tangga menuju dapur dan tak mendapati sosok adiknya di sana, membuatnya membanting satu helai blus Seon yang telah diperasnya kembali ke dalam ember. Lalu, dengan langkah cepat, pemuda itu melangkah ke tangga menuju dapur, menuruni tangga kayu dengan cepat hanya dalam tiga kali langkah lebar dengan kakinya yang panjang sebelum kemudian membuka pintu gudang yang kini menjadi kamar adiknya. Seon terlihat tengkurap di atas ranjang mungilnya dengan jemari sibuk menari di atas App. Sepasang mata beningnya begitu jernih dan fokus menatap ke layar App tanpa sedikitpun melirik sang kakak yang berdiri di ambang pintu.
“Ya!...kau tidak dengar yang Oppa katakan? Seon?!” tegur Yoon dengan suara keras.
Seon menoleh dan mengerjab.
“Iya oppa…Seon dengar. Nanti Seon akan bereskan” jawab gadis kecil itu sambil kembali ke layar App-nya.
“Seon!...Oppa bilang sekarang! Bagaimana kalau nanti ada pelanggan yang datang dan meja masih berantakan?!” seru Yoon mulai tak sabar.
“Kalau begitu Oppa yang bereskan mejanya. Seon lelah” jawab Seon tanpa menoleh lagi pada sang kakak.
Mata Yoon membelalak sekejab mendengar jawaban adiknya dan kemudian, dengan dua langkah lebar, ia telah sampai di sisi Seon. Tangan kanannya terayun merenggut App dari jemari mungil adiknya dan melemparnya begitu saja di atas meja belajar.
“Oppa!...” teriak Seon sambil mencoba meraih App-nya kembali tapi tangan besar Yoon segera menindih App mungil tersebut.
“Oppa jahat!” teriak Seon dengan sepasang mata membelalak marah.
“Karena kau tidak patuh pada Oppa!” balas Yoon tak kalah keras. “Sudah berapa kali Oppa menyuruhmu merapikan meja di depan supaya kalau ada pelanggan datang, semua meja sudah rapi dan bersih. Hah?! Kau tidak dengar?”.
“Seon lelah Oppa!....kenapa tidak Oppa sendiri yang merapikan mejanya?!” sembur Seon.
“Kau lihat Oppa melakukan semuanya sendiri. Oppa sudah memasak tadi pagi, Oppa mencuci baju-bajumu, melayani pelanggan sendiri. Apa kau tidak mau membantu sedikit saja pekerjaan di rumah? Kau sudah sebesar ini tapi hanya bermain dan tidur saja setiap hari. Benar-benar pemalas!” ucap Yoon beruntun. Kemarahannya benar-benar tersulut sekarang.
Seon menatap kakaknya dengan bibir terkatup rapat. Sepasang mata jernih yang biasa ceria kini terlihat garang. Namun, hanya sesaat, karena saat berikutnya, sepasang mata yang bening itu mulai berkabut seiring bibir merah mungil yang mencebik dalam tangis. Lalu, tanpa dapat di cegah oleh Yoon, gadis kecil itu mulai menangis dengan suara yang keras dan tersendat-sendat. Yoon merasa kepalanya seperti di pukul sebuah palu. Ia paling tidak suka dengan tangis Seon. Bukan karena suara tangis adiknya itu sangat memekakkan telinga melainkan karena suara Seon saat menangis terdengar sangat menyayat baginya. Seperti menyeret serangkaian penderitaan atau kesedihan di dalam hati. Seon itu, hampir tak pernah terlihat sedih. Namun, bagi Yoon, yang mengurusi adiknya sejak masih berwujud bayi merah – karena Abeoji tak pernah berhenti menyalahkan dirinya sendiri atas kepergian Ommonie, Abeoji tak pernah sedikitpun menunjukkan perhatian pada bayi perempuan mungil yang sangat cantik itu, sehingga Yoon-lah yang mengurusinya dengan dibantu oleh seorang wanita tetangga yang menjadi pengasuh paruh waktu setiap Yoon pergi ke sekolah – sangatlah mudah baginya untuk mengetahui bahwa di balik keceriaan wajahnya yang sangat cantik di usia hampir tiga belas tahunnya, sesungguhya Seon menyimpan kesedihan-kesedihannya sendiri. Dan salah satunya adalah kerinduan gadis kecil itu pada perhatian Abeoji yang tak pernah didapatkannya.
Yoon menepuk kepalanya dengan sedikit keras lalu berbalik dan bersiap meninggalkan adiknya yang masih menangis tersedu-sedu. Seon terlihat berusaha untuk bangkit dari ranjangnya.
Namun, sesuatu yang terkilas di ujung matanya, membuat Yoon kembali berbalik menghadap ke arah Seon dan dengan gerakan secepat kilat, tangannya telah menyingkap selimut yang menutupi tubuh Seon hingga sebatas pinggang. Selanjutnya, kedua mata Yoon Lu kembali terbelalak ketika melihat berkas luka memar yang lebar dengan warna biru lebam dan sebagian lagi bahkan menyeruakkan luka yang pecah memerah dengan lapisan darah yang mengering di lutut kanan Seon. Yoon serta merta membungkuk dan tangannya memegang lutut adiknya.
“Ini kenapa? Kenapa kau bisa terluka seperti ini? Kau jatuh? Kenapa kau tidak bilang pada Oppa?” tanya Yoon beruntun.
Seon, yang masih menangis, menepis tangan kakaknya dengan keras dan ekspresi marah yang rapuh. “Seon baik-baik saja!...jangan pedulikan Seon! Oppa jahat seperti Abeoji!...Oppa pergi!...Keluar!”.
Yoon tertegun. Matanya menatap adiknya. Ada rasa sesal menyusup dalam hatinya namun juga kesal yang tak dapat lagi diungkapkannya. Terlebih di saat Seon menjadi rapuh seperti sekarang. Maka, setelah menarik nafas panjang, Yoon segera bangkit berdiri dan berjalan menuju pintu. Meninggalkan adiknya yang masih tersedu-sedu dan tangis gadis kecil itu semakin keras saat pintu kamarnya telah tertutup rapat di belakang punggung Yoon, membekaskan wajah sang kakak yang dipenuhi mendung dalam pandangan Seon.
*************
 
Hawai, di saat yang sama….
“Apa yang Ommonie katakan?” Leia terperanjat mendengar apa yang diucapkan oleh ibunya. Sepasang sumpit di tangannya terlepas dan jatuh di atas mangkuk nasi.
Mrs. Akela menatap putrinya sekilas sebelum kembali pada kuah sup di depannya.
“Jangan berteriak seperti itu. Nanti tetangga mendengar suaramu” tegur Mrs. Akela tanpa menjawab pertanyaan Leia.
“Tapi Omma menyuruhku untuk lari…dari pernikahan dengan Kai? Kenapa Omma menyuruhku melakukan hal itu?” tanya Leia sedikit berbisik.
“Karena Omma tahu kau tidak ingin menikah dengan Leo Kai” jawab Mrs. Akela sambil menyendok kuah supnya.
Leia menatap ibunya dengan pandangan penuh selidik. “Kalau Omma tahu aku tidak ingin menikah dengan Kai, lalu kenapa Omma diam saja saat Elder Agung melamarku untuk Kai?”.
Mrs. Akela menarik nafas dalam-dalam. Kali ini, sendok yang di pegangnya untuk menikmati kuah sup dilepaskan. Matanya terangkat dan menetap di wajah Leia.
“Kau sendiri tahu bagaimana posisi Omma di keluarga kita Leia. Omma hanyalah seorang istri ketiga. Dan karena Omma tidak memiliki darah Polynesia, maka Omma tidak memiliki hak suara di sini” jawab Mrs. Akela pelan. Sehelai kabut tipis membayang di sepasang mata yang selalu terlihat teduh dan tenang.
Leia mengerti. Ia kini mengerti seiring dengan pertambahan usia dan kedewasaannya, betapa lemah posisi ibu di keluarga besar mereka. Meski sesungguhnya, Leia telah sering melihat perlakuan-perlakuan tidak adil yang di terima oleh ibunya sejak batas ingatannya yang terjauh. Tapi, mendengar bahwa ia harus lari, benar-benar membuatnya kaget.
“Bagaimana caraku lari Omma? Lalu, aku harus lari ke mana? Ke rumah Malina? Bukankah itu sama saja? Elder dan Kai bisa menemukanku dengan mudah” ujar Leia.
“Pergi ke tempat di mana mereka tidak akan bisa menemukanmu Leia” jawab Mrs Akela.
“Di manakah itu Omma?”.
“Pulang ke kampung kita. Di sana kau akan aman dan Elder serta Kai tidak akan bisa menemukanmu” jawab Mrs. Akela sambil mencondongkan tubuhnya ke arah putrinya. Suaranya berbisik hati-hati seolah-olah setiap dinding dalam rumah tersebut memiliki telinga.
“Korea? Maksud Omma, aku harus pergi ke Korea?” sepasang mata Leia membelalak. “Tapi aku tidak….”
“Kau punya keluarga di sana Leia. Ada kakek dan nenekmu. Juga….” Mrs. Akela menghela nafas sesaat. “Juga bibimu. Mereka semua pasti akan membantumu. Omma akan memberimu alamat mereka dan kau harus mencarinya. Kau pasti bisa!”.
“Tapi Omma…” Leia berkerut dengan cemas.
“Omma ingin kau ikut ambil bagian dalam festival tahunan kali ini Leia. Ikutlah” ujar Mrs. Akela dengan wajah menunjukkan kesungguhan membuat Leia semakin terperanjat.
“Omma!....tapi aku sudah menolak saat Malina datang dan mengajakku. Bagaimana bisa tiba-tiba aku menggabungkan diriku pada mereka?” protes Leia keras.
“Omma akan bicara dengan Papa Lolo. Dia tidak akan bisa menolakmu Leia. Lagipula, festival itu masih dua bulan lagi. Kau punya kesempatan untuk mengejar mereka” sahut Mrs. Akela dengan keyakinan penuh.
Leia tercenung. Wajahnya berkerut dengan bibir cemberut. Ia sungguh malu untuk bergabung dengan grup Papa Lolo setelah ia menolak ajakan Malina dua minggu yang lalu. Apalagi, Malina belum datang mengunjunginya lagi sejak yang terakhir kali dua minggu lalu dan Leia berpikir bahwa sahabatnya itu mungkin terluka dengan penolakannya. Lalu, jika tiba-tiba ia bergabung, apa yang akan dipikirkan oleh Malina? Juga oleh Papa Lolo? Ah….
“Entahlah Omma” jawab Leia sambil bangkit berdiri meninggalkan mangkuknya yang telah kosong. “Rasanya tidak, aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasa maluku jika tiba-tiba aku bergabung dengan Papa Lolo setelah aku menolak mereka”.
Mrs. Akela menatap putrinya dengan pandangan tidak setuju. “Leia..Omma ingin kau ikut dengan grup Papa Lolo untuk festival tahunan kali ini. Kau tidak perlu terlalu mempedulikan apa yang akan mereka pikirkan”.
Leia beranjak dari hadapan ibunya dan mulai setengah berlari menuju ke kamar. “Tidak Omma, aku tidak mau. Aku masih punya harga diri”.
“Leia!...dengarkan dulu penjelasan Omma!” seru Mrs. Akela.
“Tidak!” jawab Leia dari lantai atas di susul suara pintu dibuka lalu di tutup kembali.
“Leia!....Leia!....Lee Eun Hee!...dengarkan Omma! Siapa yang mengajarimu bersikap tidak sopan? Eun Hee?!” panggil Mrs. Akela pada putrinya dengan nama Korea yang diberikannya.
Tak ada jawaban terdengar. Hanya suara angin yang bertiup di antara kerai bambu yang menghembuskan kabar tentang takdir yang segera terjadi. Jalan penuh kesulitan yang harus ditempuh namun tak bisa dihindari betapapun pedih dan sulit untuk melangkah di atas keterjalan jalan tersebut. Jalan yang telah terbentang sejak lama dan benar-benar takbisa dimengerti oleh Mrs. Akela. Ia hanya tahu bahwa jalan hidup putri tunggalnya telah digariskan dalam satu garis tegas yang tak bisa di hapus. Dan jalan yang tegas namun penuh dengan kesulitan itu akan dibawa oleh festival tahunan kali ini. Sayang, sang bunga Hawai tak mengerti pada jalan yang mesti di laluinya. Pada takdir yang tengah menantinya, yang di dengar Mrs. Akela dari wanita tua peramal yang tak pernah salah.

***********

 Seoul, Korea Selatan…
Tiga minggu sejak Abeoji di penjara…..
“Permisi!….Yoon-ah? Apakah sudah buka?” suara seorang wanita di depan toko membuat Yoon yang tengah mengaduk nasi untuk bahan kimbab menghentikan aktivitasnya. Kepalanya mendongak dari ketel kayu tempatnya mengaduk nasi putih harum yang mengepul panas. Dari sela-sela kerai pembatas dapur dan ruang makan untuk pelanggan, ia melihat seorang wanita bertubuh gemuk terlihat berdiri sambil melongok-longok ke dalam toko. Yoon mengenal wanita tersebut. Itu tetangga yang rumahnya di blok sebelah. Wanita yang memiliki toko kerajinan dari benang wool dan rajut.
Yoon mengelapkan kedua tangannya ke atas celemek yang menempel di tubuhnya sebelum berjalan ke depan toko untuk menemui wanita tetangga tersebut. Pandangannya sekilas melirik ke arah Seon yang terlihat asyik mengelap mangkuk-mangkuk bersih di sudut dapur. Kepala gadis kecil itu bergerak-gerak mengikuti irama musik yang didengarnya melalui headset.
“Ya Ahjumma? Ada apa? Kami sudah buka. Ahjumma membutuhkan sesuatu?” tanya Yoon sopan. Senyum cerah menyeruak dari bibirnya membuat wanita pemilik toko kerajinan itu sesaat terpana.
“Aaa….Yoon-ah! Kenapa lama sekali?” sambut wanita tersebut setelah tersadar dari pengaruh hipnotis senyum Yoon. “Ahjumma hanya mampir sebentar. Melihat apakah kau sudah membuat Bonchon Chicken (ayam goreng)? Ahjumma bisa pesan?”.
“Bonchon? Ah..ya Ahjumma. Baru saja matang. Ahjumma ingin berapa porsi?” tanya Yoon semangat. Sepasang matanya berbinar membuat wanita tetangga yang berdiri di depan Yoon tersebut merasa melihat sepasang bintang cemerlang telah tenggelam di kedua mata anak muda di depannya. Wanita pemilik toko kerajinan wool menggelengkan kepalanya dengan heran.
“Ah…Yoon-ah…kau ini. Seandainya ibumu ada di sini, pasti ia akan sangat bangga dan bahagia sekali melihatmu telah tumbuh begini tampan. Berapa banyak gadis dan wanita yang akan patah hati karenamu Yoon-ah?” ujar wanita tersebut membuat tawa Yoon meledak. Tangan kanan kiri Yoon terangkat menutupi mulutnya yang tertawa.
“Ahjumma…pertanyaan anda aneh sekali” ujar Yoon setelah tawanya reda.
“Ahjumma sungguh-sungguh Yoon-ah. Pasti banyak sekali gadis dan wanita yang akan patah hati karenamu” sahut wanita pemilik toko kerajinan sambil membeliakkan matanya. “Ah…sudahlah. Nanti juga kau akan membuktikannya sendiri. Sekarang, bisa kau bungkuskan tiga porsi ayam goreng untuk ahjumma Yoon-ah?”.
Yoon membungkukkan tubuhnya dengan rasa hormat. “Ya Ahjumma. Duduklah dulu dan tunggu sebentar”.
Wanita pemilik toko kerajinan mengangguk lalu melangkah ke salah satu kursi dan duduk sambil memperhatikan Yoon yang kembali melangkah menuju dapur.
Hanya butuh tiga menit bagi Yoon untuk membungkus Bonchon Chicken yang dipesan oleh pelanggan pertamanya pagi ini. Lalu, sambil melangkah lebar, Yoon menenteng bungkusan Bonchon Chicken dalam kantong plastik berwana putih jernih ke depan.
“Ahjumma…ini pesanan anda” ujar Yoon sambil meletakkan bungkusan ayam goreng ke atas meja di sisi wanita pemilik toko.
“Ah ya. Terima kasih Yoon-ah” jawab wanita pemilik toko kerajinan sambil meraih bungkusan ayam goreng yang di pesannya. “Wah…masih hangat. Kalau begitu, ini uangnya Yoon-ah. Terimalah”.
Yoon mengulurkan tangan menerima uang dari wanita di depannya. Bibirnya tersenyum dan sekilas menghitung uang yang di terimanya. “Terima kasih Ahjumma….tapi, uang ini terlalu banyak. Ambillah kembali uang lebihnya”.
“Tidak Yoon-ah. Jumlah uangnya memang sebanyak itu. Ahjumma membayar harga Bonchon yang Ahjumma pesan ini dan juga upah adikmu membantu Ahjumma merajut ” jawab wanita pemilik toko kerajinan membuat Yoon terkejut.
“Seon?....maksud Ahjuma, Seon merajut di toko Ahjumma?” tanya Yoon.
“Benar…apa kau tidak tahu? Itu aneh sekali. Padahal adikmu membantu Ahjumma selama sepuluh hari. Ah iya…ke mana adikmu Yoon-ah? Kenapa Ahjumma tidak melihatnya? Apakah kakinya sudah sembuh? Ia di tabrak mobil saat Ahjumma memintanya mengantarkan pesanan. Untunglah tidak apa-apa. Tapi kakinya berdarah cukup banyak. Ahjumma benar-benar minta maaf” tutur wanita pemilik toko kerajinan panjang lebar sementara Yoon tertegun.
Jadi….luka di kaki Seon yang dilihatnya seminggu lalu?
“Seon…dia sedang mengelap mangkuk di dapur Ahjumma. Tadi dia membantu saya mencuci alat-alat makan” jawab Yoon. Bibirnya masih mengembangkan senyum. “Dan kakinya sudah baik. Tidak sakit lagi”.
“Aah…syukurlah. Ahjumma kuatir sekali. Apalagi adikmu tidak ke tempat Ahjumma seminggu ini. Kau sungguh beruntung punya adik seperti dia Yoon-ah. Katanya, dia ingin membantumu mencari uang untuk menebus ayah kalian. Ahh…gadis baik…gadis yang sangat baik, benar-benar cantik” tutur wanita pemilik toko kerajinan sambil menggelengkan kepala.
Yoon tertunduk, menyembunyikan pikirannya sendiri yang kalut. Ia sungguh tak menyangka.
“Kalau begitu…Ahjumma pergi dulu Yoon-ah. Katakan pada adikmu, Ahjumma punya sweater untuknya. Itu gratis. Kalau dia sudah sembuh katakan pada adikmu untuk mengambilnya di toko Ahjumma. Ya?” sambung wanita pemilik toko kerajinan saat Yoon diam.
“Baik Ahjumma” Yoon membungkukkan tubuhnya dengan penuh rasa hormat. Senyum mengembang di wajahnya yang cemerlang. “Terima kasih banyak Ahjumma”.
Yoon masih menunggu sampai pelanggan pertamaya di pagi ini berlalu. Kemudian, saat wanita pemilik toko kerajinan itu telah pergi, kepala Yoon menoleh ke arah dapur. Telinganya masih mendengar suara berdenting dari mangkuk-mangkuk dan tempat makan lain yang dilap dan ditata oleh Seon. Kemudian, dengan langkah cepat Yoon masuk ke dapur dan berdiri di belakang Seon tepat saat gadis itu berbalik setelah menyelesaikan sendok dan mangkuk terakhir yang dilapnya.
“Ini” Yoon mengulurkan uang yang diberikan oleh wanita pemilik toko kerajinan sebagai upah Seon merajut selama sepuluh hari pada adiknya itu. “Ahjumma dari toko kerajinan yang memberikannya sebagai upahmu”.
Seon terkejut dan wajahnya menatap kakaknya dengan ekspresi takut. Namun, tangannya terulur juga menerima uang dari genggaman Yoon.
“Oppa…sudah tahu?” tanya Seon takut-takut. Diikutinya Yoon yang melangkah ke meja di mana ia meninggalkan nasi untuk dibuat kimbab. Seon menatap kakaknya yang diam tak menjawab dan kembali sibuk dengan nasi dalam wadah mangkuk kayu besar. Tangan Yoon terlihat cekatan dan cepat mengaduk nasi yang mengepul panas tersebut. Uap panas yang berasal dari nasi mengepul, membuat wajah Yoon memerah dan titik-titik keringat mulai menghiasi keningnya yang halus cemerlang.
“Oppa? Seon…tidak bermaksud untuk berbohong. Seon bekerja di tempat Ahjumma karena….karena Seon ingin membantu Oppa” ujar Seon di sisi kakaknya. Kedua tangan gadis kecil itu meremas-remas gulungan uang yang di dekapnya. Headset yang dipakainya telas dilepasnya dan tergantung melingkar di leher. “Oppa…apa…Oppa marah pada Seon?”.
Yoon menyendok nasi yang telah dingin dengan sendok kayu besar lalu meletakkannya di atas nori yang telah dibentangkannya. Dengan cepat jemari Yoon bergerak menata isian kimbab. Toko ini biasa menyediakan kimbab dengan daging ataupun irisan daging ikan segar. Namun, sejak Abeoji mendekam dalam penjara, Yoon mencoba mengubah kimbab yang biasa dibuat Abeoji tersebut dengan bentuk lain. Isian kimbab yang dibuatnya terdiri dari sayuran segar dan buah. Batang asparagus, potongan buah pear yang direndamnya dalam soju, buah alpukat dan daun mint. Pada awalnya, banyak pelanggan yang mempertanyakan rasa kimbab baru yang terasa sedikit aneh bagi mereka yang telah terbiasa dengan rasa kimbab daging buatan Abeoji. Namun, setelah beberapa hari, justru peminat kimbab sayur dan buah ala Yoon semakin banyak. Kimbab yang memiliki rasa unik, campuran rasa segar dan manis dari asparagus dan buah pear, rasa gurih buah alpukat dan aroma segar yang mengesankan rasa dingin dari daun mint membuat kimbab sayur dan buah ala Yoon terasa ringan untuk dinikmati. Disamping tentu saja, lebih sehat.
Meskipun sesungguhnya, Yoon mengubah bentuk kimbab yang dibuatnya hanyalah demi alasan penghematan. Harga daging dan ikan segar jauh lebih mahal dibanding sayuran. Dengan jumlah pelanggan yang jauh menurun setelah Abeoji dipenjara, berbelanja daging dan ikan segar menjadi beban yang berat. Karena itulah Yoon mengubah isian kimbabnya.
“Oppa…maafkan Seon” ucap Seon dengan suara bergetar saat kakaknya tak juga menjawab. Tangannya kanannya terulur menyentuh lengan Yoon yang tengah menggulung kimbab di depannya. Seon menelan ludah. Ia bisa melihatnya. Mendung di wajah Yoon yang selalu menggganggunya. Hal yang membuatnya mengambil pekerjaan di toko kerajinan. Perlahan, airmata mulai turun di pipi putih Seon.
“Oppa….Seon hanya ingin membantu Oppa. Seon ingin bisa mengumpulkan uang untuk menebus Abeoji dan melunasi hutang Han Oppa agar rumah kita bisa kembali. Karena itulah Seon merajut di toko Ahjumma. Seon tidak suka melihat Oppa bekerja begitu keras. Seon tidak suka melihat Oppa tidak tidur setiap malam. Dan…Oppa tidak kuliah lagi. Seon hanya ingin membantu Oppa….maafkan Seon Oppa. Seon tidak bermaksud membuat marah…Seon hanya…”
Kalimat Seon terhenti saat mendadak Yoon berbalik dan merengkuh adiknya, lalu memeluk Seon erat-erat membuat tangis gadis kecil itu semakin keras. Tangan Yoon mengelus kepala adiknya penuh sayang. Wajahnya yang kalut terbenam di rambut Seon yang ikal dan wangi.
“Berjanjilah pada Oppa untuk tidak bekerja lagi di tempat Ahjumma atau dimanapun. Berjanjilah Seon” ucap Yoon di atas kepala adiknya.
“Tapi Oppa…bagaimana dengan Abeoji? Rumah kita dan tagihan dari bank?” sahut Seon dalam sedu sedannya.
Yoon melepaskan pelukannya dan membungkukkan tubuhnya agar matanya sejajar dengan mata Seon. Kedua tangannya memegang bahu adiknya dengan erat.
“Dengar!…Oppa akan menebus Abeoji dan mengembalikan rumah kita. Percayalah pada Oppa. Kau tidak perlu mengkhawatirkan Oppa, Seon. Oppa akan baik-baik saja dan pasti akan berhasil. Yakinlah!...tugasmu hanya sekolah dan belajar baik-baik. Kau mengerti Seon? Kau mengerti?” Yoon sedikit mengguncang bahu Seon untuk mencari keyakinan gadis kecil itu.
Seon menatap kakaknya. Airmata masih mengalir di pipinya sementara bibirnya yang merah segar terlihat mencebik. Namun, akhirnya kepala berhias rambut ikal coklat muda itu mengangguk.
“Ya Oppa…Seon janji” ucap bibir Seon membuat senyum Yoon mengembang karena Yoon tahu, Seon tak pernah mengingkari janjinya.
“Bagus kalau begitu. Oppa senang Seon jadi adik yang baik” Yoon mengecup dahi Seon sekilas. “Sekarang bantu Oppa menyimpan kimbab-kimbab itu..oke? sebentar lagi para pelanggan pasti datang”.
“Ya Oppa” Seon mengangguk lagi, kali ini dengan gerakan lebih bersemangat.
“Semangat!” Yoon mengepalkan tangannya di depan adiknya. Senyumnya terkembang lebar.
“Semangat!” balas Seon sambil tertawa. Satu tangannya bergerak menjumput airmata di pipinya.
Yoon menjentik ujung hidung adiknya. “Ayo kita bekerja”.
Selanjutnya keceriaan kembali mewarnai dapur kecil itu. Suara Seon yang berdenting-denting terdengar renyah seolah ribuan butir permata yang jatuh terberai ke atas lantai di selingi tawa Yoon melihat tingkah adiknya.
**********

Seoul, Korea Selatan..
Hari Senin, pukul 08.00 AM waktu Seoul….
Empat minggu setelah Abeoji di penjara…
Yoon mengepak banchan yang telah disiapkannya dalam rantang empat tingkat. Ada beberapa masakan yang dibawanya. Semuanya kesukaan Abeoji sementara mangkuk dan piring kecil dimasukkannya ke dalam tas ransel hitamnya. Hari ini ia bermaksud menengok ayahnya itu. Selama seminggu ini, jumlah pelanggan meningkat meskipun tidak banyak. Hari-hari juga lebih tenang. Seon menepati janjinya dengan tidak lagi bekerja di toko kerajinan dan kembali ke sekolah. Yoon diam-diam pergi ke sekolah Seon untuk mengecek keberadaan adiknya itu dan merasa senang saat melihat Seon tengah duduk membaca dengan teman-temannya di taman sekolah saat jam istirahat. Han, masih belum muncul atau terlihat, meskipun Yoon, entah mengapa, merasa bahwa kakaknya itu mengawasi mereka dari tempat tersembunyi. Tadi malam, Yoon telah membuka toples tempatnya menyisihkan uang hasil toko dan merasa gembira saat menghitung uang tersebut dan mendapatkan jumlah yang lumayan. Rencananya, setelah menengok Abeoji, Yoon akan pergi ke bank untuk mengangsur cicilan hutang Han.
“Seon!...Oppa pergi menengok Abeoji sebentar. Kau bisa menjaga toko selama Oppa pergi kan?” seru Yoon pada adiknya yang tengah mengelap meja di bagian depan yang baru saja ditinggalkan pelanggan.
Seon bangkit dari meja yang ditekuninya. Kepalanya mendongak ke arah kakaknya. Senyum cerah mengembang disertai anggukan kepala penuh semangat.
“Ya Oppa!...serahkan saja pada Seon. Pasti beres!” serunya menjawab kakaknya.
Yoon tersenyum dan mengacak-acak kepala Seon saat sampai di sisi adiknya tersebut.
“Oppa pinjam sepedamu” ujar Yoon sambil melangkah cepat keluar dari toko.
“Ya Oppa!” seru Seon sambil melambaikan tangannya yang mungil.
Yoon mengayuh sepeda Seon dengan cepat. Mobil tua dan truk Abeoji masuk dalam daftar barang yang disita oleh bank sehingga ia takbisa menggunakan keduanya. Satu-satunya  alat  transportasi yang bisa digunakannya sekarang hanya sepeda Seon.
Penjara tempat Abeoji ditahan merupakan penjara wilayah yang kecil. Bukan penjara khusus untuk para kriminal kelas berat. Karena itu, Yoon merasa tenang. Orang-orang yang ada di penjara wilayah lebih lembut dan tidak berlaku kasar pada tahanan yang kebanyakan adalah orang-orang dengan kasus hutang yang tak terbayar seperti Abeoji. Hanya butuh lima belas menit dengan sepeda yang dikayuh cepat untuk sampai ke penjara wilayah tempat Abeoji di tahan. Dan petugas polisi yang berjaga dengan ramah mempersilahkan Yoon untuk masuk.
“Bagaimana keadaan toko kita Yoon-ah?” tanya Mr. Kim Dae sambil menatap putranya. Wajah Abeoji tampak lebih tua. Rambut di kepalanya terlihat lebih abu-abu dibanding yang terakhir kali dilihat Yoon seminggu lalu. Kaus tanpa kerah yang dikenakan Abeoji terlihat lusuh. Namun, Yoon dapat melihat betapa kedua mata ayahnya tampak tenang dan teduh. Tak ada lagi kilat-kilat kemarahan seperti saat awal Abeoji masuk ke penjara karena hutang yang diambil oleh Han.
“Lumayan Abeoji…dalam beberapa hari ini jumlah pelanggan kita meningkat meskipun belum kembali seperti saat dipegang Abeoji dulu” jawab Yoon sambil tersenyum gembira.
“Benarkah? Kau bisa memasak menu kita dengan baik? Jangan mengecewakan pelanggan Yoon-ah” ujar Mr. Kim Dae.
Yoon menggeleng. “Tidak Abeoji…aku belajar membuat beberapa masakan baru dan ternyata mereka menyukainya. Tentu saja selain masakan yang menjadi ikon toko kita”.
Mr. Kim Dae mengerutkan alisnya yang mulai berhias uban. Ekspresinya terlihat sedikit khawatir.
“Apa yang kau buat Yoo-ah? Hati-hati jika kau mau mengeluarkan produk baru. Kalau salah langkah, itu akan menghancurkan reputasi toko kita”.
Yoon tertawa kecil. Tangannya mendorong rantang yang terbungkus kain berwarna kuning pada ayahnya.
“Aku membawa contoh makanan baru yang kubuat. Appa cobalah” kata Yoon sambil tersenyum penuh arti. Sepasang lesung pipi menyembul mengingatkan Mr. Kim Dae pada  wanita yang sangat dicintainya. Hal yang selalu membuat Yoon menempati ruang khusus di hatinya salah satunya adalah besarnya kemiripan wajah putra keduanya itu dengan wanita yang tak akan pernah tergantikan dalam hatinya tersebut.
Mr. Kim Dae mengangkat bahunya yang kekar. Senyumnya menyeruak membuat wajah tampannya yang selama sebulan terakhir tertutup mendung kembali muncul.
“Baiklah. Cepat buka. Appa akan coba penemuanmu. Kalau memang rasanya lumayan dan layak untuk ditampilkan, tak masalah kau mengenalkannya pada pelanggan kita. Tapi ingat…kalau menurut Appa rasa makanan penemuanmu tidak layak, kau harus berhenti membuatnya. Atau pelanggan kita akan kabur” jawab Mr. Kim Dae dengan nada tenang.
Yoon tak menjawab kata-kata ayahnya, namun dengan cepat jemarinya bekerja dan membuka tutup rantang banchan yang di bawanya. Satu demi satu, empat buah rantang ditata di atas meja. Kemudian Yoon mengeluarkan beberapa buah mangkuk dan piring kecil dari dalam tas ranselnya serta beberapa pasang sumpit dan dua buah sendok kecil. Dengan cekatan Yoon mengambil sepotong kimbab buah dan sayur hasil kreasinya, ayam bumbu (Yangnyeom Tongdak) dan menyendok sup masing-masing ke dalam mangkuk-mangkuk kecil yang ada telah di tatanya, kecuali kimbab di letakkan dalam piring kecil. Kemudian, setelah semuanya selesai, Yoon mengangsurkan satu pasang sumpit dan sendok ke pada ayahnya.
“Nah Appa…silahkan mencicipi” ujar Yoon mempersilahkan ayahnya.
Mr. Kim Dae menatap putranya sesaat, lalu, setelah menarik satu kali nafas panjang tangannya meraih sumpit dan mengambil sepotong kimbab. Alisnya berkerut saat memperhatikan isian yang terlihat berbeda. Kemudian, disuapnya sepotong kimbab tersebut dan mulai mengunyah. Kerut yang menghias alis Mr. Kim Dae semakin dalam saat ia merasakan rasa dari kimbab di dalam mulutnya sementara Yoon diam menunggu. Bibirnya tersenyum meski terlihat otot-otot punggung pemuda itu mengejang pertanda tegang melihat reaksi ayahnya.
Lalu perlahan, setelah menelan kimbabnya, Mr. Kim Dae meletakkan sumpitnya ke atas mangkuk kosong di depannya. Sepasang mata yang mulai berhias warna abu-abu itu memandang ke depan. Tepat pada wajah putranya yang diam menunggu. Tak terlihat kilau emosi di kedalaman mata Mr. Kim Dae. Hanya ketenangan yang justru membuat jantung Yoon berdetak sedikit lebih keras. Apa yang dipikirkan ayahnya tentang kimbab buah itu?.
“Apa kau yakin dengan kimbab yang berbeda ini Yoon-ah?” tanya Mr. Kim Dae setelah beberapa saat diam.
Yoon mengangkat bahunya. Senyumnya masih mengembang meski sudut bibirnya agak tertekuk sedikit ke bawah menciptakan kesan sinis yang sambil lalu namun justru membuat wajahnya semakin mempesona.
“Entahlah Appa. Aku hanya mencoba-coba saja” jawab Yoon. “Tadinya aku hanya berpikir bagaimana caranya menghemat anggaran belanja  toko karena merosotnya jumlah pelanggan. Dan kupikir, aku bisa mencoba bentuk baru seperti…..”
“Jangan keluarkan lagi Yoon-ah!” potong Mr. Kim Dae tegas membuat Yoon terperanjat.
“Appa? Tapi kenapa? Apakah…apakah kimbab ini tidak enak?” tanya Yoon sambil memandang ayahnya. Senyum indah di wajahnya seketika lenyap.
“Makanan ini tidak layak untuk disajikan Yoon-ah” jawab Mr. Kim Dae sambil bersiap-siap berdiri dari kursinya.
Mendadak Yoon merasa panik. Tangannya terulur memegang lengan ayahnya yang telah berdiri dan bersiap pergi.
“Appa…bagaimana dengan makanan yang lain? Tidakkah Appa mencobanya lebih dulu” tanya Yoon mencoba mencegah ayahnya. Alisnya yang panjang indah berkerut cemas. Apakah ayahnya marah?
Mr. Kim Dae menoleh ke arah Yoon lalu dagunya bergerak menunjuk semua makanan yang dihidangkan putranya di atas meja.
“Semua makanan itu sama dengan kimbab yang kau buat Yoon-ah. Bawalah pulang. Mereka tidak layak untuk ditampilkan. Jangan disajikan lagi, atau kau akan menjatuhkan reputasi orangtuamu” jawab Mr. Kim Dae sambil melepaskan jemari Yoon yang memegang lengannya. Lalu, tanpa menunggu jawaban dari mulut Yoon, lelaki berusia sekitar lima puluhan tahun itu berjalan pelan ke arah penjaga yang berdiri di sisi pintu.
“Saya sudah selesai” kata Mr. Kim Dae sambil membungkuk hormat ke arah penjaga. “Bisakah anda mengantar saya ke ruangan saya?”.
Polisi penjaga tersenyum pada Mr. Kim Dae dan balas membungkuk pada lelaki setengah baya yang berkharisma di depannya.
“Appa!...Appa!” panggil Yoon yang juga telah bangkit berdiri. Raut wajah rupawannya terlihat terpukul dan tidak percaya.
Mr. Kim Dae yang telah melewati pintu menuju ruang tahanan menoleh dan memandang putranya.
“Pulanglah Yoon-ah. Jaga adikmu baik-baik dan jangan memasak lagi sampai kau mengerti di mana letak kesalahan dari makanan-makanan yang kau buat itu” jawab Mr. Kim Dae lalu berbalik dan mulai berjalan menjauh diiringi oleh polisi penjaga penjara, meninggalkan Yoon yang tertegun.
Apa sebenarnya yang salah dengan makanan yang dibuatnya? Dalam satu minggu lebih, Yoon melihat bahwa peminat masakan yang dibuatnya dalam bentuk baru cukup banyak dan lumayan. Lalu, di mana letak kesalahannya? Mengapa Abeoji melarang untuk menyajikan makanan itu lagi dalam daftar menu di toko? Mendadak Yoon merasakan seleret kesedihan yang menyusup ke dalam hatinya. Ia telah membayangkan sebelumnya bahwa ayahnya akan merasa bangga dengan masakan-masakan baru yang berhasil diciptakannya, namun ternyata kenyataan yang didapatnya sangat berbeda bahkan berbalik seratus delapan puluh derajat dari apa yang semula di bayangkannya. Lalu kenapa? Di mana letak kesalahannya?. Sambil mengayuh sepeda Seon perlahan menyusuri trotoar di sisi jalan raya yang ramai, benak Yoon terus berputar memikirkan setiap kalimat yang diucapkan oleh ayahnya seolah setiap perkataan yang didengarnya kini terngiang-ngiang di telinganya seperti bunyi gema genta kuil yang bertalu-talu saling memantul tiada henti.
“Jangan ditampilkan lagi….makanan itu tak layak…tidak layak…tidak layak…tidak layak…tidak layak…..”
Yoon mengibaskan kepalanya kuat-kuat. Wajahnya keruh berselimut mendung sementara kakinya semakin cepat mengayuh sepeda Seon. Rantang berisi makanan yang ditolak oleh ayahnya berdentang tergantung di stang sepeda bagian kiri, berayun-ayun seperti hendak jatuh.

*********
Bersambung........



Tidak ada komentar:

Posting Komentar