Dua
minggu kemudian….
“Seon!....Seon!”
panggil Yoon pada adiknya. Kepalanya sedikit melongok ke bawah, pada pintu
menuju dapur toko sementara tangan kirinya memegang beberapa helai pakaian yang
telah kering. Di sisi kaki Yoon, terdapat sebuah ember bulat berisi pakaian
basah yang telah selesai di cucinya. Tali-tali jemuran di lantai atap toko
menjadi tempat bagi Yoon untuk mengeringkan pakaian basah. Ia dan Seon kini
tinggal di toko.
Yoon
melempar pandangannya. Langit cerah dan biru. Segalanya berubah dengan sangat
cepat. Seperti jarum kompas yang di putar balik dengan kecepatan tinggi. Tak
terpikirkan dalam benak Yoon bahwa ia
akan menjalani kehidupan seperti saat ini. Yoon benar-benar merasa dunianya
seperti terjungkir balik dalam sekejab mata. Segalanya berubah hanya dalam
beberapa detik, dan waktu-waktu setelah detik yang menghancurkan itu, tiba-tiba
ia dihadapkan pada dunia yang baru, yang sangat berbeda dengan yang dikenalnya
selama ini sebelum detik kehancuran itu datang.
Ia…yang
selama ini hanya mengenal komputer dan notebook sebagai sarananya saat memasuki
dunia IT, tiba-tiba harus bergulat dengan dunia dapur, mengenal segala
alat-alat dapur yang selama ia menjadi anak Abeoji dan Ommonie-nya, hanya dilihatnya
sepintas lalu karena ia selalu merasa yakin bahwa hidupnya tak akan pernah sama
dengan jalan yang diambil oleh orangtuanya sebagai juru masak.
Panci…ketel,
penggorengan, teflon, pisau dan semua saudaranya yang berfungsi sebagai alat
pemotong, pengerat, penggergaji, penyayat, penyisir dan entah apalagi. Lalu
oven, pemanggang barbeque, pemanggang daging, cetakan kue dengan semua bentuk
dan ukurannya. Dan masih begitu banyak yang harus dikenalnya dan dihafalnya.
Yoon sungguh tak mengira, ada hal-hal yang jauh lebih sulit untuk dihafalkan
daripada rumus-rumus maupun istilah dalam dunia komputer yang begitu banyak.
Dan
itu semua demi Seon. Demi Abeoji yang saat ini tengah mendekam dalam penjara
karena hutang yang diambil oleh Han, kakaknya, dalam jumlah yang sangat besar
dengan menggunakan sertifikat rumah dan toko mereka sebagai jaminan. Uang yang telah
habis digunakan oleh Han di meja judi dan arena balap yang tak pernah
dimenangkannya. Hari ketika Seon memanggilnya untuk pulang itu, ia segera
mendapatkan kenyataan yang teramat sangat pahit tersebut. Bank menyita rumah
dan semua isinya, mobil tua Abeoji serta satu buah truk tua yang biasa
digunakannya untuk membeli sayuran dan kebutuhan toko bersama ayahnya. Hanya
karena jaminan dari Bok saja, yang membuat pihak bank melepaskan toko dari
penyitaan. Dan di toko inilah, ia dan Seon kini tinggal.
Keluarga
Park menawarkan bantuan pengacara untuk membantu Abeoji di pengadilan namun
Abeoji menolaknya secara halus. Demikian juga ketika orangtua Bok datang ke
penjara dan menawarkan uang untuk menutup hutang di bank. Dan Yoon tahu apa
sebabnya. Mereka telah begitu banyak menerima bantuan dan kebaikan dari
keluarga Park. Bahkan setelah Ommonie pergi hampir tiga belas tahun yang lalu.
Bagaimanapun, Yoon dapat memahami adanya harga diri di dalam hati ayahnya
karena iapun memiliki harga diri itu. Tetapi, bertahan di tengah badai juga
bukanlah hal yang mudah bagi Yoon. Ia seperti sendirian sekarang. Hal-hal yang
membuatnya tetap bersemangat adalah adanya Seon di sisinya serta sebuah kalimat
yang dibisikkan oleh Abeoji sesaat sebelum dibawa pergi oleh polisi.
“Yoon-ah….toko
kita dan adikmu, itu satu-satunya peninggalan ibumu. Lakukan apapun untuk
mempertahankan mereka, jangan sampai hilang. Abeoji percaya padamu. Kau pasti
bisa”.
Tapi,
apa yang bisa dilakukannya? Selama dua minggu sejak hari itu hingga sekarang,
ia hanya berdiam di dalam toko yang telah disulapnya menjadi tempat tinggal
untuknya dan Seon. Gudang belakang yang sempit diubahnya menjadi kamar untuk
Seon sementara ia lebih memilih tidur di dapur dengan sehelai matras sebagai alas.
Ia tidak tahu bagaimana cara mendapatkan uang untuk menebus ayahnya di penjara.
Ia juga tidak tahu bagaimana caranya menyicil hutang bank yang masih tersisa
lebih dari separuhnya. Selama ini, ia hanya membantu Abeoji mengurusi toko
dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang menjadi bagiannya seperti mengurusi
Seon, mencuci pakaian mereka sekeluarga, membantu Abeoji membeli sayur dan
keperluan toko serta, mencatat pembukuan keuangan toko dalam komputer tua
ayahnya. Selain dari itu, Yoon benar-benar tak tahu apalagi yang bisa
dikerjakannya.
Ia
telah mengambil cuti dari bangku kuliah dengan diiringi linangan air mata
seluruh mahasiswi di kampus, keluhan para dosen dan rengekan Bok. Yoon tahu, ia
tak akan bisa memikirkan kuliah yang sangat disukainya itu dengan keadaan yang
mesti dihadapinya sekarang.
Dalam
dua minggu ini, Yoon telah tiga kali menengok Abeoji di penjara sementara Han,
yang menjadi penyebab malapetaka dalam keluarga mereka sama sekali tak
menampakkan batang hidungnya. Yoon telah mencari Han di beberapa tempat yang ia
tahu biasa digunakan Han berkumpul dengan teman-teman geng motornya, namun, Han
seperti lenyap ditelan bumi. Anak-anak geng motor tak satupun yang memberitahu
di mana Han berada. Yoon berusaha membuat keadaan menjadi normal bagi Seon dan
menyuruh gadis kecil itu untuk pergi sekolah seperti biasa. Namun tampaknya,
usahanya tak begitu berhasil. Meski tetap terlihat ceria, Seon dapat merasakan
perubahan besar yang mereka alami. Tidak ada masalah dengan makanan karena
Abeoji menyimpan banyak bahan makanan di dalam cooler besar sebagai persediaan
untuk toko. Buah, sayur, telur bahkan daging.
Tapi
Yoon tak tahu bagaimana harus memenuhi kebutuhan Seon yang berhubungan dengan
uang. Setelah seminggu toko tutup, atas permintaan Abeoji, Yoon membuka kembali
toko dengan keadaan seadanya. Ia, hanya bisa memasak beberapa snack dan makanan
tradisional seperti ddeubokki, kimbab, kimchi, Oinamul, Sundubu Jigae, Bonchon
Chicken, Meuntang, Japchae, Hobakjuk, Bibimbap, Dakgalbi dan Bulgogi serta
sedikit kemampuan meramu Pat Bing Soo yang pernah di ajarkan Ommonie. Namun,
setelah berita di tangkapnya Abeoji, banyak pelanggan toko yang kabur dan
berpindah ke toko lain. Hanya tertinggal sedikit pelanggan lama yang semuanya
adalah teman dekat dan sahabat Abeoji dan Ommonie. Dan hal itu tentu saja
mempengaruhi penghasilan toko. Yoon menghitung pendapatan toko yang sangat jauh
berkurang setelah Abeoji dipenjara. Ia nyaris tak bisa menyisihkan uang untuk
kebutuhan Seon. Dulu, Abeoji selalu memberi uang jajan yang cukup pada Seon,
kini seringkali gadis kecil itu berangkat ke sekolah tanpa uang saku selain
bekal makan siang atau beberapa potong roti sandwich yang dibuat sendiri oleh
Yoon.
Dan
itu sangat menyedihkan bagi Yoon.
“Seon!...Seon!...”
panggil Yoon lagi saat tak mendengar jawaban dari adiknya.
“Ya
Oppa?!” seru Seon dari arah dapur.
Kepala
Yoon menengok ke arah tangga menuju dapur dan tak mendapati sosok adiknya di
sana, membuatnya membanting satu helai blus Seon yang telah diperasnya kembali
ke dalam ember. Lalu, dengan langkah cepat, pemuda itu melangkah ke tangga
menuju dapur, menuruni tangga kayu dengan cepat hanya dalam tiga kali langkah
lebar dengan kakinya yang panjang sebelum kemudian membuka pintu gudang yang
kini menjadi kamar adiknya. Seon terlihat tengkurap di atas ranjang mungilnya
dengan jemari sibuk menari di atas App. Sepasang mata beningnya begitu jernih
dan fokus menatap ke layar App tanpa sedikitpun melirik sang kakak yang berdiri
di ambang pintu.
“Ya!...kau
tidak dengar yang Oppa katakan? Seon?!” tegur Yoon dengan suara keras.
Seon
menoleh dan mengerjab.
“Iya
oppa…Seon dengar. Nanti Seon akan bereskan” jawab gadis kecil itu sambil
kembali ke layar App-nya.
“Seon!...Oppa
bilang sekarang! Bagaimana kalau nanti ada pelanggan yang datang dan meja masih
berantakan?!” seru Yoon mulai tak sabar.
“Kalau
begitu Oppa yang bereskan mejanya. Seon lelah” jawab Seon tanpa menoleh lagi
pada sang kakak.
Mata
Yoon membelalak sekejab mendengar jawaban adiknya dan kemudian, dengan dua
langkah lebar, ia telah sampai di sisi Seon. Tangan kanannya terayun merenggut
App dari jemari mungil adiknya dan melemparnya begitu saja di atas meja
belajar.
“Oppa!...”
teriak Seon sambil mencoba meraih App-nya kembali tapi tangan besar Yoon segera
menindih App mungil tersebut.
“Oppa
jahat!” teriak Seon dengan sepasang mata membelalak marah.
“Karena
kau tidak patuh pada Oppa!” balas Yoon tak kalah keras. “Sudah berapa kali Oppa
menyuruhmu merapikan meja di depan supaya kalau ada pelanggan datang, semua
meja sudah rapi dan bersih. Hah?! Kau tidak dengar?”.
“Seon
lelah Oppa!....kenapa tidak Oppa sendiri yang merapikan mejanya?!” sembur Seon.
“Kau
lihat Oppa melakukan semuanya sendiri. Oppa sudah memasak tadi pagi, Oppa
mencuci baju-bajumu, melayani pelanggan sendiri. Apa kau tidak mau membantu
sedikit saja pekerjaan di rumah? Kau sudah sebesar ini tapi hanya bermain dan
tidur saja setiap hari. Benar-benar pemalas!” ucap Yoon beruntun. Kemarahannya
benar-benar tersulut sekarang.
Seon
menatap kakaknya dengan bibir terkatup rapat. Sepasang mata jernih yang biasa
ceria kini terlihat garang. Namun, hanya sesaat, karena saat berikutnya,
sepasang mata yang bening itu mulai berkabut seiring bibir merah mungil yang
mencebik dalam tangis. Lalu, tanpa dapat di cegah oleh Yoon, gadis kecil itu
mulai menangis dengan suara yang keras dan tersendat-sendat. Yoon merasa
kepalanya seperti di pukul sebuah palu. Ia paling tidak suka dengan tangis
Seon. Bukan karena suara tangis adiknya itu sangat memekakkan telinga melainkan
karena suara Seon saat menangis terdengar sangat menyayat baginya. Seperti
menyeret serangkaian penderitaan atau kesedihan di dalam hati. Seon itu, hampir
tak pernah terlihat sedih. Namun, bagi Yoon, yang mengurusi adiknya sejak masih
berwujud bayi merah – karena Abeoji tak pernah berhenti menyalahkan dirinya
sendiri atas kepergian Ommonie, Abeoji tak pernah sedikitpun menunjukkan
perhatian pada bayi perempuan mungil yang sangat cantik itu, sehingga Yoon-lah
yang mengurusinya dengan dibantu oleh seorang wanita tetangga yang menjadi
pengasuh paruh waktu setiap Yoon pergi ke sekolah – sangatlah mudah baginya
untuk mengetahui bahwa di balik keceriaan wajahnya yang sangat cantik di usia
hampir tiga belas tahunnya, sesungguhya Seon menyimpan kesedihan-kesedihannya
sendiri. Dan salah satunya adalah kerinduan gadis kecil itu pada perhatian
Abeoji yang tak pernah didapatkannya.
Yoon
menepuk kepalanya dengan sedikit keras lalu berbalik dan bersiap meninggalkan
adiknya yang masih menangis tersedu-sedu. Seon terlihat berusaha untuk bangkit
dari ranjangnya.
Namun,
sesuatu yang terkilas di ujung matanya, membuat Yoon kembali berbalik menghadap
ke arah Seon dan dengan gerakan secepat kilat, tangannya telah menyingkap
selimut yang menutupi tubuh Seon hingga sebatas pinggang. Selanjutnya, kedua
mata Yoon Lu kembali terbelalak ketika melihat berkas luka memar yang lebar
dengan warna biru lebam dan sebagian lagi bahkan menyeruakkan luka yang pecah
memerah dengan lapisan darah yang mengering di lutut kanan Seon. Yoon serta
merta membungkuk dan tangannya memegang lutut adiknya.
“Ini
kenapa? Kenapa kau bisa terluka seperti ini? Kau jatuh? Kenapa kau tidak bilang
pada Oppa?” tanya Yoon beruntun.
Seon,
yang masih menangis, menepis tangan kakaknya dengan keras dan ekspresi marah
yang rapuh. “Seon baik-baik saja!...jangan pedulikan Seon! Oppa jahat seperti
Abeoji!...Oppa pergi!...Keluar!”.
Yoon
tertegun. Matanya menatap adiknya. Ada rasa sesal menyusup dalam hatinya namun
juga kesal yang tak dapat lagi diungkapkannya. Terlebih di saat Seon menjadi
rapuh seperti sekarang. Maka, setelah menarik nafas panjang, Yoon segera
bangkit berdiri dan berjalan menuju pintu. Meninggalkan adiknya yang masih
tersedu-sedu dan tangis gadis kecil itu semakin keras saat pintu kamarnya telah
tertutup rapat di belakang punggung Yoon, membekaskan wajah sang kakak yang
dipenuhi mendung dalam pandangan Seon.
*************
Hawai,
di saat yang sama….
“Apa
yang Ommonie katakan?” Leia terperanjat mendengar apa yang diucapkan oleh
ibunya. Sepasang sumpit di tangannya terlepas dan jatuh di atas mangkuk nasi.
Mrs.
Akela menatap putrinya sekilas sebelum kembali pada kuah sup di depannya.
“Jangan
berteriak seperti itu. Nanti tetangga mendengar suaramu” tegur Mrs. Akela tanpa
menjawab pertanyaan Leia.
“Tapi
Omma menyuruhku untuk lari…dari pernikahan dengan Kai? Kenapa Omma menyuruhku
melakukan hal itu?” tanya Leia sedikit berbisik.
“Karena
Omma tahu kau tidak ingin menikah dengan Leo Kai” jawab Mrs. Akela sambil
menyendok kuah supnya.
Leia
menatap ibunya dengan pandangan penuh selidik. “Kalau Omma tahu aku tidak ingin
menikah dengan Kai, lalu kenapa Omma diam saja saat Elder Agung melamarku untuk
Kai?”.
Mrs.
Akela menarik nafas dalam-dalam. Kali ini, sendok yang di pegangnya untuk
menikmati kuah sup dilepaskan. Matanya terangkat dan menetap di wajah Leia.
“Kau
sendiri tahu bagaimana posisi Omma di keluarga kita Leia. Omma hanyalah seorang
istri ketiga. Dan karena Omma tidak memiliki darah Polynesia, maka Omma tidak
memiliki hak suara di sini” jawab Mrs. Akela pelan. Sehelai kabut tipis
membayang di sepasang mata yang selalu terlihat teduh dan tenang.
Leia
mengerti. Ia kini mengerti seiring dengan pertambahan usia dan kedewasaannya,
betapa lemah posisi ibu di keluarga besar mereka. Meski sesungguhnya, Leia
telah sering melihat perlakuan-perlakuan tidak adil yang di terima oleh ibunya
sejak batas ingatannya yang terjauh. Tapi, mendengar bahwa ia harus lari,
benar-benar membuatnya kaget.
“Bagaimana
caraku lari Omma? Lalu, aku harus lari ke mana? Ke rumah Malina? Bukankah itu
sama saja? Elder dan Kai bisa menemukanku dengan mudah” ujar Leia.
“Pergi
ke tempat di mana mereka tidak akan bisa menemukanmu Leia” jawab Mrs Akela.
“Di
manakah itu Omma?”.
“Pulang
ke kampung kita. Di sana kau akan aman dan Elder serta Kai tidak akan bisa
menemukanmu” jawab Mrs. Akela sambil mencondongkan tubuhnya ke arah putrinya.
Suaranya berbisik hati-hati seolah-olah setiap dinding dalam rumah tersebut
memiliki telinga.
“Korea?
Maksud Omma, aku harus pergi ke Korea?” sepasang mata Leia membelalak. “Tapi
aku tidak….”
“Kau
punya keluarga di sana Leia. Ada kakek dan nenekmu. Juga….” Mrs. Akela menghela
nafas sesaat. “Juga bibimu. Mereka semua pasti akan membantumu. Omma akan
memberimu alamat mereka dan kau harus mencarinya. Kau pasti bisa!”.
“Tapi
Omma…” Leia berkerut dengan cemas.
“Omma
ingin kau ikut ambil bagian dalam festival tahunan kali ini Leia. Ikutlah” ujar
Mrs. Akela dengan wajah menunjukkan kesungguhan membuat Leia semakin
terperanjat.
“Omma!....tapi
aku sudah menolak saat Malina datang dan mengajakku. Bagaimana bisa tiba-tiba
aku menggabungkan diriku pada mereka?” protes Leia keras.
“Omma
akan bicara dengan Papa Lolo. Dia tidak akan bisa menolakmu Leia. Lagipula,
festival itu masih dua bulan lagi. Kau punya kesempatan untuk mengejar mereka”
sahut Mrs. Akela dengan keyakinan penuh.
Leia
tercenung. Wajahnya berkerut dengan bibir cemberut. Ia sungguh malu untuk
bergabung dengan grup Papa Lolo setelah ia menolak ajakan Malina dua minggu
yang lalu. Apalagi, Malina belum datang mengunjunginya lagi sejak yang terakhir
kali dua minggu lalu dan Leia berpikir bahwa sahabatnya itu mungkin terluka
dengan penolakannya. Lalu, jika tiba-tiba ia bergabung, apa yang akan
dipikirkan oleh Malina? Juga oleh Papa Lolo? Ah….
“Entahlah
Omma” jawab Leia sambil bangkit berdiri meninggalkan mangkuknya yang telah
kosong. “Rasanya tidak, aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasa maluku jika
tiba-tiba aku bergabung dengan Papa Lolo setelah aku menolak mereka”.
Mrs.
Akela menatap putrinya dengan pandangan tidak setuju. “Leia..Omma ingin kau
ikut dengan grup Papa Lolo untuk festival tahunan kali ini. Kau tidak perlu
terlalu mempedulikan apa yang akan mereka pikirkan”.
Leia
beranjak dari hadapan ibunya dan mulai setengah berlari menuju ke kamar. “Tidak
Omma, aku tidak mau. Aku masih punya harga diri”.
“Leia!...dengarkan
dulu penjelasan Omma!” seru Mrs. Akela.
“Tidak!”
jawab Leia dari lantai atas di susul suara pintu dibuka lalu di tutup kembali.
“Leia!....Leia!....Lee
Eun Hee!...dengarkan Omma! Siapa yang mengajarimu bersikap tidak sopan? Eun
Hee?!” panggil Mrs. Akela pada putrinya dengan nama Korea yang diberikannya.
Tak
ada jawaban terdengar. Hanya suara angin yang bertiup di antara kerai bambu
yang menghembuskan kabar tentang takdir yang segera terjadi. Jalan penuh
kesulitan yang harus ditempuh namun tak bisa dihindari betapapun pedih dan
sulit untuk melangkah di atas keterjalan jalan tersebut. Jalan yang telah
terbentang sejak lama dan benar-benar takbisa dimengerti oleh Mrs. Akela. Ia
hanya tahu bahwa jalan hidup putri tunggalnya telah digariskan dalam satu garis
tegas yang tak bisa di hapus. Dan jalan yang tegas namun penuh dengan kesulitan
itu akan dibawa oleh festival tahunan kali ini. Sayang, sang bunga Hawai tak
mengerti pada jalan yang mesti di laluinya. Pada takdir yang tengah menantinya,
yang di dengar Mrs. Akela dari wanita tua peramal yang tak pernah salah.
***********
Seoul, Korea Selatan…
Tiga
minggu sejak Abeoji di penjara…..
“Permisi!….Yoon-ah?
Apakah sudah buka?” suara seorang wanita di depan toko membuat Yoon yang tengah
mengaduk nasi untuk bahan kimbab menghentikan aktivitasnya. Kepalanya mendongak
dari ketel kayu tempatnya mengaduk nasi putih harum yang mengepul panas. Dari
sela-sela kerai pembatas dapur dan ruang makan untuk pelanggan, ia melihat
seorang wanita bertubuh gemuk terlihat berdiri sambil melongok-longok ke dalam
toko. Yoon mengenal wanita tersebut. Itu tetangga yang rumahnya di blok
sebelah. Wanita yang memiliki toko kerajinan dari benang wool dan rajut.
Yoon
mengelapkan kedua tangannya ke atas celemek yang menempel di tubuhnya sebelum
berjalan ke depan toko untuk menemui wanita tetangga tersebut. Pandangannya
sekilas melirik ke arah Seon yang terlihat asyik mengelap mangkuk-mangkuk
bersih di sudut dapur. Kepala gadis kecil itu bergerak-gerak mengikuti irama
musik yang didengarnya melalui headset.
“Ya
Ahjumma? Ada apa? Kami sudah buka. Ahjumma membutuhkan sesuatu?” tanya Yoon
sopan. Senyum cerah menyeruak dari bibirnya membuat wanita pemilik toko
kerajinan itu sesaat terpana.
“Aaa….Yoon-ah!
Kenapa lama sekali?” sambut wanita tersebut setelah tersadar dari pengaruh
hipnotis senyum Yoon. “Ahjumma hanya mampir sebentar. Melihat apakah kau sudah
membuat Bonchon Chicken (ayam goreng)? Ahjumma bisa pesan?”.
“Bonchon?
Ah..ya Ahjumma. Baru saja matang. Ahjumma ingin berapa porsi?” tanya Yoon
semangat. Sepasang matanya berbinar membuat wanita tetangga yang berdiri di
depan Yoon tersebut merasa melihat sepasang bintang cemerlang telah tenggelam
di kedua mata anak muda di depannya. Wanita pemilik toko kerajinan wool
menggelengkan kepalanya dengan heran.
“Ah…Yoon-ah…kau
ini. Seandainya ibumu ada di sini, pasti ia akan sangat bangga dan bahagia
sekali melihatmu telah tumbuh begini tampan. Berapa banyak gadis dan wanita
yang akan patah hati karenamu Yoon-ah?” ujar wanita tersebut membuat tawa Yoon
meledak. Tangan kanan kiri Yoon terangkat menutupi mulutnya yang tertawa.
“Ahjumma…pertanyaan
anda aneh sekali” ujar Yoon setelah tawanya reda.
“Ahjumma
sungguh-sungguh Yoon-ah. Pasti banyak sekali gadis dan wanita yang akan patah
hati karenamu” sahut wanita pemilik toko kerajinan sambil membeliakkan matanya.
“Ah…sudahlah. Nanti juga kau akan membuktikannya sendiri. Sekarang, bisa kau
bungkuskan tiga porsi ayam goreng untuk ahjumma Yoon-ah?”.
Yoon
membungkukkan tubuhnya dengan rasa hormat. “Ya Ahjumma. Duduklah dulu dan
tunggu sebentar”.
Wanita
pemilik toko kerajinan mengangguk lalu melangkah ke salah satu kursi dan duduk
sambil memperhatikan Yoon yang kembali melangkah menuju dapur.
Hanya
butuh tiga menit bagi Yoon untuk membungkus Bonchon Chicken yang dipesan oleh pelanggan
pertamanya pagi ini. Lalu, sambil melangkah lebar, Yoon menenteng bungkusan Bonchon
Chicken dalam kantong plastik berwana putih jernih ke depan.
“Ahjumma…ini
pesanan anda” ujar Yoon sambil meletakkan bungkusan ayam goreng ke atas meja di
sisi wanita pemilik toko.
“Ah
ya. Terima kasih Yoon-ah” jawab wanita pemilik toko kerajinan sambil meraih
bungkusan ayam goreng yang di pesannya. “Wah…masih hangat. Kalau begitu, ini
uangnya Yoon-ah. Terimalah”.
Yoon
mengulurkan tangan menerima uang dari wanita di depannya. Bibirnya tersenyum
dan sekilas menghitung uang yang di terimanya. “Terima kasih Ahjumma….tapi,
uang ini terlalu banyak. Ambillah kembali uang lebihnya”.
“Tidak
Yoon-ah. Jumlah uangnya memang sebanyak itu. Ahjumma membayar harga Bonchon
yang Ahjumma pesan ini dan juga upah adikmu membantu Ahjumma merajut ” jawab
wanita pemilik toko kerajinan membuat Yoon terkejut.
“Seon?....maksud
Ahjuma, Seon merajut di toko Ahjumma?” tanya Yoon.
“Benar…apa
kau tidak tahu? Itu aneh sekali. Padahal adikmu membantu Ahjumma selama sepuluh
hari. Ah iya…ke mana adikmu Yoon-ah? Kenapa Ahjumma tidak melihatnya? Apakah
kakinya sudah sembuh? Ia di tabrak mobil saat Ahjumma memintanya mengantarkan
pesanan. Untunglah tidak apa-apa. Tapi kakinya berdarah cukup banyak. Ahjumma
benar-benar minta maaf” tutur wanita pemilik toko kerajinan panjang lebar
sementara Yoon tertegun.
Jadi….luka
di kaki Seon yang dilihatnya seminggu lalu?
“Seon…dia
sedang mengelap mangkuk di dapur Ahjumma. Tadi dia membantu saya mencuci
alat-alat makan” jawab Yoon. Bibirnya masih mengembangkan senyum. “Dan kakinya
sudah baik. Tidak sakit lagi”.
“Aah…syukurlah.
Ahjumma kuatir sekali. Apalagi adikmu tidak ke tempat Ahjumma seminggu ini. Kau
sungguh beruntung punya adik seperti dia Yoon-ah. Katanya, dia ingin membantumu
mencari uang untuk menebus ayah kalian. Ahh…gadis baik…gadis yang sangat baik,
benar-benar cantik” tutur wanita pemilik toko kerajinan sambil menggelengkan
kepala.
Yoon
tertunduk, menyembunyikan pikirannya sendiri yang kalut. Ia sungguh tak
menyangka.
“Kalau
begitu…Ahjumma pergi dulu Yoon-ah. Katakan pada adikmu, Ahjumma punya sweater
untuknya. Itu gratis. Kalau dia sudah sembuh katakan pada adikmu untuk
mengambilnya di toko Ahjumma. Ya?” sambung wanita pemilik toko kerajinan saat
Yoon diam.
“Baik
Ahjumma” Yoon membungkukkan tubuhnya dengan penuh rasa hormat. Senyum
mengembang di wajahnya yang cemerlang. “Terima kasih banyak Ahjumma”.
Yoon
masih menunggu sampai pelanggan pertamaya di pagi ini berlalu. Kemudian, saat
wanita pemilik toko kerajinan itu telah pergi, kepala Yoon menoleh ke arah
dapur. Telinganya masih mendengar suara berdenting dari mangkuk-mangkuk dan
tempat makan lain yang dilap dan ditata oleh Seon. Kemudian, dengan langkah
cepat Yoon masuk ke dapur dan berdiri di belakang Seon tepat saat gadis itu
berbalik setelah menyelesaikan sendok dan mangkuk terakhir yang dilapnya.
“Ini”
Yoon mengulurkan uang yang diberikan oleh wanita pemilik toko kerajinan sebagai
upah Seon merajut selama sepuluh hari pada adiknya itu. “Ahjumma dari toko
kerajinan yang memberikannya sebagai upahmu”.
Seon
terkejut dan wajahnya menatap kakaknya dengan ekspresi takut. Namun, tangannya
terulur juga menerima uang dari genggaman Yoon.
“Oppa…sudah
tahu?” tanya Seon takut-takut. Diikutinya Yoon yang melangkah ke meja di mana
ia meninggalkan nasi untuk dibuat kimbab. Seon menatap kakaknya yang diam tak
menjawab dan kembali sibuk dengan nasi dalam wadah mangkuk kayu besar. Tangan
Yoon terlihat cekatan dan cepat mengaduk nasi yang mengepul panas tersebut. Uap
panas yang berasal dari nasi mengepul, membuat wajah Yoon memerah dan
titik-titik keringat mulai menghiasi keningnya yang halus cemerlang.
“Oppa?
Seon…tidak bermaksud untuk berbohong. Seon bekerja di tempat Ahjumma
karena….karena Seon ingin membantu Oppa” ujar Seon di sisi kakaknya. Kedua
tangan gadis kecil itu meremas-remas gulungan uang yang di dekapnya. Headset yang
dipakainya telas dilepasnya dan tergantung melingkar di leher. “Oppa…apa…Oppa
marah pada Seon?”.
Yoon
menyendok nasi yang telah dingin dengan sendok kayu besar lalu meletakkannya di
atas nori yang telah dibentangkannya. Dengan cepat jemari Yoon bergerak menata
isian kimbab. Toko ini biasa menyediakan kimbab dengan daging ataupun irisan
daging ikan segar. Namun, sejak Abeoji mendekam dalam penjara, Yoon mencoba mengubah
kimbab yang biasa dibuat Abeoji tersebut dengan bentuk lain. Isian kimbab yang
dibuatnya terdiri dari sayuran segar dan buah. Batang asparagus, potongan buah
pear yang direndamnya dalam soju, buah alpukat dan daun mint. Pada awalnya,
banyak pelanggan yang mempertanyakan rasa kimbab baru yang terasa sedikit aneh
bagi mereka yang telah terbiasa dengan rasa kimbab daging buatan Abeoji. Namun,
setelah beberapa hari, justru peminat kimbab sayur dan buah ala Yoon semakin
banyak. Kimbab yang memiliki rasa unik, campuran rasa segar dan manis dari
asparagus dan buah pear, rasa gurih buah alpukat dan aroma segar yang
mengesankan rasa dingin dari daun mint membuat kimbab sayur dan buah ala Yoon
terasa ringan untuk dinikmati. Disamping tentu saja, lebih sehat.
Meskipun
sesungguhnya, Yoon mengubah bentuk kimbab yang dibuatnya hanyalah demi alasan
penghematan. Harga daging dan ikan segar jauh lebih mahal dibanding sayuran.
Dengan jumlah pelanggan yang jauh menurun setelah Abeoji dipenjara, berbelanja
daging dan ikan segar menjadi beban yang berat. Karena itulah Yoon mengubah
isian kimbabnya.
“Oppa…maafkan
Seon” ucap Seon dengan suara bergetar saat kakaknya tak juga menjawab.
Tangannya kanannya terulur menyentuh lengan Yoon yang tengah menggulung kimbab
di depannya. Seon menelan ludah. Ia bisa melihatnya. Mendung di wajah Yoon yang
selalu menggganggunya. Hal yang membuatnya mengambil pekerjaan di toko
kerajinan. Perlahan, airmata mulai turun di pipi putih Seon.
“Oppa….Seon
hanya ingin membantu Oppa. Seon ingin bisa mengumpulkan uang untuk menebus
Abeoji dan melunasi hutang Han Oppa agar rumah kita bisa kembali. Karena itulah
Seon merajut di toko Ahjumma. Seon tidak suka melihat Oppa bekerja begitu
keras. Seon tidak suka melihat Oppa tidak tidur setiap malam. Dan…Oppa tidak kuliah
lagi. Seon hanya ingin membantu Oppa….maafkan Seon Oppa. Seon tidak bermaksud
membuat marah…Seon hanya…”
Kalimat
Seon terhenti saat mendadak Yoon berbalik dan merengkuh adiknya, lalu memeluk
Seon erat-erat membuat tangis gadis kecil itu semakin keras. Tangan Yoon
mengelus kepala adiknya penuh sayang. Wajahnya yang kalut terbenam di rambut
Seon yang ikal dan wangi.
“Berjanjilah
pada Oppa untuk tidak bekerja lagi di tempat Ahjumma atau dimanapun.
Berjanjilah Seon” ucap Yoon di atas kepala adiknya.
“Tapi
Oppa…bagaimana dengan Abeoji? Rumah kita dan tagihan dari bank?” sahut Seon
dalam sedu sedannya.
Yoon
melepaskan pelukannya dan membungkukkan tubuhnya agar matanya sejajar dengan
mata Seon. Kedua tangannya memegang bahu adiknya dengan erat.
“Dengar!…Oppa
akan menebus Abeoji dan mengembalikan rumah kita. Percayalah pada Oppa. Kau
tidak perlu mengkhawatirkan Oppa, Seon. Oppa akan baik-baik saja dan pasti akan
berhasil. Yakinlah!...tugasmu hanya sekolah dan belajar baik-baik. Kau mengerti
Seon? Kau mengerti?” Yoon sedikit mengguncang bahu Seon untuk mencari keyakinan
gadis kecil itu.
Seon
menatap kakaknya. Airmata masih mengalir di pipinya sementara bibirnya yang
merah segar terlihat mencebik. Namun, akhirnya kepala berhias rambut ikal
coklat muda itu mengangguk.
“Ya
Oppa…Seon janji” ucap bibir Seon membuat senyum Yoon mengembang karena Yoon
tahu, Seon tak pernah mengingkari janjinya.
“Bagus
kalau begitu. Oppa senang Seon jadi adik yang baik” Yoon mengecup dahi Seon
sekilas. “Sekarang bantu Oppa menyimpan kimbab-kimbab itu..oke? sebentar lagi
para pelanggan pasti datang”.
“Ya
Oppa” Seon mengangguk lagi, kali ini dengan gerakan lebih bersemangat.
“Semangat!”
Yoon mengepalkan tangannya di depan adiknya. Senyumnya terkembang lebar.
“Semangat!”
balas Seon sambil tertawa. Satu tangannya bergerak menjumput airmata di pipinya.
Yoon
menjentik ujung hidung adiknya. “Ayo kita bekerja”.
Selanjutnya
keceriaan kembali mewarnai dapur kecil itu. Suara Seon yang berdenting-denting
terdengar renyah seolah ribuan butir permata yang jatuh terberai ke atas lantai
di selingi tawa Yoon melihat tingkah adiknya.
**********
Seoul,
Korea Selatan..
Hari
Senin, pukul 08.00 AM waktu Seoul….
Empat
minggu setelah Abeoji di penjara…
Yoon
mengepak banchan yang telah disiapkannya dalam rantang empat tingkat. Ada
beberapa masakan yang dibawanya. Semuanya kesukaan Abeoji sementara mangkuk dan
piring kecil dimasukkannya ke dalam tas ransel hitamnya. Hari ini ia bermaksud
menengok ayahnya itu. Selama seminggu ini, jumlah pelanggan meningkat meskipun
tidak banyak. Hari-hari juga lebih tenang. Seon menepati janjinya dengan tidak
lagi bekerja di toko kerajinan dan kembali ke sekolah. Yoon diam-diam pergi ke
sekolah Seon untuk mengecek keberadaan adiknya itu dan merasa senang saat
melihat Seon tengah duduk membaca dengan teman-temannya di taman sekolah saat
jam istirahat. Han, masih belum muncul atau terlihat, meskipun Yoon, entah
mengapa, merasa bahwa kakaknya itu mengawasi mereka dari tempat tersembunyi.
Tadi malam, Yoon telah membuka toples tempatnya menyisihkan uang hasil toko dan
merasa gembira saat menghitung uang tersebut dan mendapatkan jumlah yang
lumayan. Rencananya, setelah menengok Abeoji, Yoon akan pergi ke bank untuk
mengangsur cicilan hutang Han.
“Seon!...Oppa
pergi menengok Abeoji sebentar. Kau bisa menjaga toko selama Oppa pergi kan?”
seru Yoon pada adiknya yang tengah mengelap meja di bagian depan yang baru saja
ditinggalkan pelanggan.
Seon
bangkit dari meja yang ditekuninya. Kepalanya mendongak ke arah kakaknya.
Senyum cerah mengembang disertai anggukan kepala penuh semangat.
“Ya
Oppa!...serahkan saja pada Seon. Pasti beres!” serunya menjawab kakaknya.
Yoon
tersenyum dan mengacak-acak kepala Seon saat sampai di sisi adiknya tersebut.
“Oppa
pinjam sepedamu” ujar Yoon sambil melangkah cepat keluar dari toko.
“Ya
Oppa!” seru Seon sambil melambaikan tangannya yang mungil.
Yoon
mengayuh sepeda Seon dengan cepat. Mobil tua dan truk Abeoji masuk dalam daftar
barang yang disita oleh bank sehingga ia takbisa menggunakan keduanya.
Satu-satunya alat transportasi yang bisa digunakannya sekarang hanya
sepeda Seon.
Penjara
tempat Abeoji ditahan merupakan penjara wilayah yang kecil. Bukan penjara
khusus untuk para kriminal kelas berat. Karena itu, Yoon merasa tenang. Orang-orang
yang ada di penjara wilayah lebih lembut dan tidak berlaku kasar pada tahanan
yang kebanyakan adalah orang-orang dengan kasus hutang yang tak terbayar
seperti Abeoji. Hanya butuh lima belas menit dengan sepeda yang dikayuh cepat
untuk sampai ke penjara wilayah tempat Abeoji di tahan. Dan petugas polisi yang
berjaga dengan ramah mempersilahkan Yoon untuk masuk.
“Bagaimana
keadaan toko kita Yoon-ah?” tanya Mr. Kim Dae sambil menatap putranya. Wajah
Abeoji tampak lebih tua. Rambut di kepalanya terlihat lebih abu-abu dibanding
yang terakhir kali dilihat Yoon seminggu lalu. Kaus tanpa kerah yang dikenakan
Abeoji terlihat lusuh. Namun, Yoon dapat melihat betapa kedua mata ayahnya tampak
tenang dan teduh. Tak ada lagi kilat-kilat kemarahan seperti saat awal Abeoji
masuk ke penjara karena hutang yang diambil oleh Han.
“Lumayan
Abeoji…dalam beberapa hari ini jumlah pelanggan kita meningkat meskipun belum
kembali seperti saat dipegang Abeoji dulu” jawab Yoon sambil tersenyum gembira.
“Benarkah?
Kau bisa memasak menu kita dengan baik? Jangan mengecewakan pelanggan Yoon-ah”
ujar Mr. Kim Dae.
Yoon
menggeleng. “Tidak Abeoji…aku belajar membuat beberapa masakan baru dan
ternyata mereka menyukainya. Tentu saja selain masakan yang menjadi ikon toko
kita”.
Mr.
Kim Dae mengerutkan alisnya yang mulai berhias uban. Ekspresinya terlihat
sedikit khawatir.
“Apa
yang kau buat Yoo-ah? Hati-hati jika kau mau mengeluarkan produk baru. Kalau
salah langkah, itu akan menghancurkan reputasi toko kita”.
Yoon
tertawa kecil. Tangannya mendorong rantang yang terbungkus kain berwarna kuning
pada ayahnya.
“Aku
membawa contoh makanan baru yang kubuat. Appa cobalah” kata Yoon sambil
tersenyum penuh arti. Sepasang lesung pipi menyembul mengingatkan Mr. Kim Dae
pada wanita yang sangat dicintainya. Hal
yang selalu membuat Yoon menempati ruang khusus di hatinya salah satunya adalah
besarnya kemiripan wajah putra keduanya itu dengan wanita yang tak akan pernah
tergantikan dalam hatinya tersebut.
Mr.
Kim Dae mengangkat bahunya yang kekar. Senyumnya menyeruak membuat wajah
tampannya yang selama sebulan terakhir tertutup mendung kembali muncul.
“Baiklah.
Cepat buka. Appa akan coba penemuanmu. Kalau memang rasanya lumayan dan layak
untuk ditampilkan, tak masalah kau mengenalkannya pada pelanggan kita. Tapi
ingat…kalau menurut Appa rasa makanan penemuanmu tidak layak, kau harus
berhenti membuatnya. Atau pelanggan kita akan kabur” jawab Mr. Kim Dae dengan
nada tenang.
Yoon
tak menjawab kata-kata ayahnya, namun dengan cepat jemarinya bekerja dan
membuka tutup rantang banchan yang di bawanya. Satu demi satu, empat buah
rantang ditata di atas meja. Kemudian Yoon mengeluarkan beberapa buah mangkuk
dan piring kecil dari dalam tas ranselnya serta beberapa pasang sumpit dan dua
buah sendok kecil. Dengan cekatan Yoon mengambil sepotong kimbab buah dan sayur
hasil kreasinya, ayam bumbu (Yangnyeom Tongdak) dan menyendok sup masing-masing
ke dalam mangkuk-mangkuk kecil yang ada telah di tatanya, kecuali kimbab di
letakkan dalam piring kecil. Kemudian, setelah semuanya selesai, Yoon
mengangsurkan satu pasang sumpit dan sendok ke pada ayahnya.
“Nah
Appa…silahkan mencicipi” ujar Yoon mempersilahkan ayahnya.
Mr.
Kim Dae menatap putranya sesaat, lalu, setelah menarik satu kali nafas panjang
tangannya meraih sumpit dan mengambil sepotong kimbab. Alisnya berkerut saat
memperhatikan isian yang terlihat berbeda. Kemudian, disuapnya sepotong kimbab
tersebut dan mulai mengunyah. Kerut yang menghias alis Mr. Kim Dae semakin
dalam saat ia merasakan rasa dari kimbab di dalam mulutnya sementara Yoon diam
menunggu. Bibirnya tersenyum meski terlihat otot-otot punggung pemuda itu
mengejang pertanda tegang melihat reaksi ayahnya.
Lalu
perlahan, setelah menelan kimbabnya, Mr. Kim Dae meletakkan sumpitnya ke atas
mangkuk kosong di depannya. Sepasang mata yang mulai berhias warna abu-abu itu
memandang ke depan. Tepat pada wajah putranya yang diam menunggu. Tak terlihat
kilau emosi di kedalaman mata Mr. Kim Dae. Hanya ketenangan yang justru membuat
jantung Yoon berdetak sedikit lebih keras. Apa yang dipikirkan ayahnya tentang
kimbab buah itu?.
“Apa
kau yakin dengan kimbab yang berbeda ini Yoon-ah?” tanya Mr. Kim Dae setelah
beberapa saat diam.
Yoon
mengangkat bahunya. Senyumnya masih mengembang meski sudut bibirnya agak
tertekuk sedikit ke bawah menciptakan kesan sinis yang sambil lalu namun justru
membuat wajahnya semakin mempesona.
“Entahlah
Appa. Aku hanya mencoba-coba saja” jawab Yoon. “Tadinya aku hanya berpikir
bagaimana caranya menghemat anggaran belanja
toko karena merosotnya jumlah pelanggan. Dan kupikir, aku bisa mencoba
bentuk baru seperti…..”
“Jangan
keluarkan lagi Yoon-ah!” potong Mr. Kim Dae tegas membuat Yoon terperanjat.
“Appa?
Tapi kenapa? Apakah…apakah kimbab ini tidak enak?” tanya Yoon sambil memandang
ayahnya. Senyum indah di wajahnya seketika lenyap.
“Makanan
ini tidak layak untuk disajikan Yoon-ah” jawab Mr. Kim Dae sambil bersiap-siap
berdiri dari kursinya.
Mendadak
Yoon merasa panik. Tangannya terulur memegang lengan ayahnya yang telah berdiri
dan bersiap pergi.
“Appa…bagaimana
dengan makanan yang lain? Tidakkah Appa mencobanya lebih dulu” tanya Yoon
mencoba mencegah ayahnya. Alisnya yang panjang indah berkerut cemas. Apakah
ayahnya marah?
Mr.
Kim Dae menoleh ke arah Yoon lalu dagunya bergerak menunjuk semua makanan yang
dihidangkan putranya di atas meja.
“Semua
makanan itu sama dengan kimbab yang kau buat Yoon-ah. Bawalah pulang. Mereka
tidak layak untuk ditampilkan. Jangan disajikan lagi, atau kau akan menjatuhkan
reputasi orangtuamu” jawab Mr. Kim Dae sambil melepaskan jemari Yoon yang
memegang lengannya. Lalu, tanpa menunggu jawaban dari mulut Yoon, lelaki
berusia sekitar lima puluhan tahun itu berjalan pelan ke arah penjaga yang
berdiri di sisi pintu.
“Saya
sudah selesai” kata Mr. Kim Dae sambil membungkuk hormat ke arah penjaga.
“Bisakah anda mengantar saya ke ruangan saya?”.
Polisi
penjaga tersenyum pada Mr. Kim Dae dan balas membungkuk pada lelaki setengah
baya yang berkharisma di depannya.
“Appa!...Appa!”
panggil Yoon yang juga telah bangkit berdiri. Raut wajah rupawannya terlihat
terpukul dan tidak percaya.
Mr.
Kim Dae yang telah melewati pintu menuju ruang tahanan menoleh dan memandang
putranya.
“Pulanglah
Yoon-ah. Jaga adikmu baik-baik dan jangan memasak lagi sampai kau mengerti di mana
letak kesalahan dari makanan-makanan yang kau buat itu” jawab Mr. Kim Dae lalu
berbalik dan mulai berjalan menjauh diiringi oleh polisi penjaga penjara,
meninggalkan Yoon yang tertegun.
Apa
sebenarnya yang salah dengan makanan yang dibuatnya? Dalam satu minggu lebih,
Yoon melihat bahwa peminat masakan yang dibuatnya dalam bentuk baru cukup
banyak dan lumayan. Lalu, di mana letak kesalahannya? Mengapa Abeoji melarang
untuk menyajikan makanan itu lagi dalam daftar menu di toko? Mendadak Yoon
merasakan seleret kesedihan yang menyusup ke dalam hatinya. Ia telah
membayangkan sebelumnya bahwa ayahnya akan merasa bangga dengan masakan-masakan
baru yang berhasil diciptakannya, namun ternyata kenyataan yang didapatnya
sangat berbeda bahkan berbalik seratus delapan puluh derajat dari apa yang
semula di bayangkannya. Lalu kenapa? Di mana letak kesalahannya?. Sambil
mengayuh sepeda Seon perlahan menyusuri trotoar di sisi jalan raya yang ramai,
benak Yoon terus berputar memikirkan setiap kalimat yang diucapkan oleh ayahnya
seolah setiap perkataan yang didengarnya kini terngiang-ngiang di telinganya
seperti bunyi gema genta kuil yang bertalu-talu saling memantul tiada henti.
“Jangan
ditampilkan lagi….makanan itu tak layak…tidak layak…tidak layak…tidak
layak…tidak layak…..”
Yoon
mengibaskan kepalanya kuat-kuat. Wajahnya keruh berselimut mendung sementara
kakinya semakin cepat mengayuh sepeda Seon. Rantang berisi makanan yang ditolak
oleh ayahnya berdentang tergantung di stang sepeda bagian kiri, berayun-ayun
seperti hendak jatuh.
*********
Bersambung........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar