Kamis, 12 Maret 2015

Straight - Episode 2 (Bagian Empat)


Seoul, Korea Selatan…
Dalam jarak 19 jam dari Pulau Oahu Hawaii….
Bok duduk terpekur di sisi ranjang. Sepasang matanya menatap Seon yang terlihat pulas. Beberapa saat lalu, gadis kecil itu sempat bangun, namun kemudian tidur kembali setelah meminum obat yang diberikan oleh perawat. Untunglah, seluruh hasil pemeriksaan memberi hasil negative, termasuk CT-Scan dan MRI. Seon hanya shock dan membutuhkan istirahat. Hal yang membuat gadis kecil itu lemah adalah kesedihannya setelah kepergian kakaknya ke Hawai.
Tapi, meskipun semua hasil pemeriksaan dokter memberi hasil yang bagus, tetap saja, Bok merasa sangat bersalah.  Hari ini baru hari pertama ia menjaga Seon. Tapi, ia telah membawa gadis kecil itu dalam bahaya. Bagaimana seandainya ia tak berhasil menghentikan laju mobilnya setelah menabrak pembatas jalan? Bagaimana seandainya mobil terbalik? Bisakah ia menghadapi Yoon nantinya?.
Bok meraih tangan mungil Seon dan menggenggamnya erat-erat. Kepalanya tertunduk oleh siksaan rasa takut dan sesal setelah kecemasan luar biasa yang semula di rasakannya mereda oleh hasil pemeriksaan yang bagus.
“Shi Hoon-ah?” sebuah panggilan halus terdengar dari belakang Bok, disusul sebuah tangan halus yang memegang bahu gemuk berlemak pemuda itu.
“Ya Omma” gumam Bok pelan tanpa melepaskan tangan Seon dari genggamannya.
“Seon akan baik-baik saja. Berhentilah bersedih seperti itu” sahut seorang wanita berwajah cantik dengan dandanan yang sempurna. Rambut ikalnya di sanggul dengan anggun di belakang kepala, berhias satu jepit permata kecil yang berkilau. Tubuhnya yang tinggi terlihat semampai dan padat berisi dengan sepasang mata yang bersinar cerdas sekaligus tegas. Dialah Dokter Choi Sang In P.Hd atau lebih dikenal sebagai Mrs. Park Yong Jae, istri dari sang chaebol raja kerajaan transportasi di Korea Selatan. Wanita kedua yang sangat terkenal di kalangan bisnis dan politik setelah Presiden Korea Selatan Madam Park Geun Hye.
Bok mengangkat wajahnya dan berpaling menatap ibunya yang berdiri tepat di sisinya. Terlihat aliran sungai kecil membasahi pipinya yang serupa bakpao ukuran jumbo.
“Tapi aku hampir saja membunuhnya Omma” sahut Bok. “Aku benar-benar sangat takut membayangkan jika saja aku gagal menghentikan mobil itu dan mencegahnya agar tidak terbalik. Aku sangat takut membayangkannya bahwa aku hampir saja membuatnya celaka di hari pertama setelah aku mendapat kepercayaan untuk menjaganya”.
Dokter Choi menarik sebuah kursi dan duduk di sisi putra tunggalnya. Senyum terukir di wajah yang cantik dan selalu berseri-seri.
“Kau tidak bermaksud untuk mencelakainya sayang. Tidak ada seorangpun yang dapat mengira akan datangnya sebuah kecelakaan” ujar Dokter Choi setelah duduk di sisi putra tunggalnya. Tangan kanannya terulur dan memegang pergelangan tangan Seon sekedar mengecek denyut nadi gadis kecil itu. “Kondisinya baik dan semakin stabil. Omma kira, hal yang membuatnya lemah adalah kesedihannya berpisah dengan Yoon-ah”.
Bok menarik nafas panjang.
“Mereka belum pernah berpisah sebelumnya Omma. Yoon-ah tak pernah sekalipun meninggalkannya lebih dari waktu ia pergi ke sekolah dan kuliah. Karena itulah, aku, Joong Mun dan Chang Hyuk yang lebih sering bermain ke rumah Kim Ahjussi. Kami tidak bisa bermain tanpa Yoon-ah dan Yoon-ah tidak bisa bermain dengan meninggalkan adiknya” sambung Bok.
“Omma juga tidak menduga bahwa Seon sekarang sudah sebesar ini dan benar-benar cantik” kata Dokter Choi sambil mengelus kening Seon perlahan sebelum kemudian, kepalanya menoleh ke arah Bok. “Kau sudah memberitahu Yoon-ah?”.
Bok menggeleng. Wajahnya terlihat semakin murung.
“Aku tidak berani memberitahunya Omma. Bagaimana bisa aku memberitahu bahwa adiknya nyaris celaka di hari pertama ia mempercayakan Seon padaku untuk menjaganya? Lagipula, jika Yoon-ah tahu Seon hampir celaka karena aku, maka ia pasti akan segera pulang kembali ke Seoul, meninggalkan lomba memasak yang sangat ingin diikutinya dan itu pasti akan sangat menyakitkan baginya. Yoon-ah adalah sahabat terbaikku dan aku tidak bisa kehilangan dirinya. Bagiku dia adalah saudaraku” sahut Bok sedih membuat Dokter Choi tersenyum.
 “Omma tahu sayang….” Dokter Choi terdiam sejenak. “Sebaiknya, kita bawa Seon pulang. Di rumah akan lebih baik daripada di rumah sakit ini. Seon akan lebih nyaman di rumah”.
Bok mengangguk lemah. Lalu tubuhnya membungkuk di ranjang rumah sakit, mendekap tangan mungil Seon yang sekejabpun tak di lepaskannya. Tapi, ibunya benar. Seon akan nyaman berada di rumah bahkan meskipun rumah sakit ini adalah milik orangtuanya.
Dan perjalanan pulang ke rumah lebih lancar dengan pengawalan yang ketat dari para penjaga, meski Seon masih juga tidur di bawah pengaruh obat yang diminumnya. Bok menolak untuk meletakkan Seon di ranjang dorong dan pulang dengan menggunakan ambulan. Gadis kecil itu di didekapnya bahkan di dalam limousine yang membawa mereka pulang. Dokter Choi menatap putra tunggalnya dengan ekspresi sedikit heran namun juga tersenyum saat menyadari sesuatu. Sebuah hal baru yang tampaknya tak di sadari bahkan oleh Bok sendiri.
Seon menempati kamar utama di lantai dua rumah keluarga Park, tepat bersebelahan dengan kamar suite Dokter Choi dan Mr. Park Yong Jae dan kamar super besar Bok. Gadis kecil itu hanya menggeliat pelan saat Bok meletakkannya  dengan hati-hati di atas tempat tidur besar berstyle ranjang putri kerajaan Inggris tempo dulu dan menarik selimut sutera berwarna orange peach menutupi hingga sebatas pinggang gadis kecil itu. Dokter Choi sedikit naik ke atas ranjang untuk memeriksa Seon dibantu oleh dua orang perawat yang di bawa dari rumah sakit sebelum kemudian, wanita yang sangat cantik dan elegan itu berpaling pada putra tunggalnya yang berdiri menunggu di sisi ranjang.
“Nah” kata Dokter Choi sambil tersenyum. “Seon semakin baik. Denyut nadinya normal dan teratur. Mungkin sekarang, ia sedang mimpi indah. Rumah selalu memberi rasa nyaman pada kita”.
Bok mengangguk dan berjalan mendekati ranjang setelah dua perawat berlalu.
“Tapi, ia tidur seperti orang yang pingsan” sahut Bok. Masih dengan nada murung. “Apakah orang tidur bisa seperti itu Omma?”.
“Itu namanya deep sleep. Kau pernah dengar istilah itu? Selain karena obat yang diminumnya tadi, Seon juga tidur karena rasa lelah yang mungkin tak terasakan sebelumnya. Menangis atau rasa sedih bisa membuat orang kelelahan juga” jawab Dokter Choi sambil menatap Seon yang tidur dengan sepasang mata terkatup rapat. “Tunggui dia. Kalau nanti bangun, beritahu Omma..ya? Dan tenanglah Shi Hoon-ah…Seon tidak apa-apa”.
Bok mengangguk. “Ya Omma…gumawo”.
Tetapi untuk bisa tenang bukan hal yang mudah bagi Bok. Tidak mudah karena beban rasa tanggungjawab yang dibawanya dari sahabat terbaiknya. Ia tak pernah sekalipun melakukan hal besar – dalam rasa hati Bok – untuk Yoon, dan ini adalah pertama kalinya ia mendapatkan kepercayaan dari sahabat yang sangat dikaguminya itu. Pertama kali Yoon bersedia untuk mempercayakan sesuatu yang sangat penting padanya dan ia justru hampir mencelakai hal penting bagi sahabatnya itu. Bok merasa seperti tak akan bisa dengan mudah memaafkan dirinya sendiri.
“Cit...cit...cit!....Telepon datang! diterima atau di buang!...cit..cit..cit!...Telepon datang!...diterima atau dibuang!” suara dering  ponsel yang mendadak menggaung mengagetkan Bok. Itu adalah nada dering pemberian Yoon yang diambil dari peniruan suara anak ayam.
“Iya..iya!” seru Bok sambil meraih ponselnya dari saku baju. “Membuat orang kaget saja”.
Bok menatap layar ponselnya yang bergetar sementara suara anak ayam mencicit dan menawarkan telepon diterima atau dibuang masih terus menjerit-jerit. Dan sepasang mata Bok membelalak saat ia melihat nama ‘Yoon-ah’ di identitas pemanggil. Dengan sedikit panik, pemuda bertubuh super gemuk itu bangkit dari kursi yang didudukinya dan berjalan terhuyung-huyung menuju sisi kamar, menggeser dinding kaca yang merupakan pintu menuju balkon lalu menutup kembali dinding kaca yang tebal itu. Matanya terus menatap layar ponsel dan sama sekali tak menyadari bahwa jemarinya menjadi gemetar. Lalu, perlahan, jari gemuk Bok menekan tombol terima dan mendekatkan ponsel itu ke telinganya. Terlupa pada earphone yang ada saku celana parasut super lebarnya.
“Halo?” sapa Bok dengan nada takut-takut.
“Ya…Bok joen-dae mal!...kenapa kau lama sekali mengangkat teleponnya hah?” suara Yoon di seberang terdengar seperti petir di telinga Bok membuat wajah pemuda itu sedikit memucat.
“Eh…Yoon-ah..mianhae. Aku sedang…eh, aku sedang mandi” jawab Bok. Sekejab kemudian, pemuda itu memejamkan kedua matanya kuat-kuat. Ia mulai bohong pada Yoon. Ia tak pernah melakukan hal itu sebelumnya. Tangan kanan Bok memegang ponselnya erat-erat seolah ponsel itu adalah satu-satunya tempatnya berpegang dan bergantung agar tidak jatuh.
“Kau ini kenapa? Kenapa gugup begitu?” tanya Yoon di seberang.
Sepasang mata Bok yang semula memejam rapat-rapat seketika membuka lebar saat mendengar pertanyaan Yoon.
“Tidak apa-apa Yoon-ah!” jawab Bok cepat-cepat. Jantungnya berdegup sangat cepat sementara keringat mengalir membasahi keningnya yang berlemak. “Aku hanya…aku belum sempat memakai handuk dan baju…dan aku agak kedinginan”.
Terdengar suara Yoon tertawa di seberang membuat Bok sedikit merasa lega. Baru kali ini ia menyadari, betapa indahnya suara tawa seorang Kim Yoon Lu.
“Di mana Seon? Dia masih marah-marah padamu?” tanya Yoon sesaat setelah tawanya reda.
Nah ini dia!...pertanyaan yang segera memacu kembali detak jantung Bok hingga 200 denyut permenit. Bok merasa seperti sedang berhadapan dengan eksekutor sekarang. Ha!
“Tidak Yoon-ah!” jawab Bok setelah berusaha menelan ludah sebanyak sepuluh kali. “Seon sedang tidur sekarang”.
“Tidur? Bukankah sekarang sore hari di Seoul? Tidak biasanya Seon tidur sore hari?” tanya Yoon di seberang dengan suara menunjukkan rasa heran.
Denyut jantung Bok berpacu semakin cepat. Kini 250 denyut permenit. Keringat dingin keluar sebiji-biji jagung.
“Emmm…mungkin dia lelah. Tadi siang dia belanja dengan Omma dan mereka pergi agak lama” sahut Bok lalu menggigit bibirnya. Kebohongannya semakin besar pada Yoon dan ia semakin merasa bersalah. Gawat!.
“Begitu?” suara Yoon terdengar surprise. “Baiklah…syukurlah kalau Seon tidak marah-marah lagi padamu. Kuharap kau sabar menghadapinya”.
Bok mengangguk-angguk, lupa bahwa Yoon tak akan bisa melihat anggukan kepalanya. “Tentu saja. Tidak masalah…aku akan…menjaganya. Tenanglah”.
“Hm…gumawo Bok Ssi!” sahut Yoon di seberang.
“Hish!....” Bok mendesis saat mendengar panggilan formal dari Yoon membuat Yoon tertawa di seberang. “Kau sudah sampai? Di mana kau sekarang? sudah bertemu dengan si lambat Joong Mun?”.
Suara tawa Yoon terdengar melebar di seberang dan Bok mampu menarik nafas, mengisi paru-parunya yang telah menciut karena ia lupa menghirup oksigen akibat kegugupannya.
“Yup!” jawab Yoon. “Aku sampai tadi pagi, sekitar pukul 08.00 waktu Honolulu. Sekarang aku di rumah Joong Mun. Ah…dia menitip salam untukmu”.
“Syukurlah…jangan lupa makan dan jaga dirimu” sahut Bok tanpa menanggapi kalimat Yoon tentang Joong Mun. Sudut mata Bok menangkap gerakan pelan di dalam kamar yang berasal dari tubuh Seon yang menggeliat. “Jangan bekerja terlalu keras..oke?”.
“Oke…Tapi…apa isi tas coklatmu itu?” tanya Yoon.
Alis Bok terangkat. “Kau belum membukanya?”
“Aku baru saja sampai di rumah Joong Mun, makan dan mandi. Tidak..aku belum membukanya. Karena itu aku tanya padamu” jawab Yoon di seberang.
“Bukan sesuatu yang penting. Hanya beberapa barang yang mungkin kau butuhkan karena aku tidak bisa menemanimu di Hawaii” jawab Bok pelan. Pandangannya tertuju pada Seon yang terlihat bergerak-gerak. Sepertinya gadis kecil itu sudah bangun. “Bukalah jika kau butuh”.
“Kau ini…membuat orang penasaran saja!” ujar Yoon. “Baiklah…aku hanya mengirim kabar, sampaikan salamku untuk Ahjumma dan Ahjussi…juga untuk Seon…bye”.
“Oke…bye” sahut Bok lalu menutup ponselnya, memasukkannya ke dalam saku celana parasutnya lalu perlahan melangkah menuju dinding kaca. Sesaat Bok terkejut saat mendapati dinding kaca yang merupakan pintu penghubung antara balkon dan kamar utama yang di tempati Seon tidak sepenuhnya menutup, melainkan terdapat jeda yang cukup lebar. Bok memandang Seon di atas ranjang yang terlihat bergerak-gerak. Sejenak meneliti. Apakah gadis kecil itu mendengar pembicaraan antara dirinya dengan Yoon di ponsel?. Namun, setelah beberapa saat menunggu dan tak terlihat reaksi yang menyolok dari Seon, Bok menjadi yakin bahwa gadis kecil itu tak mendengar saat ia dan Yoon bicara melalui ponsel sehingga kemudian, tangan gemuk Bok bergerak menggeser dinding kaca perlahan dan berjalan mendekati ranjang, pada Seon yang telah duduk sambil menatap sekelilingnya dengan bingung.
“Kau sudah bangun Cantik?” tanya Bok dengan senyum paling manis yang dimilikinya.
Raut bingung di wajah Seon langsung lenyap dan berganti dengan rasa sebal yang berlipat-lipat dimatanya.
“Sudah kukatakan jangan panggil aku seperti itu!” sembur Seon. “Namaku Seon..Kim Seon Lu..apa kau sudah lupa? Apa kau sulit mengingat-ingat sesuatu?”.
Bok tertawa. Sungguh senang bisa melihat kemarahan gadis kecil yang sangat cantik itu.
“Ah iya…Oppa memang lupa. Mianhae Seon cantik” sahut Bok sambil melangkah dua tapak ke depan.
Seon memundurkan tubuhnya saat melihat Bok mendekat. Satu tangan kanannya terbentang ke depan.
“Jangan mendekat!...awas kalau kau berani mendekat!” teriak Seon dengan sepasang mata bening yang membelalak lebar.
Bok terkejut dan seketika mengambil langkah mundur ke belakang. “Tapi Seon cantik, kalau Oppa tidak boleh mendekatimu, bagaimana Oppa mau merawatmu?”
“Aku tidak butuh dirawat!” jerit Seon sambil melambaikan tangannya sebagai isyarat agar Bok pergi. “Pergilah…cepat sana pergi!”
Bok menatap Seon. Sungguh, pada saat ini, mungkin dirinya adalah orang yang paling merasa lega dan bahagia di dunia ini. Lega melihat gadis kecil di depannya itu sehat dan tidak mengalami cedera apapun. Bahagia melihat binar kehidupan yang paling hidup menyala dalam semburan galak gadis kecil yang amat cantik tersebut. Mulut Bok menyembulkan senyum manis yang tulus. Senyum yang muncul dari kelegaan hatinya.
“Baiklah…Oppa akan meninggalkan Seon cantik sendiri agar kau bisa istirahat. Kalau ada apa-apa, Oppa ada di luar, Seon cantik bisa memanggil Oppa kapan saja” ujar Bok sambil mulai melangkah menuju pintu.
Seon mencebik. Sepasang lengannya terlipat di depan dada sementara ia berlutut di atas ranjang. Ekspresinya terlihat sangat galak dan angkuh yang sesungguhnya, justru semakin menonjolkan kecantikannya yang polos.
Bok membuka pintu kamar dan sekali lagi menoleh ke arah Seon, melempar senyum manis dan satu mata yang mengedip jenaka ke arah gadis kecil itu sebelum kemudian menyelinap keluar dari dalam kamar.
Seon mendengus dan membuang muka saat Bok tersenyum dan mengedipkan satu mata ke arahnya. Namun, ketika kemudian ia hanya tinggal sendiri di dalam kamar, perlahan raut galak yang semula terpasang di wajahnya meluntur dengan sangat cepat. Gadis kecil itu bahkan kemudian merosot kembali ke atas ranjang, bergelung di sisi guling besar dengan sepasang mata yang mulai berkaca-kaca. Bibirnya yang merah segar terlihat sedikit mencebik.
“Yoon Oppa….jadi Oppa sudah sampai di Hawai? Cepatlah pulang, Seon tidak suka tinggal di rumah besar ini. Bukan karena Seon tidak suka pada Bok Oppa, tapi karena Seon lihat dia tidak bisa menjaga dirinya sendiri lalu bagaimana Bok Oppa mau menjaga Seon? Bok Oppa saja tidak sayang pada dirinya sendiri, bagaimana dia mau menyayangi dan melindungi Seon?” bisik Seon dengan airmata yang mulai menitik.
Pandangan Seon melayang ke atas meja dan melihat ransel pororonya. Pasti Bok yang membawa dan meletakkannya di sana sebab Seon ingat, terakhir kali ia melihat ranselnya itu ada di atas meja rumah sakit saat ia tersadar dari pingsan setelah mobil yang dikemudiakan oleh Bok menabrak pembatas jalan yang merupakan tanah taman kota. Tangan Seon terulur dan meraih ranselnya, lalu merogoh ke dalam saku ransel di bagian depan. Itu tempatnay menyimpan ponsel.
Sejenak kemudian, gadis kecil itu telah separuh duduk di atas ranjang dan mulai membuka ponsel. Ada pesan dari Yoon.
Dengan sepasang mata berbinar, Seon membuka pesan dari kakaknya.
Oppa sudah sampai. Jaga diri baik-baik…banyak makan dan jangan terlalu merepotkan Bok Oppa, Ahjumma dan Park Ahjussi. Oppa akan segera pulang. Apa yang kau kerjakan hari ini? bersenang-senanglah.
Seon tersenyum dan mulai mengetik balasan untuk kakaknya.
Syukurlah Oppa sudah sampai. Jangan bekerja terlalu keras. Oppa jaga diri juga baik-baik. Hari ini Seon pergi belanja dengan Ahjumma….dan tadi Seon ketiduran karena lelah. Seon akan selalu berdoa untuk Oppa…Oppa fighting!.
Seon menambahkan satu emotikom sebuah senyum lebar dan kepalan tangan tanda semangat sebelum menekan tombol ‘send’.
Selanjutnya, ketika pemberitahuan bahwa pesan yang dikirimnya telah sampai ke tujan, tubuh gadis kecil itu kembali merosot ke atas ranjang. Ponselnya tergeletak begitu saja di sisi guling besar sementara Seon menutupi mukanya dengan satu lengan yang di letakkan di atas dahi. Satu aliran jernih meluncur dari sepasang matanya. Kemudian, setelah mendesah pelan, tangan Seon menarik selimut besar di atas ranjang dengan cepat dan menyelubungi seluruh tubuhnya dengan selimut tebal itu. Hingga menutup sampai ke puncak kepala.

***************
Pulau Oahu, Hawaii….
Yoon meletakkan ponselnya ke atas meja setelah mendengar nada tutup dari seberang. Ia baru saja menelepon Bok. Senyum masih menghiasi bibir Yoon saat mengingat kegugupan sahabatnya. Menerima telepon dalam kondisi telanjang dan kedinginan? Aha!..Yoon tak bisa membayangkan seorang tuan muda bertubuh super besar seperti Bok berdiri di kamar mandinya yang juga super besar tanpa handuk atau penutup tubuh lainnya. Mudah-mudahan kamar mandi Bok tidak dilengkapi dengan kamera CCTV. Yoon tertawa pelan dan nyaris beranjak menuju tempat tidurnya, sebuah ranjang ikat terbuat dari tiruan jaring net penangkap ikan yang bagian atasnya dilapisi kain rajutan benang wool yang halus dan lembut. Namun, suara getar ponselnya kembali terdengar membuat Yoon menoleh dan meraih benda kecil itu yang baru saja di letakkannya. Sebuah pesan baru.
Yoon membukanya dan kembali tersenyum. Dari Seon, yang membalas pesannya.
Syukurlah Oppa sudah sampai. Jangan bekerja terlalu keras. Oppa jaga diri juga baik-baik. Hari ini Seon pergi belanja dengan Ahjumma….dan tadi Seon ketiduran karena lelah. Seon akan selalu berdoa untuk Oppa…Oppa fighting!.
 Yoon meletakkan kembali ponselnya dan berjalan menuju ranjang jaring yang menunggunya. Rupanya, demam aktor Korea pemeran Kim Tan benar-benar sudah menguasai adiknya itu sehingga Seon mulai mengenal kata-kata yang biasa diucapkan oleh para fans pada aktor idola mereka seperti ‘Fighting!’.
Udara Hawai di malam hari terasa hangat bahkan cenderung agak sedikit panas. Ada segumpal awan mendung di langit meski tak benar-benar menutupi langit seutuhnya. Ia masih bisa melihat bulan yang berenang bersama bintang-bintang di samudera langit malam dan sesekali bersembunyi di balik arak-arak gumpalan awan yang datang menyapa. Yoon membuka jendela di kamarnya. Joong Mun sedang mandi. Ia bisa mendengar suara air mengalir dari shower kamar mandi diselingi suara nyanyian sahabatnya tersebut menirukan satu lagu milik Taylor Swift. Ia sendiri sudah mandi. Itu hal pertama yang dilakukannya segera setelah mereka selesai makan malam. Dan Yoon sungguh merasa begitu berbeda saat air memancar dari shower di atas kepalanya. Tak ada pilihan air dingin atau panas di sini. Hanya air dingin namun Yoon merasa air itu sungguh segar dan hangat. Yoon menghabiskan waktu hampir satu jam di bawah shower untuk memuaskan tubuhnya yang bersorak di bawah kesegaran air Pulau Oahu Hawaii yang pertama kali dirasakannya.
Dan sekarang adalah waktunya tidur. Yoon sama sekali tak berminat untuk menonton acara televisi di malam pertamanya berada di Pulau Oahu ini. Ia hanya ingin tidur setelah semua rasa lelah yang kemarin tak di rasakannya kini benar-benar seperti menumpuk memenuhi setiap sudut ruang di tubuhnya.
Yoon duduk di atas ranjang jaringnya dan mengamati dirinya sendiri. Sebuah tawa kecil meluncur ringan dari bibirnya saat ia menyadari, seperti apa tampaknya ia kini. Baiklah, mulai malam ini hingga ia selesai mengikuti lomba memasak nanti, ia akan menjadi ikan besar hasil tangkapan Joong Mun, batin Yoon sambil mengerucutkan bibirnya. Semilir angin bertiup dan masuk dari jendela yang ia buka membuat Yoon merasa nyaman. Tubuhnya sudah nyaris bergulir ke atas ranjang ketika tiba-tiba, telinga Yoon menangkap suara berderak halus. Seperti sesuatu benda yang pecah atau patah karena terinjak oleh kaki. Yoon mengerutkan alisnya dan kembali duduk tegak di atas ranjangnya. Kepalanya menoleh ke arah jendela yang terbuka dan sesaat menunggu. Namun, suara benda yang pecah atau patah itu tak lagi terdengar membuat Yoon kembali hendak merebahkan tubuhnya.
“Srrrk!” sebuah suara kembali terdengar. Kali ini lebih mirip seperti suara kain yang sobek membuat Yoon kembali duduk tegak di atas ranjangnya.
“Siapa itu?” seru Yoon. “Joong Mun? Kaukah itu?!”
Tak terdengar jawaban selain angin yang bertiup dan masuk melalui jendela membawa suara genta angin yang berdenting-denting pelan serta suara-suara keramaian di luar sana yang tak pernah berhenti selama dua puluh empat jam sehari. Yoon bangkit dari ranjang jaring dan berjalan menuju jendela yang sesaat lalu di bukanya. Kepalanya melongok ke luar dan menatap sekeliling halaman. Tak ada apapun. Rumah Joong Mun merupakan rumah sewa yang terletak di daerah pemukiman padat untuk kalangan menengah ke bawah. Rumah-rumah yang nyaris saling berhimpitan membuat halaman ataupun beranda yang di miliki oleh setiap rumah hampir-hampir tidak ada. Seperti rumah yang telah di sewa oleh Joong Mun selama dua tahun ini. Halaman kecil yang ada di sisi rumah tak lebih dari tanah longgar selebar satu meter yang diisi oleh beberapa pot tanaman hias dan benda-benda rongsokan yang tak lagi dipakai. Dan karena sempitnya halaman di sisi jendela itu, maka sangat mudah bagi Yoon untuk melihat semua area dan sudutnya. Dan ia tidak mendapatkan sesuatu yang terlihat mencurigakan atau hal yang bisa menimbulkan suara berderak ataupun kain yang sobek.
Yoon menarik nafas sejenak sebelum kemudian mengulurkan tangan dan menutup kembali jendela yang semula dibukanya. Apapun itu, yang jelas ia ingin tidur tanpa diganggu malam ini.
Dan ternyata, ranjang jaring ini lumayan nyaman untuk tidur. Meskipun Yoon tidak bisa membalikkan tubuhnya dengan mudah seperti jika ia tidur di ranjang yang normal, namun efek ayunan yang didapatnya membuat Yoon dengan cepat tertidur lelap hingga tak menyadari ketika kemudian Joong Mun masuk ke dalam kamar dan membentangkan sehelai selimut di atas tubuhnya.
*************
Chef Chen merapatkan tubuhnya di atas atap sementara pandangannya mengawasi ke arah pemuda yang berdiri di dekat jendela. Terlihat jelas betapa  lelaki berwajah teduh tersebut berusaha begitu keras untuk mengendalikan perasaannya yang berkecamuk sementara sepasang matanya menyusuri wajah dan sosok yang kini terlihat jelas di tepi jendela. Pemuda yang berdiri di tepi jendela itu tak lagi mengenakan scarf biru seperti siang tadi. Rambutnya yang hitam terlihat masih sedikit basah dan sebagian rambut pada bagian depan terlihat bergerak karena tiupan angin laut yang semilir berhembus. Tubuhnya yang tinggi dan gagah hanya di balut oleh sebuah kaus tanpa kerah berwarna putih dan celana jeans berhias sobekan besar dibagian lutut.
Chef Chen menggigit bibirnya sementara sepasang matanya memerah oleh airmata yang kemudian menetes jatuh dan menghilang sebelum menyentuh permukaan atap. Berpendar dalam cahaya lembut yang terlihat lebih jelas di malam hari. Sepasang tangan Chef Chen mengepal erat sementara pandangannya menyapu seluruh wujud pemuda yang terlihat melongokkan kepalanya, meneliti ke seluruh area halaman sempit tersebut. Gumpalan rasa bercampur aduk menjadi sebuah gelombang emosi yang sangat kuat, menghancurkan seketika seluruh ketenangan yang selama ini tercipta dalam sosoknya.
“Cyou….Xu Cyou” desis Chef Chen dalam nada pedih sekaligus rindu.
Lalu, mendadak pemuda di tepi jendela itu menarik daun jendela yang terbuka dan menutupnya. Chef Chen terkejut dan perlahan bergerak. Tubuhnya ringan melayang di atas atap dan meluncur turun ke bawah. Sejenak, pandangannya menyapu lantai halaman untuk melihat jika ada lagi kayu lapuk yang akan terinjak olehnya dan menimbulkan suara berderak patah atau sebuah paku yang akan menyangkut di baju dan membuat sebuah suara sobekan seperti sebelumnya. Kemudian, lelaki dengan kharisma yang sangat kuat itu merapatkan tubuhnya ke dinding. Satu tangannya terulur dan mengusap sepasang matanya yang basah oleh airmata. Sesaat kemudian, seiring suara desah nafas teratur dari dalam kamar yang menunjukkan bahwa pemuda yang semula berdiri di ambang jendela itu telah pulas tertidur, perlahan tubuh Chef Chen merosot ke bawah dan terduduk di lantai halaman yang sempit itu, tepat di bawah jendela.
Wajah sang chef kini terlihat penuh terbalut oleh kesedihan. Kepala Chef Chen menengadah, menatap langit malam yang luas tanpa tepi, tempat di mana ia akan menemukan seluruh rahasia kehidupan dan perjalanan yang tak akan seorangpun manusia disaat ini dapat memahaminya. Sepasang mata Chef Chen menerawang semakin jauh, menembus kabut magenta yang membungkus langit dan menyembunyikan seluruh jawaban yang dicarinya. Menyibak tirai alam yang seolah angkuh dan kukuh dalam menjaga bentangan benang merah yang sedikitpun tak pernah terputus sebagai penghubung kehidupan dari masa ke masa. Bahkan hingga manusia sendiri telah melupakan jalannya dan menghapus masa lalunya.
Sekali lagi, Chef Chen mengusap airmata yang membasahi kedua pipinya sementara telinganya mereguk dengan kerakusan penuh rasa rindu, suara desah nafas halus pemuda yang tengah terlelap dalam keindahan mimpi di balik dinding dan jendela yang di sandarinya.
Kemudian, bersama dengan semilir angin yang kembali bertiup, sang chef kebanggaan seluruh masyarakat Kepulauan Hawaii itu mulai menyibak tirai yang  menutup rapat rahasia masa lalu yang sesungguhnya telah seringkali dibaca dan dibuka namun tak pernah bisa ditepisnya betapapun rahasia itu terus menerus menggoreskan kepedihan yang tak pernah dapat di obati oleh waktu dan siapapun juga…..
*******

Tidak ada komentar:

Posting Komentar