Seoul, Korea Selatan…
Dalam jarak 19 jam dari Pulau Oahu Hawaii….
Bok duduk terpekur di sisi ranjang. Sepasang matanya
menatap Seon yang terlihat pulas. Beberapa saat lalu, gadis kecil itu sempat
bangun, namun kemudian tidur kembali setelah meminum obat yang diberikan oleh
perawat. Untunglah, seluruh hasil pemeriksaan memberi hasil negative, termasuk
CT-Scan dan MRI. Seon hanya shock dan membutuhkan istirahat. Hal yang membuat
gadis kecil itu lemah adalah kesedihannya setelah kepergian kakaknya ke Hawai.
Tapi, meskipun semua hasil pemeriksaan dokter
memberi hasil yang bagus, tetap saja, Bok merasa sangat bersalah. Hari ini baru hari pertama ia menjaga Seon.
Tapi, ia telah membawa gadis kecil itu dalam bahaya. Bagaimana seandainya ia
tak berhasil menghentikan laju mobilnya setelah menabrak pembatas jalan?
Bagaimana seandainya mobil terbalik? Bisakah ia menghadapi Yoon nantinya?.
Bok meraih tangan mungil Seon dan menggenggamnya
erat-erat. Kepalanya tertunduk oleh siksaan rasa takut dan sesal setelah
kecemasan luar biasa yang semula di rasakannya mereda oleh hasil pemeriksaan
yang bagus.
“Shi Hoon-ah?” sebuah panggilan halus terdengar
dari belakang Bok, disusul sebuah tangan halus yang memegang bahu gemuk
berlemak pemuda itu.
“Ya Omma” gumam Bok pelan tanpa melepaskan tangan
Seon dari genggamannya.
“Seon akan baik-baik saja. Berhentilah bersedih
seperti itu” sahut seorang wanita berwajah cantik dengan dandanan yang
sempurna. Rambut ikalnya di sanggul dengan anggun di belakang kepala, berhias
satu jepit permata kecil yang berkilau. Tubuhnya yang tinggi terlihat semampai
dan padat berisi dengan sepasang mata yang bersinar cerdas sekaligus tegas.
Dialah Dokter Choi Sang In P.Hd atau lebih dikenal sebagai Mrs. Park Yong Jae,
istri dari sang chaebol raja kerajaan transportasi di Korea Selatan. Wanita
kedua yang sangat terkenal di kalangan bisnis dan politik setelah Presiden
Korea Selatan Madam Park Geun Hye.
Bok mengangkat wajahnya dan berpaling menatap
ibunya yang berdiri tepat di sisinya. Terlihat aliran sungai kecil membasahi
pipinya yang serupa bakpao ukuran jumbo.
“Tapi aku hampir saja membunuhnya Omma” sahut Bok.
“Aku benar-benar sangat takut membayangkan jika saja aku gagal menghentikan
mobil itu dan mencegahnya agar tidak terbalik. Aku sangat takut membayangkannya
bahwa aku hampir saja membuatnya celaka di hari pertama setelah aku mendapat
kepercayaan untuk menjaganya”.
Dokter Choi menarik sebuah kursi dan duduk di sisi
putra tunggalnya. Senyum terukir di wajah yang cantik dan selalu berseri-seri.
“Kau tidak bermaksud untuk mencelakainya sayang.
Tidak ada seorangpun yang dapat mengira akan datangnya sebuah kecelakaan” ujar
Dokter Choi setelah duduk di sisi putra tunggalnya. Tangan kanannya terulur dan
memegang pergelangan tangan Seon sekedar mengecek denyut nadi gadis kecil itu.
“Kondisinya baik dan semakin stabil. Omma kira, hal yang membuatnya lemah
adalah kesedihannya berpisah dengan Yoon-ah”.
Bok menarik nafas panjang.
“Mereka belum pernah berpisah sebelumnya Omma.
Yoon-ah tak pernah sekalipun meninggalkannya lebih dari waktu ia pergi ke
sekolah dan kuliah. Karena itulah, aku, Joong Mun dan Chang Hyuk yang lebih
sering bermain ke rumah Kim Ahjussi. Kami tidak bisa bermain tanpa Yoon-ah dan
Yoon-ah tidak bisa bermain dengan meninggalkan adiknya” sambung Bok.
“Omma juga tidak menduga bahwa Seon sekarang sudah
sebesar ini dan benar-benar cantik” kata Dokter Choi sambil mengelus kening
Seon perlahan sebelum kemudian, kepalanya menoleh ke arah Bok. “Kau sudah
memberitahu Yoon-ah?”.
Bok menggeleng. Wajahnya terlihat semakin murung.
“Aku tidak berani memberitahunya Omma. Bagaimana
bisa aku memberitahu bahwa adiknya nyaris celaka di hari pertama ia
mempercayakan Seon padaku untuk menjaganya? Lagipula, jika Yoon-ah tahu Seon
hampir celaka karena aku, maka ia pasti akan segera pulang kembali ke Seoul,
meninggalkan lomba memasak yang sangat ingin diikutinya dan itu pasti akan
sangat menyakitkan baginya. Yoon-ah adalah sahabat terbaikku dan aku tidak bisa
kehilangan dirinya. Bagiku dia adalah saudaraku” sahut Bok sedih membuat Dokter
Choi tersenyum.
“Omma tahu
sayang….” Dokter Choi terdiam sejenak. “Sebaiknya, kita bawa Seon pulang. Di rumah
akan lebih baik daripada di rumah sakit ini. Seon akan lebih nyaman di rumah”.
Bok mengangguk lemah. Lalu tubuhnya membungkuk di
ranjang rumah sakit, mendekap tangan mungil Seon yang sekejabpun tak di
lepaskannya. Tapi, ibunya benar. Seon akan nyaman berada di rumah bahkan meskipun
rumah sakit ini adalah milik orangtuanya.
Dan perjalanan pulang ke rumah lebih lancar dengan
pengawalan yang ketat dari para penjaga, meski Seon masih juga tidur di bawah
pengaruh obat yang diminumnya. Bok menolak untuk meletakkan Seon di ranjang
dorong dan pulang dengan menggunakan ambulan. Gadis kecil itu di didekapnya
bahkan di dalam limousine yang membawa mereka pulang. Dokter Choi menatap putra
tunggalnya dengan ekspresi sedikit heran namun juga tersenyum saat menyadari
sesuatu. Sebuah hal baru yang tampaknya tak di sadari bahkan oleh Bok sendiri.
Seon menempati kamar utama di lantai dua rumah
keluarga Park, tepat bersebelahan dengan kamar suite Dokter Choi dan Mr. Park
Yong Jae dan kamar super besar Bok. Gadis kecil itu hanya menggeliat pelan saat
Bok meletakkannya dengan hati-hati di
atas tempat tidur besar berstyle ranjang putri kerajaan Inggris tempo dulu dan
menarik selimut sutera berwarna orange peach menutupi hingga sebatas pinggang
gadis kecil itu. Dokter Choi sedikit naik ke atas ranjang untuk memeriksa Seon
dibantu oleh dua orang perawat yang di bawa dari rumah sakit sebelum kemudian, wanita
yang sangat cantik dan elegan itu berpaling pada putra tunggalnya yang berdiri
menunggu di sisi ranjang.
“Nah” kata Dokter Choi sambil tersenyum. “Seon
semakin baik. Denyut nadinya normal dan teratur. Mungkin sekarang, ia sedang
mimpi indah. Rumah selalu memberi rasa nyaman pada kita”.
Bok mengangguk dan berjalan mendekati ranjang
setelah dua perawat berlalu.
“Tapi, ia tidur seperti orang yang pingsan” sahut
Bok. Masih dengan nada murung. “Apakah orang tidur bisa seperti itu Omma?”.
“Itu namanya deep sleep. Kau pernah dengar istilah
itu? Selain karena obat yang diminumnya tadi, Seon juga tidur karena rasa lelah
yang mungkin tak terasakan sebelumnya. Menangis atau rasa sedih bisa membuat
orang kelelahan juga” jawab Dokter Choi sambil menatap Seon yang tidur dengan
sepasang mata terkatup rapat. “Tunggui dia. Kalau nanti bangun, beritahu
Omma..ya? Dan tenanglah Shi Hoon-ah…Seon tidak apa-apa”.
Bok mengangguk. “Ya Omma…gumawo”.
Tetapi untuk bisa tenang bukan hal yang mudah bagi
Bok. Tidak mudah karena beban rasa tanggungjawab yang dibawanya dari sahabat
terbaiknya. Ia tak pernah sekalipun melakukan hal besar – dalam rasa hati Bok –
untuk Yoon, dan ini adalah pertama kalinya ia mendapatkan kepercayaan dari sahabat
yang sangat dikaguminya itu. Pertama kali Yoon bersedia untuk mempercayakan
sesuatu yang sangat penting padanya dan ia justru hampir mencelakai hal penting
bagi sahabatnya itu. Bok merasa seperti tak akan bisa dengan mudah memaafkan
dirinya sendiri.
“Cit...cit...cit!....Telepon datang! diterima atau
di buang!...cit..cit..cit!...Telepon datang!...diterima atau dibuang!” suara
dering ponsel yang mendadak menggaung
mengagetkan Bok. Itu adalah nada dering pemberian Yoon yang diambil dari
peniruan suara anak ayam.
“Iya..iya!” seru Bok sambil meraih ponselnya dari
saku baju. “Membuat orang kaget saja”.
Bok menatap layar ponselnya yang bergetar
sementara suara anak ayam mencicit dan menawarkan telepon diterima atau dibuang
masih terus menjerit-jerit. Dan sepasang mata Bok membelalak saat ia melihat
nama ‘Yoon-ah’ di identitas pemanggil. Dengan sedikit panik, pemuda bertubuh
super gemuk itu bangkit dari kursi yang didudukinya dan berjalan
terhuyung-huyung menuju sisi kamar, menggeser dinding kaca yang merupakan pintu
menuju balkon lalu menutup kembali dinding kaca yang tebal itu. Matanya terus
menatap layar ponsel dan sama sekali tak menyadari bahwa jemarinya menjadi
gemetar. Lalu, perlahan, jari gemuk Bok menekan tombol terima dan mendekatkan
ponsel itu ke telinganya. Terlupa pada earphone yang ada saku celana parasut
super lebarnya.
“Halo?” sapa Bok dengan nada takut-takut.
“Ya…Bok joen-dae mal!...kenapa kau lama sekali
mengangkat teleponnya hah?” suara Yoon di seberang terdengar seperti petir di
telinga Bok membuat wajah pemuda itu sedikit memucat.
“Eh…Yoon-ah..mianhae. Aku sedang…eh, aku sedang
mandi” jawab Bok. Sekejab kemudian, pemuda itu memejamkan kedua matanya
kuat-kuat. Ia mulai bohong pada Yoon. Ia tak pernah melakukan hal itu
sebelumnya. Tangan kanan Bok memegang ponselnya erat-erat seolah ponsel itu
adalah satu-satunya tempatnya berpegang dan bergantung agar tidak jatuh.
“Kau ini kenapa? Kenapa gugup begitu?” tanya Yoon
di seberang.
Sepasang mata Bok yang semula memejam rapat-rapat
seketika membuka lebar saat mendengar pertanyaan Yoon.
“Tidak apa-apa Yoon-ah!” jawab Bok cepat-cepat.
Jantungnya berdegup sangat cepat sementara keringat mengalir membasahi
keningnya yang berlemak. “Aku hanya…aku belum sempat memakai handuk dan
baju…dan aku agak kedinginan”.
Terdengar suara Yoon tertawa di seberang membuat
Bok sedikit merasa lega. Baru kali ini ia menyadari, betapa indahnya suara tawa
seorang Kim Yoon Lu.
“Di mana Seon? Dia masih marah-marah padamu?”
tanya Yoon sesaat setelah tawanya reda.
Nah ini dia!...pertanyaan yang segera memacu
kembali detak jantung Bok hingga 200 denyut permenit. Bok merasa seperti sedang
berhadapan dengan eksekutor sekarang. Ha!
“Tidak Yoon-ah!” jawab Bok setelah berusaha menelan
ludah sebanyak sepuluh kali. “Seon sedang tidur sekarang”.
“Tidur? Bukankah sekarang sore hari di Seoul?
Tidak biasanya Seon tidur sore hari?” tanya Yoon di seberang dengan suara
menunjukkan rasa heran.
Denyut jantung Bok berpacu semakin cepat. Kini 250
denyut permenit. Keringat dingin keluar sebiji-biji jagung.
“Emmm…mungkin dia lelah. Tadi siang dia belanja
dengan Omma dan mereka pergi agak lama” sahut Bok lalu menggigit bibirnya.
Kebohongannya semakin besar pada Yoon dan ia semakin merasa bersalah. Gawat!.
“Begitu?” suara Yoon terdengar surprise.
“Baiklah…syukurlah kalau Seon tidak marah-marah lagi padamu. Kuharap kau sabar
menghadapinya”.
Bok mengangguk-angguk, lupa bahwa Yoon tak akan
bisa melihat anggukan kepalanya. “Tentu saja. Tidak masalah…aku
akan…menjaganya. Tenanglah”.
“Hm…gumawo Bok Ssi!” sahut Yoon di seberang.
“Hish!....” Bok mendesis saat mendengar panggilan
formal dari Yoon membuat Yoon tertawa di seberang. “Kau sudah sampai? Di mana
kau sekarang? sudah bertemu dengan si lambat Joong Mun?”.
Suara tawa Yoon terdengar melebar di seberang dan
Bok mampu menarik nafas, mengisi paru-parunya yang telah menciut karena ia lupa
menghirup oksigen akibat kegugupannya.
“Yup!” jawab Yoon. “Aku sampai tadi pagi, sekitar
pukul 08.00 waktu Honolulu. Sekarang aku di rumah Joong Mun. Ah…dia menitip
salam untukmu”.
“Syukurlah…jangan lupa makan dan jaga dirimu”
sahut Bok tanpa menanggapi kalimat Yoon tentang Joong Mun. Sudut mata Bok
menangkap gerakan pelan di dalam kamar yang berasal dari tubuh Seon yang
menggeliat. “Jangan bekerja terlalu keras..oke?”.
“Oke…Tapi…apa isi tas coklatmu itu?” tanya Yoon.
Alis Bok terangkat. “Kau belum membukanya?”
“Aku baru saja sampai di rumah Joong Mun, makan
dan mandi. Tidak..aku belum membukanya. Karena itu aku tanya padamu” jawab Yoon
di seberang.
“Bukan sesuatu yang penting. Hanya beberapa barang
yang mungkin kau butuhkan karena aku tidak bisa menemanimu di Hawaii” jawab Bok
pelan. Pandangannya tertuju pada Seon yang terlihat bergerak-gerak. Sepertinya
gadis kecil itu sudah bangun. “Bukalah jika kau butuh”.
“Kau ini…membuat orang penasaran saja!” ujar Yoon.
“Baiklah…aku hanya mengirim kabar, sampaikan salamku untuk Ahjumma dan
Ahjussi…juga untuk Seon…bye”.
“Oke…bye” sahut Bok lalu menutup ponselnya,
memasukkannya ke dalam saku celana parasutnya lalu perlahan melangkah menuju
dinding kaca. Sesaat Bok terkejut saat mendapati dinding kaca yang merupakan
pintu penghubung antara balkon dan kamar utama yang di tempati Seon tidak
sepenuhnya menutup, melainkan terdapat jeda yang cukup lebar. Bok memandang
Seon di atas ranjang yang terlihat bergerak-gerak. Sejenak meneliti. Apakah
gadis kecil itu mendengar pembicaraan antara dirinya dengan Yoon di ponsel?.
Namun, setelah beberapa saat menunggu dan tak terlihat reaksi yang menyolok
dari Seon, Bok menjadi yakin bahwa gadis kecil itu tak mendengar saat ia dan
Yoon bicara melalui ponsel sehingga kemudian, tangan gemuk Bok bergerak menggeser
dinding kaca perlahan dan berjalan mendekati ranjang, pada Seon yang telah
duduk sambil menatap sekelilingnya dengan bingung.
“Kau sudah bangun Cantik?” tanya Bok dengan senyum
paling manis yang dimilikinya.
Raut bingung di wajah Seon langsung lenyap dan
berganti dengan rasa sebal yang berlipat-lipat dimatanya.
“Sudah kukatakan jangan panggil aku seperti itu!”
sembur Seon. “Namaku Seon..Kim Seon Lu..apa kau sudah lupa? Apa kau sulit
mengingat-ingat sesuatu?”.
Bok tertawa. Sungguh senang bisa melihat kemarahan
gadis kecil yang sangat cantik itu.
“Ah iya…Oppa memang lupa. Mianhae Seon cantik”
sahut Bok sambil melangkah dua tapak ke depan.
Seon memundurkan tubuhnya saat melihat Bok
mendekat. Satu tangan kanannya terbentang ke depan.
“Jangan mendekat!...awas kalau kau berani
mendekat!” teriak Seon dengan sepasang mata bening yang membelalak lebar.
Bok terkejut dan seketika mengambil langkah mundur
ke belakang. “Tapi Seon cantik, kalau Oppa tidak boleh mendekatimu, bagaimana
Oppa mau merawatmu?”
“Aku tidak butuh dirawat!” jerit Seon sambil
melambaikan tangannya sebagai isyarat agar Bok pergi. “Pergilah…cepat sana
pergi!”
Bok menatap Seon. Sungguh, pada saat ini, mungkin
dirinya adalah orang yang paling merasa lega dan bahagia di dunia ini. Lega
melihat gadis kecil di depannya itu sehat dan tidak mengalami cedera apapun.
Bahagia melihat binar kehidupan yang paling hidup menyala dalam semburan galak
gadis kecil yang amat cantik tersebut. Mulut Bok menyembulkan senyum manis yang
tulus. Senyum yang muncul dari kelegaan hatinya.
“Baiklah…Oppa akan meninggalkan Seon cantik
sendiri agar kau bisa istirahat. Kalau ada apa-apa, Oppa ada di luar, Seon
cantik bisa memanggil Oppa kapan saja” ujar Bok sambil mulai melangkah menuju
pintu.
Seon mencebik. Sepasang lengannya terlipat di
depan dada sementara ia berlutut di atas ranjang. Ekspresinya terlihat sangat
galak dan angkuh yang sesungguhnya, justru semakin menonjolkan kecantikannya
yang polos.
Bok membuka pintu kamar dan sekali lagi menoleh ke
arah Seon, melempar senyum manis dan satu mata yang mengedip jenaka ke arah
gadis kecil itu sebelum kemudian menyelinap keluar dari dalam kamar.
Seon mendengus dan membuang muka saat Bok
tersenyum dan mengedipkan satu mata ke arahnya. Namun, ketika kemudian ia hanya
tinggal sendiri di dalam kamar, perlahan raut galak yang semula terpasang di
wajahnya meluntur dengan sangat cepat. Gadis kecil itu bahkan kemudian merosot
kembali ke atas ranjang, bergelung di sisi guling besar dengan sepasang mata
yang mulai berkaca-kaca. Bibirnya yang merah segar terlihat sedikit mencebik.
“Yoon Oppa….jadi Oppa sudah sampai di Hawai?
Cepatlah pulang, Seon tidak suka tinggal di rumah besar ini. Bukan karena Seon
tidak suka pada Bok Oppa, tapi karena Seon lihat dia tidak bisa menjaga dirinya
sendiri lalu bagaimana Bok Oppa mau menjaga Seon? Bok Oppa saja tidak sayang
pada dirinya sendiri, bagaimana dia mau menyayangi dan melindungi Seon?” bisik Seon
dengan airmata yang mulai menitik.
Pandangan Seon melayang ke atas meja dan melihat
ransel pororonya. Pasti Bok yang membawa dan meletakkannya di sana sebab Seon
ingat, terakhir kali ia melihat ranselnya itu ada di atas meja rumah sakit saat
ia tersadar dari pingsan setelah mobil yang dikemudiakan oleh Bok menabrak
pembatas jalan yang merupakan tanah taman kota. Tangan Seon terulur dan meraih
ranselnya, lalu merogoh ke dalam saku ransel di bagian depan. Itu tempatnay
menyimpan ponsel.
Sejenak kemudian, gadis kecil itu telah separuh
duduk di atas ranjang dan mulai membuka ponsel. Ada pesan dari Yoon.
Dengan sepasang mata berbinar, Seon membuka pesan
dari kakaknya.
Oppa sudah
sampai. Jaga diri baik-baik…banyak makan dan jangan terlalu merepotkan Bok
Oppa, Ahjumma dan Park Ahjussi. Oppa akan segera pulang. Apa yang kau kerjakan
hari ini? bersenang-senanglah.
Seon tersenyum dan mulai mengetik balasan untuk
kakaknya.
Syukurlah Oppa
sudah sampai. Jangan bekerja terlalu keras. Oppa jaga diri juga baik-baik. Hari
ini Seon pergi belanja dengan Ahjumma….dan tadi Seon ketiduran karena lelah.
Seon akan selalu berdoa untuk Oppa…Oppa fighting!.
Seon menambahkan satu emotikom sebuah senyum lebar
dan kepalan tangan tanda semangat sebelum menekan tombol ‘send’.
Selanjutnya, ketika pemberitahuan bahwa pesan yang
dikirimnya telah sampai ke tujan, tubuh gadis kecil itu kembali merosot ke atas
ranjang. Ponselnya tergeletak begitu saja di sisi guling besar sementara Seon
menutupi mukanya dengan satu lengan yang di letakkan di atas dahi. Satu aliran
jernih meluncur dari sepasang matanya. Kemudian, setelah mendesah pelan, tangan
Seon menarik selimut besar di atas ranjang dengan cepat dan menyelubungi
seluruh tubuhnya dengan selimut tebal itu. Hingga menutup sampai ke puncak
kepala.
***************
Pulau Oahu, Hawaii….
Yoon meletakkan ponselnya ke atas meja setelah
mendengar nada tutup dari seberang. Ia baru saja menelepon Bok. Senyum masih
menghiasi bibir Yoon saat mengingat kegugupan sahabatnya. Menerima telepon
dalam kondisi telanjang dan kedinginan? Aha!..Yoon tak bisa membayangkan
seorang tuan muda bertubuh super besar seperti Bok berdiri di kamar mandinya
yang juga super besar tanpa handuk atau penutup tubuh lainnya. Mudah-mudahan
kamar mandi Bok tidak dilengkapi dengan kamera CCTV. Yoon tertawa pelan dan
nyaris beranjak menuju tempat tidurnya, sebuah ranjang ikat terbuat dari tiruan
jaring net penangkap ikan yang bagian atasnya dilapisi kain rajutan benang wool
yang halus dan lembut. Namun, suara getar ponselnya kembali terdengar membuat
Yoon menoleh dan meraih benda kecil itu yang baru saja di letakkannya. Sebuah
pesan baru.
Yoon membukanya dan kembali tersenyum. Dari Seon,
yang membalas pesannya.
Syukurlah
Oppa sudah sampai. Jangan bekerja terlalu keras. Oppa jaga diri juga baik-baik.
Hari ini Seon pergi belanja dengan Ahjumma….dan tadi Seon ketiduran karena
lelah. Seon akan selalu berdoa untuk Oppa…Oppa fighting!.
Yoon
meletakkan kembali ponselnya dan berjalan menuju ranjang jaring yang menunggunya.
Rupanya, demam aktor Korea pemeran Kim Tan benar-benar sudah menguasai adiknya
itu sehingga Seon mulai mengenal kata-kata yang biasa diucapkan oleh para fans
pada aktor idola mereka seperti ‘Fighting!’.
Udara Hawai di malam hari terasa hangat bahkan
cenderung agak sedikit panas. Ada segumpal awan mendung di langit meski tak
benar-benar menutupi langit seutuhnya. Ia masih bisa melihat bulan yang
berenang bersama bintang-bintang di samudera langit malam dan sesekali
bersembunyi di balik arak-arak gumpalan awan yang datang menyapa. Yoon membuka
jendela di kamarnya. Joong Mun sedang mandi. Ia bisa mendengar suara air
mengalir dari shower kamar mandi diselingi suara nyanyian sahabatnya tersebut
menirukan satu lagu milik Taylor Swift. Ia sendiri sudah mandi. Itu hal pertama
yang dilakukannya segera setelah mereka selesai makan malam. Dan Yoon sungguh
merasa begitu berbeda saat air memancar dari shower di atas kepalanya. Tak ada
pilihan air dingin atau panas di sini. Hanya air dingin namun Yoon merasa air itu
sungguh segar dan hangat. Yoon menghabiskan waktu hampir satu jam di bawah
shower untuk memuaskan tubuhnya yang bersorak di bawah kesegaran air Pulau Oahu
Hawaii yang pertama kali dirasakannya.
Dan sekarang adalah waktunya tidur. Yoon sama
sekali tak berminat untuk menonton acara televisi di malam pertamanya berada di
Pulau Oahu ini. Ia hanya ingin tidur setelah semua rasa lelah yang kemarin tak
di rasakannya kini benar-benar seperti menumpuk memenuhi setiap sudut ruang di
tubuhnya.
Yoon duduk di atas ranjang jaringnya dan mengamati
dirinya sendiri. Sebuah tawa kecil meluncur ringan dari bibirnya saat ia
menyadari, seperti apa tampaknya ia kini. Baiklah, mulai malam ini hingga ia
selesai mengikuti lomba memasak nanti, ia akan menjadi ikan besar hasil tangkapan
Joong Mun, batin Yoon sambil mengerucutkan bibirnya. Semilir angin bertiup dan
masuk dari jendela yang ia buka membuat Yoon merasa nyaman. Tubuhnya sudah
nyaris bergulir ke atas ranjang ketika tiba-tiba, telinga Yoon menangkap suara
berderak halus. Seperti sesuatu benda yang pecah atau patah karena terinjak
oleh kaki. Yoon mengerutkan alisnya dan kembali duduk tegak di atas ranjangnya.
Kepalanya menoleh ke arah jendela yang terbuka dan sesaat menunggu. Namun,
suara benda yang pecah atau patah itu tak lagi terdengar membuat Yoon kembali
hendak merebahkan tubuhnya.
“Srrrk!” sebuah suara kembali terdengar. Kali ini
lebih mirip seperti suara kain yang sobek membuat Yoon kembali duduk tegak di
atas ranjangnya.
“Siapa itu?” seru Yoon. “Joong Mun? Kaukah itu?!”
Tak terdengar jawaban selain angin yang bertiup
dan masuk melalui jendela membawa suara genta angin yang berdenting-denting
pelan serta suara-suara keramaian di luar sana yang tak pernah berhenti selama
dua puluh empat jam sehari. Yoon bangkit dari ranjang jaring dan berjalan
menuju jendela yang sesaat lalu di bukanya. Kepalanya melongok ke luar dan
menatap sekeliling halaman. Tak ada apapun. Rumah Joong Mun merupakan rumah
sewa yang terletak di daerah pemukiman padat untuk kalangan menengah ke bawah.
Rumah-rumah yang nyaris saling berhimpitan membuat halaman ataupun beranda yang
di miliki oleh setiap rumah hampir-hampir tidak ada. Seperti rumah yang telah
di sewa oleh Joong Mun selama dua tahun ini. Halaman kecil yang ada di sisi
rumah tak lebih dari tanah longgar selebar satu meter yang diisi oleh beberapa
pot tanaman hias dan benda-benda rongsokan yang tak lagi dipakai. Dan karena
sempitnya halaman di sisi jendela itu, maka sangat mudah bagi Yoon untuk
melihat semua area dan sudutnya. Dan ia tidak mendapatkan sesuatu yang terlihat
mencurigakan atau hal yang bisa menimbulkan suara berderak ataupun kain yang
sobek.
Yoon menarik nafas sejenak sebelum kemudian
mengulurkan tangan dan menutup kembali jendela yang semula dibukanya. Apapun
itu, yang jelas ia ingin tidur tanpa diganggu malam ini.
Dan ternyata, ranjang jaring ini lumayan nyaman
untuk tidur. Meskipun Yoon tidak bisa membalikkan tubuhnya dengan mudah seperti
jika ia tidur di ranjang yang normal, namun efek ayunan yang didapatnya membuat
Yoon dengan cepat tertidur lelap hingga tak menyadari ketika kemudian Joong Mun
masuk ke dalam kamar dan membentangkan sehelai selimut di atas tubuhnya.
*************
Chef Chen merapatkan tubuhnya di atas atap
sementara pandangannya mengawasi ke arah pemuda yang berdiri di dekat jendela.
Terlihat jelas betapa lelaki berwajah
teduh tersebut berusaha begitu keras untuk mengendalikan perasaannya yang
berkecamuk sementara sepasang matanya menyusuri wajah dan sosok yang kini
terlihat jelas di tepi jendela. Pemuda yang berdiri di tepi jendela itu tak
lagi mengenakan scarf biru seperti siang tadi. Rambutnya yang hitam terlihat
masih sedikit basah dan sebagian rambut pada bagian depan terlihat bergerak
karena tiupan angin laut yang semilir berhembus. Tubuhnya yang tinggi dan gagah
hanya di balut oleh sebuah kaus tanpa kerah berwarna putih dan celana jeans
berhias sobekan besar dibagian lutut.
Chef Chen menggigit bibirnya sementara sepasang matanya
memerah oleh airmata yang kemudian menetes jatuh dan menghilang sebelum
menyentuh permukaan atap. Berpendar dalam cahaya lembut yang terlihat lebih
jelas di malam hari. Sepasang tangan Chef Chen mengepal erat sementara
pandangannya menyapu seluruh wujud pemuda yang terlihat melongokkan kepalanya,
meneliti ke seluruh area halaman sempit tersebut. Gumpalan rasa bercampur aduk
menjadi sebuah gelombang emosi yang sangat kuat, menghancurkan seketika seluruh
ketenangan yang selama ini tercipta dalam sosoknya.
“Cyou….Xu Cyou” desis Chef Chen dalam nada pedih
sekaligus rindu.
Lalu, mendadak pemuda di tepi jendela itu menarik
daun jendela yang terbuka dan menutupnya. Chef Chen terkejut dan perlahan
bergerak. Tubuhnya ringan melayang di atas atap dan meluncur turun ke bawah.
Sejenak, pandangannya menyapu lantai halaman untuk melihat jika ada lagi kayu
lapuk yang akan terinjak olehnya dan menimbulkan suara berderak patah atau
sebuah paku yang akan menyangkut di baju dan membuat sebuah suara sobekan
seperti sebelumnya. Kemudian, lelaki dengan kharisma yang sangat kuat itu
merapatkan tubuhnya ke dinding. Satu tangannya terulur dan mengusap sepasang
matanya yang basah oleh airmata. Sesaat kemudian, seiring suara desah nafas
teratur dari dalam kamar yang menunjukkan bahwa pemuda yang semula berdiri di
ambang jendela itu telah pulas tertidur, perlahan tubuh Chef Chen merosot ke
bawah dan terduduk di lantai halaman yang sempit itu, tepat di bawah jendela.
Wajah sang chef kini terlihat penuh terbalut oleh
kesedihan. Kepala Chef Chen menengadah, menatap langit malam yang luas tanpa
tepi, tempat di mana ia akan menemukan seluruh rahasia kehidupan dan perjalanan
yang tak akan seorangpun manusia disaat ini dapat memahaminya. Sepasang mata
Chef Chen menerawang semakin jauh, menembus kabut magenta yang membungkus
langit dan menyembunyikan seluruh jawaban yang dicarinya. Menyibak tirai alam
yang seolah angkuh dan kukuh dalam menjaga bentangan benang merah yang
sedikitpun tak pernah terputus sebagai penghubung kehidupan dari masa ke masa.
Bahkan hingga manusia sendiri telah melupakan jalannya dan menghapus masa
lalunya.
Sekali lagi, Chef Chen mengusap airmata yang
membasahi kedua pipinya sementara telinganya mereguk dengan kerakusan penuh
rasa rindu, suara desah nafas halus pemuda yang tengah terlelap dalam keindahan
mimpi di balik dinding dan jendela yang di sandarinya.
Kemudian, bersama dengan semilir angin yang
kembali bertiup, sang chef kebanggaan seluruh masyarakat Kepulauan Hawaii itu
mulai menyibak tirai yang menutup rapat
rahasia masa lalu yang sesungguhnya telah seringkali dibaca dan dibuka namun
tak pernah bisa ditepisnya betapapun rahasia itu terus menerus menggoreskan
kepedihan yang tak pernah dapat di obati oleh waktu dan siapapun juga…..
*******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar