Minggu, 15 Mei 2016

Straight - Episode 7 ( Bagian Tiga )

“Pangeran?...Pangeran Zhu Di, apakah Pangeran baik-baik saja?” sebuah bisik tepat di belakang telinga disusul sentuhan pelan pada lengannya membuat lamunan Pangeran Zhu Di kembali pada kekinian.
Sang Pangeran Keempat tersentak dan serta merta menoleh ke belakang, pada Kasim Chen yang terlihat menatapnya dengan raut cemas. Alis Pangeran Zhu Di berkerut.
“Oh..ya, Adik Chen…aku baik-baik saja. Kenapa kau bertanya begitu?” tanya Pangeran Zhu Di pada kasim remaja kesayangannya.
“Itu” Xiao Chen menunjuk ke arah tangan kanan Pangeran Zhu Di. “Kenapa tangan Pangeran terus memegang perut seperti itu? Apakah Anda sakit perut Pangeran?”.
Pangeran Zhu Di menunduk untuk melihat ke arah perutnya dan segera mengangkat tangannya yang tertinggal mendekap di sana. Senyum lebar yang ceria mengembang memperlihatkan deretan gigi putih cemerlang.
“Tidak Adik Chen. Perutku baik-baik saja. Mungkin aku hanya lapar. Kepiting yang kau masak sungguh enak” sahut Pangeran Zhu Di tertawa dalam bisiknya.
Xiao Chen tersenyum mendengar kalimat yang diucapkan oleh Pangeran Zhu Di, namun kerut di keningnya tak menghilang. Sepasang mata jernih kasim remaja itu terlihat meneliti wajah Pangerang Keempat di depannya sementara suara Kasim Liu terdengar mengumandang di ruang aula. Semua tamu kerajaan telah mempersembahkan hadiah mereka pada Kaisar dan Pangeran Mahkota, demikian pula para selir, puteri dan sebagian pangeran.
Di sisi lain, Kasim Anta terlihat sibuk membisikkan sesuatu pada Pangeran Zhu Di. Entah apa, namun Sang Pangeran sama sekali tak menunjukkan reaksi. Tidak karena pandangan mata bening Pangeran Keempat telah kembali tertarik ke arah satu wajah yang meninggalkan desir gelisah aneh dalam hatinya. Wajah yang kini disadarinya sebagai wajah terindah di antara semua yang hadir di ruang aula. Kegelisahan yang semakin meletup saat sebuah wajah lain membayang dalam benak Pangeran Zhu Di. Wajah seindah rembulan yang tadi malam dilihatnya menatap punggung wajah yang kini dilihatnya itu dengan sorot penuh puja.
Sekali lagi, Pangeran Zhu Di menarik nafas panjang. Separuh karena rasa gelisah yang terasa mulai mengikat batin, separuh lagi karena rasa sesak lain yang terasa menekan tepat di ulu hati. Tanpa sadar, tangan kanan sang pangeran kembali terangkat dan mendekap perut. Hal yang dengan jeli tertangkap oleh pandangan mata Xiao Chen.
Serta sepasang mata lain yang sejak awal semua orang memasuki ruang aula telah memperhatikan Sang Pangeran Keempat!. Hal yang luput dari perhatian siapapun! Sepasang mata yang dengan jelas terus melirik ke arah Sang Pangeran kesayangan Kaisar, seolah tengah menantikan sesuatu!.
Sesuatu yang nampaknya akan segera terjadi!.
Sementara itu, Pangeran Zhu Di yang terus memperhatikan ke arah Changyi sedikit tergagap saat dilihatnya wajah yang terus menarik kedua matanya tersebut mendadak terangkat dan menatap ke arahnya. Sebuah senyum indah yang terukir di wajah sahabatnya itu. Dan jelas tertujukan padanya membuat rasa gelisah di hati Pangeran Keempat sedikit menguap dan senyum lebar merekah di wajah Sang Pangeran.
“Pangeran…sekarang giliran Pangeran memberikan persembahan pada Pangeran Zhu Biao dan Yang Mulia Kaisar” bisik Kasim Anta di sisi telinga Pangeran Zhu Di.
Pangeran Zhu Di terkejut dan sesaat menoleh ke arah Kasim Anta sebelum kemudian pandangannya tertuju ke depan.
Dan Sang Pangeran menemukan semua pasang mata kini tertuju ke arahnya, termasuk pandangan mata Kaisar, Ratu Ma, Pangeran Zhu Biao, semua pangeran lain, perwakilan para puteri dan termasuk sepasang mata paling cemerlang yang semula selalu tertunduk tenang. Mendadak Pangeran Zhu Di menyadari makna senyum dan pandangan mata Changyi yang terarah padanya. Rupanya, ia terlalu sibuk dengan rasa gelisah dari kenangan peristiwa yang dilihatnya malam sebelumnya hingga sama sekali tak menyadari saat Kasim Liu menyebut namanya.
“Yang Mulia Kaisar telah berkali-kali memanggil Pangeran namun Pangeran tidak menjawab. Apakah Pangeran tengah memikirkan sesuatu?” tanya Kasim Anta kembali berbisik di sisi telinga PangeranZhu Di.
“Diamlah!...aku sudah tahu. Cepat bawa kemari persembahanku untuk Kakak Zhu Biao” bentak Pangeran Zhu Di pada kasim tuanya dengan nada berbisik pula.
Namun Kasim Anta masih duduk di sisi belakang Pangeran Zhu Di. Justru kening lelaki tua itu terlihat berkerut membuat Pangeran Keempat menatap kasimnya dengan sepasang mata mulai melotot galak.
“Apa yang kau tunggu?” bentak Pangeran Zhu Di pada sang kasim tua. “Apa kau tidak lihat semua orang sedang menungguku?”.
“Pangeran…biarlah hamba yang membawa persembahan Pangeran untuk Pangeran Zhu Biao” terdengar bisik Xiao Chen menawarkan.
Tapi segera Pangeran Zhu Di menggeleng tegas. “Tidak Adik Chen!” sahutnya cepat. “Kau tetap di sini karena aku ingin memintamu melakukan sesuatu yang lain”.
Xiao Chen menarik nafas dan menatap Kasim Anta.
“Paman..apakah ada yang Paman khawatirkan?” tanya Xiao Chen seraya menatap Kasim Anta yang berkerut menatap Pangeran Zhu Di.
“Pangeran…hamba hanya khawatir jika nanti persembahan dari Pangeran juga ditolak oleh Pangeran Zhu Biao seperti persembahan sebelumnya” bisik Kasim Anta menjawab pertanyaan Xiao Chen namun ditujukan pada Pangeran Keempat asuhannya.
“Apa? Persembahan yang ditolak?” alis Pangeran Zhu Di berkerut mendengar kalimat Kasim Anta. Sepasang matanya menatap ke arah Xiao Chen. “Persembahan siapa yang ditolak? Apa isi persembahannya?"
Kasim Anta dan Xiao Chen terkejut mendengar pertanyaan pangeran mereka. Keduanya saling pandang sesaat sebelum kemudian Xiao Chen kembali ke wajah Pangeran Zhu Di.
“Menteri Liau baru saja memberikan persembahan seorang puteri pada Pangeran Zhu Biao. Puteri itu sangatlah cantik dan masih merupakan kerabat dari Menteri Liau sendiri, namun dengan tegas Pangeran Zhu Biao menolaknya. Menteri Liau terlihat sangat malu terlebih karena nampaknya Yang Mulia Kaisar juga kurang berkenan. Tidakkah Pangeran juga melihatnya tadi?” sahut Kasim Anta dengan nada heran.
Pangeran Zhu Di sedikit tercengang. Mendengar apa? Ia sama sekali tak mendengar apapun selain suara-suara kegelisahan dalam benaknya. Dengan eskpresi sedikit bingung, sang pangeran menggeleng sembari mengangkat bahu membuat alis Xiao Chen berkerut semakin dalam sementara Kasim Anta memutar bola matanya.
Pangeran Zhu Di memperlihatkan senyum separonya, namun hanya sekejab karena pada detik berikutnya, sepasang mata bening yang cerdas itu telah kembali melotot ke arah kasim tua di dekatnya.
“Cepat bawa kemari persembahanku! Kakak Zhu Biao tidak akan menolakku. Jika ia berani menolak maka ia akan menyesal seumur hidupnya!” tegasnya pada Kasim Anta. “Cepat pergi!”.
Bagaikan disengat kala seribu, Kasim Anta yang menyadari kesungguhan perintah Pangeran Keempat segera membungkuk penuh hormat sebelum kemudian berlalu dengan langkah tergopoh-gopoh.
“Pangeran Zhu Di memberikan persembahan kepada Kaisar dan Pangeran Mahkota” seru Kasim Liu, entah untuk keberapa kalinya sebab Pangeran Keempat sama sekali tidak mendengarnya hingga panggilan yang sekarang.
Pangeran Zhu Di melempar senyum pada semua mata yang tertuju ke arahnya sebelum kemudian mulai bangkit berdiri. Kakinya bermaksud untuk melangkah saat mendadak satu suara terdengar. Itu suara Kasim Chen yang terdengar sangat khawatir. Pangeran Keempat menoleh ke arah kasim remaja di sisinya.
“Ada apa Adik Chen?” tanya Pangeran Zhu Di seraya menatap kasimnya. “Aku harus ke hadapan Yang Mulia Kaisar sekarang, semua orang menungguku”.
“Pangeran..wajah Pangeran terlihat pucat. Apakah Pangeran sungguh baik-baik saja? Dan kenapa Pangeran terus memegangi perut?” tanya Xiao Chen. Kerut di alisnya kini telah menjalar ke keningnya yang halus.
Pangeran Zhu Di memalingkan wajahnya menatap ke arah semua mata yang tengah memandangnya. Sekarang tak penting apa yang tengah dirasakannya sebab semua orang tengah menunggunya. Jika ia tidak segera maju ke hadapan Kaisar maka pasti hal itu akan membuat Sang Kaisar dan Permaisuri malu. Meski, di sisi lain, ia tak menampik bahwa rasa melilit di perutnya semakin menjadi-jadi dan kini mulai terasa seperti ada jarum yang menusuk-nusuk menimbulkan rasa nyeri dan mual.
“Aku tidak apa-apa Adik Chen. Aku harus maju ke hadapan Yang Mulia Kaisar sekarang” jawab Pangeran Zhu Di seraya menurunkan tangannya dari atas perut. Berapa kali ia tanpa sadar mendekap perutnya? Entahlah. Hari ini, rasanya semua hal terasa sangat membingungkan!.
“Tapi Pangeran…”
“Pergilah dan sampaikan pada Kakak Xu bahwa aku sangat ingin berbincang dengannya setelah semua upacara ini selesai” potong Pangeran Zhu Di cepat dan segera melangkah ke depan tanpa menunggu jawaban Xiao Chen.
Xiao Chen menatap punggung Pangeran Keempat yang melangkah cepat ke tengah ruang aula dan berhenti tepat di hadapan Kaisar Hongwu dan Permaisuri Ma Xiuying. Tubuh Pangeran Zhu Di masih terlihat kokoh dan tegap, sama sekali tak terlihat goyah sedikitpun. Demikian pula saat sang pangeran memberikan penghormatan pada Kaisar dan Permaisuri. Namun, raut wajah yang terlihat mulai memucat dan keringat dalam butiran besar yang memercik di dahi, pelipis dan leher Pangeran Zhu Di benar-benar membuat hati Xiao Chen cemas. Pandangan mata kasim muda itu beredar dan berhenti pada wajah Changyi yang terlihat juga tengah memperhatikan Pangeran Keempat. Dengan alis berkerut. Dalam sekejab Xiao Chen mengerti bahwa Changyi juga melihat hal berbeda pada putra termuda Kaisar Hongwu tersebut.
Sementara itu, Pangeran Zhu Di yang telah menegakkan tubuhnya kembali terlihat mulai berbicara.
“Yang Mulia Kaisar dan Ratu, hamba adalah Zhu Di yang tak memiliki banyak hal untuk dapat hamba persembahkan pada Yang Mulia Kaisar, Yang Mulia Ratu dan Pangeran Mahkota di hari yang sangat bahagia ini. Hamba hanyalah Zhu Di, yang berharap dapat melakukan hal baik dengan kemampuan hamba yang masih begitu sedikit dan tak berarti. Sesungguhnya, hamba tidak memiliki benda apapun yang bernilai lebih baik untuk hamba persembahkan pada Yang Mulia Kaisar dan Yang Mulia Ratu karena semua yang hamba miliki adalah pemberian Yang Mulia Kaisar dan Yang Mulia Ratu pada hamba”
Pangeran Zhu Di berhenti berbicara dan sebentar menanti. Suasana hening menyelimuti ruang aula dan semua orang terlihat mendengarkan apa yang tengah disampaikan oleh pangeran termuda yang sangat disayangi Kaisar itu. Pandangan mata Pangeran Keempat sedikit sesaat terangkat dan menatap wajah orangtuanya yang duduk di singgasana. Kaisar Hongwu terlihat tengah memperhatikan dirinya. Tak ada senyum di wajah yang penuh kharisma itu, namun sepasang mata yang tengah memandang putra bungsunya tersebut terlihat jelas dipenuhi binar bahagia dan bangga. Sementara, tak ada apapun dalam pandangan Sang Ratu selain cinta untuk pangeran bungsu yang kini telah tumbuh menjadi pemuda yang gagah dengan binar kecerdasannya.
Pangeran Zhu Di berhenti pada gulungan cinta yang memancar dari sepasang mata Ratu Ma Xiuying, menyerap energinya sebelum kemudian, bibir yang sesungguhnya mulai memucat itu kembali berbicara.
“Tetapi…hamba memiliki satu bagian dalam diri hamba yang selalu hamba jaga. Hamba selalu berusaha untuk menjaganya karena meskipun satu bagian itu sangatlah kecil namun ia memiliki kekuatan untuk menggerakkan dan mewarnai hamba menjadi sesuatu yang berbeda-beda. Karena itulah hamba selalu berusaha untuk menjaga satu bagian tersebut dengan usaha dalam kebaikan yang hamba ketahui agar apa yang dibuatnya terhadap hamba juga akan menjadikan kebaikan warna yang membentuk hamba menjadi sesuatu yang indah. Dan pada hari ini, hamba ingin mempersembahkan satu bagian yang paling penting dalam kehidupan hamba tersebut pada Yang Mulia Kaisar dan Ratu, sebagai ungkapan terima kasih hamba atas segala kebaikan tak terukur yang telah hamba terima sejak waktu sebelum pertama kalinya hamba membuka mata untuk menatap dunia. Yang Mulia Kaisar dan Yang Mulia Ratu…hanya hati hamba inilah satu-satunya apa yang hamba miliki dan hamba nilai cukup pantas untuk hamba persembahkan pada Yang Mulia Kaisar dan Yang Mulia Ratu. Hamba mohon, terimalah persembahan hamba ini yang sangatlah kecil dan tidak sepadan dengan apa yang telah hamba terima dari Yang Mulia Kaisar dan Ratu. Semoga, apa yang dapat hamba persembahkan ini kelak akan membawa kebahagiaan bagi Yang Mulia Kaisar dan Yang Mulia Ratu Ma” ucap Pangeran Zhu Di seraya menjatuhkan dirinya ke atas lantai dan bersujud di hadapan orangtuanya.
Hening seluruhnya. Kaisar Hongwu menatap putra bungsunya yang bersujud dalam jarak beberapa tombak di hadapannya dengan dada bergermuruh oleh haru dan cinta. Sungguh, andai bukan karena saat ini ia tengah duduk sebagai seorang raja dengan puluhan tamu dari luar kerajaan, dan seandainya ia tak harus menjaga wibawanya di hadapan sekian banyak anggota keluarganya yang hadir, maka pastilah ia akan melompat kedepan dan meraih tubuh gagah yang tengah bersujud itu dalam sekali renggut lalu memeluknya dengan erat.
Kedua tangan Kaisar Hongwu terkepal erat saat ia berusaha menahan segenap rasa kebapakan yang bergumpal-gumpal memenuhi rongga dadanya. Hingga kemudian, sebuah desah halus yang terdengar dari sisi Sang Kaisar diikuti gerak satu tangan lentik yang mengusap airmata membuat Kaisar Hongwu kembali mengurai jemarinya.
“Pangeran Zhu Di…apa yang kau persembahkan kepada kami pada hari ini aku terima dengan kegembiraan. Dan selanjutnya, aku dan Ratu Ma berharap bahwa kau akan menepati janji yang telah kau berikan pada kami secara ksatria agar apa yang kau persembahkan itu nantinya akan menjadi kebahagiaan bagi kami. Sebab janji seorang ksatria tidak diucapkan dengan mulutnya melainkan dengan kehormatannya. Apakah kau mengerti Pangeran Zhu Di?” ucap Kaisar Hongwu pada putra bungsunya yang segera kembali memberikan sujud kedua demikian mendengar kalimat San Kaisar.
“Hamba mengerti Yang Mulia…dan dengan segenap kehormatan yang hamba miliki, hamba akan menjaga dan menepati janji hamba kepada Yang Mulia Kaisar dan Yang Mulia Ratu Ma” seru Pangeran Zhu Di memberikan jawaban.
Tak lagi sunyi. Suara dengungan halus terdengar dalam ruang aula yang sangat luas dan sejuk itu sebagai sahutan atas kalimat dan janji yang diucapkan oleh sang pangeran termuda dalam istana. Janji yang segera diikat oleh semilir angin dan disampaikan pada segenap bagian pelosok negeri. Janji yang menanti untuk ditepati dan disambut dengan nyanyian dan gerak gemulai setiap helai daun yang mengetahui bahwa satu hari nanti, janji itu akan tertepati bersama munculnya kegemilangan yang memancar ke seluruh penjuru mata angin…
Sementara itu, di satu sisi ruang aula, Xiao Chen berdiri dengan kecemasan yang semakin menghunjam. Kedua mata kasim muda itu sedikitpun tak lepas menatap Pangeran Zhu Di yang tengah bersujud di hadapan orangtuanya. Kening halus Xiao Chen berkerut semakin dalam hingga lipatan-lipatan kecil terlihat menghias di atas kedua alisnya.
Mengapa wajah Pangeran Zhu Di semakin memucat? Keringat berukuran besar terlihat semakin deras memercik dan bahkan saat Sang Pangeran Keempat yang telah mengguncang hati segenap tamu dan pejabat kerajaan yang hadir dengan persembahannya yang begitu indah itu kembali berbicara, terlihat jelas kedua sepasang bibir Pangeran Zhu Di yang mulai berubah warna menjadi biru. Apakah Kaisar menyadari perubahan pada putra bungsunya? Jarak antara Kaisar Hongwu dan tempat Pangeran Zhu Di bersujud agak jauh, namun mestinya hal itu masih cukup bagi Sang Kaisar untuk melihat bahwa Pangeran Keempat mengalami perubahan dalam keadaan dirinya.
Dan perubahan itu nampak sangat tidak baik hingga membuat hati Xiao Chen bagaikan genta yang dipukul dengan sekeras-kerasnya. Terlebih saat ia melihat kedua jemari tangan Pangeran Zhu Di yang menepak lantai tak lagi berada dalam keadaan terurai melainkan mengepal.
Hanya satu kata yang terlukis dalam Kasim Chen saat melihatnya. Satu kata yang menggambarkan hal yang sesungguhnya tengah dihadapi oleh Sang Pangeran Kesayangan namun tertutupi oleh keceriaan senyum dari bibir yang telah memucat itu serta ketegaran tubuh gagah yang sedikitpun tak sudi memperlihatkan kelemahannya di hadapan sepasang orangtua yang paling dikasihi.
Dan satu kata itu adalah…
SAKIT…
Pangeran Zhu Di tengah dihunjam oleh rasa sakit.
Sakit yang amat sangat…namun tersembunyikan di balik ketegaran yang tertampilkan.
Xiao Chen benar-benar gelisah saat menyadari apa yang sesungguhnya tengah terjadi. Ia tak bisa maju ke depan namun ia juga tak bisa mundur dari ruangan yang sangat luas itu. Sepasang matanya yang telah menemukan kekhawatiran yang sama di wajah kakaknya kembali berkelebat dan berhenti pada sepasang mata Xu Changyi yang kini terus menatap ke arah Pangeran Keempat…
Dengan kecemasan yang sama…
Pada wajah kakaknya itulah kini, Xiao Chen menambatkan harapannya atas kecemasan yang terasa semakin besar mengikat…
***********

Tidak ada komentar:

Posting Komentar