“Pangeran?...Pangeran
Zhu Di, apakah Pangeran baik-baik saja?” sebuah bisik tepat di belakang telinga
disusul sentuhan pelan pada lengannya membuat lamunan Pangeran Zhu Di kembali
pada kekinian.
Sang Pangeran Keempat
tersentak dan serta merta menoleh ke belakang, pada Kasim Chen yang terlihat
menatapnya dengan raut cemas. Alis Pangeran Zhu Di berkerut.
“Oh..ya, Adik Chen…aku
baik-baik saja. Kenapa kau bertanya begitu?” tanya Pangeran Zhu Di pada kasim
remaja kesayangannya.
“Itu” Xiao Chen
menunjuk ke arah tangan kanan Pangeran Zhu Di. “Kenapa tangan Pangeran terus
memegang perut seperti itu? Apakah Anda sakit perut Pangeran?”.
Pangeran Zhu Di
menunduk untuk melihat ke arah perutnya dan segera mengangkat tangannya yang
tertinggal mendekap di sana. Senyum lebar yang ceria mengembang memperlihatkan
deretan gigi putih cemerlang.
“Tidak Adik Chen.
Perutku baik-baik saja. Mungkin aku hanya lapar. Kepiting yang kau masak
sungguh enak” sahut Pangeran Zhu Di tertawa dalam bisiknya.
Xiao Chen tersenyum
mendengar kalimat yang diucapkan oleh Pangeran Zhu Di, namun kerut di keningnya
tak menghilang. Sepasang mata jernih kasim remaja itu terlihat meneliti wajah
Pangerang Keempat di depannya sementara suara Kasim Liu terdengar mengumandang
di ruang aula. Semua tamu kerajaan telah mempersembahkan hadiah mereka pada
Kaisar dan Pangeran Mahkota, demikian pula para selir, puteri dan sebagian
pangeran.
Di sisi lain, Kasim
Anta terlihat sibuk membisikkan sesuatu pada Pangeran Zhu Di. Entah apa, namun
Sang Pangeran sama sekali tak menunjukkan reaksi. Tidak karena pandangan mata
bening Pangeran Keempat telah kembali tertarik ke arah satu wajah yang meninggalkan
desir gelisah aneh dalam hatinya. Wajah yang kini disadarinya sebagai wajah
terindah di antara semua yang hadir di ruang aula. Kegelisahan yang semakin
meletup saat sebuah wajah lain membayang dalam benak Pangeran Zhu Di. Wajah seindah
rembulan yang tadi malam dilihatnya menatap punggung wajah yang kini dilihatnya
itu dengan sorot penuh puja.
Sekali lagi, Pangeran
Zhu Di menarik nafas panjang. Separuh karena rasa gelisah yang terasa mulai
mengikat batin, separuh lagi karena rasa sesak lain yang terasa menekan tepat
di ulu hati. Tanpa sadar, tangan kanan sang pangeran kembali terangkat dan
mendekap perut. Hal yang dengan jeli tertangkap oleh pandangan mata Xiao Chen.
Serta sepasang mata
lain yang sejak awal semua orang memasuki ruang aula telah memperhatikan Sang
Pangeran Keempat!. Hal yang luput dari perhatian siapapun! Sepasang mata yang
dengan jelas terus melirik ke arah Sang Pangeran kesayangan Kaisar, seolah
tengah menantikan sesuatu!.
Sesuatu yang
nampaknya akan segera terjadi!.
Sementara itu,
Pangeran Zhu Di yang terus memperhatikan ke arah Changyi sedikit tergagap saat
dilihatnya wajah yang terus menarik kedua matanya tersebut mendadak terangkat
dan menatap ke arahnya. Sebuah senyum indah yang terukir di wajah sahabatnya itu.
Dan jelas tertujukan padanya membuat rasa gelisah di hati Pangeran Keempat
sedikit menguap dan senyum lebar merekah di wajah Sang Pangeran.
“Pangeran…sekarang
giliran Pangeran memberikan persembahan pada Pangeran Zhu Biao dan Yang Mulia
Kaisar” bisik Kasim Anta di sisi telinga Pangeran Zhu Di.
Pangeran Zhu Di
terkejut dan sesaat menoleh ke arah Kasim Anta sebelum kemudian pandangannya
tertuju ke depan.
Dan Sang Pangeran
menemukan semua pasang mata kini tertuju ke arahnya, termasuk pandangan mata
Kaisar, Ratu Ma, Pangeran Zhu Biao, semua pangeran lain, perwakilan para puteri
dan termasuk sepasang mata paling cemerlang yang semula selalu tertunduk
tenang. Mendadak Pangeran Zhu Di menyadari makna senyum dan pandangan mata
Changyi yang terarah padanya. Rupanya, ia terlalu sibuk dengan rasa gelisah
dari kenangan peristiwa yang dilihatnya malam sebelumnya hingga sama sekali tak
menyadari saat Kasim Liu menyebut namanya.
“Yang Mulia Kaisar
telah berkali-kali memanggil Pangeran namun Pangeran tidak menjawab. Apakah
Pangeran tengah memikirkan sesuatu?” tanya Kasim Anta kembali berbisik di sisi
telinga PangeranZhu Di.
“Diamlah!...aku sudah
tahu. Cepat bawa kemari persembahanku untuk Kakak Zhu Biao” bentak Pangeran Zhu
Di pada kasim tuanya dengan nada berbisik pula.
Namun Kasim Anta
masih duduk di sisi belakang Pangeran Zhu Di. Justru kening lelaki tua itu
terlihat berkerut membuat Pangeran Keempat menatap kasimnya dengan sepasang
mata mulai melotot galak.
“Apa yang kau tunggu?”
bentak Pangeran Zhu Di pada sang kasim tua. “Apa kau tidak lihat semua orang
sedang menungguku?”.
“Pangeran…biarlah
hamba yang membawa persembahan Pangeran untuk Pangeran Zhu Biao” terdengar
bisik Xiao Chen menawarkan.
Tapi segera Pangeran
Zhu Di menggeleng tegas. “Tidak Adik Chen!” sahutnya cepat. “Kau tetap di sini
karena aku ingin memintamu melakukan sesuatu yang lain”.
Xiao Chen menarik
nafas dan menatap Kasim Anta.
“Paman..apakah ada
yang Paman khawatirkan?” tanya Xiao Chen seraya menatap Kasim Anta yang
berkerut menatap Pangeran Zhu Di.
“Pangeran…hamba hanya
khawatir jika nanti persembahan dari Pangeran juga ditolak oleh Pangeran Zhu
Biao seperti persembahan sebelumnya” bisik Kasim Anta menjawab pertanyaan Xiao
Chen namun ditujukan pada Pangeran Keempat asuhannya.
“Apa? Persembahan
yang ditolak?” alis Pangeran Zhu Di berkerut mendengar kalimat Kasim Anta.
Sepasang matanya menatap ke arah Xiao Chen. “Persembahan siapa yang ditolak?
Apa isi persembahannya?"
Kasim Anta dan Xiao
Chen terkejut mendengar pertanyaan pangeran mereka. Keduanya saling pandang
sesaat sebelum kemudian Xiao Chen kembali ke wajah Pangeran Zhu Di.
“Menteri Liau baru
saja memberikan persembahan seorang puteri pada Pangeran Zhu Biao. Puteri itu
sangatlah cantik dan masih merupakan kerabat dari Menteri Liau sendiri, namun
dengan tegas Pangeran Zhu Biao menolaknya. Menteri Liau terlihat sangat malu
terlebih karena nampaknya Yang Mulia Kaisar juga kurang berkenan. Tidakkah
Pangeran juga melihatnya tadi?” sahut Kasim Anta dengan nada heran.
Pangeran Zhu Di
sedikit tercengang. Mendengar apa? Ia sama sekali tak mendengar apapun selain
suara-suara kegelisahan dalam benaknya. Dengan eskpresi sedikit bingung, sang
pangeran menggeleng sembari mengangkat bahu membuat alis Xiao Chen berkerut
semakin dalam sementara Kasim Anta memutar bola matanya.
Pangeran Zhu Di
memperlihatkan senyum separonya, namun hanya sekejab karena pada detik
berikutnya, sepasang mata bening yang cerdas itu telah kembali melotot ke arah
kasim tua di dekatnya.
“Cepat bawa kemari
persembahanku! Kakak Zhu Biao tidak akan menolakku. Jika ia berani menolak maka
ia akan menyesal seumur hidupnya!” tegasnya pada Kasim Anta. “Cepat pergi!”.
Bagaikan disengat
kala seribu, Kasim Anta yang menyadari kesungguhan perintah Pangeran Keempat
segera membungkuk penuh hormat sebelum kemudian berlalu dengan langkah
tergopoh-gopoh.
“Pangeran Zhu Di memberikan
persembahan kepada Kaisar dan Pangeran Mahkota” seru Kasim Liu, entah untuk
keberapa kalinya sebab Pangeran Keempat sama sekali tidak mendengarnya hingga
panggilan yang sekarang.
Pangeran Zhu Di
melempar senyum pada semua mata yang tertuju ke arahnya sebelum kemudian mulai
bangkit berdiri. Kakinya bermaksud untuk melangkah saat mendadak satu suara
terdengar. Itu suara Kasim Chen yang terdengar sangat khawatir. Pangeran
Keempat menoleh ke arah kasim remaja di sisinya.
“Ada apa Adik Chen?”
tanya Pangeran Zhu Di seraya menatap kasimnya. “Aku harus ke hadapan Yang Mulia
Kaisar sekarang, semua orang menungguku”.
“Pangeran..wajah
Pangeran terlihat pucat. Apakah Pangeran sungguh baik-baik saja? Dan kenapa
Pangeran terus memegangi perut?” tanya Xiao Chen. Kerut di alisnya kini telah
menjalar ke keningnya yang halus.
Pangeran Zhu Di
memalingkan wajahnya menatap ke arah semua mata yang tengah memandangnya. Sekarang
tak penting apa yang tengah dirasakannya sebab semua orang tengah menunggunya. Jika
ia tidak segera maju ke hadapan Kaisar maka pasti hal itu akan membuat Sang
Kaisar dan Permaisuri malu. Meski, di sisi lain, ia tak menampik bahwa rasa melilit
di perutnya semakin menjadi-jadi dan kini mulai terasa seperti ada jarum yang
menusuk-nusuk menimbulkan rasa nyeri dan mual.
“Aku tidak apa-apa
Adik Chen. Aku harus maju ke hadapan Yang Mulia Kaisar sekarang” jawab Pangeran
Zhu Di seraya menurunkan tangannya dari atas perut. Berapa kali ia tanpa sadar
mendekap perutnya? Entahlah. Hari ini, rasanya semua hal terasa sangat
membingungkan!.
“Tapi Pangeran…”
“Pergilah dan
sampaikan pada Kakak Xu bahwa aku sangat ingin berbincang dengannya setelah
semua upacara ini selesai” potong Pangeran Zhu Di cepat dan segera melangkah ke
depan tanpa menunggu jawaban Xiao Chen.
Xiao Chen menatap
punggung Pangeran Keempat yang melangkah cepat ke tengah ruang aula dan
berhenti tepat di hadapan Kaisar Hongwu dan Permaisuri Ma Xiuying. Tubuh Pangeran
Zhu Di masih terlihat kokoh dan tegap, sama sekali tak terlihat goyah
sedikitpun. Demikian pula saat sang pangeran memberikan penghormatan pada
Kaisar dan Permaisuri. Namun, raut wajah yang terlihat mulai memucat dan
keringat dalam butiran besar yang memercik di dahi, pelipis dan leher Pangeran
Zhu Di benar-benar membuat hati Xiao Chen cemas. Pandangan mata kasim muda itu
beredar dan berhenti pada wajah Changyi yang terlihat juga tengah memperhatikan
Pangeran Keempat. Dengan alis berkerut. Dalam sekejab Xiao Chen mengerti bahwa
Changyi juga melihat hal berbeda pada putra termuda Kaisar Hongwu tersebut.
Sementara itu,
Pangeran Zhu Di yang telah menegakkan tubuhnya kembali terlihat mulai
berbicara.
“Yang Mulia Kaisar
dan Ratu, hamba adalah Zhu Di yang tak memiliki banyak hal untuk dapat hamba
persembahkan pada Yang Mulia Kaisar, Yang Mulia Ratu dan Pangeran Mahkota di
hari yang sangat bahagia ini. Hamba hanyalah Zhu Di, yang berharap dapat
melakukan hal baik dengan kemampuan hamba yang masih begitu sedikit dan tak
berarti. Sesungguhnya, hamba tidak memiliki benda apapun yang bernilai lebih
baik untuk hamba persembahkan pada Yang Mulia Kaisar dan Yang Mulia Ratu karena
semua yang hamba miliki adalah pemberian Yang Mulia Kaisar dan Yang Mulia Ratu
pada hamba”
Pangeran Zhu Di
berhenti berbicara dan sebentar menanti. Suasana hening menyelimuti ruang aula
dan semua orang terlihat mendengarkan apa yang tengah disampaikan oleh pangeran
termuda yang sangat disayangi Kaisar itu. Pandangan mata Pangeran Keempat
sedikit sesaat terangkat dan menatap wajah orangtuanya yang duduk di
singgasana. Kaisar Hongwu terlihat tengah memperhatikan dirinya. Tak ada senyum
di wajah yang penuh kharisma itu, namun sepasang mata yang tengah memandang
putra bungsunya tersebut terlihat jelas dipenuhi binar bahagia dan bangga. Sementara,
tak ada apapun dalam pandangan Sang Ratu selain cinta untuk pangeran bungsu
yang kini telah tumbuh menjadi pemuda yang gagah dengan binar kecerdasannya.
Pangeran Zhu Di
berhenti pada gulungan cinta yang memancar dari sepasang mata Ratu Ma Xiuying,
menyerap energinya sebelum kemudian, bibir yang sesungguhnya mulai memucat itu
kembali berbicara.
“Tetapi…hamba
memiliki satu bagian dalam diri hamba yang selalu hamba jaga. Hamba selalu
berusaha untuk menjaganya karena meskipun satu bagian itu sangatlah kecil namun
ia memiliki kekuatan untuk menggerakkan dan mewarnai hamba menjadi sesuatu yang
berbeda-beda. Karena itulah hamba selalu berusaha untuk menjaga satu bagian
tersebut dengan usaha dalam kebaikan yang hamba ketahui agar apa yang dibuatnya
terhadap hamba juga akan menjadikan kebaikan warna yang membentuk hamba menjadi
sesuatu yang indah. Dan pada hari ini, hamba ingin mempersembahkan satu bagian
yang paling penting dalam kehidupan hamba tersebut pada Yang Mulia Kaisar dan
Ratu, sebagai ungkapan terima kasih hamba atas segala kebaikan tak terukur yang
telah hamba terima sejak waktu sebelum pertama kalinya hamba membuka mata untuk
menatap dunia. Yang Mulia Kaisar dan Yang Mulia Ratu…hanya hati hamba inilah
satu-satunya apa yang hamba miliki dan hamba nilai cukup pantas untuk hamba
persembahkan pada Yang Mulia Kaisar dan Yang Mulia Ratu. Hamba mohon, terimalah
persembahan hamba ini yang sangatlah kecil dan tidak sepadan dengan apa yang
telah hamba terima dari Yang Mulia Kaisar dan Ratu. Semoga, apa yang dapat
hamba persembahkan ini kelak akan membawa kebahagiaan bagi Yang Mulia Kaisar
dan Yang Mulia Ratu Ma” ucap Pangeran Zhu Di seraya menjatuhkan dirinya ke atas
lantai dan bersujud di hadapan orangtuanya.
Hening seluruhnya.
Kaisar Hongwu menatap putra bungsunya yang bersujud dalam jarak beberapa tombak
di hadapannya dengan dada bergermuruh oleh haru dan cinta. Sungguh, andai bukan
karena saat ini ia tengah duduk sebagai seorang raja dengan puluhan tamu dari
luar kerajaan, dan seandainya ia tak harus menjaga wibawanya di hadapan sekian
banyak anggota keluarganya yang hadir, maka pastilah ia akan melompat kedepan
dan meraih tubuh gagah yang tengah bersujud itu dalam sekali renggut lalu
memeluknya dengan erat.
Kedua tangan Kaisar
Hongwu terkepal erat saat ia berusaha menahan segenap rasa kebapakan yang
bergumpal-gumpal memenuhi rongga dadanya. Hingga kemudian, sebuah desah halus
yang terdengar dari sisi Sang Kaisar diikuti gerak satu tangan lentik yang
mengusap airmata membuat Kaisar Hongwu kembali mengurai jemarinya.
“Pangeran Zhu Di…apa
yang kau persembahkan kepada kami pada hari ini aku terima dengan kegembiraan. Dan
selanjutnya, aku dan Ratu Ma berharap bahwa kau akan menepati janji yang telah
kau berikan pada kami secara ksatria agar apa yang kau persembahkan itu
nantinya akan menjadi kebahagiaan bagi kami. Sebab janji seorang ksatria tidak
diucapkan dengan mulutnya melainkan dengan kehormatannya. Apakah kau mengerti
Pangeran Zhu Di?” ucap Kaisar Hongwu pada putra bungsunya yang segera kembali
memberikan sujud kedua demikian mendengar kalimat San Kaisar.
“Hamba mengerti Yang
Mulia…dan dengan segenap kehormatan yang hamba miliki, hamba akan menjaga dan
menepati janji hamba kepada Yang Mulia Kaisar dan Yang Mulia Ratu Ma” seru
Pangeran Zhu Di memberikan jawaban.
Tak lagi sunyi. Suara
dengungan halus terdengar dalam ruang aula yang sangat luas dan sejuk itu
sebagai sahutan atas kalimat dan janji yang diucapkan oleh sang pangeran
termuda dalam istana. Janji yang segera diikat oleh semilir angin dan
disampaikan pada segenap bagian pelosok negeri. Janji yang menanti untuk
ditepati dan disambut dengan nyanyian dan gerak gemulai setiap helai daun yang
mengetahui bahwa satu hari nanti, janji itu akan tertepati bersama munculnya
kegemilangan yang memancar ke seluruh penjuru mata angin…
Sementara itu, di
satu sisi ruang aula, Xiao Chen berdiri dengan kecemasan yang semakin
menghunjam. Kedua mata kasim muda itu sedikitpun tak lepas menatap Pangeran Zhu
Di yang tengah bersujud di hadapan orangtuanya. Kening halus Xiao Chen berkerut
semakin dalam hingga lipatan-lipatan kecil terlihat menghias di atas kedua
alisnya.
Mengapa wajah
Pangeran Zhu Di semakin memucat? Keringat berukuran besar terlihat semakin
deras memercik dan bahkan saat Sang Pangeran Keempat yang telah mengguncang
hati segenap tamu dan pejabat kerajaan yang hadir dengan persembahannya yang
begitu indah itu kembali berbicara, terlihat jelas kedua sepasang bibir
Pangeran Zhu Di yang mulai berubah warna menjadi biru. Apakah Kaisar menyadari
perubahan pada putra bungsunya? Jarak antara Kaisar Hongwu dan tempat Pangeran
Zhu Di bersujud agak jauh, namun mestinya hal itu masih cukup bagi Sang Kaisar
untuk melihat bahwa Pangeran Keempat mengalami perubahan dalam keadaan dirinya.
Dan perubahan itu
nampak sangat tidak baik hingga membuat hati Xiao Chen bagaikan genta yang
dipukul dengan sekeras-kerasnya. Terlebih saat ia melihat kedua jemari tangan
Pangeran Zhu Di yang menepak lantai tak lagi berada dalam keadaan terurai
melainkan mengepal.
Hanya satu kata yang
terlukis dalam Kasim Chen saat melihatnya. Satu kata yang menggambarkan hal yang
sesungguhnya tengah dihadapi oleh Sang Pangeran Kesayangan namun tertutupi oleh
keceriaan senyum dari bibir yang telah memucat itu serta ketegaran tubuh gagah
yang sedikitpun tak sudi memperlihatkan kelemahannya di hadapan sepasang
orangtua yang paling dikasihi.
Dan satu kata itu
adalah…
SAKIT…
Pangeran Zhu Di
tengah dihunjam oleh rasa sakit.
Sakit yang amat sangat…namun
tersembunyikan di balik ketegaran yang tertampilkan.
Xiao Chen benar-benar
gelisah saat menyadari apa yang sesungguhnya tengah terjadi. Ia tak bisa maju
ke depan namun ia juga tak bisa mundur dari ruangan yang sangat luas itu. Sepasang
matanya yang telah menemukan kekhawatiran yang sama di wajah kakaknya kembali
berkelebat dan berhenti pada sepasang mata Xu Changyi yang kini terus menatap
ke arah Pangeran Keempat…
Dengan kecemasan yang
sama…
Pada wajah kakaknya
itulah kini, Xiao Chen menambatkan harapannya atas kecemasan yang terasa semakin besar
mengikat…
***********
Tidak ada komentar:
Posting Komentar