Sore hari…di sebuah
desa jauh di sebelah utara kota Yingtian…
Rumah itu sangat
sederhana meskipun bukanlah rumah yang terburuk di perkampungan yang terlihat
asri dan hijau oleh bentangan sawah, tanaman sayur, rumpun bambu dan rumpun
perdu dengan bunga-bunga alam yang sederhana namun indah.
Tetapi, keadaan rumah
yang sederhana namun sejuk itu nampaknya tidak sejalan dengan suasana hati
pemilik rumah, itu jika ditilik dari raut wajah murung tiga orang yang tengah
berkumpul di ruang belakang. Dari nada bicara yang hanya berbisik pelan
mengisyaratkan rasa takut ketiga orang yang berwajah polos khas masyarakat
daerah perkampungan tersebut.
“Tolong pikirkanlah
lagi Xiao Ai…kau tidak harus melakukan hal itu” keluh seorang wanita setengah
tua seraya mengusap airmata di pipinya dengan punggung tangan. Sepasang matanya
yang memerah bengkak menandakan bahwa wanita tersebut telah menangis dalam
waktu yang lama. Pandangannya sendu menatap seorang gadis berparas cantik
lembut yang terlihat sibuk mengemas beberapa helai pakaian dalam sebuah kain
buntalan.
“Dan membiarkan orang
itu mengancurkan Ayah, Ibu dan Xiao Long? Juga mengambil sedikit tanah yang
kita miliki?...tidak Ibu…aku tidak bisa membiarkan hal itu” jawab si gadis yang
dipanggil dengan nama Xiao Ai. Sepasang matanya yang bulat bening menatap
orangtuanya. Terdapat sinar mata penuh tekad dan keberanian dalam pandangan
gadis itu meski tetap tak mampu menyembunyikan kilau kesedihan yang memancar.
“Tidak!” sentak si
lelaki tua yang merupakan ayah dari Xiao Ai. Wajahnya memerah menandakan
kemarahan berselaput rasa tak berdaya. “Dengarkan ibumu Xiao Ai!...pergilah
tinggalkan desa ini! Pergilah yang jauh dan jangan kembali lagi!”
“Kenapa Ayah
memintaku melakukan hal itu?” jerit Xiao Ai. Kali ini ini dengan sepasang mata
yang mulai merebak merah. Sepasang bibir ranum gadis itu bergetar menahan
tangis.
“Karena itu lebih
baik daripada kami harus melihatmu menjadi pelayan di rumah Tuan Hui!” bentak
si ayah sambil menatap anak gadisnya dengan tajam. Dahinya yang dihiasi kerut
tua terlihat semakin berkerut. “Apakah kau tidak bisa sedikit saja mengerti
perasaan kami Xiao Ai? Aku dan ibumu, kami yang membesarkanmu sejak kau masih
dalam perut ibumu. Lalu, kini kau ingin kami melihatmu menjadi pelayan di rumah
seorang tuan tanah yang kejam seperti Tuan Hui. Apa kau sadar apa artinya jika
kau menjadi pelayan di rumah terkutuk itu?”
Xiao Ai tak lagi
memiliki kekuatan untuk menentang pandangan tajam ayahnya. Gadis itu tertunduk
dalam membuat airmata yang telah menggenang di pelupuk mata akhirnya bergulir
jatuh. Ya, ia tahu, sangat tahu apa artinya jika seorang wanita menjadi pelayan
di rumah Tuan Hui, orang paling kaya di desa ini. Istilah pelayan sebenarnya
hanya untuk menutupi keadaan sesungguhnya bahwa si wanita itu akan menjadi
budak nafsu Tuan Hui yang terkenal sangat gila pada wanita. Ia tidak tahu pasti
berapa jumlah istri Tuan Hui, namun yang pasti, setiap kali ada seorang wanita
atau gadis yang sedikit saja memiliki paras ataupun penampilan yang menarik
maka sudah pasti akan segera jatuh ke tangan Tuan Hui, entah dengan cara
baik-baik ataupun cara kasar menggunakan jalan kekerasan dan paksaan. Selama ini
Xiao Ai selalu merasa bahwa ia tak akan pernah masuk dalam sasaran Tuan Hui,
karena ia tak pernah merasa sebagai seorang wanita yang menarik. Namun, saat
utusan dari Tuan Hui datang beberapa hari yang lalu, gadis itu merasa seolah
dunianya meruntuh seketika, tepat mengenai puncak kepalanya, justru di saat ia
sendiri sesungguhnya sedang menahan kepedihan yang terpendam jauh di dasar
hati.
Kesedihan yang tak
diketahui oleh siapapun juga. Termasuk orangtuanya sendiri!.
Sesungguhnya, Xiao Ai
ingin, sangat ingin menuruti keinginan ayah dan ibunya. Melarikan diri dan
pergi sejauh mungkin dari desa ini. Tetapi, jika ia melakukan hal itu, lalu
bagaimana dengan orangtua dan satu adik lelakinya? Bisakah ia hidup sendiri di
dunia ini – karena jika ia sungguh-sungguh pergi dari desa ini, maka sudah
pasti orangtuanya dan juga adik lelakinya yang masih berumur dua belas tahun
itu akan mati di tangan anak buah Tuan Hui – sementara satu orang lain yang
sebenarnya menjadi tempat hatinya bergantung telah lepas dan pergi?. Tidak!...jika
harus mati, maka biarlah ia mati di sini bersama dengan keluarganya!. Itu jauh
lebih baik daripada hidup sendiri di negeri asing tanpa siapapun yang
dikenalinya, tanpa seseorang yang sungguh-sungguh memiliki hatinya.
“Tapi bagaimana aku
bisa meninggalkan kalian untuk mati di sini sementara aku sendiri di luar sana
Ayah?” tanya Xiao Ai dengan suara bergetar membuat sang ibu yang duduk tak jauh
dari Xiao Ai semakin tersedu-sedu. “Jika Ayah dan Ibu tidak bisa melihatku
menjadi pelayan Tuan Hui, tapi aku juga tidak bisa meninggalkan kalian dan Xiao
Long mati di tangan anak buah Tuan Hui, maka biarlah kita mati bersama-sama di
sini. Lebih baik aku mati bersama dengan Ayah dan Ibu daripda aku harus hidup
sendiri di luar sana tanpa seorangpun yang kukenali”.
“Xiao Ai…” rintih
sang ibu seraya melompat dan memeluk anak gadisnya dengan erat. Sesaat kemudian,
dua wanita beda generasi itupun larut dalam tangis pilu meninggalkan si lelaki
tua yang termenung bersama wajahnya merebak oleh kemarahan bercampur rasa tak
berdaya.
“Kenapa temanmu itu
tidak datang lagi kemari Xiao Ai?” gumam si lelaki tua lirih namun terdengar
sangat keras di telinga Xiao Ai membuat gadis itu seketika melepaskan pelukan
ibunya dan menatap ayahnya.
“Teman? Teman yang mana
maksud ayah?” kening halus Xiao Ai berkerut.
Sang ayah menatap
Xiao Ai. Ada setitik harapan di matanya yang mulai berhias rona keabu-abuan.
“Temanmu A seng…lelaki
yang pernah beberapa kali datang ke rumah kita, kenapa ia tidak pernah lagi
datang menemuimu Xiao Ai?” ulang ayah
Xiao Ai memperjelas pertanyaannya.
Xiao Ai jelas
terlihat terkejut karena tak mengira bahwa sang ayah akan menanyakan hal yang
sesungguhnya telah menjadi beban kesedihan terdalamnya. A Seng, lelaki muda
yang telah memiliki seluruh hatinya, yang selalu menemaninya setiap kali musim
panen raya tiba dan memberikan kegembiraan dalam keluarganya, pada orangtua dan
adik lelakinya. Sungguh, Xiao Ai tidak bisa mengingkari keberadaan A Seng yang
telah mengambil tempat dalam keluarganya, dan terutama dalam hatinya. ia juga
bisa mengerti apa arti harapan yang tersirat di dalam mata ayahnya. Tetapi A
Seng sudah pergi. Ia tahu benar hal itu. Pergi untuk yang sesungguhnya dan ia,
juga orangtuanya tidak bisa dan tidak boleh lagi mengharapkan kedatangan pemuda
itu. Kenyataan pahit yang bagaimanapun ia mencoba untuk menepiskannya, namun tetap
saja memberikan sebuah kesedihan yang sangat dalam dan hanya dapat disimpannya
sendiri di balik senyum dan keikhlasannya melepaskan pemuda itu. Tanpa
sedikitpun keberanian untuk memberitahukan hal sesungguhnya pada orangtuanya.
Perihal kepergian A
Seng darinya, dari keluarga sederhana mereka dan dari musim-musim panen raya
selanjutnya.
Perihal siapa
sesungguhnya A Seng, pemuda berparas tampan dan lemah lembut yang telah membuatnya
merasa menjadi wanita paling cantik di seluruh alam semesta serta pemuda baik
hati yang memberikan kebahagiaan pada mereka semua.
Tidak!...sedikitpun
Xiao Ai tidak memiliki keberanian untuk melihat padamnya harapan di mata kedua
orangtuanya jika ia memberitahukan hal sesungguhnya.
“Apakah A Seng tidak
meninggalkan pesan apapun padamu Xiao Ai? Di manakah rumahnya? Jika kita tahu
di mana rumah A Seng, mungkin kita bisa minta tolong padanya” sambung sang ibu
membuat kepala Xiao Ai semakin tertunduk dalam. Airmata gadis itu menderas.
Tentu saja ia tahu di
mana rumah A Seng. Siapapun yang tahu kebenaran sesungguhnya tentang pemuda
tampan yang lemah lembut itu pasti akan tahu di mana rumah A Seng karena rumah
pemuda tersebut adalah rumah paling besar dan paling megah di seluruh penjuru
kerajaan ini. Rumah dengan ribuan prajurit penjaga, dayang dan pelayan. Serta
tuan rumah yang sangat kharismatik dan dihormati oleh seluruh rakyat. Mudah saja
untuk bisa sampai di sana karena semua orang pasti tahu jalan menuju rumah A
Seng. Masalahnya adalah, jika mereka benar-benar ke sana, sangat mustahil bagi
mereka untuk bertemu dengan A Seng. Selain karena penjagaan prajurit yang
sangat ketat, juga karena di sana tidak ada pemuda yang bernama A Seng. Yang
ada hanyalah seorang pemuda lain, yang meski memiliki wajah, suara, bentuk
tubuh bahkan hati dan jiwa yang sama, namun namanya sangat berbeda.
Dan nama yang berbeda
itu menentukan segalanya, termasuk harapan mungil yang tersimpan di lubuk
hatinya pada pemuda itu.
“Tidak Ibu…aku tidak
tahu di mana rumah Seng-ko” perlahan kepala Xiao Ai menggeleng. Bibirnya tertarik
ke samping dengan garis terpaksa, mencoba menyunggingkan sehelai senyum yang
sesungguhnya sia-sia belaka karena kedua orangtuanya telah tahu hal sebenarnya
di balik senyum anak gadis mereka.
Terdengar suara
wanita yang mulai berhias rambut putih di kepalanya itu mendesah sedih saat
mendengar jawaban Xiao Ai.
“Jika saja ada A
Seng, kita pasti harus bagaimana” keluh ibu Xiao Ai sambil kembali mengusap
airmata dengan ujung lengan hanfunya. Xiao Ai semakin terjatuh dalam rasa
bersalah yang memberatkan kesedihannya sendiri.
“Sudahlah…” sahut
ayah Xiao Ai kemudian. Lelaki tua itu bangkit dari kursi kayunya. “Tidak perlu
mengharapkan hal yang tidak ada di depan kita. Sekarang yang terpenting kita
hadapi mereka. Jika memang harus mati, maka kita akan mati dengan cara yang
terhormat bukan dengan kehinaan”.
Xiao Ai mengangkat
wajahnya saat ayahnya berjalan menuju ke ujung ruangan di mana terdapat satu
rak kecil sederhana dari kayu yang terlihat mulai melapuk. Wajah gadis itu
sekilas memucat saat ia dapat menebak hal yang akan dilakukan oleh ayah yang
sangat dicintainya.
“Ayah…apa yang akan
Ayah lakukan?” tanya Xiao Ai membuat langkah sang ayah terhenti.
“Apalagi Xiao Ai? Tentu
saja bersiap untuk menghadapi anak buah Tuan Hui. Bukankah mereka mengatakan
akan datang malam ini? Kami tidak bisa melihatmu hidup dalam kehinaan di rumah Tuan Hui, tapi kau
juga tidak bisa meninggalkan kami, karena itu yang bisa kita lakukan sekarang
hanyalah melawan mereka dengan seluruh kemampuan kita dan mati degan cara yang
terhormat” jawab si lelaki tua seraya menatap istri dan anak gadisnya
berganti-ganti.
“Suamiku…”sedu ibu
Xiao Ai kembali tersedu. Wanita itu bangkit berdiri dan tertatih berjalan
menuju ke arah suaminya. “Apakah kita akan bisa melawan mereka? Tolong katakan
pada Xiao Ai dan Xiao Long agar segera pergi saja dari rumah ini. Bujuklah
mereka agar pergi…aku tidak bisa melihat anak-anakku mati di depan mataku”.
“Tidak!” mendadak
terdengar suara sahutan yang cukup keras membuat ketiga orang yang berada di
ruang tersebut seketika menoleh. Seorang remaja berusia dua belas tahu terlihat
melangkah masuk ke dalam ruangan dengan raut wajah dipenuhi kemarahan. “Aku
tidak mau pergi! Kakak Xiao Ai benar…aku tidak akan meninggalkan Ayah dna Ibu
menghadapi orang-orang itu sendiri. Jika memang kita berempat harus mati, maka
biarlah kita mati bersama-sama”.
“Xiao Long..” ibu
Xiao Ai menyebut nama anak lelakinya dengan nada merana. “Tolong dengarkan Ayah
dan Ibu”.
“Tidak Ibu” tekad
Xiao Long. “Jangan mencoba untuk membujukku. Jika memang ada yang harus pergi biarlah
itu Kakak Xiao Ai. Aku akan tetap di sini bersama Ayah dan Ibu karena aku anak
lelaki jadi sudah seharusnya aku ada di sini untuk melindungi Ayah dan Ibu”.
Xiao Ai menatap adik
lelakinya dengan pandangan nanar. Ada rasa haru dan bangga menyusup dalam
hatinya melihat tekad remaja kecil itu. Namun, di atas semua itu, tetaplah rasa
cemas membuat gadis tersebut tak bisa melihat satu-satunya saudara lelaki yang
ia miliki menjemput maut dalam usia yang begitu belia demi melindungi orantua
dan dirinya. Setapak Xiao Ai maju selangkah ke arah adiknya.
“Xiao Long!...Kau…”
“Hai!..Xiao Jiang! Keluarlah
kau!...kami datang untuk mengambil anakmu!” sebuah seruan keras yang mendadak
terdengar dari arah halaman depan rumah memutus kalimat Xiao Ai, membuat gadis
itu terkejut. Gadis itu berpaling pada orangtuanya dan melihat wajah ibunya
yang memucat, sangat berlawanan dengan wajah sang ayah yang justru memerah
karena amarah yang terungkit hingga ke ubun-ubun.
“Ayah? Mereka telah
datang” bisik Xiao Ai pada ayahnya yang meradang.
“Ya…ini saatnya. Kita
akan menghadapi mereka” desis sang ayah yang dipanggil dengan nama Xiao Jiang
tersebut. Sebuah pedang berhulu besar telah tergenggam erat di tangannya. Meski
jelas bahwa pedang itu adalah sebuah pedang tua dan nampaknya bukanlah jenis
pedang yang biasa digunakan untuk bertarung melainkan sebagai senjata berburu
binatang, namun tetap saja, wujudnya yang besar dan kasar terlihat menyeramkan.
Terlebih dengan raut wajah Xiao Jiang yang murka. Lelaki itu melangkah menuju
ke pintu diikuti oleh istri dan kedua anaknya. Xiao Ai menatap adiknya sekilas
dan melihat sebuah cangkul tergenggam di tangan kanan Xiao Long yang kurus,
maka, saat mereka nyaris keluar dari pintu ruang belakang yang berfunngsi
sebagai dapur, tangan gadis itu telah menyambar sebuah pisau mungil yang
berkilau tajam kemudian menyelipkannya di balik lengan hanfunya yang panjang.
“Ah!...Xiao Jiang? Kenapa
kau membawa-bawa pedang besar itu? apakah kau hendak berburu malam-malam
begini?” tegur seorang lelaki tinggi besar dengan wajah buas. Sinar matanya
terlihat semakin ganas saat ia melihat sosok Xiao Ai yang berdiri tepat di
belakang ayahnya. Seringai senyum menyeruak sementara satu jari telunjuknya
teracung ke depan. “Anakmu itu…ia sungguh cantik. Tuan Hui pasti akan sangat
suka dilayani olehnya”.
“Jangan bermimpi”
desis Xiao Jiang dengan tatapan berapi-api. Rasa takut yang semula sempat
menghinggapi hati lelaki tua itu kini benar-benar telah lenyap saat menatap
sinar buas di mata lelaki tinggi besar yang merupakan salah satu anak buah Tuan
Hui. Dengan telunjuk gemetar oleh kemarahan, Xiao Jiang menunjuk tepat ke muka
lelaki bermata buas di depannya. “Aku tidak akan membiarkan kalian semua
mengambil anakku!”.
Sesaat lelaki tinggi
besar di depan Xiao Jiang terpana namun kemudian sebuah ledakan tawa terdengar
membahana dari mulutnya, di susul tawa orang-orang yang lain di sekitarnya. Kepala
lelaki bermata buas itu menoleh ke arah teman-temannya yang berjumlah tak lebih
dari sepuluh orang.
“Hai teman-teman…lihatlah
dia! Lelaki tua yang tak kuat memanggul cangkul itu hendak melawan kita” teriak
si lelaki bermata buas, masih dengan tawanya yang mengakak.
“Kenapa tidak kita
ajari dia cara menggunakan pedang penyembelih rusa itu? Pasti akan sangat
menyenangkan bukan?” sahut seorang lelaki lain dengan tawa tak kalah keras.
“Kalian
manusia-manusia tak punya hati! Cepat lawan aku tak perlu bermain seperti
anak-anak!” bentak Xiao Jiang membuat gema tawa yang membahana di sekitarnya
seketika terhenti.
Si lelaki bermata
buas berpaling ke arah Xiao Jiang dengan rahang mengatup rapat. Jelas kemarahannyapun
telah terusik dengan bentakan lelaki tua di depannya.
“Lelaki tua tak tahu
diri, dikasih hati kau malah mau minta mati! Kau pikir bisa melawan kami? Lihatlah
semua tetanggamu tak ada satupun yang akan membantumu!...maka matilah kau
sekarang!” seru si lelaki bermata buas balas membentak.
Xiao Ai mengedarkan
matanya ke sekeliling mereka dan membenarkan ucapan lelaki tinggi besar anak
buah Tuan Hui itu. ia dapat melihat semua tetangga mereka yang terlihat
berkumpul dalam jarak yang jauh, menatap ke arah mereka dengan pandangan sedih
bercampur takut. Mereka benar-benar sendirian sekarang. Tak ada satupun yang
akan menolong mereka, juga para tetangga karena tak ada satupun yang mau mati
di tangan anak buah Tuan Hui.
“Ibu…bersembunyilah
di dekat guci air itu” bisik Xiao Ai seraya mendorong ibunya yang gemetar
ketakutan ke arah sebuah guci besar penampung air. Sang ibu menurut dan segera
wanita separuh tua yang malang itu mendekam di balik guci air besar dengan
airmata yang semakin deras mengalir.
“Kalian semua, cepat
ambil gadis itu!...biar aku menyelesaikan lelaki tua ini!” seru si lelaki
bermata buas seraya melompat ke depan dan mulai menerjang ke arah Xiao Jiang. Satu
tendangan kuat mengarah, tepat ke dada Xiao Jiang.
Tetapi, belum lagi si
lelaki bermata buas itu dapat menyarangkan tendangannya, mendadak satu ayunan
benda panjang datang dari arah samping Xiao Jiang dan segera memapas serangan
si lelaki bermata buas.
“Jangan menyentuh
ayahku!” sebuah seruan kecil terdengar keras mengiringi ayunan benda panjang
gagang cangkul yang menebas serangan kaki si lelaki bermata buas.
Si lelaki tinggi
besar anak buah Tuan Hui terkejut. Meski ia tahu bahwa cangkul itu diayunkan
denngan tenaga kasar seorang anak remaja kecil, namun ia tetap tak ingin
membiarkan kakinya menerima pukulan kayu, terlebih di depan teman-temannya dan
para tetangga yang datang berkerumun dan melihat mereka semua dari jauh. Apalagi
yang mengayunkan pukulan itu hanyalah seorang anak lelaki bertubuh kurus!.
Maka, dengan gerak
reflek yang cepat, si lelaki bermata buas mengubah arah serangan kakinya, bukan
lagi ke dada Xiao Jiang namun ke arah si anak lelaki yang menerjang kearahnya
dengan ayunan cangkul di tangan. Hanya sekejab, dan detik berikutnya tubuh Xiao
Long telah terlempar jauh oleh hantaman kuat kaki besar si lelaki bermata buas
anak buah Tuan Hui.
“Xiao Long!” jerit
Xiao Ai saat melihat tubuh adik lelakinya melayang jauh hingga ke ujung
halaman, menabrak kayu pagar untuk kemudian terhempas ke tanah. Dari arah lain,
terdengar suara jeritan melolong pilu istri Xiao Jiang sebelum kemudian, wanita
yang tak henti menangis itu terkulai pingsan.
Xiao Ai melompat dan
berlari ke arah adik lelakinya, namun belum lagi tiga langkah gadis itu
meninggalkan tempatnya semula berdiri, sebuah cekalan kuat telah
menghentikannya. Gadis itu menoleh dan melihat dua lelaki yang memegang
lengannya di sebelah kanan dan kiri. Ia berusaha untuk memberontak namun,
semakin lama Xiao Ai berusaha untuk melepaskan diri, cekalan kuat pada kedua
lengannya justru semakin menguat. Gadis itu mulai menjerit, di satu sisi karena
rasa sedihnya, dan di sisi lain karena rasa putus asa yang mulai menghinggapi. Ia
hanya perlu melepaskan satu tangan untuk mengambil sebuah pisau yang ia
sembunyikan di balik lengan hanfunya, dan kemudian mengakhiri semuanya. Semua rasa
sedih yang menghinggapi dan tak dapat diatasinya. Ia yang menyebabkan
keluarganya dalam bahaya kematian namun ia tak dapat memberikan perlindungan. Ia
yang mencintai seorang pemuda dengan sepenuh jiwanya namun ia tak mampu
menggapai cintanya yang bergantung di langit yang demikian tinggi. Sungguh,
kesialan dan kemalangan apalagi yang lebih berat dari yang dihadapinya saat
ini?
“Lepaskan anakku!”
teriak Xiao Jiang saat melihat Xiao Ai dalam telikungan anak buah Tuan Hui. Lelaki
tua yang telah kalap itu segera menerjang ke arah para lelaki yang memegang
kedua lengan Xiao Ai seraya mengayunkan pedang berburunya.
“Lelaki tua, kau ini
benar-benar merepotkan kami!” sebuah bentakan lain datang bersama serangan yang
menghadang langkah Xiao Jiang.
Xiao Jiang berusaha
mengelakkan serangan dari si lelaki bermata buas yang datang mengarah tubuhnya.
Sekali, lelaki itu berhasil berkelit, namun saat kemudian serangan lain datang
secara beruntun, maka lelaki yang sesungguhnya hanyalah seorang petani tanpa
lambaran kemampuan beladiri itu tak lagi mampu menghindar membuat tubuhnya yang
telah tua dan ringkih segera pula terhempas ke tanah dengan darah menyembur
dari mulut.
Xiao Ai menjerit pilu
dengan ledakan tangis saat menatap ayahnya tergeletak di tanah dengan muka
berlumuran darah dari mulut. Gadis itu menggerakkan kepala dan sekuat tenaga
menggigit satu tangan yang mencekal lengannya membuat si lelaki anak buah Tuan
Hui menjerit tinggi seketika melepaskan jemarinya dari lengan Xiao Ai. Kesempatan
yang tak disia-siakan oleh gadis yang telah putus asa itu untuk merenggut pisau
kecil dari balik lengan hanfunya dan mengayunkannya ke arah lelaki lain yang
masih memegang lengannya dengan kuat.
Si lelaki yang sempat
melihat kilat tajam sebuah benda mengarah wajahnya segera melepaskan jemarinya
dari lengan Xiao Ai dan menangkis serangan pisau kecil tersebut.
Dan berhasil!. Pisau yang
diayunkan oleh Xiao Ai berhasil direbutnya meski meninggalkan sebuah luka
memanjang cukup dalam di telapak tangan. Namun, gadis yang semula telah
berhasil diringkusnya kini terlepas dan berlari ke arah tubuh Xiao Jiang.
Dan hal itu membuat
lelaki itu marah sehingga – seolah terlupa bahwa mereka seharusnya membawa si
gadis yang tengah mengguncang tubuh ayahnya dengan airmata berderai itu
hidup-hidup – segera melemparkan pisau tajam yang kini tergenggam di jemarinya kuat-kuat
ke arah Xiao Ai. Tepat mengarah bagian leher, pada titik yang paling mematikan!.
Xiao Ai, yang tengah
menangisi sang ayah sama sekali tak menyadari datangnya bahaya maut dan terus
mengguncang tubuh Xiao Jiang yang lemah terkulai. Pisau tajam meluncur deras
dengan meninggalkan suara berdesing nyaring ke arah leher gadis itu di iringi
teriakan para lelaki anak buah Tuan Hui yang lain, yang sama sekali tak menduga
pada perbuatan teman mereka yang menjadi gelap mata oleh kemarahan. Si lelaki
bermata buas mengulurkan tangannya, mencoba untuk meraih pisau yang meluncur
deras, atau meraih tubuh Xiao Ai agar terhindar dari serangan pisau mematikan
tersebut. namun jaraknya yang terlalu jauh membuat usahanya gagal sehingga
kemudian, lelaki yang berwajah kasar itu hanya bisa menatap dengan
sepasang mata terbelalak.
Sedetik lagi…hingga
pisau tajam yang semula dibawa oleh Xiao Ai itu menembus lehernya sendiri.
Sedetik yang
menentukan kehidupan gadis itu, dan nampaknya segalanya memang akan berakhir
saat itu juga, bersama seluruh kepedihan yang tersimpan di hati Xiao Ai.
Hingga sebuah hal
terjadi.
Pisau yang tengah
meluncur itu mendadak terhenti di udara, melayang dan bergetar hebat seolah
terhalang sebuah dinding tak kasat mata yang menahannya dengan sangat kuat.
Xiao Ai menoleh saat
merasakan sebuah siuran angin yang sejuk berhembus di sisi kepalanya dan
sepasang mata gadis itu terbelalak saat menemukan sebuah pisau yang melayang dan
bergetar hebat, hanya berjarakbeberapa helai rambut darinya. Wajah cantik gadis
itu seketika memucat, namun belum lagi mulut mungilnya mengeluarkan satu
jeritan mendadak pisau yang melayang dalam getar hebat itu telah berbalik arah
dan selanjutnya, seolah ada tenaga yang melempar dengan kekuatan penuh, benda
kecil berkilat itu melesat dalam kecepatan yang sulit diikuti oleh mata dan
hanya meninggalkan sebuah jejak kilat sekejab sebelum kemudian berakhir di
tiang kayu rumah yang besar, menancap hingga ke bagian gagangnya!.
Tak ada satupun mata
yang tak menatap kejadian sekejap itu. Tak ada suara selain keheningan yang
menyelimuti halaman depan ruman keluarga Xiao Jiang. Sebelas anak buah Tuan Hui
menatap ke arah pisau yang habis tertancap di batang kayu tiang rumah dengan pandangan
takjub sekaligus heran. Siapapun orang yang melakukannya, dia pastilah seorang
yang memiliki Chi sangat tinggi.
Siapakah dia?...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar