Minggu, 10 April 2016

Straight - Episode 6 ( Bagian Enam )

Sore hari…di sebuah desa jauh di sebelah utara kota Yingtian…
Rumah itu sangat sederhana meskipun bukanlah rumah yang terburuk di perkampungan yang terlihat asri dan hijau oleh bentangan sawah, tanaman sayur, rumpun bambu dan rumpun perdu dengan bunga-bunga alam yang sederhana namun indah.
Tetapi, keadaan rumah yang sederhana namun sejuk itu nampaknya tidak sejalan dengan suasana hati pemilik rumah, itu jika ditilik dari raut wajah murung tiga orang yang tengah berkumpul di ruang belakang. Dari nada bicara yang hanya berbisik pelan mengisyaratkan rasa takut ketiga orang yang berwajah polos khas masyarakat daerah perkampungan tersebut.  
“Tolong pikirkanlah lagi Xiao Ai…kau tidak harus melakukan hal itu” keluh seorang wanita setengah tua seraya mengusap airmata di pipinya dengan punggung tangan. Sepasang matanya yang memerah bengkak menandakan bahwa wanita tersebut telah menangis dalam waktu yang lama. Pandangannya sendu menatap seorang gadis berparas cantik lembut yang terlihat sibuk mengemas beberapa helai pakaian dalam sebuah kain buntalan.
“Dan membiarkan orang itu mengancurkan Ayah, Ibu dan Xiao Long? Juga mengambil sedikit tanah yang kita miliki?...tidak Ibu…aku tidak bisa membiarkan hal itu” jawab si gadis yang dipanggil dengan nama Xiao Ai. Sepasang matanya yang bulat bening menatap orangtuanya. Terdapat sinar mata penuh tekad dan keberanian dalam pandangan gadis itu meski tetap tak mampu menyembunyikan kilau kesedihan yang memancar.
“Tidak!” sentak si lelaki tua yang merupakan ayah dari Xiao Ai. Wajahnya memerah menandakan kemarahan berselaput rasa tak berdaya. “Dengarkan ibumu Xiao Ai!...pergilah tinggalkan desa ini! Pergilah yang jauh dan jangan kembali lagi!”
“Kenapa Ayah memintaku melakukan hal itu?” jerit Xiao Ai. Kali ini ini dengan sepasang mata yang mulai merebak merah. Sepasang bibir ranum gadis itu bergetar menahan tangis.
“Karena itu lebih baik daripada kami harus melihatmu menjadi pelayan di rumah Tuan Hui!” bentak si ayah sambil menatap anak gadisnya dengan tajam. Dahinya yang dihiasi kerut tua terlihat semakin berkerut. “Apakah kau tidak bisa sedikit saja mengerti perasaan kami Xiao Ai? Aku dan ibumu, kami yang membesarkanmu sejak kau masih dalam perut ibumu. Lalu, kini kau ingin kami melihatmu menjadi pelayan di rumah seorang tuan tanah yang kejam seperti Tuan Hui. Apa kau sadar apa artinya jika kau menjadi pelayan di rumah terkutuk itu?”
Xiao Ai tak lagi memiliki kekuatan untuk menentang pandangan tajam ayahnya. Gadis itu tertunduk dalam membuat airmata yang telah menggenang di pelupuk mata akhirnya bergulir jatuh. Ya, ia tahu, sangat tahu apa artinya jika seorang wanita menjadi pelayan di rumah Tuan Hui, orang paling kaya di desa ini. Istilah pelayan sebenarnya hanya untuk menutupi keadaan sesungguhnya bahwa si wanita itu akan menjadi budak nafsu Tuan Hui yang terkenal sangat gila pada wanita. Ia tidak tahu pasti berapa jumlah istri Tuan Hui, namun yang pasti, setiap kali ada seorang wanita atau gadis yang sedikit saja memiliki paras ataupun penampilan yang menarik maka sudah pasti akan segera jatuh ke tangan Tuan Hui, entah dengan cara baik-baik ataupun cara kasar menggunakan jalan kekerasan dan paksaan. Selama ini Xiao Ai selalu merasa bahwa ia tak akan pernah masuk dalam sasaran Tuan Hui, karena ia tak pernah merasa sebagai seorang wanita yang menarik. Namun, saat utusan dari Tuan Hui datang beberapa hari yang lalu, gadis itu merasa seolah dunianya meruntuh seketika, tepat mengenai puncak kepalanya, justru di saat ia sendiri sesungguhnya sedang menahan kepedihan yang terpendam jauh di dasar hati.
Kesedihan yang tak diketahui oleh siapapun juga. Termasuk orangtuanya sendiri!.
Sesungguhnya, Xiao Ai ingin, sangat ingin menuruti keinginan ayah dan ibunya. Melarikan diri dan pergi sejauh mungkin dari desa ini. Tetapi, jika ia melakukan hal itu, lalu bagaimana dengan orangtua dan satu adik lelakinya? Bisakah ia hidup sendiri di dunia ini – karena jika ia sungguh-sungguh pergi dari desa ini, maka sudah pasti orangtuanya dan juga adik lelakinya yang masih berumur dua belas tahun itu akan mati di tangan anak buah Tuan Hui – sementara satu orang lain yang sebenarnya menjadi tempat hatinya bergantung telah lepas dan pergi?. Tidak!...jika harus mati, maka biarlah ia mati di sini bersama dengan keluarganya!. Itu jauh lebih baik daripada hidup sendiri di negeri asing tanpa siapapun yang dikenalinya, tanpa seseorang yang sungguh-sungguh memiliki hatinya.
“Tapi bagaimana aku bisa meninggalkan kalian untuk mati di sini sementara aku sendiri di luar sana Ayah?” tanya Xiao Ai dengan suara bergetar membuat sang ibu yang duduk tak jauh dari Xiao Ai semakin tersedu-sedu. “Jika Ayah dan Ibu tidak bisa melihatku menjadi pelayan Tuan Hui, tapi aku juga tidak bisa meninggalkan kalian dan Xiao Long mati di tangan anak buah Tuan Hui, maka biarlah kita mati bersama-sama di sini. Lebih baik aku mati bersama dengan Ayah dan Ibu daripda aku harus hidup sendiri di luar sana tanpa seorangpun yang kukenali”.
“Xiao Ai…” rintih sang ibu seraya melompat dan memeluk anak gadisnya dengan erat. Sesaat kemudian, dua wanita beda generasi itupun larut dalam tangis pilu meninggalkan si lelaki tua yang termenung bersama wajahnya merebak oleh kemarahan bercampur rasa tak berdaya.
“Kenapa temanmu itu tidak datang lagi kemari Xiao Ai?” gumam si lelaki tua lirih namun terdengar sangat keras di telinga Xiao Ai membuat gadis itu seketika melepaskan pelukan ibunya dan menatap ayahnya.
“Teman? Teman yang mana maksud ayah?” kening halus Xiao Ai berkerut.
Sang ayah menatap Xiao Ai. Ada setitik harapan di matanya yang mulai berhias rona keabu-abuan.
“Temanmu A seng…lelaki yang pernah beberapa kali datang ke rumah kita, kenapa ia tidak pernah lagi datang menemuimu  Xiao Ai?” ulang ayah Xiao Ai memperjelas pertanyaannya.
Xiao Ai jelas terlihat terkejut karena tak mengira bahwa sang ayah akan menanyakan hal yang sesungguhnya telah menjadi beban kesedihan terdalamnya. A Seng, lelaki muda yang telah memiliki seluruh hatinya, yang selalu menemaninya setiap kali musim panen raya tiba dan memberikan kegembiraan dalam keluarganya, pada orangtua dan adik lelakinya. Sungguh, Xiao Ai tidak bisa mengingkari keberadaan A Seng yang telah mengambil tempat dalam keluarganya, dan terutama dalam hatinya. ia juga bisa mengerti apa arti harapan yang tersirat di dalam mata ayahnya. Tetapi A Seng sudah pergi. Ia tahu benar hal itu. Pergi untuk yang sesungguhnya dan ia, juga orangtuanya tidak bisa dan tidak boleh lagi mengharapkan kedatangan pemuda itu. Kenyataan pahit yang bagaimanapun ia mencoba untuk menepiskannya, namun tetap saja memberikan sebuah kesedihan yang sangat dalam dan hanya dapat disimpannya sendiri di balik senyum dan keikhlasannya melepaskan pemuda itu. Tanpa sedikitpun keberanian untuk memberitahukan hal sesungguhnya pada orangtuanya.
Perihal kepergian A Seng darinya, dari keluarga sederhana mereka dan dari musim-musim panen raya selanjutnya.
Perihal siapa sesungguhnya A Seng, pemuda berparas tampan dan lemah lembut yang telah membuatnya merasa menjadi wanita paling cantik di seluruh alam semesta serta pemuda baik hati yang memberikan kebahagiaan pada mereka semua.
Tidak!...sedikitpun Xiao Ai tidak memiliki keberanian untuk melihat padamnya harapan di mata kedua orangtuanya jika ia memberitahukan hal sesungguhnya.
“Apakah A Seng tidak meninggalkan pesan apapun padamu Xiao Ai? Di manakah rumahnya? Jika kita tahu di mana rumah A Seng, mungkin kita bisa minta tolong padanya” sambung sang ibu membuat kepala Xiao Ai semakin tertunduk dalam. Airmata gadis itu menderas.
Tentu saja ia tahu di mana rumah A Seng. Siapapun yang tahu kebenaran sesungguhnya tentang pemuda tampan yang lemah lembut itu pasti akan tahu di mana rumah A Seng karena rumah pemuda tersebut adalah rumah paling besar dan paling megah di seluruh penjuru kerajaan ini. Rumah dengan ribuan prajurit penjaga, dayang dan pelayan. Serta tuan rumah yang sangat kharismatik dan dihormati oleh seluruh rakyat. Mudah saja untuk bisa sampai di sana karena semua orang pasti tahu jalan menuju rumah A Seng. Masalahnya adalah, jika mereka benar-benar ke sana, sangat mustahil bagi mereka untuk bertemu dengan A Seng. Selain karena penjagaan prajurit yang sangat ketat, juga karena di sana tidak ada pemuda yang bernama A Seng. Yang ada hanyalah seorang pemuda lain, yang meski memiliki wajah, suara, bentuk tubuh bahkan hati dan jiwa yang sama, namun namanya sangat berbeda.
Dan nama yang berbeda itu menentukan segalanya, termasuk harapan mungil yang tersimpan di lubuk hatinya pada pemuda itu.
“Tidak Ibu…aku tidak tahu di mana rumah Seng-ko” perlahan kepala Xiao Ai menggeleng. Bibirnya tertarik ke samping dengan garis terpaksa, mencoba menyunggingkan sehelai senyum yang sesungguhnya sia-sia belaka karena kedua orangtuanya telah tahu hal sebenarnya di balik senyum anak gadis mereka.
Terdengar suara wanita yang mulai berhias rambut putih di kepalanya itu mendesah sedih saat mendengar jawaban Xiao Ai.
“Jika saja ada A Seng, kita pasti harus bagaimana” keluh ibu Xiao Ai sambil kembali mengusap airmata dengan ujung lengan hanfunya. Xiao Ai semakin terjatuh dalam rasa bersalah yang memberatkan kesedihannya sendiri.
“Sudahlah…” sahut ayah Xiao Ai kemudian. Lelaki tua itu bangkit dari kursi kayunya. “Tidak perlu mengharapkan hal yang tidak ada di depan kita. Sekarang yang terpenting kita hadapi mereka. Jika memang harus mati, maka kita akan mati dengan cara yang terhormat bukan dengan kehinaan”.
Xiao Ai mengangkat wajahnya saat ayahnya berjalan menuju ke ujung ruangan di mana terdapat satu rak kecil sederhana dari kayu yang terlihat mulai melapuk. Wajah gadis itu sekilas memucat saat ia dapat menebak hal yang akan dilakukan oleh ayah yang sangat dicintainya.
“Ayah…apa yang akan Ayah lakukan?” tanya Xiao Ai membuat langkah sang ayah terhenti.
“Apalagi Xiao Ai? Tentu saja bersiap untuk menghadapi anak buah Tuan Hui. Bukankah mereka mengatakan akan datang malam ini? Kami tidak bisa melihatmu hidup  dalam kehinaan di rumah Tuan Hui, tapi kau juga tidak bisa meninggalkan kami, karena itu yang bisa kita lakukan sekarang hanyalah melawan mereka dengan seluruh kemampuan kita dan mati degan cara yang terhormat” jawab si lelaki tua seraya menatap istri dan anak gadisnya berganti-ganti.
“Suamiku…”sedu ibu Xiao Ai kembali tersedu. Wanita itu bangkit berdiri dan tertatih berjalan menuju ke arah suaminya. “Apakah kita akan bisa melawan mereka? Tolong katakan pada Xiao Ai dan Xiao Long agar segera pergi saja dari rumah ini. Bujuklah mereka agar pergi…aku tidak bisa melihat anak-anakku mati di depan mataku”.
“Tidak!” mendadak terdengar suara sahutan yang cukup keras membuat ketiga orang yang berada di ruang tersebut seketika menoleh. Seorang remaja berusia dua belas tahu terlihat melangkah masuk ke dalam ruangan dengan raut wajah dipenuhi kemarahan. “Aku tidak mau pergi! Kakak Xiao Ai benar…aku tidak akan meninggalkan Ayah dna Ibu menghadapi orang-orang itu sendiri. Jika memang kita berempat harus mati, maka biarlah kita mati bersama-sama”.
“Xiao Long..” ibu Xiao Ai menyebut nama anak lelakinya dengan nada merana. “Tolong dengarkan Ayah dan Ibu”.
“Tidak Ibu” tekad Xiao Long. “Jangan mencoba untuk membujukku. Jika memang ada yang harus pergi biarlah itu Kakak Xiao Ai. Aku akan tetap di sini bersama Ayah dan Ibu karena aku anak lelaki jadi sudah seharusnya aku ada di sini untuk melindungi Ayah dan Ibu”.
Xiao Ai menatap adik lelakinya dengan pandangan nanar. Ada rasa haru dan bangga menyusup dalam hatinya melihat tekad remaja kecil itu. Namun, di atas semua itu, tetaplah rasa cemas membuat gadis tersebut tak bisa melihat satu-satunya saudara lelaki yang ia miliki menjemput maut dalam usia yang begitu belia demi melindungi orantua dan dirinya. Setapak Xiao Ai maju selangkah ke arah adiknya.
“Xiao Long!...Kau…”
“Hai!..Xiao Jiang! Keluarlah kau!...kami datang untuk mengambil anakmu!” sebuah seruan keras yang mendadak terdengar dari arah halaman depan rumah memutus kalimat Xiao Ai, membuat gadis itu terkejut. Gadis itu berpaling pada orangtuanya dan melihat wajah ibunya yang memucat, sangat berlawanan dengan wajah sang ayah yang justru memerah karena amarah yang terungkit hingga ke ubun-ubun.
“Ayah? Mereka telah datang” bisik Xiao Ai pada ayahnya yang meradang.
“Ya…ini saatnya. Kita akan menghadapi mereka” desis sang ayah yang dipanggil dengan nama Xiao Jiang tersebut. Sebuah pedang berhulu besar telah tergenggam erat di tangannya. Meski jelas bahwa pedang itu adalah sebuah pedang tua dan nampaknya bukanlah jenis pedang yang biasa digunakan untuk bertarung melainkan sebagai senjata berburu binatang, namun tetap saja, wujudnya yang besar dan kasar terlihat menyeramkan. Terlebih dengan raut wajah Xiao Jiang yang murka. Lelaki itu melangkah menuju ke pintu diikuti oleh istri dan kedua anaknya. Xiao Ai menatap adiknya sekilas dan melihat sebuah cangkul tergenggam di tangan kanan Xiao Long yang kurus, maka, saat mereka nyaris keluar dari pintu ruang belakang yang berfunngsi sebagai dapur, tangan gadis itu telah menyambar sebuah pisau mungil yang berkilau tajam kemudian menyelipkannya di balik lengan hanfunya yang panjang.
“Ah!...Xiao Jiang? Kenapa kau membawa-bawa pedang besar itu? apakah kau hendak berburu malam-malam begini?” tegur seorang lelaki tinggi besar dengan wajah buas. Sinar matanya terlihat semakin ganas saat ia melihat sosok Xiao Ai yang berdiri tepat di belakang ayahnya. Seringai senyum menyeruak sementara satu jari telunjuknya teracung ke depan. “Anakmu itu…ia sungguh cantik. Tuan Hui pasti akan sangat suka dilayani olehnya”.
“Jangan bermimpi” desis Xiao Jiang dengan tatapan berapi-api. Rasa takut yang semula sempat menghinggapi hati lelaki tua itu kini benar-benar telah lenyap saat menatap sinar buas di mata lelaki tinggi besar yang merupakan salah satu anak buah Tuan Hui. Dengan telunjuk gemetar oleh kemarahan, Xiao Jiang menunjuk tepat ke muka lelaki bermata buas di depannya. “Aku tidak akan membiarkan kalian semua mengambil anakku!”.
Sesaat lelaki tinggi besar di depan Xiao Jiang terpana namun kemudian sebuah ledakan tawa terdengar membahana dari mulutnya, di susul tawa orang-orang yang lain di sekitarnya. Kepala lelaki bermata buas itu menoleh ke arah teman-temannya yang berjumlah tak lebih dari sepuluh orang.
“Hai teman-teman…lihatlah dia! Lelaki tua yang tak kuat memanggul cangkul itu hendak melawan kita” teriak si lelaki bermata buas, masih dengan tawanya yang mengakak.
“Kenapa tidak kita ajari dia cara menggunakan pedang penyembelih rusa itu? Pasti akan sangat menyenangkan bukan?” sahut seorang lelaki lain dengan tawa tak kalah keras.
“Kalian manusia-manusia tak punya hati! Cepat lawan aku tak perlu bermain seperti anak-anak!” bentak Xiao Jiang membuat gema tawa yang membahana di sekitarnya seketika terhenti.
Si lelaki bermata buas berpaling ke arah Xiao Jiang dengan rahang mengatup rapat. Jelas kemarahannyapun telah terusik dengan bentakan lelaki tua di depannya.
“Lelaki tua tak tahu diri, dikasih hati kau malah mau minta mati! Kau pikir bisa melawan kami? Lihatlah semua tetanggamu tak ada satupun yang akan membantumu!...maka matilah kau sekarang!” seru si lelaki bermata buas balas membentak.
Xiao Ai mengedarkan matanya ke sekeliling mereka dan membenarkan ucapan lelaki tinggi besar anak buah Tuan Hui itu. ia dapat melihat semua tetangga mereka yang terlihat berkumpul dalam jarak yang jauh, menatap ke arah mereka dengan pandangan sedih bercampur takut. Mereka benar-benar sendirian sekarang. Tak ada satupun yang akan menolong mereka, juga para tetangga karena tak ada satupun yang mau mati di tangan anak buah Tuan Hui.
“Ibu…bersembunyilah di dekat guci air itu” bisik Xiao Ai seraya mendorong ibunya yang gemetar ketakutan ke arah sebuah guci besar penampung air. Sang ibu menurut dan segera wanita separuh tua yang malang itu mendekam di balik guci air besar dengan airmata yang semakin deras mengalir.
“Kalian semua, cepat ambil gadis itu!...biar aku menyelesaikan lelaki tua ini!” seru si lelaki bermata buas seraya melompat ke depan dan mulai menerjang ke arah Xiao Jiang. Satu tendangan kuat mengarah, tepat ke dada Xiao Jiang.
Tetapi, belum lagi si lelaki bermata buas itu dapat menyarangkan tendangannya, mendadak satu ayunan benda panjang datang dari arah samping Xiao Jiang dan segera memapas serangan si lelaki bermata buas.
“Jangan menyentuh ayahku!” sebuah seruan kecil terdengar keras mengiringi ayunan benda panjang gagang cangkul yang menebas serangan kaki si lelaki bermata buas.
Si lelaki tinggi besar anak buah Tuan Hui terkejut. Meski ia tahu bahwa cangkul itu diayunkan denngan tenaga kasar seorang anak remaja kecil, namun ia tetap tak ingin membiarkan kakinya menerima pukulan kayu, terlebih di depan teman-temannya dan para tetangga yang datang berkerumun dan melihat mereka semua dari jauh. Apalagi yang mengayunkan pukulan itu hanyalah seorang anak lelaki bertubuh kurus!.
Maka, dengan gerak reflek yang cepat, si lelaki bermata buas mengubah arah serangan kakinya, bukan lagi ke dada Xiao Jiang namun ke arah si anak lelaki yang menerjang kearahnya dengan ayunan cangkul di tangan. Hanya sekejab, dan detik berikutnya tubuh Xiao Long telah terlempar jauh oleh hantaman kuat kaki besar si lelaki bermata buas anak buah Tuan Hui.
“Xiao Long!” jerit Xiao Ai saat melihat tubuh adik lelakinya melayang jauh hingga ke ujung halaman, menabrak kayu pagar untuk kemudian terhempas ke tanah. Dari arah lain, terdengar suara jeritan melolong pilu istri Xiao Jiang sebelum kemudian, wanita yang tak henti menangis itu terkulai pingsan.
Xiao Ai melompat dan berlari ke arah adik lelakinya, namun belum lagi tiga langkah gadis itu meninggalkan tempatnya semula berdiri, sebuah cekalan kuat telah menghentikannya. Gadis itu menoleh dan melihat dua lelaki yang memegang lengannya di sebelah kanan dan kiri. Ia berusaha untuk memberontak namun, semakin lama Xiao Ai berusaha untuk melepaskan diri, cekalan kuat pada kedua lengannya justru semakin menguat. Gadis itu mulai menjerit, di satu sisi karena rasa sedihnya, dan di sisi lain karena rasa putus asa yang mulai menghinggapi. Ia hanya perlu melepaskan satu tangan untuk mengambil sebuah pisau yang ia sembunyikan di balik lengan hanfunya, dan kemudian mengakhiri semuanya. Semua rasa sedih yang menghinggapi dan tak dapat diatasinya. Ia yang menyebabkan keluarganya dalam bahaya kematian namun ia tak dapat memberikan perlindungan. Ia yang mencintai seorang pemuda dengan sepenuh jiwanya namun ia tak mampu menggapai cintanya yang bergantung di langit yang demikian tinggi. Sungguh, kesialan dan kemalangan apalagi yang lebih berat dari yang dihadapinya saat ini?
“Lepaskan anakku!” teriak Xiao Jiang saat melihat Xiao Ai dalam telikungan anak buah Tuan Hui. Lelaki tua yang telah kalap itu segera menerjang ke arah para lelaki yang memegang kedua lengan Xiao Ai seraya mengayunkan pedang berburunya.
“Lelaki tua, kau ini benar-benar merepotkan kami!” sebuah bentakan lain datang bersama serangan yang menghadang langkah Xiao Jiang.
Xiao Jiang berusaha mengelakkan serangan dari si lelaki bermata buas yang datang mengarah tubuhnya. Sekali, lelaki itu berhasil berkelit, namun saat kemudian serangan lain datang secara beruntun, maka lelaki yang sesungguhnya hanyalah seorang petani tanpa lambaran kemampuan beladiri itu tak lagi mampu menghindar membuat tubuhnya yang telah tua dan ringkih segera pula terhempas ke tanah dengan darah menyembur dari mulut.
Xiao Ai menjerit pilu dengan ledakan tangis saat menatap ayahnya tergeletak di tanah dengan muka berlumuran darah dari mulut. Gadis itu menggerakkan kepala dan sekuat tenaga menggigit satu tangan yang mencekal lengannya membuat si lelaki anak buah Tuan Hui menjerit tinggi seketika melepaskan jemarinya dari lengan Xiao Ai. Kesempatan yang tak disia-siakan oleh gadis yang telah putus asa itu untuk merenggut pisau kecil dari balik lengan hanfunya dan mengayunkannya ke arah lelaki lain yang masih memegang lengannya dengan kuat.
Si lelaki yang sempat melihat kilat tajam sebuah benda mengarah wajahnya segera melepaskan jemarinya dari lengan Xiao Ai dan menangkis serangan pisau kecil tersebut.
Dan berhasil!. Pisau yang diayunkan oleh Xiao Ai berhasil direbutnya meski meninggalkan sebuah luka memanjang cukup dalam di telapak tangan. Namun, gadis yang semula telah berhasil diringkusnya kini terlepas dan berlari ke arah tubuh Xiao Jiang.
Dan hal itu membuat lelaki itu marah sehingga – seolah terlupa bahwa mereka seharusnya membawa si gadis yang tengah mengguncang tubuh ayahnya dengan airmata berderai itu hidup-hidup – segera melemparkan pisau tajam yang kini tergenggam di jemarinya kuat-kuat ke arah Xiao Ai. Tepat mengarah bagian leher, pada titik yang paling mematikan!.
Xiao Ai, yang tengah menangisi sang ayah sama sekali tak menyadari datangnya bahaya maut dan terus mengguncang tubuh Xiao Jiang yang lemah terkulai. Pisau tajam meluncur deras dengan meninggalkan suara berdesing nyaring ke arah leher gadis itu di iringi teriakan para lelaki anak buah Tuan Hui yang lain, yang sama sekali tak menduga pada perbuatan teman mereka yang menjadi gelap mata oleh kemarahan. Si lelaki bermata buas mengulurkan tangannya, mencoba untuk meraih pisau yang meluncur deras, atau meraih tubuh Xiao Ai agar terhindar dari serangan pisau mematikan tersebut. namun jaraknya yang terlalu jauh membuat usahanya gagal sehingga kemudian, lelaki yang berwajah kasar itu hanya bisa menatap dengan sepasang  mata terbelalak.
Sedetik lagi…hingga pisau tajam yang semula dibawa oleh Xiao Ai itu menembus lehernya sendiri.
Sedetik yang menentukan kehidupan gadis itu, dan nampaknya segalanya memang akan berakhir saat itu juga, bersama seluruh kepedihan yang tersimpan di hati Xiao Ai.
Hingga sebuah hal terjadi.
Pisau yang tengah meluncur itu mendadak terhenti di udara, melayang dan bergetar hebat seolah terhalang sebuah dinding tak kasat mata yang menahannya dengan sangat kuat.
Xiao Ai menoleh saat merasakan sebuah siuran angin yang sejuk berhembus di sisi kepalanya dan sepasang mata gadis itu terbelalak saat menemukan sebuah pisau yang melayang dan bergetar hebat, hanya berjarakbeberapa helai rambut darinya. Wajah cantik gadis itu seketika memucat, namun belum lagi mulut mungilnya mengeluarkan satu jeritan mendadak pisau yang melayang dalam getar hebat itu telah berbalik arah dan selanjutnya, seolah ada tenaga yang melempar dengan kekuatan penuh, benda kecil berkilat itu melesat dalam kecepatan yang sulit diikuti oleh mata dan hanya meninggalkan sebuah jejak kilat sekejab sebelum kemudian berakhir di tiang kayu rumah yang besar, menancap hingga ke bagian gagangnya!.
Tak ada satupun mata yang tak menatap kejadian sekejap itu. Tak ada suara selain keheningan yang menyelimuti halaman depan ruman keluarga Xiao Jiang. Sebelas anak buah Tuan Hui menatap ke arah pisau yang habis tertancap di batang kayu tiang rumah dengan pandangan takjub sekaligus heran. Siapapun orang yang melakukannya, dia pastilah seorang yang memiliki Chi sangat tinggi.
Siapakah dia?...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar