Minggu, 18 September 2016

Straight - Episode 8 ( Bagian Satu )

“Malam berseri, indah damai dalam hati
Kau berikan rasa ini, hingga dapat ku bermimpi
Tentang maaf yang bersemi
Tentang cinta yang tak letih
Dan kuharapkan kekasih
Tak perlu bertengkar lagi
Tak perlu menangis lagi
Biarkan kita mengalir sampai nanti….”
( Puisi Adinda – Song by Ariel Noah )

Rumah Jenderal Xu Da…
Bayangan itu bergerak cepat melintasi halaman yang luas seolah kilasan gelap sesaat yang tak sempat tertangkap oleh mata. Sosok bayangan yang jelas tinggi menjulang dalam balutan jubah panjang itu tak berhenti meski telah melewati halaman luas dan melompati sebuah taman lebar. Tepat di belakangnya, satu sosok lain bergerak dengan cepat berusaha untuk menyusul meskipun tampaknya, kemampuan geraknya masih jauh di bawah sosok pertama yang kini telah sampai di beranda rumah utama, melintasi pintu demi pintu tanpa maksud untuk berhenti sama sekali, hingga sebuah suara terdengar tajam disusul terkuaknya satu pintu yang terletak di sisi ujung bangunan utama tersebut.
“Changyi!” suara yang berat itu terdengar dengan sangat jelas meski tak keras, mengumandangkan kewibawaan yang sangat kuat hingga memaksa sosok bayangan yang bergerak cepat di depan setiap pintu tersebut seketika menghentikan langkahnya. Sosok lain di belakang bayangan pertama turut berhenti dan seketika membungkuk hormat saat seorang lelaki bertubuh tinggi besar melangkah keluar dari pintu yang terbuka.
“Jenderal” sebut bayangan kedua yang membungkuk penuh hormat tersebut demikian ia melihat Jenderal Xu Da.
“Changyi?” panggil Jenderal Xu Da mengalihkan pandangannya dari sosok pertama yang terlihat berdiri termangu. “Kenapa kalian datang hanya berdua? Di mana Xiao Chen?”
Tak terdengar jawaban. Hanya sebuah gerak perlahan dari sosok pertama yang terlihat menarik lepas jubah penutup kepalanya, menampakkan seraut wajah rupawan yang pias nanar.
“Changyi?” tegur Jenderal Xu Da saat ia tak mendapakan jawaban dari mulut Xu Changyi.
Changyi tertunduk. Terlihat gerakan kasar di lehernya saat pemuda itu berusaha menelan ludah seolah apa yang tengah melewati kerongkongannya adalah sebongkah batu berduri yang amat keras dan tajam.
“Ayah…kita telah terlambat” bisik Changyi sehalus angin.
Jenderal Xu Da mengerutkan alisnya saat mendengar jawaban yang nyaris hanya berupa desisan daun tersebut.
“Terlambat?” tanyanya kemudian seraya menatap putranya. “Apanya yang terlambat? Apa yang sebenarnya terjadi?”
Changyi kembali terdiam. Wajahnya tertunduk dalam kekosongan yang menyengat membuat Jenderal Xu Da tak lagi sabar menunggu. Maka, setelah mengeluarkan satu  dengusan keras, panglima tertinggi kerajaan itu mengalihkan tatapan matanya ke arah sosok kedua yang juga telah melepaskan jubah penutup tubuhnya dan menampakkan sosok gagah Perwira Bohai, prajurit setia yang selalu mengikuti Jenderal Xu Da kemanapun.
“Perwira Bohai…katakan padaku, apa yang terjadi? Apanya yang terlambat? Apakah kalian gagal untuk membawa Xiao Chen?” tanya Jenderal Xu Da pada prajuritnya.
Perwira Bohai terlihat membungkukkan tubuhnya.
“Benar Jenderal” jawab Perwira Bohai saat ia telah berdiri tegak kembali. “Saat kami tiba di penjara bawah tanah, ternyata Kasim Chen telah di bawa pergi. Ruang penjara paling ujung itu kosong. Prajurit penjaga yang kami sandera mengatakan bahwa Kasim Chen telah dibawa tepat tengah malam dan telah dihukum mati atas perintah dari Yang Mulia Kaisar”.
Jenderal Xu Da terlihat terkejut. Sejenak pandangannya kembali pada sosok putranya sebelumnya kemudian ia menatap Perwira Bohai.
“Hukuman mati telah dilaksanakan tepat tengah malam? Tapi, itu bukan kebiasaan Yang Mulia Kaisar. Biasanya, hukuman mati akan dilaksanakan di pagi hari atau bahkan di siang hari agar bisa menjadi pelajaran bagi banyak orang untuk tidak melakukan kesalahan yang sama” ujar Jenderal Xu Da. “Apakah kau mendapatkan informasi yang lain Perwira Bohai? Di mana hukuman mati itu dilakukan?”
“Hukuman mati dilakukan di sisi utara istana, di dekat barak senjata Jenderal” sahut Perwira Bohai dengan cepat. “Menurut keterangan prajurit penjaga penjara itu, hukuman mati yang dilakukan dengan racun sebagaimana kejahatan yang telah dilakukan oleh Kasim Chen pada Pangeran Keempat”.
“Barak senjata? Itu lebih aneh lagi. Sudut istana di sisi barak senjata bukan tempat biasa digunakan untuk pelaksanaan hukuman mati. Kenapa Yang Mulia Kaisar mengambil tempat itu?” gumam Jemderal Xu Da. “Apakah Yang Mulia Kaisar datang untuk menyaksikan pelaksanaan hukuman mati itu Perwira Bohai?”
Perwira Bohai menggeleng tegas. “Menurut keterangan prajurit itu, Yang Mulia Kaisar tidak datang. Juga, tidak ada pejabat yang datang untuk melihat pelaksanaan hukuman mati Kasim Chen”
Kening Jenderal Xu Da berkerut semakin dalam. Adalah hal yang sangat aneh jika hukuman mati, terlebih untuk satu kejahatan besar dilaksanakan tanpa kehadiran kaisar dan pejabat kerajaan. Biasanya, penjahat-penjahat besar seperti pengkhianat negara ataupun orang-orang yang melakukan kejahatan pada keluarga raja akan dihukum mati dengan menghadirkan kaisar, anggota keluarga raja dan pejabat istana. Jika seandainya kaisar tidak bisa hadir dalam pelaksanaan hukuman mati, maka pasti akan ada anggota keluarga raja ataupun pejabat kerajaan yang menjadi wakil raja. Namun kini, dalam pelaksanaan hukuman mati terhadap Kasim Chen, bukan saja kaisar tidak hadir namun juga tak satupun anggota keluarga raja dan pejabat kerajaan yang datang untuk menyaksikan pelaksanaan hukuman pada kasim remaja yang dituduh melakukan kejahatan dengan racun pada Pangeran Zhu Di tersebut.
Dan ini adalah hal yang sungguh aneh!.
Aneh sebab seolah-olah, pelaksanaan hukuman mati itu dilakukan secara tersembunyi dan ditutupi!.
Aneh sebab hukuman mati itu dilakukan lebih cepat dari waktu seharusnya dan di saat yang tak biasa yaitu ditengah malam sehingga tak ada orang yang menyaksikan agar menjadi bahan pelajaran bagi rakyat luas!
Dan aneh sebab hukuman mati itu dilakukan di tempat yang tertutup, bukan tempat biasa untuk melaksanakan hukuman mati sebab selama ini hukuman mati selalu dilakukan di tempat terbuka sehingga bisa disaksikan oleh banyak orang!.
Kemudian, dengan adanya semua keanehan-keanehan itu, satu pertanyaan paling mendasarpun muncul di benak Jenderal Xu Da.
Ada apa sebenarnya?
Atau…apa yang sesungguhnya tengah terjadi?
Pandangan Jeneral Xu Da beralih pada putranya yang berdiri dengan tubuh mengejang kaku dan wajah pias.
“Changyi…”
“Ayah” Changyi bergerak dan memutar tubuhnya menghadap ke arah ayah angkatnya. Sebuah binar tekad terlihat berkelebat di kedalaman matanya dan menjadi warna lain yang meronai selain gelombang kepedihan yang memenuhi setiap sudutnya. “Saya ingin melihat Adik Chen, untuk terakhir kali. Ijinkan saya pergi Ayah”.
Jenderal Xu Da termangu sesaat. Saat ini telah menjelang pagi hari dan hukuman mati telah dilaksanakan tepat tengah malam tadi. Kemungkinan besar saat ini Xiao Chen telah tewas. Namun, meskipun demikian, biasanya tubuh orang yang dihukum mati masih akan dibiarkan berada di tempat pelaksanaan hukuman hingga beberapa saat sebelum dibawa pergi untuk dihanyutkan ke sungai atau diberikan pada binatang buas sebagai makanan. Kedatangan Changyi ke tempat pelaksanaan hukuman mati Xiao Chen pasti akan menimbulkan pertanyaan dan kecurigaan, namun dengan gelombang kepedihan yang bergumpal-gumpal bagaikan badai di kedua mata Changyi seperti yang dilihatnya saat ini, bisakah ia menahan putranya itu?.
“Baiklah” jawab Jenderal Xu Da kemudian. “Tapi kendalikan dirimu. Ingat baik-baik bahwa kau adalah putraku dan Ayah ingin kau menjaga kehormatan dirimu. Tidak semua orang di istana adalah kawanmu, jangan lupakan itu. Apa kau mengerti Changyi?”.
Changyi menatap ayah angkatnya beberapa saat dengan sepasang mata memerah yang terasa bagaikan sebuah palu menggedor dinding nurani Jenderal Xu Da, memaksa sang panglima tertinggi kerajaan yang amat berkhaisma itu menarik sudut-sudut bibirnya dan mengurai sebuah senyum.
Tetapi, senyum ayah angkatnya itu justru terasa semakin memperjelas rasa pedih yang dirasakan oleh Changyi. Xiao Chen adalah adiknya, saudara sejiwanya meski orangtua mereka bukanlah orangtua yang sama. Namun mereka telah melalui waktu bersama sejak pertama mengenal kehidupan di dunia. Dan kedekatan sejiwa itu jauh lebih kuat daripada ikatan darah persaudaraan. Mestinya, ia bisa menemui Xiao Chen kapanpun ia mau. Mestinya ia dan Xiao Chen bisa bersama sebagaimana dahulu, seperti yang ia cita-citakan saat ia pertama datang ke istana ini. Tetapi kini, kenyataan yang terbentang di depan mata justru sangat berbeda. Kedatangannya ke istana justru menjadi jurang pemisah yang amat tajam di antara dirinya dan saudara sejiwanya. Bukan saja ia tak bisa bersama dengan Xiao Chen seperti dulu, namun lebih dari itu, ia dan Xiao Chen bahkan berdiri pada sisi yang sangat berbeda, bahkan berlawanan. Ia berdiri sebagai anak pejabat tinggi istana yang sangat dihormati oleh semua orang. Sebagai seorang tuan muda yang bahkan telah dianggap sebagai bagian dari kerabat kaisar sementara adiknya berdiri sebagai seorang kasim, seorang pelayan yang keberadaannya bahkan tak pernah dipandang dua kali. Pelayan yang mesti membungkuk hormat bila mereka bertemu dan melayaninya dengan sebaik mungkin. Dan kini, di saat terakhir kali ia mungkin masih bisa melihat saudara sejiwanya itupun, jurang pemisah yang amat tajam itu tetap saja tak memberinya kesempatan untuk memiliki adiknya sebagaimana seharusnya.
“Baik Ayah, saya tidak akan lupa semua pesan Ayah” sahut Changyi  setelah beberapa saat. Kepala berhias rambut hitam legam itu terlihat mengangguk sebelum kemudian, sosoknya yang tinggi gagah bergerak. Hanya gerak sekilas yang seolah tak berarti namun sekejab kemudian sosok rupawan yang telah merebut seluruh ruang di hati Jenderal Xu Da itu telah lenyap dari pandangan mata dan hanya meninggalkan sebuah siuran angin singkat yang segera menghilang sedetik kemudian.
Jenderal Xu Da menarik nafas panjang sebelum kemudian berpaling ke arah Perwira Bohai yang masih berdiri beberapa langkah darinya.
“Ikuti putraku” perintah Jenderal Xu Da pada prajurit setia yang menjadi kepercayaannya. “Apapun yang kalian lihat di sana nanti, jangan biarkan Changyi menjadi lupa dan mempermalukan dirinya sendiri”.
“Baik Jenderal” sahut Perwira Bohai cepat yang segera membungkuk hormat sebelum kemudian, sosoknya turut berkelebat lenyap pula dari hadapan Jendera Xu Da, melesat ke arah mana bayangan Changyi menghilang sebelumnya.
Jenderal Xu Da masih berdiri sesaat seraya menatap ke arah mana dua bayangan yang semula berdiri di dekatnya menghilang. Kemudian, lelaki yang sangat dihormati itupun bergerak melangkah ke arah pintu yang masih terbuka. Kedua kakinya telah nyaris mencapai batas pintu saat mendadak, suara langkah kaki dari arah belakang terdengar cepat membuat Jenderal Xu Da seketika menoleh ke belakang dan menemukan seorang prajurit yang setengah berlari datang mendekat. Kening sang panglima tertinggi kerajaan itu berkerut ketika ia mengenali si prajurit sebagai salah satu prajurit khusus di istana Kaisar Hongwu. Ada apa prajurit penjaga istana kaisar datang pada pagi buta seperti ini?
“Ada apa?” tanya Jenderal Xu Da bahkan sebelum si prajurit yang berlari datang mendekat itu sempat mengucapkan satu kata.
“Jenderal, Yang Mulia Kaisar memanggil Jenderal untuk datang ke istana saat ini juga” jawab si prajurit setelah membungkuk hormat.
“Ke istana? Sekarang juga?” ulang Jenderal Xu Da seraya menatap prajurit di depannya. Kerut di kening sang jenderal semakin dalam. Satu lagi keanehan terjadi di pagi yang masih gelap ini. Kenapa kaisar memanggilnya di pagi buta seperti ini?.
“Benar Jenderal. Yang Mulia Kaisar ingin Jenderal datang menghadap saat ini juga” sahut si prajurit.
Jenderal Xu Da mengangguk.
“Baiklah” katanya kemudian. “Kau pergilah lebih dulu. Aku akan segera menyusul”.
“Baik Jenderal” jawab si prajurit seraya memberi hormat.
Jenderal Xu Da masih berdiri menatap kepergian prajurit khusus penjaga istana kaisar hingga menghilang di balik pintu gerbang depan sebelum kemudian, panglima perang yang sangat disegani itu  melanjutkan langkah kakinya yang sempat terhenti. Kali ini, sang jenderal bergerak cepat masuk ke dalam rumah dan menutup kembali pintu di belakangnya.
Sesaat kemudian, dari arah gerbang rumah Keluarga Xu terlihat melesat seekor kuda yang melaju menuju istana kaisar membawa sosok gagah penuh kharisma panglima tertinggi kerajaan…
************

“Apa?!...itu tidak mungkin terjadi! Bagaimana bisa?!” teriak Perdana Menteri Hu Weiyong dengan sepasang mata membeliak. Rona wajahnya sekejab memerah dan sesaat kemudian memutih menandakan gejolak kemarahan bercampur rasa terkejut yang amat sangat. Pandanganya tajam menusuk ke arah dua lelaki berpakaian prajurit yang berdiri dengan raut kecut di depannya. “Katakan padaku, apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana bisa Yang Mulia Kaisar merubah keputusannya demikian cepat?”.
“Mengenai Yang Mulia Kaisar merubah keputusannya dengan sangat cepat itu, kami sama sekali tidak tahu Tuanku. Kami hanya mengetahui bahwa Kasim Chen telah dibawa ke istana Yang Mulia Kaisar tepat sebelum tengah malam dan setelah itu, kami tidak lagi melihat sosok Kasim Chen. Saat tengah malam tiba, kami melihat seorang lelaki dibawa keluar dari istana kaisar oleh prajurit khusus yang dipimpin oleh Jenderal Lan Yu. Lelaki itu dibawa ke sudut istana di bagian utara di dekat barak senjata” tutur seorang prajurit pada Perdana Menteri Hu Weiyong.
“Lalu, bagaimana Pangeran Keempat bisa sampai di tempat itu dan menghentikan pelaksanaan hukuman mati?” tanya Perdana Menteri Hu Weiyong kemudian.
“Maafkan kami Tuan Hu, mengenai hal itupun, kami tidak tahu. Kami hanya mengikuti rombongan Jenderal Lan Yu yang membawa lelaki dengan tutup hitam di kepalanya itu ke sudut istana dekat barak senjata dan selanjutnya kami melihat lelaki itu menerima seratus pukulan pada tubuhnya. Kemudian, saat lelaki itu hendak meminum racun yang diberikan, tiba-tiba Pangeran Keempat muncul dan menghentikan semuanya” jawan satu prajurit yang lain.
“Jadi…jika demikian, maka lelaki yang dihukum itu belum sempat meminum racun yang diberikan padanya? Apakah benar begitu?” tanya Perdana Menteri Hu Weiyong dengan kening berkerut.
“Tampaknya, meski sedikit, racun itu telah berhasil memasuki tubuh lelaki itu Tuanku” sahut si prajurit.
“Tampaknya?...kalian tidak yakin dengan apa yang kalian lihat?” kejar Perdana Menteri Hu Weiyong dengan nada tajam dan sorot mata penuh cela.
“Maafkan kami Tuan Hu” jawab satu prajurit kedua dengan suara agak bergetar. “Sebenarnya, kami memang tidak dapat melihat dengan jelas karena tempat kami mengintai cukup jauh. Tetapi, melihat bagaimana tubuh lelaki itu menjadi sangat lemah dan Pangeran Zhu Di yang berteriak marah kemudian memeluk tubuh lelaki itu, kami dapat menyimpulkan bahwa lelaki itu telah sempat meminum racun yang diberikan kepadanya”.
“Hmmm…” gumam Perdana Menteri Hu Weiyong seraya memegang dagunya yang bergaris tajam. Sepasang matanya bergerak menandakan bahwa pejabat tinggi kerajaan itu tengah berpikir keras. “Dan kalian tidak tahu siapa lelaki itu?”
“Tidak Tuan Hu” kedua prajurit di depan Perdana Menteri Hu Weiyong menggeleng. “Keadaan sangat gelap, hanya ada beberapa api penerang di tempat itu”.
“Tapi, kami juga yakin bahwa siapapun lelaki itu, dia bukanlah Kasim Chen sebab ukuran tubuhnya terlihat lebih besar seperti ukuran tubuh lelaki dewasa” sambung prajurit lain.
Tak terdengar suara tanggapan dari mulut Perdana Menteri Hu Weiyong selain gerak tubuh yang terlihat gelisah. Berarti, Kasim Chen masih hidup saat ini. Siapapun adanya lelaki yang telah menjalani hukuman itu, dia telah menyelamatkan Kasim Chen dari kematian. Kemudian, dimanapun adanya Kasim Chen saat ini, dia telah memegang satu kunci jawaban mengenai apa yang tengah terjadi di kamar Pangeran Zhu Biao beberapa waktu lalu. Dan hal itu adalah satu hal yang sangat tidak baik.
Kenapa lelaki itu bisa muncul?
Siapa lelaki bodoh yang mau mengorbankan hidupnya demi seorang kasim remaja yang tengah menanti kematian itu?
Di mana ia mesti mencari Kasim Chen sekarang?
“Ah!!...” teriak Perdana Menteri Hu Weiyong penuh kemarahan seraya mengayunkan satu tangannya menghantam permukaan meja di sisinya. Suara berderak keras terdengar membuat dua orang prajurit yang berdiri tak jauh darinya terlonjak kaget dan ketakutan. “Dasar bodoh!!”.
Namun…apa yang mesti terjadi sesungguhnya bukanlah apa yang tengah terpampang di depan mata.
Semilir angin pagi buta menghembus melewati celah lubang angin, menghembus menerpa kening Perdana Menteri Hu Weiyong yang berkilau oleh percikan keringat kemarahan.
Semilir angin yang menyampaikan ancaman…dan tragedi yang menanti…
Sayang, kemarahan yang menggumpal membuat sang pejabat tinggi kerajaan itu tak dapat menangkap bahasa angin yang halus membisik di sisi kepalanya…
***********


Tidak ada komentar:

Posting Komentar