Senin, 31 Oktober 2016

Straight - Episode 8 (Bagian Dua)

 Sudut istana itu terlihat sunyi. Desah suara angin pagi buta semakin menguatkan kelengangan tempat yang menjadi pusat penyimpanan senjata tersebut. Cahaya temaram yang berasal dari lampu minyak di beberapa tempat belum mampu memberikan penerangan yang cukup pada bentangan rerumputan yang basah oleh embun malam di atas tanah. Demikian pula lampu-lampu kertas yang tergantung di langit-langit bangunan gudang senjata yang semakin lama cahayanya justru semakin meredup setelah memerangi kegelapan malam.
Dan di atas tanah berselimut rumput basah yang masih gelap itulah dua sosok tubuh berselubung jubah panjang hitam tersebut berdiri. Satu sosok bertubuh tinggi dan gagah terlihat berdiri dengan sikap waspada memperhatikan ke sekeliling penjuru sudut istana sementara sosok lain yang bertubuh lebih pendek berdiri dalam jarak beberapa langkah di belakang sosok gagah yang lebih dulu tiba dan turut pula memperhatikan kesunyian tempat di sudut istana yang jarang diambah oleh manusia selain para prajurit tersebut.
“Tuan Muda Xu Changyi…sepertinya, kita telah terlambat” bisik sosok bertubuh lebih pendek pada lelaki gagah dalam balutan jubah panjang di depannya.
Changyi mengedarkan pandangannya dan segera membenarkan perkataan lelaki di belakangnya. Terdengar suara desah berat dari dada pemuda tersebut. Tempat ini sungguh sunyi dan sama sekali tak terlihat tanda adanya kegiatan manusia.
Ke mana para prajurit dan Jenderal Lan Yu? Di mana pula tubuh adiknya?. Kelengangan yang terasa mencekam seolah membisikkan bahwa pelaksanaan hukuman yang dilakukan di tempat ini beberapa saat lalu tak pernah terjadi.
Changyi berjalan pelan seraya sedikit membungkukkan tubuhnya memperhatikan hamparan rumput di bawah kakinya. Kesunyian yang ia lihat memang seperti menyembunyikan apa yang baru saja terjadi di tempat ini, namun ia merasakan hal lain yang memberinya keyakinan bahwa pelaksanaan hukuman mati pada satu-satunya saudara sejiwanya telah terjadi di tempat ini.
Aroma amis darah terasa membungkus udara di sekitar tempat ini. Changyi bisa menciumnya dengan sangat jelas. Aroma darah itu bercampur dengan aroma lain yang terasa tajam membuat benak Changyi membayangkan semangkuk racun kuat semakin alat untuk membunuh saudara sejiwanya.
Dada Changyi telah bergolak demikian keras sementara langkah kakinya bergerak lamat menapaki tiap jengkal rerumputan di bawah kakinya mencari-cari jejak darah yang membuat jantungnya serasa hendak meledak oleh kepedihan.
“Tuan Muda Xu…sepertinya di sini” ujar lelaki  yang dengan setia mengikuti Changyi di belakang pemuda itu.
Changyi menoleh ke arah lelaki yang berjalan beberapa langkah darinya.
“Paman Bohai menemukannya?” tanya Changyi seraya bergerak mendekat.
“Benar Tuan Muda” Perwira Bohai mengangguk seraya menunjuk hamparan rumput tepat di bawahnya. “Lihatlah, rumput pada bagian ini terlihat rusak. Juga percikan darah di atasnya”.
Changyi menatap ke arah rumput yang ditunjuk oleh Perwira Bohai dan segera menemukan apa yang dimaksud oleh prajurit setia itu. Rerumputan tepat depan kaki mereka tersebut terlihat rusak. Cahaya samar lampu minyak yang memancar telah cukup membantu kedua mata Changyi untuk melihat bagian rumput yang rebah dan sebagian lagi justru tercabut dari tanah. Tampaknya, sesuatu yang berat dan sebuah kegiatan yang melibatkan banyak orang dengan mengeluarkan tenaga yang besar telah terjadi di tempat itu membuat kedua mata Changyi seketika berkaca-kaca.
Apa yang dapat ia bayangkan dari keadaan rumput yang rusak itu hanyalah adiknya yang terikat di atas tanah dalam keadaan tertelungkup dan beberapa prajurit memukulinya dengan menggunakan potongan kayu atau besi yang keras. Ia pernah melihat hukuman seperti  itu sebelumnya. Orang yang dianggap bersalah akan dipukul dengan kayu atau besi oleh beberapa prajurit dalam keadaan terikat dan mulut di sumpal oleh kain sehingga tidak dapat berteriak kesakitan. Ada yang dipukul sampai mati namun ada pula yang hanya dipukul beberapa saat sebelum kemudian dipenggal, digantung, diseret dengan kuda atau dijejali racun. Seringkali, keadaan penjahat yang telah lemas karena banyaknya pukulan keras yang diterimanya membuat si penjahat itu tak lagi mampu mengeluarkan suara meskipun kain penyumpal mulutnya telah dibuka.
Changyi berlutut saat ia menemukan genangan kecil darah di atas rerumputan. Ujung jari telunjuk pemuda itu terlihat bergetar saat menyentuh genangan kecil darah di atas rumput. Seberapa parah luka yang di alami oleh adiknya sebelum racun mengakhiri hidup saudaranya itu?.
“Tapi…ke mana mereka membawa tubuh Adik Chen?” tanya Changyi tanpa menoleh ke arah Perwira Bohai di belakangnya. “Mestinya tubuh Adik Chen masih ada di sini”.
“Sepertinya kita harus mencari tahu ke mana Jenderal Lan Yu memerintahkan prajuritnya untuk membawa tubuh Tuan Chen. Apakah Tuan Muda Xu mengijinkan saya untuk memeriksa ke barak prajurit khusus?” jawab Perwira Bohai menawarkan.
Changyi berdiri dan berbalik ke arah prajurit yang selalu mengikutinya kemanapun itu. Sekilas kilat tajam terlihat di sepasang mata indah pemuda itu membuat hati Perwira Bohai terasa berdesir. Tampaknya pemuda rupawan yang selalu terlihat bersinar dan ceria itu kini sungguh-sungguh terluka.
“Jenderal Lan Yu…” desis Changyi dengan suara dalam. “Paman Bohai tidak perlu melakukan hal itu. Biar aku sendiri yang akan menemuinya”.
Perwira Bohai menatap Changyi dengan kening berkerut. Meski wajah pemuda di depannya itu masih tetap rupawan, namun ia dapat melihat kilatan tajam serupa petir di sepasang mata yang biasa bening dan berbinar itu. Dan hal itu membuat Perwira Bohai merasa cemas. Ia telah mengikuti Jenderal Xu Da demikian lama, bahkan sejak ia masih remaja karena Jenderal Xu Da-lah yang telah menemukannya saat ia hanyalah seorang prajurit penjaga pintu gerbang istana yang tak pernah dilihat dua kali oleh siapapun. Karena itu, saat kemudian Jenderal Xu Da mengambil Changyi sebagai putra angkat dan ia mendapat tugas dari sang panglima tertinggi kerajaan itu untuk selalu mengawal Changyi terutama dalam saat-saat yang genting hingga waktu sekarang, hingga sedikit banyak ia telah memahami pemuda yang telah menjadi pusat perhatian semua orang terutama para gadis dan wanita di seluruh penjuru mata angin tersebut. Apa yang dilihatnya saat ini bukanlah sebentuk keramahan hati seorang pemuda seperti yang biasa terlihat dalam kesehariannya. Kilatan petir di kedalaman sepasang mata pemuda itu jelas mengisyaratkan kemarahan.
Kemarahan yang berbalut dendam oleh kepedihan yang menggulung batin pemuda itu tanpa ampun!
Dan bukanlah hal yang baik jika Changyi bertemu dengan Jenderal Lan Yu dalam  balutan api dendam seperti itu. Terlebih karena ia tahu seburuk apa hubungan antara Jenderal Lan Yu dengan Jenderal Xu Da sejak Kaisar Hongwu mengangkat Jenderal Xu Da sebagai panglima tertinggi kerajaan.
“Tuan Muda…saya kira, menemui Jenderal Lan Yu secara langsung bukanlah hal yang baik karena saya yakin dia tidak akan mengatakan yang sesungguhnya terlebih Jenderal Lan Yu tahu bahwa Tuan Muda Xu adalah putra dari Jenderal Xu Da. Saya bermaksud pergi ke barak prajurit khusus adalah karena saya tahu akan lebih mudah mendapatkan keterangan tentang apa yang terjadi di tempat ini” ujar Perwira Bohai seraya menatap pemuda di depannya.
Changyi menghela nafas sesaat. Ia mengerti pada kebenaran yang ada dalam kalimat Perwira Bohai. Adalah hal yang sulit untuk mendapatkan keterangan dari Jenderal Lan Yu terlebih dengan buruknya hubungan antara jenderal dari Kementerian Pertahanan itu dengan ayahnya. Kesadaran 
“Saya mengenal beberapa prajurit khusus Tuan Muda. Dan saya yakin mereka pasti bisa membantu kita. Sekarang lebih baik kita…”
“Hei!...siapa di sana!” sebuah suara bentakan keras menghentikan kalimat Perwira Bohai dan mengejut kedua orang yang tengah berdiri di atas rumput bernoda darah tersebut.
Perwira Bohai menoleh ke arah asal suara dan melihat seorang prajurit yang berdiri tegak di sudut bangunan barak senjata. Satu tangan prajurit itu memegang sebuah obor minyak yang diangkat tinggi-tinggi. Tampaknya prajurit itu adakah seorang prajurit yang tengah mendapat tugas berjaga di barak senjata tersebut. Perwira Bohai membuka mulut bersiap untuk bersuara menjawab bentakan dari prajurit jaga di sudut bangun barak namun mendadak sebuah desiran angin bersiut sesaat. Hanya sedetik dan pada detik selanjutnya Perwira Bohai melihat si prajurit jaga yang membentak mereka itu telah terhimpit ke dinding barak sementara Changyi yang masih tersembunyi di balik jubah hitamnya berdiri di depan prajurit tersebut. Satu tangan pemuda itu mencengkeram leher si prajurit dalam bentuk cakar yang kuat membuat si prajurit mengeluarkan suara tercekik.
“Katakan di mana kasim yang baru saja dihukum mati di tempat ini!” desis Changyi dengan suara tajam dan dalam.
“Ss…siapa kau?” suara si prajurit nyaris tak terdengar karena cekikan keras di lehernya.
Pertanyaan yang fatal karena suasana hati Changyi yang sangat buruk membuat pemuda itu tak lagi memiliki kesabaran dan belas kasih. Hanya setengah detik setelah si prajurit mengeluarkan suaranya, mendadak terdengar suara berderak keras saat satu tangan Changyi yang bebas menyentakkan tangan kanan si prajurit hingga lepas dari sambungannya. Si prajurit jaga yang malang itu berteriak setinggi langit ketika sengatan rasa sakit luar biasa menyerang lengannya. Namun cekikan kuat di lehernya membuat suara jeritan si prajurit teredam di ujung tenggorokan dan hanya menyisakan seraut wajah pias serta sepasang mata yang membeliak nanar.
“Jawab saja apa yang kutanyakan!” bentak Changyi seraya mengetatkan cekikannya.
“Tuan Muda…saya mohon bersabarlah. Jika dia mati, akan timbul masalah baru karena barak senjata ini adalah wilayah tugas Jenderal Lan Yu” bisik Perwira Bohai yang telah berada di sisi Changyi. Satu tangan prajurit setia itu memegang tangan Changyi yang tengah mencengkeram leher si prajurit jaga dengan kuat.
Namun, Changyi yang kini berada di sisi Perwira Bohai bukan lagi pemuda rupawan yang selama ini dikenal Perwira Bohai sebagai seorang pemuda yang cerdas dan berhati baik. Pemuda yang kini berdiri di sisinya adalah seorang lelaki muda yang tengah gelap oleh kedukaan dan kemarahan sehingga apapun kalimat yang diucapkan oleh Perwira Bohai hanyalah hembusan angin yang bertiup tanpa arti. Melihat bahwa pemuda di sisinya telah digelapkan oleh kemarahan, perwira yang setia itu mengulurkan tangannya dan memegang dagu prajurit yang mengerut kesakitan oleh cekikan kuat Changyi di lehernya kemudian mengarahkan wajah si prajurit yang sial itu ke arahnya.
“Dengar!..jika kau masih ingin hidup, jawab saja pertanyaannya!” tegas Perwira Bohai membuat si prajurit sedikit membeliakkan sepasang matanya yang mulai memerah oleh rasa sakit.
“Bb..baik..baik” terdengar suara si prajurit yang kesakitan seraya berusaha menganggukkan kepalanya. Setitik darah mulai mengalir dari mulutnya. Namun, jawaban yang diberikannya membuat cengekeraman jemari tangan Changyi sedikit mengendur. Si prajurit menggunakan kesempatan itu untuk memenuhi ruang dadanya yang sesak karena nafasnya yang nyaris terputus.
“Di mana kasim yang dihukum mati di sini?” Changyi mengulangi pertanyaannya. Suaranya masih terdengar tajam meski nadanya telah sedikit mengendur, tak lagi berupa bentakan seperti sebelumnya.
“It..itu…kasim itu, Pangeran Keempat membawanya” jawab si prajurit membuat Changyi dan Perwira Bohai terkejut. “tepat setelah kasim itu meminum racunnya, Pangeran Keempat datang bersama dan langsung membawanya pergi”
 Cengkeraman tangan Changyi pada leher si prajurit seketika terlepas. Si prajurit yang telah terbebas menatap ke arah Changyi dan sedikit merendahkan kepalanya berusaha mengintip wajah di balik jubah hitam yang menutup kepala lelaki di depannya. Namun, belum lagi ia berhasil mengenali wajah di balik jubah hitam penutup kepala itu, mendadak sosok lelaki yang nyaris mengakhiri hidupnya di pagi buta itu telah melesat lenyap dari hadapannya dan hanya meninggalkan suara siuran angin tajam sekilas serta aroma harum semerbak. Kening si prajurit mengerut saat ia mencium aroma harum yang ditinggalkan oleh sosok lelaki berbalut jubah yang semula berdiri di depannya. Aroma harum seperti yang dihirupnya sekarang demikian halus namun tak hilang meski si pemilik keharuman itu telah pergi. Dan keharuman yang melekat seperti ini hanya dimiliki oleh beberapa orang saja. Alis si prajurit turut mengerut ketika ia mencoba mengingat-ingat sosok bangsawan yang memiliki keharuman seperti yang dihirupnya sekarang ini, namun beberapa saat kemudian, lelaki yang sedikit kurus itu mendesah.
“Siapa dia? Aku seperti pernah mencium wangi tubuh yang seperti ini. Tapi aku lupa siapa orangnya” gumamnya. Sepasang matanya menatap arah di mana sosok Changyi menghilang beberapa detik lalu.
“Sudahlah..sebaiknya kau pergi dan lanjutkan tugasmu” ujar Perwira Bohai sedikit membentak mengejutkan si prajurit jaga. “Dan ingat!..jangan mengatakan pada siapapun perihal kami. Jika kau melaporkan keberadaan kami, maka kami berdua akan kembali dan emmbunuhmu. Kau mengerti?!”.
“Up..itu..baik..baik Tuan” jawab si prajurit jaga mengangguk takut. Kakinya surut beberapa langkah ke belakang untuk membuat jarak dengan Perwira Bohai. Kedua mata prajurit itu menatap Perwira Bohai yang tersembunyi di balik jubahnya sesaat kemudian tiba-tiba tangan kanannya menunjuk ke depan. “Tuan..Tuan..suara Tuan, aku tahu! Tuan adalah…”
“Plakk!” sebuah tamparan keras yang tiba-tiba mendarat di pipi si prajurit jaga memutus kalimat lelaki itu dan membuatnya terpelanting pingsan seketika.
Sunyi menyelimuti sudut istana di sisi barak senjata sementara sosok Perwira Bohai telah lenyap dari tempatnya. Meninggalkan tubuh prajurit jaga yang tergeletak pingsan.
*********

Tidak ada komentar:

Posting Komentar