Rabu, 07 Desember 2016

Straight - Episode 8 ( Bagian Tiga )

  Istana Pangeran Keempat…
“Bagaimana keadaannya?” tanya Pangeran Zhu Di pada seorang tabib yang baru saja keluar dari sebuah kamar. Raut cemas nyata terlihat di wajah Pangeran Zhu Di dan kecemasan itu semakin nyata saat ia melihat kemurungan di wajah sang penyembuh tersebut. “Katakan padaku..apakah kau sudah mengeluarkan racun dari tubuhnya?”.
Si tabib membungkukkan tubuhnya dengan penuh hormat pada Pangeran Zhu Di. Sesaat kemudian, saat tubuhnya telah menegak kembali, kepala sang penyembuh terlihat mengangguk.
“Itu benar  Pangeran..” jawabnya membuat Pangeran Zhu Di nyaris merasa lega hingga, rona murung yang jelas terlihat di wajah si tabib membuat sang pangeran mengerutkan keningnya.
“Lalu…apa masalahnya? Bukankah seharusnya sangat bagus jika racunnya sudah keluar?” tanya Pangeran Zhu Di. Kecemasan yang memancar dari wajah tampannya semakin terlihat. “Katakan padaku hal yang sesungguhnya”.
“Ampunkan hamba Pangeran” desah si tabib dengan nada sedih. “Luka di tubuh Tuan Kasim bukan hanya disebabkan oleh racun saja melainkan luka-luka tubuh oleh sebab pukulan yang diterimanya di sekujur tubuh”.
“Lantas?...Tidakkah kau bisa melakukan sesuatu? Selamatkan dia! Cepat masuk ke dalam dan lakukan apapun dengan kemampuanmu! Aku ingin dia selamat. Ini perintah!” tandas Pangeran Zhu Di dengan nada meninggi membuat si tabib semakin gemetar oleh rasa takut.
“Baik Pangeran…hamba akan berusaha” jawab si tabib dengan tubuh yang membungkuk dalam. Lelaki itu telah berbalik dan siap masuk kembali ke dalam ruangan dimana ia semula berada.
Namun, belum lagi kakinya menapak, mendadak pintu yang tertutup itu membuka dan seorang tabib lain keluar dengan raut wajah menggambarkan kecemasan dan rasa takut. Tubuhnya membungkuk dalam di hadapan Pangeran Zhu Di.
“Ada apa?” tanya Pangeran Zhu Di mendahului demikian ia melihat tabib yang baru saja keluar dari dalam kamar.
“Pangeran...Tuan Kasim sangat ingin melihat Pangeran” sahut si tabib dengan kepala menunduk membuat kening Pangeran Zhu Di berkerut.
“Kenapa? Apakah keadaannya sudah lebih baik?” tanya Pangeran Zhu Di.
Si tabib yang baru saja keluar melirik ke arah tabib pertama dengan gelisah. Tabib pertama mengangguk ke arah temannya setelah menatap Pangeran Zhu Di sesaat.
“Katakan saja” bisik tabib pertama membuat hati Pangeran Zhu Di berdesir.
“Kenapa kalian berbisik-bisik? Katakan padaku yang sesungguhnya! Apakah kalian bisa menyelamatkannya?” tanya Pangeran Zhu Di dengan nada tak sabar.
“Ampunilah kami Pangeran…kami telah berusaha. Tapi, luka-luka Tuan Kasim sangatlah parah. Racun yang diminum oleh Tuan kasim memang telah berhasil kami keluarkan, namun luka-luka akibat pukulan di seluruh tubuhnya telah mematahkan beberapa tulang termasuk tulang di bagian punggung serta pendarahan yang sangat parah di bagian dalam” sahut tabib kedua dengan suara pelan namun jernih hingga jelas terdengar di telinga Pangeran Zhu Di.
Pangeran Keempat memejamkan matanya saat kalimat demi kalimat yang diucapkan oleh tabib di depannya merasuk ke dalam benak dan menciptakan satu-satunya pengertian yang bisa ia tangkap. Hal yang semakin terasa menyesakkan hati dan sungguh ia tak pernah menyangka bahwa kesesakan seperti ini akan dirasakannya. Rasa sesak yang sedih dan sangat jauh berbeda dengan rasa sedih yang ia rasakan jika apa yang ia inginkan tak tergapai atau tidak menjadi kenyataan. Rasa sedih ini terasa memenuhi ruang dadanya hingga membuat ia merasa seolah sulit untuk menarik nafas sehingga kesedihan itu terasa menetap dan tak mau menguap pergi seperti kesedihan-keksedihan yang lain.
“Kalian tidak bisa mengeluarkan darah yang mengumpul di dalam tubuhnya?” tanya Pangeran Zhu Di saat kedua matanya telah kembali membuka. Cahaya lentera yang tergantung di langit-langit beranda membiaskan kesedihan yang membalut wajah tampan pangeran muda tersebut.
“Pangeran, untuk mengeluarkan darahnya, kami harus membuka beberapa bagian luka di tubuhnya. Tetapi hal tersebut akan sangat berbahaya karena luka di tubuh Tuan Kasim akibat pukulan itu telah membuat banyak sekali urat darah besar menjadi pecah. Jika kami menyayat tubuh Tuan Kasim untuk mengeluarkan darah yang mengumpul di dalam maka urat darah besar yang pecah itu akan memiliki jalan untuk menyemburkan darah ke luar tubuh” jawab tabib pertama.
Pangeran Zhu Di terdiam. Meskipun ia bukanlah seorang tabib namun ia dapat memahami apa yang dikatakan oleh dua tabib istana tersebut.
“Ampuni kami Pangeran” kata tabib kedua. “Menurut kami, akan lebih baik jika Pangeran menemui Tuan Kasim karena tadi ia mengatakan sangat ingin bertemu dengan Pangeran jika diijinkan. Kami rasa, waktu yang dimiliki oleh Tuan Kasim tidaklah lama”.
Pangeran Zhu Di menghela nafas sesaat. Sepasang matanya menatap ke arah pintu yang tertutup rapat sebelum kemudian kakinya mulai melangkah. Kedua tabib yang berdiri di depan sang pangeran menepi untuk emmberi jalan pada Pangeran Zhu Di kemudian membungkukkan tubuh mereka dalam-dalam. Terlihat jelas raut penyesalan di wajah keduanya terlebih saat mereka menangkap kesedihan yang memancar dari pangeran muda kesayangan kaisar.
Sementara Pangeran Zhu Di yang telah masuk ke dalam kamar kini berdiri tepat di sisi ranjang tempat seorang lelaki tergeletak dalam balutan pakaian yang penuh dengan noda darah. Pakaian kasim itu telah di ganti dengan yang bersih namun darah yang mengalir dari luka di seluruh tubuh lelaki malang tersebut masih terus mengucur membuat perut Pangeran Zhu Di serasa ditendang saat bayangan puluhan batang kayu yang keras dan kuat terayun lalu menghempas ke tubuh yang telah sangat akrab dengannya di sepanjang usianya hingga hari ini membayang dalam benaknya.
Perlahan Pangeran Zhu Di melangkah mendekati lelaki yang tergeletak di atas ranjang tersebut. Sepasang mata yang terpejam rapat seolah tak menyadari kehadiran pangeran keempat namun, saat jarak antara sang pangeran dengan lelaki itu tinggal dua langkah, mendadak sepasang mata yang terpejam rapat tersebut membuka kemudian dalam gerak lemah bergerak mencari dan menemukan sosok gagah yang berdiri dalam jarak sangat dekat dengannya.
Dalam sekejab, sepasang mata yang baru saja membuka itu merebak mengiringi gerak tangan yang lemah menggapai ke arah Pangeran Zhu Di. Pangeran keempat tertegun sesaat seolah kedua kakinya terpaku pada lantai yang dipijaknya hingga kemudian, saat ia melihat jemari yang lemah menggapai terayun ke arahnya, perlahan pangeran muda yang tampan dan cerdas itu mendekat dan duduk di sisi ranjang, membiarkan tangan yang menggapai tersebut menemukan pencariannya, mengelus pipinya membuat Pangeran Zhu Di merasa seolah sebongkah batu padas yang tajam dan keras telah mengganjal lehernya dan menciptakan rasa sakit luar biasa saat ia berusaha untuk menelan ludah. Sepasang mata Pangeran Zhu Di lurus tertuju pada wajah lelaki yang terbaring di sisinya. Wajah yang telah menemaninya sejak pertama ia membuka mata hingga hari ini namun baru kali ini ia sungguh-sungguh memperhatikan wajah tersebut. Baru kali ini ia menyadari betapa wajah yang kini terbaring di atas ranjangnya itu telah dipenuhi garis-garis penuaan. Baru saat ini ia menyadari bahwa sepasang mata yang kini tengah menatapnya dengan aliran air mata itu dipenuhi binar kelembutan yang bahkan tak pernah ia temukan di kedalaman sepasang mata Kaisar Hongwu, ayahnya sendiri.
Dan semua yang baru saat ini ditemukannya tersebut membuat dada sang pangeran serasa dihantam palu dengan telak.
“Pangeran…” suara parau yang kemudian terdengar keluar terdengar bagaikan sebuah teriakan keras di telinga Pangeran Zhu Di membuat sang pangeran mengerenyitkan alisnya.
“Pangeran hamba…” suara parau itu kembali terdengar. Kali ini lebih jelas meski nadanya semakin lemah. “Ternyata…waktu sungguh cepat sekali berjalan…Anda…sungguh tampan dan gagah sekarang”.
Pangeran Zhu Di kembali berusaha menelan bongkahan batu padas yang mengganjal lehernya. Semakin sakit hingga membuat sepasang matanya memanas.
“Apa yang kau lakukan? Kenapa kau lakukan ini? Kenapa kau ini bodoh sekali?” bisik Pangeran Zhu Di. Kemarahan yang meluap dalam dadanya terasa sia-sia saat kepedihan yang jauh lebih besar menindas hingga suara bisikan yang keluar tak lebih dari sebuah rintihan belaka.
Sepasang mata yang mengalirkan sepasang anak sungai dari mata air jiwa di depan Pangeran Zhu Di mengerjab. Jelas terlihat bahwa lelaki itu tengah mengumpulkan tenaganya yang semakin menyusut.
“Kasim Chen…dia…baik-baik saja” sepasang bibir membiru di depan Pangeran Zhu Di terlihat bergetar saat kalimatnya terucap. Namun jelas sekelumit senyum terurai. Bukan senyum pahit namun lebih tepat di sebut sebuah senyum yang menyiratkan kepuasan.
Kening Pangeran Zhu Di berkerut. Apa yang baru saja di dengarnya bukanlah sebuah berita yang buruk namun saat ini apa yang tengah dihadapinya, kenyataan apa yang baru saja diketahuinya membuat hatinya seperti tertutup untuk berita baik manapun.
“Kau tidak menjawab pertanyaanku? Kenapa kau lakukan ini? Kenapa kau mengatakan pada Yang Mulia bahwa kau pelakunya? Kenapa kau menerima apa yang seharusnya tidak kau terima?” bentak Pangeran Zhu Di dalam bisiknya. Tangan kanan halus sang pangeran meraih tangan penuh luka yang tengah membelai pipinya dan menggenggam tangan yang sangat dikenalnya itu kuat-kuat. “Kenapa kau ini bodoh sekali?”.
Senyum di bibir membiru itu melebar.
“Syukurlah…Kasim Chen sekarang…bisa menemani Pangeran. Hamba, Anta yang tua ini…merasa tenang”.
Pandangan Pangeran Zhu Di terasa mengabur. Kini kedua tangannya terulur dan memegang bahu Kasim Anta saat kedua mata lelaki tua itu memejam.
“Kau harus menjawab pertanyaanku, kau dengar? Seharusnya kau mengatakan padaku apa yang akan kau lakukan!...cepat buka matamu dan jawab pertanyaanku! Cepat buka matamu, apa kau tidak mendengarku? Ini perintah!” seru Pangeran Zhu Di dengan panik saat lelaki yang telah sangat akrab dengannya itu semakin melemas.
Kasim Anta mengerang pelan seiring mengalirnya segumpal darah segar dari mulutnya yang membuat kedua mata Pangeran Zhu Di terbelalak. Dalam sekejab sang pangeran terpana namun kemudian, tangan sang pangeran yang halus itu mengusap darah yang meleleh keluar dari mulut Kasim Anta. Rasa sakit yang tajam semakin keras menusuk leher Pangeran Zhu Di membuat kening pangeran muda itu berkerut dalam.
“Pangeran…Pangeran…” panggil Kasim Anta sayup-sayup jauh.
Pangeran Zhu Di menggenggam tangan Kasim Anta kuat-kuat. Satu suara di dasar hatinya membisikkan sebuah kenyataan yang sepertinya memang harus diterimanya.
“Tabib akan mengobatimu, kau pasti akan sembuh” ujar Pangeran Zhu Di mengingkari bisikan kata hatinya. 
“Mohon…panggil hamba…Pangeran, panggillah hamba” bisik Kasim Anta nyaris tak terdengar.
“Apa yang kau katakan? Tak terhitung kali aku memanggilmu selama ini, panggilan apa lagi yang harus kuberikan padamu?!” tanya Pangeran Zhu Di dengan keras sementara genggamannya pada tangan Kasim Anta semakin menguat. Namun, kasim yang telah dikenalinya sejak pertama ia membuka mata itu seperti tak merasakan sedikitpun kekuatan tangan yang mencengkeram hingga buku-buku jemarinya memutih. Seolah, semua rasa telah memudar dan pergi dari seluruh tubuh tua yang kini tergeletak lemah di depannya tersebut.
Kasim Anta terlihat menggeleng lemah. Satu kali terceguk sebelum kemudian satu lelehan darah hitam kembali mengalir keluar dari sela bibir yang semakin membiru.
“Panggil hamba…Pangeranku” bisik Kasim Anta semakin jauh.
Pangeran Zhu Di panik. Ia benar-benar tak mengerti apa yang dimaksud oleh kasimnya itu. Memanggil? Apa maksud Kasim Anta dengan memanggilnya itu? selama ini, sejak ia lahir dan mulai bisa berbicara hingga batas umurnya di hari ini, telah tak terhitung kali ia memanggil kasimnya itu. Bukan hanya karena kebutuhan tapi juga karena Kasim Anta adalah satu-satunya teman setia yang rela mengikutinya kemanapun, melakukan segala perintahnya meski seringkali, apa yang ia perintahkan adalah hal-hal yang konyol buah kenakalannya. Kasim Anta, baginya bukan hanya sekedar kasim, pembantu ataupun perawat melainkan adalah keluarganya. Meskipun tetap tak bisa mengalihkan tempat Kaisar Hongwu sebagai ayah kandungnya, dan Permaisuri Ma sebagai ibu kandungnya, namun keberadaan Kasim Anta terasakan seperti seorang paman yang sederhana dan selau ada untuknya, yang selalu menjaga dan mengasihinya lebih dari yang bisa diberikan oleh siapapun selain orangtua kandungnya sendiri. Jadi, panggilan apa lagi…
Mendadak Pangeran Zhu Di tersentak saat ia menyadari sesuatu. Ya, memang tak terhitung kali ia memanggil kasim tuanya itu, namun panggilan yang ia berikan adalah…’bodoh’, ‘tolol’, ‘kau’, ‘orangtua lamban’, dan puluhan panggilan lain yang kesemuanya keluar dengan semburan rasa jengkelnya. Panggilan yang sesungguhnya sama sekali berlawanan dengan besarnya arti kasim tua itu baginya.
Kabut di kedua mata Pangeran Zhu Di semakin menebal seiring rasa sakit baru yang muncul secara tiba-tiba bersama kesadarannya. Sakit yang mungkin telah terlambat untuk diobati. Sakit yang datang disaat ia menyadari bahwa ia telah mensia-siakan orang yang sebenarnya sangatlah berarti baginya namun kesadaran itu muncul justru disaat hati kecilnya membisikkan keterlambatan waktu baginya. Pangeran Zhu Di menarik nafas panjang mencoba mengurai ikatan menyesakkan yang menjerat ruang dadanya sebelum kemudian bibirnya bergerak.
“Paman…Paman Anta” bisik bibir indah Pangeran Zhu Di. Bisik halus yang memberikan pengaruh luar biasa pada tubuh tua di depan sang pangeran. Sepasang mata Kasim Anta yang semula telah menutup, membuka dalam binar cahaya yang jelas menunjukkan rasa bahagia sementara bibir yang tak henti melelehkan darah hitam itu terlihat kembali mengurai senyum. Hati Pangeran Zhu Di terasa dicabik dengan keras. Ternyata dugaannya benar. Bibir sang pangeran bergetar saat bisikannya kembali terdengar. “Paman Anta, kau dengar aku? Tabib pasti akan…menyembuhkanmu”.
Sepasang mata Kasim Anta menatap Pangeran Zhu Di. Tak banyak cahaya yang tersisa dalam pancaran binar di mata itu. Hanya pesan bahagia yang terlihat dengan jelas sementara sepasang bibir yang mengurai senyum itu tetap terkatup tanpa tanda gerak adanya kata.
“Paman Anta…bicaralah padaku” bisik Pangeran Zhu Di. Nadanya yang dihiasi getar melukiskan gemuruh hebat di dada pemuda itu. “Kumohon bicaralah padaku”.
Tetap sunyi melingkupi ruang kamar yang mewah milik Pangeran Zhu Di. Tetapi, seolah dapat mendengar gemuruh di hati pangeran keempat, mendadak Kasim Anta menarik satu tangannya dari genggaman Pangeran Zhu Di lalu, dengan gerak lemah, tangan yang telah terbebas itu terangkat ke arah pipi Pangeran Zhu Di dan membekap pipi halus yang mendingin oleh kepanikan yang datang menggulung.
Pangeran Zhu Di sedikit menelengkan kepalanya ke arah telapak tangan yang mendekap pipinya. Sepasang matanya mengerjab seolah dengan cara itu, kabut tebal yang menghalangi pandangannya dapat tertepis. Kesunyian yang melingkupi ruang kamar semakin kental terasa. Pangeran Zhu Di telah mendiami kamar ini sejak awal mula kehidupannya sehingga ia sangat mengenali setiap sudutnya. Entah berapa kali ia berdiam sendiri di kamar ini terutama di saat ia diliputi perasaan sedih ataupun marah. Dan, selama sekian belas tahun ia memiliki kamar ini, ia telah sangat mengenal kesunyian yang tercipta disaat kesendiriannya.
Tetapi…kesunyian yang dirasakannya saat ini sungguh terasa berbeda. Kesunyian yang melingkupinya terasakan seperti…kehampaan.
Seolah ia kini benar-benar sendirian…
Kesendirian yang terjadi bukan karena ia menepi dari orang-orang lain di luar kamar melainkan kesendirian yang tercipta karena ia memang benar-benar sendirian. Kesendirian yang tak akan tersembuhkan meski ia melangkah keluar dari ruang kamar ini untuk bertemu dengan sekian banyak manusia lain.
Kesendirian yang hampa dan terasa sangat mengikat…
Membuat sang pangeran tampan yang cerdas itu seperti tak lagi menyadari saat mendadak, pintu kamar terbuka dengan keras dan seorang pemuda melangkah masuk diikuti oleh sosok lelaki lain di belakangnya. Pemuda berparas rupawan yang sesaat terbelalak ketika menatap pemandangan yang terpampang di depannya matanya. Sepasang matanya yang jernih indah menatap sosok Kasim Anta yang terbujur diam. Wajah kasim tua itu terlihat demikian tenang dengan seulas senyum menghias bibirnya yang biru hitam sementara sepasang mata pengasuh pangeran keempat itu terpejam rapat. Tak terlihat tanda nafas. Tak terlihat tanda gerak. Segala yang tampak dari sosok Kasim Anta hanyalah kesunyian yang tenang.
Sangat tenang dan abadi.
Si pemuda rupawan bergerak pelan mendekat ke arah ranjang. Pandangannya kini beralih pada Pangeran Zhu Di yang diam tak bergerak.
“Adik Zhu Di?...hamba Changyi datang menghadap” ucap si pemuda rupawan saat ia telah sampai tepat di belakang sosok Pangeran Zhu Di yang diam mematung.
Patung hidup yang tak lagi menyadari kehadiran siapapun di dekatnya selain sebidang dada yang menjadi tumpuan kepalanya. Sebidang dada yang tak lagi mendetakkan kehidupan sejak tangan yang mendekap pipinya jatuh dan terkulai seiring menutupnya sepasang mata yang selama belasan tahun selalu menatapnya dalam kehangatan kasih dan sayang…
**********

Senin, 31 Oktober 2016

Straight - Episode 8 (Bagian Dua)

 Sudut istana itu terlihat sunyi. Desah suara angin pagi buta semakin menguatkan kelengangan tempat yang menjadi pusat penyimpanan senjata tersebut. Cahaya temaram yang berasal dari lampu minyak di beberapa tempat belum mampu memberikan penerangan yang cukup pada bentangan rerumputan yang basah oleh embun malam di atas tanah. Demikian pula lampu-lampu kertas yang tergantung di langit-langit bangunan gudang senjata yang semakin lama cahayanya justru semakin meredup setelah memerangi kegelapan malam.
Dan di atas tanah berselimut rumput basah yang masih gelap itulah dua sosok tubuh berselubung jubah panjang hitam tersebut berdiri. Satu sosok bertubuh tinggi dan gagah terlihat berdiri dengan sikap waspada memperhatikan ke sekeliling penjuru sudut istana sementara sosok lain yang bertubuh lebih pendek berdiri dalam jarak beberapa langkah di belakang sosok gagah yang lebih dulu tiba dan turut pula memperhatikan kesunyian tempat di sudut istana yang jarang diambah oleh manusia selain para prajurit tersebut.
“Tuan Muda Xu Changyi…sepertinya, kita telah terlambat” bisik sosok bertubuh lebih pendek pada lelaki gagah dalam balutan jubah panjang di depannya.
Changyi mengedarkan pandangannya dan segera membenarkan perkataan lelaki di belakangnya. Terdengar suara desah berat dari dada pemuda tersebut. Tempat ini sungguh sunyi dan sama sekali tak terlihat tanda adanya kegiatan manusia.
Ke mana para prajurit dan Jenderal Lan Yu? Di mana pula tubuh adiknya?. Kelengangan yang terasa mencekam seolah membisikkan bahwa pelaksanaan hukuman yang dilakukan di tempat ini beberapa saat lalu tak pernah terjadi.
Changyi berjalan pelan seraya sedikit membungkukkan tubuhnya memperhatikan hamparan rumput di bawah kakinya. Kesunyian yang ia lihat memang seperti menyembunyikan apa yang baru saja terjadi di tempat ini, namun ia merasakan hal lain yang memberinya keyakinan bahwa pelaksanaan hukuman mati pada satu-satunya saudara sejiwanya telah terjadi di tempat ini.
Aroma amis darah terasa membungkus udara di sekitar tempat ini. Changyi bisa menciumnya dengan sangat jelas. Aroma darah itu bercampur dengan aroma lain yang terasa tajam membuat benak Changyi membayangkan semangkuk racun kuat semakin alat untuk membunuh saudara sejiwanya.
Dada Changyi telah bergolak demikian keras sementara langkah kakinya bergerak lamat menapaki tiap jengkal rerumputan di bawah kakinya mencari-cari jejak darah yang membuat jantungnya serasa hendak meledak oleh kepedihan.
“Tuan Muda Xu…sepertinya di sini” ujar lelaki  yang dengan setia mengikuti Changyi di belakang pemuda itu.
Changyi menoleh ke arah lelaki yang berjalan beberapa langkah darinya.
“Paman Bohai menemukannya?” tanya Changyi seraya bergerak mendekat.
“Benar Tuan Muda” Perwira Bohai mengangguk seraya menunjuk hamparan rumput tepat di bawahnya. “Lihatlah, rumput pada bagian ini terlihat rusak. Juga percikan darah di atasnya”.
Changyi menatap ke arah rumput yang ditunjuk oleh Perwira Bohai dan segera menemukan apa yang dimaksud oleh prajurit setia itu. Rerumputan tepat depan kaki mereka tersebut terlihat rusak. Cahaya samar lampu minyak yang memancar telah cukup membantu kedua mata Changyi untuk melihat bagian rumput yang rebah dan sebagian lagi justru tercabut dari tanah. Tampaknya, sesuatu yang berat dan sebuah kegiatan yang melibatkan banyak orang dengan mengeluarkan tenaga yang besar telah terjadi di tempat itu membuat kedua mata Changyi seketika berkaca-kaca.
Apa yang dapat ia bayangkan dari keadaan rumput yang rusak itu hanyalah adiknya yang terikat di atas tanah dalam keadaan tertelungkup dan beberapa prajurit memukulinya dengan menggunakan potongan kayu atau besi yang keras. Ia pernah melihat hukuman seperti  itu sebelumnya. Orang yang dianggap bersalah akan dipukul dengan kayu atau besi oleh beberapa prajurit dalam keadaan terikat dan mulut di sumpal oleh kain sehingga tidak dapat berteriak kesakitan. Ada yang dipukul sampai mati namun ada pula yang hanya dipukul beberapa saat sebelum kemudian dipenggal, digantung, diseret dengan kuda atau dijejali racun. Seringkali, keadaan penjahat yang telah lemas karena banyaknya pukulan keras yang diterimanya membuat si penjahat itu tak lagi mampu mengeluarkan suara meskipun kain penyumpal mulutnya telah dibuka.
Changyi berlutut saat ia menemukan genangan kecil darah di atas rerumputan. Ujung jari telunjuk pemuda itu terlihat bergetar saat menyentuh genangan kecil darah di atas rumput. Seberapa parah luka yang di alami oleh adiknya sebelum racun mengakhiri hidup saudaranya itu?.
“Tapi…ke mana mereka membawa tubuh Adik Chen?” tanya Changyi tanpa menoleh ke arah Perwira Bohai di belakangnya. “Mestinya tubuh Adik Chen masih ada di sini”.
“Sepertinya kita harus mencari tahu ke mana Jenderal Lan Yu memerintahkan prajuritnya untuk membawa tubuh Tuan Chen. Apakah Tuan Muda Xu mengijinkan saya untuk memeriksa ke barak prajurit khusus?” jawab Perwira Bohai menawarkan.
Changyi berdiri dan berbalik ke arah prajurit yang selalu mengikutinya kemanapun itu. Sekilas kilat tajam terlihat di sepasang mata indah pemuda itu membuat hati Perwira Bohai terasa berdesir. Tampaknya pemuda rupawan yang selalu terlihat bersinar dan ceria itu kini sungguh-sungguh terluka.
“Jenderal Lan Yu…” desis Changyi dengan suara dalam. “Paman Bohai tidak perlu melakukan hal itu. Biar aku sendiri yang akan menemuinya”.
Perwira Bohai menatap Changyi dengan kening berkerut. Meski wajah pemuda di depannya itu masih tetap rupawan, namun ia dapat melihat kilatan tajam serupa petir di sepasang mata yang biasa bening dan berbinar itu. Dan hal itu membuat Perwira Bohai merasa cemas. Ia telah mengikuti Jenderal Xu Da demikian lama, bahkan sejak ia masih remaja karena Jenderal Xu Da-lah yang telah menemukannya saat ia hanyalah seorang prajurit penjaga pintu gerbang istana yang tak pernah dilihat dua kali oleh siapapun. Karena itu, saat kemudian Jenderal Xu Da mengambil Changyi sebagai putra angkat dan ia mendapat tugas dari sang panglima tertinggi kerajaan itu untuk selalu mengawal Changyi terutama dalam saat-saat yang genting hingga waktu sekarang, hingga sedikit banyak ia telah memahami pemuda yang telah menjadi pusat perhatian semua orang terutama para gadis dan wanita di seluruh penjuru mata angin tersebut. Apa yang dilihatnya saat ini bukanlah sebentuk keramahan hati seorang pemuda seperti yang biasa terlihat dalam kesehariannya. Kilatan petir di kedalaman sepasang mata pemuda itu jelas mengisyaratkan kemarahan.
Kemarahan yang berbalut dendam oleh kepedihan yang menggulung batin pemuda itu tanpa ampun!
Dan bukanlah hal yang baik jika Changyi bertemu dengan Jenderal Lan Yu dalam  balutan api dendam seperti itu. Terlebih karena ia tahu seburuk apa hubungan antara Jenderal Lan Yu dengan Jenderal Xu Da sejak Kaisar Hongwu mengangkat Jenderal Xu Da sebagai panglima tertinggi kerajaan.
“Tuan Muda…saya kira, menemui Jenderal Lan Yu secara langsung bukanlah hal yang baik karena saya yakin dia tidak akan mengatakan yang sesungguhnya terlebih Jenderal Lan Yu tahu bahwa Tuan Muda Xu adalah putra dari Jenderal Xu Da. Saya bermaksud pergi ke barak prajurit khusus adalah karena saya tahu akan lebih mudah mendapatkan keterangan tentang apa yang terjadi di tempat ini” ujar Perwira Bohai seraya menatap pemuda di depannya.
Changyi menghela nafas sesaat. Ia mengerti pada kebenaran yang ada dalam kalimat Perwira Bohai. Adalah hal yang sulit untuk mendapatkan keterangan dari Jenderal Lan Yu terlebih dengan buruknya hubungan antara jenderal dari Kementerian Pertahanan itu dengan ayahnya. Kesadaran 
“Saya mengenal beberapa prajurit khusus Tuan Muda. Dan saya yakin mereka pasti bisa membantu kita. Sekarang lebih baik kita…”
“Hei!...siapa di sana!” sebuah suara bentakan keras menghentikan kalimat Perwira Bohai dan mengejut kedua orang yang tengah berdiri di atas rumput bernoda darah tersebut.
Perwira Bohai menoleh ke arah asal suara dan melihat seorang prajurit yang berdiri tegak di sudut bangunan barak senjata. Satu tangan prajurit itu memegang sebuah obor minyak yang diangkat tinggi-tinggi. Tampaknya prajurit itu adakah seorang prajurit yang tengah mendapat tugas berjaga di barak senjata tersebut. Perwira Bohai membuka mulut bersiap untuk bersuara menjawab bentakan dari prajurit jaga di sudut bangun barak namun mendadak sebuah desiran angin bersiut sesaat. Hanya sedetik dan pada detik selanjutnya Perwira Bohai melihat si prajurit jaga yang membentak mereka itu telah terhimpit ke dinding barak sementara Changyi yang masih tersembunyi di balik jubah hitamnya berdiri di depan prajurit tersebut. Satu tangan pemuda itu mencengkeram leher si prajurit dalam bentuk cakar yang kuat membuat si prajurit mengeluarkan suara tercekik.
“Katakan di mana kasim yang baru saja dihukum mati di tempat ini!” desis Changyi dengan suara tajam dan dalam.
“Ss…siapa kau?” suara si prajurit nyaris tak terdengar karena cekikan keras di lehernya.
Pertanyaan yang fatal karena suasana hati Changyi yang sangat buruk membuat pemuda itu tak lagi memiliki kesabaran dan belas kasih. Hanya setengah detik setelah si prajurit mengeluarkan suaranya, mendadak terdengar suara berderak keras saat satu tangan Changyi yang bebas menyentakkan tangan kanan si prajurit hingga lepas dari sambungannya. Si prajurit jaga yang malang itu berteriak setinggi langit ketika sengatan rasa sakit luar biasa menyerang lengannya. Namun cekikan kuat di lehernya membuat suara jeritan si prajurit teredam di ujung tenggorokan dan hanya menyisakan seraut wajah pias serta sepasang mata yang membeliak nanar.
“Jawab saja apa yang kutanyakan!” bentak Changyi seraya mengetatkan cekikannya.
“Tuan Muda…saya mohon bersabarlah. Jika dia mati, akan timbul masalah baru karena barak senjata ini adalah wilayah tugas Jenderal Lan Yu” bisik Perwira Bohai yang telah berada di sisi Changyi. Satu tangan prajurit setia itu memegang tangan Changyi yang tengah mencengkeram leher si prajurit jaga dengan kuat.
Namun, Changyi yang kini berada di sisi Perwira Bohai bukan lagi pemuda rupawan yang selama ini dikenal Perwira Bohai sebagai seorang pemuda yang cerdas dan berhati baik. Pemuda yang kini berdiri di sisinya adalah seorang lelaki muda yang tengah gelap oleh kedukaan dan kemarahan sehingga apapun kalimat yang diucapkan oleh Perwira Bohai hanyalah hembusan angin yang bertiup tanpa arti. Melihat bahwa pemuda di sisinya telah digelapkan oleh kemarahan, perwira yang setia itu mengulurkan tangannya dan memegang dagu prajurit yang mengerut kesakitan oleh cekikan kuat Changyi di lehernya kemudian mengarahkan wajah si prajurit yang sial itu ke arahnya.
“Dengar!..jika kau masih ingin hidup, jawab saja pertanyaannya!” tegas Perwira Bohai membuat si prajurit sedikit membeliakkan sepasang matanya yang mulai memerah oleh rasa sakit.
“Bb..baik..baik” terdengar suara si prajurit yang kesakitan seraya berusaha menganggukkan kepalanya. Setitik darah mulai mengalir dari mulutnya. Namun, jawaban yang diberikannya membuat cengekeraman jemari tangan Changyi sedikit mengendur. Si prajurit menggunakan kesempatan itu untuk memenuhi ruang dadanya yang sesak karena nafasnya yang nyaris terputus.
“Di mana kasim yang dihukum mati di sini?” Changyi mengulangi pertanyaannya. Suaranya masih terdengar tajam meski nadanya telah sedikit mengendur, tak lagi berupa bentakan seperti sebelumnya.
“It..itu…kasim itu, Pangeran Keempat membawanya” jawab si prajurit membuat Changyi dan Perwira Bohai terkejut. “tepat setelah kasim itu meminum racunnya, Pangeran Keempat datang bersama dan langsung membawanya pergi”
 Cengkeraman tangan Changyi pada leher si prajurit seketika terlepas. Si prajurit yang telah terbebas menatap ke arah Changyi dan sedikit merendahkan kepalanya berusaha mengintip wajah di balik jubah hitam yang menutup kepala lelaki di depannya. Namun, belum lagi ia berhasil mengenali wajah di balik jubah hitam penutup kepala itu, mendadak sosok lelaki yang nyaris mengakhiri hidupnya di pagi buta itu telah melesat lenyap dari hadapannya dan hanya meninggalkan suara siuran angin tajam sekilas serta aroma harum semerbak. Kening si prajurit mengerut saat ia mencium aroma harum yang ditinggalkan oleh sosok lelaki berbalut jubah yang semula berdiri di depannya. Aroma harum seperti yang dihirupnya sekarang demikian halus namun tak hilang meski si pemilik keharuman itu telah pergi. Dan keharuman yang melekat seperti ini hanya dimiliki oleh beberapa orang saja. Alis si prajurit turut mengerut ketika ia mencoba mengingat-ingat sosok bangsawan yang memiliki keharuman seperti yang dihirupnya sekarang ini, namun beberapa saat kemudian, lelaki yang sedikit kurus itu mendesah.
“Siapa dia? Aku seperti pernah mencium wangi tubuh yang seperti ini. Tapi aku lupa siapa orangnya” gumamnya. Sepasang matanya menatap arah di mana sosok Changyi menghilang beberapa detik lalu.
“Sudahlah..sebaiknya kau pergi dan lanjutkan tugasmu” ujar Perwira Bohai sedikit membentak mengejutkan si prajurit jaga. “Dan ingat!..jangan mengatakan pada siapapun perihal kami. Jika kau melaporkan keberadaan kami, maka kami berdua akan kembali dan emmbunuhmu. Kau mengerti?!”.
“Up..itu..baik..baik Tuan” jawab si prajurit jaga mengangguk takut. Kakinya surut beberapa langkah ke belakang untuk membuat jarak dengan Perwira Bohai. Kedua mata prajurit itu menatap Perwira Bohai yang tersembunyi di balik jubahnya sesaat kemudian tiba-tiba tangan kanannya menunjuk ke depan. “Tuan..Tuan..suara Tuan, aku tahu! Tuan adalah…”
“Plakk!” sebuah tamparan keras yang tiba-tiba mendarat di pipi si prajurit jaga memutus kalimat lelaki itu dan membuatnya terpelanting pingsan seketika.
Sunyi menyelimuti sudut istana di sisi barak senjata sementara sosok Perwira Bohai telah lenyap dari tempatnya. Meninggalkan tubuh prajurit jaga yang tergeletak pingsan.
*********

Minggu, 18 September 2016

Straight - Episode 8 ( Bagian Satu )

“Malam berseri, indah damai dalam hati
Kau berikan rasa ini, hingga dapat ku bermimpi
Tentang maaf yang bersemi
Tentang cinta yang tak letih
Dan kuharapkan kekasih
Tak perlu bertengkar lagi
Tak perlu menangis lagi
Biarkan kita mengalir sampai nanti….”
( Puisi Adinda – Song by Ariel Noah )

Rumah Jenderal Xu Da…
Bayangan itu bergerak cepat melintasi halaman yang luas seolah kilasan gelap sesaat yang tak sempat tertangkap oleh mata. Sosok bayangan yang jelas tinggi menjulang dalam balutan jubah panjang itu tak berhenti meski telah melewati halaman luas dan melompati sebuah taman lebar. Tepat di belakangnya, satu sosok lain bergerak dengan cepat berusaha untuk menyusul meskipun tampaknya, kemampuan geraknya masih jauh di bawah sosok pertama yang kini telah sampai di beranda rumah utama, melintasi pintu demi pintu tanpa maksud untuk berhenti sama sekali, hingga sebuah suara terdengar tajam disusul terkuaknya satu pintu yang terletak di sisi ujung bangunan utama tersebut.
“Changyi!” suara yang berat itu terdengar dengan sangat jelas meski tak keras, mengumandangkan kewibawaan yang sangat kuat hingga memaksa sosok bayangan yang bergerak cepat di depan setiap pintu tersebut seketika menghentikan langkahnya. Sosok lain di belakang bayangan pertama turut berhenti dan seketika membungkuk hormat saat seorang lelaki bertubuh tinggi besar melangkah keluar dari pintu yang terbuka.
“Jenderal” sebut bayangan kedua yang membungkuk penuh hormat tersebut demikian ia melihat Jenderal Xu Da.
“Changyi?” panggil Jenderal Xu Da mengalihkan pandangannya dari sosok pertama yang terlihat berdiri termangu. “Kenapa kalian datang hanya berdua? Di mana Xiao Chen?”
Tak terdengar jawaban. Hanya sebuah gerak perlahan dari sosok pertama yang terlihat menarik lepas jubah penutup kepalanya, menampakkan seraut wajah rupawan yang pias nanar.
“Changyi?” tegur Jenderal Xu Da saat ia tak mendapakan jawaban dari mulut Xu Changyi.
Changyi tertunduk. Terlihat gerakan kasar di lehernya saat pemuda itu berusaha menelan ludah seolah apa yang tengah melewati kerongkongannya adalah sebongkah batu berduri yang amat keras dan tajam.
“Ayah…kita telah terlambat” bisik Changyi sehalus angin.
Jenderal Xu Da mengerutkan alisnya saat mendengar jawaban yang nyaris hanya berupa desisan daun tersebut.
“Terlambat?” tanyanya kemudian seraya menatap putranya. “Apanya yang terlambat? Apa yang sebenarnya terjadi?”
Changyi kembali terdiam. Wajahnya tertunduk dalam kekosongan yang menyengat membuat Jenderal Xu Da tak lagi sabar menunggu. Maka, setelah mengeluarkan satu  dengusan keras, panglima tertinggi kerajaan itu mengalihkan tatapan matanya ke arah sosok kedua yang juga telah melepaskan jubah penutup tubuhnya dan menampakkan sosok gagah Perwira Bohai, prajurit setia yang selalu mengikuti Jenderal Xu Da kemanapun.
“Perwira Bohai…katakan padaku, apa yang terjadi? Apanya yang terlambat? Apakah kalian gagal untuk membawa Xiao Chen?” tanya Jenderal Xu Da pada prajuritnya.
Perwira Bohai terlihat membungkukkan tubuhnya.
“Benar Jenderal” jawab Perwira Bohai saat ia telah berdiri tegak kembali. “Saat kami tiba di penjara bawah tanah, ternyata Kasim Chen telah di bawa pergi. Ruang penjara paling ujung itu kosong. Prajurit penjaga yang kami sandera mengatakan bahwa Kasim Chen telah dibawa tepat tengah malam dan telah dihukum mati atas perintah dari Yang Mulia Kaisar”.
Jenderal Xu Da terlihat terkejut. Sejenak pandangannya kembali pada sosok putranya sebelumnya kemudian ia menatap Perwira Bohai.
“Hukuman mati telah dilaksanakan tepat tengah malam? Tapi, itu bukan kebiasaan Yang Mulia Kaisar. Biasanya, hukuman mati akan dilaksanakan di pagi hari atau bahkan di siang hari agar bisa menjadi pelajaran bagi banyak orang untuk tidak melakukan kesalahan yang sama” ujar Jenderal Xu Da. “Apakah kau mendapatkan informasi yang lain Perwira Bohai? Di mana hukuman mati itu dilakukan?”
“Hukuman mati dilakukan di sisi utara istana, di dekat barak senjata Jenderal” sahut Perwira Bohai dengan cepat. “Menurut keterangan prajurit penjaga penjara itu, hukuman mati yang dilakukan dengan racun sebagaimana kejahatan yang telah dilakukan oleh Kasim Chen pada Pangeran Keempat”.
“Barak senjata? Itu lebih aneh lagi. Sudut istana di sisi barak senjata bukan tempat biasa digunakan untuk pelaksanaan hukuman mati. Kenapa Yang Mulia Kaisar mengambil tempat itu?” gumam Jemderal Xu Da. “Apakah Yang Mulia Kaisar datang untuk menyaksikan pelaksanaan hukuman mati itu Perwira Bohai?”
Perwira Bohai menggeleng tegas. “Menurut keterangan prajurit itu, Yang Mulia Kaisar tidak datang. Juga, tidak ada pejabat yang datang untuk melihat pelaksanaan hukuman mati Kasim Chen”
Kening Jenderal Xu Da berkerut semakin dalam. Adalah hal yang sangat aneh jika hukuman mati, terlebih untuk satu kejahatan besar dilaksanakan tanpa kehadiran kaisar dan pejabat kerajaan. Biasanya, penjahat-penjahat besar seperti pengkhianat negara ataupun orang-orang yang melakukan kejahatan pada keluarga raja akan dihukum mati dengan menghadirkan kaisar, anggota keluarga raja dan pejabat istana. Jika seandainya kaisar tidak bisa hadir dalam pelaksanaan hukuman mati, maka pasti akan ada anggota keluarga raja ataupun pejabat kerajaan yang menjadi wakil raja. Namun kini, dalam pelaksanaan hukuman mati terhadap Kasim Chen, bukan saja kaisar tidak hadir namun juga tak satupun anggota keluarga raja dan pejabat kerajaan yang datang untuk menyaksikan pelaksanaan hukuman pada kasim remaja yang dituduh melakukan kejahatan dengan racun pada Pangeran Zhu Di tersebut.
Dan ini adalah hal yang sungguh aneh!.
Aneh sebab seolah-olah, pelaksanaan hukuman mati itu dilakukan secara tersembunyi dan ditutupi!.
Aneh sebab hukuman mati itu dilakukan lebih cepat dari waktu seharusnya dan di saat yang tak biasa yaitu ditengah malam sehingga tak ada orang yang menyaksikan agar menjadi bahan pelajaran bagi rakyat luas!
Dan aneh sebab hukuman mati itu dilakukan di tempat yang tertutup, bukan tempat biasa untuk melaksanakan hukuman mati sebab selama ini hukuman mati selalu dilakukan di tempat terbuka sehingga bisa disaksikan oleh banyak orang!.
Kemudian, dengan adanya semua keanehan-keanehan itu, satu pertanyaan paling mendasarpun muncul di benak Jenderal Xu Da.
Ada apa sebenarnya?
Atau…apa yang sesungguhnya tengah terjadi?
Pandangan Jeneral Xu Da beralih pada putranya yang berdiri dengan tubuh mengejang kaku dan wajah pias.
“Changyi…”
“Ayah” Changyi bergerak dan memutar tubuhnya menghadap ke arah ayah angkatnya. Sebuah binar tekad terlihat berkelebat di kedalaman matanya dan menjadi warna lain yang meronai selain gelombang kepedihan yang memenuhi setiap sudutnya. “Saya ingin melihat Adik Chen, untuk terakhir kali. Ijinkan saya pergi Ayah”.
Jenderal Xu Da termangu sesaat. Saat ini telah menjelang pagi hari dan hukuman mati telah dilaksanakan tepat tengah malam tadi. Kemungkinan besar saat ini Xiao Chen telah tewas. Namun, meskipun demikian, biasanya tubuh orang yang dihukum mati masih akan dibiarkan berada di tempat pelaksanaan hukuman hingga beberapa saat sebelum dibawa pergi untuk dihanyutkan ke sungai atau diberikan pada binatang buas sebagai makanan. Kedatangan Changyi ke tempat pelaksanaan hukuman mati Xiao Chen pasti akan menimbulkan pertanyaan dan kecurigaan, namun dengan gelombang kepedihan yang bergumpal-gumpal bagaikan badai di kedua mata Changyi seperti yang dilihatnya saat ini, bisakah ia menahan putranya itu?.
“Baiklah” jawab Jenderal Xu Da kemudian. “Tapi kendalikan dirimu. Ingat baik-baik bahwa kau adalah putraku dan Ayah ingin kau menjaga kehormatan dirimu. Tidak semua orang di istana adalah kawanmu, jangan lupakan itu. Apa kau mengerti Changyi?”.
Changyi menatap ayah angkatnya beberapa saat dengan sepasang mata memerah yang terasa bagaikan sebuah palu menggedor dinding nurani Jenderal Xu Da, memaksa sang panglima tertinggi kerajaan yang amat berkhaisma itu menarik sudut-sudut bibirnya dan mengurai sebuah senyum.
Tetapi, senyum ayah angkatnya itu justru terasa semakin memperjelas rasa pedih yang dirasakan oleh Changyi. Xiao Chen adalah adiknya, saudara sejiwanya meski orangtua mereka bukanlah orangtua yang sama. Namun mereka telah melalui waktu bersama sejak pertama mengenal kehidupan di dunia. Dan kedekatan sejiwa itu jauh lebih kuat daripada ikatan darah persaudaraan. Mestinya, ia bisa menemui Xiao Chen kapanpun ia mau. Mestinya ia dan Xiao Chen bisa bersama sebagaimana dahulu, seperti yang ia cita-citakan saat ia pertama datang ke istana ini. Tetapi kini, kenyataan yang terbentang di depan mata justru sangat berbeda. Kedatangannya ke istana justru menjadi jurang pemisah yang amat tajam di antara dirinya dan saudara sejiwanya. Bukan saja ia tak bisa bersama dengan Xiao Chen seperti dulu, namun lebih dari itu, ia dan Xiao Chen bahkan berdiri pada sisi yang sangat berbeda, bahkan berlawanan. Ia berdiri sebagai anak pejabat tinggi istana yang sangat dihormati oleh semua orang. Sebagai seorang tuan muda yang bahkan telah dianggap sebagai bagian dari kerabat kaisar sementara adiknya berdiri sebagai seorang kasim, seorang pelayan yang keberadaannya bahkan tak pernah dipandang dua kali. Pelayan yang mesti membungkuk hormat bila mereka bertemu dan melayaninya dengan sebaik mungkin. Dan kini, di saat terakhir kali ia mungkin masih bisa melihat saudara sejiwanya itupun, jurang pemisah yang amat tajam itu tetap saja tak memberinya kesempatan untuk memiliki adiknya sebagaimana seharusnya.
“Baik Ayah, saya tidak akan lupa semua pesan Ayah” sahut Changyi  setelah beberapa saat. Kepala berhias rambut hitam legam itu terlihat mengangguk sebelum kemudian, sosoknya yang tinggi gagah bergerak. Hanya gerak sekilas yang seolah tak berarti namun sekejab kemudian sosok rupawan yang telah merebut seluruh ruang di hati Jenderal Xu Da itu telah lenyap dari pandangan mata dan hanya meninggalkan sebuah siuran angin singkat yang segera menghilang sedetik kemudian.
Jenderal Xu Da menarik nafas panjang sebelum kemudian berpaling ke arah Perwira Bohai yang masih berdiri beberapa langkah darinya.
“Ikuti putraku” perintah Jenderal Xu Da pada prajurit setia yang menjadi kepercayaannya. “Apapun yang kalian lihat di sana nanti, jangan biarkan Changyi menjadi lupa dan mempermalukan dirinya sendiri”.
“Baik Jenderal” sahut Perwira Bohai cepat yang segera membungkuk hormat sebelum kemudian, sosoknya turut berkelebat lenyap pula dari hadapan Jendera Xu Da, melesat ke arah mana bayangan Changyi menghilang sebelumnya.
Jenderal Xu Da masih berdiri sesaat seraya menatap ke arah mana dua bayangan yang semula berdiri di dekatnya menghilang. Kemudian, lelaki yang sangat dihormati itupun bergerak melangkah ke arah pintu yang masih terbuka. Kedua kakinya telah nyaris mencapai batas pintu saat mendadak, suara langkah kaki dari arah belakang terdengar cepat membuat Jenderal Xu Da seketika menoleh ke belakang dan menemukan seorang prajurit yang setengah berlari datang mendekat. Kening sang panglima tertinggi kerajaan itu berkerut ketika ia mengenali si prajurit sebagai salah satu prajurit khusus di istana Kaisar Hongwu. Ada apa prajurit penjaga istana kaisar datang pada pagi buta seperti ini?
“Ada apa?” tanya Jenderal Xu Da bahkan sebelum si prajurit yang berlari datang mendekat itu sempat mengucapkan satu kata.
“Jenderal, Yang Mulia Kaisar memanggil Jenderal untuk datang ke istana saat ini juga” jawab si prajurit setelah membungkuk hormat.
“Ke istana? Sekarang juga?” ulang Jenderal Xu Da seraya menatap prajurit di depannya. Kerut di kening sang jenderal semakin dalam. Satu lagi keanehan terjadi di pagi yang masih gelap ini. Kenapa kaisar memanggilnya di pagi buta seperti ini?.
“Benar Jenderal. Yang Mulia Kaisar ingin Jenderal datang menghadap saat ini juga” sahut si prajurit.
Jenderal Xu Da mengangguk.
“Baiklah” katanya kemudian. “Kau pergilah lebih dulu. Aku akan segera menyusul”.
“Baik Jenderal” jawab si prajurit seraya memberi hormat.
Jenderal Xu Da masih berdiri menatap kepergian prajurit khusus penjaga istana kaisar hingga menghilang di balik pintu gerbang depan sebelum kemudian, panglima perang yang sangat disegani itu  melanjutkan langkah kakinya yang sempat terhenti. Kali ini, sang jenderal bergerak cepat masuk ke dalam rumah dan menutup kembali pintu di belakangnya.
Sesaat kemudian, dari arah gerbang rumah Keluarga Xu terlihat melesat seekor kuda yang melaju menuju istana kaisar membawa sosok gagah penuh kharisma panglima tertinggi kerajaan…
************

“Apa?!...itu tidak mungkin terjadi! Bagaimana bisa?!” teriak Perdana Menteri Hu Weiyong dengan sepasang mata membeliak. Rona wajahnya sekejab memerah dan sesaat kemudian memutih menandakan gejolak kemarahan bercampur rasa terkejut yang amat sangat. Pandanganya tajam menusuk ke arah dua lelaki berpakaian prajurit yang berdiri dengan raut kecut di depannya. “Katakan padaku, apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana bisa Yang Mulia Kaisar merubah keputusannya demikian cepat?”.
“Mengenai Yang Mulia Kaisar merubah keputusannya dengan sangat cepat itu, kami sama sekali tidak tahu Tuanku. Kami hanya mengetahui bahwa Kasim Chen telah dibawa ke istana Yang Mulia Kaisar tepat sebelum tengah malam dan setelah itu, kami tidak lagi melihat sosok Kasim Chen. Saat tengah malam tiba, kami melihat seorang lelaki dibawa keluar dari istana kaisar oleh prajurit khusus yang dipimpin oleh Jenderal Lan Yu. Lelaki itu dibawa ke sudut istana di bagian utara di dekat barak senjata” tutur seorang prajurit pada Perdana Menteri Hu Weiyong.
“Lalu, bagaimana Pangeran Keempat bisa sampai di tempat itu dan menghentikan pelaksanaan hukuman mati?” tanya Perdana Menteri Hu Weiyong kemudian.
“Maafkan kami Tuan Hu, mengenai hal itupun, kami tidak tahu. Kami hanya mengikuti rombongan Jenderal Lan Yu yang membawa lelaki dengan tutup hitam di kepalanya itu ke sudut istana dekat barak senjata dan selanjutnya kami melihat lelaki itu menerima seratus pukulan pada tubuhnya. Kemudian, saat lelaki itu hendak meminum racun yang diberikan, tiba-tiba Pangeran Keempat muncul dan menghentikan semuanya” jawan satu prajurit yang lain.
“Jadi…jika demikian, maka lelaki yang dihukum itu belum sempat meminum racun yang diberikan padanya? Apakah benar begitu?” tanya Perdana Menteri Hu Weiyong dengan kening berkerut.
“Tampaknya, meski sedikit, racun itu telah berhasil memasuki tubuh lelaki itu Tuanku” sahut si prajurit.
“Tampaknya?...kalian tidak yakin dengan apa yang kalian lihat?” kejar Perdana Menteri Hu Weiyong dengan nada tajam dan sorot mata penuh cela.
“Maafkan kami Tuan Hu” jawab satu prajurit kedua dengan suara agak bergetar. “Sebenarnya, kami memang tidak dapat melihat dengan jelas karena tempat kami mengintai cukup jauh. Tetapi, melihat bagaimana tubuh lelaki itu menjadi sangat lemah dan Pangeran Zhu Di yang berteriak marah kemudian memeluk tubuh lelaki itu, kami dapat menyimpulkan bahwa lelaki itu telah sempat meminum racun yang diberikan kepadanya”.
“Hmmm…” gumam Perdana Menteri Hu Weiyong seraya memegang dagunya yang bergaris tajam. Sepasang matanya bergerak menandakan bahwa pejabat tinggi kerajaan itu tengah berpikir keras. “Dan kalian tidak tahu siapa lelaki itu?”
“Tidak Tuan Hu” kedua prajurit di depan Perdana Menteri Hu Weiyong menggeleng. “Keadaan sangat gelap, hanya ada beberapa api penerang di tempat itu”.
“Tapi, kami juga yakin bahwa siapapun lelaki itu, dia bukanlah Kasim Chen sebab ukuran tubuhnya terlihat lebih besar seperti ukuran tubuh lelaki dewasa” sambung prajurit lain.
Tak terdengar suara tanggapan dari mulut Perdana Menteri Hu Weiyong selain gerak tubuh yang terlihat gelisah. Berarti, Kasim Chen masih hidup saat ini. Siapapun adanya lelaki yang telah menjalani hukuman itu, dia telah menyelamatkan Kasim Chen dari kematian. Kemudian, dimanapun adanya Kasim Chen saat ini, dia telah memegang satu kunci jawaban mengenai apa yang tengah terjadi di kamar Pangeran Zhu Biao beberapa waktu lalu. Dan hal itu adalah satu hal yang sangat tidak baik.
Kenapa lelaki itu bisa muncul?
Siapa lelaki bodoh yang mau mengorbankan hidupnya demi seorang kasim remaja yang tengah menanti kematian itu?
Di mana ia mesti mencari Kasim Chen sekarang?
“Ah!!...” teriak Perdana Menteri Hu Weiyong penuh kemarahan seraya mengayunkan satu tangannya menghantam permukaan meja di sisinya. Suara berderak keras terdengar membuat dua orang prajurit yang berdiri tak jauh darinya terlonjak kaget dan ketakutan. “Dasar bodoh!!”.
Namun…apa yang mesti terjadi sesungguhnya bukanlah apa yang tengah terpampang di depan mata.
Semilir angin pagi buta menghembus melewati celah lubang angin, menghembus menerpa kening Perdana Menteri Hu Weiyong yang berkilau oleh percikan keringat kemarahan.
Semilir angin yang menyampaikan ancaman…dan tragedi yang menanti…
Sayang, kemarahan yang menggumpal membuat sang pejabat tinggi kerajaan itu tak dapat menangkap bahasa angin yang halus membisik di sisi kepalanya…
***********