Istana
Pangeran Keempat…
“Bagaimana
keadaannya?” tanya Pangeran Zhu Di pada seorang tabib yang baru saja keluar
dari sebuah kamar. Raut cemas nyata terlihat di wajah Pangeran Zhu Di dan
kecemasan itu semakin nyata saat ia melihat kemurungan di wajah sang penyembuh
tersebut. “Katakan padaku..apakah kau sudah mengeluarkan racun dari tubuhnya?”.
Si tabib
membungkukkan tubuhnya dengan penuh hormat pada Pangeran Zhu Di. Sesaat
kemudian, saat tubuhnya telah menegak kembali, kepala sang penyembuh terlihat
mengangguk.
“Itu benar Pangeran..” jawabnya membuat Pangeran Zhu Di
nyaris merasa lega hingga, rona murung yang jelas terlihat di wajah si tabib
membuat sang pangeran mengerutkan keningnya.
“Lalu…apa masalahnya?
Bukankah seharusnya sangat bagus jika racunnya sudah keluar?” tanya Pangeran
Zhu Di. Kecemasan yang memancar dari wajah tampannya semakin terlihat. “Katakan
padaku hal yang sesungguhnya”.
“Ampunkan hamba
Pangeran” desah si tabib dengan nada sedih. “Luka di tubuh Tuan Kasim bukan
hanya disebabkan oleh racun saja melainkan luka-luka tubuh oleh sebab pukulan
yang diterimanya di sekujur tubuh”.
“Lantas?...Tidakkah
kau bisa melakukan sesuatu? Selamatkan dia! Cepat masuk ke dalam dan lakukan
apapun dengan kemampuanmu! Aku ingin dia selamat. Ini perintah!” tandas
Pangeran Zhu Di dengan nada meninggi membuat si tabib semakin gemetar oleh rasa
takut.
“Baik Pangeran…hamba
akan berusaha” jawab si tabib dengan tubuh yang membungkuk dalam. Lelaki itu
telah berbalik dan siap masuk kembali ke dalam ruangan dimana ia semula berada.
Namun, belum lagi
kakinya menapak, mendadak pintu yang tertutup itu membuka dan seorang tabib
lain keluar dengan raut wajah menggambarkan kecemasan dan rasa takut. Tubuhnya
membungkuk dalam di hadapan Pangeran Zhu Di.
“Ada apa?” tanya
Pangeran Zhu Di mendahului demikian ia melihat tabib yang baru saja keluar dari
dalam kamar.
“Pangeran...Tuan
Kasim sangat ingin melihat Pangeran” sahut si tabib dengan kepala menunduk
membuat kening Pangeran Zhu Di berkerut.
“Kenapa? Apakah
keadaannya sudah lebih baik?” tanya Pangeran Zhu Di.
Si tabib yang baru
saja keluar melirik ke arah tabib pertama dengan gelisah. Tabib pertama
mengangguk ke arah temannya setelah menatap Pangeran Zhu Di sesaat.
“Katakan saja” bisik
tabib pertama membuat hati Pangeran Zhu Di berdesir.
“Kenapa kalian
berbisik-bisik? Katakan padaku yang sesungguhnya! Apakah kalian bisa
menyelamatkannya?” tanya Pangeran Zhu Di dengan nada tak sabar.
“Ampunilah kami
Pangeran…kami telah berusaha. Tapi, luka-luka Tuan Kasim sangatlah parah. Racun
yang diminum oleh Tuan kasim memang telah berhasil kami keluarkan, namun
luka-luka akibat pukulan di seluruh tubuhnya telah mematahkan beberapa tulang
termasuk tulang di bagian punggung serta pendarahan yang sangat parah di bagian
dalam” sahut tabib kedua dengan suara pelan namun jernih hingga jelas terdengar
di telinga Pangeran Zhu Di.
Pangeran Keempat
memejamkan matanya saat kalimat demi kalimat yang diucapkan oleh tabib di
depannya merasuk ke dalam benak dan menciptakan satu-satunya pengertian yang
bisa ia tangkap. Hal yang semakin terasa menyesakkan hati dan sungguh ia tak
pernah menyangka bahwa kesesakan seperti ini akan dirasakannya. Rasa sesak yang
sedih dan sangat jauh berbeda dengan rasa sedih yang ia rasakan jika apa yang
ia inginkan tak tergapai atau tidak menjadi kenyataan. Rasa sedih ini terasa
memenuhi ruang dadanya hingga membuat ia merasa seolah sulit untuk menarik
nafas sehingga kesedihan itu terasa menetap dan tak mau menguap pergi seperti
kesedihan-keksedihan yang lain.
“Kalian tidak bisa
mengeluarkan darah yang mengumpul di dalam tubuhnya?” tanya Pangeran Zhu Di
saat kedua matanya telah kembali membuka. Cahaya lentera yang tergantung di
langit-langit beranda membiaskan kesedihan yang membalut wajah tampan pangeran
muda tersebut.
“Pangeran, untuk
mengeluarkan darahnya, kami harus membuka beberapa bagian luka di tubuhnya.
Tetapi hal tersebut akan sangat berbahaya karena luka di tubuh Tuan Kasim
akibat pukulan itu telah membuat banyak sekali urat darah besar menjadi pecah.
Jika kami menyayat tubuh Tuan Kasim untuk mengeluarkan darah yang mengumpul di
dalam maka urat darah besar yang pecah itu akan memiliki jalan untuk
menyemburkan darah ke luar tubuh” jawab tabib pertama.
Pangeran Zhu Di
terdiam. Meskipun ia bukanlah seorang tabib namun ia dapat memahami apa yang
dikatakan oleh dua tabib istana tersebut.
“Ampuni kami
Pangeran” kata tabib kedua. “Menurut kami, akan lebih baik jika Pangeran
menemui Tuan Kasim karena tadi ia mengatakan sangat ingin bertemu dengan
Pangeran jika diijinkan. Kami rasa, waktu yang dimiliki oleh Tuan Kasim
tidaklah lama”.
Pangeran Zhu Di
menghela nafas sesaat. Sepasang matanya menatap ke arah pintu yang tertutup
rapat sebelum kemudian kakinya mulai melangkah. Kedua tabib yang berdiri di
depan sang pangeran menepi untuk emmberi jalan pada Pangeran Zhu Di kemudian
membungkukkan tubuh mereka dalam-dalam. Terlihat jelas raut penyesalan di wajah
keduanya terlebih saat mereka menangkap kesedihan yang memancar dari pangeran
muda kesayangan kaisar.
Sementara Pangeran
Zhu Di yang telah masuk ke dalam kamar kini berdiri tepat di sisi ranjang
tempat seorang lelaki tergeletak dalam balutan pakaian yang penuh dengan noda
darah. Pakaian kasim itu telah di ganti dengan yang bersih namun darah yang
mengalir dari luka di seluruh tubuh lelaki malang tersebut masih terus mengucur
membuat perut Pangeran Zhu Di serasa ditendang saat bayangan puluhan batang
kayu yang keras dan kuat terayun lalu menghempas ke tubuh yang telah sangat
akrab dengannya di sepanjang usianya hingga hari ini membayang dalam benaknya.
Perlahan Pangeran Zhu
Di melangkah mendekati lelaki yang tergeletak di atas ranjang tersebut. Sepasang
mata yang terpejam rapat seolah tak menyadari kehadiran pangeran keempat namun,
saat jarak antara sang pangeran dengan lelaki itu tinggal dua langkah, mendadak
sepasang mata yang terpejam rapat tersebut membuka kemudian dalam gerak lemah
bergerak mencari dan menemukan sosok gagah yang berdiri dalam jarak sangat
dekat dengannya.
Dalam sekejab,
sepasang mata yang baru saja membuka itu merebak mengiringi gerak tangan yang
lemah menggapai ke arah Pangeran Zhu Di. Pangeran keempat tertegun sesaat
seolah kedua kakinya terpaku pada lantai yang dipijaknya hingga kemudian, saat
ia melihat jemari yang lemah menggapai terayun ke arahnya, perlahan pangeran
muda yang tampan dan cerdas itu mendekat dan duduk di sisi ranjang, membiarkan
tangan yang menggapai tersebut menemukan pencariannya, mengelus pipinya membuat
Pangeran Zhu Di merasa seolah sebongkah batu padas yang tajam dan keras telah
mengganjal lehernya dan menciptakan rasa sakit luar biasa saat ia berusaha
untuk menelan ludah. Sepasang mata Pangeran Zhu Di lurus tertuju pada wajah
lelaki yang terbaring di sisinya. Wajah yang telah menemaninya sejak pertama ia
membuka mata hingga hari ini namun baru kali ini ia sungguh-sungguh
memperhatikan wajah tersebut. Baru kali ini ia menyadari betapa wajah yang kini
terbaring di atas ranjangnya itu telah dipenuhi garis-garis penuaan. Baru saat
ini ia menyadari bahwa sepasang mata yang kini tengah menatapnya dengan aliran
air mata itu dipenuhi binar kelembutan yang bahkan tak pernah ia temukan di
kedalaman sepasang mata Kaisar Hongwu, ayahnya sendiri.
Dan semua yang baru
saat ini ditemukannya tersebut membuat dada sang pangeran serasa dihantam palu
dengan telak.
“Pangeran…” suara
parau yang kemudian terdengar keluar terdengar bagaikan sebuah teriakan keras
di telinga Pangeran Zhu Di membuat sang pangeran mengerenyitkan alisnya.
“Pangeran hamba…”
suara parau itu kembali terdengar. Kali ini lebih jelas meski nadanya semakin
lemah. “Ternyata…waktu sungguh cepat sekali berjalan…Anda…sungguh tampan dan
gagah sekarang”.
Pangeran Zhu Di
kembali berusaha menelan bongkahan batu padas yang mengganjal lehernya. Semakin
sakit hingga membuat sepasang matanya memanas.
“Apa yang kau
lakukan? Kenapa kau lakukan ini? Kenapa kau ini bodoh sekali?” bisik Pangeran
Zhu Di. Kemarahan yang meluap dalam dadanya terasa sia-sia saat kepedihan yang
jauh lebih besar menindas hingga suara bisikan yang keluar tak lebih dari
sebuah rintihan belaka.
Sepasang mata yang
mengalirkan sepasang anak sungai dari mata air jiwa di depan Pangeran Zhu Di
mengerjab. Jelas terlihat bahwa lelaki itu tengah mengumpulkan tenaganya yang
semakin menyusut.
“Kasim
Chen…dia…baik-baik saja” sepasang bibir membiru di depan Pangeran Zhu Di
terlihat bergetar saat kalimatnya terucap. Namun jelas sekelumit senyum
terurai. Bukan senyum pahit namun lebih tepat di sebut sebuah senyum yang
menyiratkan kepuasan.
Kening Pangeran Zhu
Di berkerut. Apa yang baru saja di dengarnya bukanlah sebuah berita yang buruk
namun saat ini apa yang tengah dihadapinya, kenyataan apa yang baru saja
diketahuinya membuat hatinya seperti tertutup untuk berita baik manapun.
“Kau tidak menjawab
pertanyaanku? Kenapa kau lakukan ini? Kenapa kau mengatakan pada Yang Mulia
bahwa kau pelakunya? Kenapa kau menerima apa yang seharusnya tidak kau terima?”
bentak Pangeran Zhu Di dalam bisiknya. Tangan kanan halus sang pangeran meraih
tangan penuh luka yang tengah membelai pipinya dan menggenggam tangan yang
sangat dikenalnya itu kuat-kuat. “Kenapa kau ini bodoh sekali?”.
Senyum di bibir
membiru itu melebar.
“Syukurlah…Kasim Chen
sekarang…bisa menemani Pangeran. Hamba, Anta yang tua ini…merasa tenang”.
Pandangan Pangeran
Zhu Di terasa mengabur. Kini kedua tangannya terulur dan memegang bahu Kasim
Anta saat kedua mata lelaki tua itu memejam.
“Kau harus menjawab
pertanyaanku, kau dengar? Seharusnya kau mengatakan padaku apa yang akan kau
lakukan!...cepat buka matamu dan jawab pertanyaanku! Cepat buka matamu, apa kau
tidak mendengarku? Ini perintah!” seru Pangeran Zhu Di dengan panik saat lelaki
yang telah sangat akrab dengannya itu semakin melemas.
Kasim Anta mengerang
pelan seiring mengalirnya segumpal darah segar dari mulutnya yang membuat kedua
mata Pangeran Zhu Di terbelalak. Dalam sekejab sang pangeran terpana namun
kemudian, tangan sang pangeran yang halus itu mengusap darah yang meleleh
keluar dari mulut Kasim Anta. Rasa sakit yang tajam semakin keras menusuk leher
Pangeran Zhu Di membuat kening pangeran muda itu berkerut dalam.
“Pangeran…Pangeran…”
panggil Kasim Anta sayup-sayup jauh.
Pangeran Zhu Di
menggenggam tangan Kasim Anta kuat-kuat. Satu suara di dasar hatinya
membisikkan sebuah kenyataan yang sepertinya memang harus diterimanya.
“Tabib akan
mengobatimu, kau pasti akan sembuh” ujar Pangeran Zhu Di mengingkari bisikan
kata hatinya.
“Mohon…panggil
hamba…Pangeran, panggillah hamba” bisik Kasim Anta nyaris tak terdengar.
“Apa yang kau
katakan? Tak terhitung kali aku memanggilmu selama ini, panggilan apa lagi yang
harus kuberikan padamu?!” tanya Pangeran Zhu Di dengan keras sementara
genggamannya pada tangan Kasim Anta semakin menguat. Namun, kasim yang telah
dikenalinya sejak pertama ia membuka mata itu seperti tak merasakan sedikitpun
kekuatan tangan yang mencengkeram hingga buku-buku jemarinya memutih. Seolah,
semua rasa telah memudar dan pergi dari seluruh tubuh tua yang kini tergeletak
lemah di depannya tersebut.
Kasim Anta terlihat
menggeleng lemah. Satu kali terceguk sebelum kemudian satu lelehan darah hitam
kembali mengalir keluar dari sela bibir yang semakin membiru.
“Panggil hamba…Pangeranku”
bisik Kasim Anta semakin jauh.
Pangeran Zhu Di
panik. Ia benar-benar tak mengerti apa yang dimaksud oleh kasimnya itu. Memanggil?
Apa maksud Kasim Anta dengan memanggilnya itu? selama ini, sejak ia lahir dan
mulai bisa berbicara hingga batas umurnya di hari ini, telah tak terhitung kali
ia memanggil kasimnya itu. Bukan hanya karena kebutuhan tapi juga karena Kasim
Anta adalah satu-satunya teman setia yang rela mengikutinya kemanapun,
melakukan segala perintahnya meski seringkali, apa yang ia perintahkan adalah
hal-hal yang konyol buah kenakalannya. Kasim Anta, baginya bukan hanya sekedar
kasim, pembantu ataupun perawat melainkan adalah keluarganya. Meskipun tetap
tak bisa mengalihkan tempat Kaisar Hongwu sebagai ayah kandungnya, dan
Permaisuri Ma sebagai ibu kandungnya, namun keberadaan Kasim Anta terasakan
seperti seorang paman yang sederhana dan selau ada untuknya, yang selalu
menjaga dan mengasihinya lebih dari yang bisa diberikan oleh siapapun selain
orangtua kandungnya sendiri. Jadi, panggilan apa lagi…
Mendadak Pangeran Zhu
Di tersentak saat ia menyadari sesuatu. Ya, memang tak terhitung kali ia
memanggil kasim tuanya itu, namun panggilan yang ia berikan adalah…’bodoh’, ‘tolol’,
‘kau’, ‘orangtua lamban’, dan puluhan panggilan lain yang kesemuanya keluar
dengan semburan rasa jengkelnya. Panggilan yang sesungguhnya sama sekali
berlawanan dengan besarnya arti kasim tua itu baginya.
Kabut di kedua mata
Pangeran Zhu Di semakin menebal seiring rasa sakit baru yang muncul secara
tiba-tiba bersama kesadarannya. Sakit yang mungkin telah terlambat untuk diobati.
Sakit yang datang disaat ia menyadari bahwa ia telah mensia-siakan orang yang
sebenarnya sangatlah berarti baginya namun kesadaran itu muncul justru disaat
hati kecilnya membisikkan keterlambatan waktu baginya. Pangeran Zhu Di menarik
nafas panjang mencoba mengurai ikatan menyesakkan yang menjerat ruang dadanya
sebelum kemudian bibirnya bergerak.
“Paman…Paman Anta”
bisik bibir indah Pangeran Zhu Di. Bisik halus yang memberikan pengaruh luar
biasa pada tubuh tua di depan sang pangeran. Sepasang mata Kasim Anta yang
semula telah menutup, membuka dalam binar cahaya yang jelas menunjukkan rasa
bahagia sementara bibir yang tak henti melelehkan darah hitam itu terlihat
kembali mengurai senyum. Hati Pangeran Zhu Di terasa dicabik dengan keras. Ternyata
dugaannya benar. Bibir sang pangeran bergetar saat bisikannya kembali
terdengar. “Paman Anta, kau dengar aku? Tabib pasti akan…menyembuhkanmu”.
Sepasang mata Kasim
Anta menatap Pangeran Zhu Di. Tak banyak cahaya yang tersisa dalam pancaran
binar di mata itu. Hanya pesan bahagia yang terlihat dengan jelas sementara
sepasang bibir yang mengurai senyum itu tetap terkatup tanpa tanda gerak adanya
kata.
“Paman Anta…bicaralah
padaku” bisik Pangeran Zhu Di. Nadanya yang dihiasi getar melukiskan gemuruh
hebat di dada pemuda itu. “Kumohon bicaralah padaku”.
Tetap sunyi
melingkupi ruang kamar yang mewah milik Pangeran Zhu Di. Tetapi, seolah dapat
mendengar gemuruh di hati pangeran keempat, mendadak Kasim Anta menarik satu
tangannya dari genggaman Pangeran Zhu Di lalu, dengan gerak lemah, tangan yang
telah terbebas itu terangkat ke arah pipi Pangeran Zhu Di dan membekap pipi
halus yang mendingin oleh kepanikan yang datang menggulung.
Pangeran Zhu Di
sedikit menelengkan kepalanya ke arah telapak tangan yang mendekap pipinya. Sepasang
matanya mengerjab seolah dengan cara itu, kabut tebal yang menghalangi
pandangannya dapat tertepis. Kesunyian yang melingkupi ruang kamar semakin
kental terasa. Pangeran Zhu Di telah mendiami kamar ini sejak awal mula
kehidupannya sehingga ia sangat mengenali setiap sudutnya. Entah berapa kali ia
berdiam sendiri di kamar ini terutama di saat ia diliputi perasaan sedih
ataupun marah. Dan, selama sekian belas tahun ia memiliki kamar ini, ia telah
sangat mengenal kesunyian yang tercipta disaat kesendiriannya.
Tetapi…kesunyian yang
dirasakannya saat ini sungguh terasa berbeda. Kesunyian yang melingkupinya
terasakan seperti…kehampaan.
Seolah ia kini
benar-benar sendirian…
Kesendirian yang terjadi
bukan karena ia menepi dari orang-orang lain di luar kamar melainkan
kesendirian yang tercipta karena ia memang benar-benar sendirian. Kesendirian yang
tak akan tersembuhkan meski ia melangkah keluar dari ruang kamar ini untuk
bertemu dengan sekian banyak manusia lain.
Kesendirian yang
hampa dan terasa sangat mengikat…
Membuat sang pangeran
tampan yang cerdas itu seperti tak lagi menyadari saat mendadak, pintu kamar
terbuka dengan keras dan seorang pemuda melangkah masuk diikuti oleh sosok
lelaki lain di belakangnya. Pemuda berparas rupawan yang sesaat terbelalak
ketika menatap pemandangan yang terpampang di depannya matanya. Sepasang matanya
yang jernih indah menatap sosok Kasim Anta yang terbujur diam. Wajah kasim tua
itu terlihat demikian tenang dengan seulas senyum menghias bibirnya yang biru
hitam sementara sepasang mata pengasuh pangeran keempat itu terpejam rapat. Tak
terlihat tanda nafas. Tak terlihat tanda gerak. Segala yang tampak dari sosok Kasim
Anta hanyalah kesunyian yang tenang.
Sangat tenang dan
abadi.
Si pemuda rupawan
bergerak pelan mendekat ke arah ranjang. Pandangannya kini beralih pada Pangeran
Zhu Di yang diam tak bergerak.
“Adik Zhu Di?...hamba
Changyi datang menghadap” ucap si pemuda rupawan saat ia telah sampai tepat di
belakang sosok Pangeran Zhu Di yang diam mematung.
Patung hidup yang tak
lagi menyadari kehadiran siapapun di dekatnya selain sebidang dada yang menjadi
tumpuan kepalanya. Sebidang dada yang tak lagi mendetakkan kehidupan sejak
tangan yang mendekap pipinya jatuh dan terkulai seiring menutupnya sepasang
mata yang selama belasan tahun selalu menatapnya dalam kehangatan kasih dan
sayang…
**********