Minggu, 19 Juni 2016

Straight - Episode 7 ( Bagian Tujuh )


 Waktu seperti berjalan dalam kecepatan yang benar-benar lamban seolah segalanya terhenti pada satu titik. Titik yang membingungkan karena membawa seluruh jawaban sekaligus kepedihan dalam hati Changyi dan semua orang yang tak menduga adanya tragedi di hari pernikahan agung Pangeran Mahkota.
Sebagian besar tamu kerajaan telah memohon pamit pada Kaisar Hongwu dan berangkat kembali ke daerah masing-masing. sebagian kecil lain masih tinggal sekedar untuk menikmati keindahan kota Yingtian setelah terlepas dari ketegangan dan ancaman hukuman mati akibat teracuninya Pangeran Keempat atau menunggu hal selanjutnya yang akan terjadi pada Kasim Chen yang telah ditetapkan sebagai terhukum. 
Xiao Chen telah di penjara di ruang penjara bawah tanah dalam penjagaan tingkat tinggi dan tak seorangpun dapat menemuinya kecuali mendapat ijin dari Kaisar. Meskipun hukuman mati telah ditetapkan namun Kaisar Hongwu memutuskan untuk menunda pelaksanaan hukuman setelah mendengar beberapa pendapat terutama dari Jenderal Xu Da – hal yang membuat hati Perdana menteri Hu Weiyong menjadi kecut – serta beberapa pendapat dari menteri lain.
Tetapi, nampaknya penundaan pelaksanaan hukuman tidak banyak berarti sebab hingga sampai pada waktu sekarang setelah satu hari berlalu, belum juga ditemukan satupun titik terang yang menunjukkan adanya petunjuk tentang siapa yang merencanakan kejahatan pada Pangeran Zhu Di. Semua petunjuk selalu mengarah dan berakhir pada Kasim Chen sebagai orang terdekat dan terpercaya dari Pangeran Zhu Di membuat harapan di hati Changyi semakin meredup.
Hari ini ia memutuskan untuk pulang ke rumah setelah satu hari satu malam menunggui Pangeran Zhu Di yang masih belum bangun dari ketidaksadarannya. Nampaknya, sisa-sisa racun yang tidak dapat dikeluarkan melalui tenaga chi sebagian telah mempengaruhi beberapa tempat penting dalam tubuh Pangeran Keempat sehingga membuat sang pangeran kesayangan istana tersebut masih harus berjuang untuk sadar kembali. Hal lain yang membuat Changyi merasa sangat sedih. Kesedihanyang timbul karena ia tahu, selain dirinya, hanya Pangeran Zhu Di-lah yang tahu pasti bahwa Xiao Chen tidak bersalah.
Namun, dalam posisinya sekarang ini, Changyi benar-benar menyadari bahwa ia tak dapat melakukan apapun untuk menolong adiknya. Bahkan, ia mengerti bahwa semakin ia menunjukkan reaksi terhadap penangkapan Xiao Chen, maka tuduhan bahwa adiknya telah bersalah akan semakin menguat. Terlebih lagi, selain dirinya dan Jenderal Xu Da – juga Pangeran Zhu Di sendiri – tak ada seorangpun yang tahu bahwa sesungguhnya Xiao Chen memiliki hubungan yang sangat erat dengannya. Selama ini, Xiao Chen hanya dikenal sebagai bekas pelayan di rumah Jenderal Xu Da yang dahulunya adalah pelayan kecil di rumah Changyi sebelum ditemukan dan diangkat anak oleh Panglima Tertinggi Kerajaan Yingtian itu. Jika sekarang ia melakukan sesuatu hal yang menyolok dan menunjukkan rahasia sebenarnya mengenai siapa sesungguhnya Xiao Chen baginya, maka bukan saja keadaan adiknya akan menjadi semakin buruk namun juga akan menyeret Jenderal Xu Da, dirinya sendiri dan seluruh keluarga Xu. Dan sungguh Changyi tak ingin hal buruk terjadi pada Jenderal Xu Da, bukan hanya semata karena rasa hutang budi dan kasih sayang yang tumbuh kuat pada ayah angkatnya tersebut namun karena – dan terutama – adanya sosok yang kini telah menguasai seluruh hati dan jiwanya dalam ikatan cinta yang sangat kuat dan tak mungkin untuk dicabut kembali. Ia tak ingin hal buruk terjadi pada Xiao Chen, namun ia lebih dan lebih lagi tak ingin hal buruk tersebut menimpa sosok yang  telah menguasai jiwanya dalam rasa asmara tersebut.
Sepasang mata Changyi memejam sementara bayangan wajah purnama Xu Guanjin yang jernih membayang dengan sangat jelas dalam benaknya. Menyejukkan, mendamaikan namun sekaligus semakin menegaskan kepedihan dalam hati Changyi saat ia menyadari bahwa kini ia lebih memilih keselamatan Xu Guanjin di banding Xiao Chen. Alasan yang membuatnya meraung marah dalam rasa tak berdaya sementara waktu terus berjalan menuju detik di mana hidup Xiao Chen akan berakhir di tangan algojo Kaisar Hongwu.
Sebulir air jernih merembes dari balik deretan panjang bulu mata Xu Changyi sementara sinar purnama yang lembut menari-nari dari balik dedaunan, membawa seluruh rasa sedih yang menggelombang memenuhi ruang dada.
***********

Di dapur utama istana Yingtian…
Kepala Dapur Jiu Zhong menghenyakkan tubuhnya ke atas sebuah dipan setelah ia meletakkan sebuah mangkuk keramik yang telah bersih dengan hati-hati ke atas rak kayu dan menarik pintu penutup rak. Kaisar Hongwu dan Permaisuri Ma baru saja selesai bersantap malam meski keadaan Pangeran Zhu Di yang belum juga sadar telah membuat kaisar dan permaisuri kehilangan selera makan mereka sehingga dari seluruh hidangan yang ia sajikan malam ini hanya sedikit saja yang berkurang karena disantap. Selebihnya, semua hidangan masih utuh tak tersentuh.
Namun, bukan itu hal sesungguhnya yang telah menyemburatkan mendung di wajah Juru Masak Jiu Zhong. Ia telah beberapa waktu mengabdikan dirinya di dapur istana dan melayani Kaisar Hongwu serta Permaisuri sehingga masalah selera makan yang kadang menghilang tak terlalu merisaukannya. Ia bisa dengan mudah mengubah menu untuk membangkitkan kembali selera makan kaisar dan permaisuri. Itu sungguh bukan masalah yang sulit  baginya. Membolik-balik menu adalah hal yang telah digelutinya semenjak ia masih anak-anak. Memilih bumbu, memilah bahan dan menciptakan rasa-rasa baru dalam masakan adalah hal yang nyaris tak pernah gagal dilakukannya – sampai ia bertemu dengan Xiao Chen dan mengerti bahwa rasa makanan memiliki jiwa dan jiwa dalam makanan itu akan mengikat siapapun yang menikmati makanan tersebut. Hal baru dan nyata yang ia temukan dalam dunia memasak setelah selama  puluhan tahun ia merasa tak ada lagi hal yang tak diketahuinya. Kenyataan baru yang membuatnya merasa penasaran dengan kemampuan Xiao Chen, merasa marah pada remaja itu atas kekalahannya dalam sayembara memasak dahulu  namun sekaligus menghormati kasim berwajah sejuk tersebut karena untuk pertama kalinya ia merasa menemukan seseorang yang benar-benar pantas untuk bersaing dengannya. Ia sangat berharap akan memiliki satu kesempatan, sekali lagi untuk mencoba kemampuan anak bernama Xiao Chen itu, menuntaskan rasa penasaran dalam dirinya, membayarkan rasa kalah yang ia rasakan sekaligus mengetahui rahasia yang membuat masakan seorang remaja menjadi demikian berjiwa hingga mampu mengikat hati seorang Pangeran Zhu Di!.
Ia sangat menantikan hal itu. Bertarung sekali lagi dengan Xiao Chen. hanya dirinya dan kasim remaja itu tanpa siapapun yang lain di antara mereka. Dan Juru Masak Jiu Zhong rela untuk menghabiskan waktunya demi menunggu saat itu tiba!.
Tetapi, kejadian di ruang aula telah dengan demikian mudahnya memupus impiannya tersebut.
Kenyataan bahwa hidup Kasim Chen akan segera berakhir di tangan algojo Kaisar Hongwu benar-benar sangat memukul hati Juru Masak Jiu Zhong. Andai saja ia tak memiliki harapan yang demikian kuat untuk sekali lagi bertarung dengan Kasim Chen, maka sungguh ia tak akan peduli dengan nasib remaja itu.
Namun, hidup dengan menanggung rasa penasaran, rasa kalah yang begitu menyakitkan – dan rasa sakit itu muncul karena ia benar-benar menyadari bahwa jabatannya sebagai kepala dapur istana yang dipegangnya saat ini sesungguhnya merupakan hak Xiao Chen dan hal itu memberi kesan bahwa ia memiliki sebuah jabatan bukan karena ia pantas mendapatkannya namun sekedar sebuah pemberian karena adanya rasa iba – hingga memukul rasa harga dirinya sebagai seorang juru masak serta rasa ingin tahu yang terus menghantuinya tentang adanya jiwa dalam rasa sebuah masakan adalah benar-benar jalan hidup yang amat berat ia rasakannya. Bagi Juru Masak Jiu Zhong, akan lebih baik baginya jika ia dikalahkan secara terbuka di depan sebanyak apapun orang daripada kekalahan terselubung yang hanya dirasakannya sendiri. Ia menang tapi kalah. Ia berada di atas namun sesungguhnya ia tak lebih daripada seorang papa yang hidup dalam kubangan rasa iba orang yang mengalahkannya. Hal apa lagi yang lebih menyakitkan daripada itu semua?.
Dan ia tidak ingin menghabiskan sisa hidupnya dalam tekanan derita batin yang hanya dipendamnya sendiri. Andai nanti saat ada kesempatan untuk bertarung sekali lagi dengan Kasim Chen ia harus kembali mengalami kekalahan, namun ia pasti akan menerimanya dengan kelegaan dan hati yang lapang karena kekalahan itu akan bersifat nyata dan bukan lagi berbentuk kekalahan terselubung, kekalahan yang terbungkus kemenangan.
Lalu sekarang, tiba-tiba segalanya akan menjadi sirna!.
Mungkin besok, atau lusa atau bahkan bisa saja malam ini, hidup seorang Xiao Chen akan berakhir!
Lalu ia akan seumur hidup menanggung rasa penasaran, rasa kalah yang terbungkus kemenangan semu serta rasa sakit hati karena keibaan yang diberikan padanya. Lebih buruk lagi, ia akhirnya menyadari bahwa dirinya telah memiliki peran dalam peristiwa yang terjadi di ruang aula itu. Ia telah memberikan kesaksian yang membuat Kaisar tak bisa lagi memandang siapapun untuk disalahkan selain Kasim Chen.
Mendadak, Juru Masak Jiu Zhong mengerti apa sesungguhnya makna yang tersirat dalam surat Perdana Menteri Hu Weiyong padanya kemarin. Meminjam tangan Kasim Chen untuk memasak satu hidangan bagi Pangeran Keempat. Jadi inilah maksudnya.
Juru Masak Jiu Zhong menggelengkan kepalanya kuat-kuat sementara rona wajahnya berubah-ubah, sesaat memerah oleh rasa marah ketika ia menyadari bahwa sesungguhnya – sekali lagi – ia harus berada di dalam situasi terselubung. Bahwa sesungguhnya, secara tidak langsung dirinyalah yang telah melakukan kejahatan pada Pangeran Keempat. Ia yang seharusnya ada di penjara bawah tanah sekarang dan menantikan hukuman mati, bukan Kasim Chen. Dan ia sama sekali tak menyadari hal itu sampai semuanya terjadi.
Kenapa ia demikian bodoh?
Dan lebih buruk di atas semuanya adalah kenyataan bahwa sesungguhnya, dirinya sendirilah yang telah memupus harapan untuk bisa bertarung sekali lagi dengan Xiao Chen dalam sebuah pertarungan adu memasak yang jujur dan terbuka. Harapannya hancur bersama kematian Kasim Chen yang akan segera datang.
Dan ialah yang menjadi penyebab kematian Kasim Chen.
Dirinya…dan bukan orang lain!.
Ia dan kebodohannya telah memupus harapannya sendiri dan membuatnya harus menjalani hidup dalam penderitaan karena rasa penasaran dan rasa kalah yang tak terobati!.
Adakah hal yang lebih buruk daripada hal itu?
Wajah Juru Masak Jiu Zhong memucat kala menyadari kenyataan yang ada di depan matanya.
*************
Di rumah Jenderal Xu Da…
“Jadi…Changyi tidak bisa ikut denganku besok untuk kembali ke distrik prajurit?” tanya Jenderal Chang Yu Chun seraya menatap Jenderal Xu Da yang duduk di seberang meja.
Jenderal Xu Da menarik nafas panjang. Tangannya terulur meraih sebuah cawan dan mereguk isinya hingga habis seketika. Aroma harum menguar dari arak buah yang diminum oleh Panglima Tertinggi Kerajaan tersebut. Bukan hal yang biasa terjadi, bahwa kali ini Jenderal Xu Da memilih arak buah yang memabukkan.
“Tidak” jawab Jenderal Xu Da seraya meletakkan cawannya yang telah kosong kembali ke atas meja. Kepalanya menggeleng dengan sepasang alis berkerut. “Yang Mulia telah memintaku untuk menahan Changyi di istana dan menariknya dari distrik pelatihan prajurit”.
Jenderal Chang Yu Chun terkejut dan sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan.
“Yang Mulia mengatakan hal itu? Kapan? Dan kenapa?” tanya Jeneral Chang Yu Chun menatap sahabatnya.
“Kau tahu Adik Chang, seberapa buruk suasana hati Yang Mulia sekarang ini?” Jenderal Xu Da balik bertanya.
Jenderal Chang Yu Chun menganggukkan kepalanya. “Ya Kakak Xu, aku tahu. Kita semua tahu. Melihat putranya diracuni di depan mata, itu adalah hal yang paling buruk untuk dilihat oleh orangtua manapun. Terlebih kepahitan itu menimpa putra kesayangan”.
Jenderal Xu Da menggelengkan kepalanya beberapa kali. Sekali ia menarik nafas panjang sebelum kemudian menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi kayu berukir yang didudukinya. Pandangannya lurus menatap ke depan, pada raut wajah sahabatnya.
“Apakah kau percaya bahwa Xiao Chen benar-benar meracuni Pangeran Zhu Di, Adik Chang? Kau dan aku…kita-lah orang yang pertama kali bertemu dengan anak itu bertahun-tahun lalu. Kau ada di sana saat itu…saat aku menemukan putraku Changyi dan anak bernama Xiao Chen itu bersembunyi di belakang punggung Changyi, terlihat sangat rapuh dan tidak berdaya…tapi juga sangat bersih”.
“Kakak Xu benar, anak bernama Xiao Chen itu memang sangat bersih. Aku bisa melihat dari sinar matanya…dan ya, tentu saja aku mengingat saat itu. Aku ingat sebab saat itu aku juga berpikir untuk membawa mereka berdua ke rumahku jika saja Kakak Xu tidak menghendaki keduanya” sahut Jenderal Chang Yu Chun seraya mengangguk.
Jenderal Xu Da tertawa pelan nyaris berupa gumaman. Sekali lagi tangannya meraih ke atas meja dan kali ini sebuah guci kecil berwarna biru indah telah dipegangnya. Dengan gerak ringan, Sang Panglima Tertinggi Kerajaan tersebut menuang isi guci mungil ke dalam cawan.
“Dan kau mengalah demi aku Adik Chang” gumam Jenderal Xu Da seraya kembali meneguk arak yang baru saja dituangnya. Kali ini hanya sedikit dan meletakkan kembali cawannya ke atas meja.
“Aku hanya melihat Kakak Xu sangat tertarik dengan anak-anak itu terutama Changyi. Setelah kita menghabiskan begitu banyak hari dalam peperangan di Karakorum, hari itu adalah pertama kalinya aku melihat wajah Kakak Xu terlihat cerah” sahut Jenderal Chang Yu Chun tersenyum. Sebagaimana Jenderal Xu Da, jenderal yang memimpin distrik pelatihan prajurit di wilayah timur tersebut mengangkat cawannya dan meneguk habis arak yang tinggal separuh.
“Aku menyukai anak-anak itu sejak pertama kali melihat mereka, meskipun perhatianku lebih kepada Changyi. Tapi, setiap kali aku menatap anak bernama Xiao Chen itu, aku selalu merasa seperti sedang menatap telaga yang sangat jernih. Hal itulah yang membuatku sangat sulit percaya jika Xiao Chen akan melakukan kejahatan pada Pangeran Zhu Di” ujar Jenderal Xu Da.
“Sepertinya…ada yang aneh dengan apa yang sedang terjadi saat ini” gumam Jenderal Chang Yu Chun. Pandangannya lurus menatap cawannya yang telah kosong dan nyala pelita lampu di atas meja.
Jenderal Xu Da mengerutkan alisnya dan menatap ke depan.
“Keanehan apa yang kau rasakan Adik Chang?” tanya Sang Panglima Tertinggi Kerajaan.
Jenderal Chang Yu Chun mengangkat bahunya dengan ekspresi sambil lalu.
“Ini hanya sekedar kecurigaan pribadiku saja Kakak Xu…bisa saja aku salah…” katanya kemudian.
“Katakan padaku Adik Chang” buru Jenderal Xu Da. “Aku ingin mendengarnya”.
“Aku hanya berpikir bahwa ada orang yang dengan sengaja ingin melakukan hal ini…” Jenderal Chang Yu Chun berhenti sesaat kemudian tertawa. “Tapi…kurasa itu terlalu mengada-ada bukan? Xiao Chen itu hanya seorang anak remaja dan jabatannya hanya seorang kasim dan juru masak khusus Pangeran Keempat. Dia bukan seseorang yang memegang peran penting di istana  sebagaimana…”
“Maksudmu…ada orang yang dengan sengaja melakukan hal ini untuk menyingkirkan Xiao Chen?” potong Jenderal Xu Da dengan alis berkerut.
Jenderal Chang Yu Chun sedikit berkerut. Ekspresinya kini terlihat malu.
“Ah Kakak Xu…maafkan aku. AKu tahu itu adalah pemiiran yang sangat bodoh. Maksudku…”
“Sebenarnya akupun berpikir demikian Adik Chang” sahut Jenderal Xu Da sebelum Jenderal Chang Yu Chun benar-benar menyelesaikan kalimatnya membuat sang jenderal dari distrik pelatihan prajurit itu kini menatap sahabatnya dengan sepasang mata melebar.
“Apa? Kakak Xu juga…menduga seperti itu? Sebagaimana aku?” tanya Jenderal Chang Yu Chun.
Jenderal Xu Da mengangguk. “Meskipun aku masih mencari alasan mengapa hal itu dilakukan. Mengapa orang itu, siapapun dia, ingin menyingkirkan anak bernama Xiao Chen itu dari sisi Pangeran Keempat”.
Jenderal Chang Yu Chun terdiam. Keningnya berkerut menandakan bahwa sang jenderal bertubuh tinggi itu tengah memikirkan sesuatu.
“Atau mungkin saja…anak bernama Xiao Chen itu hanyalah umpan” gumam Jenderal Xu Da melanjutkan kalimatnya. Tangannya kembali terulur meraih cawannya kemudian mereguk habis sisa arak di dalamnya.
“Kakak Xu…apakah Kakak mengkhawatirkan sesuatu?” tanya Jenderal Chang Yu Chun seraya menatap Jenderal Xu Da di depannya.
“Kenapa kau bertanya seperti itu Adik Chang?”.
“Karena Kakak Xu meminum banyak arak hari ini. Dan ini arak yang memabukkan. Aku sangat mengenal Kakak jadi aku tahu Kakak pasti sedang memikirkan sesuatu” sahut Jenderal Chang Yu Chun. Tangannya meraih cawan kosong yang baru saja diletakkan oleh Jenderal Xu Da kemudian menariknya menjauh membuat Sang Panglima Tertinggi Kerajaan tertawa.
“Adik Chang…kau terlalu mengenalku. Itu akan jadi hal yang kurang bagus untukku” sahut Jenderal Xu Da masih dengan tawanya.
“Kakak mengkhawatirkan Changyi?” tanya Jenderal Chang Yu Chun tanpa menghiraukan kalimat Jenderal Xu Da yang baru saja di dengarnya.
Namun sepotong pertanyaan yang meluncur dari bibir Jenderal Chang Yu Chun seperti sebuah sentakan yang membuat tawa Jenderal Xu Da langsung terhenti. Sang Panglima Tertinggi Kerajaan tersebut terdiam sejenak. Sehela nafas panjang yang tertarik dengan nada yang berat seolah telah mewakili jawaban yang belum meluncur dari bibirnya.
“Changyi…” gumam Jenderal Xu Da. Keningnya berkerut dalam. “Rupanya aku telah memasukkan anak itu terlalu jauh ke dalam diriku Adik Chang”.
Jenderal Chang Yu Chun menatap Jenderal Xu Da. Alisnya berkerut mencoba memahami jawaban yang didengarnya.
“Dia putra Kakak Xu. Tidakkah hal itu wajar adanya? Semua orangtua pasti mencemaskan anak mereka?” tanya Jenderal Chang Yu Chun kemudian.
“Aku seorang prajurit Adik Chang. Dan kita tahu bahwa tak ada hal yang boleh melebihi kecintaan kita pada negara. Itu akan menjadi titik lemah yang membahayakan tanggungjawabku sebagai penjaga raja dan negara” jawab Jenderal Xu Da, nyaris terdengar nada sedih dalam suaranya. “Tapi hari ini…saat aku menatap Yang Mulia Kaisar dan melihatnya menangis di sisi Pangeran Zhu Di…lalu aku melihat wajah putraku sendiri, melihat mendung dan kesedihan yang hanya disimpannya sendiri, tiba-tiba saja aku bisa memahami kemurkaan Yang Mulia. Aku memahaminya karena…aku pasti akan merasakan hal yang sama andai saja hal ini terjadi pada Changyi. Aku pasti juga akan sangat marah. Masalahnya adalah…aku berada pada posisi di mana Xiao Chen adalah orang yang penting bagi putraku Changyi. Aku sangat ingin melakukan sesuatu untuk Xiao Chen agar kesedihan di wajah putraku bisa hilang. Tapi Yang Mulia Kaisar-pun pasti juga melakukan hal yang sama. Aku dan Yang Mulia berdiri pada sisi berseberangan saat ini Adik Chang…maksudku, dalam perasaan kami sebagai orangtua. Namun sebagai prajurit, aku harus berdiri di sisi Yang Mulia Kaisar dan mendukungnya dalam setiap perintah yang diberikannya. Apapun perintah itu, bahkan seandainya karena perintah yang diberikan oleh Yang Mulia Kaisar tersebut akan membuatku melihat kehancuran di wajah putraku sendiri. Apakah kau mengerti Adik Chang?”
Jenderal Chang Yu Chun terpekur. Setiap kalimat yang diucapkan oleh bibir sahabatnya terasa seperti sebuah tangis tanpa suara. Tangis yang hanya menggaung dalam jiwa tanpa jalan untuk menyembul keluar dan menunjukkan maknanya. Jiwa mereka sebagai prajurit yang mesti berdiri di garis terdepan dan menjaga negeri.
Dan sungguh…
Adakah airmata yang lebih pedih dari lubuk jiwa?
Sunyi menyelimuti dua jenderal besar Kerajaan Ming tersebut sementara malam merambat semakin jauh. Nyala lampu yang memancar dari lampion berwarna merah terang memberikan sinar redup lembut, seolah menegaskan kepedihan tanpa kata…
Dalam jiwa terjauh sosok ayah Sang Jenderal Xu Da…
**************

Tidak ada komentar:

Posting Komentar