Sebuah kuda
hitam berhenti depan sekolah calon prajurit khusus setelah terlebih dulu
meringkik keras sambil mengangkat sepasang kaki depannya. Kemudian sesosok
tubuh tinggi besar melompat turun dari atas kuda dan berjalan cepat
menujukearah bangunan yang luas dan bersih. Wajahnya terlihat sedikit semburat
marah bercampur cemas meski terlihat bahwa sosok tinggi besar tersebut dapat
mengendalikan rasa hatinya hingga tidak melunturkan sedikitpun kharisma yang
ada di seluruh penampilannya. Sebuah gulungan kertas tergenggam di tangan
kirinya. Beberapa siswa yang berpapasan dengan sosok tinggi besar tersebut
segera mundur dan membungkuk dengan wajah memancarkan rasa takut.
Hingga kemudian, saat seorang guru pengajar keluar
dan menyambut, sosok bertinggi besar yang sangat berwibawa itu berhenti.
“Jenderal Xu Da…selamat datang di sekolah calon
prajurit khusus. Sungguh tidak di sangka, Tuan Jenderal telah tiba dari
Karakorum” ucap sang guru pengajar sambil membungkukkan tubuhnya dalam-dalam.
Jenderal Xu Da terdiam sejenak. Di tatapnya sang
guru pengajar dengan pandangan tajam membuat sang guru segera menunduk dalam.
“Aku harus berbicara dengan Anda Guru” ucap Jenderal
Xu Da tak mengindahkan sambutan sang guru pengajar membuat lelaki yang tengah
membungkuk di depan Jenderal Xu Da segera menyadari bahwa sang Panglima besar
yang baru saja tiba dari Karakorum tersebut tengah murka di balik ketenangan
wajah dan kekuatan kharismanya yang dahsyat.
Dan sang guru telah menduga, hal apa yang akan di
bicarakan oleh sang panglima besar. Karena itu, guru berumur setengah baya
tersebut segera melangkah ke samping untuk memberi jalan bagi Jenderal Xu Da.
“Baiklah Tuan Jenderal. Silahkan masuk ke dalam”
sahut sang guru.
Jenderal Xu Da mengangguk sekilas sebelum kemudian
berjalan menuju pintu ruang dalam mendahului guru pengajar yang berjalan di
belakangnya. Beberapa guru pengajar lain yang segera mendekat turut melangkah
masuk ke dalam ruangan yang mirip dengan sebuah aula kecil, tempat di mana para
guru pengajar berkumpul.
“Bagaimana hal itu bisa terjadi?” tanya Jenderal
Xu Da dengan nada mulai meninggi saat sang guru baru saja selesai memberikan
penjelasan tentang Changyi yang telah pergi dari sekolah calon prajurit khusus
atas perintah dari kaisar. “Anak itu aku yang membawanya. Seharusnya kalian
menungguku untuk memberiku laporan jika memang ia telah melakukan kesalahan dan
tidak menghukumnya di luar sepengetahuanku”.
“Maafkan kami Tuan Jenderal” jawab satu guru yang
lain. “Kami semua di sini sama sekali tidak berdaya. Sekolah ini berada di
bawah kewenangan Kementerian Pertahanan dan Fengyin bersaudara adalah anak-anak
angkat dari Jenderal Lan Yu. Kami memang pengecut karena kami merasa takut.
Karena itu, mohon ampunilah kami Tuan Jenderal”.
Jenderal Xu Da menghela nafas dengan kecewa. Ia
memang menyadari bahwa sekolah ini berada di bawah kewenangan Kementerian
Pertahanan, namun ia sama sekali tak pernah mengira bahwa kenyataan itu akan
membuat posisi Chanyi menjadi sangat sulit. Ia baru saja tiba dari Karakorum
tadi pagi dan sedang bersiap-siap untuk menhadap Kaisar. Namun, Kasim Anta yang
merupakan pengasuh dari pangeran keempat datang dan memberikan surat dari sang
pangeran yang telah akrab dengannya itu. Dan hal yang ditemukannya dalam surat
tersebut benar-benar membuatnya kalut.
Apakah Jenderal Lan Yu begitu serius memendam
dendam padanya atas keputusan Kaisar memilih dirinya sebagai Panglima Besar
hingga Changyi yang sama sekali tak terlibat ikut menerima getahnya?
“Kapan Changyi meninggalkan istana?” tanya
Jenderal Xu Da kemudian.
“Tadi pagi Tuan Jenderal. Prajurit dari
Kementerian Pertahanan mengantarnya sampai keluar dari gerbang istana” jawab
guru yang duduk tepat di depan Jenderal Xu Da.
“Apakah ia mengatakan kemana ia akan pergi?” tanya
Jenderal lagi.
“Tidak Jenderal. Saat berpamitan, Changyi hanya
meminta maaf pada kami semua dan teman-temannya, juga…ia menitipkan pesan pada
kami agar di sampaikan pada Jenderal Xu Da saat pulang dari Karakorum” jawab
satu orang guru yang tampaknya merupakan guru yang paling tua.
Jenderal Xu Da berpaling menatap sang guru.
“Pesan apa?” tanyanya cepat.
“Changyi memohon maaf karena telah melakukan hal
yang sangat buruk dan membuat Jenderal Xu Da kecewa. Ia sangat ingin melakukan
hal-hal yang dapat membuat Jenderal Xu Da bangga dan membalas kebaikan Jenderal
padanya dan juga adiknya, namun tampaknya, ia belum bisa melakukannya sekarang
sehingga untuk saat ini, yang bisa dilakukannya hanyalah meminta maaf. Namun
Changyi mengatakan bahwa ia akan selalu mengingat kebaikan Tuan Jenderal dan
pasti akan membalas kebaikan Tuan Jenderal suatu hari nanti, entah bagaimanapun
caranya” jawab sang guru menirukan ucapan Changyi sebelum pergi.
Jenderal Xu Da merasakan sebuah rasa gemuruh
menyusup di ruang dadanya. Seperti rasa haru bercampur iba. Seperti rasa ingin
memeluk anak yang telah merebut tempat di hatinya sejak ia melihatnya dua tahun
lalu di desa, di bawah pengejaran para penduduk desa yang marah. Sungguh,
Jenderal Xu Da tak mengerti, hal apa yang dimiliki oleh seorang Changyi hingga
membuatnya merasa seolah anak tersebut adalah anak lelakinya? Putranya?.
Dan anak itu pergi meninggalkan istana tadi pagi.
Jenderal Xu Da mengingat-ingat. Tadi pagi, itu berarti
saat ia mulai memasuki wilayah Yingtian. Sekarang sudah menjelang sore. Ia
yakin Changyi tidak memiliki uang untuk menyewa sebuah kuda sehingga anak itu
pasti hanya berjalan kaki menuju tempat manapun yang ada dalam pikirannya.
Tapi, perjalanan dengan kaki akan membuat anak itu masih berada di wilayah
Ibukota Yingtian karena kota ini luas. Perlu sehari penuh untuk sampai di
perbatasan ibukota Yingtian di sisi timur – itu jika Changyi memutuskan untuk
kembali ke Kuil Bulan Merah, karena memang hanya tempat itu satu-satunya tempat
yang mungkin akan di tuju oleh Changyi. Selain karena memang Changyi tak
memiliki tempat lain untuk di tuju, di Kuil Bulan Merah juga terdapat Chen –
dan satu setengah hari untuk sampai di sisi lain dari Ibukota Yingtian.
“Baiklah…aku pergi sekarang” ujar Jenderal Xu Da
sambil memberi hormat pada para guru yang segera disambut oleh semua guru
dengan membungkukkan tubuh mereka dalam-dalam. Kemudian, Jenderal Xu Da segera
bangkit berdiri dan berjalan cepat menuju pintu. Langkahnya tak berhenti oleh
anak-anak calon prajurit khusus yang bergerombol di dekat pintu untuk melihat
sang panglima besar yang sangat terkenal dan dikagumi oleh seluruh rakyat
karena kemenangan-kemenangan besar yang telah berhasil diraihnya dalam
peperangan. Hingga kemudian, tubuh tinggi besar yang sangat gagah itu telah
berada di atas punggung kuda hitamnya yang juga memiliki kewibawaan besar
seperti tuannya, melesat cepat meninggalkan gerbang sekolah.
Setiap orang yang berada di sepanjang jalan depan
gerbang segera menyingkir dan membungkukkan tubuh mereka dengan hormat saat
mereka melihat bayangan kuda hitam besar yang melesat cepat membawa sang
panglima besar di punggungnya. Hingga kemudian, pada satu titik jalan jauh dari
gerbang istana, kuda hitam itu berhenti setelah meringkik keras sambil
mengangkat sepasang kaki depannya. Jenderal Xu Da menatap ke satu arah, di mana
sesosok tubuh terlihat berlari cepat mendekat dan kemudian berhenti di depan
sang jenderal. Sesosok tubuh tersebut segera membungkuk di depan Jenderal Xu
Da.
“Prajurit Bohai, pergilah ke Kuil Bulan Merah dan
lihat apakah Changyi ada di sana. Bergeraklah dengan hati-hati jangan sampai
terlihat oleh orang-orang Kementerian Pertahanan. Jika kau menemukan Changyi,
segera bawa ia padaku, langsung ke rumahku” perintah Jenderal Xu Da.
“Baik Jenderal!” jawab Tamtama Bohai sambil
kembali membungkuk sebelum kemudian tubuhnya yang juga tinggi dan gagah segera
berkelebat pergi. Sebuah mantel hitam panjang yang menutup hingga puncak kepala
terlihat terbentang menutupi tubuh tinggi dan gagah prajurit kepercayaan sang
panglima besar tersebut. Dan kemudian, hanya dalam beberpa kejab, tubuh
terbalut jubah hitam yang rapat itu telah hilang dibalik batang-batang besar
pepohonan, meninggalkan Jenderal Xu Da di atas kudanya yang terlihat sedikit
termangu. Satu tangannya yang besar dan kasar menepuk leher kudanya.
“Apakah kau tahu di mana Changyi sekarang? Aku
tahu kau menyukainya, benar bukan? Karena itu, jika kau memang sungguh-sungguh
menyukainya, maka bantu aku menemukannya. Lalu, sebagai hadiahnya, aku
mengijinkanmu untuk sejalan dengan Changyi, bersamanya sampai akhir hayatmu.
Apa kau mengerti?” ucap Jenderal Xu Da pada kuda hitam yang menggerak-gerakkan
kepalanya.
Si Hitam mengibaskan rambut di kepala dan lehernya.
Hidungnya mengeluarkan suara dengusan keras sebelum kemudian suara ringkikan
terdengar.
Jenderal Xu Da mengangguk puas. “Bagus!...kau
mengerti apa yang aku katakan. Kalau begitu, sekarang juga, bawa aku mencari
tuanmu yang baru”.
Hanya sedetik setelah Jenderal Xu Da menyelesaikan
ucapannya, kuda hitam yang sangat indah namun sangar itu segera mengangkat dua
kaki depannya dan kemudian melesat cepat. Kali ini, Jenderal Xu Da tidak
mengarahkan tali kekang yang dipegangnya melainkan hanya sekedar memegangnya
saja. Ia mempercayakan arah yang akan diambil oleh kuda hitamnya untuk dapat
menemukan Changyi setelah sang panglima besar tersebut menyadari adanya ikatan
yang aneh di antara Changyi dan kuda hitamnya.
Pohon-pohon yang berdiri tegak seolah berubah
menjadi bayangan saat si kuda hitam yang telah melalui banyak peperangan
tersebut melesat dengan kekuatan penuh menuju satu arah dengan gerak pasti.
**************
Changyi
meletakkan seikat besar kayu bakar di sisi belakang sebuah rumah makan yang
cukup ramai. Di dekat kayu bakar yang baru saja diletakkan oleh Changyi
terlihat telah bertumpuk kayu bakar-bakar lain dalam ikatan yang kuat dan
potongan yang rapi.
Setelah meninggalkan sekolah calon prajurit khusus
dan keluar dari istana, Changyi memutuskan untuk pergi ke Kuil Bulan Merah dan
menjemput Chen. Ia tidak bisa pergi meninggalkan wilayah Kerajaan Ming tanpa
membawa serta Chen. Meskipun dalam surat perintah hukuman, Kaisar hanya
menghendaki agar dirinya segera meningggalkan Ibukota Yingtian dan tidak pernah
lagi menginjakkan kaki di ibukota kerajaan tersebut, namun Changyi merasa bahwa
kehidupannya di Kerajaan Ming sudah berakhir. Tidak akan aman lagi baginya
untuk hidup di bawah bayang-bayang ketakutan dan juga kesedihan atas
kegagalannya menjadi prajurit. Hal lain yang sangat memberatkan hati Changyi
adalah kegagalannya untuk membalas kebaikan Jenderal Xu Da. Hal-hal itulah yang
membuat Changyi memutuskan untuk membawa Chen keluar dari wilayah Kerajaan Ming
Raya. Entah kemana iapun tak tahu, namun pasti akan ada suatu tempat di mana ia
dan Chen dapat hidup dengan aman.
Tapi, untuk melakukan perjalanan sejauh itu, ia
membutuhkan uang. Dan Changyi sudah memutuskan untuk tidak lagi mencuri beras.
Karena itu, saat ia melewati sebuah pasar yang cukup besar di pinggiran
Yingtian, Changyi mencoba menawarkan tenaganya sebagai pencari kayu bakar pada
beberapa rumah makan. Dan ia sangat beruntung karena dua rumah makan langsung
menyetujuinya untuk mencari kayu bakar dengan hitungan dua keping uang perikat
kayu bakar yang berhasil dibawanya. Sejak siang tadi hingga menjelang senja
ini, ia telah berhasil mengumpulkan dua puluh ikat kayu bakar. Itu artinya, ia
berhak untuk mendapatkan empat puluh keping uang. Changyi tersenyum puas
sementara ia menunggu pemilik rumah makan datang dan memberikan uang yang
menjadi haknya.
“Sudah selesai?” suara seorang lelaki bertubuh
pendek dengan perut gembul yang muncul di pintu dapur. Tatapannya beredar
meneliti tumpukan kayu bakar yang terlihat menggunung di beranda belakang dekat
ruang dapur. Kedua matanya berkilat menunjukkan rasa puas.
“Sudah Tuan” sahut Changyi sambil menyeka peluh di
dahinya yang halus dan indah.
“Baiklah…kalau begitu, terimalah uangmu. Jangan
lupa untuk datang lagi dua hari dari sekarang” ujar si pemilik rumah makan
sambil mengulurkan sebuah kantung kain.
Changyi menerima kantung berisi uang yang di
sodorkan oleh pemilik warung sambil membungkuk hormat. Senyum merekah dengan
wajah cerah.
“Terima kasih Tuan” sahut Changyi sambil menimang
kantung berisi uang di tangannya.
Si pemilik warung mengangguk dan melambaikan
tangan kanannya yang gemuk sebagai isyarat agar Changyi segera pergi.
“Baiklah Tuan, kalau begitu, saya pergi. Terima
kasih” sahut Changyi sebagai jawaban atas isyarat tangan dari lelaki pemilik
rumah makan.
Si lelaki pendek gemuk tidak menjawab sehingga
Changyi memutuskan untuk melangkah pergi. Raut wajahnya terlihat begitu cerah
saat menatap kantung berisi uang di tangannya. Dua jarinya kemudian menyusup
masuk ke dalam kantung kain dan menarik keluar sekeping uang. Sejenak jari
jemari Changyi memainkan kepingan uang yang diambilnya.
Hingga kemudian, mendadak sebuah kerut datang di
dahi Changyi yang halus. Tangan Changyi menggenggam sekeping uang di
tangannya lalu perlahan menimang-nimangnya dengan gerakan menimbang sementara
tangan kirinya yang memegang kantung uang juga melakukan hal yang sama.
Menimbang-nimbang kantung tersebut. Lalu, mendadak Changyi berhenti dan
menyisih dari jalan yang di laluinya kemudian duduk di atas batu di sisi jalan.
Tangannya membuka buhul kantung dan mengeluarkan seluruh kepingan uang di
dalamnya. Dengan cepat, Changyi menghitung kepingan uang di atas pangkuannya.
hanya butuh dua detik untuk dapat mengetahui bahwa kepingan yang di terimanya
hanya berjumlah dua puluh keping. Padahal seharusnya ia menerima empat puluh
keping sesuai perjanjian karena satu ikat kayu bakar adalah seharga dua keping
uang. Wajah Changyi mengerut marah saat ia menyadari bahwa lelaki pemilik rumah
makan telah menipunya. Maka, serentak Changyi bangkit berdiri dan berjalan
cepat menuju rumah makan setelah mengembalikan kepingan uang ke dalam
kantungnya. Langkahnya setengah berlari membuat Changyi dapat mencapai rumah
makan tempatnya meletakkan seluruh kayu bakar sebelumnya hanya dalam beberapa detik.
“Tuan?” panggil Changyi pada si pemilik rumah
makan yang terlihat bersiap untuk masuk ke dalam dapur rumah makannya.
Lelaki bertubuh pendek dengan perut gendut menoleh
dan wajahnya terlihat berubah saat ia melihat Changyi datang kembali. Terlebih
ketika dilihatnya wajah Changyi keruh.
“Ada apa?” tanya lelaki gendut pemilik rumah
makan.
“Tuan, Anda salah memberikan uang milik saya” ujar
Changyi sambil menunjukkan kantung uang yang dipegangnya dengan tangan kanan.
Pemilik rumah makan berkerut.
“Salah? Salah bagaimana? Aku sudah memberikan uang
yang menjadi hakmu. Sesuai perjanjian sebelumnya. Satu keping uang untuk satu
ikat kayu bakarmu” jawab si pemilik rumah makan membuat Changyi terperanjat.
“Tidak Tuan!” protes Changyi tegas. “Perjanjian
sebelumnya adalah dua keping uang untuk satu ikat kayu. Sehingga Tuan
seharusnya memberikan empat puluh keping uang untuk dua puluh ikat kayu bakar
saya”.
Si pemilik kayu membelalak dengan wajah marah.
“Apa katamu? Empat puluh keping uang? Jangan
keterlaluan anak muda! Kayumu tidak terlalu bagus. Dua keping uang untuk satu
ikat kayu bakar itu terlalu mahal!” sembur si pemilik rumah makan sambil
menunjuk kayu bakar yang bertumpuk di sisi dapur.
“Tuan..perjanjian adalah perjanjian. Pemilik rumah
makan di sebelah sana mengatakan bahwa kayu saya bagus dan dia memberikan uang
saya sesuai dengan perjanjian. Saya mengambil kayu untuk Tuan dari sumber yang
sama dengan kayu yang saya berikan untuk Tuan pemilik rumah makan di sana.
Lalu, kenapa bisa di depan Tuan kayu itu menjadi jelek? Saya meminta uang yang
menjadi hak saya Tuan. Atau kalu tidak, maka saya akan mengambil kembali
sepuluh ikat kayu yang telah Tuan terima” jawab Changyi dengan suara agak keras
namun bukan sebuah bentakan.
“Apa?! Mengambil kembali kayu yang sudah kau
berikan padaku? Tidak bisa!” teriak pemilik rumah makan benar-benar berang.
“Kayu-kayu ini sudah menjadi milikku. Jika kau mengambilnya kembali maka kau
akan menjadi seorang pencuri kayu!”.
“Jika begitu, maka seharusnya Tuan memenuhi
perjanjian awal dan berikanlah dua puluh keping uang saya yang masih Tuan
genggam itu” ujar Changyi kemudian.
“Itu tidak mungkin anak muda!” bentak si pemilik
rumah makan. “Harga kayu bakar ini hanya satu keping untuk satu ikat!”
“Tuan…jika Tuan tetap berkeras seperti itu, maka
saya akan melaporkan Tuan pada petugas prajurit di ujung pasar ini” ancam
Changyi membuat si pemilik rumah makan semakin murka.
“Kau!...kau anak kecil berani sekali kau
mengancamku? Memangnya kau pikir kau ini siapa…ha?!!” teriak si pemilik rumah
makan setinggi langit membuat orang-orang yang melintas di jalan depan rumah
makan berhenti dan berjalan mendekat saat mendengar suara gaduh di sisi
belakang rumah makan.
“Jika Tuan bersikap curang maka kenapa saya tidak
berani? Orang di hormati bukan karena umurnya Tuan, melainkan karena kebaikan
pribadinya” sahut Changyi tegas.
Si pemilik rumah makan membeliak hingga kedua
matanya nyaris keluar dari rongganya. Satu tangannya bergerak menarik sebuah
sabit di atas satu meja dapur lalu kembali ke hadapan Changyi dan mengacungkan
sabit tersebut dengan gerakan kasar.
“Apa kau ingin merasakan sabetan benda ini di
tubuhmu?!...cepat pergi! Kau tidak punya urusan lagi di sini!!” bentak si
pemilik rumah makan.
Changyi sama sekali tak terlihat takut. Remaja itu
berdiri tegak di tempatnya namun kedua kakinya terlihat menegak dan siap.
“Tidak sebelum Tuan memberikan dua puluh keping
saya yang tersisa” jawab Changyi tegas.
“Kau!!...kalau begitu mampuslah!” teriak si
pemilik rumah makan sambil bergerak menerjang ke depan. Tangan kanannya yang
memegang memegang sabit terayun siap menebas tubuh Changyi.
Namun, belum lagi sabit itu menyentuh kulit tubuh
remaja berparas elok di depannya, mendadak sebuah benturan keras terjadi
membuat bukan hanya sabit tersebut yang terpental jauh melainkan juga tubuh si
pemilik rumah makan turut terlempar menabrak dinding kayu dapurnya hingga dapur
rumah makan itu ambruk seketika. Di susul kemudian sebuah ringkikan kuda yang
sangat keras dan garang membuat semua orang yang berkumpul di tempat tersebut
untuk menonton keributan yang terjadi di belakang dapur seketika menjadi
terkejut saat melihat seekor kuda hitam besar yang sangar berdiri sambil
mengangkat dua kaki depannya ke atas. Di atas punggung kuda tersebut, terlihat
sesosok lelaki bertubuh besar menatap si pemilik warung yang seketika menjadi
pucat pasi saat mengenali lelaki yang baru saja datang dengan kuda hitamnya.
“Tttt….Tuan Panglima Besar?” panggil si pemilik
rumah makan dengan gemetar. Dicobanya untuk bangun dari posisinya yang terlentang
setelah pukulan kaki depan kuda hitam membuatnya terjengkang.
Orang-orang yang semula berkerumun menonton segera
menepi dengan ekspresi takut dan segan saat mereka-pun mengenali siapa adanya
orang yang datang dengan kudanya.
“Jenderal Xu Da!...bukankah itu Jenderal Xu Da?
Panglima Besar kita?” tanya seorang wanita sambil menyodok pinggang suaminya
sambil menunjuk ke arah lelaki gagah di atas punggung kudanya.
“Ssst…jangan keras-keras!...nanti terdengar oleh
Jenderal Xu Da. Iya…itu memang Jenderal Xu Da, panglima besar kita yang sudah
banyak memenangkan peperangan” sahut suami si wanita sambil menangkup mulut
istrinya dengan tangan.
Si wanita manggut-manggut mengerti. Sepasang
matanya menatap penuh kagum ke arah sosok sang jenderal yang duduk di atas punggung
kudanya.
Sementara Jenderal Xu Da mengacungkan jari
telunjuknya ke arah lelaki pemilik rumah makan.
“Kau! Berikan sisa upah anak itu atau aku akan
membawamu ke penjara dan mengurungmu untuk waktu yang sangat lama!” seru
Jenderal Xu Da dengan nada yang sangat tegas tanpa kompromi.
Si pemilik rumah makan yang telah berhasil bangkit
dari lantai dapur yang jebol berlutut di depan Jenderal Xu Da. Kedua tangannya
tertangkup di depan dada dengan gemetar.
“Ampun Tuan Jenderal…ampuni saya….tolong jangan penjarakan
saya Jenderal…saya mohon jangan penjarakan saya…” rintih si pemilik rumah makan
dengan raut wajah memelas.
“Kalau begitu cepat berikan uang anak itu!” bentak
Jenderal Xu Da keras sementara sang kuda hitam menaikkan kaki depannya di depan
si pemilik rumah makan.
“Yyyya…ya Jenderal…baik..baik..saya akan memberikan
uang anak itu….” Sahut si pemilik rumah makan sambil merogoh ke balik
pakaiannya. Kedua tangannya yang gemetar membuat sebuah kantung berukuran besar
yang diambilnya terjatuh ke lantai dapur dan isinya berhamburan keluar. Itu
kepingan uang yang sangat banyak. Si pemilik rumah makan segera meraup
keping-keping uang di lantai dapur lalu segera mengangsurkannya pada
Changyi. Tanpa menghitung lagi. “Ini….ini uangmu anak muda….ambillah…ambillah”.
Changyi yang terperanjat karena tak menduga akan
datangnya si kuda hitam yang sangat dikenalnya bersama dengan Jenderal Xu Da di
atas punggung si Hitam justu sama sekali tak menatap ke arah si pemilik rumah
makan dan uang di tangannya. Pandangan anak itu lurus tertuju pada dua sosok
yang ada di depannya. Pada si Hitam yang telah menurunkan kaki depannya ke
tanah dan kini menatap ke arahnya dengan suara ringkikan halus serta sosok di
atas punggung si Hitam yang juga tengah menatap ke arahnya. Berbagai emosi rasa
bergumul di ruang dada Changyi. Rasa sedih saat teringat bahwa ia telah gagal
untuk memenuhi harapan Jenderal Xu Da, rasa malu karena ia telah tersisih dari
sekolah calon prajurit khusus dan istana dengan cara yang begitu hina, serta
sebuah rasa…rindu yang tak di mengertinya. Kapan terakhir kali ia merasakan
rasa rindu seperti yang di rasakannya saat ini? Rasa rindu setelah ia tak lagi
melihat Jenderal Xu Da sejak lebih dari tiga bulan lalu.
Dan kenapa ia bisa memiliki rasa rindu pada sosok Jenderal
Xu Da seolah Sang Panglima Besar Dinasti Ming itu adalah…..
Ayahnya?
Bagaimana bisa?.
Changyi menelan ludah yang terasa mengganjal di
lehernya. Sepasang tangannya terkepal kuat di sisi tubuh. Ia sama sekali tak
mendengar suara si pemilik rumah makan yang memohon-mohon padanya untuk
menerima sisa uang upahnya yang disodorkan oleh lelaki pendek gendut itu.
“Terimalah uang itu” suara Jenderal Xu Da yang
tegas dan berat seperti sebuah tiupan angin keras yang menyadarkan Changyi, membuat
remaja itu seketika menoleh ke arah pemilik rumah makan dan mengulurkan
tangannya menerima kepingan uang yang disodorkan padanya.
Kening Changyi berkerut saat ia melihat uang yang
diterimanya berjumlah demikian banyak. Dengan cepat jemari Changyi memunguti
kepingan uang hingga sejumlah dua puluh keping dan kemudian, tangannya
mengulurkan kembali sisa uang lebih pada si pemilik rumah makan.
“Tuan hanya perlu menambahkan dua puluh keping
uang saya. Ini sisanya Tuan….ambillah kembali” tutur Changyi sambil meletakkan
sisa uang ke atas pangkuan si pemilik rumah makan.
Lelaki pendek gendut pemilik rumah makan tertegun,
namun hanya sesaat karena sejenak kemudian, airmatanya mulai mengalir dengan
deras.
“Terima kasih anak muda. Ternyata kau memang anak
baik dan jujur. Akulah yang curang….maafkan aku anak muda. Maafkan saya Tuan
Jenderal” sedu si pemilik rumah makan yang disambut cibiran orang-orang yang
berdiri menonton di sekeliling rumah makan.
Changyi hanya mengangguk karena pandangannya
kembali pada sosok di atas kuda hitam yang tengah memandangnya dengan tajam. Changyi
menelan ludah kembali sebelum mulai bicara.
“Jenderal….saya…”
“Ikut aku…sekarang!” potong Jenderal Xu Da tegas
sambil menghela si Hitam untuk berbalik dan kemudian menggebrak kuda hitam yang
luar biasa itu, melesat meninggalkan kerumunan orang-orang pasar dan si pemilik
rumah makan yang masih tersedu-sedu di lantai tanah dapurnya.
Changyi yang mendengar ucapan Jenderal Xu Da
sedetik terkejut namun kemudian, tubuhnya segera melesat pula dalam lari yang
cepat. Semakin lama, lari Changyi semakin cepat hingga ia bisa menyusul deru si
Hitam dalam jarak hanya beberapa tombak di belakangnya. Changyi tak tahu – dan tidak
peduli – kemana Jenderal Xu Da akan membawanya. Mereka telah jauh melewati
perbatasan ibukota Yingtian dan kini, mereka berada di sebuah jalan yang sunyi
di sisi sebuah hutan yang sangat lebat. Hingga kemudian, tiba-tiba si Hitam
berhenti membuat Changyi turut pula berhenti.
Changyi berdiri menanti. Pandangannya lurus pada
sosok Jenderal Xu Da seolah hendak mengisikan sosok yang menghilang sejak tiga
bulan lalu itu sebanyak-banyaknya dalam ruang ingatannya.
Jenderal Xu Da menatap Changyi tajam. Sepasang matanya
berkilat.
“Kenapa kau pergi dan lari begitu saja?” tanya
Jenderal Xu Da kemudian.
“Maafkan saya Jenderal…” sahut Changyi.
“Jangan minta maaf!” sentak Jenderal Xu Da keras
dan tajam. “Aku ingin mendengar jawabanmu, bukan permintaan maaf
darimu!...cepat jawab!”.
“Siap Jenderal!” sahut Changyi dengan sikap tegak
hormat. Ia menyadari bahwa saat ini ia berhadapan dengan pemilik seluruh
kekuatan militer di Dinasti Ming. “Saya pergi atas perintah dari Yang Mulia
Kaisar sebagai hukuman atas kelalaian saya di sekolah!”.
“Dan apa kesalahanmu? Jawab!” tanya Jenderal Xu Da
kembali.
“Kesalahan saya adalah, pertama saya telah
berkelahi dengan Fengyin, putra angkat dari Jenderal Lan Yu. Kedua, karena saya
telah mempelajari Buku Strategi Perang yang seharusnya hanya menjadi milik para
jenderal dan pangeran. Ketiga, karena saya adalah pelayan sehingga Kaisar
melarang saya untuk mengikuti ujian akhir di istana maupun di sekolah
keprajuritan manapun!” jawab Changyi dengan suara bening dan tegas meski
sesungguhnya, jawaban yang di beberkannya seperti menghentak kembali rasa sedih
di hatinya.
“Dan kau segera melaksanakan perintah Kaisar
tersebut?” tanya Jenderal Xu Da, kali ini nada suaranya sedikit menurun dan
lebih lembut.
“Ya Jenderal!..” jawab Changyi.
“Kenapa?” tanya Jenderal Xu Da kembali.
“Karena hanya itulah yang dapat saya lakukan
sebagai bentuk pengabdian sayap ada Kaisar dan negara” jawab Changyi sambil
menelan ludahnya. Kembali.
Dan Jenderal Xu Da menangkap gerakan sulit di
leher Changyi saat remaja yang rupawan itu berusaha menyembunyikan luka
hatinya.
“Dan lari sebagai pengecut? Kenapa tidak kau
tunjukkan bahwa kau pantas untuk menjadi
seorang prajurit yang bisa di andalkan oleh Kaisar?” tanya Jenderal Xu Da
membuat Changyi terkejut.
Changyi menatap Jenderal Xu Da dengan sorot
sedikit bingung.
“Dan tentang Buku Strategi Perang itu, kenapa
tidak kau tunjukkan pada Kaisar bahwa kau memang pantas untuk memilikinya?”
tanya Jenderal Xu Da lagi membuat kening Changyi berkerut semakin dalam.
Lalu perlahan, Changyi mulai mengerti arah maksud
dari pertanyaan Jenderal Xu Da padanya. Namun, seiring pengertian tersebut
datang padanya, saat itu pula datang seleret kesedihan yang menggempur sisi
kekuatan hati Changyi. Itu adalah kenyataan tentang siapa dirinya. Latar belakang
kehidupannya yang tak bisa di ubah oleh siapapun. Perlahan kepala Changyi
tertunduk.
“Tapi…saya hanyalah pelayan dan saya tidak
memiliki keluarga maupun orangtua Jenderal. Maafkan saya” sahut Changyi lirih.
“Apakah untuk menjadi keluarga harus ada hubungan
ikatan darah?” tanya Jenderal Xu Da, hanya sedetik setelah Changyi
menyelesaikan jawabannya.
Changyi mengangkat wajahnya dengan raut kembali
terkejut.
“Apa yang Jenderal maksud?” tanya Changyi tak
mengerti. Kenapa Jenderal Xu Da menirukan ucapannya tentang hakikat
persaudaraan dan keluarga?.
“Kau sendiri yang mengatakan bahwa untuk menjadi
saudaramu, Chen tidak harus berasal dari satu orangtua denganmu. Lalu, untuk
bisa menjadi ayahmu, apakah aku harus berasal dari satu ikatan darah denganmu?”
tanya Jenderal Xu Da. Nada suaranya pelan, tetap terdengar tegas namun terasa
mengalun seolah dalam suara tersebut tersembunyi sebuah aliran emosi yang
dicoba untuk di tekan jauh-jauh di dasar hati.
Namun, suara pelan sang panglima besar tersebut
terdengar seperti sebuah genderang yang sangat keras di telinga Changyi membuat
sang remaja rupawan yang cemerlang bahkan dalam pakaiannya yang kumal itu
seketika terbelalak.
“Jenderal?” panggil Changyi nyaris serapuh angin
di musim gugur.
“Jawab pertanyaanku Changyi. Apakah untuk menjadi
ayahmu, aku harus memiliki ikatan darah denganmu? Apakah untuk memiliki nama
marga Xu di depan namamu, kau harus terlahir dari Nyonya Xu Da?” ulang Jenderal
Xu Da dengan nada tenang sementara suara si Hitam meringkik pelan dan halus.
“Tidak Jenderal” jawab Changyi rapuh.
“Kalau begitu, kenapa kau tidak mulai untuk
memanggilku ‘Ayah’ sebagaimana yang seharusnya
kau lakukan pada ayahmu?” tanya Jenderal Xu Da kembali.
Gemuruh rasa seolah meledak secara bersamaan di dada
Changyi. Rasa bahagia dan gembira yang sulit di ucapkan dengan kata-kata namun
juga rasa tak percaya dan takut andai apa yang di dengarnya hanyalah sebuah
mimpi yang akan lenyap begitu dirinya terbangun. Namun, seluruh gejolak rasa
bahagia yang menyeret keharuan itu membuat kedua lutut Changyi menekuk dan
remaja itu kemudian berlutut di depan Jenderal Xu Da tanpa mampu berkata-kata.
“Bangunlah…kita harus pulang sekarang” ucap
Jenderal Xu Da setelah tertegun sesaat melihat Changyi yang berlutut di
depannya. “Aku harus menghadap Kaisar dan kau harus mempersiapkan dirimu untuk
ujian akhir besok pagi. Cepat bangun!”.
Changyi bangkit dari atas tanah jalan. Kepalanya tertunduk
dan untuk kali ini, sebuah kekuatan tak kasat mata membuatnya tak lagi mampu
untuk menatap langsung ke arah Jenderal Xu Da.
“Naiklah….hari akan segera malam. Kita harus
sampai di rumah sebelum malam benar-benar turun” ucap Jenderal Xu Da.
Si Hitam meringkik sedikit keras dan menggeleng-gelengkan
kepalanya hingga rambutnya terkibas. Gerak geriknya terlihat gembira dan riang
sementara empat kakinya bergerak-gerak seperti tak sabar untuk melompat. Sepasang
mata kuda yang jernih dan bulat hitam itu menatap Changyi dengan sorot suka
cita membuat Changyi tertawa dalam hati.
“Cepatlah…kudamu sudah tak sabar” sahut Jenderal
Xu Da kembali membuat Changyi kembali terkejut dan kali ini, wajah yang semakin
cemerlang dalam luapan rasa gembira itu terangkat dan menatap Jenderal Xu Da.
“Kuda saya Jenderal?” tanya Changyi.
Jenderal Xu Da mengangguk.
“Benar. Aku sudah berjanji pada si Hitam, jika ia
bisa menemukanmu, maka kalian bisa bersama. Jadi mulai hari ini, dia milikmu”
ucap Jenderal Xu Da. “Cepat naiklah”.
Sepasang Changyi membelalak tak percaya dan
sedetik kemudian pandangannya tersapu pada sosok si Hitam yang terus bergerak
tak sabar. Bahkan kemudian, kuda hitam yang luar biasa itu bergerak mendekat ke
arah Changyi membuat Changyi tersadar dan segera melompat ke belakang punggung
Jenderal Xu Da setelah lebih dulu membungkuk hormat pada sang jenderal.
“Nah Changyi…ingat hal ini baik-baik” ucap
Jenderal Xu Da saat Changyi telah duduk di belakangnya. “Mulai hari ini, siapapun
yang melihatmu, maka mereka melihat putraku. Kemanapun kau pergi, mulai hari
ini kau akan selalu membawa namaku di depan namamu karena mulai hari ini namamu
adalah Xu Changyi putra dari Jenderal Xu Da. Jagalah sikapmu karena mulai hari
ini, kau akan menjadi teladan bagi siapapun yang menatapmu. Apakah kau
mengerti?”
Changyi mengangguk. “Saya mengerti
Jenderal..terima kasih banyak karena..”
“Kau mengerti Changyi? Kenapa aku tidak mendengar
putraku menjawab pertanyaanku?” ulang Jenderal Xu Da lagi.
“Ya..saya mengerti Jenderal” jawab Changyi
mengeraskan suaranya. “Saya akan berusaha untuk melaksanakan…”
“Changyi!...kenapa kau tidak menjawab ayahmu? Apakah
kau mengerti?” ulang Jenderal Xu Da memotong ucapan Changyi membuat remaja itu
bingung.
Namun kemudian, semburat merah merona di pipi
Changyi saat ia menyadari makna pertanyaan yang di lontarkan oleh Jenderal Xu
Da.
“Ya…saya mengerti…Ayah” sahut Changyi kemudian,
tak lagi sekeras sebelumnya,lebih terdengar seperti sebuah bisikan halus. “Saya
akan selalu mengingat kata-kata Ayah”.
“Bagus!...” ucap Jenderal Xu Da. “Sekarang
berpeganganlah padaku”.
“Baik Ayah” jawab Changyi sambil memegang ikat
pinggang Jenderal Xu Da di bagian pinggang. Kali ini dengan sepenuh hati tanpa
rasa canggung seperti yang pernah di rasakannya saat ia di bawa oleh Jenderal
Xu Da dari Kuil Bulan Merah tiga bulan lalu. Rasa canggung itu telah lenyap
tanpa bekas, berganti oleh rasa hangat dan
aman.
“Pertanyaan semudah itu, kenapa kau lambat sekali
menjawab ayahmu?” gumam Jenderal Xu Da sambil mulai menggebrak tali kekang si
Hitam.
Namun Changyi mendengar gumaman halus Jenderal Xu Da.
Suara gumaman yang semakin mengeratkan genggaman jemarinya pada ikat pinggang
sang panglima besar yang kini tak lagi sekedar seorang jenderal besar yang
sangat dikagumi dan di hormatinya, namun juga seorang ayah yang dirindukan dan
dicemaskannya selama tiga bulan kepergiannya ke Karakorum.
Kuda hitam yang sangat terkenal itu melesat cepat
menembus malam yang mulai merambat turun menuju Yingtian sambil membawa satu
matahari baru yang terlahir dan akan menyinari seluruh musim dengan
keindahannya yang paling cemerlang.
*************
Tidak ada komentar:
Posting Komentar