Minggu, 05 April 2015

Straight - Episode 3 ( Bagian Empat )



 Sebuah kuda hitam berhenti depan sekolah calon prajurit khusus setelah terlebih dulu meringkik keras sambil mengangkat sepasang kaki depannya. Kemudian sesosok tubuh tinggi besar melompat turun dari atas kuda dan berjalan cepat menujukearah bangunan yang luas dan bersih. Wajahnya terlihat sedikit semburat marah bercampur cemas meski terlihat bahwa sosok tinggi besar tersebut dapat mengendalikan rasa hatinya hingga tidak melunturkan sedikitpun kharisma yang ada di seluruh penampilannya. Sebuah gulungan kertas tergenggam di tangan kirinya. Beberapa siswa yang berpapasan dengan sosok tinggi besar tersebut segera mundur dan membungkuk dengan wajah memancarkan rasa takut.
Hingga kemudian, saat seorang guru pengajar keluar dan menyambut, sosok bertinggi besar yang sangat berwibawa itu berhenti.
“Jenderal Xu Da…selamat datang di sekolah calon prajurit khusus. Sungguh tidak di sangka, Tuan Jenderal telah tiba dari Karakorum” ucap sang guru pengajar sambil membungkukkan tubuhnya dalam-dalam.
Jenderal Xu Da terdiam sejenak. Di tatapnya sang guru pengajar dengan pandangan tajam membuat sang guru segera menunduk dalam.
“Aku harus berbicara dengan Anda Guru” ucap Jenderal Xu Da tak mengindahkan sambutan sang guru pengajar membuat lelaki yang tengah membungkuk di depan Jenderal Xu Da segera menyadari bahwa sang Panglima besar yang baru saja tiba dari Karakorum tersebut tengah murka di balik ketenangan wajah dan kekuatan kharismanya yang dahsyat.
Dan sang guru telah menduga, hal apa yang akan di bicarakan oleh sang panglima besar. Karena itu, guru berumur setengah baya tersebut segera melangkah ke samping untuk memberi jalan bagi Jenderal Xu Da.
“Baiklah Tuan Jenderal. Silahkan masuk ke dalam” sahut sang guru.
Jenderal Xu Da mengangguk sekilas sebelum kemudian berjalan menuju pintu ruang dalam mendahului guru pengajar yang berjalan di belakangnya. Beberapa guru pengajar lain yang segera mendekat turut melangkah masuk ke dalam ruangan yang mirip dengan sebuah aula kecil, tempat di mana para guru pengajar berkumpul.
“Bagaimana hal itu bisa terjadi?” tanya Jenderal Xu Da dengan nada mulai meninggi saat sang guru baru saja selesai memberikan penjelasan tentang Changyi yang telah pergi dari sekolah calon prajurit khusus atas perintah dari kaisar. “Anak itu aku yang membawanya. Seharusnya kalian menungguku untuk memberiku laporan jika memang ia telah melakukan kesalahan dan tidak menghukumnya di luar sepengetahuanku”.
“Maafkan kami Tuan Jenderal” jawab satu guru yang lain. “Kami semua di sini sama sekali tidak berdaya. Sekolah ini berada di bawah kewenangan Kementerian Pertahanan dan Fengyin bersaudara adalah anak-anak angkat dari Jenderal Lan Yu. Kami memang pengecut karena kami merasa takut. Karena itu, mohon ampunilah kami Tuan Jenderal”.
Jenderal Xu Da menghela nafas dengan kecewa. Ia memang menyadari bahwa sekolah ini berada di bawah kewenangan Kementerian Pertahanan, namun ia sama sekali tak pernah mengira bahwa kenyataan itu akan membuat posisi Chanyi menjadi sangat sulit. Ia baru saja tiba dari Karakorum tadi pagi dan sedang bersiap-siap untuk menhadap Kaisar. Namun, Kasim Anta yang merupakan pengasuh dari pangeran keempat datang dan memberikan surat dari sang pangeran yang telah akrab dengannya itu. Dan hal yang ditemukannya dalam surat tersebut benar-benar membuatnya kalut.
Apakah Jenderal Lan Yu begitu serius memendam dendam padanya atas keputusan Kaisar memilih dirinya sebagai Panglima Besar hingga Changyi yang sama sekali tak terlibat ikut menerima getahnya?
“Kapan Changyi meninggalkan istana?” tanya Jenderal Xu Da kemudian.
“Tadi pagi Tuan Jenderal. Prajurit dari Kementerian Pertahanan mengantarnya sampai keluar dari gerbang istana” jawab guru yang duduk tepat di depan Jenderal Xu Da.
“Apakah ia mengatakan kemana ia akan pergi?” tanya Jenderal lagi.
“Tidak Jenderal. Saat berpamitan, Changyi hanya meminta maaf pada kami semua dan teman-temannya, juga…ia menitipkan pesan pada kami agar di sampaikan pada Jenderal Xu Da saat pulang dari Karakorum” jawab satu orang guru yang tampaknya merupakan guru yang paling tua.
Jenderal Xu Da berpaling menatap sang guru.
“Pesan apa?” tanyanya cepat.
“Changyi memohon maaf karena telah melakukan hal yang sangat buruk dan membuat Jenderal Xu Da kecewa. Ia sangat ingin melakukan hal-hal yang dapat membuat Jenderal Xu Da bangga dan membalas kebaikan Jenderal padanya dan juga adiknya, namun tampaknya, ia belum bisa melakukannya sekarang sehingga untuk saat ini, yang bisa dilakukannya hanyalah meminta maaf. Namun Changyi mengatakan bahwa ia akan selalu mengingat kebaikan Tuan Jenderal dan pasti akan membalas kebaikan Tuan Jenderal suatu hari nanti, entah bagaimanapun caranya” jawab sang guru menirukan ucapan Changyi sebelum pergi.
Jenderal Xu Da merasakan sebuah rasa gemuruh menyusup di ruang dadanya. Seperti rasa haru bercampur iba. Seperti rasa ingin memeluk anak yang telah merebut tempat di hatinya sejak ia melihatnya dua tahun lalu di desa, di bawah pengejaran para penduduk desa yang marah. Sungguh, Jenderal Xu Da tak mengerti, hal apa yang dimiliki oleh seorang Changyi hingga membuatnya merasa seolah anak tersebut adalah anak lelakinya? Putranya?.
Dan anak itu pergi meninggalkan istana tadi pagi.
Jenderal Xu Da mengingat-ingat. Tadi pagi, itu berarti saat ia mulai memasuki wilayah Yingtian. Sekarang sudah menjelang sore. Ia yakin Changyi tidak memiliki uang untuk menyewa sebuah kuda sehingga anak itu pasti hanya berjalan kaki menuju tempat manapun yang ada dalam pikirannya. Tapi, perjalanan dengan kaki akan membuat anak itu masih berada di wilayah Ibukota Yingtian karena kota ini luas. Perlu sehari penuh untuk sampai di perbatasan ibukota Yingtian di sisi timur – itu jika Changyi memutuskan untuk kembali ke Kuil Bulan Merah, karena memang hanya tempat itu satu-satunya tempat yang mungkin akan di tuju oleh Changyi. Selain karena memang Changyi tak memiliki tempat lain untuk di tuju, di Kuil Bulan Merah juga terdapat Chen – dan satu setengah hari untuk sampai di sisi lain dari Ibukota Yingtian.
“Baiklah…aku pergi sekarang” ujar Jenderal Xu Da sambil memberi hormat pada para guru yang segera disambut oleh semua guru dengan membungkukkan tubuh mereka dalam-dalam. Kemudian, Jenderal Xu Da segera bangkit berdiri dan berjalan cepat menuju pintu. Langkahnya tak berhenti oleh anak-anak calon prajurit khusus yang bergerombol di dekat pintu untuk melihat sang panglima besar yang sangat terkenal dan dikagumi oleh seluruh rakyat karena kemenangan-kemenangan besar yang telah berhasil diraihnya dalam peperangan. Hingga kemudian, tubuh tinggi besar yang sangat gagah itu telah berada di atas punggung kuda hitamnya yang juga memiliki kewibawaan besar seperti tuannya, melesat cepat meninggalkan gerbang sekolah.
Setiap orang yang berada di sepanjang jalan depan gerbang segera menyingkir dan membungkukkan tubuh mereka dengan hormat saat mereka melihat bayangan kuda hitam besar yang melesat cepat membawa sang panglima besar di punggungnya. Hingga kemudian, pada satu titik jalan jauh dari gerbang istana, kuda hitam itu berhenti setelah meringkik keras sambil mengangkat sepasang kaki depannya. Jenderal Xu Da menatap ke satu arah, di mana sesosok tubuh terlihat berlari cepat mendekat dan kemudian berhenti di depan sang jenderal. Sesosok tubuh tersebut segera membungkuk di depan Jenderal Xu Da.
“Prajurit Bohai, pergilah ke Kuil Bulan Merah dan lihat apakah Changyi ada di sana. Bergeraklah dengan hati-hati jangan sampai terlihat oleh orang-orang Kementerian Pertahanan. Jika kau menemukan Changyi, segera bawa ia padaku, langsung ke rumahku” perintah Jenderal Xu Da.
“Baik Jenderal!” jawab Tamtama Bohai sambil kembali membungkuk sebelum kemudian tubuhnya yang juga tinggi dan gagah segera berkelebat pergi. Sebuah mantel hitam panjang yang menutup hingga puncak kepala terlihat terbentang menutupi tubuh tinggi dan gagah prajurit kepercayaan sang panglima besar tersebut. Dan kemudian, hanya dalam beberpa kejab, tubuh terbalut jubah hitam yang rapat itu telah hilang dibalik batang-batang besar pepohonan, meninggalkan Jenderal Xu Da di atas kudanya yang terlihat sedikit termangu. Satu tangannya yang besar dan kasar menepuk leher kudanya.
“Apakah kau tahu di mana Changyi sekarang? Aku tahu kau menyukainya, benar bukan? Karena itu, jika kau memang sungguh-sungguh menyukainya, maka bantu aku menemukannya. Lalu, sebagai hadiahnya, aku mengijinkanmu untuk sejalan dengan Changyi, bersamanya sampai akhir hayatmu. Apa kau mengerti?” ucap Jenderal Xu Da pada kuda hitam yang menggerak-gerakkan kepalanya.
Si Hitam mengibaskan rambut di kepala dan lehernya. Hidungnya mengeluarkan suara dengusan keras sebelum kemudian suara ringkikan terdengar.
Jenderal Xu Da mengangguk puas. “Bagus!...kau mengerti apa yang aku katakan. Kalau begitu, sekarang juga, bawa aku mencari tuanmu yang baru”.
Hanya sedetik setelah Jenderal Xu Da menyelesaikan ucapannya, kuda hitam yang sangat indah namun sangar itu segera mengangkat dua kaki depannya dan kemudian melesat cepat. Kali ini, Jenderal Xu Da tidak mengarahkan tali kekang yang dipegangnya melainkan hanya sekedar memegangnya saja. Ia mempercayakan arah yang akan diambil oleh kuda hitamnya untuk dapat menemukan Changyi setelah sang panglima besar tersebut menyadari adanya ikatan yang aneh di antara Changyi dan kuda hitamnya.
Pohon-pohon yang berdiri tegak seolah berubah menjadi bayangan saat si kuda hitam yang telah melalui banyak peperangan tersebut melesat dengan kekuatan penuh menuju satu arah dengan gerak pasti.
**************

 Changyi meletakkan seikat besar kayu bakar di sisi belakang sebuah rumah makan yang cukup ramai. Di dekat kayu bakar yang baru saja diletakkan oleh Changyi terlihat telah bertumpuk kayu bakar-bakar lain dalam ikatan yang kuat dan potongan yang rapi.
Setelah meninggalkan sekolah calon prajurit khusus dan keluar dari istana, Changyi memutuskan untuk pergi ke Kuil Bulan Merah dan menjemput Chen. Ia tidak bisa pergi meninggalkan wilayah Kerajaan Ming tanpa membawa serta Chen. Meskipun dalam surat perintah hukuman, Kaisar hanya menghendaki agar dirinya segera meningggalkan Ibukota Yingtian dan tidak pernah lagi menginjakkan kaki di ibukota kerajaan tersebut, namun Changyi merasa bahwa kehidupannya di Kerajaan Ming sudah berakhir. Tidak akan aman lagi baginya untuk hidup di bawah bayang-bayang ketakutan dan juga kesedihan atas kegagalannya menjadi prajurit. Hal lain yang sangat memberatkan hati Changyi adalah kegagalannya untuk membalas kebaikan Jenderal Xu Da. Hal-hal itulah yang membuat Changyi memutuskan untuk membawa Chen keluar dari wilayah Kerajaan Ming Raya. Entah kemana iapun tak tahu, namun pasti akan ada suatu tempat di mana ia dan Chen dapat hidup dengan aman.
Tapi, untuk melakukan perjalanan sejauh itu, ia membutuhkan uang. Dan Changyi sudah memutuskan untuk tidak lagi mencuri beras. Karena itu, saat ia melewati sebuah pasar yang cukup besar di pinggiran Yingtian, Changyi mencoba menawarkan tenaganya sebagai pencari kayu bakar pada beberapa rumah makan. Dan ia sangat beruntung karena dua rumah makan langsung menyetujuinya untuk mencari kayu bakar dengan hitungan dua keping uang perikat kayu bakar yang berhasil dibawanya. Sejak siang tadi hingga menjelang senja ini, ia telah berhasil mengumpulkan dua puluh ikat kayu bakar. Itu artinya, ia berhak untuk mendapatkan empat puluh keping uang. Changyi tersenyum puas sementara ia menunggu pemilik rumah makan datang dan memberikan uang yang menjadi haknya.
“Sudah selesai?” suara seorang lelaki bertubuh pendek dengan perut gembul yang muncul di pintu dapur. Tatapannya beredar meneliti tumpukan kayu bakar yang terlihat menggunung di beranda belakang dekat ruang dapur. Kedua matanya berkilat menunjukkan rasa puas.
“Sudah Tuan” sahut Changyi sambil menyeka peluh di dahinya yang halus dan indah.
“Baiklah…kalau begitu, terimalah uangmu. Jangan lupa untuk datang lagi dua hari dari sekarang” ujar si pemilik rumah makan sambil mengulurkan sebuah kantung kain.
Changyi menerima kantung berisi uang yang di sodorkan oleh pemilik warung sambil membungkuk hormat. Senyum merekah dengan wajah cerah.
“Terima kasih Tuan” sahut Changyi sambil menimang kantung berisi uang di tangannya.
Si pemilik warung mengangguk dan melambaikan tangan kanannya yang gemuk sebagai isyarat agar Changyi segera pergi.
“Baiklah Tuan, kalau begitu, saya pergi. Terima kasih” sahut Changyi sebagai jawaban atas isyarat tangan dari lelaki pemilik rumah makan.
Si lelaki pendek gemuk tidak menjawab sehingga Changyi memutuskan untuk melangkah pergi. Raut wajahnya terlihat begitu cerah saat menatap kantung berisi uang di tangannya. Dua jarinya kemudian menyusup masuk ke dalam kantung kain dan menarik keluar sekeping uang. Sejenak jari jemari Changyi memainkan kepingan uang yang diambilnya.
Hingga kemudian, mendadak sebuah kerut datang di dahi Changyi yang halus. Tangan Changyi menggenggam sekeping uang di tangannya lalu perlahan menimang-nimangnya dengan gerakan menimbang sementara tangan kirinya yang memegang kantung uang juga melakukan hal yang sama. Menimbang-nimbang kantung tersebut. Lalu, mendadak Changyi berhenti dan menyisih dari jalan yang di laluinya kemudian duduk di atas batu di sisi jalan. Tangannya membuka buhul kantung dan mengeluarkan seluruh kepingan uang di dalamnya. Dengan cepat, Changyi menghitung kepingan uang di atas pangkuannya. hanya butuh dua detik untuk dapat mengetahui bahwa kepingan yang di terimanya hanya berjumlah dua puluh keping. Padahal seharusnya ia menerima empat puluh keping sesuai perjanjian karena satu ikat kayu bakar adalah seharga dua keping uang. Wajah Changyi mengerut marah saat ia menyadari bahwa lelaki pemilik rumah makan telah menipunya. Maka, serentak Changyi bangkit berdiri dan berjalan cepat menuju rumah makan setelah mengembalikan kepingan uang ke dalam kantungnya. Langkahnya setengah berlari membuat Changyi dapat mencapai rumah makan tempatnya meletakkan seluruh kayu bakar sebelumnya hanya dalam beberapa detik.
“Tuan?” panggil Changyi pada si pemilik rumah makan yang terlihat bersiap untuk masuk ke dalam dapur rumah makannya.
Lelaki bertubuh pendek dengan perut gendut menoleh dan wajahnya terlihat berubah saat ia melihat Changyi datang kembali. Terlebih ketika dilihatnya wajah Changyi keruh.
“Ada apa?” tanya lelaki gendut pemilik rumah makan.
“Tuan, Anda salah memberikan uang milik saya” ujar Changyi sambil menunjukkan kantung uang yang dipegangnya dengan tangan kanan.
Pemilik rumah makan berkerut.
“Salah? Salah bagaimana? Aku sudah memberikan uang yang menjadi hakmu. Sesuai perjanjian sebelumnya. Satu keping uang untuk satu ikat kayu bakarmu” jawab si pemilik rumah makan membuat  Changyi terperanjat.
“Tidak Tuan!” protes Changyi tegas. “Perjanjian sebelumnya adalah dua keping uang untuk satu ikat kayu. Sehingga Tuan seharusnya memberikan empat puluh keping uang untuk dua puluh ikat kayu bakar saya”.
Si pemilik kayu membelalak dengan wajah marah.
“Apa katamu? Empat puluh keping uang? Jangan keterlaluan anak muda! Kayumu tidak terlalu bagus. Dua keping uang untuk satu ikat kayu bakar itu terlalu mahal!” sembur si pemilik rumah makan sambil menunjuk kayu bakar yang bertumpuk di sisi dapur.
“Tuan..perjanjian adalah perjanjian. Pemilik rumah makan di sebelah sana mengatakan bahwa kayu saya bagus dan dia memberikan uang saya sesuai dengan perjanjian. Saya mengambil kayu untuk Tuan dari sumber yang sama dengan kayu yang saya berikan untuk Tuan pemilik rumah makan di sana. Lalu, kenapa bisa di depan Tuan kayu itu menjadi jelek? Saya meminta uang yang menjadi hak saya Tuan. Atau kalu tidak, maka saya akan mengambil kembali sepuluh ikat kayu yang telah Tuan terima” jawab Changyi dengan suara agak keras namun bukan sebuah bentakan.
“Apa?! Mengambil kembali kayu yang sudah kau berikan padaku? Tidak bisa!” teriak pemilik rumah makan benar-benar berang. “Kayu-kayu ini sudah menjadi milikku. Jika kau mengambilnya kembali maka kau akan menjadi seorang pencuri kayu!”.
“Jika begitu, maka seharusnya Tuan memenuhi perjanjian awal dan berikanlah dua puluh keping uang saya yang masih Tuan genggam itu” ujar Changyi kemudian.
“Itu tidak mungkin anak muda!” bentak si pemilik rumah makan. “Harga kayu bakar ini hanya satu keping untuk satu ikat!”
“Tuan…jika Tuan tetap berkeras seperti itu, maka saya akan melaporkan Tuan pada petugas prajurit di ujung pasar ini” ancam Changyi membuat si pemilik rumah makan semakin murka.
“Kau!...kau anak kecil berani sekali kau mengancamku? Memangnya kau pikir kau ini siapa…ha?!!” teriak si pemilik rumah makan setinggi langit membuat orang-orang yang melintas di jalan depan rumah makan berhenti dan berjalan mendekat saat mendengar suara gaduh di sisi belakang rumah makan.
“Jika Tuan bersikap curang maka kenapa saya tidak berani? Orang di hormati bukan karena umurnya Tuan, melainkan karena kebaikan pribadinya” sahut Changyi tegas.
Si pemilik rumah makan membeliak hingga kedua matanya nyaris keluar dari rongganya. Satu tangannya bergerak menarik sebuah sabit di atas satu meja dapur lalu kembali ke hadapan Changyi dan mengacungkan sabit tersebut dengan gerakan kasar.
“Apa kau ingin merasakan sabetan benda ini di tubuhmu?!...cepat pergi! Kau tidak punya urusan lagi di sini!!” bentak si pemilik rumah makan.
Changyi sama sekali tak terlihat takut. Remaja itu berdiri tegak di tempatnya namun kedua kakinya terlihat menegak dan siap.
“Tidak sebelum Tuan memberikan dua puluh keping saya yang tersisa” jawab Changyi tegas.
“Kau!!...kalau begitu mampuslah!” teriak si pemilik rumah makan sambil bergerak menerjang ke depan. Tangan kanannya yang memegang memegang sabit terayun siap menebas tubuh Changyi.
Namun, belum lagi sabit itu menyentuh kulit tubuh remaja berparas elok di depannya, mendadak sebuah benturan keras terjadi membuat bukan hanya sabit tersebut yang terpental jauh melainkan juga tubuh si pemilik rumah makan turut terlempar menabrak dinding kayu dapurnya hingga dapur rumah makan itu ambruk seketika. Di susul kemudian sebuah ringkikan kuda yang sangat keras dan garang membuat semua orang yang berkumpul di tempat tersebut untuk menonton keributan yang terjadi di belakang dapur seketika menjadi terkejut saat melihat seekor kuda hitam besar yang sangar berdiri sambil mengangkat dua kaki depannya ke atas. Di atas punggung kuda tersebut, terlihat sesosok lelaki bertubuh besar menatap si pemilik warung yang seketika menjadi pucat pasi saat mengenali lelaki yang baru saja datang dengan kuda hitamnya.
“Tttt….Tuan Panglima Besar?” panggil si pemilik rumah makan dengan gemetar. Dicobanya untuk bangun dari posisinya yang terlentang setelah pukulan kaki depan kuda hitam membuatnya terjengkang.
Orang-orang yang semula berkerumun menonton segera menepi dengan ekspresi takut dan segan saat mereka-pun mengenali siapa adanya orang yang datang dengan kudanya.
“Jenderal Xu Da!...bukankah itu Jenderal Xu Da? Panglima Besar kita?” tanya seorang wanita sambil menyodok pinggang suaminya sambil menunjuk ke arah lelaki gagah di atas punggung kudanya.
“Ssst…jangan keras-keras!...nanti terdengar oleh Jenderal Xu Da. Iya…itu memang Jenderal Xu Da, panglima besar kita yang sudah banyak memenangkan peperangan” sahut suami si wanita sambil menangkup mulut istrinya dengan tangan.
Si wanita manggut-manggut mengerti. Sepasang matanya menatap penuh kagum ke arah sosok sang jenderal yang duduk di atas punggung kudanya.
Sementara Jenderal Xu Da mengacungkan jari telunjuknya ke arah lelaki pemilik rumah makan.
“Kau! Berikan sisa upah anak itu atau aku akan membawamu ke penjara dan mengurungmu untuk waktu yang sangat lama!” seru Jenderal Xu Da dengan nada yang sangat tegas tanpa kompromi.
Si pemilik rumah makan yang telah berhasil bangkit dari lantai dapur yang jebol berlutut di depan Jenderal Xu Da. Kedua tangannya tertangkup di depan dada dengan gemetar.
“Ampun Tuan Jenderal…ampuni saya….tolong jangan penjarakan saya Jenderal…saya mohon jangan penjarakan saya…” rintih si pemilik rumah makan dengan raut wajah memelas.
“Kalau begitu cepat berikan uang anak itu!” bentak Jenderal Xu Da keras sementara sang kuda hitam menaikkan kaki depannya di depan si pemilik rumah makan.
“Yyyya…ya Jenderal…baik..baik..saya akan memberikan uang anak itu….” Sahut si pemilik rumah makan sambil merogoh ke balik pakaiannya. Kedua tangannya yang gemetar membuat sebuah kantung berukuran besar yang diambilnya terjatuh ke lantai dapur dan isinya berhamburan keluar. Itu kepingan uang yang sangat banyak. Si pemilik rumah makan segera meraup keping-keping uang di lantai dapur lalu segera mengangsurkannya pada Changyi. Tanpa menghitung lagi. “Ini….ini uangmu anak muda….ambillah…ambillah”.
Changyi yang terperanjat karena tak menduga akan datangnya si kuda hitam yang sangat dikenalnya bersama dengan Jenderal Xu Da di atas punggung si Hitam justu sama sekali tak menatap ke arah si pemilik rumah makan dan uang di tangannya. Pandangan anak itu lurus tertuju pada dua sosok yang ada di depannya. Pada si Hitam yang telah menurunkan kaki depannya ke tanah dan kini menatap ke arahnya dengan suara ringkikan halus serta sosok di atas punggung si Hitam yang juga tengah menatap ke arahnya. Berbagai emosi rasa bergumul di ruang dada Changyi. Rasa sedih saat teringat bahwa ia telah gagal untuk memenuhi harapan Jenderal Xu Da, rasa malu karena ia telah tersisih dari sekolah calon prajurit khusus dan istana dengan cara yang begitu hina, serta sebuah rasa…rindu yang tak di mengertinya. Kapan terakhir kali ia merasakan rasa rindu seperti yang di rasakannya saat ini? Rasa rindu setelah ia tak lagi melihat Jenderal Xu Da sejak lebih dari tiga bulan lalu.
Dan kenapa ia bisa memiliki rasa rindu pada sosok Jenderal Xu Da seolah Sang Panglima Besar Dinasti Ming itu adalah…..
Ayahnya?
Bagaimana bisa?.
Changyi menelan ludah yang terasa mengganjal di lehernya. Sepasang tangannya terkepal kuat di sisi tubuh. Ia sama sekali tak mendengar suara si pemilik rumah makan yang memohon-mohon padanya untuk menerima sisa uang upahnya yang disodorkan oleh lelaki pendek gendut itu.
“Terimalah uang itu” suara Jenderal Xu Da yang tegas dan berat seperti sebuah tiupan angin keras yang menyadarkan Changyi, membuat remaja itu seketika menoleh ke arah pemilik rumah makan dan mengulurkan tangannya menerima kepingan uang yang disodorkan padanya.
Kening Changyi berkerut saat ia melihat uang yang diterimanya berjumlah demikian banyak. Dengan cepat jemari Changyi memunguti kepingan uang hingga sejumlah dua puluh keping dan kemudian, tangannya mengulurkan kembali sisa uang lebih pada si pemilik rumah makan.
“Tuan hanya perlu menambahkan dua puluh keping uang saya. Ini sisanya Tuan….ambillah kembali” tutur Changyi sambil meletakkan sisa uang ke atas pangkuan si pemilik rumah makan.
Lelaki pendek gendut pemilik rumah makan tertegun, namun hanya sesaat karena sejenak kemudian, airmatanya mulai mengalir dengan deras.
“Terima kasih anak muda. Ternyata kau memang anak baik dan jujur. Akulah yang curang….maafkan aku anak muda. Maafkan saya Tuan Jenderal” sedu si pemilik rumah makan yang disambut cibiran orang-orang yang berdiri menonton di sekeliling rumah makan.
Changyi hanya mengangguk karena pandangannya kembali pada sosok di atas kuda hitam yang tengah memandangnya dengan tajam. Changyi menelan ludah kembali sebelum mulai bicara.
“Jenderal….saya…”
“Ikut aku…sekarang!” potong Jenderal Xu Da tegas sambil menghela si Hitam untuk berbalik dan kemudian menggebrak kuda hitam yang luar biasa itu, melesat meninggalkan kerumunan orang-orang pasar dan si pemilik rumah makan yang masih tersedu-sedu di lantai tanah dapurnya.
Changyi yang mendengar ucapan Jenderal Xu Da sedetik terkejut namun kemudian, tubuhnya segera melesat pula dalam lari yang cepat. Semakin lama, lari Changyi semakin cepat hingga ia bisa menyusul deru si Hitam dalam jarak hanya beberapa tombak di belakangnya. Changyi tak tahu – dan tidak peduli – kemana Jenderal Xu Da akan membawanya. Mereka telah jauh melewati perbatasan ibukota Yingtian dan kini, mereka berada di sebuah jalan yang sunyi di sisi sebuah hutan yang sangat lebat. Hingga kemudian, tiba-tiba si Hitam berhenti membuat Changyi turut pula berhenti.
Changyi berdiri menanti. Pandangannya lurus pada sosok Jenderal Xu Da seolah hendak mengisikan sosok yang menghilang sejak tiga bulan lalu itu sebanyak-banyaknya dalam ruang ingatannya.
Jenderal Xu Da menatap Changyi tajam. Sepasang matanya berkilat.
“Kenapa kau pergi dan lari begitu saja?” tanya Jenderal Xu Da kemudian.
“Maafkan saya Jenderal…” sahut Changyi.
“Jangan minta maaf!” sentak Jenderal Xu Da keras dan tajam. “Aku ingin mendengar jawabanmu, bukan permintaan maaf darimu!...cepat jawab!”.
“Siap Jenderal!” sahut Changyi dengan sikap tegak hormat. Ia menyadari bahwa saat ini ia berhadapan dengan pemilik seluruh kekuatan militer di Dinasti Ming. “Saya pergi atas perintah dari Yang Mulia Kaisar sebagai hukuman atas kelalaian saya di sekolah!”.
“Dan apa kesalahanmu? Jawab!” tanya Jenderal Xu Da kembali.
“Kesalahan saya adalah, pertama saya telah berkelahi dengan Fengyin, putra angkat dari Jenderal Lan Yu. Kedua, karena saya telah mempelajari Buku Strategi Perang yang seharusnya hanya menjadi milik para jenderal dan pangeran. Ketiga, karena saya adalah pelayan sehingga Kaisar melarang saya untuk mengikuti ujian akhir di istana maupun di sekolah keprajuritan manapun!” jawab Changyi dengan suara bening dan tegas meski sesungguhnya, jawaban yang di beberkannya seperti menghentak kembali rasa sedih di hatinya.
“Dan kau segera melaksanakan perintah Kaisar tersebut?” tanya Jenderal Xu Da, kali ini nada suaranya sedikit menurun dan lebih lembut.
“Ya Jenderal!..” jawab Changyi.
“Kenapa?” tanya Jenderal Xu Da kembali.
“Karena hanya itulah yang dapat saya lakukan sebagai bentuk pengabdian sayap ada Kaisar dan negara” jawab Changyi sambil menelan ludahnya. Kembali.
Dan Jenderal Xu Da menangkap gerakan sulit di leher Changyi saat remaja yang rupawan itu berusaha menyembunyikan luka hatinya.
“Dan lari sebagai pengecut? Kenapa tidak kau tunjukkan  bahwa kau pantas untuk menjadi seorang prajurit yang bisa di andalkan oleh Kaisar?” tanya Jenderal Xu Da membuat Changyi terkejut.
Changyi menatap Jenderal Xu Da dengan sorot sedikit bingung.
“Dan tentang Buku Strategi Perang itu, kenapa tidak kau tunjukkan pada Kaisar bahwa kau memang pantas untuk memilikinya?” tanya Jenderal Xu Da lagi membuat kening Changyi berkerut semakin dalam.
Lalu perlahan, Changyi mulai mengerti arah maksud dari pertanyaan Jenderal Xu Da padanya. Namun, seiring pengertian tersebut datang padanya, saat itu pula datang seleret kesedihan yang menggempur sisi kekuatan hati Changyi. Itu adalah kenyataan tentang siapa dirinya. Latar belakang kehidupannya yang tak bisa di ubah oleh siapapun. Perlahan kepala Changyi tertunduk.
“Tapi…saya hanyalah pelayan dan saya tidak memiliki keluarga maupun orangtua Jenderal. Maafkan saya” sahut Changyi lirih.
“Apakah untuk menjadi keluarga harus ada hubungan ikatan darah?” tanya Jenderal Xu Da, hanya sedetik setelah Changyi menyelesaikan jawabannya.
Changyi mengangkat wajahnya dengan raut kembali terkejut.
“Apa yang Jenderal maksud?” tanya Changyi tak mengerti. Kenapa Jenderal Xu Da menirukan ucapannya tentang hakikat persaudaraan dan keluarga?.
“Kau sendiri yang mengatakan bahwa untuk menjadi saudaramu, Chen tidak harus berasal dari satu orangtua denganmu. Lalu, untuk bisa menjadi ayahmu, apakah aku harus berasal dari satu ikatan darah denganmu?” tanya Jenderal Xu Da. Nada suaranya pelan, tetap terdengar tegas namun terasa mengalun seolah dalam suara tersebut tersembunyi sebuah aliran emosi yang dicoba untuk di tekan jauh-jauh di dasar hati.
Namun, suara pelan sang panglima besar tersebut terdengar seperti sebuah genderang yang sangat keras di telinga Changyi membuat sang remaja rupawan yang cemerlang bahkan dalam pakaiannya yang kumal itu seketika terbelalak.
“Jenderal?” panggil Changyi nyaris serapuh angin di musim gugur.
“Jawab pertanyaanku Changyi. Apakah untuk menjadi ayahmu, aku harus memiliki ikatan darah denganmu? Apakah untuk memiliki nama marga Xu di depan namamu, kau harus terlahir dari Nyonya Xu Da?” ulang Jenderal Xu Da dengan nada tenang sementara suara si Hitam meringkik pelan dan halus.
“Tidak Jenderal” jawab Changyi rapuh.
“Kalau begitu, kenapa kau tidak mulai untuk memanggilku ‘Ayah’ sebagaimana  yang seharusnya kau lakukan pada ayahmu?” tanya Jenderal Xu Da kembali.
Gemuruh rasa seolah meledak secara bersamaan di dada Changyi. Rasa bahagia dan gembira yang sulit di ucapkan dengan kata-kata namun juga rasa tak percaya dan takut andai apa yang di dengarnya hanyalah sebuah mimpi yang akan lenyap begitu dirinya terbangun. Namun, seluruh gejolak rasa bahagia yang menyeret keharuan itu membuat kedua lutut Changyi menekuk dan remaja itu kemudian berlutut di depan Jenderal Xu Da tanpa mampu berkata-kata.
“Bangunlah…kita harus pulang sekarang” ucap Jenderal Xu Da setelah tertegun sesaat melihat Changyi yang berlutut di depannya. “Aku harus menghadap Kaisar dan kau harus mempersiapkan dirimu untuk ujian akhir besok pagi. Cepat bangun!”.
Changyi bangkit dari atas tanah jalan. Kepalanya tertunduk dan untuk kali ini, sebuah kekuatan tak kasat mata membuatnya tak lagi mampu untuk menatap langsung ke arah Jenderal Xu Da.
“Naiklah….hari akan segera malam. Kita harus sampai di rumah sebelum malam benar-benar turun” ucap Jenderal Xu Da.
Si Hitam meringkik sedikit keras dan menggeleng-gelengkan kepalanya hingga rambutnya terkibas. Gerak geriknya terlihat gembira dan riang sementara empat kakinya bergerak-gerak seperti tak sabar untuk melompat. Sepasang mata kuda yang jernih dan bulat hitam itu menatap Changyi dengan sorot suka cita membuat Changyi tertawa dalam hati.
“Cepatlah…kudamu sudah tak sabar” sahut Jenderal Xu Da kembali membuat Changyi kembali terkejut dan kali ini, wajah yang semakin cemerlang dalam luapan rasa gembira itu terangkat dan menatap Jenderal Xu Da.
“Kuda saya Jenderal?” tanya Changyi.
Jenderal Xu Da mengangguk.
“Benar. Aku sudah berjanji pada si Hitam, jika ia bisa menemukanmu, maka kalian bisa bersama. Jadi mulai hari ini, dia milikmu” ucap Jenderal Xu Da. “Cepat naiklah”.
Sepasang Changyi membelalak tak percaya dan sedetik kemudian pandangannya tersapu pada sosok si Hitam yang terus bergerak tak sabar. Bahkan kemudian, kuda hitam yang luar biasa itu bergerak mendekat ke arah Changyi membuat Changyi tersadar dan segera melompat ke belakang punggung Jenderal Xu Da setelah lebih dulu membungkuk hormat pada sang jenderal.
“Nah Changyi…ingat hal ini baik-baik” ucap Jenderal Xu Da saat Changyi telah duduk di belakangnya. “Mulai hari ini, siapapun yang melihatmu, maka mereka melihat putraku. Kemanapun kau pergi, mulai hari ini kau akan selalu membawa namaku di depan namamu karena mulai hari ini namamu adalah Xu Changyi putra dari Jenderal Xu Da. Jagalah sikapmu karena mulai hari ini, kau akan menjadi teladan bagi siapapun yang menatapmu. Apakah kau mengerti?”
Changyi mengangguk. “Saya mengerti Jenderal..terima kasih banyak karena..”
“Kau mengerti Changyi? Kenapa aku tidak mendengar putraku menjawab pertanyaanku?” ulang Jenderal Xu Da lagi.
“Ya..saya mengerti Jenderal” jawab Changyi mengeraskan suaranya. “Saya akan berusaha untuk melaksanakan…”
“Changyi!...kenapa kau tidak menjawab ayahmu? Apakah kau mengerti?” ulang Jenderal Xu Da memotong ucapan Changyi membuat remaja itu bingung.
Namun kemudian, semburat merah merona di pipi Changyi saat ia menyadari makna pertanyaan yang di lontarkan oleh Jenderal Xu Da.
“Ya…saya mengerti…Ayah” sahut Changyi kemudian, tak lagi sekeras sebelumnya,lebih terdengar seperti sebuah bisikan halus. “Saya akan selalu mengingat kata-kata Ayah”.
“Bagus!...” ucap Jenderal Xu Da. “Sekarang berpeganganlah padaku”.
“Baik Ayah” jawab Changyi sambil memegang ikat pinggang Jenderal Xu Da di bagian pinggang. Kali ini dengan sepenuh hati tanpa rasa canggung seperti yang pernah di rasakannya saat ia di bawa oleh Jenderal Xu Da dari Kuil Bulan Merah tiga bulan lalu. Rasa canggung itu telah lenyap tanpa  bekas, berganti oleh rasa hangat dan aman.
“Pertanyaan semudah itu, kenapa kau lambat sekali menjawab ayahmu?” gumam Jenderal Xu Da sambil mulai menggebrak tali kekang si Hitam.
Namun Changyi mendengar gumaman halus Jenderal Xu Da. Suara gumaman yang semakin mengeratkan genggaman jemarinya pada ikat pinggang sang panglima besar yang kini tak lagi sekedar seorang jenderal besar yang sangat dikagumi dan di hormatinya, namun juga seorang ayah yang dirindukan dan dicemaskannya selama tiga bulan kepergiannya ke Karakorum.
Kuda hitam yang sangat terkenal itu melesat cepat menembus malam yang mulai merambat turun menuju Yingtian sambil membawa satu matahari baru yang terlahir dan akan menyinari seluruh musim dengan keindahannya yang paling cemerlang.
*************

Tidak ada komentar:

Posting Komentar