Kamis, 23 April 2015

Straight - Episode 4 ( Bagian Dua )

Kuil Bulan Merah, di pinggir ibu kota Ying Tian….
“Kakak, mengapa aku harus tinggal di istana? Biarkan aku di sini saja. Aku senang berada di sini dan memasak untuk biksu-biksu itu” sahut Chen saat Changyi datang.
Sesuai dengan rencana yang telah disusun oleh Pangeran Zhu Di, Changyi harus membawa Chen ke istana dan sang pangeran keempat yang akan mengatur cara untuk menyusupkan Chen ke istana pangeran serta menghadapi Kaisar Hongwu. Hari itu juga, dengan membawa perintah dari Pangeran Zhu Di, Changyi menyusup keluar istana melalui gerbang  belakang. Sangat beruntung bahwa statusnya sebagai putra angkat dari Jenderal Xu Da, persahabatannya dengan Pangeran Zhu Di, kedekatannya dengan Sang Kaisar serta prestasinya di sekolah prajurit khusus yang cemerlang membuat para prajurit lebih mudah mempercayai ucapan Changyi saat mengatakan bahwa ia harus mencari beberapa benda yang diinginkan oleh Pangeran keempat yang tengah sakit.
“Adik Chen, Pangeran Zhu Di sekarang sedang sakit dan ia sangat ingin memakan kue seperti yang kau buat untuknya beberapa hari yang lalu. Karena itulah, dia ingin agar kau bisa tinggal di istana dan memasak untuknya” jawab Changyi sambil duduk di atas kursi batu di depan kuil.
“Jika hanya karena itu, maka aku akan membuatkan kue untuk Pangeran Zhu Di sekarang dan Kakak bisa membawanya saat pulang nanti” ujar Chen sambil turut duduk di sisi Changyi.
Changyi menarik nafas dalam. Chen belum tahu permasalahan yang sesungguhnya terjadi. Karena itu, akan lebih baik jika ia memberi tahu Chen.
“Apa kau sudah mendengar tentang sakitnya Pangeran Zhu Di?” tanya Changyi.
Chen mengangguk. “Ya, semua orang membicarakannya. Bahkan kemarin, saat aku pergi ke pasar untuk membeli beberapa bumbu, aku masih juga mendengar mereka semua membicarakan sakitnya pangeran keempat, juga tentang ditangkap dan dipenjaranya semua juru masak istana pangeran karena gagal membuat Pangeran Zhu Di menyantap makanan yang mereka masak”.
“Dan apakah kau tahu kenapa Pangeran Zhu Di tidak mau menyantap makanan yang dimasak oleh semua juru masak istana?” Changyi berpaling dan menatap Chen. Satu alisnya yang indah terangkat naik dengan sudut bibir tertarik membentuk senyum simpul yang sangat indah. 
Chen membalas tatapan Changyi dengan wajah menunjukkan ketidakmengertian.
“Tentu saja aku tidak tahu Kakak. Tapi aku menduga bahwa mungkin saja, Pangeran Zhu Di memakan sesuatu yang membuat indera perasanya berubah” jawab Chen.
Changyi mengangguk. “Ya, itu memang benar. Pangeran keempat memang telah memakan sesuatu yang membuat indera perasanya berubah dan akhirnya ia tak bisa memakan makanan lain yang dihidangkan di depannya”.
“Kalau begitu, bukankah seharusnya istana mencari sumber makanan yang disantap oleh Pangeran Zhu Di? Seseorang yang tak bisa merasakan rasa dalam makanan setelah memakan makanan tertentu, maka ada beberapa kemungkinan yang terjadi padanya. Pertama, makanan yang dimakan itu mengandung racun tertentu yang berasal dari bahan-bahan yang diolah menjadi makanan dan racun itu mempengaruhi indera perasa dari orang yang memakan makanan tersebut. Kedua, orang itu telah mengalami penyatuan dengan makanan yang dimakannya. Seperti bertemunya dua jiwa yang telah di takdirkan untuk bersama” sahut Chen.
Sejenak Changyi terpana mendengar penjelasan Chen, namun kemudian, ia kembali tersenyum. “Karena itulah hari ini aku kemari untuk memintamu datang ke istana. Seperti yang kau katakan Adik Chen, aku harus mencari sumber makanan yang membuat Pangeran Zhu Di kehilangan indera perasanya terhadap makanan lain yang dimasak oleh semua juru masak istana”.
Chen terkejut dan seketika berdiri. “Maksud Kakak? Pangeran Zhu Di tidak mau makan makanan istana karena dia….”
“Karena ia memakan makanan yang kau buat beberapa hari lalu saat ia mengikutiku ke sini” sambung Changyi cepat.
Chen benar-benar terkejut. Remaja berusia dua belas tahun itu terlihat tercenung. Sepasang matanya memandang ke arah Changyi dengan ekspresi tak percaya.
“Karena itulah Adik Chen, kau harus ikut denganku ke istana. Hanya kau yang bisa menyembuhkan Pangeran Zhu Di. Keadaannya semakin lemah karena tak ada sedikitpun makanan yang masuk ke tubuhnya. Dan Yang Mulia Kaisar sangat marah karena Pangeran Zhu Di itu, kau lihat sendiri bagaimana semua orang begitu menyayanginya bukan? Saat ini, semua dokter dan juru masak istana sedang bekerja keras untuk menemukan masalah yang terjadi pada pangeran keempat dan menyembuhkannya. Dan jika mereka semua gagal, maka Yang Mulia Kaisar pastilah akan menghukum mereka semua, termasuk semua juru masak istana pangeran yang saat ini berada di dalam penjara” lanjut Changyi.
Chen memejamkan matanya dengan kening berkerut dalam.
“Tapi Kakak….aku sungguh tidak suka dengan suasana di istana. Aku merasa bahagia di sini. Tidak bisakah aku tetap di sini saja? Aku akan memasak banyak makanan untuk Pangeran Zhu Di, untuk beberapa hari dan Kakak bisa membawanya pada pangeran. Lalu, jika makanan itu habis, maka aku akan memasak lagi dan Kakak bisa mengambinya kemari dan memberikannya pada Pangeran Zhu Di” ujar Chen.
“Bisa saja seperti itu. Tapi, sampai kapan? Jika aku bisa selalu ke sini untuk mengambil makanan bagi Pangeran Zhu Di, sungguh aku tidak keberatan demi kalian berdua karena kau adalah adikku dan pangeran keempat adalah sahabat baikku. Tapi, apakah kau lupa bahwa saat ini aku tengah menjalani masa pelatihanku sebagai seorang prajurit Adik Chen?. Lalu, jika nanti masa pelajaran yang mesti kulalui telah selesai dan aku benar-benar menjadi seorang prajurit, maka aku akan segera mendapat tugas-tugas yang harus kulaksanakan. Lalu, bila seperti itu, bagaimana aku bisa menjaga kalian berdua, kau dan Pangeran Zhu Di?”.
“Tapi Kakak….” Chen mengerut dengan raut sedih di sisi Changyi. Hatinya dipenuhi kebimbangan. Di satu sisi, ia bisa melihat kebenaran dalam kata-kata Changyi. Namun di sisi lain, Chen sungguh tak bisa membayangkan hidup di istana yang tak memberinya kedamaian sebagaimana yang didapatnya di Kuil Bulan Merah ini.
“Kenapa tidak kau siapkan hidangan untuk Kakakmu, Chen?” seorang biksu tua mendadak muncul dan berbicara dengan suaranya yang halus.
Chen dan Changyi terkejut. Sungguh tak terduga bahwa sang biksu tua yang menjadi kepala biksu di kuil ini telah keluar dari ruang pemujaannya. Seketika kedua remaja itu bangkit berdiri dari duduk mereka dan membungkuk memberi hormat pada biksu tua tersebut.
“Baik Bapak Tua…akan segera saya siapkan” sahut Chen sambil berlalu dengan cepat meninggalkan Changyi bersama sang biksu tua.
Changyi menatap ke arah Chen lalu berpaling pada biksu tua di depannya. Wajahnya di hiasi senyum.
“Kenapa Adik Chen memanggil anda dengan Bapak Tua? Sejak dulu, saya selalu merasa tidak enak dengan hal itu. Maafkan kelancangannya Guru” kata Changyi sambil membungkuk sekali lagi di depan biksu tua di depannya.
Biksu yang telah berusia lebih dari delapan puluh tahun itu tersenyum dan menggeleng. “Tidak apa-apa Changyi. Biar saja adikmu memanggilku dengan sebutan apapun yang disukainya. Sekarang, masuklah ke dalam dan makanlah”.
“Baik Guru” jawab Changyi sambil membungkuk di depan sang biksu lalu berjalan mengikuti langkah biksu tua yang masih terlihat gesit di usia senjanya. Sejenak, keduanya terlihat berbicara dengan suara yang halus dan pelan. Changyi mendengarkan setiap kata-kata Biksu tua dengan penuh perhatian.
Changyi makan seorang diri. Chen duduk menunggui kakaknya menyantap semua makanan yang dihidangkan dengan lahap. Tak banyak kata-kata yang terucap dari keduanya. Chen lebih banyak terlihat melamun dan Changyi sengaja membiarkan adiknya untuk merenungi ucapannya di luar kuil sebelumnya. Hingga kemudian, saat Changyi telah selesai makan, segera Chen bangkit berdiri sambil membawa nampan berisi seluruh mangkuk kotor yang digunakan oleh kakaknya dan berjalan ke sisi dapur di mana ia mencuci seluruh peralatan makan di Kuil Bulan Merah.
“Ikutlah dengan Kakakmu ke istana” suara halus biksu tua kembali terdengar membuat Chen terkejut dan berbalik.
“Ah…Bapak Tua” Chen membungkuk. Tangannya memegang mangkuk-mangkuk yang telah bersih dan masih meneteskan air. “Saya tidak menyukai istana Bapak Tua”.
“Istana bukan untuk disukai. Istana hanyalah sebuah tempat, tak ada bedanya dengan kuil ini. Kau ke istana bukan untuk menyukai tempat itu Chen, tapi untuk membantu Kakakmu, memenuhi takdirmu, takdir orang lain, takdir kakakmu dan menolong sesama” jawab sang biksu tua sambil duduk di atas kursi kayu di sisi pintu dapur. Beberapa biksu muda melintas dan sejenak berhenti untuk membungkuk pada biksu tua yang merupakan sang guru besar di Kuil Bulan Merah.
“Takdir saya? Apakah takdir saya Bapak Tua? Apakah takdir Kakak? Dan apakah takdir orang lain itu? Mengapa karena takdir itu saya harus ke istana?” tanya Chen tidak mengerti.
“Takdir untuk kau jalani dalam hidupmu Chen. Juga oleh kakakmu. Dan itu dimulai di istana. Karena itu kau harus mengikuti kakakmu, karena bila kau tidak memenuhi takdirmu, maka kau akan mengubah kehidupan banyak orang menuju hal yang buruk” jawab biksu tua.
Chen menggeleng-gelengkan kepalanya dengan pusing. “Saya tidak mengerti Bapak Tua”.
“Kau akan mengerti pada saatnya. Tapi, untuk sekarang, tidakkah kau ingin menolong Pangeran Zhu Di? Juga para juru masak istana yang terancam hukuman mati itu? Tolonglah mereka meski akan membahayakan hidupmu sendiri. Dan dengan hal itu, kau bisa mengerti pada jalan yang mesti kau lalui” sahut Biksu Tua dengan lembut.
Chen tertunduk. Sungguhpun ia merasa berat untuk meninggalkan Kuil Bulan Merah yang telah memberinya kedamaian dan mengikuti Changyi ke istana, namun sepertinya ia memang tak punya pilihan lain. Karena keberadaan para juru masak yang terancam hukuman mati itulah, Chen harus mengikuti Changyi.
“Baiklah Bapak Tua, saya akan ikut dengan Kakak ke istana. Tetapi, jika pangeran keempat telah pulih kembali dan saya masih hidup, maka saya ingin kembali ke kuil ini. Saya berharap Bapak Tua dan biksu lain masih suka menerima saya” jawab Chen kemudian.
Biksu tua tersenyum. Satu tangannya terangkat dan menepuk bahu Chen pelan. “Tentu saja Chen…kuil ini adalah rumahmu. Kau bebas dan boleh datang ke mari kapanpun kau mau. Karena sesungguhnya, kuil ini ada untuk kalian”.
Chen menatap Biksu Tua dengan tersenyum dengan ekspresi lega. Setidaknya, mengetahui bahwa ia bisa dan boleh datang kapanpun ke kuil seperti orang yang pulang ke rumahnya membuat hatinya terasa lega di tengah gulungan kegelisahan membayangkan kehidupan istana yang sama sekali tak terbersit di dalam benaknya.
Dan seolah waktu berpacu demikian cepat, hari telah mulai menjadi senja saat Changyi menuntun kudanya keluar dari gerbang Kuil Bulan Merah. Chen telah selesai berpamitan pada seluruh biksu  dan berdiri menunggu di depan gerbang sementara Changyi masih berdiri sejenak setelah Biksu Tua memanggilnya.
“Changyi, jalan yang akan kau lalui tidaklah mudah. Semakin lama akan semakin sulit bagimu dan Chen. Tetapi, jalan darma memang tak selalu mudah. Jika kau dan Chen dapat melaluinya, sepanjang apapun jalan yang harus kalian lewati, maka Thian akan memberikan untuk kalian kejayaan yang tak dapat kalian bayangkan” ucap Biksu Tua di sisi Changyi.
Changyi tersenyum dan membungkuk.
“Saya mengerti Guru. Nasihat Guru akan selalu saya ingat sebaik-baiknya” sahut Changyi.
Biksu Tua menghela nafas lalu mendekatkan kepalanya tepat disisi kepala Changyi.
“Jaga sang kaisar disisimu Changyi, karena kejayaan negara ini akan berawal dari kedua tangannya dan kedua tangan sang raja besar itu hanya terulur padamu. Kau yang akan ada disisinya dan memberi warna dalam jiwanya” bisik Biksu Tua membuat kening Changyi berkerut dalam. Ini adalah kali kedua Biksu Tua memberikan pesan padanya untuk menjaga sang kaisar. Dan Changyi sungguh tak mengerti, kenapa ia? Kaisar memiliki begitu banyak penjaga di sisinya, termasuk diantaranya adalah ayah angkatnya, Sang Panglima Tertinggi Jenderal Xu Da. Sepasang mata Changyi menatap Biksu Tua di depannya sebelum mulai bertanya.
“Guru, sebelumnya, Guru juga memberikan pesan kepada saya untuk menjaga Kaisar. Apakah maksud Guru? Yang Mulia Kaisar Hongwu tidak pernah berada di sisi saya. Dan saya melihat begitu banyak  penjaga-penjaga terbaik di sisinya serta….”
“Berangkatlah Changyi, bawa Chen. Rajamu telah menunggumu” potong Biksu Tua memotong ucapan Changyi lalu mendorong tubuh remaja itu sebagai isyarat agar Changyi segera pergi.
Changyi membungkuk, masih dengan kerut di keningnya yang indah. Namun, kepatuhannya pada sang biksu tua yang baginya adalah seorang guru membuat Changyi segera melaksanakan ucapan Biksu Tua tanpa membantah meskipun ketidakmengertiannya pada pesan sang guru masih menggayuti benaknya.
Kemudian, ketika matahari benar-benar telah lenyap dari bentangan langit, Changyi dan Chen telah sampai di wilayah istana Kerajaan Ming. Changyi memutar kudanya menuju ke arah gerbang belakang istana di sisi sebelah timur. Gerbang tersebut paling dekat dengan istana pangeran di mana pangeran keempat tinggal. Chen merasakan jantungnya berdegub lebih keras saat mereka semakin dekat ke arah pintu gerbang. Apakah mereka akan bisa masuk dengan mudah?. Chen merapatkan tubuhnya di punggung Changyi. Ia sungguh mengira mereka akan melewati pintu gerbang belakang di sisi timur istana itu. Tetapi, tiba-tiba Changyi menarik tali kekang kudanya tepat pada sisi tembok istana yang berhias rumpun-rumpun bunga. Lalu, remaja itu mendekatkan tangannya ke mulut dan detik selanjutnya, Chen mendengar sebuah suara burung malam menyusup di tirai malam yang pekat di susul kemudian suara sahutan burung malam lain, tepat berasal dari sisi dalam tembok istana. 
“Adik Chen, apakah kau masih mengingat latihan kita?” bisik Changyi sambil menoleh ke belakang, pada Chen yang melekat erat di punggungnya.
“Maksud Kakak, kita akan melompat ke dalam melalui tembok yang sangat tinggi ini?” Chen berbalik bertanya pada Changyi membuat Changyi tertawa pelan karena Chen telah menangkap maksudnya.
“Ya, kita akan melompat. Apakah kau bisa mengikutiku? Atau apakah aku harus menggendongmu seperti dulu? Tapi sekarang kau sudah sebesar ini, bagaimana aku bisa menggendongmu?” seloroh Changyi sambil tertawa halus.
“Kakak melompatlah dulu, aku akan mengikuti di belakang Kakak” jawab Chen tanpa menanggapi ucapan canda Changyi.
Changyi, masih dengan tawa halus dari bibirnya, mendadak telah bergerak. Tubuhnya melonjak dan melayang ke atas dengan ringan melewati tembok istana yang tinggi lalu lenyap dari pandangan Chen.
Chen menatap Changyi hingga saudaranya hilang di balik tembok, lalu, dengan gerakan yang sangat ringan seolah sehelai bulu, tubuh kecil Chen melayang pula ke atas dan lenyap di bailk tembok istana, tepat dimana Changyi sebelumnya lenyap. Meninggalkan kuda yang segera berlari pelan memutari tembok, seolah binatang itu mengerti bahwa tugasnya telah selesai.
“Adik, pakailah jubah ini” kata Changyi sambil mengukurkan sehelai jubah panjang dan lebar berwarna hitam pada Chen. Di hadapan mereka terlihat berdiri empat prajurit khusus bertubuh gagah. Chen mengukurkan tangannya menerima jubah gelap yang di ulurkan oleh Changyi namun tak segera mengenakannya.
“Kenapa aku harus mengenakan jubah ini Kakak?” tanya Chen menatap ke arah Changyi dan keempat prajurit khusus berganti-ganti.
“Karena itu adalah perintah dari pangeran keempat. Benarkah begitu?” Changyi menoleh ke arah empat prajurit yang berdiri beberapa langkah di depannya.
Satu prajurit membungkuk ke arah Changyi.
“Itu benar Tuan Muda, Yang Mulia Pangeran Zhu Di memberi perintah agar Tuan Chen disembunyikan saat tiba di istana karena Yang Mulia Kaisar telah mengumumkan adanya sayembara bagi semua juru masak di istana yang bisa memasak bagi Pangeran Zhu Di. Dan Yang Mulia Pangeran Zhu Di ingin agar Tuan Chen mengikuti sayembara tersebut besok pagi. Demikian yang dikatakan pada hamba” jawab si prajurit.
“Besok pagi? Sayembara memasak besok pagi? Kakak, bagaimana bisa aku mengikuti sayembara memasak besok pagi?” sahut Chen panik.
Changyi menatap Chen sesaat lalu berpaling pada prajurit-prajurit di depannya. Kepalanya mengangguk.
“Baiklah, sekarang antarkan kami pada Pangeran Zhu Di…dan urus kudaku. Dia pasti sudah pulang kekandangnya sendiri sekarang” ucap Changyi yang segera di sahuti oleh keempat prajurit di depannya.
“Baik Tuan Muda” jawab empat prajurit khusus itu serempak.
“Kakak, bagaimana bisa aku mengikuti sayembara itu besok pagi?” ulang Chen saat Changyi menarik tangannya setelah membantu mengenakan jubah gelap yang menyelubungi hingga batas kaki.
“Tenanglah Adik Chen. Yang penting sekarang, kita bertemu dengan Pangeran Zhu Di lebih dulu. Pasti akan ada rencana yang baik untuk besok pagi” bisik Changyi di telinga Chen.
*************
Changyi berjalan dengan langkah cepat sementara Chen yang tersembunyi dalam jubah panjang mengikuti di belakangnya dengan gugup. Empat prajurit berjalan mengiringi dua remaja itu. Sesekali, Changyi bertanya pada prajurit di belakangnya dengan suara berbisik dan dijawab dengan nada berbisik pula. Istana pangeran terletak di samping ruang perpustakaan kerajaan. Bangunan besar yang menjadi tempat penyimpanan seluruh buku-buku milik kaisar. Lampu-lampu minyak telah menyala seluruhnya, ditempatkan sepanjang lorong bangunan maupun penghubung antar bangunan pada jarak yang teratur membuat suasana sekitar menjadi terang. Changyi yang berjalan paling depan sengaja memilih sisi bangunan yang sedikit lebih gelap karena bayangan pohon-pohon maple dengan daun-daunnya yang hijau subur. Ia hapal benar pada sisi-sisi mana dari istana Kaisar Hongwu yang sangat luas ini yang di jaga oleh prajurit serta kapan para prajurit tersebut akan berjalan berkeliling. Sesekali, Changyi menarik tangan Chen dan berdiri merapat pada sisi dinding yang gelap saat ia melihat serombongan prajurit di kejauhan dan keempat prajurit yang mengikuti mereka dari belakang serentak turut merapat di sisi gelap dinding bangunan istana.
Udara malam berhembus hangat. Musim panas telah berjalan nyaris dua purnama membuat udara di malam hari cenderung hangat setelah panas membakar di siang hari. Changyi menarik nafas lega saat akhirnya mereka berhasil memasuki istana pangeran dan berdiri di depan kamar pangeran keempat. Keempat prajurit segera bergerak kedepan dan berbicara dengan Kasim Anta yang berdiri di depan pintu.
“Tuan Muda Xu datang hendak menghadap Yang Mulia Pangeran” kata satu prajurit pada kasim di depannya.
Kasim Anta mengangguk. “Baik, saya akan menyampaikannya pada Yang Mulia Pangeran Zhu Di”.
Sejenak, sang kasim membungkuk hormat ke arah Changyi sebelum melangkah masuk ke dalam kamar Pangeran Zhu Di. Changyi melirik sejenak ke arah Chen yang terlihat gelisah di balik jubah penutupnya. Tangannya terulur dan menepuk bahu adiknya sekilas dengan senyum mengembang di bibir. Sejenak kemudian, Kasim Anta yang melapor pada Pangeran Zhu Di terlihat keluar kembali. Kedua matanya langsung tertuju pada Changyi dengan tubuh membungkuk.
“Yang Mulia Pangeran menunggu Tuan Muda Xu. Silahkan masuk Tuan Muda” kata Kasim Anta tersebut sambil  memberi isyarat pada dayang-dayang yang berdiri di setiap sisi pintu untuk membukakan pintu bagi Changyi. Changyi mengangguk sekilas lalu melangkah masuk ke dalam diikuti oleh Chen.  Ruang kamar pangeran keempat terdiri dari beberapa lapis dan setiap lapis di jaga oleh  kasim dan dayang. Changyi melihat bahwa semua kasim dan dayang yang menjaga kamar Pangeran Zhu Di adalah kasim dan dayang dari istana Kaisar. Dan itu pasti atas perintah dari Kaisar Ming Tai Zhu setelah semua juru masak istana pangeran dimasukkan ke dalam penjara, tampaknya semua dayang dan kasim selain Kasim Anta telah pula di ganti seluruhnya. Changyi menggelengkan kepalanya. Hanya masalah makanan, namun akibat yang di timbullkan sungguh luar biasa hingga mempengaruhi nasib semua orang.
Pangeran Zhu Di berada di lapis ketiga dari ruang kamarnya. Sang pangeran terlihat duduk bersandar dengan bantal di punggung. Kedua matanya seketika berbinar saat melihat Changyi dan Chen masuk. Pangeran termuda yang tampan itu bahkan tidak membalas ketika Changyi dan Chen membungkuk hormat ke arahnya. Tangannya segera melambai penuh semangat menyuruh Changyi dan Chen untuk segera mendekat dan duduk di depannya.
“Kakak!..Akhirnya kau pulang dengan Adik Chen. Duduklah cepat di dekatku” kata Pangeran Zhu Di. Sekejab, sepasang matanya beralih dari Changyi dan Chen ke arah pintu di mana Kasim Anta dan beberapa dayang masih berdiri sambil membungkuk.
“Kalian pergilah!” perintah Pangeran Zhu Di pada Kasim Anta dan dayang di depan pintu yang terbuka. “Tutup pintunya dan siapapun yang datang, katakan bahwa aku sedang istirahat dan tidak ingin diganggu. Kalian mengerti?!”.
Kasim Anta dan para dayang membungkuk semakin dalam setelah mereka mendengar perintah Pangeran Zhu Di yang galak tersebut.
“Baik Yang Mulia” jawab mereka serempak sebelum kemudian menutup pintu kamar pangeran keempat rapat-rapat.
Pangeran Zhu Di menunggu sampai pintu benar-benar tertutup rapat sebelum kembali pada Changyi dan Chen yang telah duduk di depannya, di seberang meja giok kecil berbentuk bulat. Changyi tersenyum menatap pangeran keempat yang terlihat begitu gembira dan bersemangat meskipun sepasang matanya yang indah menyiratkan tanya.
“Kakak, aku sudah menunggumu sejak tadi. Aku khawatir Kakak mendapat halangan di jalan. Apalagi, kudengar, Kakak menolak untuk disertai beberapa prajurit” kata Pangeran Zhu Di sejenak kemudian.
“Ya Adik Zhu Di, aku memang menyuruh mereka untuk kembali dan tinggal saja di istana. Kupikir, akan lebih leluasa jika aku pergi sendiri” jawab Changyi sambil tersenyum. Setelah terakhir kali mereka bertemu sebelum Changyi berangkat ke Kuil Bulan Merah untuk menjemput Chen, kini ia telah mengubah pola kalimatnya pada Pangeran Keempat. Tak lagi bernada formal namun lebih akrab dengan sebutan “aku dan kau” sebagaimana keinginan dari sang pangeran keempat.
“Ah..Kakak selalu saja memiliki pemikiran sendiri. Tapi syukurlah, Kakak sudah sampai di sini bersama Adik Chen. Dan…Adik Chen, kenapa kau masih menutupi dirimu dengan jubah itu?” ujar Pangeran Zhu Di sambil memandang ke arah Chen.
Changyi terkejut dan menoleh ke sisi kirinya. Chen duduk sedikit di belakang punggungnya, bersila dan tertunduk diam di dalam jubahnya. Changyi menggelengkan kepalanya lalu tangannya terulur ke arah Chen.
“Adik Chen, bukalah jubahmu. Kau aman sekarang” kata Changyi sambil menarik penutup kepala yang menyelubungi wajah Chen.
“Hormat saya Pangeran” kata Chen sambil mengangguk hormat setelah jubahnya terlepas.
Pangeran keempat tersenyum miring. Sepasang  matanya menatap Changyi. “Kakak, adik kita sangat sopan padaku membuatku jadi kikuk. Aku harus bagaimana?”
Changyi tertawa pelan namun sepasang bahunya terangkat naik. “Terserah kau saja Adik Zhu Di”.
Pangeran Zhu Di tertawa lepas lalu sepasang matanya tertuju pada Chen yang duduk sambil menunduk, sama sekali tak mengimbangi keceriaan sang pangeran maupun senyum cerah Changyi.
“Adik Chen…selamat datang di rumahku. Kuharap kau suka berada disini” kata Pangeran Zhu Di.
Chen membungkuk hormat. “Terima kasih Pangeran. Sebuah kehormatan bagi saya bisa berada di sini”.
Pangeran Zhu Di mengangguk-angguk. Senyum miring masih tersangkut di bibirnya. “Ya Adik Chen. Aku memang meminta Kakak untuk membawamu ke sini. Dan itu karena…..aku sangat merindukan masakanmu”.
Chen terlonjak karena kalimat pangeran keempat telah mengingatkannya pada sesuatu. Wajahnya terangkat dan untuk pertama kalinya, anak berumur  dua belas tahun itu menatap pangeran keempat di depannya.
“Pangeran, saya ingat, saya membawa beberapa kue dari kuil untuk Pangeran. Saya sempat membuatnya sebelum berangkat kemari” kata Chen.
Pangeran Zhu Di menegakkan tubuhnya. Matanya berbinar semakin terang.
“Benarkah? Kalau begitu cepat keluarkan! Aku yakin pasti enak” katanya dengan penuh semangat.
Chen membungkuk hormat. “Baik Pangeran”.
Changyi menoleh dan memperhatikan Chen yang terlihat melolos buntalan kain di bahunya. Semula, ia mengira bahwa isi dari buntalan yang terlihat agak besar dan berat itu adalah barang-barang pribadi Chen seperti pakaian atau yang lainnya. Namun, ketika kemudian Chen mengurai simpul kain yang mengait di bagian atas buntalan, maka yang terlihat di depan mereka adalah beberapa mangkuk kayu besar dengan penutup. Terdapat empat mangkuk besar dan kesemuanya terikat dengan tali serat kayu yang mencegah tutup mangkuk terlepas dan menumpahkan isinya. Changyi tersenyum sambil melirik ke arah Chen. Terlihat kilau bangga di matanya yang secemerlang bintang pada saudara kecilnya itu sementara Chen mengeluarkan mangkuk-mangkuk kayu dalam buntalan dengan cepat dan menatanya di atas meja giok di depan Pangeran Zhu Di segera setelah melepaskan masing-masing ikatan tali serat kayu. Mangkuk-mangkuk tersebut ditata berderet rapi dari kiri ke kanan. Lalu, tangan kecil Chen merogoh kembali ke dalam buntalan dan mengeluarkan sebuah bungkusan kain serat rami yang terlihat sedikit panjang. Changyi dan Pangeran Zhu Di memperhatikan seluruh gerak-gerik Chen. Ketika ikatan tali pengikat kain terbuka, maka nampak dua pasang sumpit kayu bersih serta tiga sendok kayu. Selanjutnya, Chen mengambil satu pasang sumpit bersih dan menempatkannya tepat di depan Pangeran Zhu Di, berikut satu buah sendok kayu bergagang panjang. Setelah selesai, Chen kembali duduk bersila.
“Silahkan Pangeran. Hanya makanan sederhana dari kuil. Maafkan saya karena tidak bisa memasak yang lebih baik. Kami tidak memiliki banyak bahan untuk di masak” ujar Chen sambil membungkuk.
Pangeran Zhu Di tersenyum lebar. Tubuhnya beringsut merapat ke arah meja giok di depannya.
“Kau bercanda Adik Chen? Semua masakan dari tanganmu adalah yang terbaik” katanya sambil meraih mangkuk besar di ujung sebelah kanan lalu tangannya bersiap membuka tutupnya.
“Jangan yang itu dulu Pangeran!” cegah Chen tiba-tiba membuat pangeran keempat seketika mengurungkan niatnya membuka tutup mangkuk di deretan paling kanan. Sepasang matanya menatap Chen dengan alis berkerut sementara Changyi yang turut terkejut menatap saudaranya.
“Memangnya kenapa Adik Chen?” dahi indah Changyi berkerut.
Chen menoleh ke arah Changyi dan mengangguk.
“Kakak, bukankah Kakak telah bercerita padaku sebelumnya di kuil bahwa Pangeran Zhu Di dalam keadaan lemah karena beberapa hari tidak makan?” tanya Chen menjawab pertanyaan kakaknya.
Kali ini, Changyi yang mengangguk. “Ya, itu benar. Lalu?”.
“Jelaskan padaku Adik Chen” pangeran keempat menyela sambil menatap deretan mangkuk besar di depannya dengan pandangan meneliti. “Apakah, mangkuk-mangkuk ini kau tata berdasarkan urutan mangkuk mana dulu yang seharusnya kubuka dan kumakan isinya?”.
Chen mengangguk. “Itu benar Pangeran. Karena saya mengetahui bahwa Pangeran dalam keadaan lemah, maka saya membuat makanan tersebut berurutan sesuai dengan keadaan tubuh Pangeran. Maksud saya adalah agar tubuh Pangeran, terutama bagian perut yang bertugas mencerna makanan tidak menjadi kaget dengan masuknya makanan yang tiba-tiba. Hal seperti itu, tidak akan baik untuk kesehatan Pangeran nantinya”.
Changyi mengangguk saat mendengar jawaban Chen atas pertanyaan Pangeran Zhu Di yang sekaligus juga menjawab pertanyaannya sementara sang pangeran terlihat mendengarkan penjelasan Chen dengan sungguh-sungguh. Tangan kanannya terulur ke atas meja giok dan jari telunjuknya menunjuk deretan mangkuk di atas meja.
“Jika begitu, dari keempat mangkuk ini, yang mana yang harus kubuka lebih dulu lalu kumakan isinya Adik Chen? Cepatlah…aku lapar sekali” ujar Pangeran Zhu Di membuat Changyi tertawa perlahan memperlihatkan deretan giginya yang putih cemerlang dan indah.
“Mangkuk yang paling kiri Pangeran” tunjuk Chen dengan tangan kanannya.
Dengan gerakan cepat nyaris terlihat tak sabar, Pangeran Zhu Di menarik mangkuk yang berada di deretan paling kiri mendekat ke arahnya lalu membuka tutup mangkuk. Semua dilakukannya dengan cepat hingga tutup mangkuk kayu di depannya terguling jatuh dari atas meja dan menggelinding ke sisi Changyi. Remaja berwajah malaikat itu menggelengkan kepalanya melihat tingkah sang pangeran keempat yang untuk pertama kalinya nampak sangat kelaparan setelah tidak pernah makan selama berhari hari lamanya itu. Untunglah bahwa peralatan makan yang dibawa oleh Chen dari kuil hanyalah peralatan makan sederhana dari kayu yang ia tahu merupakan hasil buatan para biksu kuil sendiri, sehingga gerakan Pangeran Zhu Di yang cepat dan serba terburu-buru oleh desakan rasa laparnya itu tak membuat peralatan makan dari kuil menjadi pecah dan menimbulkan suara berdenting riuh sebagaimana peralatan makan istana yang terbuat dari porselin bila digunakan dengan tidak berhati-hati. Changyi berpikir bahwa akan lebih baik bila semua kasim dan dayang, maupun para prajurit yang saat ini berjaga di luar kamar pangeran untuk tidak mengetahui bahwa Pangeran Zhu Di saat ini tengah bersantap dengan makanan yang di bawa oleh Chen. Pastilah akan menjadi kegemparan bila mereka semua mengetahui bahwa sang pangeran keempat telah mau bersantap hanya dengan makanan sederhana yang di bawa oleh seorang anak kecil dari kuil!.
Dan akan lebih berbahaya lagi bila hal itu sampai di telinga Kaisar Ming Tai Zhu. Keselamatan Chen mungkin akan terancam dan berada dalam bahaya.
Karena itu, sambil melihat bagaimana kesibukan pangeran keempat saat membuka tutup mangkuk paling kiri dan melongok ke dalam mangkuk untuk melihat isinya, Changyi memasang telinga dan pendengarannya baik-baik untuk mengetahui gelagat yang mungkin terjadi di luar dinding kamar pangeran. Ia sama sekali tidak boleh lengah!. Karena saat ini, ia menjaga keselamatan Chen saudaranya dan sekaligus pangeran keempat sahabatnya.
“Ini….apa ini Adik Chen?” tanya Pangeran Zhu Di saat menemukan di dalam mangkuk besar terdapat mangkuk lain yang tertutup rapat dalam ukuran lebih kecil dan berbeda dengan keempat mangkuk besar lain yang terbuat dari kayu. Mangkuk kecil itu terbuat dari tanah liat yang dibakar sempurna sehingga menjadi sangat keras dan berpori halus. Mangkuk tersebut terselubung oleh lapisan-lapisan kain rami yang rapat. Pangeran Zhu Di mengangkat lapisan-lapisan kain rami tersebut setelah meletakkan sepasang sumpit yang semula dipegangnya ke atas meja. Ketika kemudian, selubung kain rami telah terbuka, dengan cepat Pangeran Zhu Di membuka tutup mangkuk kecil dari tanah liat tersebut. Sepasang matanya melebar saat menemukan isinya.
“Ini….bubur?” tanya Pangeran Zhu Di setengah berbisik saat melihat ke dalam mangkuk kecil.
Makanan yang terdapat dalam mangkuk tanah liat itu memang adalah bubur. Namun, berbeda dengan bubur lain yang jelas terlihat isinya berupa beras ataupun tepung yang dimasak secara encer. Bubur dalam mangkuk kecil tersebut terlihat jernih seperti air yang dikentalkan dengan cara dimasak. Warnanya putih menyerupai susu yang jernih. Aroma harum segera menyeruak keluar menyerbu hidung pangeran keempat dan bahkan Changyi. Aroma sedap yang berasal dari bahan dasar bubur tersebut. Bubur itu masih hangat. Rupanya, mangkuk tanah liat yang keras dan selubung kain rami yang berlapis-lapis tersebut dimaksudkan untuk menjaga agar bubur tersebut tetap hangat saat sampai di depan pangeran keempat. Changyi tersenyum. Tanpa melihat ke dalam mangkuk, ia segera tahu, bubur apakah itu.
“Benar Pangeran…itu adalah bubur yang saya buat untuk Pangeran yang beberapa hari tidak tersentuh makanan” jawab Chen. Tangan kanannya terulur mengambil sendok kayu yang ia letakkan di depan Pangeran Zhu Di dan mengulurkan sendok tersebut pada pangeran keempat. “Gunakan sendok ini Pangeran”.
Pangeran Zhu Di menatap Chen sejenak, lalu sekilas memandang ke arah Changyi yang mengangguk padanya sebelum kemudian menerima sendok dari tangan Chen dan mulai menyuap bubur di dalam mangkuk kecil. Saat satu suapan telah masuk kedalam mulutnya, terlihat pangeran tampan itu mencecap-cecap rasa bubur yang dimakannya. Ada asin yang samar dalam bubur tersebut yang justru semakin menguatkan rasa gurih dari rasa bahan dasar buburnya.
“Bubur apakah ini Adik Chen? Rasanya sangat segar, jauh berbeda dengan bubur yang biasa kudapat dari juru masakku di sini. Juga…bubur ini sangat ringan. Aku seperti meminum makananku” tanya Pangeran Zhu Di sambil kembali menyuap buburnya.
Chen tersenyum, untuk pertama kalinya, sejak ia tiba di istana dan berada di kamar pangeran keempat. Hanya senyum kecil yang lebih terkesan sedikit malu.
“Saya menyebutnya Bubur Kabut, Pangeran” jawab Chen membuat Pangeran Zhu Di yang sibuk menyuap buburnya seketika berhenti dan tertawa.
Changyi tersenyum lebar. Ia sudah menduga bahwa pangeran keempat akan tertawa bila mendengar nama bubur itu karena dulu, saat pertama mendengarnya, iapun tertawa sampai perutnya terasa mulas.
“ha ha ha…Bubur Kabut? Nama yang sangat lucu untuk makanan yang sangat enak. Kenapa kau memberi nama masakanmu Bubur Kabut Adik Chen?” tanya Pangeran Zhu Di masih dengan tawanya.
“Karena warna bubur tersebut seperti warna kabut di pagi hari yang biasa terlihat di hutan bambu. Putih yang jernih, ringan tapi ada, dan segar. Bukankah begitu Adik Chen?” Changyi menjawab pertanyaan Pangeran Zhu Di saat ia melihat Chen yang tertunduk malu.
Chen mengangguk. “Memang seperti itulah adanya” jawabnya.
“Hmmm…..baiklah. Bubur Kabut. Jadi saat ini, aku sedang memasukkan kabut yang sangat enak ke dalam perutku” ujar Pangeran Zhu Di sambil kembali menyuap buburnya. Sebuah senyum miring menghias bibirnya.
“Lalu…kau buat dari apa bubur ini Adik Chen? Walaupun namanya Bubur Kabut, tapi aku bisa merasakan sedikit aroma beras yang segar dan harum di dalamnya. Seperti beras yang baru saja di petik dari batangnya” tanya Pangeran Zhu Di sambil meletakkan sendoknya ke atas meja setelah menelan suapan terakhir bubur dalam mangkuk kecil tanah liat di depannya.
“Saya membuatnya dari sari beras Pangeran” jawab Chen sambil mengangguk sopan. “Karena itulah, Pangeran masih merasakan aroma harum beras tersebut dalam bubur yang Pangeran santap”.
“Sari beras? Maksudmu…beras yang kau buat menjadi tepung lalu kau masak menjadi bubur…begitukah?” tanya Pangeran Zhu Di.
“Bukan Pangeran. Sari beras berbeda dengan tepung beras. Sari beras saya ambil dari beras segar yang baru saja dipetik dari batangnya lalu dikupas kulit arinya dan dimasak dalam air sebentar dengan api yang tidak terlalu besar. Air itulah yang saya buat sebagai bubur yang sangat baik untuk memulihkan kekuatan setelah berhari hari perut kosong tidak tersentuh makanan. Sari pati di dalamnya sangat baik untuk kesehatan pencernaan. Itulah sebabnya, saya membuat bubur itu sebagai makanan pertama untuk Pangeran yang tidak tersentuh makanan selama beberapa hari” jawab Chen memberi penjelasan panjang lebar.
Pangeran Zhu Di mengangguk-angguk mengerti sementara Changyi menatap Chen dengan senyum di wajahnya. Ada sedikit rasa heran dalam diri Changyi saat melihat bagaimana Chen memberikan penjelasan pada pangeran keempat. Bagaimana saudaranya yang kecil itu bisa memiliki pengetahuan tentang makanan dan bahan-bahan yang di masaknya?.
“Baiklah….” kata Pangeran Zhu Di kemudian. “ Dan sekarang, karena aku telah menghabiskan buburku, apakah aku boleh membuka mangkuk-mangkuk yang lain Adik Chen?”.
Chen mengangguk hormat.
“Silahkan Pangeran” jawabnya dengan nada sopan.
Tanpa menunggu lebih lama, jemari pangeran keempat segera bergerak ke depan dan membuka tutup mangkuk kedua di sebelah mangkuk bubur yang telah kosong isinya. Tidak terdapat mangkuk lain dalam mengkuk besar tersebut. Begitu tutup mangkuk terbuka, baik Pangeran Zhu Di maupun Changyi segera dapat melihat isinya. Makanan sejenis kue yang dipotong berbentuk dadu kecil berwarna merah jambu yang lembut. Kembali, aroma harum segera menyerbu hidung pangeran keempat dan Changyi. Kali ini, diam-diam, Changyi menelan air liurnya. Ia tahu, kue apakah yang ada dalam mangkuk kedua itu. Chen pernah membuat kue itu untuknya dan itu adalah kue yang paling disukainya. Pangeran Zhu Di mengambil satu potong kue dengan sumpitnya dan langsung memasukkannya ke dalam mulut. Sesaat sepasang alisnya yang tebal bagus terangkat sebelum kemudian, dengan penuh semangat, pangeran muda itu menyuap potongan-potongan kue di depannya dengan penuh semangat.
“Itu adalah kue mawar. Saya membuatnya dari kacang merah dan kacang hijau. Sari kacang merah sangat baik untuk membersihkan pencernaan setelah beberapa hari kosong dan hanya terisi oleh air dan udara. Kacang hijau sangat baik sebagai sumber tenaga yang alami dalam tubuh. Saya berharap, tubuh Pangeran segera kuat kembali, karena banyak orang yang bergantung nasibnya pada kesehatan Pangeran Zhu Di” papar Chen tanpa diminta.
Pangeran Zhu Di tak menanggapi penjelasan yang diberikan oleh Chen. Kepalanya hanya mengangguk-angguk dengan bibir menyunggingkan senyum miringnya. Mulutnya tak henti mengunyah hingga potongan terakhir kue dalam mangkuk kedua. Lalu, setelah mangkuk kedua kosong, tangan sang pangeran segera meraih tutup mangkuk ketiga dan mulai menyantap isinya. Sayuran hijau yang terlihat segar dalam warna hijau terang, dimasak dalam panas sekejab sehingga menjadi lembut namun tidak kehilangan nutrisi di dalamnya. Kali ini, pangeran keempat tak lagi bertanya tentang nama makanan ataupun bahan yang digunakan untuk membuat makanan tersebut.
“Berceritalah Adik Chen. Aku akan mendengarkanmu sambil memakan makanan paling enak ini” kata Pangeran Zhu Di.
Changyi menggelengkan kepalanya melihat tingkah pangeran keempat di hadapan mereka sedangkan Chen justru tertunduk. Wajahnya terlihat malu dengan pujian yang diberikan pangeran muda di depannya meski sesungguhnya, putra Kaisar Hongwu itu tak bermaksud memuji dan hanya mengatakan hal yang sesungguhnya. Sesaat suasana kamar menjadi hening. Hanya terdengar suara halus sumpit di tangan pangeran keempat yang beradu dengan mangkuk.
“Adik Zhu Di….sambil kau makan, aku ingin menanyakan suatu hal padamu” Changyi membuka suara memecahkan kesunyian sejenak di antara mereka.
Pangeran Zhu Di mengangguk. “Tentang apa Kakak?”.
“Tentang sayembara memasak besok pagi. Prajurit yang menunggu kami tadi mengatakan padaku tentang sayembara tersebut dan kau ingin Adik Chen untuk mengikutinya. Kenapa aku tidak tahu tentang hal itu?” tanya Changyi membuat Chen kembali teringat perihal sayembara memasak yang akan diadakan esok hari oleh Kaisar Ming Tai Zhu. Seketika, wajah Chen menjadi gelisah.
Pangeran Zhu Di berhenti mengunyah sesaat dan menatap Changyi. Sejenak, pandangannya beralih pada Chen lalu kembali menunduk menekuni masakan sayur dalam mangkuk ketiga di depannya.
“Benar Kakak. Yang Mulia Kaisar datang padaku, hanya sepeminuman teh setelah Kakak pergi menjemput Adik Chen dan mengatakan bahwa besok akan diadakan sayembara untuk semua juru masak di istana. Bagi siapapun yang bisa membuat masakan yang aku suka, maka akan diangkat sebagai kepala dapur istana. Aku sudah mengatakan bahwa itu akan sia-sia saja, tapi Yang Mulia justru marah dan mengatakan bahwa jika tak ada satupun juru masak yang berhasil membuatku makan, maka mereka semua akan dihukum. Kakak tahu, aku tak akan bisa memakan masakan mereka. Mungkin saja, di depan banyak orang, aku bisa berpura-pura memilih salah satu makanan dan memakannya, tapi aku tak bisa berpura-pura dalam waktu yang lama. Aku tidak sekuat Kakak. Karena itulah, aku ingin Adik Chen untuk mengikuti sayembara itu besok pagi” jawab Pangeran Zhu Di sambil meletakkan sumpitnya di atas mangkuk kayu yang telah kosong.
“Tapi, tidakkah kau tahu bahwa itu akan berbahaya untuk Adik Chen? Pertama, sayembara itu diadakan untuk juru masak istana sedangkan Adik Chen bukanlah juru masak istana. Kedua, semua juru masak istana adalah orang-orang yang sangat pandai dalam memasak makanan dan telah dibuktikan oleh banyak orang. Jika makanan yang di masak oleh juru masak - juru masak istana yang sangat pandai itupun kau tolak, dan kau justru memilih untuk memakan makanan yang dimasak oleh seorang anak kecil seperti Adik Chen, apakah tidak akan menimbulkan kecurigaan banyak orang? Kau tahu bagaimana istana ini Adik Zhu Di. Beberapa menteri yang diam-diam menyusun kekuatan untuk menjatuhkan wibawa raja di hadapan rakyat pastilah akan mengawasi setiap peristiwa di istana ini dan mengambil keuntungan untuk pergerakan mereka” jawab Changyi.
“Aku tahu Kakak, tapi, pilihan apalagi yang kita miliki? Jika Adik Chen memasak untukku sementara ia berada di luar istana, maka keadaan akan jauh lebih berbahaya lagi untuknya. Jadi, tadi siang, aku mengatakan pada Yang Mulia agar juru masak yang mengikuti sayembara besok bukan hanya juru masak di istana raja dan pangeran saja tapi seluruh juru masak di rumah para menteri dan jenderal juga harus mengikuti sayembara” sahut pangeran keempat menimpali ucapan Changyi.
Kening Changyi yang indah berkerut saat mendengar ucapan Pangeran Zhu Di.
“Lalu, bagaimana hal itu bisa membuat Adik Chen boleh mengikuti sayembara itu Adik Zhu Di?” tanya Changyi. Benaknya berputar mencoba menemukan siasat yang kali ini hendak dilakukan oleh pangeran termuda yang terkenal cerdas namun pemberontak itu.
Pangeran Zhu Di menatap Changyi. Sinar matanya terlihat meneliti dan sekilas rasa khawatir berkelebat di kedalaman matanya.
“Maafkan aku Kakak. Aku mengatakan pada Yang Mulia bahwa Adik Chen adalah salah satu pelayan yang menjadi juru masak di rumah Paman Xu Da” kata Pangeran Zhu Di kemudian.
“Apa?!” sepasang mata Changyi terbelalak karena kaget sementara Chen seketika mengangkat wajahnya yang semula selalu tertunduk. “Adik Zhu Di…bagaimana kau bisa melakukan hal itu?”.
Pangeran keempat terlihat agak kikuk saat mendengar nada keras dalam suara Changyi. Dipandanginya Changyi dan Chen berganti-ganti lalu sepasang matanya menetap pada Changyi sebelum mulai menjawab.
“Kakak….maafkan aku. Sungguh maafkan aku. Aku tidak memiliki pilihan lain selain mengatakan bahwa Adik Chen adalah salah satu pelayan di rumah Paman Xu Da. Yang Mulia tahu dan hafal semua juru masak di istana raja, istana permaisuri, istana putri maupun istana pangeran. Aku tidak mungkin mengatakan bahwa Adik Chen adalah pelayan di sini. Kakak tahu bahwa semua pelayan di istana pangeran telah dimasukkan ke dalam penjara. Aku juga tidak mungkin mengatakan bahwa Adik Chen adalah salah satu pelayan di rumah salah satu menteri karena aku bahkan tidak tahu berapa jumlah pelayan di rumah-rumah menteri di istana ini. Juga…aku tidak memiliki bukti keberadaan Adik Chen di sana. Dan seperti apa yang Kakak katakan sebelumnya, bahwa beberapa menteri tengah menyusun kekuatan untuk menjatuhkan wibawa Yang Mulia dihadapan rakyat membuatku harus berhati-hati. Jadi, satu-satunya yang bisa kukatakan adalah bahwa Adik Chen merupakan salah satu pelayan di rumah Paman Xu Da. Aku tahu, kalian pernah tinggal di rumah Paman Xu Da sebelum pergi ke kuil dan…..aku mendengar dari seorang pelayan di rumah Paman Xu Da bahwa salah satu tugas Adik Chen adalah membantu memasak di dapur”.
Changyi terpana mendengar penuturan pangeran keempat. Sungguhpun, di dalam ucapan Pangeran Zhu Di terdapat kebenaran, namun entah mengapa, Changyi merasakan seleret rasa pedih menyusup di hatinya. Seolah, ucapan Pangeran Zhu Di tersebut telah semakin menegaskan perubahan status sosial antara dirinya dan Chen. Hal yang pernah ia utarakan pada ayah angkatnya dan dengan jelas pula Jenderal Xu Da telah memberi jawaban tentang ketidak mungkinan Chen masuk dalam keluarga Xu sebagaimana dirinya. Dan kenyataan itu, ditambah kalimat yang diucapkan oleh Pangeran Zhu Di, semakin membuat rasa sedih di hati Changyi menguat. Changyi terdiam sementara sepasang matanya menatap pangeran keempat di depannya tanpa berkedip. Sebuah rasa kecewa tiba-tiba muncul di hatinya.
“Kakak?....Apakah, kau marah padaku?” tanya pangeran keempat saat dilihatnya Changyi yang termangu di depannya dengan rona wajah yang berubah-ubah antara pias dan merah padam. “Apakah…aku telah salah bicara?”
Changyi masih diam termangu hingga sebuah tangan menyentuh lengannya. Tangan kecil yang sangat di kenalnya.
“Kakak?” suara Chen membuat sepasang mata Changyi yang menatap pangeran keempat tanpa berkedip kembali bergerak. Sesaat  Changyi menghela nafas sebelum kemudian menggelengkan kepalanya. Sebuah senyum terurai di bibirnya. Bukan senyum bahagia.
“Tidak Pangeran, apa yang Pangeran ucapkan adalah benar seluruhnya” jawab Changyi.
“Apakah Kakak marah padaku?” Pangeran Zhu Di mengulang pertanyaannya yang belum di jawab oleh Changyi.
Suara tawa kecil Changyi terdengar ironi. Meskipun sama sekali tak mengurangi keindahan wajahnya.
“Seorang seperti hamba tidak memiliki hak untuk marah pada Pangeran” jawab Changyi.
Pangeran Zhu Di menarik nafas dan menatap Chen.
“Adik Chen, maafkan aku karena tidak memberitahumu sebelumnya. Juga…karena aku telah menyebutmu sebagai salah satu pelayan di rumah Paman Xu Da. Tapi sungguh, kau harus mengikuti sayembara itu besok pagi. Hanya kau yang bisa menolongku dan juga para juru masak di dalam penjara. Aku tahu bahwa ini pasti akan sulit bagimu, tapi aku tidak punya pilihan lain. Andai aku memiliki pilihan yang lebih baik untuk tidak menyulitkanmu, maka aku pasti akan melakukannya. Tapi aku….”
“Saya akan melakukannya Pangeran. Saya akan mengikuti sayembara itu. Pangeran tidak perlu khawatir” sahut Chen memotong kalimat Pangeran Zhu Di membuat Changyi terkejut dan berpaling ke arah Chen. Terlihat tekad di wajah polos Chen membuat dahi Changyi berkerut.
“Adik Chen? Apakah kau tidak takut?” desis Changyi.
Chen menatap remaja tampan di sisinya dengan senyum terurai. Kepalanya mengangguk.
“Ya Kakak. Aku akan mengikuti sayembara itu. Kakak dan Pangeran Zhu Di…kalian berdua tenanglah” sahut Chen. Sesungguhnya, Chen memang takut untuk mengikuti sayembara memasak besok pagi. Ia tak tahu tentang masakan istana atau jenis masakan lain yang biasa disajikan di kalangan pejabat dan terlebih masakan untuk raja dan keluarga raja. Selama ini, ia hanya memasak dengan bahan-bahan sederhana yang bisa ia temukan di sekitarnya. Ia tak memiliki banyak pengetahuan tentang bahan-bahan makanan dari kelas yang mahal dan hanya menjadi milik keluarga bangsawan, pejabat dan keluarga raja. Tetapi, rona wajah Changyi yang berubah-ubah, ketidakmengertian Pangeran Zhu Di bahwa ia telah membuat Changyi kecewa, serta pesan dari kepala kuil agar ia membantu orang-orang di istana terutama Pangeran Zhu Di dan para pelayan yang mendekam dalam penjara membuat Chen menyingkirkan seluruh rasa takutnya.
Pangeran Zhu Di terlihat sangat gembira. Wajahnya berbinar penuh semangat sedangkan Changyi terlihat mengangguk.
“Baiklah kalau begitu” kata Changyi kemudian. Sepasang matanya memandang ke arah Pangeran keempat. “Jadi Pangeran…bagaimana rencana Pangeran untuk besok pagi? Apakah ayah Xu Da telah tahu tentang hal ini? Menurut hamba, akan lebih aman jika Ayah Xu Da mengetahuinya”.  
“Belum Kakak…Paman Xu Da sedang pergi ke perbatasan karena ada mata-mata Mongol yang tertangkap. Aku bermaksud memberitahunya tadi siang tapi kasim yang kuutus tidak berhasil bertemu karena Paman Xu Da baru saja pergi beberapa saat sebelum kasim yang kuutus sampai di sana. Maafkan aku Kakak” jawab Pangeran Zhu Di.
Changyi berkerut. Ia memang mendengar bahwa ayah angkatnya akan pergi ke perbatasan untuk memeriksa pertahanan prajurit yang mengamankan daerah tersebut setelah tertangkapnya beberapa mata-mata Mongol. Tapi, ia tidak tahu pasti kapan sang jenderal besar tersebut akan berangkat. Sungguh tak disangka jika ayah angkatnya justru berangkat di saat adanya masalah yang rumit seperti sekarang. Dan sesungguhnya, bukanlah perihal Chen mengikuti sayembara besok pagi yang membuat Changyi merasa gundah, melainkan karena Chen akan mengikuti sayembara tersebut sebagai pelayan dari ayah angkatnya dan itu berarti, Chen akan menjadi pelayannya. Saudara lelakinya, meski mereka terlahir dari keluarga yang berbeda, akan berdiri di depannya dengan membungkukkan tubuh seperti semua pelayan lain dan memanggilnya “Tuan Muda Xu”. Changyi tak dapat membayangkan hal itu bahkan dalam mimpi yang paling sedih atau keadaan paling memilukan setelah kematian kedua orangtua kandungnya. Chen adalah satu-satunya orang yang sungguh-sungguh menjadi keluarga dalam hatinya. Keluarga sejiwa. Dan satu-satunya keluarga sejiwa itu akan menjadi pelayannya mulai besok pagi. Sebuah kepiluan yang terasa amat perih menyeruak jantung Changyi dan kepedihan itulah yang menyeret kekecewaan pada Pangeran Zhu Di sahabatnya. Sungguh, apa yang dilakukan oleh pangeran keempat benar-benar terasa seperti keputusan sepihak yang sangat egois di matanya.
“Apakah…Kakak bisa membantuku untuk mengatakan hal ini pada Paman Xu Da?” tanya pangeran keempat tiba-tiba membuat Changyi terbangun dari lamunan sesaatnya.
Changyi menarik nafas dalam-dalam lalu perlahan mengangguk. “Baiklah Pangeran…saya akan melaksanakan perintah Pangeran. Saya akan membawa Chen ke rumah ayah saya sekarang dan mengantarnya untuk mengikuti sayembara besok pagi”.
“Apakah…tidak lebih baik jika Adik Chen tinggal di sini saja bersamaku? Mungkin akan lebih aman jika Adik Chen di sini” ujar Pangeran Zhu Di sambil menatap ke arah Chen.
Chen mengangguk sambil menatap Changyi penuh harap. Bayangan sikap dan perilaku istri dari Jenderal Xu Da membayang di benaknya dan membuat Chen seketika merasa enggan ketika Changyi mengatakan hendak membawanya kerumah yang membuatnya merasa sedih itu.
“Bukankah Pangeran mengatakan pada Yang Mulia bahwa Chen adalah pelayan dari Jenderal Xu Da? Kita harus melakukan hal yang sesuai dengan perkataan Pangeran, atau Yang Mulia akan tahu bahwa Chen sesungguhnya kita masukkan ke dalam istana secara diam-diam dan itu akan membahayakan keselamatan Chen, saya dan keluarga ayah saya” jawab Changyi tegas.
Pangeran Zhu Di terdiam mendengar jawaban tegas dari Changyi. Harus diakuinya bahwa apa yang dikatakan oleh remaja yang sangat rupawan dan cemerlang itu sangatlah benar. Jika Chen tinggal di kamarnya malam ini, maka akan timbul kecurigaan saat besok pagi anak itu datang ke arena sayembara bersamanya. Sambil menarik nafas dalam-dalam, Pangeran Zhu Di akhirnya mengangguk.
“Baiklah Kakak….itu benar” katanya kemudian.
Changyi mengangguk sekilas dan menyenggol lengan Chen di sisinya.
“Kita ke rumah Jenderal Xu Da sekarang. Mudah-mudahan Jenderal Xu Da sudah kembali dari perbatasan. Semakin cepat ayah Xu Da mengetahui perihal dirimu, semakin baik untuk kita semua” kata Changyi pada Chen.
Chen tak menyahut dan hanya mengangguk lemah. Jadi, malam ini ia akan tinggal di rumah yang memberinya kesedihan itu. Dan ia tahu, ia tak bisa menolak atau membantah. Nada tegas dalam suara Changyi semakin menegaskan bahwa hati saudaranya itu tengah kalut. Ia terlalu mengenal Changyi hingga ia bisa membaca suasana hati remaja yang telah menjadi kakak baginya tersebut.
“Baiklah Kakak” jawab Chen lalu berpaling pada Pangeran Zhu Di. Tangannya menunjuk ke arah mangkuk keempat yang belum dibuka. “Di dalam mangkuk itu, ada kue-kue yang saya buat dari akar garut. Pangeran bisa menyantapnya sedikit demi sedikit terutama saat Pangeran merasakan perih pada perut. Saya akan meninggalkannya untuk Pangeran”.
Pangeran Zhu Di tersenyum dan mengangguk. “Baiklah Adik Chen. Terima kasih. Tapi…apakah akar garut itu? Kenapa aku belum pernah mendengarnya?”.
“Akar garut itu adalah sejenih akar tumbuhan perdu yang tumbuh di daerah dengan dua musim Pangeran. Para biksu di kuil mendapatkannya dari para pedagang yang datang kekuil untuk menginap karena menunggu perahu yang akan membawa mereka menyeberangi sungai kuning. Pedagang-pedagang itu datang dari jauh dan sempat singgah di daerah dengan dua musim dan membawa akar-akar garut tersebut. Lalu, mereka meninggalkan beberapa untuk para biksu di kuil sebagai ucapan terima kasih. Saya membawa beberapa potong untuk Pangeran serta kue yang saya buat dari tepung akar garut. Tepung itu sangat bagus untuk memulihkan tubuh yang lemah serta usus yang sakit karena lama tidak terisi oleh makanan. Saya berharap Pangeran akan memakan kue itu sedikit demi sedikit agar khasiatnya lebih terasa” jelas Chen pada sang pangeran keempat.
“Baiklah….aku akan melakukannya. Terima kasih Adik Chen” kata Pangeran Zhu Di. Kepalanya terangguk-angguk mengiringi senyumnya.
“Jika begitu, kami mohon diri Pangeran” Changyi mendahului saat Chen membuka mulutnya untuk menyahuti kalimat pangeran keempat. “Adik Chen, ayo”.
Chen mengangguk dan beringsut ke depan untuk membenahi mangkuk-mangkuk kosong di atas meja giok dengan cepat dan segera kembali ke sisi Changyi.
“Kami mohon diri Pangeran” ucap Chen pada Pangeran Zhu Di yang menata ke arahnya dan Changyi berganti-ganti. Sejenak tatapan sang pangeran berhenti pada Changyi sebelum kemudian seleret senyum miring tersungging di bibirnya.
“Baiklah Kakak dan juga Adik Chen. Aku akan menunggu kalian berdua di arena sayembara besok pagi. Dan jangan lupa, sayembara akan diadakan halaman dapur kerajaan” ujar pangeran keempat yang terdengar lebih di tujukan pada Changyi daripada Chen.
Changyi dan Chen mengangguk nyaris bersamaan. Kedua remaja itu bangkit berdiri dan membungkuk ke arah pangeran keempat yang mengangguk pada keduanya, masih dengan senyum miringnya yang khas dan terus mengawasi hingga Changyi dan Chen lenyap di balik pintu.
Sementara Changyi, sebagaimana saat kedatangan mereka sebelumnya, segera menangkupkan selubung jubah menutupi kepala Chen dan menarik saudaranya itu untuk bergegas melangkah. Empat prajurit yang semula mengantar keduanya hingga ke depan kamar pangeran keempat datang mendekat dan membungkukkan tubuh mereka ke arah Changyi.
“Tak perlu mengantar kami. Tinggal saja di sini dan jaga Pangeran Zhu Di” tegas Changyi sambil mengangkat tangan kanannya ke arah prajurit dengan lambang tamtama merah di dadanya. Lambang tersebut menunjukkan bahwa prajurit tersebut memiliki kepangkatan yang lebih tinggi dibanding tiga prajurit lain.
Sang tamtama terlihat membungkuk diiringi tiga prajurit lain.
“Baik Tuan Muda” jawab prajurit tamtama tersebut.
“Dan ingat, jangan katakan pada siapapun tentang apa yang kalian ketahui malam ini. Mengerti?!” tanya Changyi. Nada tegas dalam suaranya terdengar meninggi.
“Kami mengerti Tuan Muda!” jawab keempat prajurit serempak.
“Pergilah” perintah Changyi kembali. “Ambil sudut-sudut lemah yang pernah kutunjukkan pada kalian dan jaga di tempat itu”.
“Baik Tuan Muda” sahut empat prajurit serempak dan tegas sebelum kemudian segera berlalu dari hadapan Changyi dan Chen.
Changyi tak mengeluarkan suara lagi dan segera menarik lengan Chen berlalu dari tempat tersebut.
“Kakak!....Apakah kita benar-benar harus ke rumah itu?” Chen menarik tangannya dari genggaman Changyi. Sepasang matanya menatap ke arah Changyi dibalik jubah yang menutupi kepalannya. Jelas terlihat kegelisahan yang membayang.
Changyi menarik nafas panjang. Sekilas pandangannya beredar ke sekeliling. Untunglah, mereka kini telah berada di sisi taman yang paling ujung, berdekatan dengan kolam besar di mana Kaisar Ming Tai Zhu memelihara ikan-ikan merahnya yang indah. Tempat ini tertutup oleh gerumbul semak bunga mawar perdu yang mengembangkan ratusan bunga mungil berwarna-warni. Dan gerumbul tanaman bunga itu menyamarkan mereka dari pandangan para penjaga istana. Changyi tahu dan bisa merasakan kegelisahan Chen. Ia bukannya tidak tahu hal apa yang membuat Chen merasa gelisah untuk datang ke rumah ayah angkatnya. Bukankah belum lama lalu, ia dan ayahnya juga baru saja membicarakan tentang alasan yang membuat Chen tak bisa masuk ke dalam keluarga Xu Da sebagaimana dirinya selain kekhawatiran Kaisar Ming Tai Zhu pada kesetiaan anak-anak angkat yang lebih besar pada ayah angkat mereka dibandingkan kesetiaan pada raja sendiri. Dan kini, ia melihat dengan matanya sendiri, bahwa Chen memang sulit untuk bisa masuk ke dalam keluarga Xu Da.
“Jika besok kau memenangkan sayembara itu, maka kau hanya akan tinggal di rumah Jenderal Xu Da untuk malam ini saja. Selanjutnya, kau akan memiliki tempat sendiri di istana ini. Apa kau mengerti?” jawab Changyi. Ia sengaja menekankan kata kemenangan untuk membangkitkan semangat adiknya itu. Kesehatan Pangeran Zhu Di tergantung pada keberadaan Chen. Dan Changyi sudah merasa sangat yakin bahwa Chen pasti akan memenangkan sayembara besok pagi. Tapi, jika malam ini semangat Chen justru runtuh hanya karena ia akan tinggal di rumah Jenderal Xu Da, maka bisa jadi, kemenangan Chen besok pagi akan memberikan permasalahan baru, karena bukan hanya pangeran keempat yang akan mencicipi masakan Chen melainkan Kaisar Ming Tai Zhu, Permaisuri Ma Xiuying, para pangeran lain dan beberapa menteri penjabat kerajaan. Jika, mereka semua selain pangeran keempat yang turut merasakan masakan Chen mengatakan bahwa makanan yang dimasak oleh adiknya itu tidak layak untuk menjadi pemenang, maka kemenangan Chen akan dipertanyakan. Dan itu artinya, masalah besar bukan hanya bagi Chen, melainkan juga dirinya, ayah angkatnya dan bahkan Pangeran Zhu Di sendiri.
“Tapi, aku belum pernah memasak untuk keluarga raja. Aku juga tidak memiliki pengetahuan tentang bahan-bahan yang biasa di gunakan di istana. Pastilah, para juru masak istana menggunakan bahan-bahan dan bumbu yang mahal untuk memasak bagi keluarga raja. Sedangkan aku hanya tahu tentang masakan dengan bahan-bahan yang ada di sekitar kita serta bumbu seadanya yang bisa kudapat. Bagaimana aku bisa memenangkan sayembara itu Kakak?” sahut Chen. Ada getar dalam suaranya yang terasa menyentuh hati Changyi.
Chen terlihat sangat rapuh dengan penampilannya yang kecil kurus dan bibir bergetar seperti itu. Namun saat ini bukan waktunya untuk menuruti keinginan saudara kecilnya itu. Tidak disaat ada banyak nyawa yang bergantung pada Chen. Changyi sungguh tidak mengerti bagaimana dalam sekejab nasib Chen membawanya masuk ke dalam istana di saat ia sendiri tak mampu membawa saudaranya itu dalam waktu yang singkat karena ayah angkatnya menolak untuk mengambil Chen sebagai anak angkat sebagaimana dirinya. Sungguh tak ada siapapun yang dapat menduga nasib manusia.
“Jika begitu, besok di saat sayembara, masak saja apa yang kau bisa dan kau tahu. Lakukan yang terbaik yang kau bisa dan jangan takut. Kakak bersamamu. Itu sudah cukup. Kau mengerti?” sahut Changyi. Tangan kanannya terulur dan menyentuh bahu Chen yang terasa kering.
Chen mengangguk. “Baiklah Kakak. Aku percaya pada Kakak”.
“Kalau begitu ayo cepat. Kau masih ingat bagaimana berlari kan?” Changyi kembali menarik tangan Chen. Selanjutnya, tubuh Changyi seolah melayang di atas permukaan tanah, melesat di antara tanaman perdu mawar teh di ikuti Chen yang juga melayang dengan sangat ringan di sisi Changyi. Tiada suara yang mengikuti gerak keduanya, seolah, dua anak tersebut telah menjadi bayangan yang menyatu dengan gelapnya malam.

*********

Tidak ada komentar:

Posting Komentar