Kuil Bulan Merah, di pinggir ibu kota Ying Tian….
“Kakak, mengapa aku harus tinggal di istana?
Biarkan aku di sini saja. Aku senang berada di sini dan memasak untuk
biksu-biksu itu” sahut Chen saat Changyi datang.
Sesuai dengan rencana yang telah disusun oleh
Pangeran Zhu Di, Changyi harus membawa Chen ke istana dan sang pangeran keempat
yang akan mengatur cara untuk menyusupkan Chen ke istana pangeran serta
menghadapi Kaisar Hongwu. Hari itu juga, dengan membawa perintah dari Pangeran
Zhu Di, Changyi menyusup keluar istana melalui gerbang belakang. Sangat beruntung bahwa statusnya
sebagai putra angkat dari Jenderal Xu Da, persahabatannya dengan Pangeran Zhu
Di, kedekatannya dengan Sang Kaisar serta prestasinya di sekolah prajurit
khusus yang cemerlang membuat para prajurit lebih mudah mempercayai ucapan
Changyi saat mengatakan bahwa ia harus mencari beberapa benda yang diinginkan
oleh Pangeran keempat yang tengah sakit.
“Adik Chen, Pangeran Zhu Di sekarang sedang sakit
dan ia sangat ingin memakan kue seperti yang kau buat untuknya beberapa hari
yang lalu. Karena itulah, dia ingin agar kau bisa tinggal di istana dan memasak
untuknya” jawab Changyi sambil duduk di atas kursi batu di depan kuil.
“Jika hanya karena itu, maka aku akan membuatkan
kue untuk Pangeran Zhu Di sekarang dan Kakak bisa membawanya saat pulang nanti”
ujar Chen sambil turut duduk di sisi Changyi.
Changyi menarik nafas dalam. Chen belum tahu
permasalahan yang sesungguhnya terjadi. Karena itu, akan lebih baik jika ia
memberi tahu Chen.
“Apa kau sudah mendengar tentang sakitnya Pangeran
Zhu Di?” tanya Changyi.
Chen mengangguk. “Ya, semua orang membicarakannya.
Bahkan kemarin, saat aku pergi ke pasar untuk membeli beberapa bumbu, aku masih
juga mendengar mereka semua membicarakan sakitnya pangeran keempat, juga
tentang ditangkap dan dipenjaranya semua juru masak istana pangeran karena
gagal membuat Pangeran Zhu Di menyantap makanan yang mereka masak”.
“Dan apakah kau tahu kenapa Pangeran Zhu Di tidak
mau menyantap makanan yang dimasak oleh semua juru masak istana?” Changyi
berpaling dan menatap Chen. Satu alisnya yang indah terangkat naik dengan sudut
bibir tertarik membentuk senyum simpul yang sangat indah.
Chen membalas tatapan Changyi dengan wajah
menunjukkan ketidakmengertian.
“Tentu saja aku tidak tahu Kakak. Tapi aku menduga
bahwa mungkin saja, Pangeran Zhu Di memakan sesuatu yang membuat indera
perasanya berubah” jawab Chen.
Changyi mengangguk. “Ya, itu memang benar.
Pangeran keempat memang telah memakan sesuatu yang membuat indera perasanya berubah
dan akhirnya ia tak bisa memakan makanan lain yang dihidangkan di depannya”.
“Kalau begitu, bukankah seharusnya istana mencari
sumber makanan yang disantap oleh Pangeran Zhu Di? Seseorang yang tak bisa
merasakan rasa dalam makanan setelah memakan makanan tertentu, maka ada
beberapa kemungkinan yang terjadi padanya. Pertama, makanan yang dimakan itu
mengandung racun tertentu yang berasal dari bahan-bahan yang diolah menjadi
makanan dan racun itu mempengaruhi indera perasa dari orang yang memakan makanan
tersebut. Kedua, orang itu telah mengalami penyatuan dengan makanan yang
dimakannya. Seperti bertemunya dua jiwa yang telah di takdirkan untuk bersama”
sahut Chen.
Sejenak Changyi terpana mendengar penjelasan Chen,
namun kemudian, ia kembali tersenyum. “Karena itulah hari ini aku kemari untuk
memintamu datang ke istana. Seperti yang kau katakan Adik Chen, aku harus
mencari sumber makanan yang membuat Pangeran Zhu Di kehilangan indera perasanya
terhadap makanan lain yang dimasak oleh semua juru masak istana”.
Chen terkejut dan seketika berdiri. “Maksud Kakak?
Pangeran Zhu Di tidak mau makan makanan istana karena dia….”
“Karena ia memakan makanan yang kau buat beberapa
hari lalu saat ia mengikutiku ke sini” sambung Changyi cepat.
Chen benar-benar terkejut. Remaja berusia dua belas
tahun itu terlihat tercenung. Sepasang matanya memandang ke arah Changyi dengan
ekspresi tak percaya.
“Karena itulah Adik Chen, kau harus ikut denganku
ke istana. Hanya kau yang bisa menyembuhkan Pangeran Zhu Di. Keadaannya semakin
lemah karena tak ada sedikitpun makanan yang masuk ke tubuhnya. Dan Yang Mulia
Kaisar sangat marah karena Pangeran Zhu Di itu, kau lihat sendiri bagaimana
semua orang begitu menyayanginya bukan? Saat ini, semua dokter dan juru masak
istana sedang bekerja keras untuk menemukan masalah yang terjadi pada pangeran
keempat dan menyembuhkannya. Dan jika mereka semua gagal, maka Yang Mulia
Kaisar pastilah akan menghukum mereka semua, termasuk semua juru masak istana
pangeran yang saat ini berada di dalam penjara” lanjut Changyi.
Chen memejamkan matanya dengan kening berkerut
dalam.
“Tapi Kakak….aku sungguh tidak suka dengan suasana
di istana. Aku merasa bahagia di sini. Tidak bisakah aku tetap di sini saja?
Aku akan memasak banyak makanan untuk Pangeran Zhu Di, untuk beberapa hari dan
Kakak bisa membawanya pada pangeran. Lalu, jika makanan itu habis, maka aku
akan memasak lagi dan Kakak bisa mengambinya kemari dan memberikannya pada
Pangeran Zhu Di” ujar Chen.
“Bisa saja seperti itu. Tapi, sampai kapan? Jika
aku bisa selalu ke sini untuk mengambil makanan bagi Pangeran Zhu Di, sungguh
aku tidak keberatan demi kalian berdua karena kau adalah adikku dan pangeran
keempat adalah sahabat baikku. Tapi, apakah kau lupa bahwa saat ini aku tengah
menjalani masa pelatihanku sebagai seorang prajurit Adik Chen?. Lalu, jika
nanti masa pelajaran yang mesti kulalui telah selesai dan aku benar-benar
menjadi seorang prajurit, maka aku akan segera mendapat tugas-tugas yang harus
kulaksanakan. Lalu, bila seperti itu, bagaimana aku bisa menjaga kalian berdua,
kau dan Pangeran Zhu Di?”.
“Tapi Kakak….” Chen mengerut dengan raut sedih di
sisi Changyi. Hatinya dipenuhi kebimbangan. Di satu sisi, ia bisa melihat
kebenaran dalam kata-kata Changyi. Namun di sisi lain, Chen sungguh tak bisa
membayangkan hidup di istana yang tak memberinya kedamaian sebagaimana yang
didapatnya di Kuil Bulan Merah ini.
“Kenapa tidak kau siapkan hidangan untuk Kakakmu,
Chen?” seorang biksu tua mendadak muncul dan berbicara dengan suaranya yang
halus.
Chen dan Changyi terkejut. Sungguh tak terduga
bahwa sang biksu tua yang menjadi kepala biksu di kuil ini telah keluar dari
ruang pemujaannya. Seketika kedua remaja itu bangkit berdiri dari duduk mereka
dan membungkuk memberi hormat pada biksu tua tersebut.
“Baik Bapak Tua…akan segera saya siapkan” sahut
Chen sambil berlalu dengan cepat meninggalkan Changyi bersama sang biksu tua.
Changyi menatap ke arah Chen lalu berpaling pada
biksu tua di depannya. Wajahnya di hiasi senyum.
“Kenapa Adik Chen memanggil anda dengan Bapak Tua?
Sejak dulu, saya selalu merasa tidak enak dengan hal itu. Maafkan
kelancangannya Guru” kata Changyi sambil membungkuk sekali lagi di depan biksu
tua di depannya.
Biksu yang telah berusia lebih dari delapan puluh
tahun itu tersenyum dan menggeleng. “Tidak apa-apa Changyi. Biar saja adikmu
memanggilku dengan sebutan apapun yang disukainya. Sekarang, masuklah ke dalam
dan makanlah”.
“Baik Guru” jawab Changyi sambil membungkuk di
depan sang biksu lalu berjalan mengikuti langkah biksu tua yang masih terlihat
gesit di usia senjanya. Sejenak, keduanya terlihat berbicara dengan suara yang
halus dan pelan. Changyi mendengarkan setiap kata-kata Biksu tua dengan penuh
perhatian.
Changyi makan seorang diri. Chen duduk menunggui
kakaknya menyantap semua makanan yang dihidangkan dengan lahap. Tak banyak
kata-kata yang terucap dari keduanya. Chen lebih banyak terlihat melamun dan
Changyi sengaja membiarkan adiknya untuk merenungi ucapannya di luar kuil
sebelumnya. Hingga kemudian, saat Changyi telah selesai makan, segera Chen
bangkit berdiri sambil membawa nampan berisi seluruh mangkuk kotor yang digunakan
oleh kakaknya dan berjalan ke sisi dapur di mana ia mencuci seluruh peralatan
makan di Kuil Bulan Merah.
“Ikutlah dengan Kakakmu ke istana” suara halus
biksu tua kembali terdengar membuat Chen terkejut dan berbalik.
“Ah…Bapak Tua” Chen membungkuk. Tangannya memegang
mangkuk-mangkuk yang telah bersih dan masih meneteskan air. “Saya tidak
menyukai istana Bapak Tua”.
“Istana bukan untuk disukai. Istana hanyalah
sebuah tempat, tak ada bedanya dengan kuil ini. Kau ke istana bukan untuk
menyukai tempat itu Chen, tapi untuk membantu Kakakmu, memenuhi takdirmu,
takdir orang lain, takdir kakakmu dan menolong sesama” jawab sang biksu tua
sambil duduk di atas kursi kayu di sisi pintu dapur. Beberapa biksu muda
melintas dan sejenak berhenti untuk membungkuk pada biksu tua yang merupakan
sang guru besar di Kuil Bulan Merah.
“Takdir saya? Apakah takdir saya Bapak Tua? Apakah
takdir Kakak? Dan apakah takdir orang lain itu? Mengapa karena takdir itu saya
harus ke istana?” tanya Chen tidak mengerti.
“Takdir untuk kau jalani dalam hidupmu Chen. Juga
oleh kakakmu. Dan itu dimulai di istana. Karena itu kau harus mengikuti
kakakmu, karena bila kau tidak memenuhi takdirmu, maka kau akan mengubah
kehidupan banyak orang menuju hal yang buruk” jawab biksu tua.
Chen menggeleng-gelengkan kepalanya dengan pusing.
“Saya tidak mengerti Bapak Tua”.
“Kau akan mengerti pada saatnya. Tapi, untuk
sekarang, tidakkah kau ingin menolong Pangeran Zhu Di? Juga para juru masak
istana yang terancam hukuman mati itu? Tolonglah mereka meski akan membahayakan
hidupmu sendiri. Dan dengan hal itu, kau bisa mengerti pada jalan yang mesti
kau lalui” sahut Biksu Tua dengan lembut.
Chen tertunduk. Sungguhpun ia merasa berat untuk
meninggalkan Kuil Bulan Merah yang telah memberinya kedamaian dan mengikuti
Changyi ke istana, namun sepertinya ia memang tak punya pilihan lain. Karena
keberadaan para juru masak yang terancam hukuman mati itulah, Chen harus
mengikuti Changyi.
“Baiklah Bapak Tua, saya akan ikut dengan Kakak ke
istana. Tetapi, jika pangeran keempat telah pulih kembali dan saya masih hidup,
maka saya ingin kembali ke kuil ini. Saya berharap Bapak Tua dan biksu lain
masih suka menerima saya” jawab Chen kemudian.
Biksu tua tersenyum. Satu tangannya terangkat dan
menepuk bahu Chen pelan. “Tentu saja Chen…kuil ini adalah rumahmu. Kau bebas
dan boleh datang ke mari kapanpun kau mau. Karena sesungguhnya, kuil ini ada
untuk kalian”.
Chen menatap Biksu Tua dengan tersenyum dengan
ekspresi lega. Setidaknya, mengetahui bahwa ia bisa dan boleh datang kapanpun
ke kuil seperti orang yang pulang ke rumahnya membuat hatinya terasa lega di
tengah gulungan kegelisahan membayangkan kehidupan istana yang sama sekali tak
terbersit di dalam benaknya.
Dan seolah waktu berpacu demikian cepat, hari
telah mulai menjadi senja saat Changyi menuntun kudanya keluar dari gerbang
Kuil Bulan Merah. Chen telah selesai berpamitan pada seluruh biksu dan berdiri menunggu di depan gerbang
sementara Changyi masih berdiri sejenak setelah Biksu Tua memanggilnya.
“Changyi, jalan yang akan kau lalui tidaklah
mudah. Semakin lama akan semakin sulit bagimu dan Chen. Tetapi, jalan darma
memang tak selalu mudah. Jika kau dan Chen dapat melaluinya, sepanjang apapun
jalan yang harus kalian lewati, maka Thian akan memberikan untuk kalian
kejayaan yang tak dapat kalian bayangkan” ucap Biksu Tua di sisi Changyi.
Changyi tersenyum dan membungkuk.
“Saya mengerti Guru. Nasihat Guru akan selalu saya
ingat sebaik-baiknya” sahut Changyi.
Biksu Tua menghela nafas lalu mendekatkan
kepalanya tepat disisi kepala Changyi.
“Jaga sang kaisar disisimu Changyi, karena
kejayaan negara ini akan berawal dari kedua tangannya dan kedua tangan sang
raja besar itu hanya terulur padamu. Kau yang akan ada disisinya dan memberi
warna dalam jiwanya” bisik Biksu Tua membuat kening Changyi berkerut dalam. Ini
adalah kali kedua Biksu Tua memberikan pesan padanya untuk menjaga sang kaisar.
Dan Changyi sungguh tak mengerti, kenapa ia? Kaisar memiliki begitu banyak
penjaga di sisinya, termasuk diantaranya adalah ayah angkatnya, Sang Panglima
Tertinggi Jenderal Xu Da. Sepasang mata Changyi menatap Biksu Tua di depannya
sebelum mulai bertanya.
“Guru, sebelumnya, Guru juga memberikan pesan
kepada saya untuk menjaga Kaisar. Apakah maksud Guru? Yang Mulia Kaisar Hongwu
tidak pernah berada di sisi saya. Dan saya melihat begitu banyak penjaga-penjaga terbaik di sisinya serta….”
“Berangkatlah Changyi, bawa Chen. Rajamu telah
menunggumu” potong Biksu Tua memotong ucapan Changyi lalu mendorong tubuh
remaja itu sebagai isyarat agar Changyi segera pergi.
Changyi membungkuk, masih dengan kerut di
keningnya yang indah. Namun, kepatuhannya pada sang biksu tua yang baginya
adalah seorang guru membuat Changyi segera melaksanakan ucapan Biksu Tua tanpa
membantah meskipun ketidakmengertiannya pada pesan sang guru masih menggayuti
benaknya.
Kemudian, ketika matahari benar-benar telah lenyap
dari bentangan langit, Changyi dan Chen telah sampai di wilayah istana Kerajaan
Ming. Changyi memutar kudanya menuju ke arah gerbang belakang istana di sisi
sebelah timur. Gerbang tersebut paling dekat dengan istana pangeran di mana
pangeran keempat tinggal. Chen merasakan jantungnya berdegub lebih keras saat
mereka semakin dekat ke arah pintu gerbang. Apakah mereka akan bisa masuk
dengan mudah?. Chen merapatkan tubuhnya di punggung Changyi. Ia sungguh mengira
mereka akan melewati pintu gerbang belakang di sisi timur istana itu. Tetapi,
tiba-tiba Changyi menarik tali kekang kudanya tepat pada sisi tembok istana
yang berhias rumpun-rumpun bunga. Lalu, remaja itu mendekatkan tangannya ke
mulut dan detik selanjutnya, Chen mendengar sebuah suara burung malam menyusup
di tirai malam yang pekat di susul kemudian suara sahutan burung malam lain, tepat
berasal dari sisi dalam tembok istana.
“Adik Chen, apakah kau masih mengingat latihan
kita?” bisik Changyi sambil menoleh ke belakang, pada Chen yang melekat erat di
punggungnya.
“Maksud Kakak, kita akan melompat ke dalam melalui
tembok yang sangat tinggi ini?” Chen berbalik bertanya pada Changyi membuat
Changyi tertawa pelan karena Chen telah menangkap maksudnya.
“Ya, kita akan melompat. Apakah kau bisa
mengikutiku? Atau apakah aku harus menggendongmu seperti dulu? Tapi sekarang
kau sudah sebesar ini, bagaimana aku bisa menggendongmu?” seloroh Changyi
sambil tertawa halus.
“Kakak melompatlah dulu, aku akan mengikuti di
belakang Kakak” jawab Chen tanpa menanggapi ucapan canda Changyi.
Changyi, masih dengan tawa halus dari bibirnya,
mendadak telah bergerak. Tubuhnya melonjak dan melayang ke atas dengan ringan
melewati tembok istana yang tinggi lalu lenyap dari pandangan Chen.
Chen menatap Changyi hingga saudaranya hilang di
balik tembok, lalu, dengan gerakan yang sangat ringan seolah sehelai bulu, tubuh
kecil Chen melayang pula ke atas dan lenyap di bailk tembok istana, tepat
dimana Changyi sebelumnya lenyap. Meninggalkan kuda yang segera berlari pelan
memutari tembok, seolah binatang itu mengerti bahwa tugasnya telah selesai.
“Adik, pakailah jubah ini” kata Changyi sambil
mengukurkan sehelai jubah panjang dan lebar berwarna hitam pada Chen. Di
hadapan mereka terlihat berdiri empat prajurit khusus bertubuh gagah. Chen
mengukurkan tangannya menerima jubah gelap yang di ulurkan oleh Changyi namun
tak segera mengenakannya.
“Kenapa aku harus mengenakan jubah ini Kakak?”
tanya Chen menatap ke arah Changyi dan keempat prajurit khusus berganti-ganti.
“Karena itu adalah perintah dari pangeran keempat.
Benarkah begitu?” Changyi menoleh ke arah empat prajurit yang berdiri beberapa
langkah di depannya.
Satu prajurit membungkuk ke arah Changyi.
“Itu benar Tuan Muda, Yang Mulia Pangeran Zhu Di
memberi perintah agar Tuan Chen disembunyikan saat tiba di istana karena Yang
Mulia Kaisar telah mengumumkan adanya sayembara bagi semua juru masak di istana
yang bisa memasak bagi Pangeran Zhu Di. Dan Yang Mulia Pangeran Zhu Di ingin
agar Tuan Chen mengikuti sayembara tersebut besok pagi. Demikian yang dikatakan
pada hamba” jawab si prajurit.
“Besok pagi? Sayembara memasak besok pagi? Kakak,
bagaimana bisa aku mengikuti sayembara memasak besok pagi?” sahut Chen panik.
Changyi menatap Chen sesaat lalu berpaling pada
prajurit-prajurit di depannya. Kepalanya mengangguk.
“Baiklah, sekarang antarkan kami pada Pangeran Zhu
Di…dan urus kudaku. Dia pasti sudah pulang kekandangnya sendiri sekarang” ucap
Changyi yang segera di sahuti oleh keempat prajurit di depannya.
“Baik Tuan Muda” jawab empat prajurit khusus itu
serempak.
“Kakak, bagaimana bisa aku mengikuti sayembara itu
besok pagi?” ulang Chen saat Changyi menarik tangannya setelah membantu
mengenakan jubah gelap yang menyelubungi hingga batas kaki.
“Tenanglah Adik Chen. Yang penting sekarang, kita
bertemu dengan Pangeran Zhu Di lebih dulu. Pasti akan ada rencana yang baik
untuk besok pagi” bisik Changyi di telinga Chen.
*************
Changyi berjalan dengan langkah cepat sementara Chen yang
tersembunyi dalam jubah panjang mengikuti di belakangnya dengan gugup. Empat
prajurit berjalan mengiringi dua remaja itu. Sesekali, Changyi bertanya pada
prajurit di belakangnya dengan suara berbisik dan dijawab dengan nada berbisik
pula. Istana pangeran terletak di samping ruang perpustakaan kerajaan. Bangunan
besar yang menjadi tempat penyimpanan seluruh buku-buku milik kaisar.
Lampu-lampu minyak telah menyala seluruhnya, ditempatkan sepanjang lorong
bangunan maupun penghubung antar bangunan pada jarak yang teratur membuat
suasana sekitar menjadi terang. Changyi yang berjalan paling depan sengaja
memilih sisi bangunan yang sedikit lebih gelap karena bayangan pohon-pohon
maple dengan daun-daunnya yang hijau subur. Ia hapal benar pada sisi-sisi mana
dari istana Kaisar Hongwu yang sangat luas ini yang di jaga oleh prajurit serta
kapan para prajurit tersebut akan berjalan berkeliling. Sesekali, Changyi
menarik tangan Chen dan berdiri merapat pada sisi dinding yang gelap saat ia
melihat serombongan prajurit di kejauhan dan keempat prajurit yang mengikuti
mereka dari belakang serentak turut merapat di sisi gelap dinding bangunan
istana.
Udara malam berhembus hangat. Musim panas telah berjalan
nyaris dua purnama membuat udara di malam hari cenderung hangat setelah panas
membakar di siang hari. Changyi menarik nafas lega saat akhirnya mereka
berhasil memasuki istana pangeran dan berdiri di depan kamar pangeran keempat.
Keempat prajurit segera bergerak kedepan dan berbicara dengan Kasim Anta yang
berdiri di depan pintu.
“Tuan Muda Xu datang hendak menghadap Yang Mulia Pangeran”
kata satu prajurit pada kasim di depannya.
Kasim Anta mengangguk. “Baik, saya akan menyampaikannya pada
Yang Mulia Pangeran Zhu Di”.
Sejenak, sang kasim membungkuk hormat ke arah Changyi
sebelum melangkah masuk ke dalam kamar Pangeran Zhu Di. Changyi melirik sejenak
ke arah Chen yang terlihat gelisah di balik jubah penutupnya. Tangannya terulur
dan menepuk bahu adiknya sekilas dengan senyum mengembang di bibir. Sejenak
kemudian, Kasim Anta yang melapor pada Pangeran Zhu Di terlihat keluar kembali.
Kedua matanya langsung tertuju pada Changyi dengan tubuh membungkuk.
“Yang Mulia Pangeran menunggu Tuan Muda Xu. Silahkan masuk
Tuan Muda” kata Kasim Anta tersebut sambil
memberi isyarat pada dayang-dayang yang berdiri di setiap sisi pintu
untuk membukakan pintu bagi Changyi. Changyi mengangguk sekilas lalu melangkah
masuk ke dalam diikuti oleh Chen. Ruang
kamar pangeran keempat terdiri dari beberapa lapis dan setiap lapis di jaga
oleh kasim dan dayang. Changyi melihat
bahwa semua kasim dan dayang yang menjaga kamar Pangeran Zhu Di adalah kasim
dan dayang dari istana Kaisar. Dan itu pasti atas perintah dari Kaisar Ming Tai
Zhu setelah semua juru masak istana pangeran dimasukkan ke dalam penjara,
tampaknya semua dayang dan kasim selain Kasim Anta telah pula di ganti
seluruhnya. Changyi menggelengkan kepalanya. Hanya masalah makanan, namun
akibat yang di timbullkan sungguh luar biasa hingga mempengaruhi nasib semua
orang.
Pangeran Zhu Di berada di lapis ketiga dari ruang kamarnya.
Sang pangeran terlihat duduk bersandar dengan bantal di punggung. Kedua matanya
seketika berbinar saat melihat Changyi dan Chen masuk. Pangeran termuda yang
tampan itu bahkan tidak membalas ketika Changyi dan Chen membungkuk hormat ke
arahnya. Tangannya segera melambai penuh semangat menyuruh Changyi dan Chen
untuk segera mendekat dan duduk di depannya.
“Kakak!..Akhirnya kau pulang dengan Adik Chen. Duduklah
cepat di dekatku” kata Pangeran Zhu Di. Sekejab, sepasang matanya beralih dari
Changyi dan Chen ke arah pintu di mana Kasim Anta dan beberapa dayang masih
berdiri sambil membungkuk.
“Kalian pergilah!” perintah Pangeran Zhu Di pada Kasim Anta
dan dayang di depan pintu yang terbuka. “Tutup pintunya dan siapapun yang
datang, katakan bahwa aku sedang istirahat dan tidak ingin diganggu. Kalian
mengerti?!”.
Kasim Anta dan para dayang membungkuk semakin dalam setelah
mereka mendengar perintah Pangeran Zhu Di yang galak tersebut.
“Baik Yang Mulia” jawab mereka serempak sebelum kemudian
menutup pintu kamar pangeran keempat rapat-rapat.
Pangeran Zhu Di menunggu sampai pintu benar-benar tertutup
rapat sebelum kembali pada Changyi dan Chen yang telah duduk di depannya, di
seberang meja giok kecil berbentuk bulat. Changyi tersenyum menatap pangeran
keempat yang terlihat begitu gembira dan bersemangat meskipun sepasang matanya
yang indah menyiratkan tanya.
“Kakak, aku sudah menunggumu sejak tadi. Aku khawatir Kakak
mendapat halangan di jalan. Apalagi, kudengar, Kakak menolak untuk disertai
beberapa prajurit” kata Pangeran Zhu Di sejenak kemudian.
“Ya Adik Zhu Di, aku memang menyuruh mereka untuk kembali
dan tinggal saja di istana. Kupikir, akan lebih leluasa jika aku pergi sendiri”
jawab Changyi sambil tersenyum. Setelah terakhir kali mereka bertemu sebelum
Changyi berangkat ke Kuil Bulan Merah untuk menjemput Chen, kini ia telah
mengubah pola kalimatnya pada Pangeran Keempat. Tak lagi bernada formal namun
lebih akrab dengan sebutan “aku dan kau” sebagaimana keinginan dari sang
pangeran keempat.
“Ah..Kakak selalu saja memiliki pemikiran sendiri. Tapi
syukurlah, Kakak sudah sampai di sini bersama Adik Chen. Dan…Adik Chen, kenapa
kau masih menutupi dirimu dengan jubah itu?” ujar Pangeran Zhu Di sambil
memandang ke arah Chen.
Changyi terkejut dan menoleh ke sisi kirinya. Chen duduk
sedikit di belakang punggungnya, bersila dan tertunduk diam di dalam jubahnya.
Changyi menggelengkan kepalanya lalu tangannya terulur ke arah Chen.
“Adik Chen, bukalah jubahmu. Kau aman sekarang” kata Changyi
sambil menarik penutup kepala yang menyelubungi wajah Chen.
“Hormat saya Pangeran” kata Chen sambil mengangguk hormat
setelah jubahnya terlepas.
Pangeran keempat tersenyum miring. Sepasang matanya menatap Changyi. “Kakak, adik kita
sangat sopan padaku membuatku jadi kikuk. Aku harus bagaimana?”
Changyi tertawa pelan namun sepasang bahunya terangkat naik.
“Terserah kau saja Adik Zhu Di”.
Pangeran Zhu Di tertawa lepas lalu sepasang matanya tertuju
pada Chen yang duduk sambil menunduk, sama sekali tak mengimbangi keceriaan
sang pangeran maupun senyum cerah Changyi.
“Adik Chen…selamat datang di rumahku. Kuharap kau suka
berada disini” kata Pangeran Zhu Di.
Chen membungkuk hormat. “Terima kasih Pangeran. Sebuah
kehormatan bagi saya bisa berada di sini”.
Pangeran Zhu Di mengangguk-angguk. Senyum miring masih
tersangkut di bibirnya. “Ya Adik Chen. Aku memang meminta Kakak untuk membawamu
ke sini. Dan itu karena…..aku sangat merindukan masakanmu”.
Chen terlonjak karena kalimat pangeran keempat telah
mengingatkannya pada sesuatu. Wajahnya terangkat dan untuk pertama kalinya, anak
berumur dua belas tahun itu menatap
pangeran keempat di depannya.
“Pangeran, saya ingat, saya membawa beberapa kue dari kuil
untuk Pangeran. Saya sempat membuatnya sebelum berangkat kemari” kata Chen.
Pangeran Zhu Di menegakkan tubuhnya. Matanya berbinar
semakin terang.
“Benarkah? Kalau begitu cepat keluarkan! Aku yakin pasti
enak” katanya dengan penuh semangat.
Chen membungkuk hormat. “Baik Pangeran”.
Changyi menoleh dan memperhatikan Chen yang terlihat melolos
buntalan kain di bahunya. Semula, ia mengira bahwa isi dari buntalan yang
terlihat agak besar dan berat itu adalah barang-barang pribadi Chen seperti
pakaian atau yang lainnya. Namun, ketika kemudian Chen mengurai simpul kain
yang mengait di bagian atas buntalan, maka yang terlihat di depan mereka adalah
beberapa mangkuk kayu besar dengan penutup. Terdapat empat mangkuk besar dan
kesemuanya terikat dengan tali serat kayu yang mencegah tutup mangkuk terlepas
dan menumpahkan isinya. Changyi tersenyum sambil melirik ke arah Chen. Terlihat
kilau bangga di matanya yang secemerlang bintang pada saudara kecilnya itu
sementara Chen mengeluarkan mangkuk-mangkuk kayu dalam buntalan dengan cepat
dan menatanya di atas meja giok di depan Pangeran Zhu Di segera setelah
melepaskan masing-masing ikatan tali serat kayu. Mangkuk-mangkuk tersebut
ditata berderet rapi dari kiri ke kanan. Lalu, tangan kecil Chen merogoh
kembali ke dalam buntalan dan mengeluarkan sebuah bungkusan kain serat rami
yang terlihat sedikit panjang. Changyi dan Pangeran Zhu Di memperhatikan
seluruh gerak-gerik Chen. Ketika ikatan tali pengikat kain terbuka, maka nampak
dua pasang sumpit kayu bersih serta tiga sendok kayu. Selanjutnya, Chen
mengambil satu pasang sumpit bersih dan menempatkannya tepat di depan Pangeran
Zhu Di, berikut satu buah sendok kayu bergagang panjang. Setelah selesai, Chen
kembali duduk bersila.
“Silahkan Pangeran. Hanya makanan sederhana dari kuil.
Maafkan saya karena tidak bisa memasak yang lebih baik. Kami tidak memiliki
banyak bahan untuk di masak” ujar Chen sambil membungkuk.
Pangeran Zhu Di tersenyum lebar. Tubuhnya beringsut merapat
ke arah meja giok di depannya.
“Kau bercanda Adik Chen? Semua masakan dari tanganmu adalah
yang terbaik” katanya sambil meraih mangkuk besar di ujung sebelah kanan lalu
tangannya bersiap membuka tutupnya.
“Jangan yang itu dulu Pangeran!” cegah Chen tiba-tiba
membuat pangeran keempat seketika mengurungkan niatnya membuka tutup mangkuk di
deretan paling kanan. Sepasang matanya menatap Chen dengan alis berkerut
sementara Changyi yang turut terkejut menatap saudaranya.
“Memangnya kenapa Adik Chen?” dahi indah Changyi berkerut.
Chen menoleh ke arah Changyi dan mengangguk.
“Kakak, bukankah Kakak telah bercerita padaku sebelumnya di
kuil bahwa Pangeran Zhu Di dalam keadaan lemah karena beberapa hari tidak
makan?” tanya Chen menjawab pertanyaan kakaknya.
Kali ini, Changyi yang mengangguk. “Ya, itu benar. Lalu?”.
“Jelaskan padaku Adik Chen” pangeran keempat menyela sambil
menatap deretan mangkuk besar di depannya dengan pandangan meneliti. “Apakah,
mangkuk-mangkuk ini kau tata berdasarkan urutan mangkuk mana dulu yang
seharusnya kubuka dan kumakan isinya?”.
Chen mengangguk. “Itu benar Pangeran. Karena saya mengetahui
bahwa Pangeran dalam keadaan lemah, maka saya membuat makanan tersebut
berurutan sesuai dengan keadaan tubuh Pangeran. Maksud saya adalah agar tubuh
Pangeran, terutama bagian perut yang bertugas mencerna makanan tidak menjadi
kaget dengan masuknya makanan yang tiba-tiba. Hal seperti itu, tidak akan baik
untuk kesehatan Pangeran nantinya”.
Changyi mengangguk saat mendengar jawaban Chen atas
pertanyaan Pangeran Zhu Di yang sekaligus juga menjawab pertanyaannya sementara
sang pangeran terlihat mendengarkan penjelasan Chen dengan sungguh-sungguh.
Tangan kanannya terulur ke atas meja giok dan jari telunjuknya menunjuk deretan
mangkuk di atas meja.
“Jika begitu, dari keempat mangkuk ini, yang mana yang harus
kubuka lebih dulu lalu kumakan isinya Adik Chen? Cepatlah…aku lapar sekali”
ujar Pangeran Zhu Di membuat Changyi tertawa perlahan memperlihatkan deretan
giginya yang putih cemerlang dan indah.
“Mangkuk yang paling kiri Pangeran” tunjuk Chen dengan
tangan kanannya.
Dengan gerakan cepat nyaris terlihat tak sabar, Pangeran Zhu
Di menarik mangkuk yang berada di deretan paling kiri mendekat ke arahnya lalu
membuka tutup mangkuk. Semua dilakukannya dengan cepat hingga tutup mangkuk
kayu di depannya terguling jatuh dari atas meja dan menggelinding ke sisi
Changyi. Remaja berwajah malaikat itu menggelengkan kepalanya melihat tingkah
sang pangeran keempat yang untuk pertama kalinya nampak sangat kelaparan
setelah tidak pernah makan selama berhari hari lamanya itu. Untunglah bahwa
peralatan makan yang dibawa oleh Chen dari kuil hanyalah peralatan makan
sederhana dari kayu yang ia tahu merupakan hasil buatan para biksu kuil
sendiri, sehingga gerakan Pangeran Zhu Di yang cepat dan serba terburu-buru oleh
desakan rasa laparnya itu tak membuat peralatan makan dari kuil menjadi pecah
dan menimbulkan suara berdenting riuh sebagaimana peralatan makan istana yang
terbuat dari porselin bila digunakan dengan tidak berhati-hati. Changyi
berpikir bahwa akan lebih baik bila semua kasim dan dayang, maupun para
prajurit yang saat ini berjaga di luar kamar pangeran untuk tidak mengetahui
bahwa Pangeran Zhu Di saat ini tengah bersantap dengan makanan yang di bawa
oleh Chen. Pastilah akan menjadi kegemparan bila mereka semua mengetahui bahwa
sang pangeran keempat telah mau bersantap hanya dengan makanan sederhana yang
di bawa oleh seorang anak kecil dari kuil!.
Dan akan lebih berbahaya lagi bila hal itu sampai di telinga
Kaisar Ming Tai Zhu. Keselamatan Chen mungkin akan terancam dan berada dalam
bahaya.
Karena itu, sambil melihat bagaimana kesibukan pangeran
keempat saat membuka tutup mangkuk paling kiri dan melongok ke dalam mangkuk
untuk melihat isinya, Changyi memasang telinga dan pendengarannya baik-baik
untuk mengetahui gelagat yang mungkin terjadi di luar dinding kamar pangeran.
Ia sama sekali tidak boleh lengah!. Karena saat ini, ia menjaga keselamatan
Chen saudaranya dan sekaligus pangeran keempat sahabatnya.
“Ini….apa ini Adik Chen?” tanya Pangeran Zhu Di saat menemukan
di dalam mangkuk besar terdapat mangkuk lain yang tertutup rapat dalam ukuran
lebih kecil dan berbeda dengan keempat mangkuk besar lain yang terbuat dari
kayu. Mangkuk kecil itu terbuat dari tanah liat yang dibakar sempurna sehingga
menjadi sangat keras dan berpori halus. Mangkuk tersebut terselubung oleh
lapisan-lapisan kain rami yang rapat. Pangeran Zhu Di mengangkat
lapisan-lapisan kain rami tersebut setelah meletakkan sepasang sumpit yang
semula dipegangnya ke atas meja. Ketika kemudian, selubung kain rami telah
terbuka, dengan cepat Pangeran Zhu Di membuka tutup mangkuk kecil dari tanah
liat tersebut. Sepasang matanya melebar saat menemukan isinya.
“Ini….bubur?” tanya Pangeran Zhu Di setengah berbisik saat
melihat ke dalam mangkuk kecil.
Makanan yang terdapat dalam mangkuk tanah liat itu memang
adalah bubur. Namun, berbeda dengan bubur lain yang jelas terlihat isinya
berupa beras ataupun tepung yang dimasak secara encer. Bubur dalam mangkuk
kecil tersebut terlihat jernih seperti air yang dikentalkan dengan cara
dimasak. Warnanya putih menyerupai susu yang jernih. Aroma harum segera
menyeruak keluar menyerbu hidung pangeran keempat dan bahkan Changyi. Aroma
sedap yang berasal dari bahan dasar bubur tersebut. Bubur itu masih hangat.
Rupanya, mangkuk tanah liat yang keras dan selubung kain rami yang
berlapis-lapis tersebut dimaksudkan untuk menjaga agar bubur tersebut tetap
hangat saat sampai di depan pangeran keempat. Changyi tersenyum. Tanpa melihat
ke dalam mangkuk, ia segera tahu, bubur apakah itu.
“Benar Pangeran…itu adalah bubur yang saya buat untuk
Pangeran yang beberapa hari tidak tersentuh makanan” jawab Chen. Tangan
kanannya terulur mengambil sendok kayu yang ia letakkan di depan Pangeran Zhu
Di dan mengulurkan sendok tersebut pada pangeran keempat. “Gunakan sendok ini
Pangeran”.
Pangeran Zhu Di menatap Chen sejenak, lalu sekilas memandang
ke arah Changyi yang mengangguk padanya sebelum kemudian menerima sendok dari
tangan Chen dan mulai menyuap bubur di dalam mangkuk kecil. Saat satu suapan
telah masuk kedalam mulutnya, terlihat pangeran tampan itu mencecap-cecap rasa
bubur yang dimakannya. Ada asin yang samar dalam bubur tersebut yang justru
semakin menguatkan rasa gurih dari rasa bahan dasar buburnya.
“Bubur apakah ini Adik Chen? Rasanya sangat segar, jauh
berbeda dengan bubur yang biasa kudapat dari juru masakku di sini. Juga…bubur
ini sangat ringan. Aku seperti meminum makananku” tanya Pangeran Zhu Di sambil
kembali menyuap buburnya.
Chen tersenyum, untuk pertama kalinya, sejak ia tiba di
istana dan berada di kamar pangeran keempat. Hanya senyum kecil yang lebih
terkesan sedikit malu.
“Saya menyebutnya Bubur Kabut, Pangeran” jawab Chen membuat
Pangeran Zhu Di yang sibuk menyuap buburnya seketika berhenti dan tertawa.
Changyi tersenyum lebar. Ia sudah menduga bahwa pangeran
keempat akan tertawa bila mendengar nama bubur itu karena dulu, saat pertama
mendengarnya, iapun tertawa sampai perutnya terasa mulas.
“ha ha ha…Bubur Kabut? Nama yang sangat lucu untuk makanan
yang sangat enak. Kenapa kau memberi nama masakanmu Bubur Kabut Adik Chen?”
tanya Pangeran Zhu Di masih dengan tawanya.
“Karena warna bubur tersebut seperti warna kabut di pagi
hari yang biasa terlihat di hutan bambu. Putih yang jernih, ringan tapi ada,
dan segar. Bukankah begitu Adik Chen?” Changyi menjawab pertanyaan Pangeran Zhu
Di saat ia melihat Chen yang tertunduk malu.
Chen mengangguk. “Memang seperti itulah adanya” jawabnya.
“Hmmm…..baiklah. Bubur Kabut. Jadi saat ini, aku sedang
memasukkan kabut yang sangat enak ke dalam perutku” ujar Pangeran Zhu Di sambil
kembali menyuap buburnya. Sebuah senyum miring menghias bibirnya.
“Lalu…kau buat dari apa bubur ini Adik Chen? Walaupun
namanya Bubur Kabut, tapi aku bisa merasakan sedikit aroma beras yang segar dan
harum di dalamnya. Seperti beras yang baru saja di petik dari batangnya” tanya
Pangeran Zhu Di sambil meletakkan sendoknya ke atas meja setelah menelan suapan
terakhir bubur dalam mangkuk kecil tanah liat di depannya.
“Saya membuatnya dari sari beras Pangeran” jawab Chen sambil
mengangguk sopan. “Karena itulah, Pangeran masih merasakan aroma harum beras
tersebut dalam bubur yang Pangeran santap”.
“Sari beras? Maksudmu…beras yang kau buat menjadi tepung
lalu kau masak menjadi bubur…begitukah?” tanya Pangeran Zhu Di.
“Bukan Pangeran. Sari beras berbeda dengan tepung beras.
Sari beras saya ambil dari beras segar yang baru saja dipetik dari batangnya
lalu dikupas kulit arinya dan dimasak dalam air sebentar dengan api yang tidak
terlalu besar. Air itulah yang saya buat sebagai bubur yang sangat baik untuk
memulihkan kekuatan setelah berhari hari perut kosong tidak tersentuh makanan.
Sari pati di dalamnya sangat baik untuk kesehatan pencernaan. Itulah sebabnya,
saya membuat bubur itu sebagai makanan pertama untuk Pangeran yang tidak tersentuh
makanan selama beberapa hari” jawab Chen memberi penjelasan panjang lebar.
Pangeran Zhu Di mengangguk-angguk mengerti sementara Changyi
menatap Chen dengan senyum di wajahnya. Ada sedikit rasa heran dalam diri
Changyi saat melihat bagaimana Chen memberikan penjelasan pada pangeran
keempat. Bagaimana saudaranya yang kecil itu bisa memiliki pengetahuan tentang
makanan dan bahan-bahan yang di masaknya?.
“Baiklah….” kata Pangeran Zhu Di kemudian. “ Dan sekarang,
karena aku telah menghabiskan buburku, apakah aku boleh membuka mangkuk-mangkuk
yang lain Adik Chen?”.
Chen mengangguk hormat.
“Silahkan Pangeran” jawabnya dengan nada sopan.
Tanpa menunggu lebih lama, jemari pangeran keempat segera
bergerak ke depan dan membuka tutup mangkuk kedua di sebelah mangkuk bubur yang
telah kosong isinya. Tidak terdapat mangkuk lain dalam mengkuk besar tersebut.
Begitu tutup mangkuk terbuka, baik Pangeran Zhu Di maupun Changyi segera dapat
melihat isinya. Makanan sejenis kue yang dipotong berbentuk dadu kecil berwarna
merah jambu yang lembut. Kembali, aroma harum segera menyerbu hidung pangeran
keempat dan Changyi. Kali ini, diam-diam, Changyi menelan air liurnya. Ia tahu,
kue apakah yang ada dalam mangkuk kedua itu. Chen pernah membuat kue itu
untuknya dan itu adalah kue yang paling disukainya. Pangeran Zhu Di mengambil
satu potong kue dengan sumpitnya dan langsung memasukkannya ke dalam mulut.
Sesaat sepasang alisnya yang tebal bagus terangkat sebelum kemudian, dengan
penuh semangat, pangeran muda itu menyuap potongan-potongan kue di depannya
dengan penuh semangat.
“Itu adalah kue mawar. Saya membuatnya dari kacang merah dan
kacang hijau. Sari kacang merah sangat baik untuk membersihkan pencernaan
setelah beberapa hari kosong dan hanya terisi oleh air dan udara. Kacang hijau
sangat baik sebagai sumber tenaga yang alami dalam tubuh. Saya berharap, tubuh
Pangeran segera kuat kembali, karena banyak orang yang bergantung nasibnya pada
kesehatan Pangeran Zhu Di” papar Chen tanpa diminta.
Pangeran Zhu Di tak menanggapi penjelasan yang diberikan
oleh Chen. Kepalanya hanya mengangguk-angguk dengan bibir menyunggingkan senyum
miringnya. Mulutnya tak henti mengunyah hingga potongan terakhir kue dalam
mangkuk kedua. Lalu, setelah mangkuk kedua kosong, tangan sang pangeran segera
meraih tutup mangkuk ketiga dan mulai menyantap isinya. Sayuran hijau yang
terlihat segar dalam warna hijau terang, dimasak dalam panas sekejab sehingga
menjadi lembut namun tidak kehilangan nutrisi di dalamnya. Kali ini, pangeran
keempat tak lagi bertanya tentang nama makanan ataupun bahan yang digunakan
untuk membuat makanan tersebut.
“Berceritalah Adik Chen. Aku akan mendengarkanmu sambil
memakan makanan paling enak ini” kata Pangeran Zhu Di.
Changyi menggelengkan kepalanya melihat tingkah pangeran
keempat di hadapan mereka sedangkan Chen justru tertunduk. Wajahnya terlihat
malu dengan pujian yang diberikan pangeran muda di depannya meski sesungguhnya,
putra Kaisar Hongwu itu tak bermaksud memuji dan hanya mengatakan hal yang
sesungguhnya. Sesaat suasana kamar menjadi hening. Hanya terdengar suara halus
sumpit di tangan pangeran keempat yang beradu dengan mangkuk.
“Adik Zhu Di….sambil kau makan, aku ingin menanyakan suatu
hal padamu” Changyi membuka suara memecahkan kesunyian sejenak di antara
mereka.
Pangeran Zhu Di mengangguk. “Tentang apa Kakak?”.
“Tentang sayembara memasak besok pagi. Prajurit yang
menunggu kami tadi mengatakan padaku tentang sayembara tersebut dan kau ingin
Adik Chen untuk mengikutinya. Kenapa aku tidak tahu tentang hal itu?” tanya
Changyi membuat Chen kembali teringat perihal sayembara memasak yang akan
diadakan esok hari oleh Kaisar Ming Tai Zhu. Seketika, wajah Chen menjadi
gelisah.
Pangeran Zhu Di berhenti mengunyah sesaat dan menatap
Changyi. Sejenak, pandangannya beralih pada Chen lalu kembali menunduk menekuni
masakan sayur dalam mangkuk ketiga di depannya.
“Benar Kakak. Yang Mulia Kaisar datang padaku, hanya
sepeminuman teh setelah Kakak pergi menjemput Adik Chen dan mengatakan bahwa
besok akan diadakan sayembara untuk semua juru masak di istana. Bagi siapapun
yang bisa membuat masakan yang aku suka, maka akan diangkat sebagai kepala
dapur istana. Aku sudah mengatakan bahwa itu akan sia-sia saja, tapi Yang Mulia
justru marah dan mengatakan bahwa jika tak ada satupun juru masak yang berhasil
membuatku makan, maka mereka semua akan dihukum. Kakak tahu, aku tak akan bisa
memakan masakan mereka. Mungkin saja, di depan banyak orang, aku bisa
berpura-pura memilih salah satu makanan dan memakannya, tapi aku tak bisa
berpura-pura dalam waktu yang lama. Aku tidak sekuat Kakak. Karena itulah, aku
ingin Adik Chen untuk mengikuti sayembara itu besok pagi” jawab Pangeran Zhu Di
sambil meletakkan sumpitnya di atas mangkuk kayu yang telah kosong.
“Tapi, tidakkah kau tahu bahwa itu akan berbahaya untuk Adik
Chen? Pertama, sayembara itu diadakan untuk juru masak istana sedangkan Adik
Chen bukanlah juru masak istana. Kedua, semua juru masak istana adalah
orang-orang yang sangat pandai dalam memasak makanan dan telah dibuktikan oleh
banyak orang. Jika makanan yang di masak oleh juru masak - juru masak istana
yang sangat pandai itupun kau tolak, dan kau justru memilih untuk memakan
makanan yang dimasak oleh seorang anak kecil seperti Adik Chen, apakah tidak
akan menimbulkan kecurigaan banyak orang? Kau tahu bagaimana istana ini Adik
Zhu Di. Beberapa menteri yang diam-diam menyusun kekuatan untuk menjatuhkan
wibawa raja di hadapan rakyat pastilah akan mengawasi setiap peristiwa di
istana ini dan mengambil keuntungan untuk pergerakan mereka” jawab Changyi.
“Aku tahu Kakak, tapi, pilihan apalagi yang kita miliki?
Jika Adik Chen memasak untukku sementara ia berada di luar istana, maka keadaan
akan jauh lebih berbahaya lagi untuknya. Jadi, tadi siang, aku mengatakan pada
Yang Mulia agar juru masak yang mengikuti sayembara besok bukan hanya juru
masak di istana raja dan pangeran saja tapi seluruh juru masak di rumah para
menteri dan jenderal juga harus mengikuti sayembara” sahut pangeran keempat
menimpali ucapan Changyi.
Kening Changyi yang indah berkerut saat mendengar ucapan
Pangeran Zhu Di.
“Lalu, bagaimana hal itu bisa membuat Adik Chen boleh
mengikuti sayembara itu Adik Zhu Di?” tanya Changyi. Benaknya berputar mencoba
menemukan siasat yang kali ini hendak dilakukan oleh pangeran termuda yang
terkenal cerdas namun pemberontak itu.
Pangeran Zhu Di menatap Changyi. Sinar matanya terlihat
meneliti dan sekilas rasa khawatir berkelebat di kedalaman matanya.
“Maafkan aku Kakak. Aku mengatakan pada Yang Mulia bahwa
Adik Chen adalah salah satu pelayan yang menjadi juru masak di rumah Paman Xu
Da” kata Pangeran Zhu Di kemudian.
“Apa?!” sepasang mata Changyi terbelalak karena kaget
sementara Chen seketika mengangkat wajahnya yang semula selalu tertunduk. “Adik
Zhu Di…bagaimana kau bisa melakukan hal itu?”.
Pangeran keempat terlihat agak kikuk saat mendengar nada
keras dalam suara Changyi. Dipandanginya Changyi dan Chen berganti-ganti lalu
sepasang matanya menetap pada Changyi sebelum mulai menjawab.
“Kakak….maafkan aku. Sungguh maafkan aku. Aku tidak memiliki
pilihan lain selain mengatakan bahwa Adik Chen adalah salah satu pelayan di
rumah Paman Xu Da. Yang Mulia tahu dan hafal semua juru masak di istana raja,
istana permaisuri, istana putri maupun istana pangeran. Aku tidak mungkin
mengatakan bahwa Adik Chen adalah pelayan di sini. Kakak tahu bahwa semua
pelayan di istana pangeran telah dimasukkan ke dalam penjara. Aku juga tidak
mungkin mengatakan bahwa Adik Chen adalah salah satu pelayan di rumah salah
satu menteri karena aku bahkan tidak tahu berapa jumlah pelayan di rumah-rumah
menteri di istana ini. Juga…aku tidak memiliki bukti keberadaan Adik Chen di
sana. Dan seperti apa yang Kakak katakan sebelumnya, bahwa beberapa menteri
tengah menyusun kekuatan untuk menjatuhkan wibawa Yang Mulia dihadapan rakyat
membuatku harus berhati-hati. Jadi, satu-satunya yang bisa kukatakan adalah
bahwa Adik Chen merupakan salah satu pelayan di rumah Paman Xu Da. Aku tahu,
kalian pernah tinggal di rumah Paman Xu Da sebelum pergi ke kuil dan…..aku
mendengar dari seorang pelayan di rumah Paman Xu Da bahwa salah satu tugas Adik
Chen adalah membantu memasak di dapur”.
Changyi terpana mendengar penuturan pangeran keempat.
Sungguhpun, di dalam ucapan Pangeran Zhu Di terdapat kebenaran, namun entah
mengapa, Changyi merasakan seleret rasa pedih menyusup di hatinya. Seolah,
ucapan Pangeran Zhu Di tersebut telah semakin menegaskan perubahan status
sosial antara dirinya dan Chen. Hal yang pernah ia utarakan pada ayah angkatnya
dan dengan jelas pula Jenderal Xu Da telah memberi jawaban tentang ketidak mungkinan
Chen masuk dalam keluarga Xu sebagaimana dirinya. Dan kenyataan itu, ditambah
kalimat yang diucapkan oleh Pangeran Zhu Di, semakin membuat rasa sedih di hati
Changyi menguat. Changyi terdiam sementara sepasang matanya menatap pangeran
keempat di depannya tanpa berkedip. Sebuah rasa kecewa tiba-tiba muncul di
hatinya.
“Kakak?....Apakah, kau marah padaku?” tanya pangeran keempat
saat dilihatnya Changyi yang termangu di depannya dengan rona wajah yang
berubah-ubah antara pias dan merah padam. “Apakah…aku telah salah bicara?”
Changyi masih diam termangu hingga sebuah tangan menyentuh
lengannya. Tangan kecil yang sangat di kenalnya.
“Kakak?” suara Chen membuat sepasang mata Changyi yang
menatap pangeran keempat tanpa berkedip kembali bergerak. Sesaat Changyi menghela nafas sebelum kemudian
menggelengkan kepalanya. Sebuah senyum terurai di bibirnya. Bukan senyum
bahagia.
“Tidak Pangeran, apa yang Pangeran ucapkan adalah benar
seluruhnya” jawab Changyi.
“Apakah Kakak marah padaku?” Pangeran Zhu Di mengulang
pertanyaannya yang belum di jawab oleh Changyi.
Suara tawa kecil Changyi terdengar ironi. Meskipun sama
sekali tak mengurangi keindahan wajahnya.
“Seorang seperti hamba tidak memiliki hak untuk marah pada
Pangeran” jawab Changyi.
Pangeran Zhu Di menarik nafas dan menatap Chen.
“Adik Chen, maafkan aku karena tidak memberitahumu
sebelumnya. Juga…karena aku telah menyebutmu sebagai salah satu pelayan di
rumah Paman Xu Da. Tapi sungguh, kau harus mengikuti sayembara itu besok pagi.
Hanya kau yang bisa menolongku dan juga para juru masak di dalam penjara. Aku
tahu bahwa ini pasti akan sulit bagimu, tapi aku tidak punya pilihan lain.
Andai aku memiliki pilihan yang lebih baik untuk tidak menyulitkanmu, maka aku
pasti akan melakukannya. Tapi aku….”
“Saya akan melakukannya Pangeran. Saya akan mengikuti
sayembara itu. Pangeran tidak perlu khawatir” sahut Chen memotong kalimat
Pangeran Zhu Di membuat Changyi terkejut dan berpaling ke arah Chen. Terlihat
tekad di wajah polos Chen membuat dahi Changyi berkerut.
“Adik Chen? Apakah kau tidak takut?” desis Changyi.
Chen menatap remaja tampan di sisinya dengan senyum terurai.
Kepalanya mengangguk.
“Ya Kakak. Aku akan mengikuti sayembara itu. Kakak dan
Pangeran Zhu Di…kalian berdua tenanglah” sahut Chen. Sesungguhnya, Chen memang
takut untuk mengikuti sayembara memasak besok pagi. Ia tak tahu tentang masakan
istana atau jenis masakan lain yang biasa disajikan di kalangan pejabat dan
terlebih masakan untuk raja dan keluarga raja. Selama ini, ia hanya memasak
dengan bahan-bahan sederhana yang bisa ia temukan di sekitarnya. Ia tak
memiliki banyak pengetahuan tentang bahan-bahan makanan dari kelas yang mahal
dan hanya menjadi milik keluarga bangsawan, pejabat dan keluarga raja. Tetapi,
rona wajah Changyi yang berubah-ubah, ketidakmengertian Pangeran Zhu Di bahwa
ia telah membuat Changyi kecewa, serta pesan dari kepala kuil agar ia membantu
orang-orang di istana terutama Pangeran Zhu Di dan para pelayan yang mendekam
dalam penjara membuat Chen menyingkirkan seluruh rasa takutnya.
Pangeran Zhu Di terlihat sangat gembira. Wajahnya berbinar
penuh semangat sedangkan Changyi terlihat mengangguk.
“Baiklah kalau begitu” kata Changyi kemudian. Sepasang
matanya memandang ke arah Pangeran keempat. “Jadi Pangeran…bagaimana rencana
Pangeran untuk besok pagi? Apakah ayah Xu Da telah tahu tentang hal ini?
Menurut hamba, akan lebih aman jika Ayah Xu Da mengetahuinya”.
“Belum Kakak…Paman Xu Da sedang pergi ke perbatasan karena
ada mata-mata Mongol yang tertangkap. Aku bermaksud memberitahunya tadi siang
tapi kasim yang kuutus tidak berhasil bertemu karena Paman Xu Da baru saja
pergi beberapa saat sebelum kasim yang kuutus sampai di sana. Maafkan aku
Kakak” jawab Pangeran Zhu Di.
Changyi berkerut. Ia memang mendengar bahwa ayah angkatnya
akan pergi ke perbatasan untuk memeriksa pertahanan prajurit yang mengamankan
daerah tersebut setelah tertangkapnya beberapa mata-mata Mongol. Tapi, ia tidak
tahu pasti kapan sang jenderal besar tersebut akan berangkat. Sungguh tak
disangka jika ayah angkatnya justru berangkat di saat adanya masalah yang rumit
seperti sekarang. Dan sesungguhnya, bukanlah perihal Chen mengikuti sayembara
besok pagi yang membuat Changyi merasa gundah, melainkan karena Chen akan
mengikuti sayembara tersebut sebagai pelayan dari ayah angkatnya dan itu
berarti, Chen akan menjadi pelayannya. Saudara lelakinya, meski mereka terlahir
dari keluarga yang berbeda, akan berdiri di depannya dengan membungkukkan tubuh
seperti semua pelayan lain dan memanggilnya “Tuan Muda Xu”. Changyi tak dapat membayangkan
hal itu bahkan dalam mimpi yang paling sedih atau keadaan paling memilukan
setelah kematian kedua orangtua kandungnya. Chen adalah satu-satunya orang yang
sungguh-sungguh menjadi keluarga dalam hatinya. Keluarga sejiwa. Dan
satu-satunya keluarga sejiwa itu akan menjadi pelayannya mulai besok pagi.
Sebuah kepiluan yang terasa amat perih menyeruak jantung Changyi dan kepedihan
itulah yang menyeret kekecewaan pada Pangeran Zhu Di sahabatnya. Sungguh, apa
yang dilakukan oleh pangeran keempat benar-benar terasa seperti keputusan
sepihak yang sangat egois di matanya.
“Apakah…Kakak bisa membantuku untuk mengatakan hal ini pada
Paman Xu Da?” tanya pangeran keempat tiba-tiba membuat Changyi terbangun dari
lamunan sesaatnya.
Changyi menarik nafas dalam-dalam lalu perlahan mengangguk.
“Baiklah Pangeran…saya akan melaksanakan perintah Pangeran. Saya akan membawa
Chen ke rumah ayah saya sekarang dan mengantarnya untuk mengikuti sayembara
besok pagi”.
“Apakah…tidak lebih baik jika Adik Chen tinggal di sini saja
bersamaku? Mungkin akan lebih aman jika Adik Chen di sini” ujar Pangeran Zhu Di
sambil menatap ke arah Chen.
Chen mengangguk sambil menatap Changyi penuh harap. Bayangan
sikap dan perilaku istri dari Jenderal Xu Da membayang di benaknya dan membuat
Chen seketika merasa enggan ketika Changyi mengatakan hendak membawanya kerumah
yang membuatnya merasa sedih itu.
“Bukankah Pangeran mengatakan pada Yang Mulia bahwa Chen
adalah pelayan dari Jenderal Xu Da? Kita harus melakukan hal yang sesuai dengan
perkataan Pangeran, atau Yang Mulia akan tahu bahwa Chen sesungguhnya kita
masukkan ke dalam istana secara diam-diam dan itu akan membahayakan keselamatan
Chen, saya dan keluarga ayah saya” jawab Changyi tegas.
Pangeran Zhu Di terdiam mendengar jawaban tegas dari Changyi.
Harus diakuinya bahwa apa yang dikatakan oleh remaja yang sangat rupawan dan
cemerlang itu sangatlah benar. Jika Chen tinggal di kamarnya malam ini, maka
akan timbul kecurigaan saat besok pagi anak itu datang ke arena sayembara
bersamanya. Sambil menarik nafas dalam-dalam, Pangeran Zhu Di akhirnya
mengangguk.
“Baiklah Kakak….itu benar” katanya kemudian.
Changyi mengangguk sekilas dan menyenggol lengan Chen di
sisinya.
“Kita ke rumah Jenderal Xu Da sekarang. Mudah-mudahan
Jenderal Xu Da sudah kembali dari perbatasan. Semakin cepat ayah Xu Da
mengetahui perihal dirimu, semakin baik untuk kita semua” kata Changyi pada
Chen.
Chen tak menyahut dan hanya mengangguk lemah. Jadi, malam
ini ia akan tinggal di rumah yang memberinya kesedihan itu. Dan ia tahu, ia tak
bisa menolak atau membantah. Nada tegas dalam suara Changyi semakin menegaskan
bahwa hati saudaranya itu tengah kalut. Ia terlalu mengenal Changyi hingga ia
bisa membaca suasana hati remaja yang telah menjadi kakak baginya tersebut.
“Baiklah Kakak” jawab Chen lalu berpaling pada Pangeran Zhu
Di. Tangannya menunjuk ke arah mangkuk keempat yang belum dibuka. “Di dalam
mangkuk itu, ada kue-kue yang saya buat dari akar garut. Pangeran bisa
menyantapnya sedikit demi sedikit terutama saat Pangeran merasakan perih pada
perut. Saya akan meninggalkannya untuk Pangeran”.
Pangeran Zhu Di tersenyum dan mengangguk. “Baiklah Adik
Chen. Terima kasih. Tapi…apakah akar garut itu? Kenapa aku belum pernah
mendengarnya?”.
“Akar garut itu adalah sejenih akar tumbuhan perdu yang
tumbuh di daerah dengan dua musim Pangeran. Para biksu di kuil mendapatkannya
dari para pedagang yang datang kekuil untuk menginap karena menunggu perahu
yang akan membawa mereka menyeberangi sungai kuning. Pedagang-pedagang itu
datang dari jauh dan sempat singgah di daerah dengan dua musim dan membawa
akar-akar garut tersebut. Lalu, mereka meninggalkan beberapa untuk para biksu
di kuil sebagai ucapan terima kasih. Saya membawa beberapa potong untuk
Pangeran serta kue yang saya buat dari tepung akar garut. Tepung itu sangat
bagus untuk memulihkan tubuh yang lemah serta usus yang sakit karena lama tidak
terisi oleh makanan. Saya berharap Pangeran akan memakan kue itu sedikit demi
sedikit agar khasiatnya lebih terasa” jelas Chen pada sang pangeran keempat.
“Baiklah….aku akan melakukannya. Terima kasih Adik Chen”
kata Pangeran Zhu Di. Kepalanya terangguk-angguk mengiringi senyumnya.
“Jika begitu, kami mohon diri Pangeran” Changyi mendahului
saat Chen membuka mulutnya untuk menyahuti kalimat pangeran keempat. “Adik
Chen, ayo”.
Chen mengangguk dan beringsut ke depan untuk membenahi
mangkuk-mangkuk kosong di atas meja giok dengan cepat dan segera kembali ke
sisi Changyi.
“Kami mohon diri Pangeran” ucap Chen pada Pangeran Zhu Di
yang menata ke arahnya dan Changyi berganti-ganti. Sejenak tatapan sang
pangeran berhenti pada Changyi sebelum kemudian seleret senyum miring
tersungging di bibirnya.
“Baiklah Kakak dan juga Adik Chen. Aku akan menunggu kalian
berdua di arena sayembara besok pagi. Dan jangan lupa, sayembara akan diadakan
halaman dapur kerajaan” ujar pangeran keempat yang terdengar lebih di tujukan
pada Changyi daripada Chen.
Changyi dan Chen mengangguk nyaris bersamaan. Kedua remaja
itu bangkit berdiri dan membungkuk ke arah pangeran keempat yang mengangguk
pada keduanya, masih dengan senyum miringnya yang khas dan terus mengawasi
hingga Changyi dan Chen lenyap di balik pintu.
Sementara Changyi, sebagaimana saat kedatangan mereka
sebelumnya, segera menangkupkan selubung jubah menutupi kepala Chen dan menarik
saudaranya itu untuk bergegas melangkah. Empat prajurit yang semula mengantar
keduanya hingga ke depan kamar pangeran keempat datang mendekat dan
membungkukkan tubuh mereka ke arah Changyi.
“Tak perlu mengantar kami. Tinggal saja di sini dan jaga
Pangeran Zhu Di” tegas Changyi sambil mengangkat tangan kanannya ke arah
prajurit dengan lambang tamtama merah di dadanya. Lambang tersebut menunjukkan
bahwa prajurit tersebut memiliki kepangkatan yang lebih tinggi dibanding tiga
prajurit lain.
Sang tamtama terlihat membungkuk diiringi tiga prajurit
lain.
“Baik Tuan Muda” jawab prajurit tamtama tersebut.
“Dan ingat, jangan katakan pada siapapun tentang apa yang
kalian ketahui malam ini. Mengerti?!” tanya Changyi. Nada tegas dalam suaranya
terdengar meninggi.
“Kami mengerti Tuan Muda!” jawab keempat prajurit serempak.
“Pergilah” perintah Changyi kembali. “Ambil sudut-sudut
lemah yang pernah kutunjukkan pada kalian dan jaga di tempat itu”.
“Baik Tuan Muda” sahut empat prajurit serempak dan tegas
sebelum kemudian segera berlalu dari hadapan Changyi dan Chen.
Changyi tak mengeluarkan suara lagi dan segera menarik
lengan Chen berlalu dari tempat tersebut.
“Kakak!....Apakah kita benar-benar harus ke rumah itu?” Chen
menarik tangannya dari genggaman Changyi. Sepasang matanya menatap ke arah
Changyi dibalik jubah yang menutupi kepalannya. Jelas terlihat kegelisahan yang
membayang.
Changyi menarik nafas panjang. Sekilas pandangannya beredar
ke sekeliling. Untunglah, mereka kini telah berada di sisi taman yang paling
ujung, berdekatan dengan kolam besar di mana Kaisar Ming Tai Zhu memelihara
ikan-ikan merahnya yang indah. Tempat ini tertutup oleh gerumbul semak bunga
mawar perdu yang mengembangkan ratusan bunga mungil berwarna-warni. Dan
gerumbul tanaman bunga itu menyamarkan mereka dari pandangan para penjaga
istana. Changyi tahu dan bisa merasakan kegelisahan Chen. Ia bukannya tidak
tahu hal apa yang membuat Chen merasa gelisah untuk datang ke rumah ayah
angkatnya. Bukankah belum lama lalu, ia dan ayahnya juga baru saja membicarakan
tentang alasan yang membuat Chen tak bisa masuk ke dalam keluarga Xu Da
sebagaimana dirinya selain kekhawatiran Kaisar Ming Tai Zhu pada kesetiaan
anak-anak angkat yang lebih besar pada ayah angkat mereka dibandingkan
kesetiaan pada raja sendiri. Dan kini, ia melihat dengan matanya sendiri, bahwa
Chen memang sulit untuk bisa masuk ke dalam keluarga Xu Da.
“Jika besok kau memenangkan sayembara itu, maka kau hanya
akan tinggal di rumah Jenderal Xu Da untuk malam ini saja. Selanjutnya, kau
akan memiliki tempat sendiri di istana ini. Apa kau mengerti?” jawab Changyi.
Ia sengaja menekankan kata kemenangan untuk membangkitkan semangat adiknya itu.
Kesehatan Pangeran Zhu Di tergantung pada keberadaan Chen. Dan Changyi sudah
merasa sangat yakin bahwa Chen pasti akan memenangkan sayembara besok pagi.
Tapi, jika malam ini semangat Chen justru runtuh hanya karena ia akan tinggal
di rumah Jenderal Xu Da, maka bisa jadi, kemenangan Chen besok pagi akan
memberikan permasalahan baru, karena bukan hanya pangeran keempat yang akan
mencicipi masakan Chen melainkan Kaisar Ming Tai Zhu, Permaisuri Ma Xiuying,
para pangeran lain dan beberapa menteri penjabat kerajaan. Jika, mereka semua
selain pangeran keempat yang turut merasakan masakan Chen mengatakan bahwa
makanan yang dimasak oleh adiknya itu tidak layak untuk menjadi pemenang, maka
kemenangan Chen akan dipertanyakan. Dan itu artinya, masalah besar bukan hanya
bagi Chen, melainkan juga dirinya, ayah angkatnya dan bahkan Pangeran Zhu Di
sendiri.
“Tapi, aku belum pernah memasak untuk keluarga raja. Aku
juga tidak memiliki pengetahuan tentang bahan-bahan yang biasa di gunakan di
istana. Pastilah, para juru masak istana menggunakan bahan-bahan dan bumbu yang
mahal untuk memasak bagi keluarga raja. Sedangkan aku hanya tahu tentang
masakan dengan bahan-bahan yang ada di sekitar kita serta bumbu seadanya yang
bisa kudapat. Bagaimana aku bisa memenangkan sayembara itu Kakak?” sahut Chen.
Ada getar dalam suaranya yang terasa menyentuh hati Changyi.
Chen terlihat sangat rapuh dengan penampilannya yang kecil
kurus dan bibir bergetar seperti itu. Namun saat ini bukan waktunya untuk
menuruti keinginan saudara kecilnya itu. Tidak disaat ada banyak nyawa yang
bergantung pada Chen. Changyi sungguh tidak mengerti bagaimana dalam sekejab
nasib Chen membawanya masuk ke dalam istana di saat ia sendiri tak mampu
membawa saudaranya itu dalam waktu yang singkat karena ayah angkatnya menolak
untuk mengambil Chen sebagai anak angkat sebagaimana dirinya. Sungguh tak ada
siapapun yang dapat menduga nasib manusia.
“Jika begitu, besok di saat sayembara, masak saja apa yang
kau bisa dan kau tahu. Lakukan yang terbaik yang kau bisa dan jangan takut.
Kakak bersamamu. Itu sudah cukup. Kau mengerti?” sahut Changyi. Tangan kanannya
terulur dan menyentuh bahu Chen yang terasa kering.
Chen mengangguk. “Baiklah Kakak. Aku percaya pada Kakak”.
“Kalau begitu ayo cepat. Kau masih ingat bagaimana berlari
kan?” Changyi kembali menarik tangan Chen. Selanjutnya, tubuh Changyi seolah
melayang di atas permukaan tanah, melesat di antara tanaman perdu mawar teh di
ikuti Chen yang juga melayang dengan sangat ringan di sisi Changyi. Tiada suara
yang mengikuti gerak keduanya, seolah, dua anak tersebut telah menjadi bayangan
yang menyatu dengan gelapnya malam.
*********
Tidak ada komentar:
Posting Komentar