Minggu, 05 April 2015

Straight - Episode 3 ( Bagian Tiga )

Istana Kaisar Ming Tai Zhu merupakan istana yang paling besar dan indah dengan penjagaan yang sangat ketat hingga mencapai empat lapis. Pada lapis paling dalam adalah dayang, pelayan dan kasim sementara di sisi Kaisar hongwu selalu bersiaga para penjaga raja yang tak pernah sedikitpun lengah. Namun, penjagaan yang seketat apapun selalu tak pernah menjadi masalah bagi sang pangeran keempat. Bahkan, para prajurit yang terlihat berwajah dingin tersebut tak ada yang berdaya menghadapi pangeran kecil yang selalu berhasil meluluhkan hati semua orang di depannya.
Namun, kali ini suasana sungguh berbeda.
Pangeran Zhu Di yang berlari dengan kencang dari Taman Maple menuju istana Kaisar Ming Tai Zhu seketika terhenti dan tertegun saat melihat prajurit yang jauh lebih banyak dari biasanya di depan istana. Sebagian ia mengenalnya namun sebagian ia tak mengenal dari kesatuan mana prajurit-prajurit tersebut. Kesibukan jelas terasa seolah di dalam istana Kaisar tengah berlangsung sebuah peristiwa penting yang berhubungan dengan nasib kerajaan dan seluruh rakyat. Perlahan, sang pangeran kecil yang masih sedikit terengah-engah tersebut melangkah menuju ke arah istana kaisar membuat beberapa prajurit yang melihatnya seketika berlutut saat mengenali siapa gerangan manusia bertubuh kecil yang tengah melangkah ke arah mereka tanpa pengawalan.
“Aku ingin bertemu dengan Yang Mulia” ujar Pangeran Zhu Di saat telah sampai di depan prajurit-prajurit yang berjaga di baris paling depan.
“Ampun Pangeran, Yang Mulia Kaisar Hongwu saat ini sedang sangat sibuk dan tidak bisa diganggu. Itu adalah perintah yang diberikan oleh Yang Mulia Kaisar pada kami agar menahan setiap tamu yang hendak datang bertemu” jawab sang prajurit sambil berlutut rendah.
“Bahkan denganku? Apakah kalian tidak tahu siapa aku?” tanya Pangeran Zhu Di sambil berkerut. Kedua tangannya berkacak pinggang dengan nada angkuh dan sombong.
Para prajurit terlihat bingung dan takut. Sejenak mereka saling berpandangan dan tidak tahu harus menjawab apa. Memang dalam perintah Kaisar Hongwu yang mereka terima, tidak ada pengecualian bagi siapapun. Namun, untuk mengatakannya pada sang pangeran kecil di depan mereka, para prajurit itupun merasa sangat segan dan takut karena mereka semua tahu bahwa Pangeran Zhu Di adalah pangeran yang sangat dikasihi oleh Kaisar Ming Tai Zhu meskipun sang pangeran keempat bukanlah putra mahkota.
“Kenapa kalian diam?” tanya Pangeran Zhu di masih dengan sepasang tangannya berkacak di pinggang. “Apakah aku juga tidak boleh bertemu dengan Kaisar?”.
Salah satu prajurit yang berlutut membungkuk semakin dalam dan memberanikan diri untuk bicara meski suaranya terdengar gemetar, “Eh…Pangeran, maafkan kami…sebenarnya…sebenarnya…Kaisar telah memerintahkan pada kami untuk….untuk….”
“Untuk apa?!” potong Pangeran Zhu Di tak sabar. “Cepat katakan!”.
Para prajurit yang berlutut di depan Pangeran Zhu Di semakin takut mendengar bentakan pangeran kecil itu. Mereka saling mendorong untuk mewakili yang lain menjawab pertanyaan dari pangeran kecil yang terkenal cerdas dan selalu membuat kasim yang merawatnya mendapat hukuman dari Kaisar Ming.
“Ppp…Pangeran…kkami..kkami hanya menjalankan perintah Yang Mulia Kaisar….kkkami mohon, Pangeran jjjangan..mmarah pada kkkami” sembah prajurit yang berlutut di posisi paling depan dengan wajah memelas.
“Iya aku tahu kalian menjalan tugas. Aku hanya bertanya apakah larangan untuk  bertemu dengan Yang Mulia Kaisar itu juga berlaku padaku?” tanya Pangeran Zhu Di dengan suara keras dan mulai marah. “Kalian ini kenapa menjawab pertanyaan semudah itu saja tidak bisa?”
Para prajurit menunduk dan tak berani bergerak. Lidah mereka terasa kelu hingga beberapa saat berlalu, para prajurit itu masih saja berlutut di depan pangeran Zhu Di membuat sang pangeran keempat akhirnya benar-benar marah. Kedua tangan sang pangeran terkepal di sisi tubuh sementara sepasang matanya menatap tajam ke arah para prajurit di depannya.
“Kenapa kalian diam….!” bentak Pangeran Zhu Di.
“Yang Mulia Pangeran Zhu Di?” sebuah suara lembut mendadak terdengar membuat sang pangeran keempat segera berpaling ke arah asal suara. Wajahnya yang semula memerah karena marah segera menjadi cerah saat ia melihat siapa orang yang tengah berjalan mendekat ke arahnya. Seketika, sang pangeran kecil itu membungkukkan tubuhnya dengan penuh hormat sementara sepasang matanya berubah lembut penuh kasih dan cinta.
Para prajurit yang tengah berlutut di depan Pangeran Zhu Di-pun terlihat segera mengubah arah tubuh mereka menghadap pada orang yang baru saja datang dan memanggil nama Pangeran Zhu Di.
“Hormat kami pada Yang Mulia Ratu Ma” seru salah satu parjurit sambil bersujud di depan orang yang kini berdiri di depan mereka, tepat berhadapan dengan Pangeran Zhu Di yang juga tengah membungkuk memberi hormat.
Seorang wanita yang sangat anggun, berdiri dalam sosoknya yang cantik penuh kharisma dan lembut. Rambutnya di sanggul tinggi dengan hiasan tusuk konde panjang berbandul bunga teratai dan sebuah mahkota yang sangat indah dengan hiasan mutiara.
Dialah Ratu Ma Xiuying, sang permaisuri dari Kaisar Ming Tai Zhu. Wanita yang sangat berpengaruh bagi sang kaisar meski kini, setelah kaisar naik tahta, ia memiliki beberapa wanita lain yang menjadi ratu dan selir-selir.
Dan sang ratu yang cantik dan penuh kharisma itu tersenyum penuh kasih saat sepasang matanya yang jernih menatap sang pangeran kecil di depannya. Beberapa dayang yang mengikuti ratu berdiri sambil menundukkan kepala mereka.
“Pangeran…kenapa Anda berada di istana Kaisar sendiri? Di manakah Kasim Anta? Dan juga prajurit yang mengawal Anda?” tanya sang ratu dengan suara lembut saat bertanya pada pangeran kecilnya.
Pangeran Zhu Di mengangkat tubuhnya dan menatap Ratu Ma dengan wajah berbinar. Tak tersisa sedikitpun kemarahan yang sesaat lalu terlihat di wajah sang pangeran pada para prajuritnya. Yang terlihat kemudian hanyalah rasa gembira yang polos seorang anak yang bertemu dengan ibu kandungnya.
“Kasim Anta sedang menunggu kamar hamba Ibu Ratu” jawab Pangeran Zhu Di sambil tersenyum. Senyum simpul separo yang khas dan sangat menggemaskan. “Sedangkan para prajurit sedang menunggu dan menemani Kasim Anta”.
Ratu Ma tertawa mendengar jawaban polos dari putranya. Ia sudah sangat hafal dengan kebiasaan Pangeran Zhu Di yang gemar melarikan diri dari kasim pengasuhnya sehingga, mendengar jawaban sang pangeran kecil, Ratu Ma sama sekali tak merasa heran dan hanya mengangguk.
“Begitukah? Kemudian, kenapa Anda berada di istana Yang Mulia Kaisar, Pangeran? Apakah Anda hendak bertemu dengan Yang Mulia?” tanya Ratu Ma kembali.
Pangeran Zhu Di mengangguk.
“Benar Ibu Ratu…ada hal yang ingin hamba sampaikan pada Yang Mulia Kaisar. Tapi, para prajurit ini mengataan bahwa Yang Mulia sedang tidak bisa bertemu dengan siapapun” jawabnya dengan jujur.
Para prajurit terlihat semakin takut karena mengira Sang Ratu akan marah pula pada mereka.
Namun ternyata tidak. Ratu Ma justru tersenyum dan mengangguk.
“Itu benar Pangeran. Saat ini Yang Mulia sedang menerima salah satu utusan dari Panglima Besar. Ada hal penting yang sedang dibicarakan dan karena itu, Yang Mulia tidak bersedia bertemu dengan siapapun” jawab Ratu Ma dengan nada lembut.
Sepasang mata bulat jernih Pangeran Zhu Di membesar saat mendengar kalimat sang ratu.
“Utusan dari Panglima Besar? Apakah itu berarti Paman Xu Da sudah pulang Ibu Ratu?” tanya Panegran Zhu Di kemudian.
Ratu tersenyum namun kepalanya menggeleng.
“Belum Pangeran. Saat ini, Panglima Besar sedang dalam perjalanan pulang. Utusan yang datang dan sekarang bertemu dengan Yang Mulia Kaisar adalah utusan pendahulu dari Panglima Besar. Mungkin, Panglima Besar baru akan sampai sekitar tujuh atau delapan hari lagi” jawab Ratu Ma kemudian.
Pangeran Zhu Di terdiam sejenak seperti mencerna sesuatu sebelum kemudian tersenyum.
“Kenapa Pangeran tersenyum?” tanya Ratu Ma.
“Tidak Ibu Ratu…hamba hanya merasa senang saja, karena Paman Xu Da akan segera datang. Hamba ingin mendengar cerita Paman Xu Da tentang perjalanan menuju ke Karakorum” ujar Pangeran Zhu Di sambil menggeleng. Sepasang matanya meneliti wajah cantik dan lembut Ratu Ma. “Apakah Ibu Ratu juga ingin bertemu dengan Yang Mulia Kaisar?”.
“Tidak Pangeran” Ratu Ma menggeleng. “Ibu Anda datang kemari karena ada satu dayang yang melihat Pangeran berlari memasuki istana Yang Mulia Kaisar namun tanpa Kasim Anta dan para prajurit pengawal. Karena itu, Ibu Anda merasa khawatir bahwa mungkin saja, telah terjadi sesuatu dengan Pangeran sehingga berlari begitu cepat tanpa pengawalan”.
Pangeran Zhu Di mendesah.
“Ah..Ibu ratu…maafkanlah hamba karena telah membuat Ibu ratu merasa cemas” ujar sang pangeran dengan nada penuh penyesalan.
“Tidak apa-apa Pangeran” sahut Ratu Ma. Bibirnya yang merah segar dan tipis mengurai sebuah senyum yang mempesona. “Dan sebenarnya, Ibu Anda ini datang untuk menunjukkan sesuatu pada Anda”.
Sepasang mata Pangeran Zhu Di membesar. Ditatapnya wajah sang ibu dengan penuh minat.
“Sesuatu? Sesuatu seperti apa Ibu Ratu?” tanya Pangeran Zhu Di.
“Ikutlah dengan Ibu. Sesuatu itu ada di tempat Ibu” jawab Ratu Ma. Satu tangannya terulur dan menyentuh pipi Pangeran Zhu Di, membelainya dengan lembut. Kemudian, pandangan matanya beralih pada para prajurit yang masih berlutut di depannya, tepat di belakang punggung Pangeran Zhu Di.
“Kalian kembalilah berjaga dan tidak perlu menyampaikan hal ini pada Yang Mulia Kaisar….kalian mengerti?” perintah Ratu Ma.
“Ya!...Kami mengerti Yang Mulia” jawab para prajurit serentak sambil mengangguk.
Pangeran Zhu Di menengok ke belakang dan menatap para prajurit. Tak ada kata yang terlontar dari mulutnya yang mencebik jengkel sebelum kemudian, tubuhnya kembali berbalik ke arah Ratu Ma.
“Mari Pangeran…ikutlah dengan Ibu” ujar Ratu Ma sambil mengulurkan tangannya untuk menggandeng tangan Pangeran Zhu Di.
Sang pangeran kecil menurut dan segera melangkah di sisi Ratu Ma. Mulutnya mengurai senyum gembira yang nyata. Ia selalu senang dengan rasa tangan ibunya yang begitu lembut dan hangat.
“Kenapa Anda marah pada prajurit tadi Pangeran?” tanya Ratu Ma sambil melangkah pelan.
Pangeran Zhu Di mendongak untuk menatap ibunya sekilas sebelum kemudian pandangannya kembali tertuju ke depan.
“Karena mereka tidak menjawab pertanyaan hamba Ibu Ratu” jawab Pangeran Zhu Di sambil bersungut-sungut. “Hamba hanya bertanya apakah Yang Mulia juga tidak ingin bertemu dengan hamba? Seharusnya mereka menjawab ‘iya’…jadi dengan begitu, hamba akan menunggu atau kembali lagi setelah beberapa waktu. Tapi, mereka malah gemetar semua. Hamba kan bukan pemangsa yang akan memakan mereka Ibu Ratu. Kenapa mereka harus setakut itu?”.
Ratu Ma tidak menjawab. Suara tawanya yang merdu terdengar indah mengalir sementara langkah kakinya gemulai menapaki jalan setapak taman menuju istana ratu tempatnya tinggal. Tangannya yang menggandeng Pangeran Zhu Di pelan meremas jemari mungil dalam genggamannya dengan penuh sayang.
Udara senja menghembus sepoi-sepoi. Bunga-bunga taman bergoyang penuh gemulai seolah sebuah rasa bahagia akan segera hadir. Para dayang dan prajurit yang mengikuti Ratu Ma berjalan beriringan di belakang junjungan mereka sambil sesekali turut tersenyum saat mendengar celoteh sang pangeran keempat yang lucu dan polos.
**************

Changyi duduk merapat pada dinding. Hal yang selalu dilakukannya setiap kali ia merasa tubuhnya seperti melemah oleh hal-hal yang datang tak terduga. Seolah dinding yang menempel pada punggungnya itu dapat menjadi sebuah kekuatan untuknya.
Ini adalah sebuah ruang yang sangat sempit. Seperti sebuah penjara yang tertutup. Hanya ada sebuah jendela berbentuk celah kecil pada dinding bagian atas yang tak memungkinkannya untuk mengintip ke luar serta sebuah pintu utuh yang tertutup rapat. Changyi sama sekali tak pernah membayangkan bahwa ia akan merasakan dinginnya dinding penjara. Sebuah tempat yang seumur hidupnya hingga hari ini hanya di dengarnya melalui cerita-cerita tentang orang-orang yang dihukum dan terhukum. Tempat di mana, jika seseorang telah masuk ke dalamnya, maka itu berarti seluruh hidupnya telah habis karena ia akan segera dikenal sebagai tersangka, orang jahat, orang yang bersalah dan pembawa aib.
Ini sudah hari ketiga ia di kurung di ruangan yang sempit ini. Dan Changyi sama sekali tak mengetahui sampai kapan ia akan berada di tempat yang remang-remang ini. Dua hari yang lalu, salah satu guru pengajar datang menengoknya dan mengatakan bahwa apapun yang terjadi, keputusan hukuman apapun yang akan dijatuhkan padanya, ia harus tetap belajar tak peduli dimanapun ia berada nantinya. Dan mendengar kalimat seperti itu membuat dadanya terasa berdesir seolah ia telah dapat membayangkan apa yang akan terjadi dengannya nanti.
Changyi menarik nafas panjang, mencoba mengurai rasa sesak di hati yang menumpuk dan membuat dadanya seperti dihimpit oleh bebatuan besar. Apa sebenarnya yang telah dilakukannya? Ia masih ingat benar, apa yang menjadi niat dan semangat hatinya saat meninggalkan Kuil Bulan Merah tiga bulan lalu. Ia hanya ingin menjadi seorang prajurit agar ia dan Chen memiliki kehidupan yang layak dan lebih baik dan tidak perlu lagi menumpang hidup pada siapapun. Ia ingin menjadi prajurit agar ia bisa melindungi Chen seperti yang telah di janjikannya. Ia pun ingin membalas kebaikan yang telah diberikan oleh Jenderal Xu Da padanya dan Chen.
Tetapi, dengan keberadaannya sekarang, tampaknya, seluruh harapannya hanya akan menjadi sia-sia belaka. Bisakah orang yang dipenjara menjadi seorang prajurit? Bisakah orang yang dipenjara melindungi orang lain? Bisakah ia membalas kebaikan Jenderal Xu Da? Bahkan tubuhnya terkurung di dalam sebuah ruang yang sempit, lalu bagaimana ia bisa mewujudkan semua impiannya?.
Changyi menghela nafas dalam. Rasa sesak di dalam dadanya semakin menyesak saat perlahan, wajah Chen membayang di pelupuk mata. Polos, terlihat rapuh, namun selalu bisa membuatnya tetap bersemangat dan tegar dalam menghadapi apapun kesulitan yang menghadang mereka. Ia tak sempat memiliki adik karena orangtuanya telah direnggut oleh wabah. Tapi, sahabat orangtuanya memberikan Chen sebagai adik yang sangat dekat bahkan melebihi kuatnya ikatan darah dalam persaudaraan yang seringkali justru diwarnai dengan perselisihan dan permusuhan.
Changyi memejamkan mata saat bayangan tubuh Chen yang berlari menyusul di belakangnya, pada hari ia dibawa pergi oleh Jenderal Xu Da, bayangan airmata di pipi Chen, dan tatapan mata penuh harap bahwa ia akan segera kembali dan mereka dapat bersama lagi. Bayangan tangan-tangan kecil Chen yang bergerak dengan gesit dan cekatan saat memasak di dapur. Bayangan anak itu berlari ke sisinya dengan penuh semangat saat orangtua Chen meninggal dan ayahnya membawanya pulang untuk tinggal bersama dengan mereka. Tubuh Chen yang kecil dan kurus, dengan kulit putih pucat yang seringkali membuat Changyi berpikir apakah Chen sesungguhnya mengidap suatu penyakit atau karena anak itu selalu hanya memakan akar-akaran. Dan sesungguhnya, hal itu membuatnya diam-diam merasa cemas. Bahkan saat mereka mencuri beras-pun, sesungguhnya, ia-lah yang memakan beras tersebut karena Chen hanya akan memasaknya lalu dia akan pergi ke rimbunan tanaman dan kembali dengan akar-akar yang dibawanya dan dimakannya.
“Mungkin Chen tidak datang dari perut ibu, tapi dia adalah saudaramu dan akan selalu menjadi keluargamu. Karena itu lindungilah dia sekuat tenagamu. Kau kuat dan Chen sangat lembut. Kalian adalah anak-anak ibu yang sangat serasi” suara bisikan halus ibu di saat terakhir kehidupannya kembali terngiang di telinga Changyi, pada suatu malam yang sangat dingin bertahun-tahun yang lalu. Ibu yang kemudian segera meninggalkan ia hanya berdua dengan Chen untuk menjalani kehidupan yang sungguh tak terbayangkan akan bagaimana akhirnya di benaknya. Ibu yang sangat dikaguminya, yang mengajarkannya untuk selalu tegar dan gembira meski sesungguhnya ia menyimpan kepedihan yang sangat berat di dalam hati. Karena senyumnya adalah sepotong matahari yang akan membias bukan hanya pada diri sendiri melainkan juga pada semua orang disekitarnya, lalu menghapuskan kesedihan dan mendatangkan kebahagiaan.
Perlahan Changyi merasakan aliran hangat menuruni dua kelopak matanya. Ia ingat semuanya. Ia berusaha untuk melakukan apapun yang menjadi pesan ibunya. Namun, kehidupan yang seolah tak adil seperti menempatkannya pada posisi di mana keinginannya untuk bisa mewujudkan harapan dan cita-cita hanyalah sebuah kabut di pagi hari yang akan segera menguap dan kemudian hilang tanpa bekas ketika sinar matahari telah naik dan mengeringkan seluruh kejernihan embun di permukaan daun-daun.
Ujian final untuk menentukan apakah siswa-siswa calon prajurit khusus masih terus dapat belajar dan menjadi prajurit khusus pengawal Kaisar tinggal satu hari lagi. Dan itu berarti besok.
Changyi sungguh tak berani lagi berharap bahwa ia akan dapat mengikuti ujian final di depan kaisar besok pagi. Tidak mungkin baginya yang kini telah terbelenggu di balik ruang yang pengap ini.
Mengapa hanya dirinya yang mendapat hukuman dari Jenderal Lan Yu? Meskipun ia tahu bahwa Fengyin, Dingziang, Aiguo, Congmin dan Baozhai adalah anak-anak angkat Jenderal Lan Yu, namun bukankah semua orang tahu siapa yang memulai permasalahan di Taman Maple sore tiga hari yang lalu? Apakah semua orang sungguh-sungguh telah berpihak pada Fengyin dan saudara-saudaranya dan tak ada satupun yang mau membelanya di depan jenderal besar yang sangat berkuasa di tubuh Kementerian Pertahanan itu?.
Changyi bahkan tidak tahu lagi, di manakah buku strategi perang miliknya sekarang. Buku itu sangat berharga baginya. Biksu Tua di Kuil Bulan Merah yang memberikannya sejak ia mulai berlatih beladiri di kuil tersebut dan Changyi sangat menyukainya. Lebih suka lagi saat ia melihat nama Xu Da di halaman terakhir buku tersebut  dan Biksu Tua mengatakan bahwa buku itu pernah dipelajari pula oleh Jenderal Xu Da.
“Hai!” sebuah suara panggilan yang galak terdengar membuat Changyi terkejut dan seketika mengangkat wajahnya, menatap ke arah celah pintu. Terlihat sepasang mata seorang prajurit. “Utusan dari Jenderal Lan Yu datang membawa keputusan hukuman untukmu. Berikan hormatmu dan laksanakan dengan baik apa yang menjadi hukuman bagimu”.
Changyi segera bangkit dari posisi duduknya dan berdiri tegak sementara suara gerendel pintu dibuka terdengar keras. Sesaat kemudian, berjalan masuk beberapa lelaki bertubuh besar dalam pakaian yang rapi berwarna merah. Itu adalah pakaian dari orang-orang yang berada di bawah naungan Kementerian Pertahanan. Changyi tidak tahu apakah jabatan dua lelaki yang masuk ke dalam ruang tahanan yang sempit tersebut, namun dari sikap para prajurit yang terlihat segera membungkuk hormat, tampaknya, dua lelaki bertubuh besar itu adalah orang-orang yang memiliki tempat terhormat di tubuh Kementerian Pertahanan.
Karena itu, ketika dua orang yang berjalan masuk itu benar-benar telah berdiri di depannya dalam jarak hanya tiga langkah darinya, Changyi segera menjatuhkan dirinya dan berlutut.
“Tahanan bernama Changyi, tanpa nama marga, dengarkan perintah dari Kaisar Ming Tai Zhu sebagai hukuman atas kelalaianmu membuat kerusakan di wilayah istana serta mempelajari buku yang bukan diperuntukkan bagimu kemudian laksanakan perintah Kaisar dengan seluruh jiwa pengabdianmu” ucap salah satu lelaki yang berdiri di depan Changyi. Sementara satu lelaki yang lain berdiri sambil membawa satu gulungan kertas yang pasti merupakan surat perintah dari Kaisar Hongwu.
Changyi membungkukkan tubuhnya dalam-dalam.
“Hamba akan mendengarkan dan melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Yang Mulia Kaisar Ming Tai Zhu dengan segenap hati hamba” jawab Changyi.
Lelaki yang berdiri di depan Changyi dan baru saja berbicara mengangguk lalu memberi isyarat pada lelaki lain di sisinya. Lelaki yang menerima isyarat segera membuka gulungan kertas di tangannya dan membentangkannya di atas kepala Changyi yang tertunduk dalam posisi berlututnya.
“Atas nama Kaisar Ming Tai Zhu pemilik seluruh Dinasti Ming Raya, diperintahkan pada tahanan bernama Changyi, tanpa nama marga, agar segera meninggalkan sekolah calon prajurit khusus sebagai hukuman atas kesalahan yang dilakukan yaitu merusak wilayah istana hingga memberikan kerugian pada Kaisar. Selanjutnya, kepada tahanan bernama Changyi, dilarang untuk mengikuti ujian akhir yang akan diadakan di istana karena keadaannya sebagaipelayan yang tidak memiliki hak untuk mengikuti ujian sebagai prajurit khusus raja. Selain itu, kepada tahanan bernama Changyi di larang untuk mengikuti ujian-ujian yang diadakan di sekolah keprajuritan manapun, serta kepada Changyi, diperintahkan untuk keluar dari ibukota Yingtian dan bekerja sebagai rakyat biasa. Apabila, dikemudian hari, diketahui bahwa tahanan bernama Changyi berani membangkang perintah dari Kaisar dan menjadikan dirinya sebagai prajurit, maka ia akan dihukum mati beserta semua guru pengajar di sekolah prajurit yang menerimanya. Perintah dari Kaisar Ming Tai Zhu berlaku sejak hari dibacakannya surat ini hingga akhir masa kehidupan tahanan bernama Changyi!” seru lelaki kedua yang membaca surat perintah berisi hukuman untuk Changyi.
Changyi yang tertunduk dalam posisi berlutut merasakan seolah lantai yang dipijaknya melebur dan menjadi bubur kemudian seolah dirinya tersedot masuk ke dalam bumi, jauh ke dalam bumi hingga kedalaman yang tak terukur tanpa sedikitpun kekuatan untuk melawan atau membela diri hingga yang ada dalam dirinya kemudian hanyalah rasa tak berdaya yang sangat perih. Changyi berusaha sekuat tenaga untuk menjaga agar kedua matanya yang terasa panas tidak akan meruntuhkan ketegarannya. Di tariknya nafas dalam-dalam sementara kedua telapak tangannya yang menapak pada lantai bergerak mencengkeram permukaan lantai yang dilapisi batu keras tersebut seolah hendak mencari tempat untuk  berpegang.
“Apa kau sudah mengerti?” tanya lelaki pertama dengan nada yang lebih lunak seolah ia menyadari keguncangan yang sedang dirasakan oleh remaja berparas rupawan di depannya.
 “Ya…hamba mengerti Tuan” jawab Changyi. Ia berusaha untuk menjaga suaranya agar tetap tegas dan utuh. Namun Changyi merasa sungguh heran, kenapa suaranya sendiri terdengar begitu jauh?.
“Baiklah…jika kau sudah mengerti maka segera bersiaplah. Prajurit akan mengeluarkanmu dari sini dan mengantarmu hingga keluar dari gerbang istana. Dan selanjutnya, kau harus sungguh-sungguh melaksanakan apa yang telah diperintahkan oleh Kaisar. Jika masih ada laporan bahwa kau terlihat di ibukota kerajaan, maka kaisar akan segera menangkapmu dan menjatuhkan hukuman mati padamu. Menentang perintah Kaisar berarti kau melakukan pemberontakan dan hukuman untuk pemberontak hanyalah hukuman mati. Ingat itu baik-baik” sambung lelaki kedua yang sesaat lalu membacakan surat perintah berisi keputusan hukuman dari Kaisar untuk Changyi.
“Ya Tuan…saya mengerti” jawab Changyi kembali. Suaranya masih terdengar sangat jauh di telinganya sendiri meskipun Changyi sangat yakin bahwa ia telah mengerahkan seluruh tenaganya untuk menjaga keutuhan suaranya. Ia hanya tak ingin terlihat lemah di depan dua lelaki dari Kementerian Pertahanan itu.
“Bagus” jawab lelaki kedua setelah mendengar jawaban Changyi. Kemudian kepalanya berpaling pada lelaki di sebelahnya. “Tugas kita sudah selesai. Ayo kita pergi”.
Lelaki pertama mengangguk dan segera membalikkan tubuhnya kemudian berjalan menuju pintu di ikuti oleh lelaki kedua. Keduanya berhenti sebentar di depan satu orang prajurit yang berdiri di sisi pintu.
“Keluarkan anak itu dan antar dia sampai keluar dari pintu gerbang istana. Pastikan dia benar-benar keluar dari istana” ujar lelaki pertama pada sang prajurit.
“Baik Tuan” jawab sang prajurit sambil membungkukkan tubuhnya dalam-dalam.
Sementara Changyi merasakan seolah tubuhnya benar-benar telah hilang bentuk. Melebur dalam kehancuran rasa tak terperikan yang kini menguasai seluruh sudut di ruang dadanya, menciptakan rasa kebas aneh yang membuat Changyi merasa seolah dirinya hayalah sehelai benang yang sama sekali tak memiliki arti.
**************

 Pangeran Zhu Di berdiri di depan pintu ruang kamarnya dan menatap punggung Kasim Anta yang berlari semakin jauh meninggalkan istana pangeran. Satu tangannya masih memegang sepatunya sendiri yang ia lepas dan nyaris melayang ke kepala kasimnya tersebut karena sang kasim yang terus bertanya dan merasa cemas saat ia menyuruhnya untuk mengantar sehelai surat yang telah selesai di tulisnya.
Pangeran kecil itu kemudian berjalan masuk kembali ke ruang kamar setelah meletakkan sepatunya ke lantai dan memakainya lagi. Kepalanya sedikit berkerut seolah ia memikirkan sesuatu. Sama sekali tak dihiraukannya barisan dayang dan pelayang yang membungkukkan tubuh mereka dalam-dalam saat ia berjalan menuju ruangannya.
Ia telah gagal untuk bertemu dengan Yang Mulia Kaisar pada hari pertama setelah ia melihat Changyi di tangkap tiga hari yang lalu. Selain karena sang Kaisar sedang sibuk dengan utusan pendahulu dari Panglima Besar yang sedang dalam perjalanan pulang, pada hari itu ia bertemu dengan Ratu Ma yang kemudian mengajaknya ke istana sang ratu dan ia tinggal di sana bahkan sampai esok harinya. Kemudian pada hari kedua, ia bermaksud untuk kembali bertemu dengan sang kaisar, namun ia kembali gagal karena kesibukan kaisar menerima laporan dari enam kementerian yang datang pada hari itu. Dan ia melihat kehadiran Jenderal Lan Yu di antara beberapa orang dari Kementerian Pertahanan kemarin. Dan setelah pertemuan selesai, Jenderal Lan Yu masih menghadap Kaisar di ruangan sang kaisar. Hingga hari menjelang sore, barulah Jenderal Lan Yu terlihat meninggalkan istana kaisar. Hingga, baru hari ini ia berhasil bertemu dengan Kaisar Ming Tai Zhu saat sang kaisar tengah mengahbiskan waktu luangnya di perpustakaan dan membaca sebuah buku baru yang diberikan oleh seorang sarjana serta menyampaikan hal yang telah dilihatnya di Taman Maple.  
Namun, jawaban yang diterimanya tidaklah seperti yang diharapkannya. Sang Kaisar hanya menatapnya sesaat sebelum kembali pada buku baru di depannya.
“Ayahanda Yang Mulia, tidak bisakah Ayahanda mengijinkan Changyi mengikuti ujian besok? Hamba melihatnya sendiri, dia memiliki kemampuan yang sangat hebat dan juga sangat pandai. Hamba yakin, Ayahanda Yang Mulia pasti tidak akan kecewa memiliki seorang prajurit seperti Changyi” ujar Pangeran Zhu Di dengan nada membujuk.
Kaisar Ming Tai Zhu tersenyum mendengar suara sang pangeran kecil menirukannya saat ia sedang membujuk putra keempatnya itu.
“Aku mengerti apa yang kau maksud. Dan aku tahu, bahwa dalam perkelahian di Taman Maple itu, anak-anak Jenderal Lan Yu yang bersalah” sahut Kaisar Ming Tai Zhu sambil membalik halaman buku yang dibacanya.
“Lalu, kenapa Ayahanda Yang Mulia tidak bisa menolongnya?” tanya Pangeran Zhu Di sambil sedikit beringsut mendekati ayahnya. Sepasang matanya yang jernih berkilau penuh pengharapan. “Tolonglah Changyi Ayahanda”.
Kali ini sang kaisar mengangkat wajahnya dari halam buku yang baru saja dibukanya dan menatap putranya.
“Dan kenapa kau ingin ayahmu ini menolong Changyi? Bisakah kau mengatakan alasanmu dengan jujur Zhu Di?” tanya Kaisar Ming Tai Zhu.
Pangeran Zhu Di menunduk. Jika ia berkata jujur, maka segala alasan tentang kebaikan dan kehebatan Changyi akan menjadi mentah di depan Kaisar dan akan terlihat tidak berarti lagi. Tapi, jika ia tidak berkata jujur, apa bisa? Selama ini, ayahnya itu selalu berhasil mengetahui hal sebenarnya yang sedang ia rasakan.
“Karena hamba menyukainya Ayahanda….” Jawab Pangeran Zhu Di setengah berbisik dengan kepala tertunduk.
Kaisar Ming Tai Zhu tertawa pelan seolah telah menduga jawaban yang akan didengarnya dari mulut mungil pangeran kecilnya.
“Karena itu tolonglah dia Ayahanda…” lanjut Pangeran Zhu Di sambil mengangkat wajahnya dan kembali menatap wajah ayahnya. “Hamba berharap Changyi akan menjadi pengawal khusus bagi hamba”.
Kaisar Ming Tai Zhu menghela nafas.
“Bagaimana kau masih mengharapkan satu lagi pengawal untukmu Zhu Di? Prajurit sebanyak itu semua kau akali dan mereka tidak berdaya menghadapimu. Termasuk Kasim Anta yang telah mengasuhmu sejak kau baru saja lahir. Jika aku menambah satu lagi pengawal untukmu, kau pasti akan mengakalinya lagi dan melakukan apapun yang kau sukai tak peduli jika itu membuat seluruh pengawal dan kasim di dekatmu mendapatkan hukumanku karena mereka selalu kehilangan jejakmu” ucap Kaisar Ming Tai Zhu dengan nada menegur membuat kepala Pangeran Zhu Di seketika tertunduk kembali.
“Maafkan hamba Ayahanda Yang Mulia” sahut Pangeran Zhu Di lirih. Kedua tangannya yang putih bersih dan mungil meremas-remas pakaiannya di bagian paha.
“Mestinya kau menjaga sikapmu Zhu Di. Jika aku menolong Changyi, maka aku harus mengatakan bahwa kau menjadi saksi dari perkelahian di Taman Maple. Lalu, semua orang akan tahu bahwa kau telah diam-diam melarikan diri dari Kasim Anta dan para pengawalmu untuk bertemu dengan seorang siswa calon prajurit khusus di taman yang sunyi, terlupa bahwa kau adalah seorang pangeran yang harus menjaga sikap, ucapan dan seluruh tingkah lakumu agar dapat menjadi contoh bagi rakyat di luar sana. Kau ingin ayahmu menolong orang yang kau sukai tapi di sisi lain kau mempermalukan ayahmu. Apakah kau telah sungguh-sungguh memikirkan hal itu?” tanya Kaisar Ming Tai Zhu.
Pangeran Zhu Di terdiam. Ia menyadari kebenaran dalam kata-kata ayahnya. Jika Kaisar Ming Tai Zhu menolong Changyi, maka sama artinya Kaisar telah membuka rahasia tentang pertemuannya dengan Changyi di Taman Maple. Lalu, hal itu justru akan menjadi boomerang baginya dan bagi Kaisar sendiri.
“Lagipula…sudah terlambat bagiku untuk menolong Changyi” ujar Kaisar Ming Tai Zhu sambil menarik nafas dan kembali pada halaman buku yang dibacanya.
Pangeran Zhu Di mengangkat wajahnya dengan ekspresi terkejut.
“Kenapa begitu Ayahanda?” tanya Pangeran Zhu Di.
“Karena aku telah memberikan surat perintah hukuman pada Changyi. Saat ini, mungkin Changyi telah meninggalkan istana dan pergi dari Ibukota Yingtian” jawab Kaisar Ming Tai Zhu membuat Pangeran Zhu Di terperanjat.
Sejenak, pangeran kecil itu seperti bingung, namun kemudian tubuhnya membungkuk dalam di hadapan ayahnya.
“Ayahanda, hamba mohon diri lebih dulu” ujar Pangeran Zhu Di.
Kaisar Ming Tai Zhu mengerut.
“Mau kemana kau Zhu Di?” tanya sang kaisar. “Jangan melarikan diri lagi. Atau mencoba untuk mencari Changyi di luar sana. Lupakan dia, dan carilah teman lain”.
Pangeran Zhu Di menggeleng dengan gerakan pasti.
“Tidak Ayahanda” jawabnya dengan senyum indah separuhnya. “Hamba tidak akan melarikan diri. Hamba ingin menyelesaikan buku yang hamba baca”.
Kaisar Ming Tai Zhu manggut-manggut mendengar jawaban putranya.
“Baiklah…pergilah” ujar Kaisar Ming Tai Zhu.
Senyum Pangeran Zhu Di melebar. Tubuhnya kembali membungkuk dalam.
“Terima kasih Ayahanda” sahutnya penuh semangat sebelum kemudian tubuhnya melesat pergi meninggalkan sang kaisar yang masih menatap bayangan tubuh pangeran kecilnya hingga menghilang di balik pintu.
Sedikitpun, Kaisar Ming Tai Zhu tak percaya bahwa sang pangeran keempat akan melakukan sesuai apa yang dikatakannya, membaca buku di kamarnya. Itu bukan gambaran watak dari pangeran yang sangat cerdas tersebut. Perlahan sebuah senyum terurai di bibir Kaisar Ming Tai Zhu. Ia hanya tinggal menunggu apa yang akan dilakukan oleh sang pangeran yang sesungguhnya sangat dikasihinya dan membuatnya bangga tersebut untuk mempertahankan teman barunya.
************

Tidak ada komentar:

Posting Komentar