Istana Kaisar Ming Tai Zhu merupakan istana yang
paling besar dan indah dengan penjagaan yang sangat ketat hingga mencapai empat
lapis. Pada lapis paling dalam adalah dayang, pelayan dan kasim sementara di
sisi Kaisar hongwu selalu bersiaga para penjaga raja yang tak pernah sedikitpun
lengah. Namun, penjagaan yang seketat apapun selalu tak pernah menjadi masalah
bagi sang pangeran keempat. Bahkan, para prajurit yang terlihat berwajah dingin
tersebut tak ada yang berdaya menghadapi pangeran kecil yang selalu berhasil
meluluhkan hati semua orang di depannya.
Namun, kali ini suasana sungguh berbeda.
Pangeran Zhu Di yang berlari dengan kencang dari
Taman Maple menuju istana Kaisar Ming Tai Zhu seketika terhenti dan tertegun
saat melihat prajurit yang jauh lebih banyak dari biasanya di depan istana.
Sebagian ia mengenalnya namun sebagian ia tak mengenal dari kesatuan mana
prajurit-prajurit tersebut. Kesibukan jelas terasa seolah di dalam istana
Kaisar tengah berlangsung sebuah peristiwa penting yang berhubungan dengan
nasib kerajaan dan seluruh rakyat. Perlahan, sang pangeran kecil yang masih
sedikit terengah-engah tersebut melangkah menuju ke arah istana kaisar membuat
beberapa prajurit yang melihatnya seketika berlutut saat mengenali siapa
gerangan manusia bertubuh kecil yang tengah melangkah ke arah mereka tanpa
pengawalan.
“Aku ingin bertemu dengan Yang Mulia” ujar
Pangeran Zhu Di saat telah sampai di depan prajurit-prajurit yang berjaga di baris
paling depan.
“Ampun Pangeran, Yang Mulia Kaisar Hongwu saat ini
sedang sangat sibuk dan tidak bisa diganggu. Itu adalah perintah yang diberikan
oleh Yang Mulia Kaisar pada kami agar menahan setiap tamu yang hendak datang
bertemu” jawab sang prajurit sambil berlutut rendah.
“Bahkan denganku? Apakah kalian tidak tahu siapa
aku?” tanya Pangeran Zhu Di sambil berkerut. Kedua tangannya berkacak pinggang
dengan nada angkuh dan sombong.
Para prajurit terlihat bingung dan takut. Sejenak
mereka saling berpandangan dan tidak tahu harus menjawab apa. Memang dalam
perintah Kaisar Hongwu yang mereka terima, tidak ada pengecualian bagi
siapapun. Namun, untuk mengatakannya pada sang pangeran kecil di depan mereka,
para prajurit itupun merasa sangat segan dan takut karena mereka semua tahu
bahwa Pangeran Zhu Di adalah pangeran yang sangat dikasihi oleh Kaisar Ming Tai
Zhu meskipun sang pangeran keempat bukanlah putra mahkota.
“Kenapa kalian diam?” tanya Pangeran Zhu di masih
dengan sepasang tangannya berkacak di pinggang. “Apakah aku juga tidak boleh
bertemu dengan Kaisar?”.
Salah satu prajurit yang berlutut membungkuk
semakin dalam dan memberanikan diri untuk bicara meski suaranya terdengar
gemetar, “Eh…Pangeran, maafkan kami…sebenarnya…sebenarnya…Kaisar telah memerintahkan
pada kami untuk….untuk….”
“Untuk apa?!” potong Pangeran Zhu Di tak sabar.
“Cepat katakan!”.
Para prajurit yang berlutut di depan Pangeran Zhu
Di semakin takut mendengar bentakan pangeran kecil itu. Mereka saling mendorong
untuk mewakili yang lain menjawab pertanyaan dari pangeran kecil yang terkenal
cerdas dan selalu membuat kasim yang merawatnya mendapat hukuman dari Kaisar
Ming.
“Ppp…Pangeran…kkami..kkami hanya menjalankan
perintah Yang Mulia Kaisar….kkkami mohon, Pangeran jjjangan..mmarah pada kkkami”
sembah prajurit yang berlutut di posisi paling depan dengan wajah memelas.
“Iya aku tahu kalian menjalan tugas. Aku hanya
bertanya apakah larangan untuk bertemu
dengan Yang Mulia Kaisar itu juga berlaku padaku?” tanya Pangeran Zhu Di dengan
suara keras dan mulai marah. “Kalian ini kenapa menjawab pertanyaan semudah itu
saja tidak bisa?”
Para prajurit menunduk dan tak berani bergerak.
Lidah mereka terasa kelu hingga beberapa saat berlalu, para prajurit itu masih
saja berlutut di depan pangeran Zhu Di membuat sang pangeran keempat akhirnya
benar-benar marah. Kedua tangan sang pangeran terkepal di sisi tubuh sementara
sepasang matanya menatap tajam ke arah para prajurit di depannya.
“Kenapa kalian diam….!” bentak Pangeran Zhu Di.
“Yang Mulia Pangeran Zhu Di?” sebuah suara lembut
mendadak terdengar membuat sang pangeran keempat segera berpaling ke arah asal
suara. Wajahnya yang semula memerah karena marah segera menjadi cerah saat ia
melihat siapa orang yang tengah berjalan mendekat ke arahnya. Seketika, sang
pangeran kecil itu membungkukkan tubuhnya dengan penuh hormat sementara
sepasang matanya berubah lembut penuh kasih dan cinta.
Para prajurit yang tengah berlutut di depan
Pangeran Zhu Di-pun terlihat segera mengubah arah tubuh mereka menghadap pada orang
yang baru saja datang dan memanggil nama Pangeran Zhu Di.
“Hormat kami pada Yang Mulia Ratu Ma” seru salah
satu parjurit sambil bersujud di depan orang yang kini berdiri di depan mereka,
tepat berhadapan dengan Pangeran Zhu Di yang juga tengah membungkuk memberi
hormat.
Seorang wanita yang sangat anggun, berdiri dalam
sosoknya yang cantik penuh kharisma dan lembut. Rambutnya di sanggul tinggi
dengan hiasan tusuk konde panjang berbandul bunga teratai dan sebuah mahkota
yang sangat indah dengan hiasan mutiara.
Dialah Ratu Ma Xiuying, sang permaisuri dari
Kaisar Ming Tai Zhu. Wanita yang sangat berpengaruh bagi sang kaisar meski
kini, setelah kaisar naik tahta, ia memiliki beberapa wanita lain yang menjadi
ratu dan selir-selir.
Dan sang ratu yang cantik dan penuh kharisma itu
tersenyum penuh kasih saat sepasang matanya yang jernih menatap sang pangeran
kecil di depannya. Beberapa dayang yang mengikuti ratu berdiri sambil
menundukkan kepala mereka.
“Pangeran…kenapa Anda berada di istana Kaisar
sendiri? Di manakah Kasim Anta? Dan juga prajurit yang mengawal Anda?” tanya
sang ratu dengan suara lembut saat bertanya pada pangeran kecilnya.
Pangeran Zhu Di mengangkat tubuhnya dan menatap
Ratu Ma dengan wajah berbinar. Tak tersisa sedikitpun kemarahan yang sesaat lalu
terlihat di wajah sang pangeran pada para prajuritnya. Yang terlihat kemudian
hanyalah rasa gembira yang polos seorang anak yang bertemu dengan ibu
kandungnya.
“Kasim Anta sedang menunggu kamar hamba Ibu Ratu”
jawab Pangeran Zhu Di sambil tersenyum. Senyum simpul separo yang khas dan
sangat menggemaskan. “Sedangkan para prajurit sedang menunggu dan menemani
Kasim Anta”.
Ratu Ma tertawa mendengar jawaban polos dari
putranya. Ia sudah sangat hafal dengan kebiasaan Pangeran Zhu Di yang gemar
melarikan diri dari kasim pengasuhnya sehingga, mendengar jawaban sang pangeran
kecil, Ratu Ma sama sekali tak merasa heran dan hanya mengangguk.
“Begitukah? Kemudian, kenapa Anda berada di istana
Yang Mulia Kaisar, Pangeran? Apakah Anda hendak bertemu dengan Yang Mulia?”
tanya Ratu Ma kembali.
Pangeran Zhu Di mengangguk.
“Benar Ibu Ratu…ada hal yang ingin hamba sampaikan
pada Yang Mulia Kaisar. Tapi, para prajurit ini mengataan bahwa Yang Mulia
sedang tidak bisa bertemu dengan siapapun” jawabnya dengan jujur.
Para prajurit terlihat semakin takut karena
mengira Sang Ratu akan marah pula pada mereka.
Namun ternyata tidak. Ratu Ma justru tersenyum dan
mengangguk.
“Itu benar Pangeran. Saat ini Yang Mulia sedang
menerima salah satu utusan dari Panglima Besar. Ada hal penting yang sedang
dibicarakan dan karena itu, Yang Mulia tidak bersedia bertemu dengan siapapun”
jawab Ratu Ma dengan nada lembut.
Sepasang mata bulat jernih Pangeran Zhu Di
membesar saat mendengar kalimat sang ratu.
“Utusan dari Panglima Besar? Apakah itu berarti
Paman Xu Da sudah pulang Ibu Ratu?” tanya Panegran Zhu Di kemudian.
Ratu tersenyum namun kepalanya menggeleng.
“Belum Pangeran. Saat ini, Panglima Besar sedang
dalam perjalanan pulang. Utusan yang datang dan sekarang bertemu dengan Yang
Mulia Kaisar adalah utusan pendahulu dari Panglima Besar. Mungkin, Panglima
Besar baru akan sampai sekitar tujuh atau delapan hari lagi” jawab Ratu Ma
kemudian.
Pangeran Zhu Di terdiam sejenak seperti mencerna
sesuatu sebelum kemudian tersenyum.
“Kenapa Pangeran tersenyum?” tanya Ratu Ma.
“Tidak Ibu Ratu…hamba hanya merasa senang saja,
karena Paman Xu Da akan segera datang. Hamba ingin mendengar cerita Paman Xu Da
tentang perjalanan menuju ke Karakorum” ujar Pangeran Zhu Di sambil menggeleng.
Sepasang matanya meneliti wajah cantik dan lembut Ratu Ma. “Apakah Ibu Ratu
juga ingin bertemu dengan Yang Mulia Kaisar?”.
“Tidak Pangeran” Ratu Ma menggeleng. “Ibu Anda
datang kemari karena ada satu dayang yang melihat Pangeran berlari memasuki
istana Yang Mulia Kaisar namun tanpa Kasim Anta dan para prajurit pengawal.
Karena itu, Ibu Anda merasa khawatir bahwa mungkin saja, telah terjadi sesuatu
dengan Pangeran sehingga berlari begitu cepat tanpa pengawalan”.
Pangeran Zhu Di mendesah.
“Ah..Ibu ratu…maafkanlah hamba karena telah
membuat Ibu ratu merasa cemas” ujar sang pangeran dengan nada penuh penyesalan.
“Tidak apa-apa Pangeran” sahut Ratu Ma. Bibirnya
yang merah segar dan tipis mengurai sebuah senyum yang mempesona. “Dan
sebenarnya, Ibu Anda ini datang untuk menunjukkan sesuatu pada Anda”.
Sepasang mata Pangeran Zhu Di membesar. Ditatapnya
wajah sang ibu dengan penuh minat.
“Sesuatu? Sesuatu seperti apa Ibu Ratu?” tanya
Pangeran Zhu Di.
“Ikutlah dengan Ibu. Sesuatu itu ada di tempat
Ibu” jawab Ratu Ma. Satu tangannya terulur dan menyentuh pipi Pangeran Zhu Di,
membelainya dengan lembut. Kemudian, pandangan matanya beralih pada para
prajurit yang masih berlutut di depannya, tepat di belakang punggung Pangeran
Zhu Di.
“Kalian kembalilah berjaga dan tidak perlu
menyampaikan hal ini pada Yang Mulia Kaisar….kalian mengerti?” perintah Ratu
Ma.
“Ya!...Kami mengerti Yang Mulia” jawab para
prajurit serentak sambil mengangguk.
Pangeran Zhu Di menengok ke belakang dan menatap
para prajurit. Tak ada kata yang terlontar dari mulutnya yang mencebik jengkel
sebelum kemudian, tubuhnya kembali berbalik ke arah Ratu Ma.
“Mari Pangeran…ikutlah dengan Ibu” ujar Ratu Ma
sambil mengulurkan tangannya untuk menggandeng tangan Pangeran Zhu Di.
Sang pangeran kecil menurut dan segera melangkah
di sisi Ratu Ma. Mulutnya mengurai senyum gembira yang nyata. Ia selalu senang
dengan rasa tangan ibunya yang begitu lembut dan hangat.
“Kenapa Anda marah pada prajurit tadi Pangeran?”
tanya Ratu Ma sambil melangkah pelan.
Pangeran Zhu Di mendongak untuk menatap ibunya
sekilas sebelum kemudian pandangannya kembali tertuju ke depan.
“Karena mereka tidak menjawab pertanyaan hamba Ibu
Ratu” jawab Pangeran Zhu Di sambil bersungut-sungut. “Hamba hanya bertanya
apakah Yang Mulia juga tidak ingin bertemu dengan hamba? Seharusnya mereka
menjawab ‘iya’…jadi dengan begitu, hamba akan menunggu atau kembali lagi
setelah beberapa waktu. Tapi, mereka malah gemetar semua. Hamba kan bukan
pemangsa yang akan memakan mereka Ibu Ratu. Kenapa mereka harus setakut itu?”.
Ratu Ma tidak menjawab. Suara tawanya yang merdu
terdengar indah mengalir sementara langkah kakinya gemulai menapaki jalan
setapak taman menuju istana ratu tempatnya tinggal. Tangannya yang menggandeng
Pangeran Zhu Di pelan meremas jemari mungil dalam genggamannya dengan penuh
sayang.
Udara senja menghembus sepoi-sepoi. Bunga-bunga
taman bergoyang penuh gemulai seolah sebuah rasa bahagia akan segera hadir.
Para dayang dan prajurit yang mengikuti Ratu Ma berjalan beriringan di belakang
junjungan mereka sambil sesekali turut tersenyum saat mendengar celoteh sang
pangeran keempat yang lucu dan polos.
**************
Changyi duduk merapat pada dinding. Hal yang
selalu dilakukannya setiap kali ia merasa tubuhnya seperti melemah oleh hal-hal
yang datang tak terduga. Seolah dinding yang menempel pada punggungnya itu
dapat menjadi sebuah kekuatan untuknya.
Ini adalah sebuah ruang yang sangat sempit.
Seperti sebuah penjara yang tertutup. Hanya ada sebuah jendela berbentuk celah
kecil pada dinding bagian atas yang tak memungkinkannya untuk mengintip ke luar
serta sebuah pintu utuh yang tertutup rapat. Changyi sama sekali tak pernah
membayangkan bahwa ia akan merasakan dinginnya dinding penjara. Sebuah tempat
yang seumur hidupnya hingga hari ini hanya di dengarnya melalui cerita-cerita
tentang orang-orang yang dihukum dan terhukum. Tempat di mana, jika seseorang
telah masuk ke dalamnya, maka itu berarti seluruh hidupnya telah habis karena
ia akan segera dikenal sebagai tersangka, orang jahat, orang yang bersalah dan
pembawa aib.
Ini sudah hari ketiga ia di kurung di ruangan yang
sempit ini. Dan Changyi sama sekali tak mengetahui sampai kapan ia akan berada
di tempat yang remang-remang ini. Dua hari yang lalu, salah satu guru pengajar
datang menengoknya dan mengatakan bahwa apapun yang terjadi, keputusan hukuman
apapun yang akan dijatuhkan padanya, ia harus tetap belajar tak peduli
dimanapun ia berada nantinya. Dan mendengar kalimat seperti itu membuat dadanya
terasa berdesir seolah ia telah dapat membayangkan apa yang akan terjadi
dengannya nanti.
Changyi menarik nafas panjang, mencoba mengurai
rasa sesak di hati yang menumpuk dan membuat dadanya seperti dihimpit oleh
bebatuan besar. Apa sebenarnya yang telah dilakukannya? Ia masih ingat benar,
apa yang menjadi niat dan semangat hatinya saat meninggalkan Kuil Bulan Merah
tiga bulan lalu. Ia hanya ingin menjadi seorang prajurit agar ia dan Chen
memiliki kehidupan yang layak dan lebih baik dan tidak perlu lagi menumpang
hidup pada siapapun. Ia ingin menjadi prajurit agar ia bisa melindungi Chen
seperti yang telah di janjikannya. Ia pun ingin membalas kebaikan yang telah
diberikan oleh Jenderal Xu Da padanya dan Chen.
Tetapi, dengan keberadaannya sekarang, tampaknya,
seluruh harapannya hanya akan menjadi sia-sia belaka. Bisakah orang yang
dipenjara menjadi seorang prajurit? Bisakah orang yang dipenjara melindungi
orang lain? Bisakah ia membalas kebaikan Jenderal Xu Da? Bahkan tubuhnya
terkurung di dalam sebuah ruang yang sempit, lalu bagaimana ia bisa mewujudkan
semua impiannya?.
Changyi menghela nafas dalam. Rasa sesak di dalam
dadanya semakin menyesak saat perlahan, wajah Chen membayang di pelupuk mata.
Polos, terlihat rapuh, namun selalu bisa membuatnya tetap bersemangat dan tegar
dalam menghadapi apapun kesulitan yang menghadang mereka. Ia tak sempat memiliki
adik karena orangtuanya telah direnggut oleh wabah. Tapi, sahabat orangtuanya
memberikan Chen sebagai adik yang sangat dekat bahkan melebihi kuatnya ikatan
darah dalam persaudaraan yang seringkali justru diwarnai dengan perselisihan
dan permusuhan.
Changyi memejamkan mata saat bayangan tubuh Chen
yang berlari menyusul di belakangnya, pada hari ia dibawa pergi oleh Jenderal
Xu Da, bayangan airmata di pipi Chen, dan tatapan mata penuh harap bahwa ia
akan segera kembali dan mereka dapat bersama lagi. Bayangan tangan-tangan kecil
Chen yang bergerak dengan gesit dan cekatan saat memasak di dapur. Bayangan
anak itu berlari ke sisinya dengan penuh semangat saat orangtua Chen meninggal
dan ayahnya membawanya pulang untuk tinggal bersama dengan mereka. Tubuh Chen
yang kecil dan kurus, dengan kulit putih pucat yang seringkali membuat Changyi
berpikir apakah Chen sesungguhnya mengidap suatu penyakit atau karena anak itu
selalu hanya memakan akar-akaran. Dan sesungguhnya, hal itu membuatnya
diam-diam merasa cemas. Bahkan saat mereka mencuri beras-pun, sesungguhnya,
ia-lah yang memakan beras tersebut karena Chen hanya akan memasaknya lalu dia
akan pergi ke rimbunan tanaman dan kembali dengan akar-akar yang dibawanya dan
dimakannya.
“Mungkin Chen tidak datang dari perut ibu, tapi
dia adalah saudaramu dan akan selalu menjadi keluargamu. Karena itu lindungilah
dia sekuat tenagamu. Kau kuat dan Chen sangat lembut. Kalian adalah anak-anak
ibu yang sangat serasi” suara bisikan halus ibu di saat terakhir kehidupannya
kembali terngiang di telinga Changyi, pada suatu malam yang sangat dingin
bertahun-tahun yang lalu. Ibu yang kemudian segera meninggalkan ia hanya berdua
dengan Chen untuk menjalani kehidupan yang sungguh tak terbayangkan akan
bagaimana akhirnya di benaknya. Ibu yang sangat dikaguminya, yang
mengajarkannya untuk selalu tegar dan gembira meski sesungguhnya ia menyimpan
kepedihan yang sangat berat di dalam hati. Karena senyumnya adalah sepotong
matahari yang akan membias bukan hanya pada diri sendiri melainkan juga pada
semua orang disekitarnya, lalu menghapuskan kesedihan dan mendatangkan
kebahagiaan.
Perlahan Changyi merasakan aliran hangat menuruni
dua kelopak matanya. Ia ingat semuanya. Ia berusaha untuk melakukan apapun yang
menjadi pesan ibunya. Namun, kehidupan yang seolah tak adil seperti
menempatkannya pada posisi di mana keinginannya untuk bisa mewujudkan harapan
dan cita-cita hanyalah sebuah kabut di pagi hari yang akan segera menguap dan
kemudian hilang tanpa bekas ketika sinar matahari telah naik dan mengeringkan
seluruh kejernihan embun di permukaan daun-daun.
Ujian final untuk menentukan apakah siswa-siswa
calon prajurit khusus masih terus dapat belajar dan menjadi prajurit khusus
pengawal Kaisar tinggal satu hari lagi. Dan itu berarti besok.
Changyi sungguh tak berani lagi berharap bahwa ia
akan dapat mengikuti ujian final di depan kaisar besok pagi. Tidak mungkin
baginya yang kini telah terbelenggu di balik ruang yang pengap ini.
Mengapa hanya dirinya yang mendapat hukuman dari
Jenderal Lan Yu? Meskipun ia tahu bahwa Fengyin, Dingziang, Aiguo, Congmin dan
Baozhai adalah anak-anak angkat Jenderal Lan Yu, namun bukankah semua orang
tahu siapa yang memulai permasalahan di Taman Maple sore tiga hari yang lalu?
Apakah semua orang sungguh-sungguh telah berpihak pada Fengyin dan
saudara-saudaranya dan tak ada satupun yang mau membelanya di depan jenderal
besar yang sangat berkuasa di tubuh Kementerian Pertahanan itu?.
Changyi bahkan tidak tahu lagi, di manakah buku
strategi perang miliknya sekarang. Buku itu sangat berharga baginya. Biksu Tua
di Kuil Bulan Merah yang memberikannya sejak ia mulai berlatih beladiri di kuil
tersebut dan Changyi sangat menyukainya. Lebih suka lagi saat ia melihat nama
Xu Da di halaman terakhir buku tersebut
dan Biksu Tua mengatakan bahwa buku itu pernah dipelajari pula oleh
Jenderal Xu Da.
“Hai!” sebuah suara panggilan yang galak terdengar
membuat Changyi terkejut dan seketika mengangkat wajahnya, menatap ke arah
celah pintu. Terlihat sepasang mata seorang prajurit. “Utusan dari Jenderal Lan
Yu datang membawa keputusan hukuman untukmu. Berikan hormatmu dan laksanakan
dengan baik apa yang menjadi hukuman bagimu”.
Changyi segera bangkit dari posisi duduknya dan berdiri
tegak sementara suara gerendel pintu dibuka terdengar keras. Sesaat kemudian,
berjalan masuk beberapa lelaki bertubuh besar dalam pakaian yang rapi berwarna
merah. Itu adalah pakaian dari orang-orang yang berada di bawah naungan
Kementerian Pertahanan. Changyi tidak tahu apakah jabatan dua lelaki yang masuk
ke dalam ruang tahanan yang sempit tersebut, namun dari sikap para prajurit
yang terlihat segera membungkuk hormat, tampaknya, dua lelaki bertubuh besar
itu adalah orang-orang yang memiliki tempat terhormat di tubuh Kementerian
Pertahanan.
Karena itu, ketika dua orang yang berjalan masuk
itu benar-benar telah berdiri di depannya dalam jarak hanya tiga langkah
darinya, Changyi segera menjatuhkan dirinya dan berlutut.
“Tahanan bernama Changyi, tanpa nama marga,
dengarkan perintah dari Kaisar Ming Tai Zhu sebagai hukuman atas kelalaianmu
membuat kerusakan di wilayah istana serta mempelajari buku yang bukan
diperuntukkan bagimu kemudian laksanakan perintah Kaisar dengan seluruh jiwa
pengabdianmu” ucap salah satu lelaki yang berdiri di depan Changyi. Sementara
satu lelaki yang lain berdiri sambil membawa satu gulungan kertas yang pasti
merupakan surat perintah dari Kaisar Hongwu.
Changyi membungkukkan tubuhnya dalam-dalam.
“Hamba akan mendengarkan dan melaksanakan apa yang
diperintahkan oleh Yang Mulia Kaisar Ming Tai Zhu dengan segenap hati hamba”
jawab Changyi.
Lelaki yang berdiri di depan Changyi dan baru saja
berbicara mengangguk lalu memberi isyarat pada lelaki lain di sisinya. Lelaki
yang menerima isyarat segera membuka gulungan kertas di tangannya dan
membentangkannya di atas kepala Changyi yang tertunduk dalam posisi
berlututnya.
“Atas nama Kaisar Ming Tai Zhu pemilik seluruh
Dinasti Ming Raya, diperintahkan pada tahanan bernama Changyi, tanpa nama
marga, agar segera meninggalkan sekolah calon prajurit khusus sebagai hukuman
atas kesalahan yang dilakukan yaitu merusak wilayah istana hingga memberikan
kerugian pada Kaisar. Selanjutnya, kepada tahanan bernama Changyi, dilarang
untuk mengikuti ujian akhir yang akan diadakan di istana karena keadaannya
sebagaipelayan yang tidak memiliki hak untuk mengikuti ujian sebagai prajurit
khusus raja. Selain itu, kepada tahanan bernama Changyi di larang untuk mengikuti
ujian-ujian yang diadakan di sekolah keprajuritan manapun, serta kepada
Changyi, diperintahkan untuk keluar dari ibukota Yingtian dan bekerja sebagai
rakyat biasa. Apabila, dikemudian hari, diketahui bahwa tahanan bernama Changyi
berani membangkang perintah dari Kaisar dan menjadikan dirinya sebagai
prajurit, maka ia akan dihukum mati beserta semua guru pengajar di sekolah
prajurit yang menerimanya. Perintah dari Kaisar Ming Tai Zhu berlaku sejak hari
dibacakannya surat ini hingga akhir masa kehidupan tahanan bernama Changyi!”
seru lelaki kedua yang membaca surat perintah berisi hukuman untuk Changyi.
Changyi yang tertunduk dalam posisi berlutut
merasakan seolah lantai yang dipijaknya melebur dan menjadi bubur kemudian
seolah dirinya tersedot masuk ke dalam bumi, jauh ke dalam bumi hingga
kedalaman yang tak terukur tanpa sedikitpun kekuatan untuk melawan atau membela
diri hingga yang ada dalam dirinya kemudian hanyalah rasa tak berdaya yang
sangat perih. Changyi berusaha sekuat tenaga untuk menjaga agar kedua matanya
yang terasa panas tidak akan meruntuhkan ketegarannya. Di tariknya nafas
dalam-dalam sementara kedua telapak tangannya yang menapak pada lantai bergerak
mencengkeram permukaan lantai yang dilapisi batu keras tersebut seolah hendak
mencari tempat untuk berpegang.
“Apa kau sudah mengerti?” tanya lelaki pertama
dengan nada yang lebih lunak seolah ia menyadari keguncangan yang sedang
dirasakan oleh remaja berparas rupawan di depannya.
“Ya…hamba
mengerti Tuan” jawab Changyi. Ia berusaha untuk menjaga suaranya agar tetap
tegas dan utuh. Namun Changyi merasa sungguh heran, kenapa suaranya sendiri
terdengar begitu jauh?.
“Baiklah…jika kau sudah mengerti maka segera
bersiaplah. Prajurit akan mengeluarkanmu dari sini dan mengantarmu hingga
keluar dari gerbang istana. Dan selanjutnya, kau harus sungguh-sungguh
melaksanakan apa yang telah diperintahkan oleh Kaisar. Jika masih ada laporan
bahwa kau terlihat di ibukota kerajaan, maka kaisar akan segera menangkapmu dan
menjatuhkan hukuman mati padamu. Menentang perintah Kaisar berarti kau melakukan
pemberontakan dan hukuman untuk pemberontak hanyalah hukuman mati. Ingat itu
baik-baik” sambung lelaki kedua yang sesaat lalu membacakan surat perintah
berisi keputusan hukuman dari Kaisar untuk Changyi.
“Ya Tuan…saya mengerti” jawab Changyi kembali.
Suaranya masih terdengar sangat jauh di telinganya sendiri meskipun Changyi
sangat yakin bahwa ia telah mengerahkan seluruh tenaganya untuk menjaga
keutuhan suaranya. Ia hanya tak ingin terlihat lemah di depan dua lelaki dari
Kementerian Pertahanan itu.
“Bagus” jawab lelaki kedua setelah mendengar
jawaban Changyi. Kemudian kepalanya berpaling pada lelaki di sebelahnya. “Tugas
kita sudah selesai. Ayo kita pergi”.
Lelaki pertama mengangguk dan segera membalikkan
tubuhnya kemudian berjalan menuju pintu di ikuti oleh lelaki kedua. Keduanya
berhenti sebentar di depan satu orang prajurit yang berdiri di sisi pintu.
“Keluarkan anak itu dan antar dia sampai keluar
dari pintu gerbang istana. Pastikan dia benar-benar keluar dari istana” ujar
lelaki pertama pada sang prajurit.
“Baik Tuan” jawab sang prajurit sambil
membungkukkan tubuhnya dalam-dalam.
Sementara Changyi merasakan seolah tubuhnya
benar-benar telah hilang bentuk. Melebur dalam kehancuran rasa tak terperikan
yang kini menguasai seluruh sudut di ruang dadanya, menciptakan rasa kebas aneh
yang membuat Changyi merasa seolah dirinya hayalah sehelai benang yang sama
sekali tak memiliki arti.
**************
Pangeran
Zhu Di berdiri di depan pintu ruang kamarnya dan menatap punggung Kasim Anta
yang berlari semakin jauh meninggalkan istana pangeran. Satu tangannya masih
memegang sepatunya sendiri yang ia lepas dan nyaris melayang ke kepala kasimnya
tersebut karena sang kasim yang terus bertanya dan merasa cemas saat ia
menyuruhnya untuk mengantar sehelai surat yang telah selesai di tulisnya.
Pangeran kecil itu kemudian berjalan masuk kembali
ke ruang kamar setelah meletakkan sepatunya ke lantai dan memakainya lagi.
Kepalanya sedikit berkerut seolah ia memikirkan sesuatu. Sama sekali tak
dihiraukannya barisan dayang dan pelayang yang membungkukkan tubuh mereka
dalam-dalam saat ia berjalan menuju ruangannya.
Ia telah gagal untuk bertemu dengan Yang Mulia
Kaisar pada hari pertama setelah ia melihat Changyi di tangkap tiga hari yang
lalu. Selain karena sang Kaisar sedang sibuk dengan utusan pendahulu dari
Panglima Besar yang sedang dalam perjalanan pulang, pada hari itu ia bertemu
dengan Ratu Ma yang kemudian mengajaknya ke istana sang ratu dan ia tinggal di
sana bahkan sampai esok harinya. Kemudian pada hari kedua, ia bermaksud untuk
kembali bertemu dengan sang kaisar, namun ia kembali gagal karena kesibukan
kaisar menerima laporan dari enam kementerian yang datang pada hari itu. Dan ia
melihat kehadiran Jenderal Lan Yu di antara beberapa orang dari Kementerian
Pertahanan kemarin. Dan setelah pertemuan selesai, Jenderal Lan Yu masih
menghadap Kaisar di ruangan sang kaisar. Hingga hari menjelang sore, barulah
Jenderal Lan Yu terlihat meninggalkan istana kaisar. Hingga, baru hari ini ia
berhasil bertemu dengan Kaisar Ming Tai Zhu saat sang kaisar tengah
mengahbiskan waktu luangnya di perpustakaan dan membaca sebuah buku baru yang
diberikan oleh seorang sarjana serta menyampaikan hal yang telah dilihatnya di
Taman Maple.
Namun, jawaban yang diterimanya tidaklah seperti
yang diharapkannya. Sang Kaisar hanya menatapnya sesaat sebelum kembali pada
buku baru di depannya.
“Ayahanda Yang Mulia, tidak bisakah Ayahanda
mengijinkan Changyi mengikuti ujian besok? Hamba melihatnya sendiri, dia
memiliki kemampuan yang sangat hebat dan juga sangat pandai. Hamba yakin,
Ayahanda Yang Mulia pasti tidak akan kecewa memiliki seorang prajurit seperti
Changyi” ujar Pangeran Zhu Di dengan nada membujuk.
Kaisar Ming Tai Zhu tersenyum mendengar suara sang
pangeran kecil menirukannya saat ia sedang membujuk putra keempatnya itu.
“Aku mengerti apa yang kau maksud. Dan aku tahu,
bahwa dalam perkelahian di Taman Maple itu, anak-anak Jenderal Lan Yu yang
bersalah” sahut Kaisar Ming Tai Zhu sambil membalik halaman buku yang
dibacanya.
“Lalu, kenapa Ayahanda Yang Mulia tidak bisa
menolongnya?” tanya Pangeran Zhu Di sambil sedikit beringsut mendekati ayahnya.
Sepasang matanya yang jernih berkilau penuh pengharapan. “Tolonglah Changyi
Ayahanda”.
Kali ini sang kaisar mengangkat wajahnya dari
halam buku yang baru saja dibukanya dan menatap putranya.
“Dan kenapa kau ingin ayahmu ini menolong Changyi?
Bisakah kau mengatakan alasanmu dengan jujur Zhu Di?” tanya Kaisar Ming Tai
Zhu.
Pangeran Zhu Di menunduk. Jika ia berkata jujur,
maka segala alasan tentang kebaikan dan kehebatan Changyi akan menjadi mentah
di depan Kaisar dan akan terlihat tidak berarti lagi. Tapi, jika ia tidak
berkata jujur, apa bisa? Selama ini, ayahnya itu selalu berhasil mengetahui hal
sebenarnya yang sedang ia rasakan.
“Karena hamba menyukainya Ayahanda….” Jawab
Pangeran Zhu Di setengah berbisik dengan kepala tertunduk.
Kaisar Ming Tai Zhu tertawa pelan seolah telah
menduga jawaban yang akan didengarnya dari mulut mungil pangeran kecilnya.
“Karena itu tolonglah dia Ayahanda…” lanjut
Pangeran Zhu Di sambil mengangkat wajahnya dan kembali menatap wajah ayahnya.
“Hamba berharap Changyi akan menjadi pengawal khusus bagi hamba”.
Kaisar Ming Tai Zhu menghela nafas.
“Bagaimana kau masih mengharapkan satu lagi
pengawal untukmu Zhu Di? Prajurit sebanyak itu semua kau akali dan mereka tidak
berdaya menghadapimu. Termasuk Kasim Anta yang telah mengasuhmu sejak kau baru
saja lahir. Jika aku menambah satu lagi pengawal untukmu, kau pasti akan
mengakalinya lagi dan melakukan apapun yang kau sukai tak peduli jika itu
membuat seluruh pengawal dan kasim di dekatmu mendapatkan hukumanku karena
mereka selalu kehilangan jejakmu” ucap Kaisar Ming Tai Zhu dengan nada menegur
membuat kepala Pangeran Zhu Di seketika tertunduk kembali.
“Maafkan hamba Ayahanda Yang Mulia” sahut Pangeran
Zhu Di lirih. Kedua tangannya yang putih bersih dan mungil meremas-remas
pakaiannya di bagian paha.
“Mestinya kau menjaga sikapmu Zhu Di. Jika aku
menolong Changyi, maka aku harus mengatakan bahwa kau menjadi saksi dari
perkelahian di Taman Maple. Lalu, semua orang akan tahu bahwa kau telah
diam-diam melarikan diri dari Kasim Anta dan para pengawalmu untuk bertemu
dengan seorang siswa calon prajurit khusus di taman yang sunyi, terlupa bahwa
kau adalah seorang pangeran yang harus menjaga sikap, ucapan dan seluruh
tingkah lakumu agar dapat menjadi contoh bagi rakyat di luar sana. Kau ingin
ayahmu menolong orang yang kau sukai tapi di sisi lain kau mempermalukan
ayahmu. Apakah kau telah sungguh-sungguh memikirkan hal itu?” tanya Kaisar Ming
Tai Zhu.
Pangeran Zhu Di terdiam. Ia menyadari kebenaran
dalam kata-kata ayahnya. Jika Kaisar Ming Tai Zhu menolong Changyi, maka sama
artinya Kaisar telah membuka rahasia tentang pertemuannya dengan Changyi di
Taman Maple. Lalu, hal itu justru akan menjadi boomerang baginya dan bagi
Kaisar sendiri.
“Lagipula…sudah terlambat bagiku untuk menolong
Changyi” ujar Kaisar Ming Tai Zhu sambil menarik nafas dan kembali pada halaman
buku yang dibacanya.
Pangeran Zhu Di mengangkat wajahnya dengan
ekspresi terkejut.
“Kenapa begitu Ayahanda?” tanya Pangeran Zhu Di.
“Karena aku telah memberikan surat perintah
hukuman pada Changyi. Saat ini, mungkin Changyi telah meninggalkan istana dan
pergi dari Ibukota Yingtian” jawab Kaisar Ming Tai Zhu membuat Pangeran Zhu Di
terperanjat.
Sejenak, pangeran kecil itu seperti bingung, namun
kemudian tubuhnya membungkuk dalam di hadapan ayahnya.
“Ayahanda, hamba mohon diri lebih dulu” ujar
Pangeran Zhu Di.
Kaisar Ming Tai Zhu mengerut.
“Mau kemana kau Zhu Di?” tanya sang kaisar.
“Jangan melarikan diri lagi. Atau mencoba untuk mencari Changyi di luar sana.
Lupakan dia, dan carilah teman lain”.
Pangeran Zhu Di menggeleng dengan gerakan pasti.
“Tidak Ayahanda” jawabnya dengan senyum indah
separuhnya. “Hamba tidak akan melarikan diri. Hamba ingin menyelesaikan buku
yang hamba baca”.
Kaisar Ming Tai Zhu manggut-manggut mendengar
jawaban putranya.
“Baiklah…pergilah” ujar Kaisar Ming Tai Zhu.
Senyum Pangeran Zhu Di melebar. Tubuhnya kembali
membungkuk dalam.
“Terima kasih Ayahanda” sahutnya penuh semangat
sebelum kemudian tubuhnya melesat pergi meninggalkan sang kaisar yang masih
menatap bayangan tubuh pangeran kecilnya hingga menghilang di balik pintu.
Sedikitpun, Kaisar Ming Tai Zhu tak percaya bahwa
sang pangeran keempat akan melakukan sesuai apa yang dikatakannya, membaca buku
di kamarnya. Itu bukan gambaran watak dari pangeran yang sangat cerdas
tersebut. Perlahan sebuah senyum terurai di bibir Kaisar Ming Tai Zhu. Ia hanya
tinggal menunggu apa yang akan dilakukan oleh sang pangeran yang sesungguhnya
sangat dikasihinya dan membuatnya bangga tersebut untuk mempertahankan teman
barunya.
************
Tidak ada komentar:
Posting Komentar