Jumat, 17 April 2015

Straight - Episode 3 ( Bagian Enam )

Hari telah menjelang tengah malam. Changyi merebahkan tubuhnya yang terasa penat ke atas ranjangnya yang empuk. Hari ini sungguh melelahkan sekali. Setelah mereka sampai di lokasi perburuan, Sang Kaisar segera mengajak untuk memulai perburuan ke dalam hutan tanpa istirahat lebih dulu. Hanya tinggal Sang ratu, para dayang, kasim, juru masak dan para prajurit penjaga yang bertugas menjaga tempat perkemahan yang tidak ikut masuk ke dalam hutan. Sedang yang lain, termasuk dirinya dan Pangeran Zhu Di ikut serta bersama dengan Kaisar memulai perburuan.
Changyi berusaha untuk memusatkan perhatiannya pada acara perburuan tersebut dan menepiskan bayangan sosok Chen yang terus menerus membayang dalam benaknya. Sangat beruntung karena Tamtama Bohai kini terus mendampinginya sehingga Changyi merasa lebih tenang. Prajurit kesayangan ayah angkatnya itu terus mengajaknya bicara sementara mereka mengejar kijang besar yang telah berhasil di panah oleh Changyi. Meskipun tetap saja, pertemuan sesaat dengan Chen sebelumnya telah mengubah konsentrasi Changyi sehingga dalam acara perburuan kali ini, ia hanya berhasil memanah dua ekor kijang, sangat jauh menurun bila dibanding kegiatan perburuan sebelumnya di mana ia selalu berhasil memanah binatang buruan lebih dari sepuluh ekor. Salah satu hal yang membuat Kaisar merasa senang dan kemudian selalu mengajaknya. Namun hari ini, pada perburuan pertama, ia hanya bisa mempersembahkan dua ekor kijang pada Kaisar. Itu adalah hasil yang sangat buruk. Ia bahkan kalah jauh dengan kelompok Fengyin yang berhasil membawa lima ekor kijang ke hadapan Kaisar.
Tetapi, acara perburuan Kaisar biasanya berlangsung selama tiga sampai tujuh hari. Dan Changyi berharap besok ia akan dapat membawa hasil buruan yang layak untuk Kaisar.
Namun, bisakah ia berburu dengan bayangan sosok Chen yang memenuhi benaknya?.
Sesungguhnya, sejak beberapa hari ini, Changyi memang terus teringat pada Chen. Dan ingatan itu membawa serta kerinduan pada saudaranya itu. Ia nyaris terlupa bahwa waktu terus berjalan. Dan tiba-tiba, saat ia teringat pada Chen, waktu ternyata telah berlalu selama satu tahun sejak ia terakhir kali melihat adiknya itu mengejarnya saat ia dibawa pergi oleh Jenderal Xu Da dari Kuil Bulan Merah. Bagaimanakah keadaan Chen sekarang? Selama setahun ia tinggal di istana dan belajar di sekolah prajurit khusus, ia sama sekali tidak mendengar kabar tentang Chen dari siapapun dan Changyi benar-benar tidak tahu harus bertanya pada siapa. Karena itu, selama beberapa hari ini, saat kerinduannya terasa menyengat dan sering membuatnya terbangun di tengah malam, maka Changyi sungguh menjadi bingung untuk mencari jalan agar ia bisa pergi keluar dan menemui Chen meski hanya sesaat. Tentu saja, ia bisa menyelinap pergi di tengah malam. Tapi, Changyi sungguh-sungguh merasa khawatir jika apa yang ia lakukan itu akan memberikan akibat buruk dan akan menjatuhkan nama baik dari ayah angkatnya. Hal yang selalu dijaganya adalah nama baik Jenderal Xu Da yang telah mengangkatnya dari kehidupan paling rendah ke kehidupan terhormat yang bahkan tak pernah sedikitpun terlintas dalam benaknya. Karena itu, Changyi selalu berusaha untuk sangat hati-hati dalam bertindak dan berucap terutama di kalangan istana.
Terlebih, pada akhirnya Changyi-pun mengetahui perihal rasa persaingan yang sangat kental di hati Jenderal Lan Yu dan beberapa menteri terhadap Jenderal Xu Da dari penuturan Tamtama Bohai.
Karena itu, meski hatinya terasa semakin berat oleh rasa rindu pada Chen, namun Changyi berusaha sekuat tenaga untuk menahan kerinduan tersebut walaupun ia merasakan akibat adanya kerinduan yang terasa berat tersebut membuatnya seperti sulit untuk memusatkan perhatian pada apa yang ada di depannya. Demikian juga dengan saat ia mengikuti kegiatan berburu dari Kaisar Ming Tai Zhu kali ini. Changyi dapat mendengar saat Pangeran Zhu Di terus mengajaknya berbicara, namun benak Changyi seperti telah berpindah dari tempatnya sehingga ia hanya sekedar menanggapi pembicaraan sang pangeran keempat apa adanya. Hingga ia mendengar suara panggilan yang sangat di rindukannya, yang pada awalnya seperti suara panggilan dalam mimpi yang nyaris tak dapat di percayanya hingga ia benar-benar melihat Chen di sisi jalan. Dalam pakaian kumal seperti yang dulu pernah dikenakannya.
Changyi bangkit kembali dari atas peranduannya dan berjalan menuju sisi sebelah kiri dimana terdapat sebuah meja kecil panjang dan sebuah cermin dari lempengan tembaga yang jernih. Pada permukaan cermin tembaga itu ia melihat bayangan dirinya. Sosok yang sangat berbeda dengan yang berkali-kali pernah dilihatnya dalam bayangan air saat ia masih tinggal di kuil dan mendapatkan tugas untuk mengambil air di mata air yang ada di bawah bukit. Sosok yang ada di dalam cermin itu adalah sosok yang sangat anggun dengan segala keindahannya yang sempurna dalam balutan busana yang indah dan jelas mahal. Rambutnya yang hitam legam di tata dalam tatanan yang indah berhias ikat kepala emas yang mewah. Sosok dalam bayangan cermin itu terlihat cemerlang dengan kulit putih yang memancarkan cahaya lembut. Sejak kapan kulitnya terlihat bersinar seperti itu? Sejauh ingatan Changyi, selama ini ia selalu melihat kulitnya sebagai kulit kusam, kecoklatan dan seringkali berlumur lumpur maupun tanah.
Dan sosok yang di lihatnya dalam bayangan cermin itu sangat berbeda dengan sosok yang dilihatnya di pinggir jalan dan memanggilnya dengan ada takut-takut karena kekhawatiran jika ia tak lagi mengenalinya.
Changyi menghela nafas dengan rasa sedih. Satu hal yang jelas tak berubah dari Chen adalah hatinya yang sangat lembut dan perasa. Dan Changyi semakin ingin bertemu dengan Chen. Setidaknya ia ingin memberitahu Chen bahwa ia masih tetap menjaga janji yang pernah di ucapkannya dulu. Ia tidak ingin Chen berpikir bahwa ia telah melupakan dirinya. Tapi bagaimana caranya? Ia tidak tahu bagaimana caranya meninggalkan istana meski hanya sesaat tanpa membuat suatu masalah yang bisa mengancam nama baik Jenderal Xu Da. Ia juga tidak mungkin menceritakan hal tentang Chen pada semua orang karena orang-orang sudah terlanjur mengenalinya sebagai putra angkat Jenderal Xu Da dan sang ayah angkat sendiri telah mengatakan padanya bahwa mulai hari ia menjadi putra angkat Jenderal Xu Da, maka orang hanya akan mengenalinya sebagai seorang anak dengan marga Xu. Dan seorang anak bermarga Xu tidak mungkin punya adik anak lain yang bukan bermarga Xu bukan?.
“Tuan Muda?” suara Tamtama Bohai mengejutkan Changyi, membuat remaja itu seketika menoleh ke belakang dan mendapatkan prajurit kepercayaan ayahnya itu tengah membungkuk padanya. Selama lebih dari delapan bulan menjadi putra dari Jenderal Xu Da, Changyi telah belajar membiasakan diri untuk menerima penghormatan dari semua prajurit, pelayan dan orang-orang yang memiliki kedudukan di bawah Jenderal Xu Da tanpa merasa kikuk ataupun jengah. Namun saat Tamtama Bohai membungkuk padanya seperti sekarang, Changyi selalu merasa malu dan jengah. Dan hal itu sungguh aneh. Ada apa dengannya?.
“Ada apa Paman Bohai?” tanya Changyi tersenyum.
Tamtama Bohai menegakkan tubuhnya kembali dan membalas senyum Changyi. Satu tangannya menunjuk ke arah pintu.
“Pangeran Zhu Di ingin bertemu dengan Tuan Muda. Sekarang Pangeran Zhu Di sedang menunggu di luar” jawab Tamtama Bohai.
Sepasang mata Changyi membesar. Pangeran Zhu Di meminta ijin untuk bertemu dengannya? Apa tidak salah? Sebagai seorang pangeran putra dari Kaisar Ming Tai Zhu, Pangeran Zhu Di bisa bertemu dengan siapapun sesuka hatinya, tanpa perlu ijin dari siapapun yang ingin ditemuinya. Lalu, kenapa Pangeran Zhu Di memerlukan ijin darinya hanya untuk bertemu?,
“Tentu saja Paman Bohai….tolong persilahkan Pangeran Zhu Di untuk masuk” sahut Changyi kemudian dengan perasaan jengah.
Tamtama Bohai tersenyum saat memahami rasa kikuk dalam hati Changyi. Namun kepala prajurit kepercayaan itu mengangguk  sebelum kemudian berlalu dari hadapan Changyi.
Hanya butuh sesaat bagi Changyi untuk menunggu hingga Pangeran Zhu Di masuk dan berdiri di depannya. Changyi segera membungkuk pada sang pangeran yang terlihat sangat tampan dengan pakaian malamnya yang lembut.
Pangeran Zhu Di tertawa menatap Changyi yang memberikan penghormatan padanya.
“Kakak…berhentilah bercanda seperti itu” ujar Pangeran Zhu Di dalam tawanya.
Changyi mengangkat tubuhnya dan tersenyum menatap Pangeran kecil di depannya.
“Hamba tidak bercanda Pangeran. Sudah menjadi kewajiban hamba untuk memberikan penghormatan pada Yang Mulia Pangeran Zhu Di” jawab Changyi. “Dan seharusnya, Pangeran tidak perlu meminta ijin untuk bertemu dengan hamba”.
Pangeran Zhu Di menunduk sambil memamerkan senyum miringnya yang khas dan indah.
“Aku hanya ingin menghargai siapapun yang berhubungan denganku Kakak. Karena bagiku, mereka semua memiliki hak untuk dihargai sebagai manusia. Aku tidak ingin mengganggu jika saja Kakak sudah tidur. Karena itulah aku meminta Paman Bohai untuk melihat dan meminta ijin pada Kakak” jawab Pangeran Zhu Di.
Changyi manggut-manggut. Dalam hati ia merasa kagum dan mulai mengerti kenapa sang pangeran keempat, meskipun bukan pangeran mahkota namun menjadi pangeran kesayangan semua orang dan mendapat julukan sebagai mutiara istana.
“Terima kasih karena Pangeran Zhu Di menghargai hamba demikian tinggi lebih daripada yang pantas hamba terima” ujar Changyi tersenyum dengan sempurna.
Pangeran Zhu Di kembali tertawa.
“Ah Kakak…sudahlah. Hentikan sandiwara kita dan marilah kita berbincang. Aku merasa lelah sekali tapi anehnya aku justru tak bisa tidur. Karena itu, setelah kasimku tidur, aku memutuskan untuk menemui Kakak. Siapa tahu Kakak mau menemaniku berbincang sampai aku bisa mendapatkan kantukku kembali” ujar Pangeran Zhu Di kemudian.
Changyi mengangguk tanpa sedikitpun melepaskan senyumnya. Satu tangannya mempersilahkan Pangeran Zhu Di untuk duduk di kursi kayu indah di sisi ranjangnya.
“Tentu saja Pangeran. Dengan senang hati saya akan menemani Anda” jawab Changyi.
Namun Pangeran Zhu Di justru menunjuk ranjang.
“Sepertinya akan lebih nyaman jika kita berbincang sambil berbaring di sana. Benar kan Kakak?” usulnya sambil menatap Changyi.
Changyi tertawa pelan. Kepalanya menggeleng-geleng. Ia sudah menduga bahwa Pangeran Zhu Di akan mengusulkan hal itu. Sang pangeran keempat sering melakukan hal itu saat mereka di sekolah prajurit khusus. Hal yang pasti tak di ketahui oleh siapapun bahkan Kaisar sendiri. Kebiasaan sang pangeran keempat yang sesungguhnya merasa sangat senang jika di temani saat tidur membuat Changyi menyadari bahwa di balik kecerdasan dan tingkah lakunya yang sangat gesit dan lincah, sesungguhnya Pangeran Zhu Di tetaplah adalah seorang anak yang mengharapkan kemanjaan dan perhatian kasih sayang.
“Baiklah Pangeran…silahkan” jawab Changyi sambil mempersilahkan Pangeran Zhu di untuk naik ke atas ranjang.
Tak butuh waktu lama bagi Pangeran Zhu Di untuk segera melompat ke atas ranjang dan mengambil tempat di sisi dalam, dekat dengan dinding kamar. Satu tangannya menarik sebuah bantalan kepala yang empuk dan lembut, menempatkannya di bagian kepala lalu, sambil mendesah penuh rasa lega, sang pangeran kecil itu segera merebahkan tubuhnya ke atas ranjang. Dengan langkah pelan, Changyi mendekat ke ranjang dan kemudian merebahkan dirinya di sisi Pangeran Zhu Di, pada sisi bagian luar.
Sang pangeran kecil segera bergelung, memiringkan tubuhnya ke arah Changyi dan menatap remaja itu dengan wajah cerah. Sebuah senyum mengembang di bibirnya. Sementara Changyi menatap langit-langit ranjangnya. Pandangannya menerawang menembus papan langit-langit ranjang hingga jatuh di tempat yang tak terbatas di langit.
“Pangeran….bisakah Anda tidak menatap saya terus seperti itu?” tanya Changyi dengan suara pelan tanpa memalingkan wajahnya dari ujung tanpa batas tempat di mana pandangannya terjatuh.
“Apakah Kakak masih memikirkan anak yang berdiri di sisi jalan tadi pagi?” Pangeran Zhu Di berbalik bertanya. “Anak yang memakai pakaian oenuh tambalan itu? Sepertinya ia seorang pengemis”.
Changyi merasa jantungnya seperti dihentak saat mendengar kalimat Pangeran Zhu Di menyebut Chen sebagai pengemis. Meski sejujurnya, penampilan Chen memang sangat pantas di sebut sebagai pengemis dengan pakaian kumal penuh tambalan melekat di tubuhnya, namun hati Changyi tetap saja terasa sangat pedih. Lebih pedih lagi saat ia mendengar hal itu dari mulut orang lain yang sejatinya semakin menguatkan pandangannya sendiri tentang seperti apa tampaknya Chen itu. Changyi menghela nafas berat. Rasa sedih yang sempat hilang dengan datangnya Pangeran Zhu Di kini datang lagi.
“Bagaimana Pangeran bisa tahu?” tanya Changyi menjawab pertanyaan pangeran kecil di sisinya.
“Karena Kakak terlihat sangat sedih sejak melihat anak itu tadi pagi. Meskipun Kakak berusaha sangat keras untuk menutupinya, namun aku tahu Kakak tidak bisa berhenti untuk memikirkan anak di sisi jalan itu. Siapakah dia Kakak? Apakah Kakak mengenalnya?” sahut Pangeran Zhu Di.
“Dia adalah adik saya Pangeran. Satu-satunya keluarga yang  saya miliki setelah orangtua kami tiada” jawab Changyi membuat Pangeran Zhu Di terperanjat. Sepasang mata Pangeran Zhu Di terbelalak lebar.
“Apa? Dia…adik….Kakak Changyi?” tanya Pangeran Zhu Di sambil bangkit dari posisi tidurnya dan kini duduk di sisi Changyi. “Kenapa Kakak tidak pernah menceritakan tentang hal itu padaku?”.
Changyi tersenyum dan menoleh ke arah Pangeran Zhu Di.
“Untuk apa Pangeran? Mungkin itu hanya akan menjadi masalah nantinya” jawab Changyi rawan.
“Masalah apa Kakak? Bagaimana bisa menjadi masalah?” tanya Pangeran Zhu Di sambil mengerutkan keningnya.
“Sudahlah Pangeran” sahut Changyi sambil mengulurkan tangannya menarik lengan Pangeran Zhu Di agar berbaring kembali. “Berbaringlah kembali”.
Pangeran Zhu Di menurut dan kembali merebahkan tubuhnya di sisi Changyi. Sepasang mata beningnya masih terus menatap Changyi dengan penuh selidik.
“Kalau begitu ceritakan padaku tentang dia Kakak. Siapa namanya? Dan bagaimana Kakak dan dia bisa berpisah seperti ini? Kenapa Paman Xu Da tidak membawa dia juga?” tanya Pangeran Zhu Di beruntun membuat Changyi tertawa pelan.
“Baiklah Pangeran. Saya akan menceritakannya untuk Pangeran, tapi, tolong jaga hal ini sebagai rahasia kita berdua” sahut Changyi sambil menatap Pangeran Zhu Di. “Bisakah Pangeran menjaga rahasia ini? jika sampai tersebar, maka akan sangat bahaya bagi adik saya”.
Pangeran Zhu Di mengangguk sambil mengedipkan satu matanya. Changyi tertawa tanpa suara melihat ekspresi pangeran kecil di sebelahnya.
“Ceritakan padaku” ujar Pangeran Zhu Di.
Changyi kembali menatap langit-langit ranjang. Sesaat menghela nafas sebelum kemudian kalimatnya mulai mengalir.
Dan ternyata, bercerita pada Pangeran Zhu Di sangatlah mudah bagi Changyi. Hingga kemudian, ketika Changyi telah bercerita selama beberapa lama, remaja itu terhenti mengalirkan kalimat dari bibirnya saat ia menoleh ke arah Pangeran Zhu Di dan melihat sang pangeran kecil itu telah terlelap pulas dalam posisi tidur miring menghadap ke arahnya. Changyi tersenyum, tangannya menarik sehelai selimut lembut di bawah kakinya, dan menangkupkan selimut tersebut ke atas tubuh sang pangeran keempat.
Sementara malam terus merambat menuju pagi. Prajurit jaga berdiri dalam tugas mereka dan sebagian lain berjalan mengitari area perkemahan tempat Kaisar Ming Tai Zhu berhenti untuk kegiatan berburunya.
Di depan tenda milik Changyi, terlihat duduk dalam kantuk sang Kasim Anta yang setia mengikuti pangeran kecilnya. Di sisi Kasim Anta, terlihat Tamtama Bohai duduk bersila dalam meditasi yang melarut jauh, sejauh malam yang segera berubah menjadi pagi.
****************

Setelah bercerita pada Pangeran Zhu Di, ternyata Changyi merasakan hatinya menjadi lebih baik. Meskipun bukan berarti bayangan sosok Chen menghilang dari benaknya, namun setidaknya ia bisa lebih memfokuskan perhatiannya pada kegiatan berburu di hari kedua. Dan hasilnya lebih baik dari hari pertama kemarin. Untuk kegiatan berburu kali ini, Chanyi berhasil memperoleh lima ekor rusa dan dua ekor kelinci hutan yang sangat gemuk ke hadapan Kaisar Ming Tai Zhu. Hal yang sangat menggembirakan bagi Kaisar Ming Tai Zhu karena kelinci merupakan makanan kegemaran dari Permaisuri Ma Xiuying. Dan kegembiraan pada hari kedua itu diungkapkan Kaisar dalam bentuk pesta sederhana dengan memasak daging hasil buruan untuk di makan bersama-sama serta beberapa guci anggur beras yang sangat lezat. Changyi tidak menyukai anggur beras yang lezat namun keras dan memabukkan tersebut, namun ia minum juga sedikit sekedar untuk menyenangkan hati sang kaisar. Untunglah bahwa ayah angkatnya telah mengajarinya untuk meminum anggur beras sehingga ia tak lagi kaget dengan akibat yang terasa saat air yang lezat namun keras itu meluncur menuruni kerongkongannya dan akibat selanjutnya saat air yang dibuat dari perasan beras yang di fermentasi dalam penyimpanan itu berdiam di dalam perutnya.
Hingga beberapa saat ketika sang kaisar telah kembali masuk ke dalam tendanya dengan ditemani oleh Permaisuri Ma, Changyi berlalu dari arena pesta setelah berbasa-basi sesaat pada Jenderal Lan Yu yang menanggapinya dengan dingin dan separuh tak acuh. Changyi menyibak pintu masuk tendanya yang berlapis tiga sementara telinganya masih mendengar suara pesta meriah para prajurit di tengah arena.
“Kakak?” suara panggilan tiba-tiba membuat Changyi yang hendak duduk di kursi kayu terkejut dan seketika menoleh.
“Pangeran? Bagaimana bisa Anda telah sampai di sini?” tanya Changyi saat melihat Pangeran Zhu Di mendadak muncul dari balik tirai yang membatasi ruang dimana ranjang indah Changyi dengan perangkat meja kursi yang ada di sebelahnya. 
Pangeran Zhu Di hanya tersenyum. Lalu, tanpa sepatah katapun, mendadak sang pangeran keempat menarik tangan Changyi dan segera membawanya keluar kembali dari tenda. Changyi yang terkejut hanya menurut meski sepasang alisnya berkerut. Lebih terkejut lagi saat ternyata Pangeran Zhu Di membawanya mengendap-endap di antara bagian gelap tenda-tenda perkemahan serta menghindari tempat-tempat yang berada dalam penagwasan para prajurit jaga. Hingga kemudian, setelah beberapa saat berlalu, Pangeran Zhu Di berhenti dan melepaskan tangan Changyi seolah memberi kesempatan pada remaja itu untuk mengamati keadaan sekelilingnya.
Changyi dapat mengenali tempat ini. Ini adalah bagian terluar dari lingkaran perkemahan Kaisar Ming Tai Zhu. Pada bagian pinggir ini seluruhnya adalah perkemahan tempat para prajurit dan Tamtama. Kecuali Tamtama Bohai yang selalu bertempat di depan tenda Changyi. Sebenarnya, Changyi merasa lebih senang berada di tenda prajurit daripada tenda mewah yang khusus di peruntukkan baginya dan hal itu justru membuatnya merasa jengah. Berada di antara para prajurit membuat Changyi merasa seperti berada di tengah keluarga yang sejajar dengannya dan hal itu memberinya rasa nyaman. Namun, bisakah ia menolak pemberian Kaisar Ming Tai Zhu? Bahkan ayahnya sendiri yang berpesan padanya untuk selalu berusaha menyenangkan hati Sang Kaisar Hongwu.
“Pangeran, kenapa Anda membawa saya ke tempat ini?” tanya Changyi saat tatapannya kembali pada Pangeran Zhu Di di sisinya.
Pangeran Zhu Di tersenyum dengan kedua mata berbinar.
“Kakak, aku ingin bertemu dengan Adik Chen. Karena itulah aku mengajak Kakak ke tempat ini. Aku sudah meminta Kasim Anta untuk mengatur jalan keluar bagi kita. Juga, Paman Bohai telah menunggu kita di ujung jalan di sana, di sisi lain dari hutan ini. Kata Paman Bohai, Kuil Bulan Merah tempat Adik Chen tinggal sangat dekat dari sini. Aku yakin jika kita berangkat sekarang, maka sebelum Yang Mulia Kaisar bangun, kita sudah bisa sampai lagi di perkemahan dan tak akan ada satupun yang tahu” ujar Pangeran Zhu Di dengan nada pelan nyaris berbisik.
Namun Changyi sangat terkejut mendengarnya. Kepalanya seketika menggeleng kuat-kuat.
“Tidak Pangeran. Anda tidak perlu melakukan hal ini untuk saya. Ini sangat berbahaya. Bagaimana kalau Jenderal Lan Yu mengetahui bahwa kita tidak berada di perkemahan? Ini pasti akan jadi masalah besar karena Jenderal Lan Yu pasti akan melaporkannya pada Yang Mulia Kaisar. Sebaiknya kita kembali saja Pangeran” ujar Changyi sambil menarik tangan Pangeran Zhu Di.
Namun tanpa di duga, Pangeran Zhu Di menarik tangannya dari genggaman Changyi. Pandangannya penuh rasa yakin yang sangat kuat.
“Kakak, percayalah padaku, tidak akan terjadi apa-apa. Yang Mulia Kaisar telah meminum anggur beras dalam jumlah yang cukup banyak sehingga akan tidur dalam waktu yang cukup lama. Aku sendiri yang menuangkan anggur untuk Yang Mulia Kaisar. Mengenai Jenderal Lan Yu, ia tidak akan mencariku karena Kasim Anta telah berjaga di depan tenda Kakak seperti kemarin malam sehingga semua orang akan berpikir bahwa aku menginap lagi di tenda Kakak. Paman Bohai hari ini bertugas jaga di sekeliling perkemahan sehingga tidak akan ada kecurigaan. Kakak, aku melakukan hal ini bukan hanya untuk Kakak tapi juga untukku sendiri. Aku sangat ingin bertemu dengan Adik Chen” sahut Pangeran Zhu Di.
Changyi menatap Pangeran Zhu Di dengan pandangan takjub. Bagaimana mungkin pangeran sekecil ini telah bisa merencanakan sesuatu dengan begitu teliti hingga hal yang kecil?.
“Pangeran, jangan katakan bahwa Anda yang mengajak Yang Mulia Kaisar untuk berpesta malam ini?” tebak Changyi sambil mengangkat satu alisnya.
Pangeran Zhu Di tertawa.
“Tidak apa-apa bukan? Yang Mulia Kaisar seringkali merasa gelisah. Aku tidak tahu apa yang membuatnya gelisah tapi aku tahu bahwa Yang Mulia Kaisar sering tidak bisa tidur di malam hari. Karena itu, aku dengan sengaja mengajak Yang Mulia untuk memasak daging kelinci yang Kakak dapatkan siang tadi dan sedikit minum sebagai bentuk suka cita. Dan ternyata, Yang Mulia Kaisar menyetujuinya. Malam ini, yang Mulia bisa tidur dengan pulas, dan mungkin itu adalah tidur pulasnya yang pertama setelah berhari-hari yang lalu” jawab Pangeran Zhu Di. Kepalanya sedikit meneleng ke samping.
“Baiklah…” jawab Changyi pada akhirnya. “Jika begitu, marilah ikut dengan saya Pangeran. Mulai dari titik ini, saya yang akan memandu Anda untuk sampai di Kuil Bulan Merah”.
Pangeran Zhu Di tersenyum senang. Kepalanya mengangguk penuh semangat.
“Apakah Kakak tahu juga bahwa Kuil Bulan Merah sangat dekat dengan tempat ini?” tanya Pangeran Zhu Di sambil mengikuti Changyi.
Changyi tak segera menjawab. sepasang matanya beredar menatap sekeliling. Ia sangat mengenal seluruh area perkemahan ini sebab sebagai calon prajurit khusus, ia mendapat perintah untuk berjaga meski hanya beberapa saat bersama dengan Lan Fengyin dan Lan Dingziang. Meski dua anak tersebut tetap berseteru dengannya, namun dalam melaksanakan tugas tersebut, mereka bertiga dapat melaksanakannya dengan baik selama dua hari ini. Lebih dari itu, sesungguhnya, Changyi telah mengenali kawasan hutan yang dipilih sebagai tempat berburu Kaisar Ming Tai Zhu kali ini. ini adalah hutan di mana ia pernah mendapat tugas sebagai pencari kayu bakar untuk kuil saat ia masih tinggal di Kuil Bulan Merah dulu. Ia, bisa di katakan, sangat mengenali setiap detil dari sudut hutan ini. Karena itulah ia bisa mengetahui titik-titik dimana biasanya binatang buruan berkeliaran atau berhenti untuk minum air.
Namun, karena ia sangat mengenali hutan ini pula, menjadi sangat sulit bagi Changyi untuk menepis bayangan Chen.
“Lewat sini Pangeran” bisik Changyi sambil menggamit lengan Pangeran Zhu Di. Langkahnya sedikit bergegas dan ia sengaja mengambil sisi di balik bayangan gelap pepohonan untuk menyembunyikan keberadaan mereka dari pandangan para prajurit jaga. Lebih hati-hati lagi karena ia tahu, Jenderal Lan Yu nyaris tidak pernah tidur dalam melakukan penjagaan terhadap Kaisar Ming Tai Zhu di lapisan luar setelah lapisan dalam di penuhi oleh penjagaan dari prajurit khusus kaisar.
Pangeran Zhu Di menurut. Langkahnya mengendap di sisi Changyi sementara remaja yang elok tersebut menyibakkan segerumbul semak di balik sebatang pohon besar. Di balik semak tersebut, terdapat sebuah jalan kecil yang hanya setapak saja lebarrnya. Changyi yang membuat jalan setapak kecil tersebut sebagai jalan pintas menuju ke Kuil Bulan Merah.
“Di mana Paman Bohai menunggu kita Pangeran?” tanya Changyi setelah mereka mulai menyusuri jalan setapak di balik gerumbul semak. Nada suaranya tak lagi berbisik membuat Pangeran Zhu Di tahu bahwa kini mereka aman.
“Aku mendengar Paman Bohai mengatakan bahwa ia akan menunggu kita di ujung jalan di sisi lain dari hutan ini. Tapi aku juga tidak tahu, di mana tempat yang di maksud oleh Paman Bohai itu” sahut Pangeran Zhu Di dengan jujur.
Namun Changyi mengangguk. Sejenak ia berhenti berjalan dan menatap Pangeran Zhu Di di sisinya.
“Pangeran, apakah Anda masih ingat bagaimana caranya untuk berlari cepat tanpa merasa lelah?” tanya Changyi sambil tersenyum.
Pangeran Zhu Di tertawa dengan nada ceria. Kepalanya mengangguk kuat.
“Tentu saja Kakak, aku akan selalu mengingatnya. Bukankah Kakak yang mengajarkan padaku?” sahut Pangeran Zhu Di senang. “Apakah kita akan menggunakannya sekarang?”.
Changyi mengangguk. “Itu benar Pangeran. Ayolah….mulai dari sini sampai di ujung jalan di mana Paman Bohai menunggu kita, kita akan berlari. Apakah Anda siap Pangeran?”.
Pangeran Zhu Di mengangguk dengan tegas penuh semangat.
“Ya Kakak. Aku siap!” jawabnya cepat.
Changyi membalas anggukan Pangeran Zhu Di, lalu, mendadak, tangannya terayun ke arah Pangeran Zhu Di dan menarik lengan sang pangeran keempat. Detik selanjutnya, dua remaja itu telah berlari dengan cepat menyusuri jalan setapak yang semakin lama semakin menanjak naik. Dua bayangan remaja yang berlari dengan cepat tanpa suara itu kini telah berubah bentuk menjadi bayang-bayang sekilas di antara pepohonan hutan tanpa meninggalkan jejak suara. Hanya sebuah suara siutan angin yang menerpa ujung-ujung dedaunan membuat daun-daun pohon hutan yang telah tertidur itu seketika bangun dan bergoyang oleh gangguan yang datang menerpa mereka dalam sapuan lembut dan sesaat angin yang bertiup.
Hingga kemudian….
“Tuan Muda Xu!” sebuah panggilan terdengar membuat Changyi seketika menghentikan larinya disusul oleh Pangeran Zhu Di.
“Paman Bohai!” balas Changyi ganti memanggil. Sepasang matanya beredar untuk mencari sosok Tamtama Bohai dan segera menemukannya saat sesosok manusia muncul dari balik sebatang pohon besar.
“Paman Bohai?” panggil Pangeran Zhu Di. Ada gelagat sedikit terengah dalam suara Pangeran Zhu Di.
Tamtama Bohai berjalan menuju dua remaja yang telah berdiri di depannya lalu membungkukkan tubuhnya yang tinggi besar dan berbalut sebuah mantel hitam panjang.
“Hormat hamba Pangeran Zhu Di dan Tuan Muda Xu” ucap Tamtama Bohai sambil tersenyum.
Pangeran Zhu Di mengangguk senang. Sementara Changyi kembali mengedarkan matanya menatap sekeliling.
“Apakah Paman Bohai telah lama menunggu?” tanya Changyi kemudian. “Apakah ada prajurit lain di sini?”.
“Tidak Tuan Muda. Saya menunggu Anda berdua selama sepeminuman teh. Dan saya hanya sendiri sebab saya khawatir jika ada prajurit lain, maka justru akan berbahaya” jawab Tamtama Bohai.
“Apakah Paman membawa kuda?” tanya Changyi. Ia berpikir bahwa sisa perjalanan menuju kuil akan lebih baik di lakukan dengan berkuda setelah ia melihat sang pangeran yang sedikit terengah-engah. Sebab, meskipun sisa perjalanan tidak jauh lagi, namun jalan yang akan di lalui cukup menanjak dan Changyi tak sampai hati untuk mengajak Pangeran Zhu Di berlari.
Tamtama Bohai mengagguk.
“Tetapi hanya satu Tuan Muda, sebab jika dua kuda, maka getaran dari tapak kuda akan bisa di dengar di perkemahan jika Jenderal Lan Yu menempelkan telinganya di tanah. Karena itu, saya hanya membawa kuda Tuan Muda saja. Ia kuat dan ia telah terlatih dengan jalan yang sulit” jawab Tamtama Bohai.
Changyi mengangguk senang sementara Tamtama Bohai menyelinap ke balik batang pepohonan kembali. Dan sesaat kemudian, prajurit bertubuh tinggi besar itu telah kembali sambil menuntun si Hitam. Pangeran Zhu Di segera melonjak gembira.
“Jadi, kita akan naik kuda ke kuil?” tanya sang pangeran sambil menatap si Hitam dengan pandangan berbinar-binar.
Changyi tertawa sementara tangannya menerima tali kekang si hitam dari Tamtama Bohai dan segera melompat naik ke atas punggung kudanya.
“Benar Pangeran, nah…sekarang, naiklah” jawab Changyi.
Pangeran Zhu Di mengangguk penuh semangat dan segera melompat ke belakang Changyi dan berpegang pada pinggang sahabatnya.
“Apakah Paman Bohai akan ikut dengan kami?” tanya Changyi sambil menatap prajurit kepercayaan ayahnya.
Tamtama Bohai menggeleng sambil tersenyum.
“Tidak Tuan Muda, saya akan berjaga di tempat ini mungkin saja prajurit Jenderal Lan Yu akan berkeliling hingga tempat ini. Tuan Muda dan Pangeran silahkan naik ke kuil” jawab Tamtama Bohai.
Changyi mengangguk setuju.
“Baiklah Paman” jawabnya. “Jika begitu, kami akan naik sekarang dan jika ada sesuatu yang berbahaya, maka segera berikan isyarat padaku”.
Tamtama Bohai tertawa pelan.
“Tentu saja Tuan Muda. Saya pasti akan memberikan isyarat pada Tuan Muda” ujarnya sambil mengangguk.
“Masih ingat isyarat rahasia yang kuajarkan pada Paman bukan?” tanya Changyi sambil tersenyum.
“Tentu saja Tuan Muda” jawab Tamtama Bohai tertawa. “Jika nanti terjadi keadaan yang berbahaya, saya akan segera memberikan isyarat pada Tuan Muda Xu dan saya berharap Anda akan segera keluar dan pergi dari kuil”.
“Baiklah Paman” jawab Changyi sambil mengangguk. “Kalau begitu, kami berangkat sekarang”.
“Baik Tuan Muda. Hati-hatilah” Tamtama Bohai membungkukkan tubuhnya.
Tak ada kata lagi. Changyi segera menggebrak kudanya membuat si Hitam segera melompat cepat menembus kelebatan hutan, menapaki jalan setapak sempit di depannya seolah kuda tersebut telah mengetahui arah mana yang di tuju. Keempat kakinya menari dalam irama yang cepat namun tak menimbulkan suara di tanah hutan yang lembab nyaris basah oleh embun malam yang telah turun.
Hingga, hanya dalam waktu yang singkat, Pangeran Zhu Di telah melihat gerbang kuil yang terlihat kokoh namun sederhana, terbuat dari pahatan batu yang di ukir dengan lampu kertas yang bersinar temaram. Pangeran Zhu Di hampir mengira bahwa kuil itu tersebut sangat sepi hingga mendadak dari dalam kuil melesat sesosok tubuh kecil yang melompat cepat dan sangat ringan dan tiba-tiba saja sesosok tubuh yang barus saj muncul dari dalam kuil tersebut telah berdiri tepat di depan pintu gerbang.
“Kakak!....Kakak datang!” seru sesosok remaja bertubuh kecil dan kurus dalam balutan baju lusuh berhias beberapa tambalan yang jelas terlihat.
Pangeran Zhu Di segera mengingat remaja itu sebagai anak yang berdiri di sisi jalan kemarin pagi saat mereka tengah dalam perjalanan menuju lokasi perkemahan.
Si Hitam telah berhenti hanya dalam jarak satu tombak di depan anak remaja bertubuh kecil dan kurus yang berdiri menanti dengan wajah penuh binar gembira sementara Changyi sendiri seperti terlupa pada keberadaan Pangeran Zhu Di di belakangnya segera melompat turun. Gerakannya sangat ringan dan meski Changyi duduk tepat di depan sang pangeran keempat, namun ia sama sekali tak menyentuh Pangeran Zhu Di saat bergerak dengan ringan dan cepat turun dari atas punggung kudanya.
Selanjutnya, tanpa kata-kata, Changyi segera berlari ke arah anak remaja kecil yang menantinya dan kemudian memeluknya dalam pelukan yang erat.
“Adik chen…bagaimana keadaanmu? Apakah kau baik-baik saja? Apakah kau senang dan bahagia selama aku pergi?” bisik Changyi di atas kepala Chen.
Chen mengerjab-kerjabkan sepasang matanya yang terasa panas. Senyum merekah di bibirnya.
“Ya Kakak…aku baik-baik saja. Selain rasa rindu pada Kakak, semua kebutuhanku terpenuhi di sini dan Bapak Tua sangat sayang padaku” jawab Chen membuat Changyi mendesah dengan penuh rasa lega dan perlahan melepaskan pelukannya pada Changyi.
Chen menggunakan kesempatan saat Changyi telah melepaskan pelukannya untuk mengamati Changyi dengan lebih jelas. Senyum lebarnya merekah dan kedua matanya yang bening dipenuhi binar bangga.
“Wah…Kakak…coba lihat Kakak sekarang. Kakak gagah sekali. Juga sangat tampat dan harum. aku dan juga semua biksu di sini telah mendengar bahwa Kakak telah menjadi putra angkat dari Panglima Tertinggi kerajaan. Aku senang sekali mendengarnya. Meskipun aku sedikit cemas bahwa setelah menjadi putra seorang Jenderal Besar, maka Kakak akan sangat sibuk dan tidak bisa lagi menemuiku di sini” ucap Chen sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Aku tidak mungkin melupakanmu Adik Chen. Tidak mungkin aku melupakanmu” sahut Changyi sambil memegang kedua bahu Chen dan sedikit mengguncangnya. “Kau percaya padaku bukan?”.
Chen tertawa pelan hingga deretan giginya yang putih rapi terlihat dan berkilau cemerlang.
“Aku selalu percaya pada Kakak” sahut Chen sambil mengangguk.
“Tidakkah aku perlu berkenalan dengan Adik Chen?”sebuah suara membuyarkan perhatian Changyi dan Chen membuat keduanya seketika menoleh ke arah asal suara.
Changyi segera teringat bahwa ia datang dengan membawa seseorang bersamanya. Bibirnya mengurai senyum sementara tangannya meraih tangan Pangeran Zhu Di telah berdiri tepat di belakangnya.
“Ah…Pangeran…maaf saya telah melupakan Anda” ucap Changyi sambil menarik tangan Pangeran Zhu Di hingga kini sang pangeran kecil itu berdiri di sisinya. Pandangannya sesaat teralih pada Chen sebelum kemudian kembali pada sang pangeran keempat. “Pangeran, perkenalkan, inilah Adik Chen, adik saya yang telah saya ceritakan pada Pangeran kemarin malam”.
Pangeran Zhu Di mengembangkan senyum miring khasnya samba menatap ke arah Chen sementara Changyi beralih pada Chen yang juga tengah menatap Pangeran Zhu Di.
“Adik Chen…perkenalkan, ini adalah Pangeran Zhu Di, putra keempat Kaisar Ming Tai Zhu” ucap Changyi pada Chen.
Chen segera membungkukkan tubuhnya ke arah Pangeran Zhu Di sebagai penghormatan pada sang pangeran putra keempat Kaisar Hongwu tersebut sementara Pangeran Zhu Di justru tertawa dan kemudian menarik lengan Chen dan sesaat kemudian, sang pangeran kecil itu telah memeluk Chen membuat changyi terkejut dan Chen seketika merasa sangat kikuk.
“Ah Adik  Chen…akhirnya kita bertemu. Aku telah mendengar cerita tentangmu dari Kakak Xu dan dari caranya bercerita tentangmu, aku jadi tahu betapa besarnya perhatian Kakak Xu padamu. Sejak hari itu aku sangat ingin bertemu denganmu” ujar Pangeran Zhu Di sambil memeluk Chen.
Chen menatap Changyi dengan ekspresi bingung dan sepasang alis terangkat naik seolah ingin bertanya “Ada apa dengannya?” sementara Changyi justru mengangkat bahunya seolah jawaban “Entahlah…dia memang seperti itu” atas pertanyaan yang tersirat dari ekspresi Chen.
“Eh..iya Pangeran…terima kasih karena  Anda begitu memperhatikan hamba” sahut Chen sambil perlahan menggerakkan tubuhnya sebagai usaha agar Pangeran Zhu Di melepaskan pelukannya. “namun, alangkah baiknya jika kita masuk ke dalam karena Bapak Biksu Tua telah menunggu Anda dan Kakak Changyi”.
Dan Pangeran Zhu Di memang benar-benar melepaskan pelukannya. Pandangannya sessat menetap pada wajah Chen sebelum kemudian berpaling pada Changyi.
“Bapak Biksu Tua?” tanya Pangeran Zhu Di pada Changyi.
Changyi mengangguk. “Benar Pangeran” sahutnya. “Bapak Biksu Tua adalah Biksu yang menjadi kepala kuil ini. Dan karena usia yang sudah tua, maka kami memanggilnya Bapak Biksu Tua”.
“Lalu…apa maksudnya ‘menungguku dan Kakak Xu? Apakah itu berarti, Bapak Biksu Tua bisa mengetahui bahwa kita akan datang ke tempat ini? ataukah Paman Bohai telah lebih dulu memberitahu pada Bapak Biksu Tua bahwa kita akan datang ke sini?” tanya Pangeran Zhu Di kembali. Sepasang alisnya sedikit berkerut sementara benaknya berputar menebak-nebak jawaban yang masuk akal.
Changyi dan Chen saling berpandangan sejenak sebelum kemudian Changyi mengangguk.
“Itu benar Pangeran” jawab Changyi membuat sepasang mata jernih Pangeran Zhu Di terbelalak.
“Tapi…bagaimana bisa?” tanya Pangeran Zhu Di dengan nada takjub.
“Jika Pangeran ingin mengetahuinya, sebaiknya Anda bertanya langsung pada Bapak Biksu Tua di dalam. Mari silahkan Pangeran…ikuti saya” kali ini Chen yang menjawab. Lalu, tanpa menunggu kalimat selanjutnya dari mulut Pangeran Zhu Di, remaja bertubuh kecil dan kurus itu segera mendahului melangkah masuk ke dalam kuil setelah terlebih dahulu membungkuk ke arah Pangeran Zhu Di.
“Mari silahkan Pangeran” Changyi mempersilahkan Pangeran Zhu Di yang masih terlihat penasaran untuk masuk ke dalam kuil lebih dahulu. Dan selanjutnya, remaja berparas cemerlang itu mengikuti sang pangeran keempat setelah mengambil tali kekang si hitam dan menuntun kuda yang terlihat sangat menurut pada Changyi itu untuk memasuki Kuil Bulan Merah.
Di bagian dalam kuil, ternyata telahmenunggu banyak biksu yang duduk dalam deretan yang rapi. Saat Pangeran Zhu Di dan Changyi masuk ke dalam aula yang luas, kesemua biksu tersebut segera berdiri dari duduk mereka dan membungkuk dengan penuh hormat.
“Hormat kami untuk Yang Mulia Pangeran Zhu Di dan Tuan Muda Xu Changyi. Selamat datang di Kuil Bulan Merah, semoga selalu dalam kesehatan, keselamatan dan panjang umur” seru semua biksu dalam aula dengan suara serempak.
Dua rekasi berbeda segera terlihat.
Sang pangeran keempat mengangguk dengan senyum ramah yang merekah indah, sedangkan Changyi justru terlihat sangat jengah dengan penghormatan yang diberikan oleh semua biksu padanya dan pangeran Zhu Di. Mungkin saja, bagi Pangeran Zhu Di, hal ini telah biasa di terimanya dan memang sebagai panegran keempat, pangeran Zhu Di pantas untuk menerima penghormatan dari semua orang. Tapi dirinya, siapalah dirinya ini? Ia hanya seorang anak tanpa orangtua dengan nasib sangat beruntung bisa menjadi bagian dari keluarga seorang Jenderal Besar. Menerima penghormatan dari para prajurit, dayang dan kasim atau rakyat di luar tembok istana telah biasa ia terima tanpa rasa jengah. Namun, menerima penghormatan dari para biksu sementara ia pernah tinggal dan berbaur bersama dengan mereka selama dua tahun lamanya, sungguh alangkah berat baginya. Changyi justru merasa seperti di tampar. Karena itu, rona merah segera melapisi kulit wajahnya yang halus bersinar.
Namun, ia takbisa menampik penghormatan itu sekarang. dalam hati ia menyadari, bahwa penghormatan itu sesungguhnya diberikan pada Jenderal Xu Da, ayah angkatnya yang kini namanya telah melekat di depan namanya sendiri. Karena itu, Changyi kemudian tersenyum kepada seluruh biksu dan menangkupkan sepasang tangannya di depan dada sebagai bentuk rasa terima kasih pada mereka. Hingga kemudian, saat Changyi dan Pangeran Zhu Di telah sampai di depan Biksu Tua, para biksu muda itupun segera berlalu meninggalkan ruang aula.
“Bapak Guru” panggil Changyi pada Biksu Tua yang duduk bersila di bawah patung besar Budha. Tubuhnya segera membungkuk dengan sepasang tangan mengatup di depan dada sebagai penghormatan pada lelaki tua yang masih terlihat sangat segar dalam usia senjanya tersebut. Pangeran Zhu Di mengikuti apa yang dilakukan oleh Changyi setelah sesaat menatap sang Biksu Tua di depan mereka dengan tatapan menyelidik.
“Changyi….akhirnya kau pulang” sahut Biksu Tua sambil menepuk bahu Changyi dan sekilas mengelus kepalanya. Lalu, pandangan sang biksu yang sangat teduh tersebut beralih pada Pangeran Zhu Di.
“Selamat datang di kuil kami Yang Mulia” ucap Biksu Tua pada Pangeran Zhu Di sambil membalas penghormatan dari Pangeran Zhu Di dengan sedikit membungkukkan tubuhnya.
Pangeran Zhu Di tersenyum dan mengangkat wajahnya. Rona gembira nyata tersirat di wajahnya yang tampan.
“Saya sangat senang bisa bertemu dengan Bapak Guru, Kakak Xu telah bercerita tentang Bapak Guru pada saya. Mohon berkati saya Bapak Guru” sahut Pangeran Zhu Di sambil kembali membungkukkan tubuhnya di depan Biksu Tua.
Sang Biksu Tua tertawa. Tangannya yang halus dan sejuk bergerak ke arah kepala Pangeran Zhu Di dan mengelusnya sama seperti yang ia lakukan pada Changyi.
“Anda akan di liputi oleh kejayaan Yang Mulia. Nama Anda akan di kenal oleh banyak sekali orang karena kejayaan Anda bahkan hingga negeri-negeri di seberang samudera. Tetapi, Anda harus bersabar dan jangan pernah menurutkan keinginan hati yang hanya membawa kesenangan sesaat saja karena itu akan membuat Anda kehilangan sesuatu yang sangat berharga dari sisi Anda” ucap Sang Biksu Tua dengan suara pelan namun jernih.
Pangeran Zhu Di kembali tersenyum dan mengangguk.
“Terima kasih untuk berkat dari Bapak Guru. Saya akan selalu mengingat nasihat dari Bapak Guru” sahut Pangeran Zhu Di kemudian.
Changyi menatap Sang Biksu Tua dan Pangeran Zhu Di bergantian sambil tersenyum. Ia benar-benar gembira saat ini. Rasa sedih dan penat dalam hatinya selama beberapa hari kini lenyap seketika. Karena itu, ketika Sang Biksu Tua mengajaknya untuk berbincang-bincang sejenak, Changyi segera menyambutnya dengan gembira dan penuh semangat. Kemudian, ketika tiba giliran Pangeran Zhu Di yang terlibat pembicaraan dengan Sang Biksu Tua, Changyi menggeser duduknya dan setelah berpamitan pada sang guru, ia segera berjalan keluar dari aula dan menemui biksu-biksu lain yang duduk menunggu. Dan kali ini, Changyi tidak ragu-ragu lagi. di dekati dan dipeluknya para biksu itu satu demi satu dengan kerinduan yang mendalam. Para biksu membalas pelukan Changyi dengan gembira dan sesaat kemudian, suara tawa mengalir dalam nada yang bahagia.
Pangeran Zhu Di masih belum meninggalkan aula tempatnya berbincang dengan Biksu Tua dan Changyi menggunakan kesempatan itu untuk duduk bersama para biksu muda hingga kemudian, pembicaraanpun mengalir dengan ringan dan penuh canda.
“Bapak Guru, terlihat masih sangat segar. Aku sangat senang mengetahuinya” ucap Changyi pada biksu muda yang duduk di sampingnya.
“Itu benar” sahut biksu muda tersebut sambil menghela nafas. “Tapi Guru semakin jarang meninggalkan ruang pemujaan”.
Changyi menatap biksu muda di sisinya.
“Benarkah?” tanyanya pada sang biksu muda. “Apakah Bapak Guru juga masih sedikit makan?”.
“Semakin hari, Guru semakin sedikit makan” sahut biksu lain yang berusia sekitar dua puluhan tahun. “Pernah guru tidak makan dalam tiga hari. Kami sangat khawatir bahwa ia akan sakit tapi, saat guru keluar dari rang pemujaan, kami semua hanya melihat kesegaran di tubuh dan wajahnya. Tidak ada yang lain”.
“Dan juga, semakin hari, Guru semakin jarang keluar. Hari ini sangat istimewa karena tiba-tiba saja Guru keluar dari ruang pemujaan setelah empat belas hari lamanya berada di ruang pemujaan tanpa keluar sama sekali. Lalu, tiba-tiba tadi siang, Guru keluar dan mengatakan bahwa kau dan salah satu pangeran putra Kaisar Ming Tai Zhu akan datang” sambung biksu lain yang terlihat telah matang dalam usianya yang menginjak empat puluh tahun.
“Apakah Bapak Guru masih selalu tahu apa yang akan terjadi kemudian?” tanya Changyi nyaris berbisik. Sepasang matanya yang jernih sedikit menyipit.
Beberapa biksu tertawa melihat ekspresi Changyi.
“Itu benar…bahkan sekarang, lebih jauh lagi. Sepertinya, Guru sudah mulai menyatu dengan Budha” sahut salah satu biksu yang berusia lebih dari lima puluh tahun. Wajahnya bersih bersinar dengan kulit wajah yang sehalus kulit bayi. “Saat hari kau di bawa pergi oleh Jenderal Xu Da, beberapa dari kami menangis termasuk adikmu itu. Lalu, Guru berkata, kenapa kami menangis sedangkan Jenderal Xu Da datang untuk menjemput putranya. Jadi sudah seharusnya kau pergi mengikuti ayahmu”.
“Lalu” sambung biksu muda yang duduk tepat di samping Changyi. “Beberapa bulan setelah kau pergi, kami mendengar bahwa Jenderal Xu Da telah membawa putranya yang sangat cemerlang secara terbuka di depan umum dan rakyat ramai. Kami tidak perlu datang untuk melihat putra Jenderal Xu Da yang sangat cemerlang itu karena kami sudah tahu bahwa itu adalah kau Changyi”.
“Tapi Changyi…meskipun hal tersebut benar, kau tidak perlu berbisik-bisik apalagi dengan ekspresi wajah seperti itu. Aku sangat yakin, Guru sudah tahu dan mendengar semua yang kita bicarakan saat ini” ujar biksu lain dengan suara jernih dan tenang yang segera di sambut dengan tawa oleh biksu-biksu lain.
Changyi tersenyum dan menundukkan wajahnya yang memerah karena malu. “Ah….aku tidak sehebat itu” bisiknya dengan pipi menyemburat malu.
Tawa para biksu semakin panjang mendengar kalimat Changyi dan wajah remaja tersebut yang tersipu-sipu.
“Jika begitu, tak ada lagi yang bisa disembunyikan dari Bapak Guru” sahut Changyi kemudian dengan suara pelan.
Biksu-biksu lain segera mengangguk membenarkan ucapan Changyi.
“Lalu, bagaimana dengan Adik Chen? Apakah ia bisa hidup dengan baik setelah aku pergi ke Yingtian? Apakah ia merepotkan kakak-kakak semuanya?” tanya Changyi kemudian.
Kali ini, biksu yang berusia sekitar lima puluhan tahun dan berkulit sehalus bayi yang angkat bicara lebih dulu.
“Tidak Changyi….itu tidak benar” ujar sang biksu sambil menggelengkan kepalanya yang gundul bersih. “Pada awalnya, Chen memang sangat sedih karena harus berpisah denganmu. Tapi, setelah mendengar dari Guru bahwa sesungguhnya Jenderal Xu Da datang untuk menjemput putranya, percaya atau tidak, Chen menjadi orang yang paling gembira di antara kami semua. Setiap hari ia tertawa dan bernyanyi. Lalu, saat tersiar kabar bahwa Jenderal Xu Da telah mengenalkan putranya yang sangat cemerlang di depan rakyat ramai, Chen hampir-hampir tak bisa menahan kegembiraannya. Ia pergi ke puncak gunung dan berteriak memuji Thian yang perkasa lalu mengucapkan terima kasihnya dengan bersujud berkali-kali hingga dahinya terluka dan mengalirkan darah”.
Changyi terbelalak mendengar penjelasan dari biksu yang terlihat teduh dan bijaksana tersebut. Namun hanya sesaat, karena kemudian kepalanya segera tertunduk. Sepasang matanya mengerjab-kerjab untuk menyembunyikan rasa hangat yang merebak. Begitukah? Chen begitu bahagia karena melihat ia masuk dalam kehidupan yang sangat terhormat dan menjalani kehidupannya dengan bahagia meski mereka harus terpisah. Sementara ia, berapa banyak ia memikirkan Chen sebelum beberapa hari yang lalu ketika batinnya dihimpit rasa rindu pada adiknya itu?. Kehidupan istana telah merampas begitu banyak tempat dalam benaknya hingga ia hanya memiliki sangat sedikit tempat tersisa untuk memikirkan Chen. Mendadak Changyi merasa malu. Ia, yang selama ini selalu merasa memikirkan tentang hal baik bagi Chen, ternyata telah kalah jauh di banding dengan adiknya yang bertubuh kecil dan kurus itu. Siapa memikirkan siapa? Kenyataannya, di balik tubuh Chen yang kecil kurus itu tersembunyi sebuah jiwa dan dunia yang besar dan luas.
“Lalu, di mana Adik Chen sekarang? aku tidak melihatnya lagi sejak kami masuk ke ruang aula” tanya Changyi sambil menatap biksu-biksu di sekitarnya.
“Pastinya ia berada di dapur” jawab biksu yang terlihat paling ceria. Biks tersebut duduk dua jeda dari Changyi. Usianya sekitar dua puluh dua atau dua puluh tiga tahun. “Sejak ia mendengar dari Guru bahwa kau akan datang, Chen hampir tidak meninggalkan dapur. Kupikir ia pasti sedang menyiapkan makanan untukmu dan Pangeran”.
“Benar Changyi. Kau tunggu saja” sahut biksu lain. “Sebentar lagi, adikmu pasti akan segera keluar dan membawa banyak makanan untuk kita semua”.
“Chen itu, semakin hari ia semakin aneh saja. Tubuhnya kecil dan kurus tapi kekuatannya sangat besar sehingga ia bisa memasak begitu banyak sendirian tanpa sedikitpun terlihat lelah. Dan sepertinya, ia semakin dekat dengan Guru. Ia sangat sering berada di ruang pemujaan saat Guru tidak juga keluar. Kami tidak tahu apa yang mereka kerjakan, tapi, Chen semakin lama semakin terlihat berbeda” ujar biksu bertubuh gemuk yang berusia tiga puluhan tahun. Ia duduk agak jauh dari Changyi namun Changyi dapat mendengar dengan jelas setiap kata yang diucapkannya.
Changyi menoleh ke arah biksu tersebut dengan sepasang alis berkerut.
“Apa maksud Kakak?” tanya Changyi kemudian. “Aneh bagaimana yang Kakak maksudkan?”.
Sang biksu bertubuh gemuk mengangkat bahunya yang berlemak.
“Maksudku…Chen itu, ia semakin sulit untuk ditebak, sama seperti Guru sendiri. Ia sangat berbeda denganmu Changyi. Saat kami bersamamu, kami bisa menebak apa yang kau rasakan. Tapi, kami benar-benar sulit untuk menebak apa yang sedang Chen pikirkan atau akan ia lakukan. Kami juga tidak tahu lagi, sejauh mana ilmu yang ia miliki karena Chen tidak pernah lagi berlatih dengan kami. Hari-harinya habis untuk mencari daun-daun untuk herbal pengobatan serta bahan makanan” ujar sang biksu gemuk sambil menatap jauh ke arah pintu dapur di mana asap lembut dan aroma makanan tercium dalam aliran udara yang mengalir.
“Itu benar” ujar biksu muda di sisi Changyi. “Dan khusus tentang makanan yang dimasaknya, kami tidak tahu bagaimana Chen berlatih untuk memasak dengan cara yang begitu  hebat. Tapi, setiap makanan yang dibuatnya, meski hanya terbuat dari bahan yang sangat sederhana, namun selalu memiliki rasa yang luar biasa. Ia bahkan pernah memasak dengan batu. Kami tidak tahu  bahwa ada beberapa jenis batu yang bila di gunakan dalam masakan maka bisa memberikan rasa dan kelezatan pada bahan makanan yang di masak”.
‘Sudahlah” potong biksu muda lain yang duduk tepat di depan Changyi. “Jangan bicarakan tentang masakan Chen lagi. tak akan habis kata untuk membicarakannya. Lebih baik biarkan Changyi merasakan sendiri masakan adiknya, dan nanti ia akan tahu”.
Changyi terpana sesaat namun kemudian mengangguk dan tersenyum. Tepat bersamaan dengan keluarnya Pangeran Zhu Di dari ruang aula dan berjalan menuju ke arah Changyi. Para biksu yang semula duduk di sekitar Changyi segera berdiri dan membungkuk dalam memberikan penghormatan pada pangeran kecil yang terlihat ceria dan sangat gembira itu. Pangeran Zhu Di membalas penghormatan para biksu dengan menangkupkan dua tangannya yang mungil dan putih  bersih di depan dada dan masih terus menangkupkan sepasang tangannya hingga para biksu berjalan pergi dan kembali masuk ke dalam aula untuk menemui Biksu Tua, meninggalkan sang pangeran keempat dengan Changyi sendiri.
“Apakah Anda telah mengerti tentang Bapak Guru sekarang Pangeran?” tanya Changyi sambil tersenyum.
Pangeran Zhu Di tersenyum dengan senyum separonya yang khas. Kepalanya mengangguk.
“Itu benar Kakak. Bapak Guru benar-benar sangat luar biasa. Aku bisa bertanya tentang apa saja pada Bapak Guru dan aku selalu mendapat jawaban yang tepat” jawab Pangeran Zhu Di sambil duduk di sisi Changyi. Sesaat ia menata posisi duduknya sebelum kemudian pandangannya beredar menatap kesekeliling. “Tapi, di mana Adik Chen? Kenapa ia tidak terlihat?”.
Changyi menatap ke arah pintu dapur dan melihat bahwa pertanyaan Pangeran Zhu Di segera mendapat jawaban. Chen terlihat datang sambil membawa dua nampan besar di kedua lengannya. Dalam sedetik, Changyi segera melihat kebenaran kalimat yang diucapkan oleh para biksu sebelumnya tentang kemampuan chen yang mulai tidak terukur. Dua nampan itu terlihat terlalu besar dan berat untuk ukuran dua tangkai lengan Chen yang kecil dan kurus. Namun, Chen terlihat berjalan dengan langkah cepat dan santai. Tak terkilas sedikitpun rasa berat maupun lelah di wajahnya. Bahkan wajah Chen-pun terlihat jernih tanpa kilap keringat. Dalam hati, Changyi mulai menebak-nebak, sedalam apa adiknya telah belajar ilmu dari Sang Biksu Tua?.
“Ah…itu dia Adik Chen!” seru Pangeran Zhu Di yang juga melihat kedatangan Chen dengan dua nampan di lengannya.
Chen meletakkan kedua nampan yang dibawanya di depan Changyi dan Pangeran Zhu Di dengan gerakan gesit. Di atas nampan terlihat beberapa mangkuk tanah liat lengkap dengan tutupnya dan tak ada satupun dari mangkuk tersebut yang bergeser ataupun bergerak meski Chen meletakkan nampannya dengan gerakan yang terlihat agak kasar. Dan semua itu tak lepas dari pengamatan Changyi.
“Apa ini Adik Chen?” tanya Pangeran Zhu Di sambil menatap mangkuk-mangkuk yang ditata oleh Chen di atas meja yang ada di sisi Changyi dan Pangeran Zhu Di.
Chen tersenyum.
“Hanya sedikit makanan sederhana Pangeran. Bapak Tua menginginkan agar Pangeran dan Kakak Changyi makan dahulu sebelum kembali ke perkemahan” jawab Chen.
“Waah…kebetulan sekali aku sangat lapar. Tadi saat semua orang tengah memanggang daging, aku sama sekali tidak berselera dan hanya menunggui Yang Mulia Kaisar agar meminum anggur putihnya sebanyak-banyaknya” sahut Pangeran Zhu Di dengan polos membuat Changyi seketika memutar bola matanya.
“Kalau begitu, saya berharap Pangeran akan menyukai masakan saya dan makan dengan lahap” ujar Chen sambil menyodorkan dua buah mangkuk kosong masing-masing pada Changyi dan Pangeran Zhu Di lengkap dengan satu buah sendok kayu dan sepasang sumpit. “Kakak Changyi dan Pangeran Zhu Di…silahkan bersantap”.
Changyi menatap adiknya yang terlihat bersiap-siap untuk berdiri.
“Adik Chen, kenapa kau tidak makan bersama kami? Ayolah makan bersama kami, temani kami di sini” ucap Changyi pada Chen.
“Ah ya Kakak…sebaiknya Kakak dan Pangeran Zhu Di makan lebih dulu. Aku harus mengambil makanan untuk Bapak Tua dan biksu-biksu lain di aula. Nanti, setelah aku selesai, maka aku akan kembali kemari untuk menemani Kakak dan Pangeran Zhu Di” jawab Chen.
Pangeran Zhu Di mengangguk mengerti sementara tangannya telah meraih mangkuk bagiannya.
“Ah begitu…baiklah Adik Chen…silahkan. Tapi kau harus segera kembali kemari dan makan bersama kami” ucap Pangeran Zhu Di.
Changyi mengangguk membenarkan ucapan Pangeran Zhu Di. “itu benar Adik Chen. Kembalilah setelah kau selesai”.
“Tentu” jawab Chen sambil tersenyum. “Kakak dan Pangeran Zhu Di silahkan makan. Saya akan segera kembali”.
Changyi kembali mengangguk dan sejenak menatap punggung adiknya saat Chen melangkah kembali ke arah pintu dapur kuil. Tangannya masih belum menyentuh mangkuk kosong bagiannya sementara Pangeran Zhu Di justru telah membuka tutup-tutup mangkuk besar dan kemudian, sepasang mata jernih Pangeran Zhu Di melebar dengan binar-binar cerah. Meski sepasang alisnya terlihat sedikit kerut saat ia melihat beberapa jenis masakan yang nampaknya belum pernah dilihat sebelumnya. Sesaat kemudian, tangan sang pangeran keempat tersebut telah sibuk mengambil beberapa jenis makanan dalam mangkuk menggunakan sumpit besar yang disediakan oleh Chen, memindahkan makanan tersebut ke dalam mangkuknya sendiri hingga dalam waktu singkat, mangkuk sang pangeran telah penuh oleh makanan, dan kemudian, sambil diliputi ekspresi rasa ingin tahu, sang pangeran keempat yang menjadi kesayangan semua orang di istana itu mulai menyuap makanan yang terhidang di depannya.
Hanya beberapa detik untuk merasakan makanan yang telah masuk ke dalam mulutnya, detik selanjutnya, Pangeran Zhu Di berhenti mengunyah dan menatap makanan di dalam mangkuknya. Changyi yang melihat hal itu, menjadi sedikit cemas bila saja sang pangeran ternyata tidak menyukai makanan yang dimasak oleh Chen. Karena itu, Changyi segera meletakkan kembali sumpit besar yang semula hendak digunakannya untuk mengambil beberapa potong sayuran dari dalam mangkuk besar.
“Kenapa Pangeran? Apakah makanan yang dihidangkan oleh Adik Chen tidak enak? Apakah Anda tidak menyukai makanan-makanan ini?” tanya Changyi beruntun dengan rasa cemas yang tersirat dalam suaranya.
Pangeran Zhu Di tidak segera menjawab. Tatapannya masih terarah pada makanan dalam mangkuknya, sementara sumpit yang dipegangnya digunakan untuk membalik-balik makanan yang ada dalam mangkuk tersebut. 
“Aneh sekali” gumam Pangeran Zhu Di sambil terus membalik sepotong sayur dalam mangkuknya. Lalu, dengan gerakan cepat, disuapnya sayur tersebut dan dikunyahnya dengan penuh semangat. Sejenak kemudian, sang pangeran keempat itu telah menyuap setiap makanan dalam mangkuknya hingga habis tak bersisa. Bahkan kemudian, Pangeran Zhu Di kembali mengambil makanan dari mangkuk besar dan kembali menyuapnya. Demikian berkali-kali hingga kemudian, sang pangeran yang ceria itu meletakkan mangkuknya yang telah kosong dan menyandarkan tubuhnya pada tiang kuil di belakangnya dengan gerakan malas karena rasa kenyang.
Changyi yang melihat bagaimana sang pangeran keempat menghabiskan beberapa mangkuk makanan sekaligus,  maka dengan sendirinya kecemasan yang sempat menghinggapi dirinya bahwa Pangeran Zhu Di tidak menyukai masakan Chen segera tertepis. Sebuah senyum menyeruak di bibir Changyi.
“Apakah Anda merasa kenyang Pangeran?” tanya Changyi sambil meletakkan mangkuknya yang telah pula kosong. Ia telah terbiasa memakan masakan Chen meski selama satu tahun hingga hari ini, ia harus membiasakan lidahnya dengan cita rasa makanan buatan juru masak istana. Karena itu, ia telah merasa cukup dengan menghabiskan satu mangkuk penuh nasi putih harum dan satu mangkuk penuh sayuran. Rasa rindu dalam hatinya pada Chen lebih tercukupi dengan menatap, memeluk dan mendengar suara adiknya itu.
“Benar Kakak. Sungguh memalukan sekali. Aku kekenyangan sampai perutku terasa seperti mau pecah” jawab Pangeran Zhu Di sambil mengelus perutnya.
“Jika demikian, apakah itu artinya Anda menyukai masakan saya Pangeran?” tanya Chen mengejutkan Changyi dan Pangeran Zhu Di yang sama sekali tak melihat kapan adanya anak bertubuh kecil dan kurus itu datang.
“Adik Chen, kapan kau datang? Kenapa tiba-tiba kau sudah ada di sini?” tanya Changyi dengan alis berkerut. Dalam hati ia semakin bertanya-tanya, sejauh mana sebenarnya keilmuan Chen sekarang.
Pangeran Zhu Di tertawa pelan mendengar pertanyaan Changyi.
“Mungkin karena kita sibuk menyantap masakan Adik Chen, sehingga kita tidak tahu bahwa dia telah datang di sisi kita Kakak” ujar Pangeran Zhu Di menjawab pertanyaan Changyi.
Chen mengangguk sambil tersenyum. “Anda benar Pangeran. Sebenarnya saya telah ada di dekat Kakak Changyi dan Pangeran Zhu Di, tapi karena Kakak dan Pangeran sibuk makan, saya hanya duduk diam menunggu”.
Changyi manggut-manggut sementara Pangeran Zhu Di justru terlihat begitu bersemangat. Jarinya menunjuk ke arah mangkuk-mangkuk besar yang isinya telah kosong setelah berpindah ke dalam perutnya dan Changyi.
“Adik Chen, apa sebenarnya yang kau masak? Kenapa begitu lezat? Aku mengenali beberapa jenis bahan dalam masakan ini meski di istana, bahan-bahan itu tidak lagi dipakai dalam masakan. Tetapi, rasa makanan yang kau masak dari bahan-bahan tersebut kenapa menjadi demikian lezat? Aku belum pernah merasakan masakan selezat ini seumur hidupku hingga saat ini. bahkan di istana sekalipun” tutur Pangeran Zhu Di mengungkapkan kekagumannya.
Chen menatap pangeran Zhu Di sesaat dan tidak segera menjawab hingga Changyi menggeser dudukya dan menepuk tempat di sisinya.
“Adik Chen…duduklah di sini dan jelaskan pada Pangeran kenapa masakanmu bisa enak” ujar Changyi sambil tersenyum.
Chen mengangguk dan segera duduk di sisi Changyi. Tangannya meletakkan sebuah mangkuk lain yang masih lengkap dengan tutupnya. Aroma harum menguar keluar dari celah-celah sempit tutup mangkuk tanah liat yang diletakkan oleh Chen.
“Apa lagi yang kau bawa Adik Chen?” tanya Pangeran Zhu Di sambil menatap mangkuk besar yang di letakkan oleh Chen di depannya. Cuping hidungnya mengembang dan mengempis menghirup aroma harum yang merembes keluar dari celah sempit tutup mangkuk.
“Ini adalah kue Pangeran. Saya membuatnya sebagai makanan penutup setelah Pangeran dan Kakak selesai bersantap” sahut Chen sambil tersenyum.
“Kue?” sepasang mata Pangeran Zhu Di membesar. “Bolehkan aku membukanya?”.
“Silahkan Pangeran” Chen mengangguk. “Kue ini memang khusus saya buat untuk Anda dan Kakak”.
Pangeran Zhu Di tersenyum ceria. Demikian jawaban Chen selesai di ucapkan, maka pada detik yang sama, jemari tangan sang pangeran tersebut telah berkelebat ke arah tutup mangkuk, dan pada detik berikutnya, tutup mangkuk tersebut telah terbuka dan bergulir ke samping mangkuk, meninggalkan mangkuk besar yang terbuka dengan tumpukan kue yang terlihat masih mengepulkan uap hangat serta bentuk yang mungil rapi. Pangeran Zhu Di mengangkat wajahnya ke arah Chen dan membuka mulutnya siap untuk mengatakan sesuatu, namun tidak jadi karena Chen telah meletakkan sepasang sumpit di depan sang pangeran keempat.
“Silahkan Pangeran” ucap Chen mempersilahkan Pangeran Zhu Di seolah ia telah tahu bahwa sang pangeran kecil itu memang sangat ingin mencoba kue yang di masaknya.
Pangeran Zhu Di mengangguk dengan ceria sementara Changyi tertawa pelan melihat semangat sang pangeran yang meletup-letup. Dan selanjutnya, sang pangeran yang tampan itu telah sibuk dengan kue dalam mangkuk yang disuapnya dengan penuh semangat.
“Adik Chen, apakah kau selalu berlatih bersama Bapak Guru?” tanya Changyi sambil menatap Chen.
Chen tersenyum, lalu kepalanya menggeleng.
“Tidak Kakak….aku sudah lama tidak berlatih. Hari-hariku aku hanya memasak, membuat kayu bakar dan mencari kayu akar. Jika ada waktu lebih maka aku akan membaca buku sambil menunggui Bapak Tua di ruang pembaca” jawab Chen sambil mengamati sang pangeran keempat yang kini sibuk dengan kue-kue dalam mangkuknya.
“Kalau begitu, apakah kau mau menemani aku sebentar untuk berlatih di sini? aku rindu berlatih denganmu Adik Chen” ujar Changyi sambil menatap Chen penuh harap.
Chen tersenyum mendengar kalimat yang diucapkan Changyi. Sejenak ditatapnya saudara yang lama tidak bertemu tersebut sebelum kemudian pandangannya kembali beralih pada Pangeran Zhu Di.
“Sebelum aku kemari, Bapak Tua sempat mengatakan padaku bahwa sebaiknya Kakak dan Pangeran Zhu Di segera kembali ke perkemahan karena ada orang yang sangat kuat namun memiliki hati yang sangat panas sedang mencari Kakak. Jika Kakak dan Pangeran Zhu Di tidak segera muncul kembali di perkemahan, maka ia akan menjadi curiga dan hal itu tidak akan baik untuk Kakak dan Pangeran Zhu Di” ucap Chen membuat Changyi dan pangeran Zhu Di terkejut. Bahkan sang pangeran seketika menghentikan suapannya pada kue-kue dalam mangkuk besar.
“Seseorang yang memiliki hati yang snagat panas? Siapa dia?” tanya Changyi. Pandangannya mengarah pada pangeran Zhu Di dan sesaat dua anak itu saling bertatapan dalam tanya.
“Apakah mungkin dia adalah Jenderal Lan Yu? Yang Mulia Kaisar pernah mengatakan padaku bahwa sebenarnya Jenderal Lan Yu itu orang yang sangat bagus dalam bakatnya. Namun sayang, hatinya begitu panas hingga Yang Mulia Kaisar selalu merasa khawatir terhadapnya” tebak Pangeran Zhu Di. Sepasang sumpit di sela-sela jarinya jatuh ke atas pangkuan.
Kedua mata Changyi membelalak saat ia menemukan kebenaran dalam kata-kata Pangeran Zhu Di.
“Saya rasa itu benar Pangeran. Dan jika begitu, kita memang harus segera kembali sebelum ia menjadi curiga dan kemudian, ketika ia mencari kita dan tidak menemukan kita, ia pasti akan segera melaporkannya pada Yang Mulia Kaisar” sambung Changyi membenarkan kalimat Pangeran Zhu Di. Kemudian, kedua mata remaja itu beralih pada Chen. “Adik Chen, bisakah kau mengantar kami untuk berpamitan pada Bapak Guru dan biksu-biksu yang lain?”.
Chen tersenyu, sambil mengangguk.
“Tentu saja Kakak….marilah ikut saya. Kurasa Bapak Tua masih menunggu Kakak dan Pangeran sebelum kembali ke ruang pemujaan” ucap Chen sambil berdiri di ikuti oleh Changyi dan Pangeran Zhu Di.
Dan hanya butuh waktu yang singkat bagi Changyi dan Pangeran Zhu Di untuk berpamitan dengan semua biksu yang masih berkumpul di ruang aula menunggui Biksu Tua yang duduk dalam ketenangannya. Hingga kemudian, saat Pangeran Zhu Di membungkukkan tubuhnya dalam-dalam pada Biksu Tua,  Biksu yang sangat teduh tersebut menepuk bahu sang pangeran keempat.
“Yang Mulia…ingatlah baik-baik apa yang telah Yang Mulia janjikan. Jika Yang Mulia akan selalu berjalan di jalan yang lurus. Karena jalan yang lurus akan selalu membawa kita pada kebaikan darma dan ketercapaian hakikat hidup yang menjadi tujuan setiap makhluk hidup. Jika Yang Mulia tergelincir dari jalan yang lurus tersebut, meski hanya sesaat, maka sebuah tragedi yang sangat memedihkan hati pasti akan terjadi dan akan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk memperbaikinya. Kemudian selama itu belum kembali pada keseharusan yang semestinya terjadi, maka Yang Mulia akan selalu membawa kesedihan hati yang mengikat kedua kaki untuk mencapai kesempurnaan penyatuan dengan Thian di nirwana. Ingatlah pada janji yang telah Yang Mulia ucapkan pada hamba” bisik Biksu Tua dengan nada lembut namun cukup untuk dapat di dengar oleh Changyi yang berdiri satu langkah di belakang Pangeran Zhu Di serta semua biksu yang telah berdiri dari posisi duduk mereka dan bersiap menunggu perintah dari Sang Biksu Tua.
Pangeran Zhu Di tersenyum dan kembali membungkukkan tubuhnya sambil menangkupkan sepasang tangannya di depan dada. Kali lebih dalam.
“Tentu saja Bapak Guru, saya akan selalu memegang janji yang telah saya ucapkan pada Bapak Guru. Jika sampai saya tidak menepati janji tersebut, maka akhir hidup saya akan menanggung kesedihan dalam hati yang tidak bisa saya ceritakan pada siapapun hingga kesalahan saya dapat diperbaiki untuk kembali ke jalan yang lurus” sahut Pangeran Zhu Di dengan wajah cerah dan senyum gemilang.
Biksu Tua mengangguk-angguk dengan senyum lembut terukir di wajahnya yang seterang bulan purnama sebelum kemudian, pandangannya beralih pada para biksu yang berdiri menanti.
“Antarkan Yang Mulia sampai di depan gerbang dan berdoalah untuk keselamatan, panjang umur dan kejayaan Yang Mulia” perintah Biksu Tua dengan suara yang halus.
“Baik Guru!” sahut para biksu dalam irama yang serempak.
Pangeran Zhu Di berjalan menuju pintu keluar sementara para biksu mengikuti di belakangnya. Changyi bergerak untuk mengikuti Pangeran Zhu Di namun suara halus Biksu Tua membuat sang remaja berparas elok tersebut menoleh ke arah sang guru.
“Bapak Guru?” panggil Changyi sambil kembali melangkah ke arah Biksu Tua dan membungkukkan tubuhnya kembali.
“Changyi, jagalah Kaisar yang telah memilihmu hingga ia menemukan jalan menuju singgasananya. Karena, di atas singgasana tersebut, kejayaan tanah kita akan tersebar ke seluruh penjuru langit hingga jauh melewati batas-batas samudera. Itu adalah jalan yang harus kau lalui dengan seluruh ketetapan hati. Bahkan, jika kemudian kau tak memiliki pilihan, maka kau harus tetap menjaganya dengan seluruh jiwamu. Kau ingat jalan darma yang pernah kukatakan padamu? Tepatilah, dan kau akan memiliki kejayaan yang menjadi milik jiwamu meski bukan di waktu kehidupanmu”  ucap sang Biksu Tua sambil menatap Changyi dalam-dalam.
Changyi sedikit mengerutkan alisnya. Namun, kemudian, ia mengangguk dan kembali membungkukkan tubuhnya dalam-dalam di hadapan sang guru.
“Saya akan selalu mengingat nasihat dari guru dan menggenggamnya dalam hati dan jiwa saya” sahut Changyi.
“Bagus…sekarang pergilah dan jagalah rajamu” ucap Biksu Tua sambil kembali mengelus kepala Changyi sebagaimana yang dilakukannya saat kedatangan Changyi beberapa saat lalu.
Changyi membungkukkan tubuhnya dan menyentuh telapak kaki sang guru sebelum kemudian melangkah menuju pintu keluar dari aula.
Di depan gerbang, terlihat Pangeran Zhu Di telah berdiri di sisi si Hitam yang di pegang tali kekangnya oleh Chen. Para biksu berdiri berjejer tepat di depan gerbang kuil.
“Kakak!” panggil Pangeran Zhu Di begitu melihat Changyi yang melangkah keluar dari gerbang kuil.
Changyi tersenyum dan sekali lagi memeluk satu demi satu biksu yang berdiri menantinya.
“Kakak semua, mohon jagalah Adik Chen, sampai aku bisa kembali untuk menjemputnya” pinta Changyi yang disambut senyum lebar para biksu.
“Jangan khawatir Changyi. Kami pasti akan menjaga Chen. Meskipun sebenarnya, dia-lah yang menjaga kami” sahut sang biksu berkulit sehalus bayi yang berumur lima puluhan tahun.
“Itu benar Changyi. Jangan merasa khawatir dan belajarlah sebaik-baiknya serta ingatlah selalu apa yang telah di nasihatkan oleh Guru” sambung biksu lain yang berusia dua puluhan tahun. Dengan senyum cerah.
“Tentu…aku tidak akan mengecewakan kalian. Aku berjanji” sahut Changyi sambil membungkukkan tubuhnya ke arah para biksu yang segera di sambut oleh para biksu dengan membunngkukkan tubuh mereka juga.
“Kakak, aku membungkuk beberapa makanan untuk Kakak dan Pangeran. Makanlah saat di perkemahan nanti” ucap Chen saat Changyi telah berdiri di depannya.
Changyi tersenyum dan mengangguk sebelum kemudian bergerak untuk memeluk saudara sehatinya itu.
“Aku selalu menjaga janjiku Adik Chen. Ingatlah itu. AKu pasti akan datang untuk menjemputmu” bisik Changyi di telingan Chen.
“Aku percaya pada Kakak. Jangan cemas lagi” sahut Chen dalam pula sementara kepalanya mengangguk.
Changyi menghela nafas lega dan berjalan menuju si Hitam. Kemudian, hanya dalam sekali lompatan ringan, ia telah duduk di punggung kudanya dan menerima tali kekang yang semula di pegang oleh Chen sementara Pangeran Zhu Di menyusul naik ke atas punggung kuda di belakang Changyi.
Dan selanjutnya, sebagaimana saat perjalan menuju ke kuil, jarak yang tak terlalu jauh di lalui dalam kelebat cepat si Hitam yang melesat menembus gelapnya malam menuju tempat Tamtama Bohai yang terkejut karena ia baru saja hendak memberikan isyarat pada Changyi agar segera kembali.
Kemudian, tepat ketika Jenderal Lan Yu berdiri di depan tenda yang menjadi tempat untuk Changyi, dan memaksa untuk masuk ke dalam mencari remaja yang dilaporkan oleh mata-mata terlihat di sekitar kawasan hutan dalam kegelapan malam, maka Sang Jenderal yang bertubuh tinggi besar itu segera menemukan Changyi dan Pangeran Zhu Di yang pulas tertidur, bergelung dalam kehangatan selimut masing-masing. Sang Jenderal dari kementerian Pertahanan kemudian meninggalkan tenda Changyi dengan diiringi oleh tatapan marah Kasim Anta.
***********

Tidak ada komentar:

Posting Komentar