Hari telah menjelang tengah malam. Changyi
merebahkan tubuhnya yang terasa penat ke atas ranjangnya yang empuk. Hari ini
sungguh melelahkan sekali. Setelah mereka sampai di lokasi perburuan, Sang
Kaisar segera mengajak untuk memulai perburuan ke dalam hutan tanpa istirahat
lebih dulu. Hanya tinggal Sang ratu, para dayang, kasim, juru masak dan para
prajurit penjaga yang bertugas menjaga tempat perkemahan yang tidak ikut masuk
ke dalam hutan. Sedang yang lain, termasuk dirinya dan Pangeran Zhu Di ikut
serta bersama dengan Kaisar memulai perburuan.
Changyi berusaha untuk memusatkan perhatiannya
pada acara perburuan tersebut dan menepiskan bayangan sosok Chen yang terus
menerus membayang dalam benaknya. Sangat beruntung karena Tamtama Bohai kini
terus mendampinginya sehingga Changyi merasa lebih tenang. Prajurit kesayangan
ayah angkatnya itu terus mengajaknya bicara sementara mereka mengejar kijang
besar yang telah berhasil di panah oleh Changyi. Meskipun tetap saja, pertemuan
sesaat dengan Chen sebelumnya telah mengubah konsentrasi Changyi sehingga dalam
acara perburuan kali ini, ia hanya berhasil memanah dua ekor kijang, sangat
jauh menurun bila dibanding kegiatan perburuan sebelumnya di mana ia selalu
berhasil memanah binatang buruan lebih dari sepuluh ekor. Salah satu hal yang
membuat Kaisar merasa senang dan kemudian selalu mengajaknya. Namun hari ini,
pada perburuan pertama, ia hanya bisa mempersembahkan dua ekor kijang pada
Kaisar. Itu adalah hasil yang sangat buruk. Ia bahkan kalah jauh dengan
kelompok Fengyin yang berhasil membawa lima ekor kijang ke hadapan Kaisar.
Tetapi, acara perburuan Kaisar biasanya
berlangsung selama tiga sampai tujuh hari. Dan Changyi berharap besok ia akan
dapat membawa hasil buruan yang layak untuk Kaisar.
Namun, bisakah ia berburu dengan bayangan sosok
Chen yang memenuhi benaknya?.
Sesungguhnya, sejak beberapa hari ini, Changyi
memang terus teringat pada Chen. Dan ingatan itu membawa serta kerinduan pada
saudaranya itu. Ia nyaris terlupa bahwa waktu terus berjalan. Dan tiba-tiba,
saat ia teringat pada Chen, waktu ternyata telah berlalu selama satu tahun
sejak ia terakhir kali melihat adiknya itu mengejarnya saat ia dibawa pergi
oleh Jenderal Xu Da dari Kuil Bulan Merah. Bagaimanakah keadaan Chen sekarang?
Selama setahun ia tinggal di istana dan belajar di sekolah prajurit khusus, ia
sama sekali tidak mendengar kabar tentang Chen dari siapapun dan Changyi
benar-benar tidak tahu harus bertanya pada siapa. Karena itu, selama beberapa
hari ini, saat kerinduannya terasa menyengat dan sering membuatnya terbangun di
tengah malam, maka Changyi sungguh menjadi bingung untuk mencari jalan agar ia
bisa pergi keluar dan menemui Chen meski hanya sesaat. Tentu saja, ia bisa
menyelinap pergi di tengah malam. Tapi, Changyi sungguh-sungguh merasa khawatir
jika apa yang ia lakukan itu akan memberikan akibat buruk dan akan menjatuhkan
nama baik dari ayah angkatnya. Hal yang selalu dijaganya adalah nama baik
Jenderal Xu Da yang telah mengangkatnya dari kehidupan paling rendah ke
kehidupan terhormat yang bahkan tak pernah sedikitpun terlintas dalam benaknya.
Karena itu, Changyi selalu berusaha untuk sangat hati-hati dalam bertindak dan
berucap terutama di kalangan istana.
Terlebih, pada akhirnya Changyi-pun mengetahui
perihal rasa persaingan yang sangat kental di hati Jenderal Lan Yu dan beberapa
menteri terhadap Jenderal Xu Da dari penuturan Tamtama Bohai.
Karena itu, meski hatinya terasa semakin berat
oleh rasa rindu pada Chen, namun Changyi berusaha sekuat tenaga untuk menahan
kerinduan tersebut walaupun ia merasakan akibat adanya kerinduan yang terasa berat
tersebut membuatnya seperti sulit untuk memusatkan perhatian pada apa yang ada
di depannya. Demikian juga dengan saat ia mengikuti kegiatan berburu dari
Kaisar Ming Tai Zhu kali ini. Changyi dapat mendengar saat Pangeran Zhu Di
terus mengajaknya berbicara, namun benak Changyi seperti telah berpindah dari
tempatnya sehingga ia hanya sekedar menanggapi pembicaraan sang pangeran
keempat apa adanya. Hingga ia mendengar suara panggilan yang sangat di
rindukannya, yang pada awalnya seperti suara panggilan dalam mimpi yang nyaris
tak dapat di percayanya hingga ia benar-benar melihat Chen di sisi jalan. Dalam
pakaian kumal seperti yang dulu pernah dikenakannya.
Changyi bangkit kembali dari atas peranduannya dan
berjalan menuju sisi sebelah kiri dimana terdapat sebuah meja kecil panjang dan
sebuah cermin dari lempengan tembaga yang jernih. Pada permukaan cermin tembaga
itu ia melihat bayangan dirinya. Sosok yang sangat berbeda dengan yang
berkali-kali pernah dilihatnya dalam bayangan air saat ia masih tinggal di kuil
dan mendapatkan tugas untuk mengambil air di mata air yang ada di bawah bukit.
Sosok yang ada di dalam cermin itu adalah sosok yang sangat anggun dengan
segala keindahannya yang sempurna dalam balutan busana yang indah dan jelas
mahal. Rambutnya yang hitam legam di tata dalam tatanan yang indah berhias ikat
kepala emas yang mewah. Sosok dalam bayangan cermin itu terlihat cemerlang
dengan kulit putih yang memancarkan cahaya lembut. Sejak kapan kulitnya
terlihat bersinar seperti itu? Sejauh ingatan Changyi, selama ini ia selalu
melihat kulitnya sebagai kulit kusam, kecoklatan dan seringkali berlumur lumpur
maupun tanah.
Dan sosok yang di lihatnya dalam bayangan cermin
itu sangat berbeda dengan sosok yang dilihatnya di pinggir jalan dan
memanggilnya dengan ada takut-takut karena kekhawatiran jika ia tak lagi
mengenalinya.
Changyi menghela nafas dengan rasa sedih. Satu hal
yang jelas tak berubah dari Chen adalah hatinya yang sangat lembut dan perasa.
Dan Changyi semakin ingin bertemu dengan Chen. Setidaknya ia ingin memberitahu
Chen bahwa ia masih tetap menjaga janji yang pernah di ucapkannya dulu. Ia
tidak ingin Chen berpikir bahwa ia telah melupakan dirinya. Tapi bagaimana
caranya? Ia tidak tahu bagaimana caranya meninggalkan istana meski hanya sesaat
tanpa membuat suatu masalah yang bisa mengancam nama baik Jenderal Xu Da. Ia
juga tidak mungkin menceritakan hal tentang Chen pada semua orang karena
orang-orang sudah terlanjur mengenalinya sebagai putra angkat Jenderal Xu Da
dan sang ayah angkat sendiri telah mengatakan padanya bahwa mulai hari ia
menjadi putra angkat Jenderal Xu Da, maka orang hanya akan mengenalinya sebagai
seorang anak dengan marga Xu. Dan seorang anak bermarga Xu tidak mungkin punya
adik anak lain yang bukan bermarga Xu bukan?.
“Tuan Muda?” suara Tamtama Bohai mengejutkan
Changyi, membuat remaja itu seketika menoleh ke belakang dan mendapatkan
prajurit kepercayaan ayahnya itu tengah membungkuk padanya. Selama lebih dari
delapan bulan menjadi putra dari Jenderal Xu Da, Changyi telah belajar
membiasakan diri untuk menerima penghormatan dari semua prajurit, pelayan dan
orang-orang yang memiliki kedudukan di bawah Jenderal Xu Da tanpa merasa kikuk
ataupun jengah. Namun saat Tamtama Bohai membungkuk padanya seperti sekarang,
Changyi selalu merasa malu dan jengah. Dan hal itu sungguh aneh. Ada apa
dengannya?.
“Ada apa Paman Bohai?” tanya Changyi tersenyum.
Tamtama Bohai menegakkan tubuhnya kembali dan
membalas senyum Changyi. Satu tangannya menunjuk ke arah pintu.
“Pangeran Zhu Di ingin bertemu dengan Tuan Muda.
Sekarang Pangeran Zhu Di sedang menunggu di luar” jawab Tamtama Bohai.
Sepasang mata Changyi membesar. Pangeran Zhu Di
meminta ijin untuk bertemu dengannya? Apa tidak salah? Sebagai seorang pangeran
putra dari Kaisar Ming Tai Zhu, Pangeran Zhu Di bisa bertemu dengan siapapun
sesuka hatinya, tanpa perlu ijin dari siapapun yang ingin ditemuinya. Lalu,
kenapa Pangeran Zhu Di memerlukan ijin darinya hanya untuk bertemu?,
“Tentu saja Paman Bohai….tolong persilahkan
Pangeran Zhu Di untuk masuk” sahut Changyi kemudian dengan perasaan jengah.
Tamtama Bohai tersenyum saat memahami rasa kikuk
dalam hati Changyi. Namun kepala prajurit kepercayaan itu mengangguk sebelum kemudian berlalu dari hadapan
Changyi.
Hanya butuh sesaat bagi Changyi untuk menunggu
hingga Pangeran Zhu Di masuk dan berdiri di depannya. Changyi segera membungkuk
pada sang pangeran yang terlihat sangat tampan dengan pakaian malamnya yang
lembut.
Pangeran Zhu Di tertawa menatap Changyi yang
memberikan penghormatan padanya.
“Kakak…berhentilah bercanda seperti itu” ujar
Pangeran Zhu Di dalam tawanya.
Changyi mengangkat tubuhnya dan tersenyum menatap
Pangeran kecil di depannya.
“Hamba tidak bercanda Pangeran. Sudah menjadi
kewajiban hamba untuk memberikan penghormatan pada Yang Mulia Pangeran Zhu Di”
jawab Changyi. “Dan seharusnya, Pangeran tidak perlu meminta ijin untuk bertemu
dengan hamba”.
Pangeran Zhu Di menunduk sambil memamerkan senyum
miringnya yang khas dan indah.
“Aku hanya ingin menghargai siapapun yang
berhubungan denganku Kakak. Karena bagiku, mereka semua memiliki hak untuk
dihargai sebagai manusia. Aku tidak ingin mengganggu jika saja Kakak sudah
tidur. Karena itulah aku meminta Paman Bohai untuk melihat dan meminta ijin
pada Kakak” jawab Pangeran Zhu Di.
Changyi manggut-manggut. Dalam hati ia merasa
kagum dan mulai mengerti kenapa sang pangeran keempat, meskipun bukan pangeran
mahkota namun menjadi pangeran kesayangan semua orang dan mendapat julukan
sebagai mutiara istana.
“Terima kasih karena Pangeran Zhu Di menghargai
hamba demikian tinggi lebih daripada yang pantas hamba terima” ujar Changyi
tersenyum dengan sempurna.
Pangeran Zhu Di kembali tertawa.
“Ah Kakak…sudahlah. Hentikan sandiwara kita dan
marilah kita berbincang. Aku merasa lelah sekali tapi anehnya aku justru tak
bisa tidur. Karena itu, setelah kasimku tidur, aku memutuskan untuk menemui
Kakak. Siapa tahu Kakak mau menemaniku berbincang sampai aku bisa mendapatkan
kantukku kembali” ujar Pangeran Zhu Di kemudian.
Changyi mengangguk tanpa sedikitpun melepaskan
senyumnya. Satu tangannya mempersilahkan Pangeran Zhu Di untuk duduk di kursi
kayu indah di sisi ranjangnya.
“Tentu saja Pangeran. Dengan senang hati saya akan
menemani Anda” jawab Changyi.
Namun Pangeran Zhu Di justru menunjuk ranjang.
“Sepertinya akan lebih nyaman jika kita berbincang
sambil berbaring di sana. Benar kan Kakak?” usulnya sambil menatap Changyi.
Changyi tertawa pelan. Kepalanya
menggeleng-geleng. Ia sudah menduga bahwa Pangeran Zhu Di akan mengusulkan hal
itu. Sang pangeran keempat sering melakukan hal itu saat mereka di sekolah
prajurit khusus. Hal yang pasti tak di ketahui oleh siapapun bahkan Kaisar
sendiri. Kebiasaan sang pangeran keempat yang sesungguhnya merasa sangat senang
jika di temani saat tidur membuat Changyi menyadari bahwa di balik kecerdasan
dan tingkah lakunya yang sangat gesit dan lincah, sesungguhnya Pangeran Zhu Di
tetaplah adalah seorang anak yang mengharapkan kemanjaan dan perhatian kasih
sayang.
“Baiklah Pangeran…silahkan” jawab Changyi sambil
mempersilahkan Pangeran Zhu di untuk naik ke atas ranjang.
Tak butuh waktu lama bagi Pangeran Zhu Di untuk
segera melompat ke atas ranjang dan mengambil tempat di sisi dalam, dekat
dengan dinding kamar. Satu tangannya menarik sebuah bantalan kepala yang empuk
dan lembut, menempatkannya di bagian kepala lalu, sambil mendesah penuh rasa
lega, sang pangeran kecil itu segera merebahkan tubuhnya ke atas ranjang.
Dengan langkah pelan, Changyi mendekat ke ranjang dan kemudian merebahkan
dirinya di sisi Pangeran Zhu Di, pada sisi bagian luar.
Sang pangeran kecil segera bergelung, memiringkan
tubuhnya ke arah Changyi dan menatap remaja itu dengan wajah cerah. Sebuah
senyum mengembang di bibirnya. Sementara Changyi menatap langit-langit
ranjangnya. Pandangannya menerawang menembus papan langit-langit ranjang hingga
jatuh di tempat yang tak terbatas di langit.
“Pangeran….bisakah Anda tidak menatap saya terus
seperti itu?” tanya Changyi dengan suara pelan tanpa memalingkan wajahnya dari
ujung tanpa batas tempat di mana pandangannya terjatuh.
“Apakah Kakak masih memikirkan anak yang berdiri
di sisi jalan tadi pagi?” Pangeran Zhu Di berbalik bertanya. “Anak yang memakai
pakaian oenuh tambalan itu? Sepertinya ia seorang pengemis”.
Changyi merasa jantungnya seperti dihentak saat
mendengar kalimat Pangeran Zhu Di menyebut Chen sebagai pengemis. Meski
sejujurnya, penampilan Chen memang sangat pantas di sebut sebagai pengemis
dengan pakaian kumal penuh tambalan melekat di tubuhnya, namun hati Changyi
tetap saja terasa sangat pedih. Lebih pedih lagi saat ia mendengar hal itu dari
mulut orang lain yang sejatinya semakin menguatkan pandangannya sendiri tentang
seperti apa tampaknya Chen itu. Changyi menghela nafas berat. Rasa sedih yang
sempat hilang dengan datangnya Pangeran Zhu Di kini datang lagi.
“Bagaimana Pangeran bisa tahu?” tanya Changyi
menjawab pertanyaan pangeran kecil di sisinya.
“Karena Kakak terlihat sangat sedih sejak melihat
anak itu tadi pagi. Meskipun Kakak berusaha sangat keras untuk menutupinya,
namun aku tahu Kakak tidak bisa berhenti untuk memikirkan anak di sisi jalan
itu. Siapakah dia Kakak? Apakah Kakak mengenalnya?” sahut Pangeran Zhu Di.
“Dia adalah adik saya Pangeran. Satu-satunya
keluarga yang saya miliki setelah
orangtua kami tiada” jawab Changyi membuat Pangeran Zhu Di terperanjat. Sepasang
mata Pangeran Zhu Di terbelalak lebar.
“Apa? Dia…adik….Kakak Changyi?” tanya Pangeran Zhu
Di sambil bangkit dari posisi tidurnya dan kini duduk di sisi Changyi. “Kenapa
Kakak tidak pernah menceritakan tentang hal itu padaku?”.
Changyi tersenyum dan menoleh ke arah Pangeran Zhu
Di.
“Untuk apa Pangeran? Mungkin itu hanya akan
menjadi masalah nantinya” jawab Changyi rawan.
“Masalah apa Kakak? Bagaimana bisa menjadi
masalah?” tanya Pangeran Zhu Di sambil mengerutkan keningnya.
“Sudahlah Pangeran” sahut Changyi sambil
mengulurkan tangannya menarik lengan Pangeran Zhu Di agar berbaring kembali.
“Berbaringlah kembali”.
Pangeran Zhu Di menurut dan kembali merebahkan
tubuhnya di sisi Changyi. Sepasang mata beningnya masih terus menatap Changyi
dengan penuh selidik.
“Kalau begitu ceritakan padaku tentang dia Kakak.
Siapa namanya? Dan bagaimana Kakak dan dia bisa berpisah seperti ini? Kenapa
Paman Xu Da tidak membawa dia juga?” tanya Pangeran Zhu Di beruntun membuat
Changyi tertawa pelan.
“Baiklah Pangeran. Saya akan menceritakannya untuk
Pangeran, tapi, tolong jaga hal ini sebagai rahasia kita berdua” sahut Changyi
sambil menatap Pangeran Zhu Di. “Bisakah Pangeran menjaga rahasia ini? jika
sampai tersebar, maka akan sangat bahaya bagi adik saya”.
Pangeran Zhu Di mengangguk sambil mengedipkan satu
matanya. Changyi tertawa tanpa suara melihat ekspresi pangeran kecil di
sebelahnya.
“Ceritakan padaku” ujar Pangeran Zhu Di.
Changyi kembali menatap langit-langit ranjang.
Sesaat menghela nafas sebelum kemudian kalimatnya mulai mengalir.
Dan ternyata, bercerita pada Pangeran Zhu Di
sangatlah mudah bagi Changyi. Hingga kemudian, ketika Changyi telah bercerita
selama beberapa lama, remaja itu terhenti mengalirkan kalimat dari bibirnya
saat ia menoleh ke arah Pangeran Zhu Di dan melihat sang pangeran kecil itu
telah terlelap pulas dalam posisi tidur miring menghadap ke arahnya. Changyi
tersenyum, tangannya menarik sehelai selimut lembut di bawah kakinya, dan
menangkupkan selimut tersebut ke atas tubuh sang pangeran keempat.
Sementara malam terus merambat menuju pagi.
Prajurit jaga berdiri dalam tugas mereka dan sebagian lain berjalan mengitari
area perkemahan tempat Kaisar Ming Tai Zhu berhenti untuk kegiatan berburunya.
Di depan tenda milik Changyi, terlihat duduk dalam
kantuk sang Kasim Anta yang setia mengikuti pangeran kecilnya. Di sisi Kasim
Anta, terlihat Tamtama Bohai duduk bersila dalam meditasi yang melarut jauh,
sejauh malam yang segera berubah menjadi pagi.
****************
Setelah bercerita pada Pangeran Zhu Di, ternyata
Changyi merasakan hatinya menjadi lebih baik. Meskipun bukan berarti bayangan
sosok Chen menghilang dari benaknya, namun setidaknya ia bisa lebih memfokuskan
perhatiannya pada kegiatan berburu di hari kedua. Dan hasilnya lebih baik dari
hari pertama kemarin. Untuk kegiatan berburu kali ini, Chanyi berhasil
memperoleh lima ekor rusa dan dua ekor kelinci hutan yang sangat gemuk ke
hadapan Kaisar Ming Tai Zhu. Hal yang sangat menggembirakan bagi Kaisar Ming
Tai Zhu karena kelinci merupakan makanan kegemaran dari Permaisuri Ma Xiuying.
Dan kegembiraan pada hari kedua itu diungkapkan Kaisar dalam bentuk pesta
sederhana dengan memasak daging hasil buruan untuk di makan bersama-sama serta
beberapa guci anggur beras yang sangat lezat. Changyi tidak menyukai anggur
beras yang lezat namun keras dan memabukkan tersebut, namun ia minum juga
sedikit sekedar untuk menyenangkan hati sang kaisar. Untunglah bahwa ayah
angkatnya telah mengajarinya untuk meminum anggur beras sehingga ia tak lagi
kaget dengan akibat yang terasa saat air yang lezat namun keras itu meluncur
menuruni kerongkongannya dan akibat selanjutnya saat air yang dibuat dari
perasan beras yang di fermentasi dalam penyimpanan itu berdiam di dalam
perutnya.
Hingga beberapa saat ketika sang kaisar telah
kembali masuk ke dalam tendanya dengan ditemani oleh Permaisuri Ma, Changyi
berlalu dari arena pesta setelah berbasa-basi sesaat pada Jenderal Lan Yu yang
menanggapinya dengan dingin dan separuh tak acuh. Changyi menyibak pintu masuk
tendanya yang berlapis tiga sementara telinganya masih mendengar suara pesta
meriah para prajurit di tengah arena.
“Kakak?” suara panggilan tiba-tiba membuat Changyi
yang hendak duduk di kursi kayu terkejut dan seketika menoleh.
“Pangeran? Bagaimana bisa Anda telah sampai di
sini?” tanya Changyi saat melihat Pangeran Zhu Di mendadak muncul dari balik
tirai yang membatasi ruang dimana ranjang indah Changyi dengan perangkat meja
kursi yang ada di sebelahnya.
Pangeran Zhu Di hanya tersenyum. Lalu, tanpa
sepatah katapun, mendadak sang pangeran keempat menarik tangan Changyi dan
segera membawanya keluar kembali dari tenda. Changyi yang terkejut hanya
menurut meski sepasang alisnya berkerut. Lebih terkejut lagi saat ternyata
Pangeran Zhu Di membawanya mengendap-endap di antara bagian gelap tenda-tenda
perkemahan serta menghindari tempat-tempat yang berada dalam penagwasan para
prajurit jaga. Hingga kemudian, setelah beberapa saat berlalu, Pangeran Zhu Di
berhenti dan melepaskan tangan Changyi seolah memberi kesempatan pada remaja itu
untuk mengamati keadaan sekelilingnya.
Changyi dapat mengenali tempat ini. Ini adalah
bagian terluar dari lingkaran perkemahan Kaisar Ming Tai Zhu. Pada bagian
pinggir ini seluruhnya adalah perkemahan tempat para prajurit dan Tamtama.
Kecuali Tamtama Bohai yang selalu bertempat di depan tenda Changyi. Sebenarnya,
Changyi merasa lebih senang berada di tenda prajurit daripada tenda mewah yang
khusus di peruntukkan baginya dan hal itu justru membuatnya merasa jengah.
Berada di antara para prajurit membuat Changyi merasa seperti berada di tengah
keluarga yang sejajar dengannya dan hal itu memberinya rasa nyaman. Namun,
bisakah ia menolak pemberian Kaisar Ming Tai Zhu? Bahkan ayahnya sendiri yang
berpesan padanya untuk selalu berusaha menyenangkan hati Sang Kaisar Hongwu.
“Pangeran, kenapa Anda membawa saya ke tempat
ini?” tanya Changyi saat tatapannya kembali pada Pangeran Zhu Di di sisinya.
Pangeran Zhu Di tersenyum dengan kedua mata
berbinar.
“Kakak, aku ingin bertemu dengan Adik Chen. Karena
itulah aku mengajak Kakak ke tempat ini. Aku sudah meminta Kasim Anta untuk
mengatur jalan keluar bagi kita. Juga, Paman Bohai telah menunggu kita di ujung
jalan di sana, di sisi lain dari hutan ini. Kata Paman Bohai, Kuil Bulan Merah
tempat Adik Chen tinggal sangat dekat dari sini. Aku yakin jika kita berangkat
sekarang, maka sebelum Yang Mulia Kaisar bangun, kita sudah bisa sampai lagi di
perkemahan dan tak akan ada satupun yang tahu” ujar Pangeran Zhu Di dengan nada
pelan nyaris berbisik.
Namun Changyi sangat terkejut mendengarnya. Kepalanya
seketika menggeleng kuat-kuat.
“Tidak Pangeran. Anda tidak perlu melakukan hal
ini untuk saya. Ini sangat berbahaya. Bagaimana kalau Jenderal Lan Yu
mengetahui bahwa kita tidak berada di perkemahan? Ini pasti akan jadi masalah
besar karena Jenderal Lan Yu pasti akan melaporkannya pada Yang Mulia Kaisar.
Sebaiknya kita kembali saja Pangeran” ujar Changyi sambil menarik tangan
Pangeran Zhu Di.
Namun tanpa di duga, Pangeran Zhu Di menarik
tangannya dari genggaman Changyi. Pandangannya penuh rasa yakin yang sangat
kuat.
“Kakak, percayalah padaku, tidak akan terjadi
apa-apa. Yang Mulia Kaisar telah meminum anggur beras dalam jumlah yang cukup
banyak sehingga akan tidur dalam waktu yang cukup lama. Aku sendiri yang
menuangkan anggur untuk Yang Mulia Kaisar. Mengenai Jenderal Lan Yu, ia tidak
akan mencariku karena Kasim Anta telah berjaga di depan tenda Kakak seperti
kemarin malam sehingga semua orang akan berpikir bahwa aku menginap lagi di
tenda Kakak. Paman Bohai hari ini bertugas jaga di sekeliling perkemahan
sehingga tidak akan ada kecurigaan. Kakak, aku melakukan hal ini bukan hanya
untuk Kakak tapi juga untukku sendiri. Aku sangat ingin bertemu dengan Adik
Chen” sahut Pangeran Zhu Di.
Changyi menatap Pangeran Zhu Di dengan pandangan
takjub. Bagaimana mungkin pangeran sekecil ini telah bisa merencanakan sesuatu
dengan begitu teliti hingga hal yang kecil?.
“Pangeran, jangan katakan bahwa Anda yang mengajak
Yang Mulia Kaisar untuk berpesta malam ini?” tebak Changyi sambil mengangkat
satu alisnya.
Pangeran Zhu Di tertawa.
“Tidak apa-apa bukan? Yang Mulia Kaisar seringkali
merasa gelisah. Aku tidak tahu apa yang membuatnya gelisah tapi aku tahu bahwa
Yang Mulia Kaisar sering tidak bisa tidur di malam hari. Karena itu, aku dengan
sengaja mengajak Yang Mulia untuk memasak daging kelinci yang Kakak dapatkan
siang tadi dan sedikit minum sebagai bentuk suka cita. Dan ternyata, Yang Mulia
Kaisar menyetujuinya. Malam ini, yang Mulia bisa tidur dengan pulas, dan
mungkin itu adalah tidur pulasnya yang pertama setelah berhari-hari yang lalu”
jawab Pangeran Zhu Di. Kepalanya sedikit meneleng ke samping.
“Baiklah…” jawab Changyi pada akhirnya. “Jika
begitu, marilah ikut dengan saya Pangeran. Mulai dari titik ini, saya yang akan
memandu Anda untuk sampai di Kuil Bulan Merah”.
Pangeran Zhu Di tersenyum senang. Kepalanya
mengangguk penuh semangat.
“Apakah Kakak tahu juga bahwa Kuil Bulan Merah
sangat dekat dengan tempat ini?” tanya Pangeran Zhu Di sambil mengikuti
Changyi.
Changyi tak segera menjawab. sepasang matanya
beredar menatap sekeliling. Ia sangat mengenal seluruh area perkemahan ini
sebab sebagai calon prajurit khusus, ia mendapat perintah untuk berjaga meski
hanya beberapa saat bersama dengan Lan Fengyin dan Lan Dingziang. Meski dua
anak tersebut tetap berseteru dengannya, namun dalam melaksanakan tugas
tersebut, mereka bertiga dapat melaksanakannya dengan baik selama dua hari ini.
Lebih dari itu, sesungguhnya, Changyi telah mengenali kawasan hutan yang
dipilih sebagai tempat berburu Kaisar Ming Tai Zhu kali ini. ini adalah hutan
di mana ia pernah mendapat tugas sebagai pencari kayu bakar untuk kuil saat ia
masih tinggal di Kuil Bulan Merah dulu. Ia, bisa di katakan, sangat mengenali
setiap detil dari sudut hutan ini. Karena itulah ia bisa mengetahui titik-titik
dimana biasanya binatang buruan berkeliaran atau berhenti untuk minum air.
Namun, karena ia sangat mengenali hutan ini pula,
menjadi sangat sulit bagi Changyi untuk menepis bayangan Chen.
“Lewat sini Pangeran” bisik Changyi sambil
menggamit lengan Pangeran Zhu Di. Langkahnya sedikit bergegas dan ia sengaja
mengambil sisi di balik bayangan gelap pepohonan untuk menyembunyikan
keberadaan mereka dari pandangan para prajurit jaga. Lebih hati-hati lagi
karena ia tahu, Jenderal Lan Yu nyaris tidak pernah tidur dalam melakukan
penjagaan terhadap Kaisar Ming Tai Zhu di lapisan luar setelah lapisan dalam di
penuhi oleh penjagaan dari prajurit khusus kaisar.
Pangeran Zhu Di menurut. Langkahnya mengendap di
sisi Changyi sementara remaja yang elok tersebut menyibakkan segerumbul semak
di balik sebatang pohon besar. Di balik semak tersebut, terdapat sebuah jalan
kecil yang hanya setapak saja lebarrnya. Changyi yang membuat jalan setapak
kecil tersebut sebagai jalan pintas menuju ke Kuil Bulan Merah.
“Di mana Paman Bohai menunggu kita Pangeran?”
tanya Changyi setelah mereka mulai menyusuri jalan setapak di balik gerumbul
semak. Nada suaranya tak lagi berbisik membuat Pangeran Zhu Di tahu bahwa kini
mereka aman.
“Aku mendengar Paman Bohai mengatakan bahwa ia
akan menunggu kita di ujung jalan di sisi lain dari hutan ini. Tapi aku juga
tidak tahu, di mana tempat yang di maksud oleh Paman Bohai itu” sahut Pangeran
Zhu Di dengan jujur.
Namun Changyi mengangguk. Sejenak ia berhenti
berjalan dan menatap Pangeran Zhu Di di sisinya.
“Pangeran, apakah Anda masih ingat bagaimana
caranya untuk berlari cepat tanpa merasa lelah?” tanya Changyi sambil
tersenyum.
Pangeran Zhu Di tertawa dengan nada ceria.
Kepalanya mengangguk kuat.
“Tentu saja Kakak, aku akan selalu mengingatnya. Bukankah
Kakak yang mengajarkan padaku?” sahut Pangeran Zhu Di senang. “Apakah kita akan
menggunakannya sekarang?”.
Changyi mengangguk. “Itu benar Pangeran.
Ayolah….mulai dari sini sampai di ujung jalan di mana Paman Bohai menunggu
kita, kita akan berlari. Apakah Anda siap Pangeran?”.
Pangeran Zhu Di mengangguk dengan tegas penuh
semangat.
“Ya Kakak. Aku siap!” jawabnya cepat.
Changyi membalas anggukan Pangeran Zhu Di, lalu,
mendadak, tangannya terayun ke arah Pangeran Zhu Di dan menarik lengan sang
pangeran keempat. Detik selanjutnya, dua remaja itu telah berlari dengan cepat
menyusuri jalan setapak yang semakin lama semakin menanjak naik. Dua bayangan
remaja yang berlari dengan cepat tanpa suara itu kini telah berubah bentuk
menjadi bayang-bayang sekilas di antara pepohonan hutan tanpa meninggalkan
jejak suara. Hanya sebuah suara siutan angin yang menerpa ujung-ujung dedaunan
membuat daun-daun pohon hutan yang telah tertidur itu seketika bangun dan
bergoyang oleh gangguan yang datang menerpa mereka dalam sapuan lembut dan
sesaat angin yang bertiup.
Hingga kemudian….
“Tuan Muda Xu!” sebuah panggilan terdengar membuat
Changyi seketika menghentikan larinya disusul oleh Pangeran Zhu Di.
“Paman Bohai!” balas Changyi ganti memanggil.
Sepasang matanya beredar untuk mencari sosok Tamtama Bohai dan segera
menemukannya saat sesosok manusia muncul dari balik sebatang pohon besar.
“Paman Bohai?” panggil Pangeran Zhu Di. Ada
gelagat sedikit terengah dalam suara Pangeran Zhu Di.
Tamtama Bohai berjalan menuju dua remaja yang
telah berdiri di depannya lalu membungkukkan tubuhnya yang tinggi besar dan
berbalut sebuah mantel hitam panjang.
“Hormat hamba Pangeran Zhu Di dan Tuan Muda Xu”
ucap Tamtama Bohai sambil tersenyum.
Pangeran Zhu Di mengangguk senang. Sementara
Changyi kembali mengedarkan matanya menatap sekeliling.
“Apakah Paman Bohai telah lama menunggu?” tanya
Changyi kemudian. “Apakah ada prajurit lain di sini?”.
“Tidak Tuan Muda. Saya menunggu Anda berdua selama
sepeminuman teh. Dan saya hanya sendiri sebab saya khawatir jika ada prajurit lain,
maka justru akan berbahaya” jawab Tamtama Bohai.
“Apakah Paman membawa kuda?” tanya Changyi. Ia
berpikir bahwa sisa perjalanan menuju kuil akan lebih baik di lakukan dengan
berkuda setelah ia melihat sang pangeran yang sedikit terengah-engah. Sebab,
meskipun sisa perjalanan tidak jauh lagi, namun jalan yang akan di lalui cukup
menanjak dan Changyi tak sampai hati untuk mengajak Pangeran Zhu Di berlari.
Tamtama Bohai mengagguk.
“Tetapi hanya satu Tuan Muda, sebab jika dua kuda,
maka getaran dari tapak kuda akan bisa di dengar di perkemahan jika Jenderal
Lan Yu menempelkan telinganya di tanah. Karena itu, saya hanya membawa kuda
Tuan Muda saja. Ia kuat dan ia telah terlatih dengan jalan yang sulit” jawab
Tamtama Bohai.
Changyi mengangguk senang sementara Tamtama Bohai
menyelinap ke balik batang pepohonan kembali. Dan sesaat kemudian, prajurit
bertubuh tinggi besar itu telah kembali sambil menuntun si Hitam. Pangeran Zhu
Di segera melonjak gembira.
“Jadi, kita akan naik kuda ke kuil?” tanya sang
pangeran sambil menatap si Hitam dengan pandangan berbinar-binar.
Changyi tertawa sementara tangannya menerima tali
kekang si hitam dari Tamtama Bohai dan segera melompat naik ke atas punggung
kudanya.
“Benar Pangeran, nah…sekarang, naiklah” jawab
Changyi.
Pangeran Zhu Di mengangguk penuh semangat dan
segera melompat ke belakang Changyi dan berpegang pada pinggang sahabatnya.
“Apakah Paman Bohai akan ikut dengan kami?” tanya
Changyi sambil menatap prajurit kepercayaan ayahnya.
Tamtama Bohai menggeleng sambil tersenyum.
“Tidak Tuan Muda, saya akan berjaga di tempat ini
mungkin saja prajurit Jenderal Lan Yu akan berkeliling hingga tempat ini. Tuan
Muda dan Pangeran silahkan naik ke kuil” jawab Tamtama Bohai.
Changyi mengangguk setuju.
“Baiklah Paman” jawabnya. “Jika begitu, kami akan
naik sekarang dan jika ada sesuatu yang berbahaya, maka segera berikan isyarat
padaku”.
Tamtama Bohai tertawa pelan.
“Tentu saja Tuan Muda. Saya pasti akan memberikan
isyarat pada Tuan Muda” ujarnya sambil mengangguk.
“Masih ingat isyarat rahasia yang kuajarkan pada
Paman bukan?” tanya Changyi sambil tersenyum.
“Tentu saja Tuan Muda” jawab Tamtama Bohai
tertawa. “Jika nanti terjadi keadaan yang berbahaya, saya akan segera
memberikan isyarat pada Tuan Muda Xu dan saya berharap Anda akan segera keluar
dan pergi dari kuil”.
“Baiklah Paman” jawab Changyi sambil mengangguk.
“Kalau begitu, kami berangkat sekarang”.
“Baik Tuan Muda. Hati-hatilah” Tamtama Bohai
membungkukkan tubuhnya.
Tak ada kata lagi. Changyi segera menggebrak
kudanya membuat si Hitam segera melompat cepat menembus kelebatan hutan,
menapaki jalan setapak sempit di depannya seolah kuda tersebut telah mengetahui
arah mana yang di tuju. Keempat kakinya menari dalam irama yang cepat namun tak
menimbulkan suara di tanah hutan yang lembab nyaris basah oleh embun malam yang
telah turun.
Hingga, hanya dalam waktu yang singkat, Pangeran
Zhu Di telah melihat gerbang kuil yang terlihat kokoh namun sederhana, terbuat
dari pahatan batu yang di ukir dengan lampu kertas yang bersinar temaram.
Pangeran Zhu Di hampir mengira bahwa kuil itu tersebut sangat sepi hingga
mendadak dari dalam kuil melesat sesosok tubuh kecil yang melompat cepat dan
sangat ringan dan tiba-tiba saja sesosok tubuh yang barus saj muncul dari dalam
kuil tersebut telah berdiri tepat di depan pintu gerbang.
“Kakak!....Kakak datang!” seru sesosok remaja
bertubuh kecil dan kurus dalam balutan baju lusuh berhias beberapa tambalan
yang jelas terlihat.
Pangeran Zhu Di segera mengingat remaja itu
sebagai anak yang berdiri di sisi jalan kemarin pagi saat mereka tengah dalam
perjalanan menuju lokasi perkemahan.
Si Hitam telah berhenti hanya dalam jarak satu
tombak di depan anak remaja bertubuh kecil dan kurus yang berdiri menanti
dengan wajah penuh binar gembira sementara Changyi sendiri seperti terlupa pada
keberadaan Pangeran Zhu Di di belakangnya segera melompat turun. Gerakannya
sangat ringan dan meski Changyi duduk tepat di depan sang pangeran keempat,
namun ia sama sekali tak menyentuh Pangeran Zhu Di saat bergerak dengan ringan
dan cepat turun dari atas punggung kudanya.
Selanjutnya, tanpa kata-kata, Changyi segera
berlari ke arah anak remaja kecil yang menantinya dan kemudian memeluknya dalam
pelukan yang erat.
“Adik chen…bagaimana keadaanmu? Apakah kau baik-baik
saja? Apakah kau senang dan bahagia selama aku pergi?” bisik Changyi di atas
kepala Chen.
Chen mengerjab-kerjabkan sepasang matanya yang
terasa panas. Senyum merekah di bibirnya.
“Ya Kakak…aku baik-baik saja. Selain rasa rindu
pada Kakak, semua kebutuhanku terpenuhi di sini dan Bapak Tua sangat sayang
padaku” jawab Chen membuat Changyi mendesah dengan penuh rasa lega dan perlahan
melepaskan pelukannya pada Changyi.
Chen menggunakan kesempatan saat Changyi telah
melepaskan pelukannya untuk mengamati Changyi dengan lebih jelas. Senyum
lebarnya merekah dan kedua matanya yang bening dipenuhi binar bangga.
“Wah…Kakak…coba lihat Kakak sekarang. Kakak gagah
sekali. Juga sangat tampat dan harum. aku dan juga semua biksu di sini telah
mendengar bahwa Kakak telah menjadi putra angkat dari Panglima Tertinggi
kerajaan. Aku senang sekali mendengarnya. Meskipun aku sedikit cemas bahwa
setelah menjadi putra seorang Jenderal Besar, maka Kakak akan sangat sibuk dan
tidak bisa lagi menemuiku di sini” ucap Chen sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya.
“Aku tidak mungkin melupakanmu Adik Chen. Tidak
mungkin aku melupakanmu” sahut Changyi sambil memegang kedua bahu Chen dan
sedikit mengguncangnya. “Kau percaya padaku bukan?”.
Chen tertawa pelan hingga deretan giginya yang
putih rapi terlihat dan berkilau cemerlang.
“Aku selalu percaya pada Kakak” sahut Chen sambil
mengangguk.
“Tidakkah aku perlu berkenalan dengan Adik
Chen?”sebuah suara membuyarkan perhatian Changyi dan Chen membuat keduanya
seketika menoleh ke arah asal suara.
Changyi segera teringat bahwa ia datang dengan
membawa seseorang bersamanya. Bibirnya mengurai senyum sementara tangannya
meraih tangan Pangeran Zhu Di telah berdiri tepat di belakangnya.
“Ah…Pangeran…maaf saya telah melupakan Anda” ucap
Changyi sambil menarik tangan Pangeran Zhu Di hingga kini sang pangeran kecil
itu berdiri di sisinya. Pandangannya sesaat teralih pada Chen sebelum kemudian
kembali pada sang pangeran keempat. “Pangeran, perkenalkan, inilah Adik Chen,
adik saya yang telah saya ceritakan pada Pangeran kemarin malam”.
Pangeran Zhu Di mengembangkan senyum miring
khasnya samba menatap ke arah Chen sementara Changyi beralih pada Chen yang
juga tengah menatap Pangeran Zhu Di.
“Adik Chen…perkenalkan, ini adalah Pangeran Zhu
Di, putra keempat Kaisar Ming Tai Zhu” ucap Changyi pada Chen.
Chen segera membungkukkan tubuhnya ke arah
Pangeran Zhu Di sebagai penghormatan pada sang pangeran putra keempat Kaisar
Hongwu tersebut sementara Pangeran Zhu Di justru tertawa dan kemudian menarik
lengan Chen dan sesaat kemudian, sang pangeran kecil itu telah memeluk Chen
membuat changyi terkejut dan Chen seketika merasa sangat kikuk.
“Ah Adik
Chen…akhirnya kita bertemu. Aku telah mendengar cerita tentangmu dari
Kakak Xu dan dari caranya bercerita tentangmu, aku jadi tahu betapa besarnya
perhatian Kakak Xu padamu. Sejak hari itu aku sangat ingin bertemu denganmu”
ujar Pangeran Zhu Di sambil memeluk Chen.
Chen menatap Changyi dengan ekspresi bingung dan
sepasang alis terangkat naik seolah ingin bertanya “Ada apa dengannya?” sementara
Changyi justru mengangkat bahunya seolah jawaban “Entahlah…dia memang seperti
itu” atas pertanyaan yang tersirat dari ekspresi Chen.
“Eh..iya Pangeran…terima kasih karena Anda begitu memperhatikan hamba” sahut Chen
sambil perlahan menggerakkan tubuhnya sebagai usaha agar Pangeran Zhu Di
melepaskan pelukannya. “namun, alangkah baiknya jika kita masuk ke dalam karena
Bapak Biksu Tua telah menunggu Anda dan Kakak Changyi”.
Dan Pangeran Zhu Di memang benar-benar melepaskan
pelukannya. Pandangannya sessat menetap pada wajah Chen sebelum kemudian
berpaling pada Changyi.
“Bapak Biksu Tua?” tanya Pangeran Zhu Di pada
Changyi.
Changyi mengangguk. “Benar Pangeran” sahutnya.
“Bapak Biksu Tua adalah Biksu yang menjadi kepala kuil ini. Dan karena usia yang
sudah tua, maka kami memanggilnya Bapak Biksu Tua”.
“Lalu…apa maksudnya ‘menungguku dan Kakak Xu?
Apakah itu berarti, Bapak Biksu Tua bisa mengetahui bahwa kita akan datang ke
tempat ini? ataukah Paman Bohai telah lebih dulu memberitahu pada Bapak Biksu Tua
bahwa kita akan datang ke sini?” tanya Pangeran Zhu Di kembali. Sepasang
alisnya sedikit berkerut sementara benaknya berputar menebak-nebak jawaban yang
masuk akal.
Changyi dan Chen saling berpandangan sejenak
sebelum kemudian Changyi mengangguk.
“Itu benar Pangeran” jawab Changyi membuat
sepasang mata jernih Pangeran Zhu Di terbelalak.
“Tapi…bagaimana bisa?” tanya Pangeran Zhu Di
dengan nada takjub.
“Jika Pangeran ingin mengetahuinya, sebaiknya Anda
bertanya langsung pada Bapak Biksu Tua di dalam. Mari silahkan Pangeran…ikuti
saya” kali ini Chen yang menjawab. Lalu, tanpa menunggu kalimat selanjutnya
dari mulut Pangeran Zhu Di, remaja bertubuh kecil dan kurus itu segera
mendahului melangkah masuk ke dalam kuil setelah terlebih dahulu membungkuk ke
arah Pangeran Zhu Di.
“Mari silahkan Pangeran” Changyi mempersilahkan
Pangeran Zhu Di yang masih terlihat penasaran untuk masuk ke dalam kuil lebih
dahulu. Dan selanjutnya, remaja berparas cemerlang itu mengikuti sang pangeran
keempat setelah mengambil tali kekang si hitam dan menuntun kuda yang terlihat
sangat menurut pada Changyi itu untuk memasuki Kuil Bulan Merah.
Di bagian dalam kuil, ternyata telahmenunggu
banyak biksu yang duduk dalam deretan yang rapi. Saat Pangeran Zhu Di dan
Changyi masuk ke dalam aula yang luas, kesemua biksu tersebut segera berdiri
dari duduk mereka dan membungkuk dengan penuh hormat.
“Hormat kami untuk Yang Mulia Pangeran Zhu Di dan
Tuan Muda Xu Changyi. Selamat datang di Kuil Bulan Merah, semoga selalu dalam
kesehatan, keselamatan dan panjang umur” seru semua biksu dalam aula dengan
suara serempak.
Dua rekasi berbeda segera terlihat.
Sang pangeran keempat mengangguk dengan senyum
ramah yang merekah indah, sedangkan Changyi justru terlihat sangat jengah
dengan penghormatan yang diberikan oleh semua biksu padanya dan pangeran Zhu
Di. Mungkin saja, bagi Pangeran Zhu Di, hal ini telah biasa di terimanya dan
memang sebagai panegran keempat, pangeran Zhu Di pantas untuk menerima
penghormatan dari semua orang. Tapi dirinya, siapalah dirinya ini? Ia hanya
seorang anak tanpa orangtua dengan nasib sangat beruntung bisa menjadi bagian
dari keluarga seorang Jenderal Besar. Menerima penghormatan dari para prajurit,
dayang dan kasim atau rakyat di luar tembok istana telah biasa ia terima tanpa
rasa jengah. Namun, menerima penghormatan dari para biksu sementara ia pernah
tinggal dan berbaur bersama dengan mereka selama dua tahun lamanya, sungguh
alangkah berat baginya. Changyi justru merasa seperti di tampar. Karena itu,
rona merah segera melapisi kulit wajahnya yang halus bersinar.
Namun, ia takbisa menampik penghormatan itu
sekarang. dalam hati ia menyadari, bahwa penghormatan itu sesungguhnya
diberikan pada Jenderal Xu Da, ayah angkatnya yang kini namanya telah melekat
di depan namanya sendiri. Karena itu, Changyi kemudian tersenyum kepada seluruh
biksu dan menangkupkan sepasang tangannya di depan dada sebagai bentuk rasa
terima kasih pada mereka. Hingga kemudian, saat Changyi dan Pangeran Zhu Di
telah sampai di depan Biksu Tua, para biksu muda itupun segera berlalu
meninggalkan ruang aula.
“Bapak Guru” panggil Changyi pada Biksu Tua yang
duduk bersila di bawah patung besar Budha. Tubuhnya segera membungkuk dengan
sepasang tangan mengatup di depan dada sebagai penghormatan pada lelaki tua
yang masih terlihat sangat segar dalam usia senjanya tersebut. Pangeran Zhu Di
mengikuti apa yang dilakukan oleh Changyi setelah sesaat menatap sang Biksu Tua
di depan mereka dengan tatapan menyelidik.
“Changyi….akhirnya kau pulang” sahut Biksu Tua
sambil menepuk bahu Changyi dan sekilas mengelus kepalanya. Lalu, pandangan
sang biksu yang sangat teduh tersebut beralih pada Pangeran Zhu Di.
“Selamat datang di kuil kami Yang Mulia” ucap
Biksu Tua pada Pangeran Zhu Di sambil membalas penghormatan dari Pangeran Zhu
Di dengan sedikit membungkukkan tubuhnya.
Pangeran Zhu Di tersenyum dan mengangkat wajahnya.
Rona gembira nyata tersirat di wajahnya yang tampan.
“Saya sangat senang bisa bertemu dengan Bapak
Guru, Kakak Xu telah bercerita tentang Bapak Guru pada saya. Mohon berkati saya
Bapak Guru” sahut Pangeran Zhu Di sambil kembali membungkukkan tubuhnya di
depan Biksu Tua.
Sang Biksu Tua tertawa. Tangannya yang halus dan
sejuk bergerak ke arah kepala Pangeran Zhu Di dan mengelusnya sama seperti yang
ia lakukan pada Changyi.
“Anda akan di liputi oleh kejayaan Yang Mulia.
Nama Anda akan di kenal oleh banyak sekali orang karena kejayaan Anda bahkan
hingga negeri-negeri di seberang samudera. Tetapi, Anda harus bersabar dan
jangan pernah menurutkan keinginan hati yang hanya membawa kesenangan sesaat
saja karena itu akan membuat Anda kehilangan sesuatu yang sangat berharga dari
sisi Anda” ucap Sang Biksu Tua dengan suara pelan namun jernih.
Pangeran Zhu Di kembali tersenyum dan mengangguk.
“Terima kasih untuk berkat dari Bapak Guru. Saya
akan selalu mengingat nasihat dari Bapak Guru” sahut Pangeran Zhu Di kemudian.
Changyi menatap Sang Biksu Tua dan Pangeran Zhu Di
bergantian sambil tersenyum. Ia benar-benar gembira saat ini. Rasa sedih dan
penat dalam hatinya selama beberapa hari kini lenyap seketika. Karena itu,
ketika Sang Biksu Tua mengajaknya untuk berbincang-bincang sejenak, Changyi
segera menyambutnya dengan gembira dan penuh semangat. Kemudian, ketika tiba
giliran Pangeran Zhu Di yang terlibat pembicaraan dengan Sang Biksu Tua,
Changyi menggeser duduknya dan setelah berpamitan pada sang guru, ia segera
berjalan keluar dari aula dan menemui biksu-biksu lain yang duduk menunggu. Dan
kali ini, Changyi tidak ragu-ragu lagi. di dekati dan dipeluknya para biksu itu
satu demi satu dengan kerinduan yang mendalam. Para biksu membalas pelukan
Changyi dengan gembira dan sesaat kemudian, suara tawa mengalir dalam nada yang
bahagia.
Pangeran Zhu Di masih belum meninggalkan aula
tempatnya berbincang dengan Biksu Tua dan Changyi menggunakan kesempatan itu
untuk duduk bersama para biksu muda hingga kemudian, pembicaraanpun mengalir
dengan ringan dan penuh canda.
“Bapak Guru, terlihat masih sangat segar. Aku
sangat senang mengetahuinya” ucap Changyi pada biksu muda yang duduk di
sampingnya.
“Itu benar” sahut biksu muda tersebut sambil
menghela nafas. “Tapi Guru semakin jarang meninggalkan ruang pemujaan”.
Changyi menatap biksu muda di sisinya.
“Benarkah?” tanyanya pada sang biksu muda. “Apakah
Bapak Guru juga masih sedikit makan?”.
“Semakin hari, Guru semakin sedikit makan” sahut
biksu lain yang berusia sekitar dua puluhan tahun. “Pernah guru tidak makan
dalam tiga hari. Kami sangat khawatir bahwa ia akan sakit tapi, saat guru
keluar dari rang pemujaan, kami semua hanya melihat kesegaran di tubuh dan
wajahnya. Tidak ada yang lain”.
“Dan juga, semakin hari, Guru semakin jarang
keluar. Hari ini sangat istimewa karena tiba-tiba saja Guru keluar dari ruang
pemujaan setelah empat belas hari lamanya berada di ruang pemujaan tanpa keluar
sama sekali. Lalu, tiba-tiba tadi siang, Guru keluar dan mengatakan bahwa kau
dan salah satu pangeran putra Kaisar Ming Tai Zhu akan datang” sambung biksu
lain yang terlihat telah matang dalam usianya yang menginjak empat puluh tahun.
“Apakah Bapak Guru masih selalu tahu apa yang akan
terjadi kemudian?” tanya Changyi nyaris berbisik. Sepasang matanya yang jernih
sedikit menyipit.
Beberapa biksu tertawa melihat ekspresi Changyi.
“Itu benar…bahkan sekarang, lebih jauh lagi.
Sepertinya, Guru sudah mulai menyatu dengan Budha” sahut salah satu biksu yang
berusia lebih dari lima puluh tahun. Wajahnya bersih bersinar dengan kulit
wajah yang sehalus kulit bayi. “Saat hari kau di bawa pergi oleh Jenderal Xu
Da, beberapa dari kami menangis termasuk adikmu itu. Lalu, Guru berkata, kenapa
kami menangis sedangkan Jenderal Xu Da datang untuk menjemput putranya. Jadi
sudah seharusnya kau pergi mengikuti ayahmu”.
“Lalu” sambung biksu muda yang duduk tepat di
samping Changyi. “Beberapa bulan setelah kau pergi, kami mendengar bahwa
Jenderal Xu Da telah membawa putranya yang sangat cemerlang secara terbuka di
depan umum dan rakyat ramai. Kami tidak perlu datang untuk melihat putra
Jenderal Xu Da yang sangat cemerlang itu karena kami sudah tahu bahwa itu
adalah kau Changyi”.
“Tapi Changyi…meskipun hal tersebut benar, kau
tidak perlu berbisik-bisik apalagi dengan ekspresi wajah seperti itu. Aku
sangat yakin, Guru sudah tahu dan mendengar semua yang kita bicarakan saat ini”
ujar biksu lain dengan suara jernih dan tenang yang segera di sambut dengan tawa
oleh biksu-biksu lain.
Changyi tersenyum dan menundukkan wajahnya yang
memerah karena malu. “Ah….aku tidak sehebat itu” bisiknya dengan pipi
menyemburat malu.
Tawa para biksu semakin panjang mendengar kalimat
Changyi dan wajah remaja tersebut yang tersipu-sipu.
“Jika begitu, tak ada lagi yang bisa disembunyikan
dari Bapak Guru” sahut Changyi kemudian dengan suara pelan.
Biksu-biksu lain segera mengangguk membenarkan
ucapan Changyi.
“Lalu, bagaimana dengan Adik Chen? Apakah ia bisa
hidup dengan baik setelah aku pergi ke Yingtian? Apakah ia merepotkan
kakak-kakak semuanya?” tanya Changyi kemudian.
Kali ini, biksu yang berusia sekitar lima puluhan
tahun dan berkulit sehalus bayi yang angkat bicara lebih dulu.
“Tidak Changyi….itu tidak benar” ujar sang biksu
sambil menggelengkan kepalanya yang gundul bersih. “Pada awalnya, Chen memang
sangat sedih karena harus berpisah denganmu. Tapi, setelah mendengar dari Guru
bahwa sesungguhnya Jenderal Xu Da datang untuk menjemput putranya, percaya atau
tidak, Chen menjadi orang yang paling gembira di antara kami semua. Setiap hari
ia tertawa dan bernyanyi. Lalu, saat tersiar kabar bahwa Jenderal Xu Da telah
mengenalkan putranya yang sangat cemerlang di depan rakyat ramai, Chen
hampir-hampir tak bisa menahan kegembiraannya. Ia pergi ke puncak gunung dan
berteriak memuji Thian yang perkasa lalu mengucapkan terima kasihnya dengan
bersujud berkali-kali hingga dahinya terluka dan mengalirkan darah”.
Changyi terbelalak mendengar penjelasan dari biksu
yang terlihat teduh dan bijaksana tersebut. Namun hanya sesaat, karena kemudian
kepalanya segera tertunduk. Sepasang matanya mengerjab-kerjab untuk
menyembunyikan rasa hangat yang merebak. Begitukah? Chen begitu bahagia karena
melihat ia masuk dalam kehidupan yang sangat terhormat dan menjalani
kehidupannya dengan bahagia meski mereka harus terpisah. Sementara ia, berapa
banyak ia memikirkan Chen sebelum beberapa hari yang lalu ketika batinnya
dihimpit rasa rindu pada adiknya itu?. Kehidupan istana telah merampas begitu
banyak tempat dalam benaknya hingga ia hanya memiliki sangat sedikit tempat
tersisa untuk memikirkan Chen. Mendadak Changyi merasa malu. Ia, yang selama
ini selalu merasa memikirkan tentang hal baik bagi Chen, ternyata telah kalah
jauh di banding dengan adiknya yang bertubuh kecil dan kurus itu. Siapa
memikirkan siapa? Kenyataannya, di balik tubuh Chen yang kecil kurus itu
tersembunyi sebuah jiwa dan dunia yang besar dan luas.
“Lalu, di mana Adik Chen sekarang? aku tidak
melihatnya lagi sejak kami masuk ke ruang aula” tanya Changyi sambil menatap
biksu-biksu di sekitarnya.
“Pastinya ia berada di dapur” jawab biksu yang
terlihat paling ceria. Biks tersebut duduk dua jeda dari Changyi. Usianya
sekitar dua puluh dua atau dua puluh tiga tahun. “Sejak ia mendengar dari Guru
bahwa kau akan datang, Chen hampir tidak meninggalkan dapur. Kupikir ia pasti
sedang menyiapkan makanan untukmu dan Pangeran”.
“Benar Changyi. Kau tunggu saja” sahut biksu lain.
“Sebentar lagi, adikmu pasti akan segera keluar dan membawa banyak makanan untuk
kita semua”.
“Chen itu, semakin hari ia semakin aneh saja.
Tubuhnya kecil dan kurus tapi kekuatannya sangat besar sehingga ia bisa memasak
begitu banyak sendirian tanpa sedikitpun terlihat lelah. Dan sepertinya, ia
semakin dekat dengan Guru. Ia sangat sering berada di ruang pemujaan saat Guru
tidak juga keluar. Kami tidak tahu apa yang mereka kerjakan, tapi, Chen semakin
lama semakin terlihat berbeda” ujar biksu bertubuh gemuk yang berusia tiga
puluhan tahun. Ia duduk agak jauh dari Changyi namun Changyi dapat mendengar
dengan jelas setiap kata yang diucapkannya.
Changyi menoleh ke arah biksu tersebut dengan
sepasang alis berkerut.
“Apa maksud Kakak?” tanya Changyi kemudian. “Aneh
bagaimana yang Kakak maksudkan?”.
Sang biksu bertubuh gemuk mengangkat bahunya yang
berlemak.
“Maksudku…Chen itu, ia semakin sulit untuk
ditebak, sama seperti Guru sendiri. Ia sangat berbeda denganmu Changyi. Saat
kami bersamamu, kami bisa menebak apa yang kau rasakan. Tapi, kami benar-benar
sulit untuk menebak apa yang sedang Chen pikirkan atau akan ia lakukan. Kami
juga tidak tahu lagi, sejauh mana ilmu yang ia miliki karena Chen tidak pernah
lagi berlatih dengan kami. Hari-harinya habis untuk mencari daun-daun untuk
herbal pengobatan serta bahan makanan” ujar sang biksu gemuk sambil menatap
jauh ke arah pintu dapur di mana asap lembut dan aroma makanan tercium dalam
aliran udara yang mengalir.
“Itu benar” ujar biksu muda di sisi Changyi. “Dan
khusus tentang makanan yang dimasaknya, kami tidak tahu bagaimana Chen berlatih
untuk memasak dengan cara yang begitu
hebat. Tapi, setiap makanan yang dibuatnya, meski hanya terbuat dari
bahan yang sangat sederhana, namun selalu memiliki rasa yang luar biasa. Ia
bahkan pernah memasak dengan batu. Kami tidak tahu bahwa ada beberapa jenis batu yang bila di
gunakan dalam masakan maka bisa memberikan rasa dan kelezatan pada bahan
makanan yang di masak”.
‘Sudahlah” potong biksu muda lain yang duduk tepat
di depan Changyi. “Jangan bicarakan tentang masakan Chen lagi. tak akan habis
kata untuk membicarakannya. Lebih baik biarkan Changyi merasakan sendiri
masakan adiknya, dan nanti ia akan tahu”.
Changyi terpana sesaat namun kemudian mengangguk
dan tersenyum. Tepat bersamaan dengan keluarnya Pangeran Zhu Di dari ruang aula
dan berjalan menuju ke arah Changyi. Para biksu yang semula duduk di sekitar
Changyi segera berdiri dan membungkuk dalam memberikan penghormatan pada
pangeran kecil yang terlihat ceria dan sangat gembira itu. Pangeran Zhu Di
membalas penghormatan para biksu dengan menangkupkan dua tangannya yang mungil dan
putih bersih di depan dada dan masih
terus menangkupkan sepasang tangannya hingga para biksu berjalan pergi dan
kembali masuk ke dalam aula untuk menemui Biksu Tua, meninggalkan sang pangeran
keempat dengan Changyi sendiri.
“Apakah Anda telah mengerti tentang Bapak Guru
sekarang Pangeran?” tanya Changyi sambil tersenyum.
Pangeran Zhu Di tersenyum dengan senyum separonya
yang khas. Kepalanya mengangguk.
“Itu benar Kakak. Bapak Guru benar-benar sangat
luar biasa. Aku bisa bertanya tentang apa saja pada Bapak Guru dan aku selalu
mendapat jawaban yang tepat” jawab Pangeran Zhu Di sambil duduk di sisi
Changyi. Sesaat ia menata posisi duduknya sebelum kemudian pandangannya beredar
menatap kesekeliling. “Tapi, di mana Adik Chen? Kenapa ia tidak terlihat?”.
Changyi menatap ke arah pintu dapur dan melihat
bahwa pertanyaan Pangeran Zhu Di segera mendapat jawaban. Chen terlihat datang
sambil membawa dua nampan besar di kedua lengannya. Dalam sedetik, Changyi
segera melihat kebenaran kalimat yang diucapkan oleh para biksu sebelumnya
tentang kemampuan chen yang mulai tidak terukur. Dua nampan itu terlihat
terlalu besar dan berat untuk ukuran dua tangkai lengan Chen yang kecil dan
kurus. Namun, Chen terlihat berjalan dengan langkah cepat dan santai. Tak
terkilas sedikitpun rasa berat maupun lelah di wajahnya. Bahkan wajah Chen-pun
terlihat jernih tanpa kilap keringat. Dalam hati, Changyi mulai menebak-nebak,
sedalam apa adiknya telah belajar ilmu dari Sang Biksu Tua?.
“Ah…itu dia Adik Chen!” seru Pangeran Zhu Di yang
juga melihat kedatangan Chen dengan dua nampan di lengannya.
Chen meletakkan kedua nampan yang dibawanya di
depan Changyi dan Pangeran Zhu Di dengan gerakan gesit. Di atas nampan terlihat
beberapa mangkuk tanah liat lengkap dengan tutupnya dan tak ada satupun dari
mangkuk tersebut yang bergeser ataupun bergerak meski Chen meletakkan nampannya
dengan gerakan yang terlihat agak kasar. Dan semua itu tak lepas dari
pengamatan Changyi.
“Apa ini Adik Chen?” tanya Pangeran Zhu Di sambil
menatap mangkuk-mangkuk yang ditata oleh Chen di atas meja yang ada di sisi
Changyi dan Pangeran Zhu Di.
Chen tersenyum.
“Hanya sedikit makanan sederhana Pangeran. Bapak
Tua menginginkan agar Pangeran dan Kakak Changyi makan dahulu sebelum kembali
ke perkemahan” jawab Chen.
“Waah…kebetulan sekali aku sangat lapar. Tadi saat
semua orang tengah memanggang daging, aku sama sekali tidak berselera dan hanya
menunggui Yang Mulia Kaisar agar meminum anggur putihnya sebanyak-banyaknya”
sahut Pangeran Zhu Di dengan polos membuat Changyi seketika memutar bola
matanya.
“Kalau begitu, saya berharap Pangeran akan
menyukai masakan saya dan makan dengan lahap” ujar Chen sambil menyodorkan dua
buah mangkuk kosong masing-masing pada Changyi dan Pangeran Zhu Di lengkap
dengan satu buah sendok kayu dan sepasang sumpit. “Kakak Changyi dan Pangeran
Zhu Di…silahkan bersantap”.
Changyi menatap adiknya yang terlihat bersiap-siap
untuk berdiri.
“Adik Chen, kenapa kau tidak makan bersama kami?
Ayolah makan bersama kami, temani kami di sini” ucap Changyi pada Chen.
“Ah ya Kakak…sebaiknya Kakak dan Pangeran Zhu Di
makan lebih dulu. Aku harus mengambil makanan untuk Bapak Tua dan biksu-biksu
lain di aula. Nanti, setelah aku selesai, maka aku akan kembali kemari untuk
menemani Kakak dan Pangeran Zhu Di” jawab Chen.
Pangeran Zhu Di mengangguk mengerti sementara
tangannya telah meraih mangkuk bagiannya.
“Ah begitu…baiklah Adik Chen…silahkan. Tapi kau
harus segera kembali kemari dan makan bersama kami” ucap Pangeran Zhu Di.
Changyi mengangguk membenarkan ucapan Pangeran Zhu
Di. “itu benar Adik Chen. Kembalilah setelah kau selesai”.
“Tentu” jawab Chen sambil tersenyum. “Kakak dan
Pangeran Zhu Di silahkan makan. Saya akan segera kembali”.
Changyi kembali mengangguk dan sejenak menatap
punggung adiknya saat Chen melangkah kembali ke arah pintu dapur kuil. Tangannya
masih belum menyentuh mangkuk kosong bagiannya sementara Pangeran Zhu Di justru
telah membuka tutup-tutup mangkuk besar dan kemudian, sepasang mata jernih
Pangeran Zhu Di melebar dengan binar-binar cerah. Meski sepasang alisnya
terlihat sedikit kerut saat ia melihat beberapa jenis masakan yang nampaknya
belum pernah dilihat sebelumnya. Sesaat kemudian, tangan sang pangeran keempat
tersebut telah sibuk mengambil beberapa jenis makanan dalam mangkuk menggunakan
sumpit besar yang disediakan oleh Chen, memindahkan makanan tersebut ke dalam
mangkuknya sendiri hingga dalam waktu singkat, mangkuk sang pangeran telah
penuh oleh makanan, dan kemudian, sambil diliputi ekspresi rasa ingin tahu,
sang pangeran keempat yang menjadi kesayangan semua orang di istana itu mulai
menyuap makanan yang terhidang di depannya.
Hanya beberapa detik untuk merasakan makanan yang
telah masuk ke dalam mulutnya, detik selanjutnya, Pangeran Zhu Di berhenti
mengunyah dan menatap makanan di dalam mangkuknya. Changyi yang melihat hal
itu, menjadi sedikit cemas bila saja sang pangeran ternyata tidak menyukai
makanan yang dimasak oleh Chen. Karena itu, Changyi segera meletakkan kembali
sumpit besar yang semula hendak digunakannya untuk mengambil beberapa potong
sayuran dari dalam mangkuk besar.
“Kenapa Pangeran? Apakah makanan yang dihidangkan
oleh Adik Chen tidak enak? Apakah Anda tidak menyukai makanan-makanan ini?”
tanya Changyi beruntun dengan rasa cemas yang tersirat dalam suaranya.
Pangeran Zhu Di tidak segera menjawab. Tatapannya
masih terarah pada makanan dalam mangkuknya, sementara sumpit yang dipegangnya
digunakan untuk membalik-balik makanan yang ada dalam mangkuk tersebut.
“Aneh sekali” gumam Pangeran Zhu Di sambil terus
membalik sepotong sayur dalam mangkuknya. Lalu, dengan gerakan cepat, disuapnya
sayur tersebut dan dikunyahnya dengan penuh semangat. Sejenak kemudian, sang
pangeran keempat itu telah menyuap setiap makanan dalam mangkuknya hingga habis
tak bersisa. Bahkan kemudian, Pangeran Zhu Di kembali mengambil makanan dari
mangkuk besar dan kembali menyuapnya. Demikian berkali-kali hingga kemudian,
sang pangeran yang ceria itu meletakkan mangkuknya yang telah kosong dan
menyandarkan tubuhnya pada tiang kuil di belakangnya dengan gerakan malas
karena rasa kenyang.
Changyi yang melihat bagaimana sang pangeran
keempat menghabiskan beberapa mangkuk makanan sekaligus, maka dengan sendirinya kecemasan yang sempat
menghinggapi dirinya bahwa Pangeran Zhu Di tidak menyukai masakan Chen segera
tertepis. Sebuah senyum menyeruak di bibir Changyi.
“Apakah Anda merasa kenyang Pangeran?” tanya
Changyi sambil meletakkan mangkuknya yang telah pula kosong. Ia telah terbiasa
memakan masakan Chen meski selama satu tahun hingga hari ini, ia harus
membiasakan lidahnya dengan cita rasa makanan buatan juru masak istana. Karena
itu, ia telah merasa cukup dengan menghabiskan satu mangkuk penuh nasi putih
harum dan satu mangkuk penuh sayuran. Rasa rindu dalam hatinya pada Chen lebih
tercukupi dengan menatap, memeluk dan mendengar suara adiknya itu.
“Benar Kakak. Sungguh memalukan sekali. Aku
kekenyangan sampai perutku terasa seperti mau pecah” jawab Pangeran Zhu Di
sambil mengelus perutnya.
“Jika demikian, apakah itu artinya Anda menyukai
masakan saya Pangeran?” tanya Chen mengejutkan Changyi dan Pangeran Zhu Di yang
sama sekali tak melihat kapan adanya anak bertubuh kecil dan kurus itu datang.
“Adik Chen, kapan kau datang? Kenapa tiba-tiba kau
sudah ada di sini?” tanya Changyi dengan alis berkerut. Dalam hati ia semakin
bertanya-tanya, sejauh mana sebenarnya keilmuan Chen sekarang.
Pangeran Zhu Di tertawa pelan mendengar pertanyaan
Changyi.
“Mungkin karena kita sibuk menyantap masakan Adik
Chen, sehingga kita tidak tahu bahwa dia telah datang di sisi kita Kakak” ujar
Pangeran Zhu Di menjawab pertanyaan Changyi.
Chen mengangguk sambil tersenyum. “Anda benar
Pangeran. Sebenarnya saya telah ada di dekat Kakak Changyi dan Pangeran Zhu Di,
tapi karena Kakak dan Pangeran sibuk makan, saya hanya duduk diam menunggu”.
Changyi manggut-manggut sementara Pangeran Zhu Di
justru terlihat begitu bersemangat. Jarinya menunjuk ke arah mangkuk-mangkuk
besar yang isinya telah kosong setelah berpindah ke dalam perutnya dan Changyi.
“Adik Chen, apa sebenarnya yang kau masak? Kenapa
begitu lezat? Aku mengenali beberapa jenis bahan dalam masakan ini meski di
istana, bahan-bahan itu tidak lagi dipakai dalam masakan. Tetapi, rasa makanan
yang kau masak dari bahan-bahan tersebut kenapa menjadi demikian lezat? Aku
belum pernah merasakan masakan selezat ini seumur hidupku hingga saat ini.
bahkan di istana sekalipun” tutur Pangeran Zhu Di mengungkapkan kekagumannya.
Chen menatap pangeran Zhu Di sesaat dan tidak
segera menjawab hingga Changyi menggeser dudukya dan menepuk tempat di sisinya.
“Adik Chen…duduklah di sini dan jelaskan pada
Pangeran kenapa masakanmu bisa enak” ujar Changyi sambil tersenyum.
Chen mengangguk dan segera duduk di sisi Changyi.
Tangannya meletakkan sebuah mangkuk lain yang masih lengkap dengan tutupnya. Aroma
harum menguar keluar dari celah-celah sempit tutup mangkuk tanah liat yang
diletakkan oleh Chen.
“Apa lagi yang kau bawa Adik Chen?” tanya Pangeran
Zhu Di sambil menatap mangkuk besar yang di letakkan oleh Chen di depannya.
Cuping hidungnya mengembang dan mengempis menghirup aroma harum yang merembes
keluar dari celah sempit tutup mangkuk.
“Ini adalah kue Pangeran. Saya membuatnya sebagai
makanan penutup setelah Pangeran dan Kakak selesai bersantap” sahut Chen sambil
tersenyum.
“Kue?” sepasang mata Pangeran Zhu Di membesar. “Bolehkan
aku membukanya?”.
“Silahkan Pangeran” Chen mengangguk. “Kue ini
memang khusus saya buat untuk Anda dan Kakak”.
Pangeran Zhu Di tersenyum ceria. Demikian jawaban
Chen selesai di ucapkan, maka pada detik yang sama, jemari tangan sang pangeran
tersebut telah berkelebat ke arah tutup mangkuk, dan pada detik berikutnya,
tutup mangkuk tersebut telah terbuka dan bergulir ke samping mangkuk,
meninggalkan mangkuk besar yang terbuka dengan tumpukan kue yang terlihat masih
mengepulkan uap hangat serta bentuk yang mungil rapi. Pangeran Zhu Di
mengangkat wajahnya ke arah Chen dan membuka mulutnya siap untuk mengatakan
sesuatu, namun tidak jadi karena Chen telah meletakkan sepasang sumpit di depan
sang pangeran keempat.
“Silahkan Pangeran” ucap Chen mempersilahkan
Pangeran Zhu Di seolah ia telah tahu bahwa sang pangeran kecil itu memang
sangat ingin mencoba kue yang di masaknya.
Pangeran Zhu Di mengangguk dengan ceria sementara
Changyi tertawa pelan melihat semangat sang pangeran yang meletup-letup. Dan
selanjutnya, sang pangeran yang tampan itu telah sibuk dengan kue dalam mangkuk
yang disuapnya dengan penuh semangat.
“Adik Chen, apakah kau selalu berlatih bersama
Bapak Guru?” tanya Changyi sambil menatap Chen.
Chen tersenyum, lalu kepalanya menggeleng.
“Tidak Kakak….aku sudah lama tidak berlatih.
Hari-hariku aku hanya memasak, membuat kayu bakar dan mencari kayu akar. Jika
ada waktu lebih maka aku akan membaca buku sambil menunggui Bapak Tua di ruang
pembaca” jawab Chen sambil mengamati sang pangeran keempat yang kini sibuk
dengan kue-kue dalam mangkuknya.
“Kalau begitu, apakah kau mau menemani aku
sebentar untuk berlatih di sini? aku rindu berlatih denganmu Adik Chen” ujar
Changyi sambil menatap Chen penuh harap.
Chen tersenyum mendengar kalimat yang diucapkan
Changyi. Sejenak ditatapnya saudara yang lama tidak bertemu tersebut sebelum
kemudian pandangannya kembali beralih pada Pangeran Zhu Di.
“Sebelum aku kemari, Bapak Tua sempat mengatakan
padaku bahwa sebaiknya Kakak dan Pangeran Zhu Di segera kembali ke perkemahan
karena ada orang yang sangat kuat namun memiliki hati yang sangat panas sedang
mencari Kakak. Jika Kakak dan Pangeran Zhu Di tidak segera muncul kembali di
perkemahan, maka ia akan menjadi curiga dan hal itu tidak akan baik untuk Kakak
dan Pangeran Zhu Di” ucap Chen membuat Changyi dan pangeran Zhu Di terkejut.
Bahkan sang pangeran seketika menghentikan suapannya pada kue-kue dalam mangkuk
besar.
“Seseorang yang memiliki hati yang snagat panas?
Siapa dia?” tanya Changyi. Pandangannya mengarah pada pangeran Zhu Di dan
sesaat dua anak itu saling bertatapan dalam tanya.
“Apakah mungkin dia adalah Jenderal Lan Yu? Yang
Mulia Kaisar pernah mengatakan padaku bahwa sebenarnya Jenderal Lan Yu itu
orang yang sangat bagus dalam bakatnya. Namun sayang, hatinya begitu panas
hingga Yang Mulia Kaisar selalu merasa khawatir terhadapnya” tebak Pangeran Zhu
Di. Sepasang sumpit di sela-sela jarinya jatuh ke atas pangkuan.
Kedua mata Changyi membelalak saat ia menemukan
kebenaran dalam kata-kata Pangeran Zhu Di.
“Saya rasa itu benar Pangeran. Dan jika begitu,
kita memang harus segera kembali sebelum ia menjadi curiga dan kemudian, ketika
ia mencari kita dan tidak menemukan kita, ia pasti akan segera melaporkannya
pada Yang Mulia Kaisar” sambung Changyi membenarkan kalimat Pangeran Zhu Di. Kemudian,
kedua mata remaja itu beralih pada Chen. “Adik Chen, bisakah kau mengantar kami
untuk berpamitan pada Bapak Guru dan biksu-biksu yang lain?”.
Chen tersenyu, sambil mengangguk.
“Tentu saja Kakak….marilah ikut saya. Kurasa Bapak
Tua masih menunggu Kakak dan Pangeran sebelum kembali ke ruang pemujaan” ucap
Chen sambil berdiri di ikuti oleh Changyi dan Pangeran Zhu Di.
Dan hanya butuh waktu yang singkat bagi Changyi
dan Pangeran Zhu Di untuk berpamitan dengan semua biksu yang masih berkumpul di
ruang aula menunggui Biksu Tua yang duduk dalam ketenangannya. Hingga kemudian,
saat Pangeran Zhu Di membungkukkan tubuhnya dalam-dalam pada Biksu Tua, Biksu yang sangat teduh tersebut menepuk bahu
sang pangeran keempat.
“Yang Mulia…ingatlah baik-baik apa yang telah Yang
Mulia janjikan. Jika Yang Mulia akan selalu berjalan di jalan yang lurus. Karena
jalan yang lurus akan selalu membawa kita pada kebaikan darma dan ketercapaian
hakikat hidup yang menjadi tujuan setiap makhluk hidup. Jika Yang Mulia
tergelincir dari jalan yang lurus tersebut, meski hanya sesaat, maka sebuah tragedi
yang sangat memedihkan hati pasti akan terjadi dan akan membutuhkan waktu yang
sangat lama untuk memperbaikinya. Kemudian selama itu belum kembali pada
keseharusan yang semestinya terjadi, maka Yang Mulia akan selalu membawa
kesedihan hati yang mengikat kedua kaki untuk mencapai kesempurnaan penyatuan
dengan Thian di nirwana. Ingatlah pada janji yang telah Yang Mulia ucapkan pada
hamba” bisik Biksu Tua dengan nada lembut namun cukup untuk dapat di dengar
oleh Changyi yang berdiri satu langkah di belakang Pangeran Zhu Di serta semua
biksu yang telah berdiri dari posisi duduk mereka dan bersiap menunggu perintah
dari Sang Biksu Tua.
Pangeran Zhu Di tersenyum dan kembali
membungkukkan tubuhnya sambil menangkupkan sepasang tangannya di depan dada. Kali
lebih dalam.
“Tentu saja Bapak Guru, saya akan selalu memegang
janji yang telah saya ucapkan pada Bapak Guru. Jika sampai saya tidak menepati
janji tersebut, maka akhir hidup saya akan menanggung kesedihan dalam hati yang
tidak bisa saya ceritakan pada siapapun hingga kesalahan saya dapat diperbaiki
untuk kembali ke jalan yang lurus” sahut Pangeran Zhu Di dengan wajah cerah dan
senyum gemilang.
Biksu Tua mengangguk-angguk dengan senyum lembut
terukir di wajahnya yang seterang bulan purnama sebelum kemudian, pandangannya
beralih pada para biksu yang berdiri menanti.
“Antarkan Yang Mulia sampai di depan gerbang dan
berdoalah untuk keselamatan, panjang umur dan kejayaan Yang Mulia” perintah
Biksu Tua dengan suara yang halus.
“Baik Guru!” sahut para biksu dalam irama yang
serempak.
Pangeran Zhu Di berjalan menuju pintu keluar
sementara para biksu mengikuti di belakangnya. Changyi bergerak untuk mengikuti
Pangeran Zhu Di namun suara halus Biksu Tua membuat sang remaja berparas elok
tersebut menoleh ke arah sang guru.
“Bapak Guru?” panggil Changyi sambil kembali
melangkah ke arah Biksu Tua dan membungkukkan tubuhnya kembali.
“Changyi, jagalah Kaisar yang telah memilihmu
hingga ia menemukan jalan menuju singgasananya. Karena, di atas singgasana
tersebut, kejayaan tanah kita akan tersebar ke seluruh penjuru langit hingga
jauh melewati batas-batas samudera. Itu adalah jalan yang harus kau lalui
dengan seluruh ketetapan hati. Bahkan, jika kemudian kau tak memiliki pilihan,
maka kau harus tetap menjaganya dengan seluruh jiwamu. Kau ingat jalan darma
yang pernah kukatakan padamu? Tepatilah, dan kau akan memiliki kejayaan yang
menjadi milik jiwamu meski bukan di waktu kehidupanmu” ucap sang Biksu Tua sambil menatap Changyi
dalam-dalam.
Changyi sedikit mengerutkan alisnya. Namun,
kemudian, ia mengangguk dan kembali membungkukkan tubuhnya dalam-dalam di
hadapan sang guru.
“Saya akan selalu mengingat nasihat dari guru dan
menggenggamnya dalam hati dan jiwa saya” sahut Changyi.
“Bagus…sekarang pergilah dan jagalah rajamu” ucap
Biksu Tua sambil kembali mengelus kepala Changyi sebagaimana yang dilakukannya
saat kedatangan Changyi beberapa saat lalu.
Changyi membungkukkan tubuhnya dan menyentuh
telapak kaki sang guru sebelum kemudian melangkah menuju pintu keluar dari aula.
Di depan gerbang, terlihat Pangeran Zhu Di telah
berdiri di sisi si Hitam yang di pegang tali kekangnya oleh Chen. Para biksu
berdiri berjejer tepat di depan gerbang kuil.
“Kakak!” panggil Pangeran Zhu Di begitu melihat
Changyi yang melangkah keluar dari gerbang kuil.
Changyi tersenyum dan sekali lagi memeluk satu
demi satu biksu yang berdiri menantinya.
“Kakak semua, mohon jagalah Adik Chen, sampai aku
bisa kembali untuk menjemputnya” pinta Changyi yang disambut senyum lebar para
biksu.
“Jangan khawatir Changyi. Kami pasti akan menjaga
Chen. Meskipun sebenarnya, dia-lah yang menjaga kami” sahut sang biksu berkulit
sehalus bayi yang berumur lima puluhan tahun.
“Itu benar Changyi. Jangan merasa khawatir dan
belajarlah sebaik-baiknya serta ingatlah selalu apa yang telah di nasihatkan
oleh Guru” sambung biksu lain yang berusia dua puluhan tahun. Dengan senyum
cerah.
“Tentu…aku tidak akan mengecewakan kalian. Aku berjanji”
sahut Changyi sambil membungkukkan tubuhnya ke arah para biksu yang segera di
sambut oleh para biksu dengan membunngkukkan tubuh mereka juga.
“Kakak, aku membungkuk beberapa makanan untuk
Kakak dan Pangeran. Makanlah saat di perkemahan nanti” ucap Chen saat Changyi
telah berdiri di depannya.
Changyi tersenyum dan mengangguk sebelum kemudian
bergerak untuk memeluk saudara sehatinya itu.
“Aku selalu menjaga janjiku Adik Chen. Ingatlah itu.
AKu pasti akan datang untuk menjemputmu” bisik Changyi di telingan Chen.
“Aku percaya pada Kakak. Jangan cemas lagi” sahut
Chen dalam pula sementara kepalanya mengangguk.
Changyi menghela nafas lega dan berjalan menuju si
Hitam. Kemudian, hanya dalam sekali lompatan ringan, ia telah duduk di punggung
kudanya dan menerima tali kekang yang semula di pegang oleh Chen sementara
Pangeran Zhu Di menyusul naik ke atas punggung kuda di belakang Changyi.
Dan selanjutnya, sebagaimana saat perjalan menuju
ke kuil, jarak yang tak terlalu jauh di lalui dalam kelebat cepat si Hitam yang
melesat menembus gelapnya malam menuju tempat Tamtama Bohai yang terkejut
karena ia baru saja hendak memberikan isyarat pada Changyi agar segera kembali.
Kemudian, tepat ketika Jenderal Lan Yu berdiri di
depan tenda yang menjadi tempat untuk Changyi, dan memaksa untuk masuk ke dalam
mencari remaja yang dilaporkan oleh mata-mata terlihat di sekitar kawasan hutan
dalam kegelapan malam, maka Sang Jenderal yang bertubuh tinggi besar itu segera
menemukan Changyi dan Pangeran Zhu Di yang pulas tertidur, bergelung dalam
kehangatan selimut masing-masing. Sang Jenderal dari kementerian Pertahanan kemudian
meninggalkan tenda Changyi dengan diiringi oleh tatapan marah Kasim Anta.
***********
Tidak ada komentar:
Posting Komentar